Modalku Lanjutkan Ekspansi Regional ke Vietnam

Grup Modalku meresmikan ekspansi bisnisnya di Vietnam. Langkah ini menandai ekspansi kelima Grup Modalku di Asia Tenggara setelah Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Thailand, untuk mengakomodasi pelaku UMKM yang memiliki keterbatasan akses permodalan.

Adapun, Grup Modalku sudah beroperasi di Vietnam sejak Desember 2021. Hingga saat ini, perusahaan telah mencairkan pinjaman lebih dari $20 juta, dan jumlahnya akan ditingkatkan menjadi $90 juta pada tahun ini.

Dengan ekspansi ini, Grup Modalku akan melayani UMKM di berbagai sektor, seperti pendidikan, ritel, teknologi, dan FMCG, dengan menawarkan produk pembiayaan perdagangan, pembiayaan inventaris, pembiayaan piutang dan utang di Ho Chi Minh, Hanoi, dan sekitarnya.

“Ini menjadi momentum yang tepat untuk membangun tim yang solid dan mengamankan pendanaan mengingat situasi pandemi mulai menurun di global. Kami yakin Vietnam akan menjadi salah satu pasar terbesar kami dengan melihat potensinya,” ucap Co-Founder & CEO Modalku Reynold Wijaya dalam keterangan resminya.

Sejak pandemi Covid-19, akses terhadap permodalan menghambat pertumbuhan UMKM di Vietnam. Berdasarkan data Kementerian Perencanaan dan Investasi Vietnam, UMKM mengambil porsi sebanyak 98% dari total bisnis di 2020. Namun, hanya 54% UMKM terdaftar yang aktif beroperasi di 2019. Padahal, UMKM telah memberikan lapangan pekerjaan terhadap 5,6 juta orang dan menyumbang lebih dari $241 miliar atau 40% dari PDB di Vietnam.

Menurut Country Director Funding Societies Vietnam Ryan Galloway, UMKM di Vietnam tidak punya akses ke badan usaha permodalan yang setara layaknya di kawasan Asia Tenggara lain. Kendati begitu, pelaku usaha di Vietnam memiliki daya saing kuat dengan sumber daya terbatas.

“Kami bersemangat untuk mendukung sektor UMKM yang sedang berkembang di sini sehingga kami dapat melayani kebutuhan jutaan UMKM di seluruh Asia Tenggara,” tambah Galloway.

Adaptasi pasar

Mengawali 2022, raksasa teknologi Vietnam, VNG Corporation menyuntik $22,5 juta di Grup Modalku sebagai bagian dari pendanaan seri C+ sebesar $144 juta dan fasilitas dana pinjaman $150 juta. Selain VNG, putaran pendanaan ini turut melibatkan investor lain, termasuk SoftBank Vision Fund 2, Rapyd Ventures, EDBI, Indies Capital, Ascend Vietnam Ventures, dan K3 Ventures.

Menurut Reynold, keterlibatan investasi VNG akan memampukan Grup Modalku untuk beradaptasi di pasar lokal sehingga dapat menciptakan solusi sesuai kebutuhan bisnis di Vietnam.

Lebih lanjut, menyusul kesuksesan Grup Modalku di negara lain, Galloway menyebut akan mempersingkat waktu penyelesaian proses pinjaman dengan melakukan otomatisasi pada proses operasional dan penilaian (underwriting) bagi para pelaku UMKM di Vietnam.

Selain itu, Grup Modalku juga berencana menghadirkan pendanaan digital secara nasional dengan mata uang lokal di pertengahan tahun ini. Grup Modalku juga membuka peluang kolaborasi dengan berbagai platform teknologi dan perbankan demi mendukung misi jangka menengah dan panjang menjadi neobank.

Sebagai informasi, baru-baru ini Grup Modalku bersama platform jual-beli otomotif Carro mengumumkan investasi saham bersama (co-investment) di PT Bank Index Selindo (Bank Index). Tidak disebutkan nilai investasi bersama ini.

Grup Modalku, atau dikenal sebagai Funding Societies, mengklaim sebagai satu-satunya platform pendanaan UMKM berbasis digital yang punya lisensi dan terdaftar di lima negara di Asia Tenggara. Di tahun ketujuh beroperasi, Grup Modalku telah menyalurkan pendanaan lebih dari Rp33,27 triliun ke lebih 5 juta pinjaman.

Modalku berupaya untuk mengatasi kesenjangan keuangan bagi pelaku UMKM di Asia Tenggara. Produk yang ditawarkan antara lain fasilitas pinjaman berjangka hingga berbagai opsi pembiayaan berbasis perdagangan, seperti invoice financing.

Application Information Will Show Up Here

East Ventures, Go-Ventures Tambah Portofolio dari Ekosistem Startup di Vietnam

Vietcetera, jaringan media digital berbasis di Ho Chi Minh City, Vietnam, berhasil membukukan pendanaan pra-seri A senilai $2,7 juta. Dipimpin North Base Media, putaran ini juga turut diikuti sejumlah investor lokal, yakni East Ventures dan lengan investasi milik Gojek, Go-Ventures.

Startup media tersebut didirikan sejak tahun 2016 oleh Hao Tran dan Guy Truong; saat ini dikatakan sudah memiliki 20 juta pembaca per bulannya. Secara spesifik mereka menyasar kalangan milenial dan gen Z — jika disamakan dengan pemain dari Indonesia, secara konsep dan bisnis Vietcetera mirip dengan IDN Media.

Bagi East Ventures, ini bukan portofolio pertama mereka di Vietnam. Sebelumnya mereka pernah berinvestasi ke CirCO, operator coworking space; Sendo selaku platform e-commerce; dan Kim An Group pelaku fintech lending setempat. Di Asia Tenggara sendiri, East Ventures saat ini terlihat lebih banyak fokus untuk startup tahap awal di Indonesia dan Singapura, jika dilihat dari kuantitas portofolio yang dimiliki.

Sementara untuk Go-Ventures, sejauh ini dari catatan kami mereka belum memberikan investasi lain ke startup Vietnam. Namun pasar tersebut sudah tidak asing lagi untuk grup perusahaan, pasalnya mereka telah menjelajah ke sana lewat ekspansi layanan Gojek, pun demikian dengan portofolio Go-Ventures, PasarPolis, yang saat ini juga sudah masuk ke pasar tersebut.

East Ventures memandang ekosistem Vietnam

Kendati belum memiliki kantor perwakilan atau partner khusus yang ditempatkan di Vietnam, East Ventures sejauh ini menjadi pemodal ventura lokal dengan portofolio terbanyak di sana.

Kepada DailySocial.id, Partner East Ventures Melisa Irene mengatakan, sebagai negara dengan populasi terbesar kedua di regional, pertumbuhan ekonomi digital di sana cukup kencang. Selain itu, Vietnam dikenal sebagai salah satu pemasok talenta teknis untuk ekosistem digital global; yang berarti memenuhi variabel untuk pengembangan tim lokal yang kuat.

Lebih lanjut Irene memberikan analisisnya dari sisi demografi, “Dibandingkan dengan Indonesia, kedua wilayah tersebut memiliki jumlah penduduk muda yang besar dan memiliki pola yang sama. Vietnam memiliki populasi lebih dari 97 juta dengan penetrasi internet 70,3% pada Januari 2021. Sementara itu, pada periode yang sama, Indonesia memiliki populasi lebih dari 274 juta dan penetrasi internet mencapai 73,7%.”

“Kedua negara tersebut juga memiliki komposisi penduduk yang sama dalam hal kelompok umur, anak muda menempati lebih dari setengah porsi penduduk negara tersebut; Vietnam sekitar 55%, sedangkan Indonesia sekitar 70%.”

Membuka peluang di pasar Vietnam

Menurut laporan e-Conomy SEA 2020, GMV yang dihasilkan oleh pasar Vietnam menempati peringkat ke-3 setelah Indonesia dan Thailand. Tahun 2020 nilai GMV yang dihasilkan dari ekosistem digital setempat sudah mencapai $14 miliar dan diproyeksikan bertumbuh jadi $52 miliar di tahun 2025.

Potensi yang terus bertumbuh membuat pelaku ekosistem di Indonesia tertarik untuk membuka peluang di sana. Dari catatan kami, sejauh ini sudah ada beberapa pemodal ventura lokal yang memiliki portofolio di Vietnam; pun startup lokal yang sudah mulai berekspansi ke sana.

Adanya demografi yang serupa dan potensi penguatan bisnis melalui tim lokal tentu menjadi salah satu komposisi yang memikat bagi bisnis digital untuk melakukan penetrasi di sana – di samping adanya potensi pasar besar dari jumlah populasi yang ada.

Namun demikian, bukan berarti ekspansi ke sana tanpa tantangan. Di kesempatan wawancara berbeda, Irene menyampaikan, “Ada tiga tantangan yang harus diperhatikan [ketika mau ekspansi ke Vietnam], yakni terkait terbatasnya telenta di level mid-management ke atas, peraturan yang masih berubah-ubah, dan praktik bisnis berdasarkan relasi. Ketiganya membutuhkan eksekutor bisnis yang sangat menguasai dinamika lokal.”

Kredivo Ekspansi ke Vietnam Melalui Joint Venture dengan Phoenix Holding

Pengembang platform paylater Kredivo hari ini (27/8) mengumumkan ekspansinya ke Vietnam. Perluasan layanan ini dilakukan melalui joint venture dengan Phoenix Holding, perusahaan investasi (family office) setempat. “Kredivo Vietnam Joint Stock Company”, nama entitas barunya, juga bermitra dengan VietCredit Joint Stock Company, perusahaan pembiayaan di Vietnam untuk mengoperasikan bisnis paylater.

“Peluncuran Kredivo di Vietnam sebagai pangsa pasar pertama di luar Indonesia merupakan pencapaian dan tonggak lain yang membanggakan dalam tahun ini. Vietnam merupakan pilihan yang logis mengingat penetrasi kartu kredit yang rendah di negara tersebut dan kelas menengah yang berkembang pesat; pasar e-commerce yang berkembang pesat; dan kesamaan pola demografi dan konsumsi dengan Indonesia,” sambut COO Kredivo Valery Crottaz.

Produk inti Kredivo akan diluncurkan secara bertahap, dimulai dengan pembayaran tagihan kebutuhan sehari-hari dan pinjaman pribadi, dilanjutkan dengan fitur paylater di e-commerce pada kuartal keempat 2021 nanti.

“Di Vietnam, dengan generasi emas yang mobile dan digital native, layanan kami seperti paylater akan memenuhi kebutuhan konsumen di mana layanan kredit yang ada saat ini memiliki hambatan yang terlalu besar. Seperti di pasar lain, kami percaya paylater akan membuka dan mengkatalisasi tahap pertumbuhan penting lainnya dari ekonomi Vietnam,” imbuh CEO Phoenix Holdings Nguyen Lan Trung Anh.

Ekonomi internet di Vietnam

Menurut laporan e-Conomy SEA 2020, GMV yang dihasilkan oleh pasar internet di Vietnam menempati peringkat ke-3 setelah Indonesia dan Thailand. Tahun 2020 nilai GMV yang dihasilkan mencapai $14 miliar dan diproyeksikan bertumbuh jadi $52 miliar di tahun 2025. Sektor e-commerce memberikan sumbangsih terbesar, diikuti online media, travel, dan transportasi.

Total populasi di Vietnam sendiri berkisar 96 juta penduduk. Terbesar ketiga di Asia Tenggara setelah Indonesia (271 juta) dan Filipina (108 juta); jelas ini menjadi pangsa pasar yang menarik untuk digarap. Untuk itu beberapa startup tanah air pun juga beberapa telah debut di sana, di antaranya Gojek, Traveloka, dan Ruangguru.

Menurut data yang disampaikan Cekindo, kurang lebih ada 67 perusahaan fintech terdaftar di Vietnam, dengan 66% di antaranya terkait layanan pembayaran digital. Per tahun 2020, estimasi ukuran pasarnya telah mencapai $7,8 miliar.

Menjelang go-public

Sebelumnya FinAccel, induk dari Kredivo, mengumumkan langkahnya untuk menjadi perusahaan publik di NASDAQ melalui skema SPAC. Kredivo akan merger dengan perusahaan cangkang VPC Impact Acquisition Holdings II (NASDAQ: VPCB) yang merupakan afiliasi dari Victory Park Capital (VPC), firma investasi global yang sudah beberapa kali memberikan fasilitas kredit untuk Kredivo.

Dengan penggabungan ini, FinAccel akan memiliki valuasi pro-forma ekuitas di kisaran $2,5 miliar, dengan asumsi tidak ada penebusan. Co-Founder dan CEO FinAccel Akhsay Garg mengatakan, dana segar hasil merger ini nantinya akan menjadi amunisi perusahaan untuk memperkuat posisinya di Asia Tenggara, akan ada rencana ekspansi regional ke Vietnam dan Thailand, dan pengembangan lini bisnis baru.

Sebelumnya, perusahaan juga telah mendapatkan sejumlah pendanaan, baik debt ataupun equity, dari investor, meliputi:

Pengumuman Investor Tipe Pendanaan Nilai
Juni 2021 Victory Park Capital Debt $100 juta
November 2020 Victory Park Capital Debt $100 juta
Desember 2019 Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund, Square Peg, dll Equity (Seri C) $500 juta
September 2019 Partners for Growth V, L.P Debt $20 juta
Juli 2018 Square Peg Capital, MDI Ventures, Atami Capital dll Equity (Seri B) $30 juta

Di Indonesia sendiri, selain layanan paylater, saat ini Kredivo juga memiliki unit bisnis di bidang fintech lending Kredifazz. Tugasnya untuk menyalurkan pembiayaan tunai ke konsumer lewat aplikasi.

Application Information Will Show Up Here

Venturra Discovery Kembali Berikan Pendanaan untuk Startup Asal Vietnam

Unit modal ventura yang terafiliasi Lippo Group, Venturra Discovery, kembali memberikan pendanaan untuk startup di Vietnam. Kali ini mereka terlibat dalam pendanaan awal ke pengembang platform edtech setempat Marathon Education. Putaran tahap awal tersebut bernilai $1,5 juta dipimpin Forge Ventures (dana kelolaan Alto Partners), didukung juga oleh iSeed SEA.

Didirikan sejak 6 minggu yang lalu, Marathon Education menyajikan kanal pembelajaran kursus (after-school education) untuk siswa kelas 6 s/d 12. Saat ini fokusnya masih seputar materi matematika dan sains, mengikuti standar kurikulum kementerian pendidikan di sana.

Sebelumnya pada Juni 2021 lalu, Venturra Discovery juga terlibat dalam investasi Infina, sebuah startup pengembang aplikasi investasi asal Vietnam. Dan juga startup social commerce di sana bernama Mio pada Mei 2021.

“Misi kami sejak awal adalah empowering entrepreneur di Asia Tengara. Dan saat ini menjadi waktu yang tepat bagi kami secara agresif untuk berinvestasi di Vietnam dan juga di Indonesia. Sampai waktu 2-3 tahun ke depan, kami masih memiliki cukup fund untuk berinvestasi,” terang Partner Venturra Discovery Raditya Pramana dalam sebuah kesempatan wawancara bersama DailySocial.id.

Ia turut menyampaikan, tahun ini perusahaannya punya target berinvestasi ke 10 startup di Vietnam dan Indonesia. Di Vietnam, Venturra juga telah memiliki tim yang bertugas mengeksplorasi dan melakukan penjajakan investasi.

Sebenarnya, selain kedua negara tersebut, Venturra Discovery juga sudah masuk ke pasar Filipina. Awal tahun ini mereka terlibat ke pendanaan Podcast Network Asia.

Ekosistem di Vietnam

Menurut laporan tahunan Global Startup Ecosystem Report (GSER) yang dipublikasi Startup Genome, Jakarta menempati urutan kedua dari 100 kota di seluruh dunia dalam daftar emerging startup ecosystem. Peringkat Jakarta tertinggi dibandingkan negara tetangga lainnya di Asia Tenggara, seperti Kuala Lumpur (11), Manila (urutan 31-40), Bangkok (51-60), dan Ho Chi Minh City (71-80).

Kendati masih di bawah beberapa kota lainnya, ekosistem di Ho Chi Minh City, Vietnam terpantau terus meningkat secara performa nilai ekonomi, pendanaan, dan talenta terkait startup digital. Untuk menangkap momentum tersebut, sejumlah pemodal ventura juga telah hadir di sana, termasuk East Ventures dan Patamar Capital.

Pangsa pasar digital yang mulai terbentuk juga mendorong startup di Asia Tenggara lainnya untuk masuk ke sana, termasuk dari Indonesia, yakni Gojek, Traveloka, dan Ruangguru.

Sementara itu menurut laporan e-Conomy SEA 2020, GMV yang dihasilkan oleh pasar Vietnam menempati peringkat ke-3 setelah Indonesia dan Thailand. Tahun 2020 nilai GMV yang dihasilkan dari ekosistem digital setempat sudah mencapai $14 miliar dan diproyeksikan bertumbuh jadi $52 miliar di tahun 2025.

Sektor e-commerce memberikan sumbangsih terbesar, diikuti online media, travel, dan transportasi. Investasi ke startup juga terus mengalami pertumbuhan, bahkan sangat pesat di periode tahun 2019 dan 2020. Sebelumnya pada tahun 2018, nilai investasi yang dibukukan mencapai $351, lalu tahun berikutnya meningkat lebih dari 2x lipat mencapai $935 miliar.

Venturra Discovery Tambah Portofolio di Luar Indonesia

Besarnya potensi yang ditawarkan oleh berbagai startup di Vietnam, menjadi alasan utama mengapa Venturra Discovery kemudian kembali untuk memberikan pendanaan. Setelah sebelumnya startup social commerce Mio, kali ini mereka kembali terlibat dalam pendanaan startup lain asal Vietnam, Infina.

Diluncurkan pada Januari 2021, Infina adalah aplikasi investasi digital, mereka menyebut dirinya sebagai “Rohinhood of Vietnam”. Sama seperti aplikasi Ajaib atau Bibit di Indonesia, platform tersebut menargetkan kalangan investor ritel atau dari masyarakat umum.

“Ada banyak kesamaan antara Vietnam dan Indonesia. Kami tertarik untuk menjelajahi lebih jauh lagi semua peluang yang ada di Vietnam,” kata Partner Venturra Discovery Raditya Pramana kepada DailySocial.

Selain Mio dan Infina, secara keseluruhan untuk negara Vietnam, pemodal ventura yang terafiliasi dengan Lippo Group tersebut telah memiliki empat portofolio, termasuk Med247 yang merupakan platform healthtech dan Vui App platform fintech.

Fokus ke startup Asia Tenggara

Selain Vietnam, sepanjang tahun 2018 hingga 2021, Venturra Discovery juga telah berinvestasi kepada Antler dan Cove yang merupakan startup asal Singapura. Antler merupakan venture builder untuk startup; sementara Cove adalah marketplace sewa rumah yang menghubungkan pemilik properti dengan penyewa untuk menawarkan kamar yang terjangkau.

Negara lain yang juga diincar oleh Venturra Discovery adalah Filipina. Awal tahun 2021 lalu mereka memberikan pendanaan tahap awal kepada Podcast Network Asia (PNA) senilai $750 ribu. Dipilihnya Filipina oleh Venturra Discovery untuk berinvestasi adalah, negara yang memiliki banyak keunikannya. Tidak cuma jumlah penduduknya banyak, secara demografi penduduknya relatif muda, buying power juga semakin meningkat.

Podcast saat ini masih dalam tahap awal di Asia Tenggara. Saat kita melihat podcast dengan tangga lagu teratas, sebagian besar diluncurkan dalam satu tahun terakhir. Industri ini memiliki momentum yang kuat, karena platform streaming audio menggandakan segmen ini. Kami yakin kami dapat memberdayakan para kreator untuk meningkatkan dan mengomersialkan konten mereka melalui analisis data dan dukungan produksi,” kata Raditya.

Venturra Discovery Rencanakan 10 Investasi ke Startup Vietnam dan Indonesia Tahun 2021

Setelah resmi mengumumkan keterlibatan mereka dalam pendanaan Mio yang merupakan startup social commerce asal Vietnam, tahun ini Venturra Discovery berencana untuk menambah kuota untuk startup Vietnam dan Indonesia hingga 10 investasi.

Kepada DailySocial, Partner Venturra Discovery Raditya Pramana mengungkapkan, meskipun memiliki tim dan berlokasi di Indonesia, selama ini perusahaannya memiliki fokus kepada startup asal Asia Tengara. Setelah melihat potensi yang ada, Vietnam menjadi negara incaran mereka setelah Indonesia.

“Ada banyak kesamaan antara Vietnam dan Indonesia. Kami tertarik untuk menjelajahi lebih jauh lagi semua peluang yang ada di Vietnam. Setelah Mio, kami berencana untuk memberikan investasi kepada startup di Vietnam kembali dalam waktu dekat.”

Baru-baru ini Venturra Discovery bersama dengan Golden Gate Ventures terlibat dalam pendanaan awal senilai $1 juta kepada Mio. Turut berpartisipasi dalam pendanaan ini adalah, iSeed SEA, DoorDash executive Gokul Rajaram dan Vidit Aatrey dan Sanjeev Barnwal, co-founders of Indian social commerce unicorn Meesho.

“Kami melihat online retail khususnya social commerce memiliki potensi yang besar ke depannya. Dengan alasan itulah Venturra Discovery tertarik untuk berinvestasi kepada Mio. Selain itu kami juga melihat para pendiri Mio memiliki kepribadian yang kuat,” kata Raditya.

Saat ini Venturra Discovery telah memiliki 4 portofolio asal Vietnam yang memiliki kategori industri yang beragam. Bukan hanya social commerce namun juga fintech dan healthcare. Venturra Discovery juga masih berfokus kepada pendanaan tahap awal hingga pra-seri A. Di Filipina, Venturra Discovery telah berinvestasi kepada Podcast Network Asia (PNA).

Dorong VC berinvestasi

Pandemi masih menyimpan kekhawatiran terhadap potensinya lock down berikutnya, setelah melihat apa yang terjadi di India beberapa waktu lalu. Namun menurut Raditya, pandemi menjadi pembuktian sendiri, karena meskipun kondisi sulit banyak startup Indonesia masih mampu menumbuhkan strategi dan inovasi bisnisnya. Pandemi juga telah mendorong akselerasi adopsi digital kepada masyarakat luas.

Untuk itu Raditya mengajak lebih banyak lagi venture capital untuk berinvestasi, dan menjadikan momentum ini waktu yang tepat untuk memberikan pendanaan kepada startup.

“Misi kita sejak awal adalah empowering entrepreneur di Asia Tengara. Dan saat ini menjadi waktu yang tepat bagi kami secara agresif untuk berinvestasi di Vietnam dan juga di Indonesia. Sampai waktu 2-3 tahun ke depan, kami masih memiliki cukup fund untuk berinvestasi,” tutup Raditya.

NRG Esports Ekspansi ke Asia; Luncurkan NRG Asia

Organisasi esports asal LA, California, NRG Esports, baru saja mengumumkan ekspansinya ke ranah Asia dengan peluncuran NRG Asia. Anak perusahaan NRG Esports ini akan berbasis di Vietnam, serta menggandeng brand lifestyle Vietnam, CMG.ASIA. Pendirian NRG Asia disebutkan bertujuan untuk “mewakili dan mengembangkan entitas esports di Asia Tenggara”.

Dalam peluncurannya, NRG Asia juga mengumumkan telah mengakuisisi juara regional VCS (Vietnam LoL Championship Series), GAM Esports dari marketing agensi asal Singapura yup.gg. Hingga saat ini, nilai dari kesepakatan ini tidak direncanakan untuk dipublikasikan ke publik.

https://twitter.com/NRGgg/status/1392836230103113729

NRG Asia akan dipimpin oleh duet TK dan Dru Nguyen, yang merupakan pendiri dari grup perhotelan See The World Group. TK akan menjabat sebagai CEO, sedangkan Dru sebagai COO. Menurut keterangan pers, organisasi yang berpusat di Vietnam ini akan menyediakan roster GAM Esports infrastruktur esports terbaik untuk merebut titel juara di League of Legends World Championship selanjutnya.

Nama GAM Esports sudah tidak bisa diremehkan. Mereka selalu hadir di gelaran VCS sejak 2019 silam serta menempati ranking tiga besar tim LoL Vietnam. Pencapaian terakhir mereka adalah kemenangan mutlaknya di VCS Spring Split 2021. Nama GAM Esports cukup mentereng di ranah domestik hingga global.

“Dengan perluasan NRG Esports ke Asia, kami sangat bersemangat untuk memulai perjalanan baru ini di Vietnam. Dimulai dengan GAM Esports yang merupakan juara VCS lima kali berturut-turut, kami ingin mengembangkan GAM dari juara Vietnam menjadi juara dunia dengan memberi mereka sumber daya dan pengetahuan dari para ahli di bidangnya.

Selain itu, memiliki kesempatan untuk bekerja bersama pemimpin luar biasa seperti Andy Miller, yang telah berhasil mencipatakan banyak tim esports papan atas, adalah kesenangan bagi kita semua.” Ujar Tk Nguyen, CEO baru dari NRG Asia.

Perluasan NRG Esports ke Asia bukan yang pertama kalinya dari organisasi esports barat. Pada Mei 2018 silam, OpTic India masuk ke ranah esports India dengan mengakusisi tim CS:GO. Fnatic, TSM, dan Team Vitality adalah nama-nama lain yang telah berekspansi ke ranah esports dan gaming India.

Organisasi esports besar Indonesia, EVOS Esports, juga sudah sering menjajakan kaki di tanah Vietnam dengan mengakuisisi roster Arena of Valor hingga League of Legends.

Potensi Traveloka PayLater Bersaing di Pasar Vietnam dan Thailand

Kemunculan paylater atau buy now pay later (BNPL), atau yang di Indonesia dikenal sebagai paylater, yang hadir di dalam platform digital berupaya mendefinisikan ulang persepsi “utang”.

Dalam suatu wawancara, Executive VP Products and Innovation Asia Pacific Mastercard Sandeep Malhotra menerangkan, Covid-19 mampu mengakselerasi transformasi digital di berbagai sektor, termasuk layanan e-commerce tanpa terkecuali.

Transaksi digital beralih secara cepat dan mulus, membuka peluang besar bagi merchant dan issuer yang menawarkan fleksibillitas kepada konsumen untuk membayar nanti saat melakukan pembayaran di toko dan platform online.

“Menggunakan cicilan untuk melakukan pembelian saat ini menjadi lebih populer bagi orang-orang di seluruh dunia yang menginginkan pilihan pembayaran yang lebih luas, kemampuan untuk mengelola arus kas dengan lebih baik, dan kenyamanan menggunakan uang mereka sendiri untuk mengatur pembayaran, sekaligus untuk peralatan rumah tangga, perangkat TV, dan berbagai item lain yang lebih besar,” terangnya Malhotra.

Di negara maju, popularitas BNPL menjamur di banyak negara. Di Amerika Serikat, misalnya, disebutkan BNPL telah menyumbang $24 miliar pada tahun lalu dari total transaksi e-commerce. Angka ini tumbuh drastis daripada volume kartu kredit tradisional. Diproyeksikan transaksi BNPL di seluruh dunia tembus $350 miliar hingga 2025.

Inisiasi BNPL dipionirkan startup yang berada di negara Barat, seperti Klarna (Swedia), Affirm (Amerika Serikat), dan Afterpay (Australia). Di negara-negara Asia Tenggara sendiri, dengan tingkat penetrasi akses produk keuangan yang masih rendah, pemain BNPL kian memberikan warna.

Dalam perjalanannya Asia Tenggara, memiliki sejumlah champion di segmen BNPL dan hadir di lebih dari satu negara. Beberapa nama adalah Akulaku, Kredivo, Atome, Home Credit, Hoolah, OctiFi, Oriente, Pace, dan Pine Labs.

Indonesia, Malaysia, dan Filipina menjadi negara sasaran para pemain di atas.  Thailand dan Vietnam menjadi negara tersisa dengan populasi pemain BNPL yang minim. Singapura tidak masuk dalam radar mengingat posisinya yang dominan di semua aspek ekonomi dibanding negara tetangganya.

Saat ini, Thailand baru dihuni oleh Pace dan Pine Labs, sementara Vietnam dihuni oleh Akulaku, Atome, dan Home Credit. Pemain lain, seperti Hoolah, Oriente, dan Pine Labs, sedang mempersiapkan kehadirannya.

Traveloka, yang memiliki produk BNPL di Indonesia, berencana memboyong layanannya ini ke Thailand dan Vietnam dalam waktu dekat. Mengutip dari Reuters, kehadiran BNPL diharapkan dapat mendongkrak transaksi perjalanan domestik di kedua negara tersebut, mengingat keduanya telah berhasil melalui melampaui level pra-Covid-19.

Kondisi ekonomi di sana merefleksikan kinerja Traveloka yang membaik, terutama di bisnis perjalanan yang diklaim sudah mencetak untung pada akhir tahun lalu. “Rencananya adalah berinvestasi di fintech secara besar-besaran untuk memungkinkan lebih banyak konsumen melakukan perjalanan di kawasan ini,” kata Presiden Traveloka Caesar Indra.

Untuk mewujudkan wacana tersebut, perusahaan sedang berdiskusi dengan calon mitra institusi lokal di kedua negara tersebut.

Traveloka PayLater, yang merupakan produk Caturnusa Finance Sejahtera Finance, juga bermitra dengan Danamas, anak usaha Grup Sinarmas. Indra mengklaim, sejak dirilis dua tahun lalu, layanannya telah memfasilitasi lebih dari enam juta pinjaman.

DailySocial pernah membuat ulasan bagaimana memandang Traveloka (baca: Caturnusa) sebagai perusahaan fintech. Dengan besarnya ticket size belanja produk akomodasi, hal ini menjadi sumber bisnis yang bagus buat perusahaan.

Kondisi di Vietnam dan Thailand

Dalam suatu laporan disebutkan, Singapura, Indonesia, Vietnam, dan Thailand adalah empat negara yang paling menjanjikan buat industri p2p lending. Singapura bisa dibilang pusat regional terkuat di kawasan ini.

Vietnam kaya akan inovasi dan jumlah perusahaan rintisan dari negara tersebut telah meningkat secara eksponensial selama beberapa tahun terakhir. Salah satu pasar yang harus diperhatikan. Sementara Indonesia adalah rumah bagi banyak unicorn dan startup yang menjanjikan dan Thailand adalah penghasil bakat dan inovasi teknologi yang kuat.

Faktor pendorong lainnya, dibalik menariknya Thailand dan Vietnam, selain karena pemain yang masih sedikit, juga potensi adopsi digital yang terus tumbuh. Laporan e-Conomy 2020 menyebutkan, Thailand memiliki pertumbuhan 30% konsumen baru yang berkontribusi terhadap layanan ekonomi digital. Diprediksi GMV dari negara tersebut tumbuh 25% menjadi $53 miliar pada 2025 mendatang dari posisi $18 miliar di 2020.

Sementara Vietnam mencatatkan pertumbuhan 41% konsumen baru yang menggunakan layanan digital sepanjang pandemi. GMV diestimasi tumbuh 19% menjadi $52 miliar pada 2025 dari posisi tahun lalu sebesar $14 miliar.

BNPL sebenarnya bukan konsep baru. Secara konvensional, pengalaman bayar cicilan fleksibel adalah paket yang sudah umum hadir di kartu kredit yang diterbitkan bank. Namun pengalaman tersebut mengharuskan konsumen memiliki rekening bank dan lolos skoring kredit sebelum memiliki kartu kredit.

Metode tersebut membuat besarnya kesenjangan antara unbanked dan underbanked di kawasan ini. Menurut laporan Bain & Company di 2019, lebih dari 70% orang dewasa (sekitar 450 juta orang) masuk ke dalam dua kategori tersebut.

BNPL mengambil metode skoring yang berbeda untuk menyasar pengguna tanpa harus memiliki riwayat kartu kredit. Alhasil dua kategori yang tadinya tidak masuk radar perbankan kini jadi incaran para pemain BNPL, salah satunya Traveloka.

Menurut laporan National Financial Supervision Commission, pinjaman konsumtif di Vietnam berkembang pesat sejak 2015 dengan tingkat pertumbuhan 65% pada tahun 2017 dibandingkan dengan 50,2% pada tahun sebelumnya, persentase pinjaman konsumen dalam total kredit naik menjadi 18% pada tahun 2017 dari 12,3% pada tahun 2016.

Di balik itu, meski sebagian besar masyarakat Vietnam paham teknologi (84% dari populasi adalah pengguna smartphone pada akhir 2017), namun proses mendapatkan pinjaman sebagian besar dilakukan secara manual dan akibatnya, memakan waktu setidaknya 4-5 hari.

Menurut McKinsey, hingga akhir 2019, mayoritas pemain BNPL di Vietnam – delapan dari 16 perusahaan – dimiliki oleh atau bermitra dengan bank dengan pangsa pasar 60%, dipimpin oleh FE Credit, yang memegang hampir 50 persen. Sisanya, diisi pemain non bank yang mulai ramai dengan persentase 25%.

“Bisnis kredit konsumer juga semakin menjadi penyedia utama keuangan tanpa jaminan untuk segmen pelanggan yang secara tradisional tidak akan dilayani oleh bank dan yang harus menggunakan pemberi pinjaman uang,” kata Partner McKinsey & Co. Sumit Popli.

McKinsey juga menemukan bahwa Vietnam memiliki laba atas ekuitas (ROE) yang jauh lebih tinggi untuk kredit konsumen, sebesar 38% dengan margin yang meningkat pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata ASEAN, pada 15%-25%. Selain itu, pangsa pinjaman konsumer dalam total pinjaman Vietnam hanya sekitar 12%, dibandingkan dengan 34% di ASEAN dan 40%-50% di negara-negara maju.

Negara ini sedang bergerak dari fase jaminan tanah ke pinjaman konsumen yang lebih profesional, dengan pemain membangun tim manajemen profesional dan kapabilitas kelembagaan dan mengadopsi infrastruktur digital dan teknologi mutakhir.

Cara yang paling populer untuk perusahaan asing yang ingin masuk ke pasar keuangan Vietnam adalah dengan mengakuisisi saham di bank lokal atau membeli perusahaan keuangan alih-alih mendirikan perusahaan sendiri. Pasalnya, pembiayaan konsumen mengharuskan pemain memiliki pemahaman yang mendalam tentang pasar lokal dan kapabilitas operasional, yang hanya dapat dibawa oleh mitra lokal.

Masataka Yoshida, Senior Managing Director, Head of the Cross-Border Division, and CEO Vietnam Recof Corporation mengatakan, “Mendirikan perusahaan keuangan yang benar-benar baru di Vietnam akan menimbulkan banyak kesulitan hukum dan prosedural, sementara bekerja sama dengan mitra domestik memungkinkan investor asing masuk ke Vietnam dengan lebih cepat dan mudah.”

Kondisi tak jauh berbeda ditunjukkan Thailand. Pinjaman konsumtif baru menyumbang 0,2% dari total pinjaman ritel di industri perbankan Thailand, meskipun ada potensi untuk pertumbuhan lebih lanjut.

Di satu sisi, tantangan para pemain startup fintech di sini adalah mencari cara untuk memanfaatkan database lembaga keuangan mapan untuk skoring kredit. Otoritas Thailand secara hukum melarang startup menggunakan fasilitas berbagi data kredit.

Hal ini menghambat para pekerja lepas, wiraswasta, karyawan, yang belum pernah mendapat akses keuangan dari perbankan karena pendapatannya yang tidak konsisten. Karena alasan inilah sebagian besar perbankan memilih untuk menawarkan pinjaman kepada peminjam yang memiliki riwayat kredit yang baik atau klien baru yang berpenghasilan tetap dengan laporan bank yang diverifikasi.

Penghuni pasar ini dikuasai bank komersial karena punya basis data pelanggan yang besar. Persetujuan pinjaman pada dasarnya masih berdasarkan data konvensional. Dengan kata lain data pendapatan atau laporan bank yang mencerminkan kemampuan membayar utang pelanggan.

Karena kewewenangan ini, perbankan bermitra dengan sekutu bisnis dan penyedia layanan lainnya pada platform online terkemuka, seperti marketplace dan platform pengiriman makanan online besar dengan jaringan toko dan restoran yang luas.

Bank akhirnya mendapatkan akses ke data alternatif dari kelompok sasaran baru calon pelanggan untuk analisis pendapatan yang lebih efisien, misalnya omset penjualan, pesanan pembelian, dan pengembalian dana produk, bersama dengan ulasan produk dan layanan.


*Foto header: depositphotos.com 

Observing Vietnam as Indonesia’s Startup Destination for Expansion

The expansion success story is one of the benchmarks for business growth; It’s no wonder that many founders openly conveyed this ambition on various occasions. Starting from national, regional, then global expansion. In the Indonesian startup ecosystem, several players have enough courage to expand overseas. The level is still regional, trying to work on the market in Southeast Asian countries.

Judging from the existing trend, expansion is generally carried out for two purposes. First is strengthening business operations, Singapore and India are by far the most favorite. Startups create operational offices or R&D centers. Second, the expansion opens up new market shares, increases users, and business traction. For this purpose, Vietnam looks more promising and becomes a priority.

Currently, there are several local startups that are also offering their services in Vietnam. Call it Gojek, Ruangguru, Traveloka, and PasarPolis. In a virtual discussion opportunity held by the Indonesian Embassy in Hanoi on August 12, 2020, Traveloka representatives said that before the pandemic their business had seen good growth and after the pandemic, various plans had been made including collaboration with various parties.

The Indonesian Ambassador to Vietnam, Ibnu Hadi, in the discussion entitled “Digital Economy Opportunities in Indonesia and Vietnam” said the government would help “open the door” for Indonesian startups to open markets to Hanoi. Efforts have been made, including to intensively starting collaborations with players in the startup ecosystem there.

Several venture capitalists from Indonesia have also provided funding for Vietnamese startups. In the early stages, there are Venturra, East Ventures, and Alpha JWC Ventures; while at the next stage there are Openspace, Northstar, EV Growth.

About Vietnam market

East Ventures’ partner, Melisa Irene told DailySocial on the promising Vietnam’s internet market. Compared to Indonesia, she said the ecosystem development is 3-4 years behind Indonesia. East Ventures has also invested in two startups there, CirCo (coworking space operator) and Kim An Group (fintech lending for SMEs).

Melisa Irene
Melisa Irene / East Ventures

“Vietnam is potential because its second largest population after Indonesia, the majority age is very young, and Vietnam has recently opened its economy to the global market. This will accelerate the growth of the digital economy in Vietnam in the next few years,” Irene added.

Kim An Group’s Series A funding was successfully closed last week. Apart from East Ventures, Patamar Capital is also involved in the round. Patamar Capital is also a fairly active venture capitalist in the Indonesian ecosystem. They operate in several countries in Southeast Asia and have representatives (partners) in each region.

We had the opportunity to interview Patamar Capital’s partners, Dondi Hananto (Indonesia) and Shuyin Tang (Vietnam).

Working daily with the ecosystem, Shuyin admits that Vietnam are still several years behind Indonesia. However, if you look at the continued development, he feels optimistic about the future of the digital startup. The infrastructure development and solid talent underlie this argument.

Regarding fintech, the most developed business landscape in the region, Shuyin said that in Vietnam, the sector tends to be more controlled compared to other countries. The State Bank of Vietnam released a very limited number of licenses for fintech, both for payment platforms, loans, and other business models.

“Alyhough, digital payments is a fairly active space in Vietnam. Momo recently announced that it has reached 20 million users since it was launched 10 years ago. Other well-known players are Moca (partnered with Grab) and ZaloPay. Gojek also announced to have taken a majority stake in WePay, which means we will finally be able to enjoy GoPay,” Shuyin explained.

The business climate is also different compared to Indonesia. As of August 2020, there are 158 p2p lending startups registered with the OJK in Indonesia. Meanwhile in Vietnam, Shuyin observed the conditions are the opposite, it can be said that fintech lending is more complicated. Related startups must collaborate with existing financial institutions, both from banking and non-banks. There is no “multi-finance enterprise” model in Vietnam, nor is there a specific legal framework for p2p lending.

“I have to say that it is more difficult for lending-focused companies to debut in Vietnam. These companies operate in the ‘gray zone’ or have to partner with banks. And once you reach a certain scale, operating in that zone is not an option, it has to be. find a way to get a license fast. Usually, this process will be long and expensive,” she added.

Shuyin Tang
Patamar Capital’s Partner, Shuying Tang / Patamar Capital

Aside from fintech, in Patamar Capital’s thesis, there are also several startup landscapes that are prioritized in the Vietnamese market, such as healthtech, edutech, logistics, and SME empowerment services.

Vietnam’s market characteristic

Venturra is one of the venture capitalists from Indonesia who has set foot and a dedicated team in that country. Venturra Partner Raditya Pramana reveals his analysis to DailySocial on why Vietnam has become attractive to founders planning expansion.

He said, when talking about market share, once an Indonesian startup wants to expand regionally, they will be presented with two options: the Philippines and Vietnam.

“After Indonesia, a country with a large population are the Philippines and Vietnam. If we compare the two options, the complexity is decisive. The Philippines is an archipelago, separated; while Vietnam is only divided into two large regions, one Hanoi in the north and the other in Ho Chi Minh City. in the South. It’ll become an entry point that makes it easier for companies to build their presence,” Raditya said.

An interesting fact, Raditya also highlighted the talents. Whereas in Indonesia, startups tend to find business talent easier and find it difficult to get technical talent, Vietnam is quite the opposite with less business talent, while technical talent is easier and more affordable. This can also be a consideration for digital startups who want to build a base in the country.

“In terms of market size, it is not as big as in Indonesia, but the development can be very fast. As is known, they also get momentum due to the trade war between the United States and China. There are many manufacturing companies there. The political reforms that have taken place in recent years have provided many opportunities for growth. economy, including making it easier for foreign companies to be there,” Raditya continued.

Raditya Pramana
Venturra’s Partner, Raditya Pramana / Venturra

Venturra’s solid vision has been shown by placing a team in Vietnam since March 2020 to be directly involved in its ecosystem. In Q1 of this year, they have invested in two Vietnamese startups, while the target is to reach 5-7 startups. The pandemic requires Raditya and the team to make many adjustments to their investment plans.

“Our main focus is clearly in Indonesia because we are a local company and understand this market better. However, when talking about foreign markets, we have two targets, Vietnam, then Singapore [because it is a regional business hub],” he said.

As a country with the potential for market expansion, Shuyin gave his view. Vietnam is a naturally growing market that needs to be considered for regional expansion. Interestingly, from his observations in Vietnam, after Covid-19, interest in investing in the country shot up. Including because of Vietnam’s successful strategy in stemming the impact of the pandemic.

“In my opinion, at the top level, yes, Indonesia and Vietnam have similar characteristics. A young population, increasing income, maturing technology ecosystem, etc. However, one thing that the team has seen time and time again is that there are many local nuances and this difference becomes important,” Shuyin said.

Another Patamar Capital partner, Dondi Hananto, added that he agreed with the many similarities. “When you are in Jakarta or Ho Chi Minh City, or in Hanoi or Surabaya, you will find traffic everywhere, and millions of motorbikes. But a closer look, local nuances will be very important in understanding customer behavior.”

“For example, on my trip to Vietnam, I never set foot in a mall. Yes, we have meetings in cafes or restaurants, but not in shopping centers. It’s different from every day in Jakarta, usually before the pandemic I often held meetings at malls, even our offices are in the coworking space inside the mall. While this may seem trivial, I believe things like this affect the way customers behave and may shape how businesses approach the market, “added Dondi.

Tips for startups

With these conditions, there are some tips for startups planning to open a market in Vietnam. First, as Irene said, understanding local business conditions needs to be a strong foundation for each founder. From East Ventures’ analysis, there are three challenges that must be considered, the limited talent at the mid-management level and above, changing regulations, and business practices based on relationships. All three are business executors that is very good at local dynamics.

If you look at the steps of Indonesian startups that are already present in Vietnam, it seems that this is appropriate. For example, what Gojek did by appointing local Phung Tuan Duc as CEO to localize the company’s business strategy there. Ruangguru has done something similar by developing a special brand and platform that is unique to local elements, Kien Guru.

Radit also mentioned that the managerial style must be adjusted for Indonesian startups to expand there. He sees that a community-driven strategy can be relevant, given the existing digital trends. Such as the growth of the social commerce business model, the popularity of Facebook, and others. “What is clear is that the Indonesian playbook cannot be fully replicated there. Customer behavior is different from Indonesia, you must have a strong leader there.”

As Dondi said, based on some of the similarities, founders also need to really understand the similarities in market share between these countries, find out what differences need to be adjusted. “In my opinion, expansion from Java to other islands in Indonesia is already very complicated due to differences in population density, infrastructure, behavior, recruitment, etc. Expanding to other countries is 100 times more complicated because you have to think hard about legal and operational barriers. , including language. ”

Dondi Hananto
Patamar Capital’s Partner, Dondi Hananto / Patamar Capital

And what was also emphasized was the selection of the right local team and partners. The realizations vary, for example through acquisition or acquihire as was done by Traveloka or Gojek, but it does require a high cost.

Why expand to Vietnam?

In Venturra’s portfolio, one startup has arrived in Vietnam, Ruangguru. However, Raditya did not really encourage his startup to quickly expand outside. He will recommend Vietnam as a destination, provided that the startup is really ready and feels that it has reached the best point in running its business on a national scale.

Meanwhile, according to Dondi, it is natural that Indonesian companies must have the will to expand regionally. Businesses must be prepared for these consequences, otherwise, it will be a waste of valuable resources and time. For some businesses, Indonesia’s domestic market is large enough, so that they can increase the maximum scale without expanding to other countries.

“We do have several business portfolios that have grown and are planning to expand to Vietnam, but we want to ensure that this is done carefully,” Dondi said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Header: Depositphotos

Menilik Vietnam sebagai Tujuan Ekspansi Startup Indonesia

Keberhasilan melakukan ekspansi adalah salah satu tolok ukur pertumbuhan bisnis; tak heran banyak founder terang-terangkan menyampaikan ambisi tersebut di berbagai kesempatan. Dimulai dari ekspansi nasional, regional, kemudian global. Di ekosistem startup Indonesia, beberapa pemain telah unjuk gigi melakukan perluasan ke luar negeri. Levelnya masih regional, mencoba menggarap pasar di negara-negara Asia Tenggara.

Melihat dari tren yang sudah ada, umumnya ekspansi dilakukan untuk dua kepentingan. Pertama adalah penguatan operasional bisnis, Singapura dan India sejauh yang paling favorit. Para startup membuat kantor operasional atau pusat R&D. Kedua, ekspansi membuka pangsa pasar baru, meningkatkan pengguna, dan traksi bisnisnya. Untuk kepentingan ini, Vietnam tampak lebih menjanjikan dan menjadi prioritas.

Saat ini, sudah ada beberapa startup lokal yang turut jajakan layanannya di Vietnam. Sebut saja Gojek, Ruangguru, Traveloka, dan PasarPolis. Dalam sebuah kesempatan diskusi virtual yang digelar KBRI Hanoi pada 12 Agustus 2020 lalu, perwakilan Traveloka menyampaikan, sebelum pandemi bisnis mereka mendapati pertumbuhan baik dan setelah pandemi pun berbagai rencana sudah dicanangkan termasuk kolaborasi dengan berbagai pihak.

Dubes RI untuk Vietnam, Ibnu Hadi, dalam diskusi bertajuk “Digital Economy Opportunities in Indonesia and Vietnam” tersebut mengatakan, pemerintah akan membantu “membuka pintu” bagi startup Indonesia yang ingin membuka pasar ke Hanoi. Upaya yang sudah dilakukan termasuk secara intensif memulai kolaborasi dengan pemain di ekosistem startup di sana.

Beberapa pemodal ventura dari Indonesia juga sudah lakukan pendanaan untuk startup Vietnam. Di tahap awal ada Venturra, East Ventures, dan Alpha JWC Ventures; sementara di tahap lanjutan ada Openspace, Northstar, EV Growth.

Tentang pasar Vietnam

Kepada DailySocial, Partner East Ventures Melisa Irene mengatakan, potensi pasar internet Vietnam saat ini menjanjikan. Jika dibandingkan dengan Indonesia, menurutnya perkembangan ekosistem di sana berada 3-4 tahun di belakang Indonesia. East Ventures sendiri sudah berinvestasi di dua startup di sana, yakni CirCo (operator coworking space) dan Kim An Group (fintech lending untuk UKM).

Melisa Irene
Partner East Ventures Melisa Irene / East Ventures

“Vietnam potensial karena populasinya kedua terbesar setelah Indonesia, mayoritas penduduk sangat muda, dan Vietnam baru beberapa tahun terakhir membuka perekonomian ke pasar global. Hal tersebut yang akan mengakselerasi  pertumbuhan ekonomi digital di Vietnam dalam beberapa tahun ke depan,” imbuh Irene.

Pendanaan Seri A Kim An Group sebenarnya juga baru berhasil ditutup pekan lalu. Selain East Ventures, Patamar Capital turut terlibat dalam putaran tersebut. Patamar Capital sendiri juga menjadi pemodal ventura yang cukup aktif di ekosistem Indonesia. Mereka beroperasi di beberapa negara di Asia Tenggara dan memiliki perwakilan (partner) di masing-masing wilayah.

Kami berkesempatan untuk mewawancara Partner Patamar Capital, yakni Dondi Hananto (Indonesia) dan Shuyin Tang (Vietnam).

Bekerja sehari-hari dengan ekosistem di sana, Shuyin mengakui bahwa kondisi di Vietnam masih tertinggal beberapa tahun dari Indonesia. Tapi jika melihat lanjut perkembangannya, ia merasa optimis tentang masa depan startup digitalnya. Perkembangan infrastruktur dan talenta yang solid melandasi argumen tersebut.

Terkait fintech, lanskap bisnis yang paling berkembang di regional, Shuyin berpendapat di Vietnam sektor tersebut cenderung lebih terkontrol dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Bank Negara Vietnam merilis lisensi untuk fintech dengan jumlah yang sangat terbatas, baik untuk platform pembayaran, pinjaman, dan model bisnis lainnya.

“Meski begitu, pembayaran digital adalah ruang yang cukup aktif di Vietnam, ada Momo baru-baru ini mengumumkan telah mencapai 20 juta pengguna sejak diluncurkan 10 tahun lalu. Pemain lain yang cukup ternama adalah Moca (telah bermitra dengan Grab) dan ZaloPay. Gojek juga mengumumkan telah mengambil saham mayoritas di WePay, yang berarti kami akhirnya akan bisa menikmati GoPay,” terang Shuyin.

Iklim bisnisnya juga berbeda jika dibandingkan di Indonesia. Per Agustus 2020, di Indonesia ada 158 startup p2p lending yang terdaftar di OJK. Sementara di Vietnam, dari pantauan Shuyin kondisinya sebaliknya, bisa dikatakan fintech lending lebih rumit. Startup terkait harus bekerja sama dengan institusi keuangan yang sudah ada sebelumnya, baik dari perbankan maupun nonbank. Tidak ada model “perusahaan multifinansial” di Vietnam, juga belum ada kerangka hukum khusus untuk p2p lending.

“Jadi saya harus mengatakan bahwa lebih sulit bagi perusahaan yang fokus pada pinjaman untuk memulai di Vietnam. Perusahaan ini beroperasi di ‘zona abu-abu’ atau harus bermitra dengan bank. Dan begitu Anda mencapai skala tertentu, beroperasi di zona tersebut bukan pilihan, harus menemukan cara untuk mendapatkan lisensi yang cepat. Biasanya proses ini akan panjang dan mahal,” imbuhnya.

Shuyin Tang
Partner Patamar Capital Shuyin Tang / Patamar Capita

Selain fintech, dalam tesis Patamar Capital juga ada beberapa lanskap startup yang diprioritaskan di pasar Vietnam, yakni healthtech, editech, logistik, dan layanan pemberdayaan UKM.

Karakteristik pasar Vietnam

Venturra menjadi salah satu pemodal ventura asal Indonesia yang sudah injakkan kaki di sana dan memiliki tim yang didedikasikan di negara tersebut. Kepada DailySocial, Partner Venturra Raditya Pramana memberikan analisisnya soal mengapa Vietnam menjadi menarik bagi founder yang merencanakan ekspansi.

Ia berkata, saat berbicara tentang pangsa pasar, setelah suatu startup Indonesia ingin berekspansi secara regional, mereka akan disuguhkan dengan dua pilihan: Filipina dan Vietnam.

“Setelah Indonesia, negara yang memiliki populasi besar Filipina dan Vietnam. Kalau kita membandingkan dua pilihan tersebut, kompleksitasnya menentukan. Filipina berbentuk kepulauan, terpisah-pisah; sementara Vietnam cuma terbagi di dua wilayah besar, satu Hanoi di Utara dan satunya Ho Chi Minh City di Selatan. Jadi itu menjadi entry point yang lebih memudahkan untuk perusahaan membangun kehadirannya,” ujar Raditya.

Hal menarik yang juga disorot Raditya adalah seputar talenta. Jika di Indonesia startup cenderung lebih mudah mendapatkan talenta bisnis dan sulit mendapatkan talenta teknis, Vietnam kebalikannya talenta bisnis yang lebih sulit ditemui di sana, sementara talenta teknis lebih mudah dan terjangkau. Ini bisa menjadi pertimbangan juga bagi startup digital yang ingin membangun basis di negara tersebut.

“Dari segi besaran pasar memang belum sebesar di Indonesia, tapi perkembangannya bisa sangat cepat. Seperti diketahui, mereka juga dapat momentum akibat trade war antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Banyak perusahaan manufaktur di sana. Reformasi politik yang terjadi beberapa tahun terakhir memberikan banyak peluang pertumbuhan perekonomian, termasuk memudahkan perusahaan luar untuk hadir di sana,” lanjut Raditya.

Raditya Pramana
Partner Venturra Raditya Pramana / Venturra

Keseriusan Venturra telah ditunjukkan dengan menempatkan tim di Vietnam sejak Maret 2020 untuk terlibat secara langsung dalam ekosistemnya. Di Q1 tahun inimereka sudah berinvestasi di dua startup Vietnam, sementara targetnya mencapai 5-7 startup. Pandemi mengharuskan Raditya dan tim melakukan banyak penyesuaian rencana investasi mereka.

“Fokus utama kami jelas di Indonesia, karena kami perusahaan di Indonesia dan lebih mengerti baik pasar ini. Tapi kalau berbicara tentang pasar luar negeri, maka target kami ada dua, yakni Vietnam, lalu Singapura [karena merupakan hub bisnis di regional],” kata Raditya.

Sebagai negara berpotensi untuk ekspansi pasar, Shuyin memberikan pandangannya. Vietnam adalah pasar yang tumbuh secara alami yang perlu dipertimbangkan dalam ekspansi regional. Menariknya, dari pengamatannya di Vietnam, setelah Covid-19, minat terhadap investasi di negara tersebut melesat. Termasuk karena strategi keberhasilan Vietnam dalam membendung dampak pandemi.

“Menurut saya di level atas, ya, tentunya Indonesia dan Vietnam memiliki karakteristik mirip. Populasi muda, pendapatan terus meningkat, ekosistem teknologi makin matang, dan sebagainya. Tapi satu hal yang tim kali lihat berkali-kali ada banyak nuansa lokal, dan perbedaan ini penting,” ungkap Shuyin.

Partner Patamar Capital lainnya Dondi Hananto menambahkan, ia setuju tentang adanya banyak kesamaan. “Saat Anda berada di Jakarta atau Ho Chi Minh City, atau berada di Hanoi atau Surabaya, Anda akan menemukan kemacetan di mana-mana, dan jutaan sepeda motor. Namun jika diliat lebih dekat, nuansa lokal akan sangat penting dalam memahami perilaku pelanggan.”

“Misalnya dalam perjalanan saya ke Vietnam, saya tidak pernah menginjakkan kaki di satu mall pun. Ya, kami pernah rapat di kafe atau restoran, tapi tidak di pusat perbelanjaan. Beda dengan sehari-hari di Jakarta, biasanya sebelum pandemi saya sering melakukan meeting di mall, bahkan kantor kami ada di coworking space di dalam mall. Meskipun ini mungkin tampak sepele, saya yakin hal-hal seperti ini mempengaruhi cara pelanggan berperilaku dan mungkin membentuk bagaimana bisnis mendekati pasar,” imbuh Dondi.

Tips untuk startup

Dengan kondisi tersebut, ada beberapa tips yang disampaikan untuk startup yang merencanakan untuk membuka pasar di Vietnam. Pertama, menurut Irene, pemahaman kondisi bisnis lokal perlu menjadi landasan kuat bagi tiap founder. Dari analisis East Ventures, ada tiga tantangan yang harus diperhatikan, yakni terkait terbatasnya telenta di level mid-management ke atas, peraturan yang masih berubah-ubah, dan praktik bisnis berdasarkan relasi. Ketiganya membutuhkan eksekutor bisnis yang sangat menguasai dinamika lokal.

Jika melihat langkah startup Indonesia yang sudah hadir di Vietnam, sepertinya hal tersebut sudah sesuai. Misalnya yang dilakukan Gojek dengan menunjuk orang lokal Phung Tuan Duc sebagai CEO untuk melokalisasi strategi bisnis perusahaan di sana. Hal serupa dilakukan Ruangguru dengan mengembangkan brand dan platform khusus yang khas dengan unsur lokal, Kien Guru.

Radit menambahkan, gaya manajerial memang harus disesuaikan untuk startup Indonesia yang ingin ekspansi ke sana. Ia melihat, strategi community-driven bisa saja relevan, melihat dari tren digital yang ada. Seperti bertumbuhnya model bisnis social commerce, popularitas Facebook, dan lain-lain. “Yang jelas, playbook Indonesia tidak bisa direplikasi sepenuhnya di sana. Customer behaviornya beda dengan Indonesia, harus punya strong leader di sana.”

Menurut Dondi, atas dasar beberapa kemiripan tadi, founder juga perlu benar-benar memahami persamaan pangsa pasar antarnegara tersebut, mencari tahu perbedaan apa yang perlu penyesuaian. “Menurut saya, ekspansi dari Jawa ke pulau lain di Indonesia saja sudah sangat rumit karena perbedaan kepadatan penduduk, infrastruktur, perilaku, rekrutmen, dan lain-lain. Memperluas ke negara lain 100 kali lebih rumit karena Anda harus berpikir keras tentang hukum dan hambatan operasional, termasuk bahasa.”

Dondi Hananto
Partner Patamar Capital Dondi Hananto / Patamar Capital

Dan hal yang juga ditekankan adalah terkait pemilihan tim dan mitra lokal yang tepat. Realisasinya bermacam-macam, misalnya melalui acquisition atau acquihire seperti yang dilakukan Traveloka atau Gojek, tapi memang membutuhkan biaya yang mahal.

Dorongan untuk ekspansi ke Vietnam

Di portofolio Venturra, satu startup sudah hadir ke Vietnam, yakni Ruangguru. Namun Raditya tidak terlalu mendorong startupnya untuk cepat-cepat ekspansi ke luar. Ia akan merekomendasikan Vietnam sebagai tujuan, dengan catatan startup tersebut benar-benar siap dan dirasa sudah sampai titik terbaik dalam menjalankan bisnisnya di skala nasional.

Sementara menurut Dondi, wajar jika perusahaan Indonesia harus punya kemauan melakukan ekspansi regional. Bisnis harus siap menghadapi konsekuensi tersebut, jika tidak maka akan membuang-buang sumber daya dan waktu berharga. Untuk beberapa bisnis, pasar domestik Indonesia sudah cukup besar, sehingga mereka dapat meningkatkan skala maksimal tanpa ekspansi ke negara lain.

“Kami memang punya beberapa portofolio bisnis yang telah berkembang dan berencana untuk melakukan perluasan ke Vietnam, tapi kami ingin memastikan bahwa itu dilakukan dengan hati-hati,” terang Dondi.

Gambar Header: Depositphotos