AC Ventures is Agaeti Ventures and Convergence Ventures’ New Identity

The two local venture capitals, Agaeti Ventures and Convergence Ventures, has officially merged and took a new name as AC Ventures (ACV). Both company’s partners are joining the new entity. They are Adrian Li, Michael Soerijadji, Donald Wihardja, and Pandu Sjahrir.

The four partners to lead the joint team consist of 6 investment professionals and the operational team. No team member are laid off because of this merger.

AC Ventures to invest in 35 early-stage startups within the next three years. Its preferred focus are e-commerce, digital content enabled service, financial technology, and MSME enabled technology.

“From key business development to C level recruiting and follow on fund raising, we have the knowhow, experience, and network to support our founders closely,” Wihardja said.

AC Ventures

ACV is said to have formally established since Q3 2019. They have started investing with the new entity, through Partners’ capital, since the last 6 months, but yet to announce the current portfolios and the amount of managed funds.

Soerijadji and Wihardja told DailySocial that the current fund–the third for Agaeti, Convergence, and ACV–is yet to be closed. They said majority of LPs are foreign investors. They are regional digital corporates, local conglomerates, and venture capitalists from the U.S. and China.

Soerijadji and Wihardja also said that the ticket size for the current fund will be bigger than the previous one- the usual hundred of thousands to millions of dollars.

AC Ventures board of partners
AC Ventures board of partners

Soerijadji said, “The first wave of investments has accelerated technological adoption on online shopping, ride hailing, travel and fintech. However, Indonesia is still relatively early along the adoption curve and the next wave will continue to follow more developed markets and see disruption happen in many more traditional spaces as well as new opportunities.”

In total ACV has invested in 70 startups. Convergence has 5 exits and Agaeti with 1. Each fund is fully deployed.

Following the merger, each portfolio will still be managed separately. Nonetheless, startup portfolios will have access to this new partnership to support their startup’s growth.

One of the partnerships is the follow-on funding capability through Indies Capital because Pandu Sjahrir is also a Managing Partner at Indies Capital.

“Our objective was to consolidate our resources to create a platform of exponential value that can provide significant support to our portfolio Founders as they build and scale successful businesses across Indonesia – the largest market in Southeast Asia,” Adrian said.

Consolidation trend

ACV is the first consolidated VC firm to be officially announced in Indonesia. After the first wave of investment in the past decade, some venture capitals are said to start a consolidation to raise the next round of fund.

After Arya Setiadharma joined as a Partner for MDI Ventures, Prasetia Dwidharma is said to have joint management with Everhaus under Prasetia Everhaus Ventures label. Another word in the street says that Singapore’s Koru Ventures now manages the Venturra Capital portfolio.

This trend is expected to continue, given the uncertain global conditions due to the Covid-19 pandemic. However, investors agree that Indonesia has tremendous potential and they are committed to supporting the growth of local startups.

“Indonesia already has an established track record of creating billion dollar valuations for tech-enabled businesses. Given that Indonesia is forecast to be the fourth largest country in terms of GDP by 2030, we are still only at the early stages of potential future value creation through technology,” Sjahrir said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

AC Ventures Jadi Entitas Baru Agaeti Ventures dan Convergence Ventures

Dua perusahaan modal ventura (venture capital) lokal, Agaeti Ventures dan Convergence Ventures, hari ini resmi mengumumkan merger dan kini bernama AC Ventures (ACV). Para Partner kedua perusahaan menjadi Partner perusahaan baru ini, yaitu Adrian Li, Michael Soerijadji, Donald Wihardja, dan Pandu Sjahrir.

Empat partner ini akan memimpin tim gabungan yang terdiri 6 profesional di bidang investasi dan tim operasional. Perusahaan memastikan tidak ada pegawai yang di-lay off terkait penggabungan bisnis ini.

Fokus AC Ventures adalah berinvestasi ke 35 startup tahap awal dalam 3 tahun mendatang. Prioritas pendanaan adalah startup di sektor e-commerce, layanan berbasis konten digital, fintech, dan teknologi untuk UKM.

“Dari pembangunan bisnis kunci ke perekrutan C-level dan pendanaan lanjutan, kami memiliki pengetahuan, pengalaman, dan jaringan untuk mendukung para pendiri secara dekat,” ujar Donald.

AC Ventures

ACV disebut telah diformalisasi sejak Q3 2019. Mereka mengklaim telah mulai berinvestasi dengan entitas baru, melalui dana Partner, selama 6 bulan terakhir, tetapi belum bersedia mengumumkan siapa portofolio barunya dan berapa dana kelolaannya sekarang.

Kepada DailySocial, Michael dan Donald mengungkap dana  saat ini–dana kelolaan ketiga bagi Agaeti, Convergence, dan ACV–masih belum fully close. Mereka menyebut persentase terbesar LP-nya adalah pihak asing. Termasuk dalam jajaran LP untuk dana kali ini adalah korporasi digital regional, konglomerat lokal, dan para pendiri dana ventura di Amerika Serikat dan Tiongkok.

Michael dan Donald menyebutkan ticket size per startup dari dana kelolaan baru akan lebih besar dibanding ticket size mereka terdahulu, yang berkisar antara ratusan ribu dollar hingga jutaan dollar.

Jajaran Partner AC Ventures
Jajaran Partner AC Ventures

Michael mengatakan, “Gelombang pertama investasi [di Indonesia] telah mengakselerasi adopsi teknologi di belanja online, transportasi, travel, dan fintech. Meskipun demikian, Indonesia masih cukup muda di kurva adopsi [teknologi] dan gelombang berikutnya akan melihat disrupsi di lebih banyak ruang tradisional dan [menciptakan] peluang baru.”

Dari dana terdahulu, ACV secara total telah berinvestasi ke 70 startup, dengan Convergence telah memiliki 5 exit dan Agaeti memiliki 1 exit. Dana kelolaan yang dimiliki masing-masing disebut telah sepenuhnya dialokasikan.

Pasca merger ini, masing-masing portofolio akan tetap dikelola secara terpisah. Meskipun demikian, startup portofolio akan mendapatkan akses ke kemitraan baru ini untuk mendukung pertumbuhan startup mereka.

Salah satu kemitraan yang tercipta adalah potensi pendanaan tahap lanjut melalui Indies Capital, karena Pandu Sjahrir juga merupakan Managing Partner di Indies Capital.

“Tujuan kami adalah mengonsolidasi sumberdaya kami untuk menciptakan platform dengan nilai eksponensial yang dapat memberikan dukungan signifikan bagi para Pendiri startup portofolio kami untuk membangun dan meningkatkan bisnisnya di seluruh Indonesia–pasar terbesar di Asia Tenggara,” ujar Adrian.

Tren konsolidasi

Pendirian ACV merupakan konsolidasi perusahaan VC pertama yang resmi diumumkan di Indonesia. Setelah gelombang investasi tahap pertama dalam 10 tahun terakhir, beberapa perusahaan modal ventura disebut-sebut mulai melakukan konsolidasi agar bisa mengumpulkan dana kelolaan tahap berikutnya.

Pasca bergabungnya Arya Setiadharma ke jajaran Partner MDI Ventures, Prasetia Dwidharma disebut memiliki manajemen bersama dengan Everhaus dengan entitas Prasetia Everhaus Ventures. Rumor lain menyebut Koru Ventures Singapura kini ikut mengelola portofolio Venturra Capital.

Tren ini diperkirakan akan terus berlanjut, mengingat kondisi global yang tidak menentu akibat pandemi Covid-19. Meskipun demikian, para investor tetap sepakat bahwa Indonesia memiliki potensi yang luar biasa dan mereka berkomitmen mendukung pertumbuhan startup lokal.

“Indonesia telah memiliki track record yang jelas untuk menciptakan valuasi miliaran dollar bagi bisnis berbasis teknologi. Dengan Indonesia diperkirakan menjadi salah satu ekonomi terbesar dunia, berdasarkan GDP di tahun 2030, kita masih berada di fase awal dalam menciptakan nilai-nilai masa depan melalui teknologi,” ujar Pandu.

Patamar Capital Galang Dana Baru di 2020, Incar Vertikal Finansial dan UKM

Perusahaan modal ventura berbasis San Francisco, Patamar Capital, yang memiliki Partner dan portofolio luas di Indonesia, tengah melakukan penggalangan dana kedua untuk pengembangan portofolio yang lebih agresif di 2020. Dari target dana yang dikumpulkan sebesar $150 juta (sekitar 2,5 triliun Rupiah), Patamar menyebut sudah mengantongi $60 juta (sekitar 1 triliun Rupiah) saat ini.

“Kami lagi mencari Limited Partner (LP) dari luar negeri. Target kami closing penuh $150 juta di akhir tahun. Begitu sudah dapat komitmen, kami sudah bisa berinvestasi karena partially dananya sudah available,” papar Partner Patamar Capital Dondi Hananto saat diwawancarai DailySocial.

Dondi mengungkapkan, fokus investasi masih membidik empat negara di Asia, yakni Indonesia, Filipina, Vietnam, dan India. Pihaknya juga tetap mengincar startup tahap seri A yang dapat memberikan social impact. Saat ini, Patamar sedang penjajakan ke dua startup di Indonesia dan akan closing satu deal di Vietnam dalam waktu dekat.

Untuk sekarang, Patamar belum tertarik berinvestasi ke startup yang fokus pada environmental impact, karena secara model bisnis sulit untuk scale up. Menurutnya, jika ingin masuk ke sini, startup perlu blended-finance yang modalnya tidak hanya datang dari investor. Artinya perlu ada kolaborasi dengan yayasan, program CSR, atau dana sosial.

“Pembelajaran terbesar kami selama ini adalah masuk ke bisnis yang tech-enabled jika scalability ingin cepat. Tidak harus full tech, tetapi setidaknya ada tech enablement karena most of our business challenge terbanyak ada di operasional bukan teknologi,” jelasnya.

Selain itu, lanjut Dondi, hipotesis investasi akan fokus pada dua vertikal bisnis, yakni layanan keuangan dan layanan untuk pengembangan Small Medium Enterprise (SME). Jika dirinci, Patamar mengincar lima sub vertikal layanan keuangan, antara lain pembayaran, remitansi, P2P lending, asuransi, dan investasi.

Menurut Dondi, pengembangan segmen payment dinilai susah-gampang. Susah karena bagaimanapun juga strateginya, dominasinya akan tetap dipegang oleh dua pemain besar, seperti GoPay dan OVO. Di sisi lain, pemain baru dapat berhati-hati dengan belajar dari kasus yang terjadi di industri global.

Menariknya, kategori P2P lending memiliki potensi pasar yang begitu luas mengingat akses terhadap pinjaman di Indonesia masih rendah. Meski terdapat ratusan startup yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pemain yang fokus di niche market saja punya segmen yang sangat besar.

“Untuk hipotesis SME, kita tahu bahwa UKM di sini banyak sekali. Ada sekitar 58 juta dengan 90 persen itu termasuk mikro yang pendapatan per tahun rata-rata 200 juta. Kami ingin bantu mereka berbisnis dengan mudah, makanya ini nanti nyambung ke financial services. Bisa jadi masuk ke POS System atau B2B commerce,” tambah Dondi.

Patamar Capital memulai debut investasinya di Asia sejak 2014 dengan dana putaran pertama senilai $45 juta. Di Indonesia, Patamar memiliki beberapa portofolio, termasuk Sayurbox dan Mapan. Yang terakhir telah diakusisi penuh oleh Gojek. Kemudian di 2017 firma meluncurkan “Mini Fund” yang diinvestasikan khusus untuk female founder senilai $3 juta di tahap seed stage.

Antisipasi risiko bisnis

Terkait dengan situasi lockdown di sejumlah negara, Dondi mengaku pihaknya sedang mengantisipasi bagaimana risikonya terhadap seluruh portofolio Patamar. Secara umum, kemungkinan perlambatan pertumbuhan bisnis dapat terjadi, terutama bisnis yang sangat bergantung ke Tiongkok.

Patamar juga sedang melakukan penggalangan dana dan penjajakan investasi ke sejumlah startup. “Buat saya, dapat $100 juta sudah cukup untuk bisa mengeksekusi strategi kami. Mungkin saja nanti bisa direvisi,” ujar Dondi.

Sebetulnya, ungkap Dondi, tanpa bicara soal penyebaran COVID-19 ini, aktivitas investasi startup di dunia sudah mulai berhati-hati. Beberapa pemicunya adalah “kegagalan” investasi Softbank pada sejumlah portofolionya, seperti OYO dan WeWork. Juga adanya perlambatan ekonomi di Amerika Serikat (AS).

“[Proses investasi] ini kan semua seperti rantai makanan. Efeknya, kalau Softbank ‘goyang’ atau ‘tidak lapar’, bisa jadi ini berdampak ke iklim investasi ke ekosistem di bawahnya. Mereka tidak bisa raise [pendanaan] lagi,” ucapnya.

Laporan DSResearch: Startup Report 2019

Startup digital saat ini menjadi elemen penting perekonomian bangsa. Dampaknya dirasakan oleh berbagai kalangan. Mulai dari UKM yang diakselerasi dengan online marketplace, akses pendidikan yang makin terjangkau lewat edutech, hingga sistem keuangan yang lebih luas berkat fintech. Selain itu, masih banyak sektor lain yang berhasil terbantu melalui demokratisasi teknologi produk startup.

Pun ditinjau dari sisi bisnis, berbagai peluang yang ada seperti pangsa pasar yang besar dan keterbukaan regulator terhadap investasi, membuat para founder mantap memulai bisnis digitalnya. Terbukti hingga tahun 2019 Indonesia telah miliki ribuan startup dengan 1 decacorn, 6 unicorn, dan 27 centaur.

Untuk meninjau mengenai perkembangan startup digital sepanjang tahun lalu, DSResearch mempersembahkan laporan riset bertajuk “Startup Report 2019: Scaling Through Technology Democratization”. Laporan ini berisi banyak empat bagian utama terkait pangsa pasar, tren startup, aksi korporasi, dan isu serta peluang yang masih terbuka lebar.

Beberapa pembahasan yang terangkup dalam laporan meliputi:

  1. Tahun 2019 tercatat ada 113 pendanaan startup yang disampaikan ke publik. Dari 59 transaksi yang diumumkan nominalnya, total yang berhasil dibukukan mencapai $2,9 miliar.
  2. Startup di sektor finansial mendominasi pendanaan startup sepanjang tahun 2019, disusul produk berbasis SaaS dan layanan e-commerce.
  3. East Ventures jadi investor yang paling banyak memberikan pendanaan, totalnya ada 19 transaksi sepanjang tahun 2019. Sementara MDI Ventures yang paling banyak menoreh exit, 4 melalui akuisisi dan 1 IPO.
  4. Sektor “New Retail” mendapatkan peluang besar untuk bertumbuh. Beberapa startup seperti GrabKios, Warung Pintar, Kopi Kenangan dan Fore Coffee berhasil merangkul jajaran investor yang kuat untuk membantu bisnisnya berkembang.

Selain empat poin di atas, masih banyak pembahasan lain yang ada di laporan. Termasuk daftar lengkap pendanaan startup, gambaran vertikal bisnis yang paling bertumbuh sepanjang tahun, hingga isu-isu yang masih banyak dihadapi ekosistem. Selengkapnya, unduh gratis Startup Report 2019.


Disclosure: DSResearch bermitra dengan Bank Mandiri dan Vidio dalam penerbitan laporan ini.

Muncul Sebagai Industri Agnostik, Indogen Capital Berkomitmen Bantu Investor Masuk Pasar Indonesia

Industri VC terus tumbuh secara signifikan, terkait pasar Indonesia sebagai salah satu yang paling aktif di kawasan Asia Tenggara. Salah satu yang menjadi kontributor adalah Indogen Capital, investor pada sektor agnostik di Asia Tenggara dengan pengalaman operasi yang fokus pada peta persaingan pasar Indonesia.

Dari sisi sumber daya, Indonesia sangat menggugah dengan semua dinamika gaya hidup dan bisnis di dalamnya. Indogen Capital, sebagai VC dengan pengalaman terkait  bisnis keluarga dan jaringan yang kuat, bertujuan untuk menjadi mitra bagi VC asing yang ingin melakukan ekspansi ke pasar Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Hal ini yang membuat mereka berbeda dari VC lainnya.

Managing Partner Indogen Capital, Chandra Firmanto mengatakan, “Indonesia menjadi yang utama untuk pasar digital, dan kami melihat bahwa Indonesia semakin agresif. Sebagian besar pemain besar bukan lokal, mereka tidak memiliki pengetahuan tentang budaya dan kebiasaan kita. Saya melihat ini sebagai peluang modal ventura membantu VC asing untuk expand portofolionya.”

Fokus dan target investasi

Sebagai modal ventura, tak ayal profit menjadi tujuan akhir. Meskipun melabeli diri sebagai industri agnostik, Indogen Capital berkomitmen untuk berinvestasi hanya di sektor yang menjanjikan, seperti fintech, gaya hidup (termasuk esports), logistik & e-commerce, AI & Blockchain, dan Edutech.

“Metriknya jelas, harus ada nilai dalam teknologi. Karena itu, lembaga keuangan membutuhkan layanan Anda

Dari segi tahapan, Firmanto mengungkapkan saat ini perusahaan memiliki spesialisasi pada pra-Seri dan Seri A. Mereka hanya menargetkan post-seed, bukan seed karena berisiko tinggi. Namun, ia mengakui bahwa perusahaan juga memiliki pengecualian, terutama pada perusahaan yang melibatkan profesional atau serial entrepreneur.

Targetnya jelas, harus exit, tetapi caranya bisa berbeda-beda. Ada tiga cara exit yang disebutkan oleh Managing Partner Indogen Capital. Pertama, dari IPO. Dalam hal ini, akan ada periode lockdown [6 hingga 1 tahun] untuk sepenuhnya exit. Kedua, exit melalui akuisisi. Hal ini paling mungkin terjadi dengan valuasi yang cukup fleksibel berdasarkan permintaan. Ketiga, adalah jsecondary exit, di mana investor bisa menjual saham yang sudah mapan kepada VC atau investor lain.

Secondary exit ini sangat menarik, ini menjadi alasan mengapa kita harus membangun hubungan yang baik di antara VC,” tambah Chandra.

Portfolio saat ini

Indogen Capital mulai beroperasi pada akhir 2016, ketika Managing Partner, Chandra Firmanto lulus dari bisnis keluarganya lalu memulai sebuah inovasi baru dengan beberapa teman. Mereka mulai berinvestasi sejak 2017 dan berhasil mencatat 18 portofolio hingga saat ini, termasuk platform perdagangan mobil terkemuka di Asia Tenggara, Carsome, dan pasar online produk perancang busana Islam lokal di Indonesia, Hijup. Salah satu yang terbaru adalah platform penyewaan jangka pendek dan manajemen properti, Travelio.

Dari 18 portofolio yang ada, tiga diantaranya sudah exit. Yang pertama adalah Spacemob yang diakuisisi oleh WeWork pada 2017. Kedua, mereka exit dari Clearbridge Health dengan IPO di Singapore Stock Exchange. Terakhir, ada AINO, solusi pembayaran untuk sektor transportasi dan pemerintah di Indonesia yang telah diakuisisi sebagian oleh TIS Corp.

“VC memang sarat kompetisi. Namun, ketika kami menawarkan nilai tambah, kita bisa ubah jadi kolaborasi. Dalam hal ini, kami memiliki jejaring yang kuat dan kemauan untuk hands-on,” ujar Chandra.

exit

Di balik semua kisah sukses, pasti ada pelajaran bermakna. Dalam hal ini, Indogen Capital juga pernah mengalami investasi yang tidak terlalu baik pada salah satu layanan on-demand dalam bidang pekerjaan domestik dan binatu di Indonesia. Masalah ini menjadi rumit ketika membahas rencana masa depan perusahaan. Pada saat itu, kami menyederhanakan skema exit dan terlalu fokus pada hal-hal kecil yang tidak berdampak besar.

“Satu hal penting yang saya pelajari, adalah wajib hukumnya untuk mengkonfirmasi dengan para pemain apakah mereka memiliki keinginan untuk produk atau layanan tertentu dalam ekosistem mereka,” kata Firmanto.

Terkait fundraising

Indogen Capital telah mencetak Fund pertama sebesar US$ 10 juta dengan LP yang terlibat semuanya lokal dan 80% sudah tersalurkan. Saat ini, mereka sedang mengincar dana kedua sebesar US$ 50 juta, akan segera menutup US$ 10 miliar pertama dari jaringan global, seperti Hongkong, Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang. Mengenai sisa 40 miliar, Firmanto mengatakan tim telah menyediakan ruang untuk perusahaan-perusahaan besar.

Setiap startup memiliki jenis kebutuhan yang berbeda, Indogen Capital mencoba mengakomodasi semua ini melalui investor yang tepat. Itulah alasan di balik dana pertama mereka yang hanya melibatkan LP lokal. Hal ini yang menjadi kekuatan mereka. Para investor datang tidak hanya dari Pulau Jawa tetapi dari seluruh Indonesia.

“Jangan bilang ingin jadi mitra investasi untuk Indonesia jika hanya bisa mendukung yang di pulau Jawa,” kata Firmanto.

Mengenai ticket size, mereka menetapkan sekitar 200-500 ribu pada dana pertama. “Kami bahkan bukan ancaman bagi VC lain. Hal ini lebih kepada untung daripada rugi,” lanjut Chandra.

Pihaknya menyatakan telah melampaui target pengembalian investasi tahunan sebesar tiga puluh persen secara konsisten tahun-ke-tahun. Timnya mengaku sangat agresif ketika menetapkan target 3-5 pengembalian atau return dalam 7 tahun.

 

Indogen Capital is an Industry-Agnostic, Bridging Investors to Indonesian Market

The VC industry continues to grow in its significant way, as the Indonesian market still one of the most crowded in the Southeast Asia region. One of the contributors is Indogen Capital, a sector agnostic investor in Southeast Asia with deep operating experience in the Indonesian market.

In terms of resources, Indonesia is very attractive with all the dynamics in lifestyle and businesses. Indogen Capital, as a VC with family-business background experiences and powerful network, aims to be a value-adding partner for overseas VCs looking to grow in expand into the Southeast Asia market, particularly Indonesia. That is supposedly what makes them different from other VCs.

Indogen Capital’s Managing Partner, Chandra Firmanto said, “Indonesia becomes prime for the digital market, and we see that it’s getting aggressive. Most big players are not local, they didn’t have knowledge of our culture and habit. I see an opportunity for venture capital to help overseas VC to expand its portfolio.”

Investment focus and target

As a venture capital, profit becomes the ultimate goal. Although they claimed to be an industry-agnostic, Indogen Capital commits to investing only in hot sectors, such as fintech, lifestyle (including esports), logistics & e-commerce, AI & Blockchain, and Edutech.

“The metric is clear, there must be value in technology. Therefore, the financial institution needs your service

In terms of stage, Firmanto said the VC is specialized in pre-Series and Series A. They only target post-seed, not the seed level due to high-risk. However, he admits that the company has exceptions, particularly on the organizations that involved professionals or serial entrepreneurs.

The target has always been clear, it’s to exit, but the approach can be different. There are three ways of exit, shared by Indogen Capital’s Managing Partner. First, it’s from the IPO. In this case, there will be lockdown period [6 to 1 year] to fully exit. Second, exit through a major acquisition. This one is likely to happen and valuation is quite flexible based on demand. Third, is a secondary exit, where you can trade established shares to other VCs or investors.

“The secondary exit is very attractive, it is the reason why we have to build a good relationship among VCs,” Firmanto added

The portfolio story

Indogen Capital began operation in late 2016, it’s when the Managing Partner, Chandra Firmanto, has graduated from his family business and initiated something new with some friends. They started to invest in organizations since 2017 and managed to invest in 18 portfolios today, including the leading car trading platform in Southeast Asia, Carsome, and the online marketplace of local Islamic fashion designers’ products in Indonesia, Hijup. The latest one is a short-term rental and property management platform, Travelio.

Among the 18 portfolios, three have exited. The first one is Spacemob which acquired by WeWork in 2017. Second, they exited from Clearbridge Health by IPO on the Singapore Stock Exchange. Last but not least, AINO, a payment solution for transportation and government sectors in Indonesia which partially acquired by TIS Corp.

“VC is indeed a competition. However, when we have added value, it may turn into collaboration. In this case, we have powerful networking and willingness to hands-on,” Firmanto said.

door-1590024_1920

Behind the success stories, there must be lessons learned. In this case, Indogen Capital happened to experience not-so-good investment to one of the on-demand housekeeping and laundry services in Indonesia. It’s a complicated issue concerning future plans. At that time, we simplify our exit scheme and too focused on small matters.

“One thing I learn, the most important is to confirm with the players whether they demand to have certain services in their ecosystem,” Firmanto said.

Fundraising terms

Indogen Capital has closed its first fund at US$10 million with only local LPs involved and already 80% deployed. Currently, they are aiming for US$50 million second fund, soon to close the first US$10 billion from global networks, such as Hongkong, Taiwan, South Korea, and Japan. Regarding the rest billion, Firmanto said the team has reserved space for big corporations from other countries.

Every startup has a different kind of special needs, Indogen Capital tries to accommodate all these through the right investors. That is the reason behind their first fund involved only the local LPs. This is what becomes their strong point. The investors come from not only Java Island but all over Indonesia.

“You cannot be the investment partner for Indonesia if you can only support Java,” Firmanto said.

Regarding ticket size, they set around 200-500 thousand at the first fund. “We’re not even a threat to other VCs. It’s rather an advantage than a disadvantage,” Firmanto continued.

It is said that they have consistently exceeded their annual investment return target of thirty percent year-on-year. The team is very aggressive, they even set a target for 3-5 return in 7 years.

Penyebaran COVID-19 Belum Pengaruhi Iklim Investasi VC di Indonesia

Di tengah aktifnya rencana pembentukan dana kelolaan baru dan penggalangan dana dari Limited Partner (LP) dalam dan luar, sejumlah venture capital (VC) di Indonesia mengaku kemunculan kasus pertama virus Corona (COVID-19) belum terlalu mempengaruhi agenda investasinya saat ini.

Menurut Head of Investor Relations & Capital Raising MDI Ventures Kenneth Li, dampaknya belum akan terasa untuk iklim investasi dalam negeri. MDI Ventures tahun ini sedang menyiapkan dua dana kelolaan baru dan menggalang dana senilai Rp7 triliun.

Hanya saja, ungkap Kenneth, sejumlah aktivitas MDI Ventures di Singapura mulai diredam dan dikerjakan dari rumah (work from home).

“Tapi, fundraising dari global mungkin agak melambat karena akses untuk air travel mulai sulit. Untungnya, kami sudah mau close semua, jadi tidak terlalu berimbas untuk MDI Ventures,” ungkap Kenneth kepada DailySocial.

VP of Investor Relation & Strategy BRI Ventures Markus Liman Rahardja memiliki pandangan yang sama. Ia juga menilai bahwa penyebaran COVID-19 belum terlalu berimbas besar terhadap industri VC di Indonesia, melainkan bisnis yang berkaitan langsung dengan konsumen.

“Sebetulnya, yang hit hard bukan kami, tapi mereka yang bermain di B2C, seperti OTA dan hospitality. Nah, pengaruhnya jadi sedikit-banyak. Sedikit di kami karena meeting yang dijadwalkan terpaksa ditunda. Tapi, banyak di mereka [bisnis B2C],” tuturnya

Markus juga menyebut bahwa hingga saat ini belum ada proses yang terganggu dari pengajuan izin pembentukan entitas di Singapura untuk dana kelolaan baru BRI Ventures.

Sementara itu, Managing Partner IndoGen Capital Chandra Firmanto lebih mengkhawatirkan apabila masyarakat bereaksi berlebihan terhadap kasus COVID-19 di Indonesia. Pasalnya, hal tersebut dapat memperlambat berbagai aktivitas dan iklim investasi.

“Sebetulnya appetite dan dana [berinvestasi] itu ada. Itu yang paling penting. Tapi jadi tertunda saja karena closing bisa jadi lebih lambat dari target awal,” tuturnya.

Ancaman COVID-19 terhadap industri startup dunia

Sejumlah perusahaan global telah mengambil langkah signifikan untuk menghindari risiko penyebaran virus Corona yang lebih luas. Sebagaimana diwartakan CNN, JPMorgan Chase & Co meminta 1.000 karyawannya untuk bekerja dari rumah untuk mengetes bagaimana penyebarannya.

Perusahaan raksasa teknologi yang “bermukim” di Seattle, seperti Amazon, Facebook, Google, dan Microsoft juga melakukan hal yang sama kepada seluruh pekerjanya. Hal ini menyusul salah satu karyawan Facebook yang dinyatakan positif terfinfeksi virus Corona.

Keputusan-keputusan tersebut mendorong Google menggratiskan layanan Hangouts Meet premium. Kebijakan ini berlaku sejak pekan lalu hingga 1 Juli 2020. Google berharap hal ini dapat memudahkan setiap orang bekerja dari rumah.

Tak dapat dihindari, penyebaran COVID-19 di lebih dari 90 negara mulai memberikan efek domino terhadap aspek perekonomian dan bisnis di dunia. Salah satu sektor yang diprediksi terdampak adalah industri startup.

Dalam tulisannya yang dimuat di Mediumperusahaan VC raksasa Sequoia Capital memperingatkan bahwa penyebaran COVID-19 bakal memberikan efek turbulensi terhadap bisnis dan iklim investasi di industri startup dunia. Sequoia bahkan menyebut COVID-19 sebagai “The Black Swan di 2020”.

“Karena ada di sejumlah negara, kami menyadari lebih awal tentang efek corona terhadap bisnis global. Memang ada bisnis yang akan terdampak positif dengan hal ini, tapi sejumlah perusahaan mengalami kesulitan seiring dengan adanya penurunan aktivitas, penundaan meeting karena travel ban, dan imbas supply chain karena adanya lockdown di sejumlah pabrik di Tiongkok,” paparnya.

Sequoia memperingatkan seluruh ekosistem startup dan turunannya untuk memikirkan ulang sejumlah aspek bisnisnya di sepanjang tahun ini. Beberapa aspek penting ini adalah pengelolaan dan pengeluaran modal, penggalangan dana, prediksi penjualan, penambahan karyawan, peningkatan produktivitas, hingga strategi marketing.

“Meskipun mungkin bisnis Anda belum akan terdampak langsung dari kasus ini, Anda perlu mengantisipasi bahwa konsumen bisa saja mengubah spending habit mereka,” menurut Sequioa.

Intudo Ventures Berbicara tentang Startup Tahap Awal, Kesenjangan, dan Antisipasi Perlambatan Ekonomi

Intudo Ventures merupakan salah satu pemodal ventura yang fokus mendanai startup di Indonesia. Jika melihat porsi pendanaannya, cukup menjangkau seluruh skala, mulai dari tahap awal (early stage) hingga tahap berkembang (later stage). Kami berkesempatan berbincang dengan Founding Partner Eddy Chan, mendiskusikan tren dan isu seputar investasi.

Mengawali perbincangan Eddy kembali menegaskan posisi Intudo, “Kami fokus pada pendanaan tahap awal, khususnya untuk seri A (50%), namun tetap memberikan kesempatan dalam investasi pra-seri A (25%) dan seri B (25%).”

Di pra-seri A tujuannya lebih ke arah eksperimental, mendukung ide dan konsep bisnis baru agar dapat lepas landas. Sementara di seri B dialokasikan kepada startup yang telah berhasil memberikan dampak besar pada masyarakat Indonesia melalui vertikal bisnis tertentu.

“Untuk seri A, inilah ‘bread and butter’ kami, di mana kami menerapkan secara penuh metodologi Intudo, menawarkan tiga pilar utama meliputi in-market distribution, follow-on capital dan talent sourcing.”

Tidak melihat adanya funding gap

Secara kuantitas, pendanaan seed hingga seri A di Indonesia selalu mendomnasi dari tahun ke tahun. Namun kepercayaan investor pada ide-ide baru tak jarang berujung pada kegagalan bisnis memacu sampai ke tahap selanjutnya – sebagian ambruk, lainnya menutup dengan pivot.

Lantas, apakah ini disebabkan karena adanya funding gap atau kesenjangan yang membuat para startup kesulitan untuk menemukan investor later stage?

“Kami tidak melihat adanya gap di pasar ini. Meski dapat diperdebatkan, kenyataannya sekarang ada lebih banyak modal yang tersedia untuk pendiri dibanding waktu-waktu sebelumnya. Di masa awal, semua orang selalu berbicara tentang series A-gap, series B-gap dan seterusnya. Ketika pasar sudah matang seperti sekarang ini, celah-celah ini terisi dengan sendirinya.”

Data terbaru DSResearch mengemukakan, tren pendanaan tahap seri A ke atas terus meningkat dalam tiga tahun terakhir. Menelisik lebih dalam, metrik pertumbuhan dan potensi vertikal bisnis yang digarap menjadi ukuran kunci.

Di luar itu Eddy memaparkan, saat ini makin banyak pendanaan global yang melirik ekosistem di tanah air. Penawaran yang dilakukan oleh dana baru ini mencakup seluruh “kue ventura”, mulai dari investasi awal hingga putaran pra-IPO. Banyak di antaranya bahkan memotong cek yang lebih kecil dan cepat untuk sekadar menguji efektivitasnya, atau sekadar memberikan eksposur pasar baru untuk mitra pendukung.

Menemukan startup tahap awal

Dana kedua Intudo Ventures telah diluncurkan pada Februari 2018, nilainya mencapai US$50 juta dan dipastikan akan fokus untuk mendanai startup di Indonesia. Setiap tahunnya, mereka optimis bisa menutup 4-6 investasi setiap tahun.

“Hampir semua transaksi kami bersumber melalui hubungan langsung (dengan founder) setelah mengenalnya selama bertahun-tahun, atau melalui perkenalan hangat melalui kontak kami yang sangat tepercaya. Inilah sebabnya mengapa dana yang beroperasi di Indonesia harus memiliki akar lokal yang kuat. Pendanaan tahap awal didasarkan pada rasa saling percaya, hubungan pribadi dan reputasi,” ujar Eddy.

Belum ada rencana untuk menggalang dana baru, sementara dana tersebut di atas masih terus diupayakan terserap startup yang tepat. Terbaru Intudo memimpin pendanaan untuk perusahaan film Visinema untuk merealiasikan visinya meningkatkan cakupan bisnis dan ekspansi internasional.

Selain Visinema, beberapa portofolio lainnya termasuk Populix, Ride Jakarta, TaniHub, Kargo, CoHive, dan BeliMobilGue.

Mengenai pilar Intudo Ventures

Poin pertama in-market distribution, adalah soal menghubungkan startup dengan mitra lokal. Pihaknya mengatakan memiliki hubungan baik dengan para konglomerat hingga eksekutif unicorn di Indonesia, termasuk di bidang keuangan, kesehatan, konsumen, pendidikan hingga teknologi. Fokusnya untuk membantu portofolio menangani pengembangan dan strategi bisnis yang fokus pada distribusi, lokalisasi produk dan hubungan dengan pemerintah.

Berikutnya follow-on capital, mengenai upaya membantu startup tahap awal yang sudah didanai untuk mendapatkan putaran lanjutan melalui jaringan global yang dimiliki. Kurang lebih ada 25 venture capital/private equity/hedge funds yang telah bermitra, salah satunya Founders Fund yang berbasis di San Francisco. Kemudian yang ketiga tentang talent sourcing, berupaya membantu startup untuk terhubung dengan alumni dari universitas ternama di Amerika Serikat dalam mengisi posisi kunci di startup.

Perlambatan iklim investasi

Banyak analis yang mengatakan potensi perlambatan iklim investasi di Asia Tenggara. Penyebabnya beragam, dari isu ekonomi global sampai yang spesifik seperti beberapa kasus over-valuation. Eddy tidak menapik adanya potensi tersebut.

“Kami sudah mulai mengantisipasi dan melihat adanya dana yang ditarik kembali; dan investor yang membimbing perusahaan portofolio untuk memprioritaskan profitabilitas – yang mana pendekatan ini yang secara konsisten telah kami anjurkan untuk portofolio kami selama beberapa dekade terakhir.”

Dalam kasus perlambatan, yang kami terus lakukan adalah fokus mempertahankan disiplin kami. Di luar itu sebenarnya ada dampak baik yang secara tidak langsung terasa akibat sulitnya mencairkan dana investasi. Misalnya alih-alih mendirikan startup baru, para calon founder memilih bergabung ke startup yang sudah ada; artinya dapat sedikit menyelesaikan kesenjangan talenta.

“Tim pendiri kami telah berinvestasi di banyak startup Indonesia, Silicon Valley dan Asia Utara sejak 1990-an. Hal ini memungkinkan kami untuk mengumpulkan pengalaman yang sangat berharga melalui berbagai siklus investasi, termasuk crash dot-com di tahun 2000 dan krisis keuangan global di tahun 2008. Melalui proses ini, kami telah menemukan bahwa sentimen investor sebagian besar didorong oleh keserakahan dan ketakutan, kemudian menghasilkan pendulum konstan yang fokus berlebihan pada pertumbuhan atau profitabilitas,” terang Eddy.

Pendanaan Startup Tak Hanya Soal Valuasi

Selama ini valuasi menjadi acuan utama para pemodal ventura dalam berinvestasi pada sebuah perusahaan. Metrik ini menentukan nilai sebuah perusahaan dan seberapa besar potensi bisnisnya. Salah satu terminologi yang erat dikaitkan dengan valuasi adalah unicorn, disematkan pada perusahaan dengan nilai valuasi di atas $1 miliar. Meskipun demikian, apakah valuasi menjadi satu-satunya ukuran pertumbuhan bisnis sebuah startup?

Industri VC atau Venture Capital sendiri masih tergolong muda di Indonesia dan baru mulai aktif dalam satu dekade terakhir. Masing-masing VC punya penilaian tersendiri dalam menentukan portfolio. Valuasi menjadi hal yang sangat penting bagi model bisnis ini untuk memproyeksikan rasio pengembalian (rate of return) investasi mereka. Hal ini yang juga membuat para investor berani mengasah nilai valuasi setinggi-tingginya demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Di akhir tahun 2019 lalu, kita sempat dikejutkan dengan isu beberapa startup unicorn, seperti WeWork, Uber, dan OYO yang mengalami permasalahan bisnis. Siapa sangka jika perusahaan dengan valuasi tinggi dan didukung investor besar bisa tersandung masalah finansial. Ternyata valuasi saja tidak bisa menjamin keberlangsungan bisnis sebuah perusahaan.

Berbagai isu mengenai valuasi startup membuat para penyuntik dana ketar-ketir. Faktanya startup tak hanya tentang valuasi. Terdapat sejumlah faktor yang membentuk sebuah perusahaan sampai pada tahapannya saat ini.

Fundamental value

Sebelum masuk ke ranah valuasi, terdapat peran esensial yang ada dalam perusahaan itu sendiri, yaitu founder. Sebelum menyuntik dana ke perusahaan, investor harus terlebih dulu menanam kepercayaan pada founder. Ketika keduanya sudah align, barulah bisa masuk ke pembicaraan mengenai valuasi.

Peran seorang Founder, yang kerap merangkap CEO bisa diibaratkan sebagai seorang nahkoda yang bertugas menentukan arah perusahaan, namun tanpa kapasitas yang mumpuni bisa menenggelamkan kapal yang telah dibangun sedemikian rupa.

Iklim bisnis yang positif di Indonesia juga turut mengambil peran dalam perkembangan industri startup. Lima unicorn menjadi bukti serta menunjukkan pasar yang semakin mature. 

Co-founder dan Direktur Tokopedia Leontinus Alpha Edison mengatakan, “Founder dalam satu dekade terakhir harusnya memiliki kualitas yang lebih baik, didukung dengan penetrasi internet dan mobile yang sudah terbangun, serta akses pada pendanaan yang lebih mudah.”

Tahapan pendanaan

Dalam praktiknya ada beberapa tahapan dalam pertumbuhan bisnis startup. hal ini turut mempengaruhi investasi dan valuasi perusahaan. Masing-masing pemodal ventura memiliki fokus tersendiri. Ada yang lebih fokus ke early stage, yang lain memilih bermain aman dengan investasi pada later stage.

Kepada DailySocial, Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan, “Setiap tahapan startup memiliki metrik yang berbeda. Di tahap awal kami akan memantau adopsi pengguna, selanjutnya akan lebih fokus pada unit ekonomi. Tidak ada aturan tunggal yang bisa berlaku untuk semua.”

Di sisi lain, dengan banyaknya jenis modal ventura yang ada, masing-masing punya strategi tersendiri dalam mengisi portfolio. Salah satunya dari Corporate Venture Capital (CVC), yang lebih fokus pada strategi dan potensi pemanfaatan aset.

CEO Telkomsel Mitra Inovasi (TMI), dana kelolaan milik Telkomsel, Andi Kristianto mengatakan, “Sebagai modal ventura korporasi, kami lebih fokus pada later stage. Dengan aset yang begitu banyak, kami berharap investasi ini bisa disalurkan pada semua vertikal startup yang relevan dengan core business kami.”

Strategi Investor

Menanggapi isu WeWork dan Uber, Willson tidak melihat kasus ini berdampak signifikan dengan kondisi di tanah air. Sebagai pemodal ventura, ia memandang memang ada nilai-nilai yang harus dipegang teguh agar kelak tidak tersandung persoalan seperti ini.

“Kami memahami bahwa disiplin finansial itu penting dan kami hanya akan memberikan valuasi yang fair kepada model bisnis, inovasi, serta penciptaan nilai yang baik,” tambah Willson.

Menurut pemaparan CEO DailySocial Rama Mamuaya, data menunjukkan adanya penurunan jumlah startup yang menerima pendanaan. “Tidak lagi menyuntik dana sedikit-sedikit di beberapa perusahaan, tetapi invest ke sebuah perusahaan dalam jumlah besar,” ujarnya.

Hal ini bisa berarti para investor semakin selektif dalam berinvestasi. Untuk pendanaan dalam jumlah besar tentu saja tidak cukup hanya melihat valuasi. Dibutuhkan metrik lain untuk bisa mendapatkan kepercayaan dari sisi investor, salah satunya adalah founder yang berkualitas.

“Tidak hanya financial gain, tapi juga fundamental value,” ujar Andi.

Dalam kasus WeWork dan Uber, ketika valuasi sudah terlanjur (terlalu) tinggi, ada beberapa strategi yang bisa jadi solusi. Mengganti CEO bisa jadi adalah solusi yang paling memungkinkan, tapi solusinya bisa berbeda terkait model bisnis masing-masing perusahaan.

Modal ventura adalah bisnis yang sarat risiko. Dengan berbagai isu negatif terkait investasi, wajar jika para investor sangat berhati-hati dalam menggelontorkan dana. Permainan valuasi tetap harus diimbangi dengan struktur organisasi dan ekosistem yang mumpuni.

Inisiatif “Growth Fund” untuk Ekosistem Startup Indonesia

Ada perkembangan luar biasa yang terjadi pada ekosistem startup di Asia Tenggara beberapa tahun terakhir. Salah satu takarannya adalah popularitas growth fund – baik dari sisi startup yang telah mencapai tahapan tersebut dan/atau investor yang mengalokasikan investasi untuk tahapan tersebut.

Menurut catatan Cento Ventures, sepanjang tahun 2019 ada beberapa startup yang mulai masuk ke kelompok centaur (memiliki valuasi antara US$100-900an juta), di antaranya Payfazz (fintech), Moka (SaaS), HappyFresh, Xendit, dan Alodokter.

Startup di atas mengokohkan diri dengan valuasi tersebut pada tahun 2019 melalui pendanaan di tahap lanjutan (growth). Ruangguru mengumumkan pendanaan Seri C US$150 juta menjelang akhir tahun. Atau Halodoc yang menggalang pendanaan Seri B mulai awal tahun, termasuk merangkul yayasan ternama Bill & Melinda Gates Foundation sebagai salah satu investornya.

Startup Asia tenggara 2020

Growth fund

Kebalikan dari early stage, later stage adalah tahapan startup yang telah mencapai kematangan dalam bisnis. Variabel yang dihitung cukup beragam, mulai dari kualitas produk, cakupan area, traksi pengguna, jajaran tim hingga nilai investasi yang didapatkan.

Untuk berinvestasi ke startup later stage, ada dua pendekatan yang selama ini dijalankan. Pertama, venture capital (VC) atau corporate venture capital (CVC) menyediakan dana besar –yang didapat dari LP atau modal yang disuntikkan perusahaan induk—untuk diinvestasikan ke startup. Skema kedua, VC berkolaborasi membentuk inisiatif dana gabungan.

Hal menarik lain dalam perkembangan growth fund adalah beberapa diinisiasi investor yang sebelumnya fokus pada early stage. Dana yang lebih besar diguyurkan untuk membantu portofolionya mencapai ekspansi pasar yang lebih luas.

Berikut ini beberapa inisiatif growth fund di Asia Tenggara yang sudah diresmikan atau sudah beroperasi:

Growth Fund in SEA

Desember lalu, Telkom dan KB Financial Group meresmikan dana kelolaan baru Centauri Fund. Fokusnya untuk pendanaan Pra-Seri A hingga Seri B. Sebelumnya CVC milik mereka MDI Ventures juga memberikan porsi pendanaannya di tahap tersebut.

Di bulan yang sama, EV Growth mengumumkan telah membukukan US$250 juta (hard cap) setara 3,4 triliun Rupiah dalam pengumpulan dana pertamanya. Perusahaan mengklaim, saat ini mereka telah menyalurkan lebih dari 50% total dana yang dikumpulkan ke dalam 20 kesepakatan pendanaan. Sebanyak 80% startup yang mendapatkan kucuran dana dari Indonesia. Turut diinformasikan internal rate of return pendanaan berkisar 36%.

Peluang investasi

Dalam sebuah kesempatan, Direktur Lippo John Riady berujar, ia cukup optimis ketika pertama kali membuat proposal untuk berinvestasi di bidang teknologi.  John memproyeksi bahwa dalam 10 tahun pasar tersebut tumbuh bernilai US$20-100 miliar. Tahun 2017 ia mulai membangun OVO dan kini perusahaan digital tersebut sudah mencapai status unicorn dengan valuasi terakhir yang diketahui mencapai US$2,9 miliar.

“Teknologi adalah salah satu aset paling menarik yang dimiliki perusahaan. Teknologi memungkinkan perubahan luar biasa dalam perilaku konsumen. Ini mempengaruhi mata pencaharian hingga tidak dapat dibalik. Saya benar-benar yakin dengan semua perubahan mendasar yang terjadi ini,” kata John.

Kini setidaknya ada 11 startup unicorn di Asia Tenggara. Hipotesis mengenai prakiraan pertumbuhan yang pesar di masa mendatang tampaknya juga dimiliki oleh para investor lain, melihat pertumbuhan startup di Indonesia. Beberapa model bisnis telah tervalidasi dengan baik, lainnya lagi tengah memastikan penerimaan pasar atas solusi yang ditawarkan.

Berikut ini daftar vertikal startup yang telah berhasil memvalidasi model bisnisnya dengan baik – ditandai dengan besarnya investasi yang masuk ke beberapa startup pendominasi pasar:

Vertikal Keterangan
E-commerce Saat ini Indonesia telah memiliki 2 unicorn dari kategori bisnis ini, sementara beberapa pemainnya memiliki sokongan besar dari raksasa teknologi Singapura (Sea) dan Tiongkok (Alibaba, JD.com).
On-Demand Didominasi dua pemain utama, kendati tidak menutup kemungkinan hadirnya beberapa platform baru yang menyasar model layanan spesifik. Seperti Anterin yang tengah dalam proses perampungan akuisisi oleh salah satu unit usaha grup MNC.
Travel & Hospitality Pariwisata menjadi sektor prioritas pemerintah yang terus dioptimalkan, mengharap perputaran ekonomi yang besar –baik dari wisatawan domestik maupun mancanegara—terjadi di sini. Bisnis di bidang OTA dan pemesanan hunian menjadi bagian penting untuk menopang strategi tersebut.
Fintech, Insurtech Menurut laporan Fintech Report 2019, tahun lalu sekurangnya ada 144 perusahaan p2p lending yang telah mendapatkan status terdaftar dan berizin di OJK, sementara ada 39 pemain di bidang pembayaran yang telah kantongi lisensi dari Bank Indonesia. Pergeseran gaya hidup masyarakat Indonesia menjadikan layanan berbasis finansial digital mudah diterima masyarakat.
Online-to-Offline Konsep O2O direpresentasikan dalam berbagai model bisnis, beberapa di antaranya memberdayakan masyarakat/pedagang kecil untuk mitra distribusi, beberapa lainnya menyajikan pengalaman campuran antara melakukan transaksi secara langsung dan melalui aplikasi. Bisnis-bisnis dengan pendekatan ini mendapatkan pertumbuhan signifikan beberapa waktu terakhir.
Healthtech Dengan perolehan pendanaan seri B+, Halodoc mantap masuk ke jajaran startup centaur. Sementara sejak dua tahun terakhir, sektor ini terus dieksplorasi para pemain digital lokal. Termasuk menghadirkan ragam inovasi untuk mendukung gaya hidup sehat dalam layanan wellness.
Edtech Tahun 2019 ada tiga startup yang membukukan pendanaan lanjut, meliputi Ruangguru, HarukaEdu dan Zenius. Ketiganya berambisi untuk merangkul pelajar dengan jumlah yang besar melalui pendekatan baru dalam kegiatan belajar.
SaaS Pada dasarnya produk vertikal ini mendukung proses bisnis digital dari startup lain, misalnya berbentuk layanan POS, kecerdasan buatan, analisis data, sistem perekrutan dan lain-lain.

Potensi terhadap vertikal tersebut di atas senada dengan target investasi yang sudah dicanangkan oleh investor. Salah satunya Telkom Group melalui Centauri.

“Sekarang kami sedang evaluasi lima startup di bidang fintech, insurtech, big data dan artificial intelligence. Sejauh ini semua [dari Indonesia]. Target kami mungkin bisa investasi ke lima sampai sepuluh [startup] di 2020,” ungkap Manaing Partner MDI Ventures Kenneth Li.

Tahun 2020 prospek investasi melambat?

Banyak analis yang menerangkan, tahun ini akan ada perlambatan dalam iklim investasi untuk startup digital. Ada beberapa faktor penyebab, dua di antaranya karena perlambatan ekonomi global di tengah isu-isu internasional yang memanas dan kejadian seperti “WeWork apocalypse” yang berdampak pada kepercayaan investor.

Menelisik lebih dalam kondisi di Indonesia, yang terjadi justru sebaliknya. Startup later stage terus meningkatkan laju bisnis untuk menjadi profitable, beberapa telah menyampaikan rencana IPO. Di tahap early-stage, founder baru mulai realistis. Saat mereka merasa tidak mungkin lagi bersaing dengan model bisnis yang telah diusung pemain besar lainnya, jalan yang ditempuh adalah menghasilkan solusi mendukung model bisnis yang ada – atau satu hal yang benar-benar unik dan menyasar ceruk pengguna yang sangat spesifik.

Faktanya VC masih memiliki ambisi kuat dengan prospek Indonesia. Tahun ini bank OCBC NISP melalui OCBC NISP Ventura debut dengan 400 miliar Rupiah untuk berinvestasi ke startup digital. Tidak hanya menyasar fintech, namun juga proptech hingga edtech. Kinesys Group sebagai “binaan” Northstar Group juga hadir untuk mendampingi segmen early stage dengan menyiapkan dana senilai 280 miliar Rupiah.

Penggalangan dana dari sisi investor juga masih berjalan mengesankan. Salah satu pemain teraktif di Indonesia, Alpha JWC Ventures, akhir tahun lalu mengumumkan penutupan Fund 2-nya dengan status “oversubscribed”, artinya jumlah yang diterima dari LP yang masuk lebih besar dari nilai yang ditargetkan di awal. Mereka mengumpulkan dana 1,7 triliun Rupiah dan masih akan terus disalurkan untuk startup-startup yang sebagian besar beroperasi di Indonesia.