Gayo Capital Debut sebagai Entitas Ventura Baru dari Ideosource

Setelah Ideosource Entertainment sebagai anak unit ventura yang mengakomodasi investasi di bisnis hiburan, Ideosource kembali memperlebar cakupan bisnisnya. Kali ini dengan meresmikan entitas baru bernama “Gayo Capital”, menaungi Ideosource Green Initiative.

Kepada DailySocial, Co-Founder & Managing Director Gayo Capital Edward Ismawan Chamdani menyampaikan, perusahaan ventura baru ini telah memiliki dana kelolaan sendiri, terdiri dari “strategic investor” yang menjadi partner di Gayo Capital; dan ke depannya juga akan ada “fund” sesuai perkembangan tesis investasi yang dikembangkan.

“Gayo dibentuk secara formal awal tahun 2020 ini, namun cikal bakal ide dan riset sudah kita lakukan sejak 2,5 tahun yang lalu,” ujar Edward.

Selain Edward, Gayo Capital dipimpin oleh Ishara Yusdian, keduanya bertanggung jawab penuh pada operasional dan eksekusi roadmap yang sudah didefinisikan. Sedangkan Jefri Sirait dan Andi S. Boediman bertindak sebagai advisor.

Pendekatan investasi Gayo Capital

Pendekatan investasi yang dilakukan cukup unik, fokusnya ada pada dua hal. Pertama, Gayo menargetkan perusahaan yang menggarap pangsa pasar tradisional/konvensional yang sudah besar, misalnya di lanskap pertanian, logistik, ritel, supply chain, dan lainnya. Namun, mereka memastikan bahwa nuansa teknologi dapat menjadi komponen disrupsi. Pengalaman Ideosource diharapkan dapat meningkatkan proses transformasi digital tersebut dalam rangka meningkatkan bisnis.

Kedua, founder melihat pola struktur fund di modal ventura tidak cocok dengan tesis investasi di perusahaan konvensional. Perlu adanya terobosan untuk menjembatani. Maka dari itu dibentuk operating holding, mengombinasikan model “venture debt”. Memungkinkan perusahaan mendapatkan pendanaan yang bersifat modal kerja, namun tetap dengan intensif ekuitas; dalam terminologi finansial disebut “quasi-equity”.

“Namun pola ini setelah berkembang tetap akan kami kombinasikan dengan model venture capital umumnya dengan struktur fund yang close-ended juga, khususnya untuk investasi kami ke perusahaan yang pure-tech,” lanjut Edward. “Yang kami harapkan pada dasarnya membentuk ‘reversed conglomeration’, di mana perusahaan-perusahaan yang kami bantu dan investasikan mampu melakukan inovasi dan terobosan di sektor masing-masing dan membuat perubahan pola bisnis yang sifatnya bottom-up.”

Sehingga selain memberikan bantuan modal, diharapkan sebagai operating holding Ideosource dapat berperan memberikan arahan, membuka jaringan, memberikan akses ke kapital, dan membentuk sinergi antar-perusahaan.

“Gayo Capital sebagai operating holding company sudah memiliki investasi di beberapa perusahaan seperti Inacom, PT Petani Kakao Lampung, WLabku, Hydro Retailindo, Foom.id; dan ada beberapa portfolio lainnya yang sedang dalam proses mentorship dan investasi awal,” kata Edward.

Optimalkan potensi bisnis di Indonesia

Secara khusus Edward juga menceritakan mengapa Gayo Capital difokuskan untuk bisnis di Indonesia. Ada alasan yang cukup prinsipil; ia mencontohkan, sektor pertanian kelapa, kakao, lada, dan lainnya sebagian besar masih dikelola petani rakyat. Namun belum ada disrupsi di sisi supply chain yang memberikan efisiensi pada proses jual-beli, ekspor-impor, hingga inovasi produk.

“Sedangkan kita tahu demografi Indonesia terkuat di dunia untuk sektor ini dan lahan archipelago memang sudah menjadi incaran seluruh dunia sejak jaman penjajahan, sudah waktunya inovasi tumbuh bukan dari top-down saja, kita harapkan bottom-up bisa makin banyak dan berani melangkah,” terang Edward.

Gayo melalui yayasan sosialnya juga akan masuk ke sektor pendidikan khusus petani dengan kurikulum yang spesifik sesuai tanah kelolaan mereka; saat ini tengah dalam tahap diskusi dengan para stakeholder yang akan terlibat.

Investasi di tengah pandemi

Debut dibarengi dengan krisis yang disebabkan karena pandemi tidak membuat semangat pendiri Gayo Capital luntur. Bagi Edward dan tim, timing menjadi salah satu komponen kunci dibarengi dengan strategi, roadmap, tim, dan kapital untuk dieksekusi pada waktunya

“Di setiap krisis pasti ada peluang yang makin besar, sama seperti bola yang kita tekan ke dalam air akan melambung makin tinggi dan cepat pada saat di lepas,” ungkap Edward memberikan perumpamaan. “Dalam setiap minggunya kami di hubungi 1 sampai 3 perusahaan finansial Asia maupun Amerika yang tertarik mengenal Gayo Capital lebih dalam, jadi kami melihat sektor yang kami garap memang sudah tepat.”

Perubahan yang akan menjadi “new normal” juga sudah mulai diantisipasi. Edward turut melihat, sektor-sektor yang dinaungi juga makin memfokuskan pada transparansi. Hal itu dikarenakan setiap pihak makin melek teknologi, sehingga peluang teknologi untuk bisa dielaborasikan di dalamnya.

Accelerating Asia Naikkan Nilai Investasi hingga 2 Miliar Rupiah untuk Startup Binaannya

Perusahaan modal ventura tahap awal Accelerating Asia mengumumkan perubahan dalam cara investasinya, juga menaikkan nominal investasi hingga 200 ribu dolar Singapura (lebih dari 2 miliar Rupiah), melalui instrumen pendanaan SAFE note, sekitar 7%-10% ekuitas per startup yang akan mengikuti program akselerator batch ke-3.

Bila dirinci, startup akan menerima investasi maksimal 200 ribu dolar Singapura, termasuk dana dukungan 25 ribu dolar Singapura untuk membangun bisnisnya, akses ke program akselerator, dan program tambahan senilai 225 ribu dolar Singapura. Kenaikan ini, membuat Accelerating Asia percaya diri berada dalam posisi yang kuat dalam pertaruhan startup yang berasal dari program akseleratornya.

“Sambil terus menjalankan hubungan baik dengan pendiri startup untuk meningkatkan pertumbuhan mereka, menerima pendanaan, dan meningkatkan bisnis mereka ke tingkat selanjutnya,” ucap Co-Founder dan General Partner Accelerating Asia Amra Naidoo dalam keterangan resmi.

Dibandingkan dua batch sebelumnya, Accelerating Asia berinvestasi sebesar 100 ribu dolar Singapura, juga berbentuk SAFE note. Ini adalah akronim dari Simple Agreement for Future Equity yang diperkenalkan pertama kali oleh Y Combinator pada 2013.

Silicon Valley memilih SAFE sebagai dokumen de facto yang digunakan untuk investasi tahap awal karena modelnya lebih ramping, lebih murah untuk dieksekusi, dan lebih mudah untuk melakukan uji tuntas (due diligence) daripada opsi lainnya.

“Di Accelerating Asia, kami setuju untuk juga menggunakan SAFE untuk investasi awal kami. Kami juga memfasilitasi investasi lain di perusahaan portofolio kami melalui SAFE. Kami percaya bahwa SAFE punya keuntungan baik bagi founder, investor, maupun ekosistem startup secara umum,” terang Co-Founder dan General Partner Accelerating Asia Craig Dixon secara terpisah kepada DailySocial.

Program akseleratornya itu sendiri sudah berjalan sejak dua tahun dan telah berkembang menjadi komunitas dengan lebih dari 39 founder startup dari 19 startup yang tersebar di 9 negara. 40% di antaranya dipimpin perempuan atau mitra pendiri ventura. Saat berpartisipasi dalam program flagship-nya tersebut, seluruh startup binaannya berhasil memperoleh investasi kolektif senilai lebih dari 55 juta dolar Singapura.

Akselerator batch ke-3

Suasana Demo Day Cohort 1 Accelerating Asia
Suasana Demo Day Cohort 1 Accelerating Asia

Dixon melanjutkan dalam batch ke-3 pendaftaran sudah dibuka hingga Mei 2020. Seluruh proses akan berlangsung secara online, sehingga gangguan pandemi tidak menyurutkan ambisi perusahaan untuk menggelar program akseleratornya.

“Program kami dirancang untuk memberikan nilai tinggi dari para ahli pemula, investor dan mentor dalam format yang fleksibel, di mana pun mereka berada. Sebab mengumpulkan semua founder dalam satu tempat yang sama adalah pekerjaan yang sulit.”

Mereka juga tidak secara spesifik menyasar tema tertentu untuk tiap batch-nya. Dixon menyebut, Accelerating Asia adalah VC dan program akselerator yang agnostik vertikal, artinya terbuka untuk startup dari sektor manapun. Untuk dua batch sebelumnya, startup binaannya terdiri dari startup B2B dan B2G. Kendati demikian, mereka juga terbuka untuk startup B2C.

Dalam batch ke-2, ada sembilan startup yang bergerak di bisnis B2B, seperti logistik, big data, edutech, agritech, dan e-commerce. Seluruh startup memperoleh pendanaan yang tinggi dari angel investor, modal ventura, dan perusahaan keluarga dalam pendanaan gabungan sekitar 2,5 juta dolar Singapura. Delapan startup diantaranya memperoleh pendanaan eksternal, seperti iFarmer, Numu, IZY.ai, dan Privoshop, dalam program 100 hari.

“Untuk tahap pendanaan, kami fokus ke startup pra-seri A yang memiliki traksi, produknya berasal dari pengalaman pengguna, dan punya model bisnis yang kuat. Jika Anda tidak yakin apakah Anda cocok untuk ikut program ini, kami mendorong para pemula untuk mendaftar untuk melalui prosesnya, agar dapat pemahaman tentang apa yang dicari investor dan akselerator.”

Dari 19 startup binaan dari batch sebelumnya, 10% di antaranya datang dari Indonesia. Nama-namanya adalah startup SaaS B2B Datanest dan startup travel IZY.ai. “Indonesia adalah pasar yang menjanjikan, kami selalu mencari kesempatan bermitra dengan startup dan mitra.”

Di luar program, Accelerating Asia bekerja sama dengan jaringan angel investor lokal ANGIN untuk membangun jaringan, entah berbentuk webinar, event untuk membangun portofolio, negosiasi kesepakatan dengan angel investor yang tertarik menjadi LP atau berinvestasi bersama. Pihak ANGIN juga memfasilitasi koneksi startup, dan berkomitmen untuk terlibat dengan founder lokal melalui berbagai program.

“Kami juga bekerja erat dengan investor di berbagai tingkatan dalam ekosistem startup Indonesia, seperti family offices, VC, angel investor. Beberapa dari mereka telah berinvestasi ke Fund kami dan/atau co-invest bersama Accelerating Asia di startup portofolio kami,” tutupnya.

[Weekly Updates] Bukalapak’s Co-Founders Start Investing into Startups; Funding News From Qoala; and More

Two Bukalapak Co-Founders have initiated Init-6, a new venture capital in town. Its first investment is a seed funding for Eduka, an edtech company. Moreover, Qoala has bagged a $13.5 million Series A funding from a group of investors led by Centauri Fund, a new fund from MDI Ventures and Kookmin Bank Korea.

In other news, Stoqo is the latest startup to close its operation due to current situation. While Moka, recently acquired by Gojek, is committed to remain independent entity and embracing other platforms, including Gojek’s competitors.

Achmad Zaky’s New Investment Firm Init-6, Debuts with Seed Funding for Eduka

Bukalapak’s Co-founder and Founding Partner Init-6, Achmad Zaky announced the new investment firm focused on investment to early-stage startups. Bukalapak’s Co-founder, Nugroho Herucahyono also participated as Partner after resigned as the CTO. Init-6 debuts with its first investment to the edtech platform Eduka.

Init-6 will focus on investing in early-stage startups without specific sector preferences

Qoala Bags 209 Billion Rupiah in Series A Funding

Qoala, an insurtech platform founded by Harshet Lunani and Tommy Martin, has secured Series A funding worth of $13.5 million or around 209 billion Rupiah. The current round is led by Centauri Fund.

Several new investors are also participated, including Sequoia India, Flourish Ventures, Kookmin Bank Investments, Mirae Asset Venture Investment, and Mirae Asset Sekuritas.

The company is to use fresh money to invest further in technology, HR and brands to support the company’s strategy in providing better services to customers, platform partners, and insurance companies. Qoala targets to employ 300 talents by the year 2021.

Stoqo’s Shutdown and Survival Strategy for B2B Commerce

Following the pandemic situation, Stoqo, a B2B commerce platform that provided fresh supplies for restaurant, has announced an operational shutdown. The company received Series A funding from Monk’s Hill Partners and Accel Partners India at the end of December 2018.

PHRI’s Deputy Chairman for the Restaurant Emil Arifin estimates that the culinary business in Indonesia has loss around Rp2.5 trillion per month with 200,000 people losing their jobs.

Moka Remains an Open Platform Post Gojek Acquisition

Following recent acquisition by Gojek, Moka will continue to operate as an independent entity with the Gojek merchant ecosystem’s integration. The ecosystem consists of GoBiz (the super app that houses GoFood), GoPay, and other services such as Midtrans and Spots.

Moka will remain an open platform and are very open to continuing collaboration with all partners. The company allows merchants to receive payments from variety of digital wallets, such as GoPay, Ovo, Dana, and others.

Achmad Zaky’s New Investment Firm Init-6, Debuts with Seed Funding for Eduka

Bukalapak’s Co-founder and Founding Partner Init-6, Achmad Zaky announced the new investment firm focused on investment to early-stage startups. Bukalapak’s Co-founder, Nugroho Herucahyono also participated as Partner after resigned as the CTO. Init-6 debuts with its first investment to the edtech platform Eduka.

Zaky, after officially steps down as Bukalapak’s CEO earlier this year said the Covid-19 pandemic has initiated the new managed fund. Init-6 is a UNIX command that means reboot or reset. According to Zaky, Covid-19 requires humans to live in a new kind of lifestyle  (or known as “new normal”). They believe that we need to reboot or reset our way of life.

Prior to this, after no longer active in Bukalapak, Zaky is said to focus on foundations engaged in science and education, entrepreneurship, impact investment, and research.

To date, Zaky said the managed funds came from General Partners, none of them were from Limited Partners. Even so, he did not want to elaborate on this matter further, including how much funds under management at this time.

Init-6 will focus on investing in early-stage startups without specific sector preferences. “[The thing is] As long as it is tech-driven and backed with great founders,” Zaky said.

Investment on Eduka

Eduka is Init-6’s first startup investment. This educational technology platform was initiated by students and alumni of the Bandung Institute of Technology (ITB). Eduka was built as a practice platform (try out) for students to UTBK and USM at various universities. This platform claims to have 800 thousand registered users and 180 thousand active students every month.

Zaky said Eduka reminded him of his experience 10 years ago when building Bukalapak. The company has now become one of the unicorns in Indonesia.

He said, “When we first met the Eduka founders, we were very impressed with their achievements. They built [this platform] from scratch, without capital. […] We hope they can graduate quickly this year and develop Eduka even faster. Education is a big pie [opportunity] and we believe Eduka can have a better impact on the Indonesian education system. ”

“We built the Eduka System because we believe students in Indonesia have good academic potential if trained properly. Unfortunately, we know that there are many students who only focus on memorizing a theory without understanding its application. This makes it limited to the ability to solve complex problems. We want to unlock their potential by providing High Order Thinking Skills (HOTS) exercises that are easy to apply and connect with everyday life so that they are accustomed to facing complex problems. With the help of technology, we believe we can improve [quality] education in Indonesia,” Eduka’s CEO [who still pursuing his degree], Faiz said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Achmad Zaky Dirikan Perusahaan Investasi Init-6, Beri Pendanaan Awal untuk Platform Edtech Eduka

Co-Founder Bukalapak dan Founding Partner Init-6 Achmad Zaky mengumumkan pendirian perusahaan investasi Init-6 yang fokus berinvestasi ke startup tahap awal. Co-Founder Bukalapak Nugroho Herucahyono juga bergabung menjadi Partner perusahaan setelah melepaskan posisi CTO Bukalapak. Init-6 memberikan investasi perdananya ke platform edtech Eduka.

Kepada DailySocial, Zaky yang resmi lengser dari posisi CEO Bukalapak awal tahun ini menyebut kehadiran pandemi Covid-19 sebagai hal yang mendorong berdirinya dana investasi ini. Init-6 adalah perintah UNIX yang berarti reboot atau mengatur ulang. Menurut Zaky, Covid-19 mewajibkan manusia hidup dengan gaya baru (atau dikenal dengan istilah “new normal“). Mereka percaya bahwa kita perlu me-reboot atau mengatur ulang cara hidup kita.

Sebelumnya Zaky menyebut pasca tidak lagi aktif di Bukalapak, dirinya akan fokus di yayasan yang bergerak di bidang sains dan edukasi, kewirausahaan, impact investment, dan penelitian.

Sejauh ini Zaky menyebut dana kelolaan masih berasal dari General Partner, belum ada yang dari Limited Partner. Meskipun demikian, ia tidak mau merinci soal ini lebih jauh, termasuk berapa dana kelolaannya saat ini.

Init-6 akan fokus berinvestasi di startup tahap awal tanpa ada preferensi sektor tertentu. “[Yang penting] Selama tech driven dan didukung great founders,” kata Zaky.

Berinvestasi ke Eduka

Eduka menjadi startup pertama yang diinvestasi Init-6. Platform teknologi pendidikan ini diinisiasi oleh mahasiswa dan alumni Institut Teknologi Bandung (ITB). Eduka dibangun sebagai platform berlatih (try out) siswa menghadapi UTBK dan USM di berbagai universitas. Platform ini mengklaim telah memiliki 800 ribu pengguna terdaftar dan 180 ribu siswa aktif setiap bulannya.

Zaky menilai Eduka mengingatkannya atas pengalaman 10 tahun lalu membangun Bukalapak. Kini perusahaan ini telah menjadi salah satu startup unicorn di Indonesia.

Ia mengungkapkan, “Saat pertama kali bertemu para pendiri Eduka, kami sangat terkesan dengan pencapaian mereka. Mereka membangun [platform ini] dari nol, tanpa modal. [..] Kami harap mereka dapat cepat lulus tahun ini dan mengembangkan Eduka lebih cepat lagi. Edukasi adalah ruang [peluang] yang besar dan kami percaya Eduka dapat memberikan dampak lebih baik bagi sistem edukasi Indonesia.”

“Kami membangun Eduka System karena kami percaya siswa di Indonesia memiliki potensi akademis yang bagus jika dilatih dengan baik. Sayangnya, kita tahu bahwa ada banya siswa yang hanya fokus menghafalkan teori tanpa memahami penerapannya. Hal ini membuat kemampuannya terbatas untuk menyelesaikan permasalahan kompleks. Kami ingin membuka potensi mereka dengan memberikan latihan High Order Thinking Skills (HOTS) yang mudah diaplikasikan dan terhubung dengan kehidupan sehari-hari sehingga mereka terbiasa menghadapi permasalahan kompleks. Dengan bantuan teknologi, kami percaya kami dapat meningkatkan [kualitas] pendidikan di Indonesia,” ujar Faiz, CEO Eduka yang masih berkuliah ini.

Quest Ventures Secures First Round of Asia Fund II

Quest Ventures has announced the first round of venture capital fund at $50 million or around Rp778 billion. It is claimed to exceed half of the total target for Asia Fund II.

Previously, in Asia Fund I, Quest Ventures is actively looking for startup with growth potential. Some of their portfolios, including Carousell, Shopback, 99.co, Carro, StyleTheory, SGAG/MGAG/PGAG, Glife, Xfers, and others. In the Asia Fund II, Quest Ventures is backed by some partners, including Singapore-based Pavillion Capital and QazTech Ventures from Kazakhstan.

“We deliberately chose investors because we value financial and operational contributions. Before becoming investors, as operators alone, we value what a diverse team can bring. With this fund, we hope to bring a variety of skills, experience, and connections to help our company,” Quest Ventures’ Partner, Yiping Goh said.

Asia Fund II is to focus on startups in the Southeast Asia region and those with development around Asia. Having previously entered Vietnam in Asia Fund II, Indonesia, Myanmar, and the Philippines are on the radar as their targets in the Post Seed and Pre-Series B rounds.

Quest Ventures also plans to launch an accelerator in Kazakhstan to start a digital economy in the region.

“We see founders who have a strong business and operational foundation who solve problems with women to develop significantly,” Goh added.

Quest Ventures was a China-based firm founded by James Tan and Wang Yunming in 2011. They have an office in Singapore with two Partners, namely Yiping Goh and Jeffrey Seah. Goh had previously been involved in the establishment of Matahari Mall.

Indonesia and the pandemic

DailySocial had the opportunity to talk with Quest Ventures about the company’s focus. Indonesia is on the Asia Fund II radar. As one of the countries with a developing technological landscape, Indonesia has succeeded in proving itself by delivering unicorns. Several industries, such as e-commerce, ride-hailing, and fintech, are taking turns becoming widely known and having an impact on society.

The government which includes the digital economy as one of the pillars of growth along with the raw supply, oil, palm oil, and textile industries is also one of the signs that technology is developing in this country.

“We hope that greater impact will be seen in EdTech, Healthcare, maybe Agritech and even the old topic of e-commerce still diverge opportunities in the enabler and trading ecosystem, such as offline to online, omnichannel, and others. We have seen several examples of successful players like that in the sectors mentioned and hope they continue to grow, “explained Yiping.

Nevertheless, there are several things that are of concern to the condition of Indonesia’s startup ecosystem and industry. First, due to Indonesia’s fast-growing startup business, funding is getting along the development. The challenge is to recruit employees in order to grow.

In Indonesia, Goh said, there are a lot of good talents, it’s just that they are yet to acquired by the increasing number of startups. In addition, the limited recruitment of foreign talent and face-to-face culture. It can also be that the same person will move from one startup to another. And the second is a matter of overvaluation.

“We also see a number of startups taking more money than they need. Although there’s nothing wrong raising more to a longer ‘tide over’, we also hope that startups don’t get into the wrong side of the comfort zone for too long and ‘throw fundamentals into the wind’, ” she added.

Just like countries around the world, Covid-19 pandemic also affected many things in Indonesia. Goh thought this pandemic acts like a big reset button for the world. This will return people to the old ways of building a business and with more balanced financial discipline and growth metrics.

“This [Condition] ‘New normal’ will see higher digital service requests from B2G, B2B, and B2C. Starting to make peace with remote collaboration and perhaps more equilibrium of topline vs bottom line,” Goh said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Quest Ventures Amankan Pendanaan Tahap Pertama untuk Asia Fund II

Quest Ventures mengumumkan telah penutupan venture capital fund tahap pertama dengan dana terkumpul sebesar $50 juta atau setara dengan Rp778 miliar. Jumlah ini diklaim telah melebihi separuh target pendanaan untuk Asia Fund II.

Sebelumnya, di Asia Fund I, Quest Ventures cukup aktif dalam mencari startup yang berpotensi untuk tumbuh. Nama-nama seperti Carousell, Shopback, 99.co, Carro, StyleTheory, SGAG/MGAG/PGAG, Glife, Xfers, dan lainnya masuk dalam portofolionya. Di Asia Fund II ini Quest Ventures mendapat dukungan dari banyak pihak, termasuk Pavillion Capital dari Singapura dan QazTech Ventures dari Kazakhstan.

“Kami sengaja memilih investor karena kami menghargai kontribusi finansial dan operasional. Sebagai operator sendiri sebelum menjadi investor kami menghargai apa yang bisa dibawa oleh tim yang beragam. Dengan dana ini kami berharap dapat menghadirkan berbagai keterampilan, pengalaman, dan koneksi untuk membantu perusahaan kami,” ujar Partner Quest Ventures Yiping Goh.

Asia Fund II ini rencnaanya akan fokus untuk startup yang berada di kawasan Asia Tenggara dan yang sedang berkembang di Asia. Setelah sebelumnya masuk ke Vietnam pada Asia Fund II ini Indonesia, Myanmar, dan Filipina masuk dalam radar dengan target mereka yang ada dalam putaran Post Seed dan Pre-Series B.

Pihak Quest Ventures sendiri juga merencanakan untuk meluncurkan akselerator di Kazakhstan untuk memulai ekonomi digital di kawasan tersebut.

“Kami melihat pendiri yang memiliki landasan bisnis dan operasional yang kuat yang memecahkan masalah dengan kempuan untuk berkembang secara signifikan,” lanjut Yiping.

Quest Ventures didirikan oleh James Tan dan Wang Yunming dan berbasis di Tiongkok di tahun 2011. Mereka memiliki kantor di Singapura dengan dua Partner, yaitu Yiping Goh dan Jeffrey Seah. Yiping sebelumnya sempat terlibat di pendirian Matahari Mall.

Indonesia dan pandemi

DailySocial berkesempatan berbincang dengan Quest Ventures tentang fokus perusahaan. Indonesia masuk dalam radar Asia Fund II ini. Dinilai sebagai salah satu negara dengan lanskap teknologi yang berkembang, Indonesia telah berhasil membuktikan diri dengan melahirkan unicorn. Beberapa industri seperti e-commerce, ride hailing dan fintech secara bergantian mulai dikenal luas dan memberikan dampak di masyarkat.

Pemerintah yang memasukkan ekonomi digital sebagai salah satu pilar pertumbuhan bersama dengan industri bahan baku, minyak, kelapa sawit, dan tekstil juga menjadi salah satu salah tanda bahwa teknologi sedang berkembang dinegara ini.

“Kami berharap dampak yang lebih besar akan terlihat di EdTech, Healthcare, mungkin Agritech dan bahkan topik lama e-commerce masih menyimpang peluang di dalam enabler dan ekosistem perdagangan, seperti offline ke online, omnichannel, dan lainnya. Kami telah melihat beberapa contoh sukses pemain seperti itu di sektor-sektor yang disebutkan dan berharap mereka terus tumbuh,” terang Yiping.

Kendati demikian ada beberapa hal yang menjadi perhatian untuk kondisi ekosistem dan industri startup di Indonesia. Pertama, karena jumlah startup di Indonesia tumbuh cepat, demikian juga dengan pendanaan. Tantangannya adalah untuk merekrut karyawan untuk memenuhi amunisi untuk tumbuh.

Di Indonesia, menurut Yiping, banyak talenta yang bagus, hanya saja kekurangan untuk mengisi jumlah startup yang meningkat. Ditambah lagi dengan terbatasnya perekrutan talenta asing dan budaya tatap muka. Bisa jada orang yang sama akan berpindah dari satu startup ke startup lain. Dan yang kedua soal valuasi yang terlalu berlebih.

“Kami juga melihat sejumlah startup mengambil lebih banyak uang daripada yang mereka butuhkan. Meskipun tidak ada yang salah meningkatkan lebih banyak untuk ‘tide over‘ lebih lama, kami juga berharap bahwa startup tidak terlalu lama masuk ke dalam rasa aman yang salah dan ‘melemparkan fundamental ke dalam angin’,” imbuh Yiping.

Sama seperti negara di seluruh dunia, pandemi Covid-19 juga mengubah banyak hal di Indonesia. Bagi Yiping, pandemi ini ibarat tombol reset yang besar bagi dunia. Ini akan mengembalikan orang ke cara lama membangun bisnis dan dengan disiplin keuangan dan metrik pertumbuhan yang lebih seimbang.

“[Kondisi] ‘New normal‘ akan melihat permintaan layanan digital yang lebih tinggai dari B2G, B2B, dan B2C. Mulai berdamai dengan kolaborasi jarak jauh dan mungkin kesetimbangan yang lebih dari topline vs bottom line,” tutup Yiping.

Nicko Widjaja dari BRI Ventures Mengimbau VC untuk Tidak Gegabah Masuk ke Pasar Sekunder

Bagi sebagian besar startup, pendanaan diperkirakan akan mengering selama krisis COVID-19. Valuasi akan menurun serta investor akan mulai membatasi diri.

Nicko Widjaja, selaku CEO dari BRI Ventures, sebuah perpanjangan tangan investasi dari perusahaan BUMN pemberi pinjaman terbesar di Indonesia, mengatakan kepada KrASIA bahwa mereka tidak akan menunda investasinya. Dia melihat celah keuntungan bagi perusahaan dengan uang kas (dry powder) seperti yang ia kelola – mereka dapat membeli dengan harga lebih rendah.

Nicko mengatakan bahwa untuk dana yang saat ini ia kelola, sekarang adalah “waktunya membeli”, dan bahwa VC tidak perlu terburu-buru exit, karena akan mengurangi profit. Sebagaimana KrASIA berbicara dengannya melalui WhatsApp.

KrASIA (Kr): Terkait penyebaran virus COVID-19 di Indonesia, apakah hal ini mempengaruhi BRI untuk menunda investasi? Berapa banyak startup yang akan di-invest tahun ini?

Nicko Widjaja (NW): Tidak ada penundaan dalam rencana investasi. Kami percaya ekosistem akan membaik seiring berjalannya waktu. Lagipula, BVI baru dibentuk tahun lalu dan telah mengikat beberapa deals jauh sebelum kasus COVID-19 melanda. Dari awal, BVI bukan semata-mata investor yang impulsif.

Namun, dalam masa ketidakpastian ini, kami akan menerapkan skenario stress test yang lebih hati-hati kendati pertumbuhan semua startup — termasuk unicorn — akan terhalang dan proyeksi akan tertunda. Kami akan terus membangun bisnis dan koneksi. Secara pribadi, saya percaya tahun ini akan menjadi tahun sinergi, di mana startup dan perusahaan bekerja sama lebih erat untuk kembali pada situasi sebelum COVID-19 mewabah.

Dalam hal berinvestasi, kondisi ini adalah sebuah keuntungan untuk perusahaan dengan uang kas (dry powder) seperti kami, ketika valuasi menurun serta kompetisi merenggang. Namun, hal ini tidak berlaku pada para pendahulu di masa 2015/16 di mana mereka seharusnya menuai hasil di masa sekarang. Bagaimanapun, likuiditas harus tercapai. Jika tidak, akan sulit untuk meyakinkan calon LP maupun yang sudah ada.

Kr: Bagaimana Anda melihat proses exit pada umumnya, secara khusus IPO dan M&A?

NW: Dalam hal exit, ticket size serta kegiatan pendukungnya sedang menurun. Sebagian besar valuasi berkurang secara signifikan karena target tengah terkena dampak setidaknya untuk dua kuartal berikutnya. Mereka yang menggalang Seri D sekarang menjadi Seri C2, Seri C kini menjadi Seri B2, hingga seterusnya. Startup tahap awal adalah yang paling terdampak karena memiliki jenjang yang lebih pendek, pada masa pertumbuhan startup perlu menyesuaikan cash-burn untuk meneruskan operasional, dan rencana likuiditas startup tahap akhir, baik IPO maupun M&A, akan ditunda.

Dana dari tahun terdahulu, 2017/18 — yang berada di pertengahan atau akhir periode penyebarannya — sekarang memasuki masa ketidakpastian, di mana mereka mencoba menyesuaikan rencana semula dengan situasi terkini, terutama ketika mereka mengikat komitmen besar di wilayah ASEAN. Saya tahu beberapa dana kelolaan yang memiliki rencana investasi dalam waktu dekat. Saat ini, mereka baru mendistribusikan sepertiga atau seperempat dari komitmen mereka karena situasi yang tidak pasti.

Tidak diragukan lagi bahkan dana kelolaan pertama kami di MDI Ventures (termasuk yang terdahulu di 2016), yang berhasil mencapai lima exit tahun lalu serta dua exit sebelumnya — yang terakhir adalah ObserveIT, sebuah perusahaan keamanan siber AS-Israel — akan menghadapi tantangan lebih keras untuk bisa exit tahun ini, meskipun likuiditas masih utuh dari aksi sebelumnya.

Kr: Apa yang sekiranya menjadi strategi terbaik untuk VC dalam situasi seperti ini?

NW: Dalam konteks dana kelolaan seperti kami atau Tanglin Venture Partners—menurut sebuah tulisan yang berjudul “COVID-19 Tantangan & Pertanyaan” oleh Pendiri SEA – ini adalah waktu pembelian, terutama bagi mereka yang baru saja mengumpulkan uang dan memiliki cukup uang kas untuk digunakan.

Bagi mereka yang mencari likuiditas, strategi terbaik adalah untuk masuk ke pasar sekunder, meskipun hal ini akan memberikan nilai tawar paling rendah, karena likuiditas terjadi dalam jangka waktu yang sangat singkat. Hal ini berlaku, terutama untuk dana kelolaan terdahulu di 2015/16, atau mereka tidak akan bisa menggalang dana di putaran berikutnya.

Penjualan di pasar sekunder bukanlah sesuatu yang ideal untuk VC. Hal ini akan menunjukkan kurangnya manuver general partner di masa pergolakan, karena tidak menyanggupi pengembalian modal yang paling diinginkan. Jika kita menganggap bencana COVID-19 hanya sementara, mengapa harus gegabah menjual di pasar sekunder pada masa ketidakpastian ini?

Namun, kita telah memasuki situasi normal yang baru sekarang, dan pasar sudah terlalu kaya sangat lama. Saya percaya mereka sudah mengetahui hal ini.

Jika bisa berkata, sejujurnya, saya percaya pemulihan pasar pada sektor teknologi di region ini menjadi harapan kita semua, memisahkan yang serius dan yang hanya berpura-pura. Saya menaruh harapan pada ekosistem VC, dan inilah saatnya kita memperkuat bisnis dengan lebih lagi.

Kr: Berapa banyak VC yang seharusnya menuai hasil namun pada akhirnya gagal?

NW: Mereka yang menutup penggalangan dana pada 2015/2016. MDI Ventures menjadi salah satunya tetapi telah terbukti solid, setelah membukukan tujuh exit dari 30 portofolio pada tahun 2018 dan 2019, dengan pengembalian rata-rata 300-700%.

Dana kelolaan dari tahun terdahulu di 2015/16 yang belum menutup putaran kedua yang signifikan hampir dpastikan akan hancur. Ketika saya memimpin MDI Ventures, kami menyadari bahwa likuiditas amatlah penting, bahkan untuk usaha korporasi seperti saat itu.

Kita telah menikmati hidup di dunia dongeng bersama para unicorn dan centaur namun dengan dana 20 kali lipat saja kini tidak lagi bisa disebut layak.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Ramalan Industri VC Indonesia 2020 di Tengah Pandemi

Tahun 2019 membawa angin segar terhadap iklim investasi di industri startup Indonesia. Startup Report yang diterbitkan DailySocial mencatat sejumlah pencapaian menarik pada lanskap investasi startup di Tanah Air sepanjang 2019.

Pertama, terdapat 113 transaksi yang diumumkan ke publik dengan total nilai $2,95 miliar. Jumlah transaksi ini melampaui pencapaian di 2017 (67) dan 2018 (71). Kedua, pendanaan pada startup di growth stage, yakni seri A hingga seri C, mengalami peningkatan cukup signifikan dibandingkan tahun 2018 dan 2017.

Tahun ini, pencapaian di atas belum tentu dapat berulang. Krisis kesehatan akibat COVID-19 memukul rata seluruh perekonomian dan bisnis global. Banyak kekhawatiran yang timbul atas berbagai kebijakan pemerintah terkait untuk menyetop rantai penyebaran COVID-19.

Bagi perusahaan pemodal ventura (venture capital/VC), kekhawatiran ini tentu akan membatasi rencana investasi dan “exit strategy“. Bahkan di kuartal satu ini, industri telah menyaksikan konsolidasi pertama VC di Indonesia yang diumumkan ke publik, yakni Agaeti Ventures dan Convergence Ventures menjadi AC Ventures (ACV).

Apakah tren konsolidasi bakal mewarnai industri VC di Tanah Air? Bagaimana tren dan proyeksi industri VC di sepanjang tahun ini?

Iklim investasi menurun di 2020

Dari informasi yang dihimpun DailySocial,  sejumlah venture capitalist memprediksi bahwa aktivitas investasi di Indonesia bakal menurun di 2020. CEO BRI Ventures Nicko Widjaja memprediksi ada potensi penurunan nilai pada target penggalangan dana startup. Ia mencontohkan, startup yang sempat menggalang dana seri D bisa saja turun ke seri C2, atau dari target seri C menjadi seri B2, dan begitu seterusnya.

Akan tetapi, dengan proyeksi ini, Nicko tetap memastikan tidak akan ada penundaan rencana investasi bagi BRI Ventures. Selain VC tersebut baru dibentuk pertengahan tahun lalu, eks CEO MDI Ventures ini mengaku sudah mengantongi sejumlah deal jauh sebelum pandemi ini terjadi.

“Setiap rencana investasi kami tentu disesuaikan dengan strategi induk usaha. Nah, kami sudah closing beberapa funding sebelum COVID-19 ini. Kami percaya ekosistem bakal pulih dengan sendirinya,” ungkapnya.

Sementara itu, Managing Partner MDI Ventures Kenneth Li menilai akan ada penyesuaian pada aktivitas investasi. Namun, ia memperkirakan akan ada investor yang memanfaatkan situasi ini untuk mencari portfolio startup yang valuasinya dapat di-discount, terutama, investor yang punya cash reserve kuat.

“Kita tidak melihat rencana investasi dari agresivitas pasar, tetapi startup yang bakal berhasil di masa depan. Bagaimanapun juga, investasi itu bergantung dari cara investor menetapkan hipotesisnya. Saya yakin VC yang punya fund baru dan track record baik bisa bertahan di situasi ini,” paparnya dalam pesan singkat.

Kenneth juga memastikan bahwa penyebaran virus Corona tersebut tidak akan menunda rencana investasi dan pembentukan dua dana kelolaan barunya tahun ini. Apalagi, dana kelolaan baru ini ditarget mengumpulkan Rp7 triliun.

Sebetulnya, hingga kuartal pertama 2020, pendanaan terhadap startup di Indonesia masih terbilang normal. DSResearch mencatat terdapat 20 transaksi pendanaan yang diumumkan ke publik pada periode Januari-Maret 2020. Angka ini relatif normal jika dibandingkan dengan jumlah transaksi pendanaan di periode sama tahun lalu yang sebanyak 27 transaksi.

Namun, jika melihat perkembangan situasi yang mulai genting sejak Maret ini, ada kemungkinan sejumlah kesepakatan investasi yang sudah dijajaki di bulan-bulan sebelumnya bakal terhambat.

Pelaku startup diminta berhati-hati

Kebijakan pembatasan kegiatan selama sebulan terakhir mulai memberikan dampak ganda terhadap pertumbuhan bisnis di industri startup. Ada yang sudah mulai mengalami kemerosotan permintaan, dan sebaliknya ada banyak yang kebanjiran transaksi karena kebijakan ini.

Masih disampaikan Nicko, startup early stage hingga unicorn sekalipun harus berhati-hati dalam menjalankan strategi bisnis dan kegiatan ekspansi demi mengejar pertumbuhan tahunan. Terutama startup early stage perlu waspada karena hanya memiliki runway yang singkat. Adapun, startup di growth stage perlu menyesuaikan capital spending dalam menjalankan aktivitas bisnis.

“Nah, startup late stage yang berencana exit dengan IPO atau M&A bakal tertunda. Intinya, kebanyakan valuasi [startup] bakal berkurang signifikan dari target yang diincar, setidaknya dalam dua kuartal ke depan,” ungkapnya.

Di situasi seperti ini, ia akan menerapkan berbagai skenario yang lebih hati-hati terhadap portfolio dan calon investee. Namun, Nicko meyakini situasi ini bakal memicu sinergi yang lebih aktif antara startup dan korporasi.

Sementara itu, VC paling aktif di Indonesia, East Ventures, mengungkap bahwa pihaknya terus mengamati perkembangan situasi, tetapi akan mengurangi rencana untuk mengantongi deal investasi baru.

Bagi East Ventures yang mengelola 170 portfolio, situasi ini menjadi tanda waspada mengingat segala macam strategi yang direncanakan menjadi tidak valid dengan situasi saat ini. Maka itu, ia memastikan bahwa seluruh portfolionya memiliki keuangan yang disiplin agar mampu melewati krisis ini

“Saat ini, kami akan lebih fokus mengelola portfolio existing. Kita akan lihat bagaimana COVID-19 berdampak ke industri keuangan,” kata Co-Founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca kepada DailySocial.

Tahun sulit bagi pendanaan di 2015/2016 untuk menuai untung

Dikatakan Nicko Widjaja sebelumnya, situasi pandemi dapat memberikan efek berkepanjangan karena strategi “exit“, baik dengan IPO maupun M&A menjadi tidak memungkinkan dilakukan tahun ini.

Menurutnya, bagi funding di pertengahan atau akhir 2017/2018, situasi sekarang menjadi sangat tidak pasti mengingat investor berupaya beradaptasi dengan menyelaraskan tesis awal–terutama mereka yang membuat rencana bisnis besar, seperti ekspansi ke pasar Asia Tenggara.

Sementara, bagi VC yang menghimpun pendanaan di 2015/2016, terutama VC yang belum dapat menggalang dana putaran kedua, tahun ini menjadi tahun yang sulit untuk panen untung. Hal ini karena seharusnya VC sudah bisa “menuai” hasil dari opsi exit di 2020.

Ia bahkan menyebut sulit bicara keuntungan hingga 20 kali lipat di tahun ini meskipun Indonesia sudah memiliki banyak startup unicorn dan centaur. Sebagai catatan, Nicko telah membawa 7 exit dari 30 portfolio MDI Ventures di 2018 dan 2019 dengan rerata keuntungan 3-7 kali lipat.

“VC seperti kami dan Tanglin Ventures Partners–berdasarkan white paper terbaru oleh SEA Founders–menilai langkah yang tepat di situasi seperti adalah buying time, terutama investor yang baru saja menggalang dana dan punya cash cukup besar untuk deploy,” papar Nicko.

Maka itu, ia menggarisbawahi pentingnya likuiditas bagi VC maupun corporate venture capital (CVC). Bagi investor yang mengincar likuiditas, langkah terbaik saat ini adalah masuk ke pasar sekunder. “Pasar sekunder punya nilai tawar paling banyak karena likuiditas sangat terbatas. Terutama bagi dana investasi di periode 2015/2016. Jika tidak, investor akan sulit meyakinkan LP untuk galang dana di putaran berikutnya,” jelasnya.

Sebetulnya, ujar Nicko, masuk ke pasar sekunder tidak pernah menjadi opsi ideal bagi VC. Langkah ini dapat menunjukkan kurangnya manuver LP di masa turbulensi sekarang karena tidak dapat memaksimalkan pengembalian modal yang paling diinginkan.

“Saya percaya market correction adalah sesuatu yang kita butuhkan di sektor teknologi sehingga dapat memisahkan pemain sungguhan dan yang tidak. Namun, saya percaya dengan ekosistem VC, dan ini saat yang tepat bagi kami untuk membangun bisnis lebih dari sebelumnya,” paparnya.

Di Kuartal Pertama 2020, Pendanaan Startup Indonesia Relatif Berjalan Normal

Pandemi Covid-19 telah memberikan dampak signifikan di berbagai sektor, tak terkecuali lanskap investasi. Menurut catatan Startup Genome, sejak permulaan krisis dalam dua bulan pertama tahun 2020, 57% dari total kesepakatan investasi pemodal ventura di Tiongkok telah terguncang. Kondisi tersebut turut diproyeksikan berdampak pada hilangnya potensi pendanaan startup senilai $28 miliar secara global.

Faktanya persebaran virus masih berlanjut. Banyak negara yang dibuat kalang-kabut dalam penanganannya, termasuk di Amerika Serikat dan Indonesia. Finch Capital, dalam laporan terbarunya, memprediksi krisis ini masih akan terus mengganggu ekosistem hingga Q3 2020 nanti, bahkan pemulihannya bisa membutuhkan waktu 12-18 bulan. Kondisi “normal baru” juga akan muncul, saat orang mulai terbiasa dengan layanan yang sepenuhnya digital.

Pendanaan startup Indonesia Q1 2020

Bedasarkan catatan DSResearch, pada periode Januari-Maret 2020 terdapat 20 transaksi pendanaan yang diumumkan startup Indonesia ke publik. Angka ini sebenarnya relatif normal jika dibandingkan dengan pendanaan periode yang sama tahun lalu. Menurut laporan Startup Report 2019 yang disusun DSResearch dengan dukungan Bank Mandiri dan Vidio, di periode yang sama tahun lalu (Q1 2019) ada 27 transaksi pendanaan yang diumumkan ke publik.

Startup Pendanaan
YukStay Seed Funding
Chilibeli Series A
Nusantics Seed Funding
Pahamify Seed Funding
Gojek Series F
Digiasia Bios Series B
Giladiskon Seed Funding
Datasaur Seed Funding
Visinema Series A
Greenly Seed Funding
Printerous Series A
Hukumonline Series A
Vutura Seed Funding
Arkademi Seed Funding
Gredu Pre-Series A
Zulu Seed Funding
Moladin Pre-Series A
Waresix Series A
Hacktiv8 Pre-Series A
Svara Seed Funding

Dirinci lebih dalam, pendanaan yang dikuncurkan investor kebanyakan di tahap awal, berkisar antara seed dan series A. Artinya inovasi yang dilahirkan startup baru masih memukau para investor di tengah kondisi pasar yang bergejolak.

Di tengah daftar juga ada pendanan Seri F yang kembali didapat Gojek mencapai 21 triliun Rupiah – kembali mengindikasikan kepercayaan investor untuk startup besar.

Untuk kondisi di Asia secara umum, merujuk pada daftar pendanaan yang diumumkan ke publik, CB Insight mencatat sepanjang Q1 2020 private market funding di Asia berpotensi membukukan $20 miliar. Nilainya turun 35% dibandingkan Q4 2019 yang mencapai $31 miliar.

Baru permulaan?

Analisis lain mengatakan, dampak yang sebenarnya dari pandemi mungkin baru akan terasa di Q2 2020. Perolehan di Q1 biasanya merupakan hasil kesepakatan yang sudah dilakukan sejak tahun 2019. Seperti diketahui, rata-rata startup membutuhkan waktu 6-12 bulan untuk melahirkan kesepakatan dengan pemodal ventura.

Terkait dengan ini, CB Insight melaporkan data temuannya. Menurut proyeksinya, sepanjang kuartal pertama 2020 kesepakatan pendanaan tahap awal yang paling terganggu.

Secara global penurunannya, secara jumlah transaksi, ditaksir mencapai 8% dibanding kuartal sebelumnya. Di Asia kondisinya lebih ekstrem, karena penurunannya mencapai 24%, berdasarkan jumlah transaksi, dibanding kuartal sebelumnya.

Dengan data yang ada, bisa dibilang tren investasi Q1 2020 di Indonesia belum terdampak terlalu serius. Secara regional, Sequoia Capital India menyatakan sudah berinvestasi tahap awal ke tiga startup, sementara pemodal ventura Rocket Internet yang berbasis Singapura, Global Founders Capital, telah berinvestasi tahap awal ke dua startup.

VC menyesuaikan

Menanggapi kondisi ini, Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menyampaikan bahwa perusahaannya tetap akan melakukan investasi ke startup seperti waktu-waktu sebelumnya. Menurutnya, perlambatan dalam kesepakatan mungkin saja terjadi –tanpa pembatalan—karena beberapa startup mulai menggeser fokus bisnisnya menyesuaikan pangsa pasar.

“Kalau hujan berinvestasi untuk payung, kalau panas untuk topi,” begitu ujar Willson menganalogikan, seperti dikutip Bisnis.com.

Selama kuartal pertama, mereka telah berinvestasi setidaknya ke empat startup Indonesia, yakni Hacktiv8, Moladin, Greenly, dan Nusantics. Yang terakhir, East Ventures dan sejumlah portofolionya membantu Nusantics melakukan penggalangan dana untuk membuat tes PCR mandiri dengan meluncurkan inisiatif “Indonesia Pasti Bisa”.

Hal senada dilayangkan CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro. Menurutnya pandemi jelas akan mempengaruhi proses pendanaan startup di Indonesia. Kendati demikian, pihaknya masih terus aktif untuk menemukan startup yang layak didanai, salah satunya dengan melakukan sesi pitching secara online.

“Pada 2020 kami ada budget Rp50 miliar untuk dua hingga tiga investasi baru. Juga menyiapkan dana Rp50 miliar untuk pendanaan lanjutan. Startup yang diincar adalah fintech yang harus bisa sinergi dengan Mandiri Group seperti insurtech dan remittance,” terang Eddi seperti dikutip Kontan.

Di sisi lain, beberapa rencana modal ventura mulai terganggu. Pada November 2019 lalu, Mandiri Capital mengumumkan hendak mengumpulkan dana kelolaan (venture fund) yang bernilai total $100 juta. Karena Covid-19, pihaknya sulit untuk melakukan roadshow pengumpulan dana investor ke Jepang, Korea Selatan, dan beberapa negara tujuan lainnya. Kemungkinan penggalangan dana ini dilanjutkan di Q3 2020 jika pandemi benar-benar berakhir.