Sebastian Wijaya Mendukung Startup “Next Generation” Melalui Win Ventures

Meluncurkan startup sejak tahun 2013 lalu dengan nama Seroyamart, serial entrepreneur Sebastian Wijaya, kini disibukkan dengan mengelola venture capital Win Ventures.

Kepada DailySocial, Sebastian bercerita harapannya untuk membantu next generation startup founder mengembangkan startup mereka. Win Ventures juga berupaya membantu startup daerah mendapatkan exposure dan peluang yang lebih luas.

Berbagi pengalaman

Startup yang fokus kepada online groceries Seroyamart / Seroyamart
Startup yang fokus kepada online groceries Seroyamart / Seroyamart

Setelah 10 tahun bekerja di raksasa FMCG P&G dan mendapatkan pengalaman bekerja di beberapa negara, di tahun 2013 Sebastian memutuskan kembali ke tanah air. Melihat makin agresifnya Lazada saat itu mengembangkan layanan mereka di Indonesia, Sebastian tertarik mendirikan layanan serupa, namun fokus ke produk groceries. Bernama Seroyamart, Sebastian memberikan pilihan baru cara berbelanja kebutuhan pokok bagi konsumen tanah air.

Jatuh bangun mengembangkan Seroyamart diklaim menjadi highlight startup journey buat Sebastian. Pengalaman ini menjadi pemicu bagi Sebastian  memberikan kontribusi lebih banyak bagi startup Indonesia.

“Pengalaman sebagai pendiri startup is a natural progression menurut saya untuk kemudian mendirikan venture capital. Diawali dengan membangun startup kemudian you reach a point di mana gabungan dari rasa lelah dan kemungkinan untuk melakukan lebih banyak lagi untuk membantu next generation startup,” kata Sebastian.

Di tahun 2017, Sebastian membantu Kemenristek sebagai mentor bagi startup terpilih. Dari sana ia melihat besarnya potensi startup dari berbagai pelosok daerah. Tidak hanya layanan e-commerce, ia melihat masih banyak vertikal bisnis lain yang menarik dijajaki oleh para pendiri startup.

Di sisi lain, Sebastian melihat dominasi lulusan universitas luar negeri yang mendirikan startup. Hal tersebut tidak menjadi masalah besar, namun ia ingin membuktikan bahwa banyak entrepreneur lokal yang tidak kalah dengan lulusan luar negeri.

“Di Indonesia masih banyak yang bisa dikembangkan. Bukan hanya layanan e-commerce yang banyak ditiru dari Amerika Serikat, namun juga industri pangan, defense industry, agriculture, kerajinan, kuliner dan masih banyak lagi,” kata Sebastian.

Membantu “next generation”

Venture capital yang didirikan akhir tahun 2019 Win Ventures / Win Ventures
Venture capital yang didirikan akhir tahun 2019 Win Ventures / Win Ventures

Diluncurkan akhir tahun 2019 lalu, Win Ventures ingin fokus ke startup yang bisa memberikan layanan bagi UMKM enablement dan economic inclusion.

“Saat berinvestasi kita melihat pendiri startup dan model bisnis yang masuk akal. Platform yang bisa leverage UMKM enable them to do business, adopt technology menjadi fokus kami dan lebih ke niche. Kita tidak suka startup yang sangat general,” kata Sebastian.

Saat ini Win Ventures telah memliki 6-7 portofolio. Tidak hanya startup asal Indonesia, tetapi juga yang beroperasi di Singapura dan Malaysia. Beberapa portofolio Win Ventures adalah Localio, travelcash, dan Kokikit.

Bagi Win Ventures, model bisnis dan misi yang ingin diwujudkan Kokikit, membantu semua orang memliki bisnis kuliner tanpa perlu memiliki infrastruktur berbiaya besar, menjadi premis yang menarik. Kolaborasi dijalin dengan selebritas Indonesia dalam bentuk berbagai kemitraan. Kokikit memiliki cita-cita memperkenalkan kuliner Indonesia ke mancanegara.

“Saya melihat Kokikit lebih dari sekadar meal kit. Misi mereka ingin membuat platform untuk semua bisa memiliki bisnis kuliner, tapi tidak punya infrastruktur. Fokus utama mereka selanjutnya adalah hanya kepada pemasaran saja dengan brand milik mereka sendiri. Kokikit didesain untuk memungkinkan semua proses tersebut,” kata Sebastian.

Secara khusus Win Ventures fokus ke early stage startup. Meskipun memiliki tingkat risiko yang lebih besar, ada potensi return yang tinggi jika dijalankan dengan benar.

Untuk saat ini, Win Ventures belum memiliki LP. Menurut Sebastian, semua investasi yang diberikan berasal dari dana pendirinya. Diharapkan dalam beberapa waktu ke depan ada portofolio mereka yang bisa exit, agar dana tersebut bisa diinvestasikan kembali ke startup binaan Win Ventures lainnya.

“Hal pertama yang kita lakukan adalah menambah portofolio. Fokus kita, mereka yang telah mendapatkan investasi bisa melangkah ke tahapan pendanaan lanjutan. Kita juga terus melakukan fundraising dan rencananya bisa merampungkan Fund I tahun depan,” tutup Sebastian.

Centauri Fund Terima Tambahan Dana 123 Miliar Rupiah dari K-Growth

Dana kelolaan Telkom dan KB Financial Group “Centauri Fund” baru saja menerima suntikan dana dari sovereign wealth fund (badan pengelola dana investasi milik negara) asal Korea Selatan “K-Growth” sebesar KRW10 miliar atau setara 123 miliar Rupiah. K-Growth sendiri merupakan perusahaan investasi multi manajer (fund-of-funds) yang berfokus pada modal ventura dan ekuitas swasta

Sebagai bagian dari MDI Ventures, Centauri menargetkan vertikal bisnis yang tidak jauh berbeda. Namun nilai uniknya fund tersebut akan fokus ke pendanaan pra-seri A dan seri B. Sedangkan MDI Ventures fokus di seri B ke atas. Fund tersebut diluncurkan pada bulan Desember 2019, dengan target penggalangan hingga 150 juta dolar.

Kemitraan antara K-Growth dan Centauri Fund merupakan satu lagi tonggak pencapaian. Meski pandemi, kepercayaan dalam berinvestasi di bidang teknologi dan minat atas kolaborasi lintas batas tetap terbilang tinggi. Dengan kehadiran yang aktif baik di Indonesia maupun di Korea Selatan, Centauri Fund menduduki posisi yang tepat untuk memanfaatkan dan menyerbuki silang ekosistem teknologi di kedua negara.

Kenneth Li, yang merupakan mitra pengelola dari MDI Singapura menambahkan, “Dengan bergabungnya K-Growth, MDI berharap Centauri Fund dapat membantu kami mencari berbagai inovasi yang akan dibawa ke Indonesia, yang nantinya dijembatani oleh MDI untuk mendukung inisiatif Telkom dan BUMN.”

Portfolio Centauri Fund

Sejak diluncurkan, Centauri Fund telah melakukan empat investasi terkemuka di kawasan Asia Tenggara. Pada bulan April 2020, pendanaan tersebut memimpin putaran pembiayaan seri A untuk platform insurtech Qoala, yang ditutup pada angka $13,5 juta. Kemudian, bersama Wavemaker Partners, sebuah perusahaan modal ventura lainnya, Centauri Fund juga melakukan dukungan kepada WEBUY, startup social commerce yang berbasis di Singapura di bulan Oktober 2020.

Kesepakatan terbaru dari Centauri Fund meliputi investasi tahap awal pada startup logistik lokal Paxel pada bulan April 2021. Centauri Fund juga berpartisipasi dalam putaran pendanaan seri C pada perusahaan fintech agregator Cermati, kesepakatan ini dipimpin oleh MDI Ventures.

Di bulan Januari, pendanaan ini juga mendukung RUN System, sebuah platform SaaS penyedia solusi ERP yang berbasis di Yogyakarta. Saat ini, RUN System berencana untuk mengembangkan bisnisnya dan mencari dana melalui penawaran umum perdana (IPO) di Papan Akselerasi.

Mitra Centauri Fund Steven Hong mengungkapkan, “Pendanaan kami bertindak sebagai alat kerja di ekosistem yang lebih besar. Manajer-manajer yang ada di Centauri dapat berinvestasi mulai dari tahap awal dan terus berpartisipasi di tahapan-tahapan selanjutnya, saat perusahaan mencapai tahap pertumbuhan dan seterusnya,”

Ia turut menambahkan bahwa dengan dukungan dua konglomerat terkemuka, pendanaan ini memberikan nilai strategis bagi para startup dengan cara menghubungkan mereka pada Telkom Group dan KB Financial Group untuk skala bisnis dan kemitraan yang besar. Hal ini disebut sebagai bagian dari inisiatif perusahaan menciptakan nilai untuk portfolio juga laba investasi yang nyata bagi para investor.

Kerja sama Indonesia-Korea Selatan

Kiprah investor asal Korea Selatan terhadap perkembangan industri startup tanah air tentu tidak bisa dipandang sebelah mata. Beberapa dari mereka masuk melalui kerja sama dengan beberapa dana kelolaan hingga memimpin putaran pendanaan. Menurut data Statista, Korea Selatan memiliki sekitar 1,8 juta perusahaan rintisan. Selain itu, kurang lebih negara tersebut juga turut didukung oleh 165 modal ventura.

Jumlah perusahaan rintisan di Korea Selatan berdasarkan umur bisnis. Sumber: Statista

Dilansir dari Tirto, Pemerintah Korea Selatan memberikan suntikan dana per kapita tertinggi di dunia. Pemerintah menyiapkan anggaran hingga 12 triliun won atau $9 miliar untuk mendanai para perusahaan rintisan tahun ini. Pemerintah juga menargetkan tambahan 10 startup berstatus unicorn baru pada 2022 mendatang.

Head Of Investor Relations and Capital Raising MDI Ventures Sarah Usman menambahkan, “Dengan pengalaman dan keahlian tim kami yang luas di lingkup industri startup Korea, komitmen terbaru K-Growth pada Centauri Fund menunjukkan satu lagi langkah kami menuju terbangunnya kemitraan bilateral antara Korea Selatan dan Indonesia.”

Investor asal Korea Selatan lainnya yang aktif berinvestasi di Asia Tenggara yakni Yanolja, Woowa Brothers, dan GEC-KIP Fund besutan Korea Investment Partners (KIP) dan Golden Equator Ventures (GEV). Mirae Asset-Naver juga belum lama ini berpartisipasi dalam pendanaan seri D marketplace online grocery HappyFresh.

500 Southeast Asia Tetap akan Berikan Perhatian Lebih untuk Startup di Indonesia

Setelah selama 7 tahun dikenal dengan nama “500 Durians“. 500 Startups secara resmi melakukan rebranding dana kelolaan mereka untuk startup di Asia Tenggara menjadi “500 Southeast Asia”. Langkah strategis ini sengaja dilakukan setelah melihat makin matangnya ekosistem startup di kawasan tersebut.

Sebanyak 250 investasi tahap awal telah diberikan melalui 500 Durians. Bahkan beberapa di antaranya telah memiliki valuasi di atas $1 miliar dan telah mengumumkan rencana IPO. Di antaranya adalah Bukalapak (sudah IPO), Grab, Carsome, Kredivo, Carousell Group, and Prenetics.

 

Ada pula startup lainnya yang saat ini telah bernilai lebih dari $100 juta dan berkembang pesat. Di antaranya adalah Bibit, Gilmour Space Technologies, RedDoorz, BukuKas, Alodokter, Aerodyne, HappyFresh, mClinica, Vokal, eFishery, dan lainnya. Secara kolektif, para pendiri di jaringan tersebut telah mengumpulkan lebih dari $20 miliar.

“Ekosistem startup dan pemodal ventura di Asia Tenggara jelas telah berkembang jauh sejak kami memulai 500 Durians. Rebranding adalah pengakuan atas makin dewasanya kawasan dan komitmen kami yang berkelanjutan untuk terus berinvestasi dan mendukung entrepreneur di sini untuk jangka panjang,” kata Managing Partner 500 Southeast Asia Vishal Harnal kepada DailySocial.

Disinggung seperti apa rencana 500 Southeast Asia untuk pasar Indonesia ke depannya, Vishal menyebutkan Indonesia tetap menjadi fokus utama bagi 500 Southeast Asia.

“Kami memiliki sejumlah besar investasi di Indonesia dan akan terus berinvestasi dan mendukung para pendiri Indonesia. Salah satu investasi awal kami, Bukalapak, baru saja IPO di Bursa Efek Indonesia. Kami percaya bahwa ini baru permulaan untuk entrepreneur di Indonesia,” kata Vishal.

Dana 500 Durians pertama kali diluncurkan pada tahun 2013 dengan ketersediaan mencapai $10 juta yang kemudian meningkat hingga lebih dari $20 juta.

Hipotesis investasi

Saat ini telah banyak kategori startup yang mengalami pertumbuhan secara positif. Didorong oleh pandemi yang telah mengakselerasi digital lebih cepat lagi, 500 Southeast Asia melihat, ada beberapa vertikal bisnis yang akan semakin berkembang ke depannya.

Dalam situs resminya disebutkan, ekonomi digital sangat bergantung pada infrastruktur keuangan untuk menghubungkan semua. 500 Southeast Asia percaya teknologi keuangan dan embedded finance dapat mengantarkan era baru inklusi dan pengembalian keuangan. Mulai dari mengurangi volatilitas pendapatan, akses ke kredit, hingga asuransi yang penting.

Sementara layanan e-commerce dalam dekade terakhir telah berkembang menjadi “all-commerce”, konsumen menuntut untuk membeli apa saja, di mana saja (baik online atau offline), dan telah mengirimkan ke depan pintu mereka kapan saja mereka pilih.

Terkait dengan healthcare, 500 Southeast Asia melihat, sektor ini sering diabaikan dan kurang diinvestasikan. Pandemi telah membuktikan pentingnya menjaga diri sendiri. Dalam hal ini bagi 500 Southeast Asia, healthcare bukan hanya untuk tubuh saja, namun juga untuk pikiran dan jiwa.

“Kami mengambil pendekatan berbasis tesis dan tematik terhadap investasi. Saat ekosistem sudah matang, begitu juga peluang investasi dan masa depan. Saat ini, tema luas yang kami fokuskan adalah fintech untuk semua dan embedded finance, healthcare (dengan fokus pada perawatan diri), sustainable cities, digitalisasi pedesaan, ekosistem all-commerce, serta produktivitas manusia dan mesin,” tutup Vishal.

Mengharapkan “Unicorn” dari Startup Budidaya Indonesia

Sempat dipandang sebelah mata, sektor pertanian dalam ekosistem startup digital kini mulai tunjukkan potensi luar biasa. Bahkan saat pandemi, beberapa layanan terkait bisnis budidaya mendapati traksi yang luar biasa.

Menurut laporan bertajuk “Driving the Growth of Agritech Ecosystem in Indonesia” yang disusun DSInnovate bersama Crowde, diungkapkan sejumlah potensi dan tantangan dalam industri pertanian di Indonesia. Pertama dari sisi hulu, yakni sistem produksi oleh petani, per tahun 2018 tercatat ada sekitar 33,4 juta petani di seluruh Indonesia. Kedua, dari total tersebut 4,5 juta di antaranya telah memiliki akses ke internet.

Temuan ini menjadi menarik, artinya dengan pengembangan infrastruktur pita lebar yang terus dikebut oleh pemerintah dan aksesibilitas ke perangkat akses internet yang semakin terjangkau, dapat menjadi medium yang baik bagi sektor produksi ke sisi hulu untuk terhubung ke pasar. Startup agritech pun dapat berperan penting dalam memberikan edukasi  — beberapa telah melakukan, dengan implikasi dibukanya kanal distribusi produk pertanian yang lebih efisien.

Masih dari laporan yang sama, terungkap beberapa permasalahan mendasar yang dialami oleh industri pertanian tanah air. Meliputi peningkatan produktivitas, akses ke permodalan, regenerasi, dan akses pasar. Soal produktivitas termasuk distribusi pupuk dan langkah preventif yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan potensi lahan didasarkan kondisi cuaca.

Berjalan di arah yang sama

Dimulai dari akar permasalahan tersebut, founder mencoba menghadirkan solusi yang efisien untuk memberikan efisiensi pada proses bisnis pertanian. Dari model bisnis yang sudah ada sejauh ini, kami mencoba memetakan ke dalam peta solusi di bawah ini.

Gambaran proses bisnis hulu ke hilir startup budidaya di Indonesia / DailySocial

Ada alasan yang cukup masuk akan kenapa pada akhirnya para startup memilih untuk melakukan pendekatan dari ujung ke ujung. Yakni menghadirkan efisiensi dari proses keseluruhan – termasuk di sisi variabel biaya, waktu, hingga kualitas produk. Langkah pertama yang harus dilakukan tentu pemilik platform perlu melakukan edukasi dan meyakinkan mereka bahwa dengan demokratisasi teknologi banyak potensi yang bisa didapat. Caranya beraneka ragam, dan yang akan diterima dengan baik adalah pendekatan solutif.

Dalam kesempatan wawancara dengan Co-Founder Tanihub Ivan Arie Sustiawan satu tahun setelah bisnisnya meluncur, ia menjelaskan perannya sebagai perantara jual-beli. Setiap transaksi pembelian akan dibayarkan terlebih dulu oleh Tanihub ke penjual berdasarkan tagihan atas penyerahan produk pangan ke pembeli, dan pembeli akan membayar tagihan ke TaniHub sesuai syarat dan ketentuan pembayaran yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.

Kebanyakan klien yang membeli lewat marketplace Tanihub adalah pemilik usaha yang biasanya membeli bahan pokok dengan jumlah besar. Proses pengadaan kadang membutuhkan waktu panjang untuk pencairan dana kepada petani. Di titik ini para petani bimbang, jika menjual cepat ke tengkulak mereka mendapati harga yang lebih murah; sementara menjual ke bisnis aksesnya sulit dan butuh waktu yang lama. Di situlah Tanihub masuk.

Seiring dengan penerimaan proses bisnis, eskalasi produk pun dilakukan. Dengan kepastian produknya diserap oleh platform, startup menawarkan pendanaan (modal) untuk membantu perluasan produksi, bahkan hingga pengemasan dan logistik (warehouse) untuk menangani proses distribusi.

Sektor perikanan relatif sama

Menyasar segmen pembudidaya yang sudah akrab dengan ponsel pintar dan internet, eFishery menghadirkan solusi pakan ternak otomatis berbasis IoT dengan jaminan lebih terukur dan hemat – berdampak pada nilai ekonomi. Proses edukasi dilakukan dengan cara bersama-sama mendampingi petani ikan untuk meningkatkan produksi mereka.

Penerimaan tersebut disambut baik oleh mereka dengan menambahkan layanan yang lebih menyeluruh, mulai layanan permodalan untuk pengadaan alat (eFisheryFund) hingga kanal distribusi produk (eFisheryFresh) menggandeng berbagai aplikasi online grocery.

Salah satu eFisheryPoint di kawasan pesisir Pantai Jatimalang, Purworejo / DailySocial

Langkah awalnya selalu dimulai dengan proses manual. Untuk memperkuat edukasi, kedua startup tersebut bahkan mendirikan unit di banyak titik untuk menangani proses transaksi dan produksi – seperti diketahui bahwa kalangan petani/pembudidaya termasuk penyumbang statistik unbankable, transaksi langsung menjadi prioritas.

Dukungan investor

Tahun 2021 seperti menjadi berkah tersendiri bagi startup yang bersinggungan dengan para petani/pembudidaya ikan. Pendanaan tahap lanjut diberikan untuk membantu ekspansi bisnis dan produk – beberapa juga untuk memvalidasi dan penetrasi layanan. Bahkan hingga tahun ini sudah ada beberapa startup yang mencapai valuasi ratusan juta dolar dari segmen ini.

Alih-alih terhambat, pandemi justru menjadi ajang pembuktian bagi para startup budidaya. Transaksi moncer tentu menjadi salah satu pertimbangan mengapa investor mau mempercayakan dananya kepada para founder tersebut.

Statistik DailySocial mencatat, sepanjang 3 tahun terakhir pendanaan ke startup budidaya sangat minim secara kuantitas.

Perusahaan Pendanaan Terakhir Tahun Est. Valuasi*
Tanihub Seri B 2021 $218 juta
Aruna Seri A 2021 $103 juta
eFishery Seri B 2021 $88 juta
Sayurbox Seri B 2021 $45 juta
Chilibeli Seri A 2020 $31 juta
Eden Farm Pra-Seri A 2021 tidak diketahui
Segari Pendanaan Awal 2021 tidak diketahui
Dropezy Pendanaan Awal 2021 tidak diketahui
Kedai Sayur Pendanaan Awal 2019 tidak diketahui
Etanee tidak diketahui tidak diketahui tidak diketahui

*berdasarkan data yang diinput ke regulator

Jajaran investor yang mendukung pendanaan pun juga cukup meyakinkan, karena melibatkan pemodal ventura lokal dan global dalam porsi signifikan dalam putaran-putaran pendanaan tertentu.

Investor lokal:

  • MDI Ventures
  • Intudo Ventures
  • AC Ventures
  • East Ventures
  • Northstar
  • BRI Ventures, dan lain-lain.

Investor global:

  • Openspace Ventures
  • Vertex Ventures
  • Prosus Ventures
  • 500 Startups
  • Wavemaker Partners
  • Sequoia Capital, dan lain-lain.

Mungkin sektor budidaya saat ini belum menghasilkan GMV yang signifikan dari transaksi yang ditorehkan. Namun lambat laun, dengan penetrasi layanan yang menyeluruh dan pasar yang semakin teredukasi, tidak mustahil bahwa aplikasi pertanian (khususnya B2C) akan menjadi the new e-commerce untuk pemenuhan kebutuhan bahan pokok. Sebuah hipotesis yang diyakini para investor terhadap vertikal ini.

Head of Southeast Asia Investments Prosus Ventures Sachin Bhanot, saat berinvestasi ke Aruna, mengungkapkan, “Setelah membangun rantai pasokan dan infrastruktur teknologi yang kuat dengan pengetahuan dan keahlian industri yang mendalam, kami percaya Aruna memiliki posisi unik dalam melayani permintaan global yang terus meningkat terhadap produk perikanan berkelanjutan, seraya mendukung mata pencaharian nelayan lokal.”

Dengan kepercayaan investor dan pasar yang semakin baik, bukan tidak mungkin jika beberapa tahun mendatang kita akan menyambut unicorn baru di vertikal agritech dan aquatech.


Gambar Header: Depositphotos.com

MDI and Finch Capital Closes First Round of $40 Million for Arise Fund

Arise Fund, a joint venture capital vehicle for early-stage startups in ASEAN, today announced the first close on its US$40 million debut tech fund. This round is a collection of corporate investors, family offices, and high-net-worth backers committing capital, including Indonesia’s publicly traded ICT heavy-hitter Metrodata Electronics.

The managed fund aims to back 25 ‘real businesses’ that are building interesting tech in SEA, specifically Indonesia. There are at least five portfolios ready to be announced at the end of this year. The deal, which is currently in the finalization stage, revolves around the SaaS, B2B commerce, agritech, and fintech sectors.

Arise Fund’s Partner, Aldi Adrian Hartanto explained that, “Despite the significant influx of high-quality founders over the last decade, a disproportionate allocation of capital makes the situation more challenging for promising entrepreneurs to secure investments during the region’s economic slowdown.”

Launched in 2020, the fund mainly focusing on startups at post-seed and pre-series A stages. Arise offers ticket sizes ranging from US$250,000 to US$3 million per round, along with long-term capital, strategic go-to-market networks, and hands-on company building.

Finch Capital’s Managing Partner, Hans De Back said, “We’ve seen many seed-stage companies struggling to access the right markets, which is reflected by a lack of traction [..] Our role is to solve this problem with immediate go-to-market avenues by collaborating with our network of enterprise partners such as Metrodata and portfolio companies. In this way, we can enable companies to grow much faster and set them up stronger for series A.”

Long term investment

In addition to providing access to strategic go-to-market partners through its corporate LP network, the company also bridges asymmetric information related to validated business models, and empowers long-term capital through affiliated funds, including the Centauri Fund.

Hartanto adds, “Startups backed by Arise should ideally go on to receive investment from Centauri at the series A stage, MDI Ventures at series B and later stages, and finally — in some cases — see a meaningful exit via acquisition with Telkom Group as one of the potential buyers or IPO.”

In the Arise Fund affiliate network, one of the largest venture capitalists in Indonesia with total assets reaching US830+ million, MDI Ventures has 56 portfolios spread across 10 countries and generated 5 exits. On its website, Finch Capital itself has 29 international portfolios to date.

Dana kelolaan MDI Ventures

In order to foster long-term success, Arise’s strategic LPs and teams come with a unique, three-pronged offering to founders based on a proven global thesis and local conviction. The fund proactively looks for world-class -aspiring founders, then together builds companies with them while simultaneously looking for problems the startups can solve within its orbit and network of corporate LPs.

In addition, before receiving capital from Arise, startups will also have an option to enter Telkom’s Indigo Nation incubator, arrive at what they determine to be a repeatable and scalable business model, and then benefit from a broad network of Arise’s corporate LPs and tech ecosystems in Europe, Asia, and Silicon Valley.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

MDI dan Finch Capital Bukukan Putaran Pendanaan Pertama untuk “Arise Fund” Senilai 573 Miliar Rupiah

Kendaraan investasi hasil kolaborasi MDI Ventures dan Finch Capital yang dinamai “Arise Fund” berhasil menutup debut penggalangan dana senilai $40 juta atau setara 573 miliar Rupiah. Putaran ini melibatkan beberapa investor korporat, bisnis keluarga, serta konglomerat high-net-worth di Indonesia, termasuk Metrodata Electronics.

Dana kelolaan ini ditargetkan dapat menjangkau 25 bisnis yang fokus membangun industri teknologi di Asia Tenggara terutama Indonesia. Setidaknya ada lima portfolio yang siap diumumkan di akhir tahun ini. Kesepakatan yang tengah dalam tahap finalisasi tersebut berkisar pada sektor SaaS, B2B commerce, agritech, dan fintech.

Partner Arise Fund Aldi Adrian Hartanto mengungkapkan bahwa terlepas dari kehadiran banyak pendiri berkualitas dalam satu dekade terakhir, tantangan muncul dari alokasi modal yang tidak proporsional. Hal ini membuat para pengusaha kelimpungan untuk mengamankan modal di masa perlambatan ekonomi kawasan seperti saat ini.

Diperkenalkan pada akhir tahun 2020, Arise fokus pada investasi pasca-seed dan pra-seri A dengan ticket size mulai dari $250.000 hingga $3 juta per putaran. Selain itu, perusahaan juga menawarkan modal jangka panjang,  jaringan go-to-market strategis, serta terlibat langsung dengan portofolionya.

Managing Partner Finch Capital, Hans De Back turut mengungkapkan, “Kami telah melihat banyak perusahaan tahap awal berjuang untuk mengakses pasar yang tepat, yang tercermin dari kurangnya daya tarik [..] Peran kami adalah untuk memecahkan masalah ini dengan strategi go-to-market melalui kolaborasi dengan jaringan mitra perusahaan kami seperti Metrodata dan perusahaan portofolio. Dengan cara ini, kami dapat memungkinkan perusahaan untuk tumbuh lebih cepat dan mempersiapkan mereka untuk pendanaan seri A.”

Investasi jangka panjang

Selain menyediakan akses ke mitra go-to-market strategis melalui jaringan LP perusahaannya, perusahaan juga turut menjembatani informasi asimetris terkait model bisnis yang divalidasi, dan memberdayakan modal jangka panjang melalui dana afiliasinya, termasuk Centauri Fund.

Aldi menambahkan, “Startup yang didukung oleh Arise secara ideal akan terus menerima investasi dari Centauri di tahap seri A, MDI Ventures di seri B dan tahap selanjutnya, dan pada akhirnya – dalam beberapa kasus – berpotensi untuk exit melalui akuisisi dengan Telkom Group sebagai salah satu calon pembeli atau IPO.”

Dalam jaringan afiliasi Arise Fund, salah satu modal ventura terbesar di Indonesia dengan total aset mencapai US830+ juta, MDI Ventures telah memiliki 56 portfolio yang tersebar di 10 negara dan menghasilkan 5 exit. Dalam situsnya, Finch Capital sendiri telah memiliki 29 portfolio internasional hingga saat ini.

Dana kelolaan MDI Ventures

Untuk mendorong kesuksesan jangka panjang, LP dan tim strategis Arise memberi penawaran unik untuk para founder. Secara proaktif, perusahaan akan mencari calon pendiri kelas dunia, untuk kemudian bersama-sama membangun perusahaan, sembari tetap melakukan eksplorasi masalah yang dapat menciptakan sinergi dalam lingkaran perusahaan.

Selain itu, startup yang akan menerima investasi dari Arise juga memiliki opsi untuk ikut serta dalam program inkubasi Telkom Indigo Nation. Kesempatan ini diberikan untuk mereka bisa menentukan atau memastikan model bisnis saat ini scalable dan repeatable. Para LP yang terlibat juga berasal dari jaringan dan ekosistem teknologi global di Eropa, Asia dan Silicon Valley.

Bersinergi dengan Striders, Indogen Buka Peluang Portofolionya Jajaki Pasar Jepang

Pemodal ventura yang fokus kepada startup tahap awal Indogen Capital mengumukan perolehan investasi strategis untuk Fund II mereka melalui anak perusahaan Striders Global Investment. Bersamaan dengan investasi tersebut, selanjutnya Striders juga ditunjuk sebagai penasihat Indogen Capital untuk pasar Jepang.

Striders akan membantu Indogen dan perusahaan portofolionya untuk bisa terhubung dengan perusahaan di negeri sakura terkait dengan kegiatan penggalangan dana dan ekspansi pasar.

Di sisi lain, Striders telah menandatangani perjanjian kemitraan dengan Indogen pada bulan Juli 2020, untuk menjajaki peluang dalam ekosistem startup Asia Tenggara. Hingga saat ini beberapa portofolio yang telah diinvestasi meliputi Attention Holdings (esports) dan Travelio (proptech).

Selain Strider, terdapat beberapa investor lainnya yang juga terlibat dalam pendanaan Fund II Indogen Capital yang telah dirampungkan tahun 2020 lalu, hanya saja masih enggan untuk menyebutkan lebih detail. Sementara untuk Fund I Indogen Capital, telah diperoleh sekitar tahun 2017 lalu sebesar $10 juta dengan LP yang terlibat semuanya lokal dan 80% sudah tersalurkan.

“Kami sangat bersemangat tentang apa yang akan terjadi dengan kemitraan ini. DNA kami sejak hari pertama adalah untuk membantu pengusaha tampil lebih unggul di pasar Indonesia. Strider selalu mendukung tesis kami selama bertahun-tahun,” kata VP Indogen Capital Kevin Chandra.

Fokus Investasi Indogen Capital

Dari sisi sumber daya, Indonesia dinilai sangat menggugah dengan semua dinamika gaya hidup dan bisnis di dalamnya. Indogen Capital, sebagai VC dengan pengalaman terkait bisnis keluarga dan jaringan yang kuat, bertujuan untuk menjadi mitra bagi VC asing yang ingin melakukan ekspansi ke pasar Asia Tenggara, khususnya Indonesia

Memanfaatkan Fund II ini, rencana Indogen Capital ke depannya adalah akan tetap fokus untuk berinvestasi pada potential category leader dari berbagai sektor yang memiliki big addressable market. Yaitu dengan terus mereplikasi keberhasilan investasi portofolio yang ada.

Kisah sukses salah satunya adalah Carsome sebagai best practice marketplace jual beli mobil yang berhasil menjadi category leader di marketplace jual beli mobil dan baru saja dinobatkan sebagai  unicorn pertama dari Malaysia. Secara keseluruhan dalam waktu dua tahun ke depan Indogen Capital menargetkan untuk bisa berinvestasi kepada 15-20 startup.

“Covid-19 telah mempercepat adopsi digital dan inovasi. Ini memperkuat keyakinan kami bahwa masa depan ekonomi digital Indonesia masih sangat besar terutama di luar wilayah metro. Saya pribadi percaya bahwa waktunya tidak bisa lebih baik,” kata Managing Partner of Indogen Capital Chandra Firmanto.

Iklim investasi di tahun 2021

Sepanjang paruh pertama 2021 (H1), iklim investasi di Indonesia mendapati tren yang positif. Secara kuantitas dan nominal pendanaan jauh meningkat ketimbang periode yang sama di dua tahun sebelumnya.

Peningkatan pendanaan di paruh pertama 2021 dibandingkan dengan periode dua tahun sebelumnya / DailySocial.id

Menariknya, saat ditinjau dari putaran pendanaan yang didukung, H1 2021 paling banyak adalah tingkat lanjut (seri B atau di atasnya). Mengindikasikan adanya keinginan kuat bagi investor untuk mendukung lebih dalam portofolionya meningkatkan bisnis, kendati tengah berada di masa pandemi.

Pendanaan startup H1 selama tiga tahun terakhir didasarkan serinya / DailySocial.id

[Video] Startup Sukses 101: Tips Memperoleh Pendanaan dari Venture Capital

Beberapa perusahaan startups terkadang kesulitan dalam menjalankan proses pitching ke venture capital saat ingin mengembangkan bisnisnya.

Di video kali ini, DailySocial bersama Kevin Wijaya dari CyberAgent Capital Indonesia mengungkapkan bagaimana cara yang tepat untuk memperoleh pendanaan dari VC.

Untuk video-video seputar startup dan teknologi lainnya, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV.

Golden Gate Ventures’ Report on Startup Ecosystem Trend in the Next 10 Years

Celebrating their 10th Anniversary, Golden Gate Ventures (GGV) launched a report on the startup ecosystem in Southeast Asia. It elaborates essential points about the trend of the startup ecosystem in the last 10 years and its predictions in the next 10 years.

Founded in 2011, GGV has invested in around 60 startups and launched four fund initiatives. The investment thesis focuses on the growing presence of the consumer class in Southeast Asia. In Indonesia, its portfolio includes Alodokter, BukuWarung, Side, Alami, and GoPlay.

Startup ecosystem trend in the past 10 years

In the past decade, startups in the Southeast Asia region have experienced very fast growth. Especially in terms of capital inflows, it is estimated to have increased by 50x from $130 million in 2010 to $6.5 billion in 2020.

In its report, GGV noted more capital coming from the United States. These include Kleiner Perkins, Accel, KKR, Tiger Global and Warburg Pincus. In addition, funding also came from countries such as China and Japan. Not only are these countries leading large-scale funding, but these countries have also invested heavily in large companies in Southeast Asia.

The venture capitalists that later became leaders include Sequoia, Softbank, Tencent, and Alibaba. The business verticals that have received the most funding over the last 10 years are e-commerce, fintech, and entertainment. Meanwhile, GGV also noted that the fastest growing business verticals were food and logistics.

GGV’s report on Southeast Asia’s investment / GGV

An interesting fact discovered by GGV is that the expansion in various stages of funding is getting more mature in line with the growing interest of regional and global investors for SEA. Series A round became the funding stage that experienced the fastest growth. Meanwhile, later stage funding (series C and above) experienced the highest jump (worth 100x) considering that there was no such round in the previous decade. The number of early stage and seed funding rounds has increased by up to 30x.

GGV’s report on Southeast Asia’s investment / GGV

Another interesting point that GGV presented in its report is the increasing presence of Corporate Venture Capital (CVC) in Southeast Asia. There were only a handful of CVCs in 2010, which were usually branches of businesses established in family businesses, telecommunications companies, or super apps. Currently, there are more than 50 CVCs are listed.

In 2020, several CVCs have been involved in around 8.7% of all VC transactions and have led several funding rounds, especially in seed and series A. In Indonesia, several CVCs that are quite active in investing include MDI Ventures and Prasetia Dwidharma .

Indonesia also surpassed Singapore to become the country with the highest startups concentration with the best capital. On average, Indonesian startups have closed relatively larger funding rounds. Singapore recorded the largest VC capital is in 2010 (90%) but their share shrank to 40% in 2020.

Another captivating infornmation by GGV is that Indonesia has become a market demand for around 75% of unicorns in Southeast Asia, and is claimed to be the most successful market for investing in the Southeast Asian region.

Startup ecosystem trend in the next 10 years

In its report, GGV also conveys a number of trends in the startup ecosystem in the next 10 years. Among those is the increasingly widespread presence of social commerce. Its GMV is predicted to exceed $5 billion by 2025 and $25 billion by 2030 as it will continue to increase in e-commerce adoption, mixed with per capita GDP growth over the next decade.

In addition, another sector that is predicted to experience growth is healthtech. In this case, it is a platform that provides access to healthcare for a larger demographic, and improves infrastructure in Southeast Asia, especially after the pandemic.

Another prediction by GGV is the increasing number of IPO activities in Southeast Asia, which is expected to exceed 300 IPOs by 2030, as more local startups seek potential exits in the domestic public market.

Meanwhile, for Indonesia and Malaysia, it is estimated that there will be larger market growth for platforms that target Muslims. Indonesia and Malaysia’s market size will grow about 8x from its current size by 2030, including the Muslim lifestyle/halal economy in various industries such as fashion, food and finance.

Another trend that discussed in the report is that startups targeting media and entertainment will gain a stronger following and funding as the industry begins to shift its focus to digital solutions, including TV/film, live streaming, and esports. Funding in this area is predicted to exceed $700 million by 2030.

The large number of unbanked population in Southeast Asia creates huge opportunities that can trigger the growth of unicorn startups specifically for fintech. Potential services to be disrupted by fintech platforms include digital wallets, Neobanks, BNPL, and other forms of financing.

Mergers and acquisitions (M&A) activities are also predicted to increase in the next 10 years. As companies continue to compete for the top positions in its verticals, there will be more mega-mergers in Southeast Asia.

After Indonesia, which became the most targeted market by venture capitalists in the last 10 years, GGV predicts that within the next 10 years, Vietnam will become the targeted country for investors in Southeast Asia. Vietnam will emerge in 2022 as the premier startup ecosystem in Southeast Asia. This is visible with the increasing number of venture capitalists who then allocate their funds to invest in startups from Vietnam.

Meanwhile, for venture capitalists, it is predicted that within the next 10 years, the Assets Under Management (AUM) will be doubled. AUM has been increasing on a steady track over the last decade and it is estimated that it will exceed $300 billion by 2030.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Gambar Header: Depositphotos.com

Laporan Golden Gate Ventures tentang Tren Ekosistem Startup 10 Tahun ke Depan

Merayakan HUT mereka yang ke-10,  Golden Gate Ventures (GGV) meluncurkan laporan tentang ekosistem startup di Asia Tenggara. Di dalamnya memaparkan poin penting tentang tren ekosistem startup dalam waktu 10 tahun terakhir dan prediksi mereka dalam waktu 10 tahun ke depan.

Didirikan tahun 2011 lalu, saat ini GGV telah berinvestasi ke sekitar 60 startup dan meluncurkan empat inisiatif fund. Tesis investasi berfokus pada maraknya kehadiran kelas konsumen di Asia Tenggara. Di Indonesia portofolio mereka termasuk Alodokter, BukuWarung, Sampingan, Alami, dan GoPlay.

Tren ekosistem startup 10 tahun terakhir

Dalam satu dekade terakhir, startup di kawasan Asia Tenggara telah mengalami pertumbuhan sangat cepat. Terutama dalam hal masuknya modal, ditaksirkan telah meningkat hingga 50x lipat dari $130 juta pada tahun 2010 menjadi $6,5 miliar pada tahun 2020.

Dalam laporannya, GGV melihat makin banyak kapital yang datang dari Amerika Serikat. Termasuk di dalamnya Kleiner Perkins, Accel, KKR, Tiger Global, dan Warburg Pincus. Tercatat juga pendanaan datang dari negara seperti Tiongkok dan Jepang. Bukan hanya banyak memimpin pendanaan dalam skala yang besar, namun negara-negara tersebut juga telah banyak berinvestasi kepada perusahaan besar di Asia Tenggara.

Adapun pemodal ventura yang kemudian menjadi pemimpin di antaranya adalah Sequoia, Softbank, Tencent, dan Alibaba. Vertikal bisnis yang paling banyak mendapatkan pendanaan selama 10 tahun terakhir adalah e-commerce, fintech, hingga hiburan. Sementara GGV juga mencatat vertikal bisnis yang paling cepat mengalami petumbuhan adalah makanan dan logistik.

Hal menarik yang juga dipaparkan oleh GGV adalah ekspansi di berbagai tahapan pendanaan semakin mature seiring dengan tumbuhnya minat investor regional dan global untuk SEA. Putaran pendanaan seri A menjadi tahapan pendanaan yang mengalami pertumbuhan paling cepat. Sementara itu untuk pendanaan later stage (seri C ke atas) mengalami lompatan paling tinggi (bernilai 100x) mengingat tidak adanya putaran seperti itu dalam waktu satu dekade sebelumnya. Untuk pendanaan early stage dan putaran pendanaan awal telah bertambah jumlahnya hingga 30x.

Laporan GGV tentang investasi di Asia Tenggara / GGV

Poin menarik lainnya yang juga dipaparkan oleh GGV dalam laporannya adalah makin banyaknya kehadiran Corporate Venture Capital (CVC) di Asia Tenggara. Tercatat hanya ada segelintir CVC pada tahun 2010, yang biasanya merupakan cabang usaha yang didirikan dalam bisnis keluarga, perusahaan telekomunikasi, atau super app. Saat ini tercatat jumlahnya ada lebih dari 50 CVC.

Pada tahun 2020, beberapa CVC telah terlibat dalam sekitar 8,7% dari semua transaksi VC dan telah memimpin sejumlah putaran pendanaan, terutama di putaran seed dan seri A. Di Indonesia sendiri beberapa CVC yang cukup aktif melakukan investasi di antaranya MDI Ventures dan Prasetia Dwidharma.

Indonesia tercatat juga telah melampaui Singapura menjadi negara dengan konsentrasi tertinggi untuk startup yang memiliki modal terbaik. Rata-rata startup Indonesia telah menutup putaran pendanaan yang relatif lebih besar. Tercatat Singapura meraup bagian terbesar dari modal VC pada tahun 2010 (90%) tetapi bagian mereka menyusut menjadi 40% pada tahun 2020.

Laporan menarik lainnya yang juga dipaparkan oleh GGV adalah Indonesia telah menjadi menjadi kebutuhan pasar untuk sekitar 75% unicorn di Asia Tenggara, dan diklaim menjadi pasar paling sukses untuk berinvestasi di kawasan Asia Tenggara.

Tren ekosistem startup 10 tahun ke depan

Dalam laporannya GGV juga menyampaikan sejumlah tren ekosistem startup dalam kurun waktu 10 tahun ke depan. Di antaranya adalah makin maraknya kehadiran social commerce. GMV-nya diprediksi akan melampaui $5 miliar pada tahun 2025 dan $25 miliar pada tahun 2030 karena akan terus meningkat dalam adopsi e-commerce, bercampur dengan pertumbuhan PDB per kapita selama dekade berikutnya.

Selain itu, sektor lainnya yang juga diprediksi bakal mengalami pertumbuhan adalah healthtech. Dalam hal ini adalah platform yang menyediakan akses layanan kesehatan untuk demografi yang lebih besar, dan meningkatkan infrastruktur di Asia Tengara, terutama setelah pandemi.

Prediksi lainnya yang kemudian dipaparkan oleh GGV adalah makin besarnya kegiatan IPO di Asia Tenggara, yang diperkirakan akan melampaui 300 IPO pada tahun 2030, karena lebih banyak startup lokal yang mencari potensi exit di pasar publik domestik.

Sementara itu untuk Indonesia dan Malaysia diperkirakan akan makin banyak pertumbuhan pasar untuk platform yang menyasar kalangan muslim. Ukuran pasar Indonesia dan Malaysia akan tumbuh sekitar 8x dari ukuran saat ini pada tahun 2030, termasuk gaya hidup muslim/ekonomi halal di berbagai industri seperti fesyen, makanan, dan finansial.

Tren lainnya yang juga dibahas adalah, startup yang menyasar kepada media dan hiburan akan mendapatkan jumlah pengikut dan pendanaan yang lebih kuat, sejalan dengan industri yang mulai mengalihkan fokusnya ke solusi digital, termasuk TV/film, live streaming, dan esports. Pendanaan di bidang ini diprediksi akan melampaui $700 juta pada tahun 2030.

Masih besarnya jumlah populasi yang tidak memiliki rekening bank di Asia Tenggara, menciptakan peluang besar yang dapat memicu tumbuhnya startup unicorn khusus fintech. Potensi layanan yang kemudian masih bisa di disrupsi oleh platform fintech di antaranya adalah dompet digital, Neobanks, BNPL, dan bentuk lain dari pembiayaan.

Kegiatan merger dan akuisisi (M&A) juga diprediksi akan makin banyak terjadi dalam waktu 10 tahun ke depan. Ketika perusahaan terus bersaing untuk posisi teratas dalam vertikal mereka, akan lebih banyak mega-merger di Asia Tenggara.

Setelah Indonesia yang menjadi pasar paling banyak dituju oleh pemodal ventura dalam waktu 10 tahun terakhir, diprediksi oleh GGV dalam waktu 10 tahun ke depan, Vietnam akan menjadi negara pilihan investor di Asia Tenggara. Vietnam akan muncul pada tahun 2022 sebagai ekosistem startup utama di Asia Tenggara. Hal ini mulai terlihat dengan semakin banyaknya venture capital yang kemudian mengalokasikan dana mereka untuk berinvestasi kepada startup asal Vietnam hingga saat ini.

Sementara itu untuk pemodal ventura di prediksi dalam waktu 10 tahun ke depan akan meningkatkan Assets Under Management (AUM) menjadi dua kali lipat. AUM telah meningkat pada jalur yang stabil selama dekade terakhir dan diperkirakan jumlah tersebut akan melampaui $300 miliar pada tahun 2030.

Gambar Header: Depositphotos.com