Kesempatan Emas Bagi Founder untuk Bertemu Investor dan Mitra Bisnis Global

Dua tahun lebih sudah berlalu sejak gelaran terakhirnya di 2019, NXC International Summit 2022 akan kembali hadir di Bali pada bulan Agustus-September 2022 mendatang. Mengusung tema “Decentralizing The Future of Internet”, acara kali ini akan mengedepankan “experience” dari ekosistem teknologi tanah air bagi para partisipan.

Seperti yang sudah diketahui, industri teknologi di Indonesia jauh dari kata merosot. Di tengah pandemi sekalipun, inovasi dari sisi teknologi terus berkembang di negeri ini. Mulai dari web1, web2 hingga kini gelombang web3 mulai naik ke permukaan. Hal ini semakin mengokohkan posisi Indonesia sebagai surga para penggiat teknologi di Asia.

Kembali hadir, NXC (Nexticorn) International Summit 2022 akan menjadi parade eksklusif yang memberikan akses karpet merah bagi para startup unggulan tanah air untuk membukukan kesepakatan terbaik serta memungkinkan penawaran prospektif kepada investor paling bonafit di dunia.

Acara ini akan menjadi ajang yang paling pas bagi para founder yang saat ini tengah menggalang dana seri A ke atas, hingga yang menargetkan dana lebih dari $1 miliar. Gelaran kali ini akan dihadiri oleh lebih dari 400 pemain industri ternama, termasuk juga para founders, venture capitals, serta investor kredibel dari berbagai belahan dunia.

Bagi para founders yang sudah menanti kesempatan untuk bisa pitching startupnya di NXC International Summit 2022, diharapkan bisa menghadiri NXC International Summit 2022 Founders Meetup & Kickoff. Digelar secara virtual pada tanggal 18 Mei 2022, acara ini akan menghadirkan para pakar di industri untuk berbagi pengalaman dan persiapan menjelang perhelatan akbar NXC International Summit 2022.

Acara ini turut didukung oleh Amvesindo, Asosiasi Fintech Indonesia, Ernst & Young Indonesia, Ideosource, DailySocial.id, Kadin Indonesia, dan G20 Indonesia 2022.

Segera daftarkan startup kalian melalui link berikut: http://dly.social/nxckickoff

Rencana Linktree Dukung Kreator dan Bisnis di Indonesia

Berfungsi sebagai alat untuk mendukung para kreator dan bisnis dalam melakukan pemasaran di media sosial, platform link-in-bio Linktree memiliki rencana bisnis di Indonesia usai menerima pendanaan $110 juta. Pendanaan ini juga telah menjadikan mereka sebagai perusahaan unicorn asal Australia dengan nilai valuasi sekitar $1,3 miliar.

Kepada DailySocial.id, Country Manager Linktree Indonesia Michael Wijaya mengungkapkan keunikan pengguna Linktree di pasar ini dan potensi Indonesia sebagai negara yang masuk dalam top 5 pasar terbesar secara global.

Alat pendukung kegiatan pemasaran

Berkantor pusat di Melbourne, Australia, Linktree didirikan oleh
Alex Zaccaria, Anthony Zaccaria, dan Nick Humphreys pada tahun 2016. Mereka mengklaim sebagai platform link-in-bio pertama yang memungkinkan para pengguna menampilkan identitas online dengan mudah dan mengkomersialisasi profil mereka.

Dengan satu tautan, pengguna dapat mengarahkan audiens mereka ke banyak tautan lain yang ingin mereka promosikan, seperti tautan ke situs website, toko online, dan juga dokumen.

Pandemi juga dikatakan telah mendorong pertumbuhan Linktree secara global. Di Indonesia sendiri sejak tahun 2020 jumlah pengguna sudah meningkat hingga 10 kali lipat. Penggunanya pun beragam, mulai dari influencer, konten kreator, hingga pegiat komunitas.

“Khusus untuk Indonesia akibat dari pandemi banyak pola penggunaan yang mulai bergeser, yang tadinya secara offline akhirnya pindah ke online dan mempengaruhi pertumbuhan pengguna pengguna. Ini terjadi secara organik, karena word of mouth, cukup menarik untuk produk yang tumbuh dari referral, kita melihat kondisi ini menjadi signal yang positif di sebuah pasar,” kata Michael.

Ditambahkan olehnya, dengan sifatnya yang agnostik memungkinkan bagi Linktree untuk melayani dari tipe pengguna yang beragam. Mulai dari kalangan individu, organisasi, brand, hingga pemerintah.  Linktree mencatat lebih dari 1,2 miliar klik ke situs yang berhubungan dengan bisnis dan penjualan di tahun lalu.

“Selain komersial, Linktree banyak juga digunakan untuk alat organisir, misalnya mereka ingin membuat presentasi dengan meninggalkan konsep lama dan menggunakan Linktree yang dilengkapi dengan video. Sejumlah kelompok kerja atau kegiatan workshop juga banyak yang menggunakan Linktree untuk distribusi sertifikat dan formulir pendaftaran acara,” kata Michael.

Untuk strategi monetisasi secara umum semua fitur bisa digunakan oleh pengguna secara gratis, termasuk penggunaan QR Code yang sudah dihadirkan oleh Linktree. Namun bagi pengguna yang ingin menikmati fitur tambahan, bisa berlangganan dengan memilih 4 paket yang telah diluncurkan  mulai tahun ini.

“Harga yang kami tawarkan sangat terjangkau dan kompetitif. Mulai dari Rp39 ribu hingga sekitar Rp200 ribu. Berdasarkan riset yang kami lakukan, harga tersebut termasuk kompetitif dibandingkan dengan platform serupa lainnya,” kata Michael.

Di Indonesia sendiri platform atau tools yang menawarkan opsi hampir serupa di antaranya adalah Lynk.id  Desty, dan  Oneblink yang dikembangkan MTARGET.

Rencana Linktree usai pendanaan

Hingga saat ini tercatat pengguna Linktree yang beragam terdiri dari 250 vertikal di seluruh dunia. Pada 2020 s/d 2021, vertikal kreator, pemusik, dan pelaku bisnis kecil masing-masing mengalami pertumbuhan rata-rata lebih dari 300%. Mereka juga mengklaim sebagai salah satu platform dengan pertumbuhan tercepat di dunia dengan lebih dari 24 juta pengguna.

Bulan Maret tahun ini Linktree telah berhasil merampungkan penggalangan dana senilai $110 juta yang dipimpin oleh Index Ventures dan Coatue dengan valuasi $1,3 miliar. Investor Linktree sebelumnya turut terlibat dalam putaran pendanaan ini, di antaranya adalah AirTree Ventures dan Insight Partners, serta partisipasi baru dari Greenoaks Capital.

Selanjutnya Linktree akan menggunakan pendanaan terbarunya untuk memperluas pasar, membangun tim, sumber pendapatan, dan memberikan lebih banyak manfaat untuk para penggunanya melalui berbagai pengembangan fitur dan kemitraan. Resmi menyandang status ‘unicorn’, Linktree terus memprioritaskan kebutuhan kreator, bisnis, dan seluruh pengguna sebagai salah satu dari 300 situs terpopuler secara global dengan 1,2 miliar pengunjung unik per bulannya.

“Linktree siap memperkuat layanannya di Indonesia dan memenuhi kebutuhan para kreator, pelaku bisnis, dan pengguna layanan digital. Bersama masyarakat Indonesia, Linktree akan menghubungkan audiens, memfasilitasi dan memaksimalkan potensi pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia,” kata Michael.

Rencana Bisnis Insider di Indonesia Usai Meraih Gelar “Unicorn”

Awal bulan Maret 2022 lalu, Insider yang merupakan pengembang platform SaaS pemasaran, telah merampungkan pendanaan seri D senilai $121 juta (setara Rp 1,75 triliun) dipimpin oleh QIA. Investasi tersebut membuat Insider masuk ke jajaran unicorn dengan valuasi $1,22 miliar.

Sebelumnya Insider menyampaikan komitmennya untuk menggarap pasar Indonesia, termasuk dengan membangun tim lokal di sini sejak tahun 2020 lalu. Tepatnya saat perusahaan baru mengantongi pendanaan seri C sebesar $32 juta yang dipimpin oleh Riverwood Capital.

Sebagai rencana awal pasca pendanaan baru ini, Insider akan menginvestasikan Rp300 miliar selama tiga tahun ke depan untuk pasar Indonesia. Modal tambahan ini juga akan digunakan perusahaan untuk mendorong perluasan bisnis, meningkatkan teknologi inti perusahaan, dan meningkatkan penjualan lokal, dan investasi kegiatan pemasaran.

“Dengan pendanaan ini perusahaan akan menambah 3x jumlah tim mencapai sekitar 300%. Target kita adalah 50 head count di Indonesia. Saya percaya people adalah aset dan kita mengusung konsep people first untuk bisa mengembangkan bisnis,” kata Country Manager Insider Indonesia Arifin Iskandar kepada DailySocial.id.

Pandemi dorong pertumbuhan bisnis

Pandemi terbukti telah mempercepat akselerasi digital, bukan hanya untuk kalangan individu namun juga bisnis secara khusus. Jika dulunya korporasi masih enggan untuk mengadopsi digital, kini secara sukarela mereka mulai melirik berbagai platform pemasaran SaaS seperti Insider.

Saat ini sudah ada 100 perusahaan yang memanfaatkan teknologi dan layanan dari Insider. Mulai dari perusahaan yang masuk dalam kategori digital native, offline to online, hingga perusahaan baru yang sebelumnya masih belum bersedia untuk mengadopsi kegiatan pemasaran mereka secara online. Semua industri pun saat ini sudah menjadi target dari Insider.

“Saat ini bisa dibilang kita sudah sangat diverse dari sisi industri apa yang kami targetkan. Dulu mungkin kami lebih tertarik kepada perusahaan yang digital native, namun saat ini kami melihat banyak perusahaan yang sebelumnya hanya fokus di offline dan tertarik untuk menyasar online juga sudah menjadi target dari kami,” kata Arifin.

Disinggung seperti apa strategi Insider untuk bisa bersaing dengan pemain asing hingga lokal yang menawarkan layanan dan teknologi yang serupa, Arifin menegaskan dengan pengalaman perusahaan yang sudah berdiri sejak tahun 2012 lalu, mereka mengklaim bisa memberikan the best practice untuk masing-masing klien mereka dari sisi teknologi dan kebutuhan lainnya.

Berkantor pusat di Singapura, Asia Tenggara telah menjadi pasar utama bagi Insider sejak didirikan, dikarenakan Insider pertama kali berekspansi ke 11 wilayah di Asia termasuk Indonesia, Korea, Hong Kong, Sydney, Taiwan, dan Vietnam sebelum Eropa, LATAM, dan AS. Insider ini telah melayani beberapa brand terbesar di APAC termasuk Singapore Airlines, Watsons, Garuda Indonesia, Telkomsel, dan Adidas.

Pemanfaatan data, machine learning, dan AI

Untuk mendukung perusahaan memberikan layanan yang relevan, Insider memanfaatkan data serta penerapan teknologi AI dan machine learning. Proses tersebut yang diklaim sudah menjadi the right foundation bagi Insider dengan mengawali semua dari data, yang mereka dapatkan dari consumer behaviour yang dapat di track dari digital enabler atau digital operator. Selain itu data tersebut juga bisa dikombinasikan dengan data yang sudah ada di sistim legacy.

“Contohnya sebelum pandemi ketika program loyalty dilancarkan sebagai upaya untuk memberikan reward kepada pelanggan, pada umumnya mereka harus datang ke toko atau mall kemudian mendaftar untuk melakukan pembelian. Data tersebut bisa kita gabungkan. Nantinya Insider akan menggunakan teknologi AI dan machine learning untuk bisa menilai customer lifetime,” kata Arifin.

Konsumen saat ini rata-rata terlibat secara digital dengan brand di enam saluran atau lebih. Pemasar ditantang untuk terlibat dengan pelanggan di saluran pilihan mereka saat mereka paling aktif. Platform bertenaga AI Insider menyatukan serangkaian kemampuan personalisasi paling luas dengan
saluran pesan yang muncul seperti WhatsApp, Facebook, RCS, dan SMS.

“Media sosial di Indonesia masih menjadi tools terbaik untuk kegiatan pemasaran. Facebook dan Instagram memiliki jumlah sangat besar di Indonesia dan menjadi channel pilihan untuk kegiatan pemasaran, namun demikian Insider juga memiliki opsi lain di luar media sosial,” kata Arifin.

Akulaku Obtains Strategic Investment of 1.4 Trillion Rupiah from Siam Commercial Bank

Akulaku to receive strategic investment of $100 million or over Rp1.4 trillion from Siam Commercial Bank (SCB), a leading commercial bank in Thailand. This agreement follows last year’s successful funding of $125 million led by Akulaku’s existing investor, Silverhorn Group, which also acts as a financing partner since 2018.

Akulaku’s subsidiary, Bank Neo Commerce (BNC), has finalized a public offering on the Indonesia Stock Exchange with a value around $175 million (over Rp2.5 trillion) in the fourth quarter of 2021. Reportedly, this is the closing of the pre-IPO fundraising series through the SPAC. According to reports on DealStreetAsia, Akulaku will be listed on the stock exchange in 2022.

In an official statement, Akulaku’s CEO, William Li said, the fresh money will be used to continue expanding the geographic coverage of its products and services throughout Southeast Asia and develop innovation. “We established Akulaku to fulfill the daily financial of underserved customers in emerging markets,” Li said, Tuesday (2/15.

Siam Commercial Bank’s President, Dr. Arak Sutivong said this investment marks SCB’s continued commitment and strong belief in Indonesia’s long-term prospects as one of the fastest growing digital economies in the region. The company considers Akulaku as having a dominant market position and well positioned with its innovative technology and superior product offerings.

“We are excited about investing in this company and look forward to leveraging our deep expertise in Thailand’s financial services sector to support its expansion. Investments in Akulaku fit within our regional theses to serve underserved markets using digital innovation. We look forward to partnering with Akulaku as the company grows,” Sutivong said.

Credit disbursement to 6 million users

Founded in 2016, Akulaku has grown into a Buy Now Pay Later (BNPL) and consumer finance platform in Indonesia, claiming to have disbursed more than $2.2 billion in credit to more than 6 million users by 2021. Akulaku’s coverage is not merely in Indonesia, but also in the Philippines, Vietnam, and Malaysia.

Building on this success, BNC launched its mobile digital banking service in March 2021, and is now the fastest growing digital bank in Indonesia with more than 13 million users to date. The company has another financial subsidiary group engaged in lending, Assetku, which operates in Indonesia, and a similar BNPL service that is present in Europe called Wisecart.

With more than 80% of consumers now participating in e-commerce, Southeast Asia’s digital retail market is growing exponentially. Akulaku’s digital credit service is poised to further accelerate the digital transformation of retail in Southeast Asia, providing new markets for consumers with access to flexible banking services.

Akulaku alone is said to have reached the unicorn status since 2019 with a valuation of more than $1.1 billion, according to a report compiled by Credit Suisse entitled “ASEAN Unicorn, Scaling the New Height”. The company is yet to disclose this status to the public.

BNPL to rise after pandemic

A special report on the paylater ecosystem in Indonesia released by DSInnovate stated that paylater became the second favorite service in 2020 (72.5%) or slightly below digital wallet platforms which had recognition of 82.2%.

On the other hand, the e-commerce’s positive trend which strongly accelerated by the pandemic has also triggered the high adaptation of paylater products in the community. In fact, ResearchAndMarkets has released a research at the end of 2020 stated that the Gross Merchandise Value (GMV) is predicted to grow at US$8.5 billion in 2028 and estimated to help boost paylater facilities by approximately 76.7% annually. .

Likewise, the latest research by Kredivo and the Katadata Insight Center entitled “Consumer Behavior of E-Commerce Indonesia 2021” also shows an increase in paylater users. There are 55% new users who use the Kredivo paylater feature.

The high number of paylater users also has a positive impact on the supply side, where this feature is able to help merchants increase AoV (average order value), increase sales by offering credit without a credit card, and also increase sales conversions by reducing friction during the shopping process.

While paylater has two classifications: paylater owned by digital startups (e-commerce, OTA, ride-hailing service, and others) and the paylater service owned by fintech startups. In Indonesia, there are many fintech companies that provide paylater services. The implementation is not limited, paylaters made by fintech generally become “online” credit platforms that can be used anywhere, from e-commerce to retail outlets.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Akulaku Peroleh Investasi Strategis 1,4 Triliun Rupiah dari Siam Commercial Bank

Akulaku mengumumkan perolehan investasi strategis senilai $100 juta atau lebih dari Rp1,4 triliun dari Siam Commercial Bank (SCB), bank umum terkemuka di Thailand. Kesepakatan ini mengikuti keberhasilan pendanaan yang diterima Akulaku sebesar $125 juta pada tahun lalu dipimpin oleh investor Akulaku sebelumnya Silverhorn Group, yang sekaligus menjadi mitra pembiayaan (financing partner) sejak 2018.

Anak usaha Akulaku, yakni Bank Neo Commerce (BNC), juga menyelesaikan penawaran umum hak publik di Bursa Efek Indonesia dengan nilai sekitar $175 juta (lebih dari Rp2,5 triliun) pada kuartal IV 2021. Dikabarkan, pendanaan yang diterima Akulaku ini merupakan penutupan penggalangan dana pra-IPO melalui jalur SPAC. Menurut pemberitaan di DealStreetAsia, Akulaku akan melantai di bursa pada 2022.

Dalam keterangan resmi, CEO Akulaku William Li menyampaikan, dana segar memungkinkan perusahaan untuk melanjutkan visinya memperluas jangkauan geografis produk dan layanannya ke seluruh Asia Tenggara dan terus berinovasi. “Kami mendirikan Akulaku untuk memenuhi kebutuhan keuangan sehari-hari dari pelanggan yang kurang terlayani di pasar negara berkembang,” ucap Li, Selasa (15/2).

Presiden Siam Commercial Bank Dr. Arak Sutivong mengatakan, langkah investasi yang diambil SCB ini menandai komitmen berkelanjutan dan keyakinan kuatnya terhadap prospek jangka panjang Indonesia sebagai salah satu ekonomi digital dengan pertumbuhan tercepat di kawasan ini. Ia melihat Akulaku memiliki posisi pasar yang dominan dan memiliki posisi yang baik dengan teknologi inovatif dan penawaran produk unggulannya.

“Kami sangat antusias dengan investasi di perusahaan ini dan berharap dapat memanfaatkan keahlian mendalam kami di sektor jasa keuangan Thailand untuk mendukung ekspansinya. Investasi di Akulaku cocok dalam tesis regional kami untuk melayani pasar yang kurang terlayani menggunakan inovasi digital. Kami berharap dapat bermitra dengan Akulaku seiring dengan pertumbuhan perusahaan,” kata Sutivong.

Telah menyalurkan kredit ke 6 juta nasabah

Didirikan pada tahun 2016, Akulaku telah berkembang menjadi platform Buy Now Pay Later (BNPL) dan pembiayaan konsumen di Indonesia, mengklaim telah menyalurkan kredit lebih dari $2,2 miliar pada 2021 ke lebih dari 6 juta pengguna. Cakupan layanan Akulaku tidak hanya Indonesia, tapi juga Filipina, Vietnam, dan Malaysia.

Berangkat dari kesuksesan itu, BNC meluncurkan layanan mobile digital banking pada Maret 2021, dan kini menjadi bank digital dengan pertumbuhan tercepat di Indonesia dengan lebih dari 13 juta pengguna saat ini. Perusahaan juga memiliki grup anak usaha keuangan lain yang bergerak di lending, yakni Asetku yang beroperasi di Indonesia, dan layanan BNPL sejenis yang hadir di Eropa bernama Wisecart.

Dengan lebih dari 80% konsumen yang sekarang berpartisipasi dalam e-commerce, pasar ritel digital Asia Tenggara tumbuh secara eksponensial. Layanan kredit digital Akulaku siap untuk lebih dipercepat transformasi digital ritel di Asia Tenggara, menyediakan pasar baru akses konsumen ke layanan perbankan yang fleksibel.

Akulaku sendiri disebut-sebut sudah mencapai status unicorn sejak 2019 dengan valuasi lebih dari $1,1 miliar, menurut laporan yang disusun Credit Suisse bertajuk “ASEAN Unicorn, Scaling the New Height”. Perusahaan sendiri belum menyampaikan statusnya tersebut hingga kini ke publik.

BNPL melesat semenjak pandemi

Laporan khusus mengenai ekosistem paylater di Indonesia yang dirilis DSInnovate yang mengemukakan, paylater menjadi layanan favorit peringkat kedua pada tahun 2020 (72,5%) atau sedikit di bawah platform dompet digital yang memiliki rekognisi sebesar 82,2%.

Di sisi lain, tren positif e-commerce yang kian terakselerasi oleh pandemi turut menjadi pemicu tingginya adaptasi produk paylater di masyarakat. Bukan tanpa alasan, riset yang dirilis oleh ResearchAndMarkets di penghujung 2020 kemarin menyatakan, prediksi pertumbuhan Gross Merchandise Value (GMV) yang bakal mencapai angka US$8,5 miliar di 2028 diperkirakan bakal turut mendongkrak fasilitas paylater sebesar kira-kira 76,7% setiap tahunnya.

Pun dengan halnya riset terbaru yang dirilis oleh Kredivo dan Katadata Insight Center berjudul “Consumer Behavior of E-Commerce Indonesia 2021”, juga menunjukkan peningkatan pengguna paylater, yakni terdapat 55% pengguna baru yang menggunakan fitur paylater Kredivo.

Tingginya penggunaan paylater juga memberikan dampak positif dari sisi supply, di mana fitur tersebut mampu membantu merchant dalam peningkatan AoV (average order value), meningkatkan penjualan dengan menawarkan kredit tanpa kartu kredit, dan juga meningkatkan konversi penjualan dengan mengurangi friksi selama proses belanja.

Sementara paylater sendiri memiliki dua klasifikasi, yaitu: paylater yang dimiliki oleh startup digital (e-commerce, OTA, ride-hailing service, dan lainnya) dan yang kedua adalah layanan paylater yang dimiliki oleh startup fintech. Di Indonesia sudah banyak perusahaan fintech yang menyediakan layanan paylater, implementasinya tidak terbatas, paylater besutan fintech umumnya menjadi platform kredit “online” yang dapat digunakan di mana saja, mulai dari e-commerce, hingga gerai ritel.

 

Indonesia Miliki 12 Gelar Startup Unicorn di Tahun 2021, Anggota Baru Muncul di Penghujung Tahun

Penghujung tahun 2021 memberikan kejutan kepada para pelaku dan startup enthusiast. Bagaimana tidak, berbagai startup telah dinobatkan sebagai unicorn di tahun ini. Berdasarkan data dari DailySocial.id Annual Report 2021, tercatat total sebanyak 11 startup Indonesia telah menjadi Unicorn di tahun 2021. Jumlah ini bertambah dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Dari laporan Startup Report 2020, pada tahun 2020 saja, Indonesia hanya memiliki 5 startup unicorn, yaitu Tokopedia, Gojek, Traveloka, Bukalapak dan OVO. Namun, tujuh startup Indonesia saat ini telah mengisi deretan startup unicorn pada tahun 2021.

Unicorn sendiri merupakan level ke-4 dari tingkatan bisnis startup. Dalam tingkatan level Unicorn, nilai valuasi yang digunakan sebagai indikator adalah senilai USD$ 1 miliar – USD$ 10 miliar atau jika dirupiahkan adalah sebesar 10,47 triliun.

Beberapa startup yang telah menjadi unicorn di tahun 2021, merupakan startup pada level centaur di tahun sebelumnya. Berikut 11 startup Indonesia yang telah mencapai unicorn:

1. GoTo

GoTo merupakan startup merger antara Gojek dan Tokopedia. PT GoTo Gojek Tokopedia didirikan pada 17 Mei 2021 dengan fokus industri teknologi informasi. GoTo mengombinasikan layanan e-commerce, on-demand, dan layanan keuangan ke dalam satu ekosistem.

November tahun ini, Grup GoTo mengumumkan penutupan pertama penggalangan dana pra-IPO lebih dari $1,3 miliar (lebih dari 18,5 triliun Rupiah) dari berbagai investor.

2. Traveloka

Traveloka sendiri telah menyandang status unicorn pada tahun 2017, ketika mengantongi investasi sebesar USD350 juta dari Expedia. Berdiri sejak tahun 2012, Traveloka telah mengembangkan berbagai produk, hingga menjadi startup non fintech pertama yang menerapkan paylater “beli sekarang, bayar nanti”.

3. Bukalapak

Bukalapak merupakan salah satu perusahaan e-commerce Indonesia yang didirikan pada tahun 2010 lalu. Bukalapak berhasil menjadi unicorn pada tahun yang sama dengan Traveloka, dengan valuasi mencapai USD 1 miliar atau sekitar Rp 14 triliun.

Tahun 2021, Bukalapak dikabarkan memperoleh pendanaan sebesar $234 juta (lebih dari 3,4 triliun Rupiah) dalam putaran pendanaan Seri G yang dipimpin oleh Microsoft, GIC sovereign wealth fund Singapura, dan EMTEK.

4. OVO

Tahun 2019, OVO berhasil menjadi startup unicorn. Finance Asia menyebut valuasi OVO saat dinobatkan menjadi unicorn sudah mencapai $2,9 miliar (lebih dari 40 triliun Rupiah).

Sebagai perusahaan yang memimpin industri pembayaran digital bersama GoPay, OVO jelas memproses perputaran dana yang sangat besar yang mencapai triliunan Rupiah per tahunnya.

5. JD.id

Awal tahun 2020 lalu, JD.id telah mencapai valuasi perusahaan lebih dari US$1 miliar dan menambah jajaran startup unicorn saat itu. JD.id merupakan salah satu e-commerce yang ada di Indonesia dan merupakan bagian dari JD.com yang berkantor pusat di Beijing China.

6. Blibli.com

Blibli.com merupakan satu-satunya e-commerce yang meraih status unicorn pada tahun ini. Per Agustus 2021, blibli.com telah mencapai valuasi sebesar 1 miliar dollar AS. Berdiri pada tahun 2010, butuh waktu sekitar 11 tahun bagi blibli.com untuk mencapai level ke-4 pada tingkatan bisnis startup ini.

7. Tiket.com

Menyusul pesaingnya, Traveloka, Tiket.com akhirnya menjadi unicorn pada awal tahun 2021.

Tiket.com sendiri didirikan tahun 2011 dan diakuisisi Djarum Group melalui Blibli pada tahun 2017. Saat ini keduanya tetap berjalan dengan entitas legal (PT) terpisah, sehingga memungkinkan jika Tiket.com melangsungkan IPO terlebih dulu.

8. J&T Express

Awal tahun 2021, J&T Express telah menjadi unicorn dengan valuasi sebesar mencapai 7,8 miliar dollar AS atau setara Rp 113,5 Triliun. J&T Express menduduki posisi kedua sebagai startup unicorn Indonesia dengan nilai valuasi terbesar setelah Gojek.

J&T Express menjadi mitra pengiriman logistik dari sejumlah e-commerce besar, termasuk, Tokopedia, Bukalapak, Blibli, Shopee, dan JD.id.

9. Kredivo

Kredivo merupakan startup yang berada di bawah naungan PT FinAccel Teknologi Indonesia dan berdiri pada Desember 2015. Kredivo memiliki performa serta pertumbuhan yang pesat hanya dalam waktu kurang dari 6 tahun sejak didirikan sehingga menarik perhatian para investor.

Sama dengan blibli.com, Kredivo menjadi unicorn pada pertengahan tahun 2021 ini.

10. Xendit

September 2021, Xendit mengumumkan perolehan pendanaan seri C senilai $150 juta atau setara 2,1 triliun Rupiah. Putaran ini sekaligus mengokohkan valuasi perusahaan di atas $1 miliar dan menjadikan Xendit sebagai startup “unicorn” selanjutnya di Indonesia.

Sebelumnya Xendit telah menutup putaran pendanaan seri B senilai $64,6 juta pada Maret 2021 lalu dipimpin Accel. Dengan perolehan baru ini, secara total mereka telah mengumpulkan dana Rp3,4 triliun ($238 juta) sejak ronde awal di tahun 2015.

11. Ajaib

Sama seperti namanya, Ajaib berhasil menjadi startup unicorn hanya dalam waktu 2,5 tahun. Ajaib menyandang gelar unicorn setelah menutup putaran seri B sebesar $153 juta (lebih dari 2,1 triliun Rupiah) yang dipimpin oleh DST Global. Pendanaan ini membawa jumlah total yang dikumpulkan Ajaib menjadi $243 juta. Ajaib sendiri telah memiliki 1 juta investor ritel saham, sejak pertama kali berdiri dua setengah tahun lalu.

 

Menutup tahun 2021 ini, sebuah kejutan muncul dari salah satu startup dengan dasar bisnisnya adalah kedai kopi, yaitu Kopi Kenangan. Desember 2021, Kopi Kenangan jadi “Unicorn New Retail” Pertama di Indonesia.

Kopi Kenangan mengumumkan telah menutup putaran pertama untuk pendanaan seri C senilai $96 juta atau setara 1,3 triliun Rupiah. Dengan tambahan dana investasi ini, perusahaan turut mengumumkan bahwa telah mencapai tonggak “unicorn” atau bervaluasi lebih dari $1 miliar. Dengan ini, Kopi Kenangan menambah deretan startup unicorn Indonesia.

Tidak hanya telah menjadi unicorn, beberapa startup lainnya juga sudah menjadi centaur di tahun ini. Untuk mengetahui informasi lainnya mengenai startup sepanjang 2021 ini, kunjungi DailySocial.id Annual Report 2021!

***

Disclosure : Artikel ini ditulis oleh Masni Rahmawatti. S

Kopi Kenangan Bags 1.3 Trillion Rupiah Funding, Becoming Indonesia’s First New Retail Unicorn

Kopi Kenangan has closed its Series C’s first round of $96 million or equivalent to 1.3 trillion Rupiah. Along with the recent investment, the company also announced the “unicorn” status with valuation exceeding $1 billion. Kopi Kenangan is the first unicorn for a new retail business.

This round was led by Tybourne Capital Management, with the participation of previous investors including Horizons Ventures, Kunlun, and B Capital; and new investor Falcon Edge Capital. The fresh fund will be focused on expanding F&B brand to new cities in Indonesia. In addition, the company is also starting to explore the regional market.

“The investor’s suppport becomes a proof and motivation for us to continue focusing on store productivity by leveraging technology to deliver the best experience for every customer […] we are committed to rapidly expanding our reach to thousands of stores in Southeast Asia, while complementing our portfolio We provide products to meet market needs,” Kopi Kenangan’s Co-Founder & CEO, Edward Tirtanata said.

Based on our observation, Kopi Kenangan has raised a total $240 million from investors with the following details:

Date Stage Investor Value
October 2018 Seed Funding Alpha JWC Ventures $8 million
June 2019 Series A Sequoia Capital India, Alpha JWC Ventures $20 million
December 2019 Series A+ Arrive, Serena Ventures, Caris LeVert, Jonathan Neman, Sequoia Capital India $1,5 million
May 2020 Series B Sequoia Capital India, B Capital, Horizons Ventures, Verlinvest, Kunlun, Sofina, Alpha JWC Ventures $109 million
December 2021 Series C Tybourne Capital Management, Horizons Ventures, Kunlun, B Capital $96 million

The journey

Edward co-founded Kopi Kenangan with James Prananto (CBDO) and Cynthia Chaerunnisa (CMO) in 2017. They are targeting the gap in the Indonesian market, between expensive coffee served at international coffee chains and cheap instant coffee sold through stalls (warung).

Kopi Kenangan also utilizes technology to improve user experience, as well as increasing business agility with an online to offline strategy. Customers can easily order coffee through its app, either for home-delivery, or direct pick-up at one of Kopi Kenangan outlets in Indonesia.

Through the business model, Kopi Kenangan has rapidly growing. Over the past 12 months, the brand has served 40 million cups, targeting 5.5 million cups per month in Q1 2022. They currently managed 3,000 staff in more than 600 outlets in 45 cities in Indonesia.

During the Covid-19 pandemic, Kopi Kenangan has proven its adaptability to the changing business climate and challenges. This step was taken by implementing new strategies, such as contactless booking request system that helps increase revenue growth and user base.

Local coffe-chain business

The positive feedback from the community of coffee products with the “grab and go” concept has crowded this industry. Based on DailySocial’s data, as of November 2021, there are over 4,500 coffee-chain distributed throughout Indonesia.

Some of the businesses are now optimizing digital platforms to improve their business and customer experience, including Kopi Kenangan, Fore Coffee, and JIWA Group which recently announced funding.

According to research (MIX, 2020), 40% of coffee customers in Indonesia are starting to switch to grab & go outlets. This is due to shifting from instant coffee, as consumers want a higher quality drink — as well as pairing it with complementary snacks.

The grab & go concept alone is very dependent on the outlets, although some are only used as production sites (without dine-in). For this reason, Kopi Kenangan-like startups are indeed asset-heavy, it requires a large investment in order to significantly accelerate the business.

Applications are designed to connect consumers with outlets, taking them from online to offline – or vice versa. This model is quite efficient, as companies can also take advantage of data obtained from consumer habits recorded in the application, therefore, they can offer products and services in line with its market share. In terms of consumers, the convenience and value added make them willing to use the application.

Rank (Nov 2021) App Download Rating
6 Kopi Kenangan 1 million+ 4,6
13 Boba Ceria 100 thousand+ 4,3
17 Chatime Indonesia 500 thousand+ 4,5
21 JIWA+ 100 thousand+ 4,7
22 ISMAYA 100 thousand+ 4,4
24 Fore Coffee 100 thousand+ 4,6
61 Flash Coffee 50 thousand+ 4,6
92 KULO 10 thousand+ 1,7

In terms of business, based on a report compiled by Statista, revenue from the coffee business (roast coffee) will reach $9.5 billion this year. It is estimated to experience a CAGR growth of 9.76% until 2025.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Dapat Pendanaan 1,3 Triliun Rupiah, Kopi Kenangan Jadi “Unicorn New Retail” Pertama di Indonesia

Kopi Kenangan mengumumkan telah menutup putaran pertama untuk pendanaan seri C senilai $96 juta atau setara 1,3 triliun Rupiah. Dengan tambahan dana investasi ini, perusahaan turut mengumumkan bahwa telah mencapai tonggak “unicorn” atau bervaluasi lebih dari $1 miliar. Kopi Kenangan menjadi unicorn pertama untuk bisnis new retail.

Adapun putaran pendanaan seri C dipimpin oleh Tybourne Capital Management, dengan keterlibatan investor sebelumnya Horizons Ventures, Kunlun, dan B Capital; serta investor baru Falcon Edge Capital. Dana segar ini akan difokuskan untuk perluasan brand F&B baru mereka, dengan membuka kehadiran di berbagai kota baru lainnya di Indonesia. Selain itu, perusahaan juga tengah merencanakan untuk mulai merambah pasar regional.

“Dukungan dari para investor merupakan bukti sekaligus memotivasi kami untuk terus fokus dalam meningkatkan produktivitas gerai dengan memanfaatkan teknologi demi mewujudkan pengalaman terbaik bagi setiap pelanggan […] kami berkomitmen untuk memperluas jangkauan secara cepat hingga mencapai ribuan gerai di Asia Tenggara, sekaligus melengkapi portofolio kami dengan produk-produk yang dapat memenuhi kebutuhan pasar,” ujar Co-Founder & CEO Kopi Kenangan Edward Tirtanata.

Secara keseluruhan, menurut catatan kami, Kopi Kenangan telah mengumpulkan dana dari investor sekitar $240 juta dengan rincian sebagai berikut:

Tanggal Tahapan Pendanaan Investor Nominal
Oktober 2018 Seed Funding Alpha JWC Ventures $8 juta
Juni 2019 Series A Sequoia Capital India, Alpha JWC Ventures $20 juta
Desember 2019 Series A+ Arrive, Serena Ventures, Caris LeVert, Jonathan Neman, Sequoia Capital India $1,5 juta
Mei 2020 Series B Sequoia Capital India, B Capital, Horizons Ventures, Verlinvest, Kunlun, Sofina, Alpha JWC Ventures $109 juta
Desember 2021 Series C Tybourne Capital Management, Horizons Ventures, Kunlun, B Capital $96 juta

Perjalanan Kopi Kenangan

Selain Edward, Kopi Kenangan turut didirikan oleh James Prananto (CBDO) dan Cynthia Chaerunnisa (CMO) pada tahun 2017. Mereka menargetkan celah di pasar Indonesia, antara kopi mahal yang disajikan di coffee-chain internasional dan kopi instan murah yang dijual di banyak warung.

Kopi Kenangan turut memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan pengalaman pengguna, serta meningkatkan kelincahan bisnis dengan strategi online to offline. Pelanggan dapat dengan mudah memesan kopi lewat aplikasi, baik untuk dikirim ke rumah, atau mengambil langsung di salah satu dari gerai Kopi Kenangan di Indonesia.

Melalui model bisnis tersebut, Kopi Kenangan telah berhasil tumbuh dengan pesat. Selama 12 bulan terakhir, Kopi Kenangan telah menyajikan 40 juta cangkir dengan target 5,5 juta cangkir per bulan pada Q1 2022. Kini mereka telah memiliki sekitar 3.000 staf di lebih dari 600 gerai di 45 kota di Indonesia.

Selama pandemi Covid-19, Kopi Kenangan juga membuktikan kemampuan beradaptasinya dengan iklim usaha dan tantangan yang terus berubah. Langkah ini ditempuh dengan menjalankan strategi-strategi baru, seperti menerapkan sistem contactless booking request yang membantu meningkatkan pertumbuhan pendapatan dan basis pengguna.

Bisnis coffee-chain lokal

Penerimaan yang cukup baik dari kalangan masyarakat terhadap produk kopi berkonsep “grab and go” membuat industri ini ramai pemain. Menurut data yang dihimpun DailySocial.id per November 2021, ada lebih dari 4.500 jaringan coffee-chain yang tersebar di seluruh Indonesia.

Beberapa di antaranya kini mengoptimalkan platform digital untuk meningkatkan bisnis dan pengalaman pelanggannya, termasuk Kopi Kenangan, Fore Coffee, hingga JIWA Group yang baru-baru ini turut umumkan pendanaan.

Menurut riset (MIX, 2020), 40% pelanggan kopi di Indonesia mulai beralih ke gerai grab & go. Permintaan ini didukung oleh pergeseran dari kopi instan, karena konsumen menginginkan minuman yang lebih berkualitas — serta memadukan dengan makanan ringan pelengkap.

Konsep grab & go sendiri memang sangat bergantung dengan keberadaan gerai, kendati tidak sedikit yang hanya dijadikan tempat produksi (tanpa memiliki ruang untuk dine-in). Untuk itu, startup seperti Kopi Kenangan memang asset-heavy, dalam melakukan akselerasi bisnis secara signifikan mereka membutuhkan investasi besar

Aplikasi didesain untuk menghubungkan konsumen dengan outlet, membawa dari online menuju offline – atau sebaliknya. Model ini cukup efisien, karena perusahaan pun bisa memanfaatkan data yang didapat dari kebiasaan konsumen yang tercatat di aplikasi, sehingga dapat menyuguhkan produk dan layanan yang lebih sesuai dengan pangsa pasarnya. Dari sisi konsumen, adanya kemudahan dan value added menjadikan mereka mau untuk memanfaatkan aplikasi.

Peringkat (Nov 2021) Aplikasi Unduhan Rating
6 Kopi Kenangan 1 juta+ 4,6
13 Boba Ceria 100 ribu+ 4,3
17 Chatime Indonesia 500 ribu+ 4,5
21 JIWA+ 100 ribu+ 4,7
22 ISMAYA 100 ribu+ 4,4
24 Fore Coffee 100 ribu+ 4,6
61 Flash Coffee 50 ribu+ 4,6
92 KULO 10 ribu+ 1,7

Secara bisnis, didasarkan pada laporan yang dihimpun Statista, revenue dari bisnis kopi (roast coffee) akan mencapai $9,5 miliar di tahun ini. Diperkirakan akan mengalami pertumbuhan CAGR 9,76% sampai periode 2025.

Application Information Will Show Up Here

Dibalik Status Unicorn Xendit, Moses Lo Fokus Membangun Fundamental Perusahaan

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Tidak dapat dipungkiri bahwa budaya kerja menjadi salah satu pertimbangan besar ketika seseorang memutuskan untuk mengambil pekerjaan baru di satu perusahaan. Hal ini dipahami betul oleh Moses Lo, Pendiri dan CEO Xendit, saat dia bekerja untuk sebuah perusahaan, begitu pula ketika memulai sesuatu yang baru. Di Xendit, ia selalu memastikan bahwa fundamental organisasi bisa terpenuhi. Moses fokus membangun internal perusahaan agar dapat melayani pihak eksternal dengan lebih baik.

Moses mengawali bisnis ini dengan passion, ia bercita-cita menciptakan sesuatu yang bisa menggerakkan pasar untuk kurun waktu lebih dari 20 tahun. Ia  membangun gerbang pembayaran untuk menyederhanakan dan mengamankan transaksi bisnis. Dengan ide tersebut, Xendit menjadi startup Indonesia pertama yang diterima dalam program Y Combinator.

Sedari kecil, Moses sudah terpapar dunia teknologi. Beranjak dewasa, ia mulai tertarik pada hal-hal terkait keuangan dan perbankan, disandingkan dengan latar belakang pendidikan di bidang teknologi, sampailah ia ke dunia fintech. Ia berhasil lulus dengan gelar mahasiswa terbaik di jurusan commerce, manajemen sistem informasi, dan keuangan di University of New South Wales. Melanjutkan kisah bisnisnya, ia bergabung di Berkeley untuk mengambil gelar master bisnisnya. Moses juga memiliki pengalaman bekerja dengan dua perusahaan terbaik dunia, mengajarinya hal-hal penting untuk memasuki industri teknologi.

Pada tahun 2015, di usianya yang ke-27 tahun, Moses memulai Xendit. Sejak saat itu, perusahaan telah berkembang pesat. Pada tahun ini, Xendit berhasil tercatat sebagai salah satu unicorn di Indonesia. Infrastruktur Xendit juga telah banyak digunakan oleh perusahaan di Indonesia, Filipina, dan Asia Tenggara.

Berikut petikan diskusi kami dengan Moses Lo, orang nomor satu di Xendit, tentang visi dan pencapaiannya di industri teknologi.

Bagaimana awal mula Anda mengejar karir di industri teknologi?

Saya ingin terjun ke industri teknologi sejak berusia 13 atau 14 tahun. Hal ini semata-mata karena kebiasaan bermain game dan merakit komputer. Jadi, saya selalu ingin melakukan sesuatu yang berbau teknologi. Tumbuh dewasa, saya mulai tertarik dengan hal-hal terkait keuangan dan perbankan, lalu mengambil jurusan Sistem Informasi di Universitas, yang akhirnya membawa saya ke fintech. Setelah itu, saya sempat bekerja dengan Boston Consulting Group (BCG) dan Amazon untuk beberapa waktu sebelum memutuskan untuk memulai perusahaan sendiri.

Seperti apa kehidupan Anda sebelum memulai Xendit?

Saya berasal dari keluarga pengusaha. Salah satu alasan saya bekerja di BCG adalah karena mereka pandai dalam mengajarkan keahlian-keahlian berbisnis yang baik. Mereka mengajari cara berpikir, cara menyajikan informasi dengan baik, cara berbicara dengan orang yang lebih tua, orang yang lebih senior, dan jauh lebih penting dari saya. Itu adalah bekal yang sangat berguna.

Kemudian, saya juga sempat bekerja di Amazon untuk waktu yang singkat. Amazon, dibandingkan dengan perusahaan lain, bersaing sangat ketat untuk setiap pasar di mana mereka beroperasi. Mereka memenangkan e-commerce di AS, layanan cloud mereka tersebar di mana-mana. Pergerakan mereka sangat baik dalam ruang kompetitif ini dan saya ingin belajar di perusahaan yang sangat baik dalam hal berkompetisi. Dalam waktu yang singkat itu, saya juga belajar bagaimana membangun budaya startup yang scalable dan bagaimana membangun tim kohesif yang sangat efisien dalam menjalankan bisnis.

Xendit merupakan perusahaan pertama Anda yang mendapat dukungan pemodal ventura. Seperti apa ide awal Xendit?

Ketika kami memulai Xendit, saya melihat beberapa hal yang terjadi di negara lain. Terdapatcelah sejarah di mana perusahaan yang telah berkembang akan menentukan teknologi dan bisnis untuk 15 hingga 20 tahun ke depan. Mereka menetapkan aturan tentang cara kerja teknologi. Oleh karena itu, saya ingin pulang dan membangun infrastruktur serta menetapkan aturan dengan cara yang baik untuk Indonesia dan Asia Tenggara selama 20 tahun ke depan.

Ini benar-benar hal yang menyenangkan. Saya melihat hal ini seperti kita sedang membangun jalan beraspal yang dulunya adalah jalan tanah. Kami sedang membangun infrastruktur, sehingga bisnis lain dapat berkembang di atas platform ini.

Sebagian besar perjalanan hidup Anda terjadi di luar Indonesia. Selain karena potensi, apa yang mendorong Anda untuk membangun bisnis yang berfokus di negara ini? Apa yang membuat Anda yakin bisa menaklukkan pasar Indonesia?

Saya memiliki darah Indonesia. Meskipun tidak tumbuh besar di negara ini, saya menghabiskan sebagian besar masa dewasa di sini. Sebenarnya ini adalah passion saya untuk membangun sesuatu di Indonesia, dan segala sesuatunya mendukung. Sepanjang perjalanan, saya juga menemukan beberapa teman baik yang mau bersama-sama berkembang. Mungkin bukan menaklukkan, karena saya tidak semata-mata berpikir akan menang. Kami hanya melakukan hal yang sangat kami sukai. Semua bermula dari passion.

Di tahun ini, Xendit berhasil mencapai status unicorn. Pernahkah Anda berfikir bisa sampai pada titik ini?

Menurut saya “unicorn” atau valuasi adalah indikator yang lemah untuk setiap nilai yang dapat kita berikan kepada dunia, jadi tidak pernah terpikirkan sebelumnya untuk menjadi unicorn.

Saya cenderung memikirkan apakah kita dapat membuat sesuatu yang berskala untuk menghadirkan dampak positif bagi jutaan orang selama 10 hingga 20 tahun ke depan. Jika hal itu terjadi, maka valuasi pasti akan mengikuti.

Saya tidak pernah benar-benar peduli dengan status unicorn, dan pandangan itu masih sama. Saya lebih memikirkan apakah kita mampu memberi nilai kepada pelanggan, karena itu yang terpenting. Jika kita sudah berada di jalur yang tepat, segala sesuatu yang lain akan mengikuti. Valuasi tetap menjadi satu hal yang harus dipikirkan, tetapi bukan sebagai indikator pencapaian atau sesuatu yang harus dikejar. Hal itu hanya bagian dari bisnis. Saya menghabiskan sebagian besar waktu saya untuk memikirkan produk, pelanggan, dan tim di Xendit.

Menurut Anda, apa hal yang paling esensial untuk membangun keberlanjutan sebuah perusahaan di industri teknologi?

Sederhana saja, semuanya (teknologi, produk, penjualan) bergantung pada orang-orang yang mengerjakannya. Semuanya merupakan cerminan. Bagi saya, yang terpenting adalah membangun organisasi yang dapat menarik dan mempertahankan orang-orang yang tepat. Produk memang penting, tapi fungsi tersebut datang dari orang yang membangunnya, sama halnya dengan penjualan dan layanan pelanggan.

Saya menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan organisasi, orang-orang di dalamnya, budaya yang kita jalani, cara kita membuat keputusan. Setelah semua hal sudah dilakukan dengan benar, segala sesuatu yang lain, bahkan jika saya tidak mengontrol pengambilan keputusan, akan berjalan dengan baik.

Budaya adalah apa yang bisa menarik dan mempertahankan pekerja dalam jangka panjang. Bukan semata-mata tentang tenis meja dan makanan, dimana kami menyediakan hal itu. Hal yang lebih penting terkait pengambilan keputusan, tim yang Anda bangun, bagaimana caranya menyingkirkan politik dalam organisasi, proses rekrutmen, pemberian kompensasi, dan sebagainya. Budaya dibangun atas jawaban dari pertanyaan-pertanyaan besar ini.

Sementara pekerja menjadi aset yang paling berharga di Xendit, apakah Anda punya pendekatan khusus dalam proses rekrutmen perusahaan?

Anda familiar dengan istilah underdog yang mau bekerja keras? Banyak dari kita tidak datang dari “sesuatu”, tetapi kita memiliki sesuatu untuk dibuktikan kepada dunia dan kami senang bekerja keras. Kami sangat peduli dengan budaya dan bagaimana kami membangun dan memelihara organisasi.

Jika harus memecahnya menjadi beberapa bagian, yang pertama adalah kecocokan budaya. Di dalamnya termasuk pekerja keras, ramah, membantu, tanpa politik, atau hal-hal berbau underdog. Selanjutnya, etos kerja. Kami menyadari fakta bahwa banyak orang yang masih belum paham betul tentang pembayaran. Di Xendit, kami menyediakan segalanya untuk dipelajari. Selain itu, kami juga menerapkan “Trial Day” sebagai bagian dari proses rekrutmen. Hal ini mungkin tidak ada di sebagian besar perusahaan. Ada satu hari dimana kami meminta Anda untuk bekerja bersama menyelesaikan isu yang nyata. Alih-alih diwawancarai, kandidat punya kesempatan untuk mewawancarai tim  Xendit. Dengan begitu, mereka akan tahu bagaimana rasanya bekerja di Xendit.

Tim awal Xendit / Xendit

Tantangan seperti apa yang Anda hadapi dalam perjalanan bisnis selama ini?

Ada banyak sekali tantangan, salah satu yang tersulit adalah rekrutmen ketika perusahaan masih kecil. Jauh sebelum menjadi perusahaan besar dengan bisnis bereputasi tinggi, tidak ada yang tahu siapa Anda. Kami mengembangkan model dimana kami mempekerjakan sekelompok teman. Sepuluh karyawan pertama kami sebenarnya adalah beberapa regu yang diberi kantor untuk mengembangkan produk. Dalam perhitungan saya, mungkin satu atau dua akan tinggal, kenyataannya, seluruh tim berjumlah 12 orang mau bergabung. Selama beberapa tahun pertama, teknisi awal kami adalah teman sepermainan. Kami mwmiliki tujuan yang kuat untuk mempekerjakan sekumpulan lingkaran pertemanan di mana saja, itu menjadi awal pembentukan tim kami di beberapa negara.

Xendit mengembangkan infrastruktur pembayaran dan telah hadir di Indonesia dan Filipina. Seperti apa Anda melihat potensi pasar serta peluang ekspansi ke depannya?

Jika kita melihat sisi pembayaran atau pembayaran merchant, masih terlalu dini. Persentase pembayaran digital Indonesia masih kurang dari 10% dari total PDB dibandingkan China atau AS yang mendekati 10-15%. Saya rasa kita masih memiliki peluang besar, masih ada ruang untuk pertumbuhan besar yang tersisa di setiap sudut.

Saya melihatnya seperti ini, peluang di depan kita lebih besar daripada peluang yang ada selama ini. Tempat ini sangat menarik dan kami berada dalam posisi yang sangat baik untuk menjadi pemain pertama atau kedua teratas di Asia Tenggara.

Saya menemukan sebuah laman berisi tulisan-tulisan Anda. Apakah itu sekadar hobi atau anda memiliki kegiatan lain untuk mengisi waktu luang?

Sesungguhnya, saya menyimpan itu sebagai catatan untuk diri saya sendiri. Sebagian besar yang saya tulis adalah hal-hal yang saat itu saya yakini dan saya ingin melihat apakah hal itu terbukti beberapa tahun kemudian. Hal ini juga untuk mengukur diri dan melihat apakah saya membuat keputusan yang tepat. Alasan lainnya adalah, kebanyakan orang cenderung menanyakan pertanyaan yang sama kepada saya dan jawabannya selalu sama. Saya pikir, jika ditulis, orang bisa membaca dengan mudah dan pengetahuan itu bisa menyebar lebih cepat.

Di Xendit, kami sering berkumpul, mengadakan wisata, dan bepergian bersama. Kami sangat menikmati kebersamaan satu sama lain bahkan di luar tempat kerja. Itu juga cara kami membangun koneksi.

Ada sebuah fenomena di industri teknologi, dimana para founders mulai mengambil peran sebagai investor dalam pasar. Bagaimana pandangan Anda akan hal ini? Sebagai founder, apakah itu sebuah kewajiban atau memang naluri untuk berinvestasi?

Menurut saya, kewajibannya tidak harus dengan berinvestasi, tetapi kewajibannya adalah membantu. Sepertinya ukan hanya founders, mereka memang lebih disorot oleh meedia. Setiap karyawan di sebuah perusahaan startup, juga mereka yang telah membangun bisnis memiliki kewajiban atau setidaknya keinginan untuk meneruskannya. Adalah hal yang menyenangkan bisa membantu pengusaha baru yang mencoba mencari cara untuk mengumpulkan uang, mengurus hierarki perusahaan, atau menemukan product-market fit.

Satu hal yang saya amati ketika saya tinggal di AS adalah, Silicon Valley, salah satu hal terbaik yang pernah ada, adalah kebebasan informasi yang berkualitas tinggi di antara masyarakatnya. Sedangkan di Asia, ketika seseorang memiliki ide bagus, secara tradisional, ia akan menyimpannya sendiri didasari rasa takut akan idenya ditiru atau dicuri. Rasa keharusan untuk memiliki tinggi. Saya ingin budaya itu berubah menjadi budaya yang bisa lebih berbagi alih-alih menyimpan ide untuk diri sendiri.

Kewajiban pendiri adalah membantu pendiri lainnya. Investasi datang sebagai produk sampingan, saya mencoba melakukan investasi sesedikit mungkin karena saya mencintai pekerjaan normal saya. Saya pikir Berinvestasi bisa agak mengganggu. Saya sering melakukannya untuk Xendit atau atas nama Xendit. Ini pendekatan yang sangat berbeda dari pendiri lainnya.

Sebagai startup pertama dari Indonesia yang lulus program YCombinator, bagaimana Anda melihat peran akselerator bagi startup tahap awal?

Kami adalah perusahaan Indonesia pertama di YCombinator dan saya bangga akan hal itu. YC sangat membantu untuk perusahaan tahap awal. Saya tidak tahu semua akselerator, jadi saya tidak bisa berbicara atas setiap akselerator. Satu hal yang bisa saya sampaikan, YC adalah akselerator yang sangat efektif. Seperti halnya mengurus hal-hal yang berurusan dengan tekanan bergaul bersama perusahaan terbaik di dunia. Selain itu, YC memberikan saran-saran apik, karena dijalankan oleh orang-orang yang sudah terbukti dalam membangun bisnis sebelumnya. Lalu, YC telah membangun jaringan terbaik; perusahaan ternama akan menarik investor ternama dan sebaliknya.

Xendit menjadi startup Indonesia pertama di program YCombinator

Dalam hal akselerator, saya pikir yang paling penting adalah pengusaha harus bertanya pada diri sendiri, ‘apa yang benar-benar saya butuhkan?’ dan ‘apakah program ini menyediakannya?’ Tidak semua akselerator bisa piawai untuk memberi saran dan mampu memberi Anda investor bernilai miliaran dolar. Semua itu tergantung pada kebutuhan pendiri dan kualitas akselerator.

Sebagai pebisnis berpengalaman, apa yang bisa Anda bagikan tentang perjuangan dan pertarungan di arena bisnis untuk para tech enthusiasts di luar sana?

Ada tiga hal yang bisa saya sampaikan. Pertama, temukan product-market fit. Sebagian besar pengusaha sudah memikirkan produk dan berharap mereka bisa menjualnya. Namun, dalam perjalanan untuk mendapatkan kesesuaian pasar produk, lebih sering Anda jatuh cinta dengan masalah pelanggan dan Anda merasakan dorongan untuk menyelesaikannya. Itu salah satu cara terbaik untuk menemukan kecocokan pasar produk.

Selanjutnya, sepuluh orang pertama di perusahaan akan menentukan budaya untuk ribuan orang berikutnya. Saya melihat hal-hal yang terjadi sekarang di Xendit, yang tidak dapat saya kendalikan lagi. Karena kami tidak mengontrol apa yang dilakukan seseorang dalam tim kecil sekarang karena kami ratusan orang besar. Budaya menyebar dan mereplikasi dirinya sendiri. Namun, sepertinya tidak cukup banyak orang yang sadar tentang hal itu sejak dini.

Yang ketiga, dalam hal perjuangan dan pertarungan, carilah mentor Anda. Dalam kasus saya, saya memiliki mentor untuk masing-masing kategori, 2 tahun ke depan, 5 tahun ke depan, dan 10 tahun ke depan. Menurut saya ini sangat membantu dalam perjalanan bisnis. Mentor 2 tahun dapat memberi saya gambaran tentang apa yang harus saya lakukan besok, mentor sepuluh tahun dapat mempertanyakan hal-hal seperti “Pastikan Anda membuat keputusan besar yang tepat!”, “Di industri mana Anda ingin membangun startup?” . Kemudian, mentor lima tahun ke depan dapat memberi Anda celah di antara keduanya dalam hal rencana untuk lima tahun ke depan dan seterusnya. Saya selalu berusaha sebaik mungkin untuk mempertahankan tiga kategori mentor ini.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Despite Xendit’s Unicorn Status, Moses Lo Still Concentrates on Building Organizational Fundamentals

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

It is undebatable that working culture has a powerful influence on people when it comes to a decision to take a new job at one company. This is also what Moses Lo, Xendit’s Founder and CEO, grasped as he was working for a company or starting a new one. At Xendit, he always makes sure that the organizational fundamentals are met. He focused on building the internals in order for the company to better serve the externals as customers.

It was all about passion for Lo when he started this business, to create something that can drive the market for over 20 years. He built a gateway for payment to simplify and secure business transactions. With this idea, Xendit has become the first Indonesian startup to be accepted into the Y Combinator program.

Lo has already been exposed to technology at a young age. Growing up, he became interested in finance and banking stuff, along with the tech background, which led him to fintech. He graduated as an honor student of commerce, information system management, and finance at the University of New South Wales. Continuing his business saga, he attended Berkeley for a master’s degree in business. He had his experience working with two of the best companies, teaching him all that matters to enter the tech industry.

27-year-old Lo started Xendit in 2015, the company has grown multiples since then and is listed as an Indonesian unicorn this year. Today, Xendit’s infrastructure has been widely used by companies in Indonesia, the Philippines, and Southeast Asia.

Here’s an excerpt of our discussion with Moses Lo, Xendit’s front person, about his vision and achievements in the tech industry.

When did you start pursuing a career in the tech industry?

I have wanted to be in the tech industry since I was 13 or 14 years old. It involves a lot of playing computer games and building computers. So, I always wanted to do something about technology. Growing up, I got really interested in finance and banking stuff, then, I studied Information Systems in the University, which led me to fintech today. Afterward, I worked with Boston Consulting Group (BCG) and Amazon for a while before deciding to start my own company.

What was it like, your life before Xendit?

I come from a family of entrepreneurs. The reason I went to BCG was that they were really good at teaching you similar skills in business. They taught me how to think, how to present information well, how to speak to senior people, those who were older, and much more important than me. Those are really useful kits.

Then, I went to Amazon for a short period of time. Amazon, compared to the other companies, competed really hard for every inch of territory that they got. They won e-commerce in the US, they’re winning cloud services everywhere. They’re really good at this competitive space and I wanted to learn in a company that is very good at competing. In the meantime, I also learn how to build a scalable startup culture and how to build a very efficient cohesive team in executing business.

Xendit happens to be your first venture capital-backed company. Actually, what was the idea behind Xendit’s creation?

When we were starting Xendit, I noticed some things that happened in other countries. There is this small window of history where the companies that are built will define technology and business for the next 15 to 20 years. They set the rules for how technology works. Therefore, I wanted to come home and build infrastructure and set rules in a way that would be good for Indonesia and Southeast Asia for the next 20 years.

This is really exciting. I think of it like we’re building paved roads that once were dirt roads. We’re laying down infrastructure, therefore others can build businesses on top.

You’ve spent most of your life not in Indonesia. Aside from its great potential, what drives you to build a business in this country? How can you ensure to conquer this market?

I am, myself, half Indonesian. Although I didn’t spend most of my childhood here, I spent most of my adulthood in this country. It is more like my passion to build something in Indonesia, it just makes sense. Along the journey, I also found some good friends I really wanted to build with. I didn’t think we were gonna conquer. I didn’t think we knew we were gonna win. It was just something we were so passionate about. It started out with passion above anything else.

This year, Xendit has achieved unicorn status. Have you ever thought about Xendit being a unicorn before?

I think “unicorn” or valuation is a lagging indicator of value that we can provide the world, so I never thought of us becoming a unicorn.

I thought about whether we can make something that scales to have a positive impact for millions and millions of people over the next 10 to 20 years. And if we can make it, valuation will certainly follow.

I never really cared about unicorn status, and the thought remains. What I really care about is, are we able to provide value to customers, because that’s what matters most. If we stay on that true path, everything else will follow. I do think about valuation, but not as a mark for some milestones or something to chase. It is just part of the business. I spend most of my time thinking about products, customers, and Xendit people.

What do you think is the most essential value a company should have in order to reach sustainability in this tech industry?

It’s really simple, everything (tech, product, sales) comes down to people. It’s all a reflection of our people. For me, the most important thing is to build an organization that can attract and retain the right people. Product is important, yes, but it is a function of the people who build it, it also applies to sales and customer service.

I spent a lot of my time thinking about the organization itself, the people in it, the culture we breathe, the way we make decisions. Once we get that right, everything else, even if I didn’t control the decision-making down the line, will work out.

Culture is what attracts and retains people in the long run. It’s not only about table tennis and food, which we have. It’s mainly about decision making, the sailors you build, how you get rid of politics in organization, the recruitment process, the compensation settlement and so on. Culture was built upon the answers of all these kinds of big questions.

Since Xendit’s most valuable asset is its people, do you have a certain approach while recruiting people?

Do you know underdogs that were willing to work hard? A lot of us do not come from the best “something”, but we have something to prove to the world and we’re happy to work hard. We really care about the culture and how we build and maintain the organization.

If I have to break it down into parts, the first one is culture fit. It includes hardworking, friendly, helpful, no politics, or the underdog’s stuff. Furthermore, the work ethic. We are aware of the fact that a lot of people don’t know anything about the payment. In Xendit, we have everything for you to learn. Also, we have what we call Trial Day as part of our recruitment process. I think this one is not applied in most companies. We’ll have you work with us for a whole day, with real problems. Instead of being interviewed, they will have the opportunity to interview Xendit people. This way they will know how it feels to work at Xendit.

Xendit’s early team / Xendit

What kind of challenges do you encounter along the journey?

Lots of challenges, one of the hardest ones is recruiting when you’re small. It’s long before you’re a big company with a highly reputable business. No one knows who you are. We developed a model where we hired a group of friends. Our first ten hires were actually a group of friends that were given an office for engineering. In my calculation, maybe one or two will stay, but instead, all 12 people joined. For the first few years, all our engineers were basically two groups of friends. We’re very purposeful for hiring pockets of friends wherever we can, that is also the very beginning of our team in some countries.

Xendit has been providing payment infrastructure and already exists in Indonesia and the Philippines. How do you see the market potential and possibility to expand?

When we look at payment or the merchant payments side, we’re still quite premature. The Indonesian digital payment percentage is still less than 10% of the total GDP compared to China or the US, which is closer to 10-15%. I think we have multiple orders of magnitude, there’s still massive growth left in every corner.

The way I look at it, the opportunity in front of us is bigger than the opportunity that we’ve seen so far. This is a pretty exciting place to be and we’re in a very good position to be the top one or two players in Southeast Asia.

I found a website containing some of your writings. Should I assume you like to write in your free time or do you have other kinds of hobbies?

The reason I did those is, I kept it more as a note for myself. Mostly, I write things that I believe at that time and I wanna see if that’s still true a few years later. It’s to measure myself and see if I make the right decision. Another reason is, a lot of people tend to ask me the same questions and I noticed that I’m answering the same question over and over again. I figured, if I just put it out there, people can simply read and that knowledge can spread faster.

At Xendit, we hung out a lot together, we did travel, trips, and everywhere. We really enjoy each other’s company even outside the workplace. That’s also how we build connections.

There’s a phenomenon in the tech industry where Founders are starting to enter the market as an investor. What do you think of this? Do you think as a Founder, you are also obliged or just naturally grow interested in investing?

I think the obligation is not necessarily to invest, but the obligation is to help. I don’t think it’s just the founders, they may have a lot of press and the credit. I think any early employee at a company, those who’ve built businesses have an obligation or at least a desire to pay it forward. Something I really love doing is helping new entrepreneurs trying to figure out how to raise money, deal stuff with the boards, or find product-market fit.

One thing I observed when I lived in the U.S. was, Silicon Valley, one of the best things has, is the freedom of high-quality information between people. Whereas in Asia, when we have a good idea, traditionally, we want to keep it to ourselves because we’re scared someone will copy us and take it away. We try to own things. I want that culture to change into a more sharing culture instead of keeping ideas for yourself.

The obligation is for founders to help other founders. Investing comes as a byproduct, I try to do as little investment as possible because I love my normal job. I think Investing can be somewhat distracting. I do it a lot for Xendit or on behalf of Xendit. It’s quite a different approach from other founders.

As one of the first Indonesian startup graduates in YCombinator, what do you think is the important role of accelerator programs to early-stage startups?

We’re the first Indonesian company in YCombinator, so I’m proud of that. YC is extremely helpful for early-stage companies. I don’t know every accelerator so I cannot say for every accelerator. But I can say that YC is an extremely effective accelerator. To begin with, in terms of dealing with the pressure cooker of hanging out with the best company on earth. Also, YC gives some of the best advice, as it is run by people who actually built a business before. Another thing is YC has built the best network effect; the best companies attract the best investors and vice versa.

Xendit is the first Indonesian company in YCombinator

In terms of accelerators, I think all entrepreneurs have to ask themselves, ‘what do I really need?’ and ‘does it provide that to me?’ Not all accelerators can be really good at pressure cookers and capable of bringing you the billion-dollar investors. It all depends on the founder’s need and the accelerator’s quality.

As an experienced entrepreneur, what can you share about the struggle and survival story for those tech enthusiasts out there wanting to build their own legacy?

I have three things to say. First, find product-market fit. Most entrepreneurs already have a product in mind and hope that they can sell it. However, on the way to get product-market fit, more often you fall in love with the customer problem and you feel the urge to solve it. That’s one of the best ways to find product-market fit.

Next, your first ten people will define the culture for the next thousands. I see things that happened now at Xendit, which I have no control over anymore. As we don’t control what someone does in a small team now that we’re hundreds of people big. The culture propagates and replicates itself. Hence, I don’t think people are conscious enough about that early on.

The third, in terms of struggle and survival, is to find yourself the mentors. In my case, I have a mentor for each category, 2 years ahead, 5 years ahead, and 10 years ahead. I think that’s really helpful in my journey. The 2-year mentor can give me a sense of what I need to do tomorrow, the ten-year mentor can say “Make sure you make the right big decision!”, “Which industries do you want to build the startup in?”. Then, the five-year-ahead mentor can give you a little in between of both in terms of my plan for the next five years and so on. I always try my best to maintain these three buckets of mentors.