East Ventures Introduces Triawan Munaf as Venture Advisor

Today (2/4), East Ventures announces Triawan Munaf to join boards of leaders as Venture Advisor. He will be occupied to help the company explore the best potential of Indonesia’s startups and hands-on to help the business perform regional expansion.

“Mr. Munaf shared the same value as East Ventures. As for his experience and capabilities, we expect to develop Indonesia’s digital economy better and faster,” East Ventures’ Co-Founder & Managing Partner, Willson Cuaca said.

Entering the second decade, East Ventures aims to list more companies on the portfolio and expects to create a greater impact on the currently growing Indonesia’s startup ecosystem.

East Ventures’ managed funds, consists of early-stage fund and growth fund, have advanced into US$1.2 billion assets. The company also participated in 20 exits within the last decade.

“I’m happy to join the leading venture capital with aligned vision with mine, it is to build a sustainable business ecosystem and create a more inclusive digital economy for the better nation,” Munaf added.

Aside from East Ventures, the former Bekraf’s executive is also appointed as Garuda Indonesia’s President Commissioner. He’s also trusted as the Honorary Advisor to the Minister of Tourism and Creative Economy in the merger of the Ministry of Tourism and Bekraf.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

East Ventures Umumkan Triawan Munaf sebagai “Venture Advisor”

Hari ini (04/2) East Ventures umumkan bergabungnya Triawan Munaf di jajaran kepemimpinan sebagai Venture Advisor. Dalam tugasnya, ia akan membantu perusahaan menggali potensi terbaik dari startup Indonesia dan membantu mereka untuk mengembangkan bisnisnya ke tingkat regional.

“Pak Triawan berbagi nilai yang sama dengan East Ventures. Dengan pengalaman dan kemampuannya, kami berharap dapat mengembangkan ekonomi digital ekonomi Indonesia lebih cepat,” ujar Co-founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Memasuki dekade kedua dalam perjalanannya, East Ventures berencana untuk terus menggandeng lebih banyak perusahaan ke dalam portofolionya dan berupaya untuk memberikan dampak lebih besar di ekosistem startup Indonesia yang saat ini berkembang pesat.

Dana kelolaan East Ventures, yang terdiri dari early stage fund dan growth fund, kini telah tumbuh menjadi aset senilai US$1,2 miliar. Perusahaan turut berpartisipasi dalam 20 exit selama satu dekade terakhir.

“Saya senang dapat bergabung dengan perusahaan modal ventura terdepan yang memiliki visi yang sama dengan saya, yaitu membangun ekosistem bisnis yang berkelanjutan dan menciptakan ekonomi digital yang lebih inklusif untuk kebaikan bersama,” sambut Triawan.

Selain di East Vetnures, mantan Kepala Bekraf tersebut kini juga menjabat sebagai Komisaris Utama Garuda Indonesia. Ia juga dipercaya menjadi Penasihat Kehormatan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dalam proses peleburan Kementerian Pariwisata dan Bekraf.

Laporan East Ventures: Daya Saing Digital Masih Rendah, Startup Didorong Masuk ke Pelosok

Daya saing digital Indonesia masih terbilang rendah menurut laporan East Ventures – Digital Competitiveness Index (EV-DCI) dengan indeks rata-rata 27,9 untuk 34 provinsi. Jakarta menjadi provinsi dengan indeks tertinggi (79,7), sementara Papua menempati urutan terakhir (17,7).

Laporan ini merupakan alat untuk mengukur kondisi ekonomi digital di wilayah Indonesia berdasarkan tiga aspek. Masing-masing aspek ini memiliki tiga pilar yang menjadi alat ukur EV-DCI, dengan turunan data pendukung yang diambil dari lembaga resmi.

Aspek input yang mencakup sejumlah pilar utama yang mendukung terciptanya ekonomi digital. Tiga pilarnya adalah SDM, penggunaan ICT, pengeluaran untuk ICT. Aspek output untuk menggambarkan sejumlah pilar terkait ekonomi digital yang dihasilkan. Tiga pilarnya adalah perekonomian, kewirausahaan dan produktivitas, dan ketenagakerjaan.

Terakhir, aspek penunjang yang mendukung secara tidak langsung pengembangan ekonomi digital. Tiga pilarnya adalah infrastruktur, keuangan, regulasi dan kapasitas pemda.

Persebaran Skor EV-DCI / East Ventures
Persebaran Skor EV-DCI / East Ventures

Dari sembilan pilar ini, kesiapan Indonesia dalam ekonomi digital terlihat dari pilar penggunaaan ICT dengan skor tertinggi. Penggunaan ICT yang dimaksud terdiri dari kepemilikan smartphone, komputer, dan besarnya akses internet dari masing-masing daerah.

Kondisi ini sejalan dengan pilar infrastruktur yang merupakan bagian dari aspek penunjang, berada di posisi kedua. Sementara, dua pilar terendah adalah SDM dan kewirausahaan. Bila diterjemahkan, Indonesia masih menghadapi persoalan keterbatasan SDM yang terampil dalam ekonomi digital.

Wilayah Jawa memiliki daya saing digital terbaik, semua provinsinya menempati posisi 10 besar. Dilihat dari sub-indeks input dan output, hampir semua provinsi di Indonesia memiliki skor output yang lebih rendah daripada input.

Hal ini mengindikasikan daerah-daerah di Indonesia belum dapat mengoptimalkan input dalam hal SDM, penggunaan dan pengeluaran ICT, menjadi output dalam hal perekonomian, kewirausahaan, dan tenaga kerja. Kondisi ini tercermin dari NTB dan Papua yang punya output lebih besar daripada input.

Urutan provinsi dengan indeks EV-DCI terbaik hingga terendah / East Ventures
Urutan provinsi dengan indeks EV-DCI terbaik hingga terendah / East Ventures

Yogyakarta menjadi provinsi dengan jarak cukup jauh antara input dan output. Artinya, provinsi ini punya sumber daya besar, tapi belum dimanfaatkan secara optimal untuk mendorong ekonomi digital. Hal yang sama juga terjadi untuk Kalimantan Timur, Bali, Kepulauan Riau, dan Bangka Belitung.

Selain membahas penggunaan digital dan literasinya, laporan ini juga membahas pekerjaan-pekerjaan apa saja yang akan hilang karena ekonomi digital. Juga memperkirakan pekerjaan baru apa saja yang akan muncul untuk meningkatkan kapabilitas suatu orang.

Langkah selanjutnya untuk stakeholder

Managing Director East Ventures Willson Cuaca menjelaskan EV-DCI bisa menjadi peta berikutnya untuk para penggiat startup dalam melebarkan bisnisnya secara tepat guna. Untuk startup yang skalanya sudah besar bisa didorong untuk masuk ke daerah yang potensi digitalnya masih gersang agar literasi digitalnya tinggi.

Akan tetapi, untuk startup baru, menerjemahkan laporan ini bukan dengan masuk ke lokasi yang gersang. Menurutnya startup itu butuh ekosistem sendiri, beberapa di antaranya butuh jumlah penduduk yang tepat, akses ke investor, infrastruktur ICT, hingga bandara udara.

“Ibaratnya sama seperti menanam pohon. Tidak semua jenis pohon bisa ditanam di tanah yang sama karena harus ada ekosistemnya,” terangnya.

Dia menerangkan, East Ventures punya teori yang menyebutkan bahwa startup itu baru akan jalan ketika masuk ke daerah dengan populasi minimal 7 juta orang. Asumsi angka ini dilihat dengan mengambil rata-rata kasar jumlah usia muda, diperkirakan ada 20%.

Dari angka ini diperkirakan, pengguna internet ada separuhnya sekitar satu juta. Artinya, ini adalah potensi pengguna yang bakal memakai produk apabila merilis suatu aplikasi. “Kalau populasinya hanya 70 ribu orang, maka target penggunanya akan semakin kecil.”

Teori ini melihat dari kesuksesan California dengan Silicon Valley yang punya populasi di atas 7 juta. Tokyo diperkirakan punya 14 juta populasi, sementara hampir sepertiga dari populasi di Korea Selatan terpusat di Seoul.

“Jadi berdasarkan teori ini mungkin buat startup di Surabaya kemungkinan gagalnya tinggi, harus beralih ke Jakarta.”

Menurutnya, apabila teori ini tidak tepat maka kenyataannya Silicon Valley akan ada banyak di berbagai negara. Tapi kenyataan ini tidak terjadi. Selain Jakarta, belum ada startup dari daerah yang terlihat paling menonjol.

Willson juga membuka kesempatan untuk mengelaborasi lebih jauh dari hasil laporan EV-DCI ini karena ada banyak turunan yang bisa dibahas. Salah satunya adalah fakta mengenai tingginya indeks persebaran layanan fintech di suatu lokasi, sejalan dengan penurunan kantor cabang.

Kondisi ini bisa dibuat suatu prediksi oleh bank dan regulator di mana lokasi penutupan berikutnya. Agar bank tersebut bisa fokus ke hal lain.

“Kita enggak mau berhenti [sebar luaskan laporan] di sini saja, mau teruskan ke luar negeri. Sehingga orang tahu negara kita seperti apa, agar semakin banyak orang yang masuk ke Indonesia untuk berinvestasi,” pungkasnya.

Konsep ISA Bakal Jadi Fokus Hacktiv8 Setelah Pendanaan

Hacktiv8, startup yang dikenal sebagai penyelenggara bootcamp untuk pemrograman, mengantongi pendanaan Pra-Seri A senilai $3 juta (sekitar 41 miliar Rupiah dengan kurs hari ini) yang dipimpin East Ventures. Turut terlibat di dalamnya Sovereign’s Capital, SMDV, Skystar Capital, Convegerence Ventures, RMKB Ventures, Prasetia, dan Everhaus.

Co-founder dan CEO Hacktiv8 Ronald Ishak kepada DailySocial menjelaskan bahwa fokus besar pendanaan kali ini ada pada ISA (Income Share Agreement). Sebuah konsep yang mulai banyak digunakan untuk pendanaan pendidikan.

“Dengan memperbanyak demand murid melalui ISA kita juga bisa memperbanyak jumlah sekolah kita. Sekarang ini kita sedang membangun beberapa sekolah baru yang akan dibuka secara bertahap tahun 2020 ini,” terang Ronald.

Konsep ISA sudah mulai diberlakukan di Hacktiv8. Konsep ini berbentuk kontrak bagi hasil antara murid dan Hacktiv8 yang memungkinkan para murid untuk menunda pembayaran biaya sekolah di awal, dengan ketentuan dibayar selanjutnya dengan membagi gaji bulanan yang diterima setelah bekerja.

Besaran pembagian gaji bulanan ini akan disesuaikan dengan pendapatan yang didapatkan. Siswa yang terdaftar di ISA mulai membayar setelah pendapatan mereka melebihi jumlah tertentu, sedangkan mereka yang bisa mendapatkan pendapatan lebih tinggi tidak akan membayar lebih dari batasan tertentu.

“Jika lulusan kami mendapat gaji yang kompetitif, kami akan mendapat pengembalian investasi yang bagus,” imbuh Ronald.

Salah satu hal yang ingin diubah Ronald adalah konsep di mana banyak institusi berbayar yang tidak menjamin lulusan meudah mendapatkan pekerjaan. Dengan konsep ISA ini institusi atau sekolah bertanggung jawab pada keberhasilan murid pasalnya setelah murid berhasil sekolah baru menerima pembayarannya.

Untuk saat ini Hacktiv8 mengklaim memiliki lebih dari 250 perusahaan mitra atau hiring partner yang siap merekrut para alumni. Selain itu perusahaan mitra juga turut berpartisipasi dalam perancangan kurikulum dalam rangka memastikan materi yang dipelajari up to date dan tetap relevan dengan industri.

Termasuk dalam mitra Hacktiv8 adalah Tokopedia, Gojek, Bukalapak, Payfazz, Xendit, KoinWorks, dan beberapa perusahaan lainnya.

Infografis soal ISA

Pertahankan konsistensi untuk cetak programmer handal

Hacktiv8 dikembangkan Roland bersama dengan Riza Fahmi sejak tahun 2018. Dalam kurikulumnya Hacktiv8 mengajarkan beberapa teknologi terkini seeprti JavaScript, Node.js, Vue.js, dan React. Bootcamp yang diselenggarakan pun mendorong peserta untuk secara konsisten berlatih, menghabiskan 10-12 jam setiap hari dalam 5-6 hari selama 12-18 minggu.

“Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah engineer yang rendah, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk. Kondisi ini bukan hanya disebabkan oleh jumlah populasi yang besar, melainkan juga karena Indonesia hanya memiliki sedikit lulusan program studi STEM (science, technology, engineering, and math),” jelas Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Ronald menambahkan, untuk saat ini demografi peserta bootcamp Hacktiv8 kebanyakan adalah mereka yang ingin pindah atau masuk ke dalam dunia bisnis teknologi atau startup dengan background bermacam-macam, mulai dari finance, design, marketing, dan lain-lain yang mencoba menjadi programmer. Mereka juga tengah fokus untuk mengembangkan platform ISA.

“Sekarang ini hanya Hacktiv8 institusi yang kita jalankan dengan ISA, cuma kita sedang mengembangkan ISA platform untuk membantu semua sekolah lain di luar Hacktiv8 untuk bisa menerima ISA (ke depannya),” imbuh Ronald.

Selain bootcamp salah satu pelebaran sayap Hacktiv8 dalam upaya mencetak programmer berkualitas di Indonesia adalah dengan menghadirkan Kode.id. Platform belajar pemrogaman ini diklaim sudah memiliki 160 kelas belajar dengan total 200 jam.

EV Growth Bukukan 3,4 Triliun Rupiah dalam Penggalangan Dana Pertamanya

EV Growth, perusahaan modal ventura hasil joint-venture East Ventures, SMDV, dan Yahoo! Japan Capital, hari ini (30/12) mengumumkan telah membukukan $250 juta (hard cap) setara 3,4 triliun Rupiah dalam pengumpulan dana pertamanya. Angka ini melebihi nominal yang ditargetkan sebelumnya, yakni $150 juta. Temasek dan beberapa perusahaan keluarga di kawasan Asia turut terlibat dalam putaran ini sebagai LP (Limited Partner).

Perusahaan mengklaim, saat ini mereka telah menyalurkan lebih dari 50% total dana yang dikumpulkan ke dalam 20 kesepakatan pendanaan. Sebanyak 80% startup yang mendapatkan kucuran dana dari Indonesia. Turut diinformasikan internal rete of return pendanaan berkisar 36%.

Sejak didirikan pada Maret 2018, pemodal ventura berbasis di Singapura tersebut sudah mengucurkan dana investasinya ke beberapa startup, termasuk pendanaan seri C Ruangguru, seri D Sociolla, seri B Warung Pintar, dan sebagainya.

“Pengalaman operasi perusahaan kami, kecepatan transaksi, pengetahuan lokal dan jaringan regional telah membantu kami mendapatkan beberapa penawaran terbaik di wilayah ini. Kami berencana untuk menggelontorkan $325 juta untuk startup Asia Tenggara yang menggabungkan pendanaan aktif untuk tahap perusahaan awal dan perusahaan fase pertumbuhan,” ujar Willson Cuaca, selaku Managing Partner EV Growth sekaligus Co-Founder East Ventures.

Selain Willson, EV Growth turut dinakhodai oleh Roderick Purwana dari SMDV, dan Shinichiro Hori dari Yahoo! Japan Capital. Tidak hanya di Indonesia, fokusnya menyasar startup di seluruh Asia Tenggara.

Komunal Amankan Pendanaan Tahap Awal dari East Ventures dan Skystar Capital

Startup p2p lending Komunal mengumumkan telah mengamankan pendanaan tahap awal dari East Ventures. Tidak disebutkan berapa nominal yang diterima startup asal Surabaya ini. Skystar Capital juga turut serta dalam putaran kali ini.

Dana yang diperoleh akan dimanfaatkan untuk mempercepat misinya dalam menjembatani gap pendanaan yang dibutuhkan oleh para pemilik UKM di Indonesia yang belum bisa dilayani oleh bank.

Ide awal Komunal muncul ketika para pendirinya menyadari besarnya jumlah pendanaan yang dialami Indonesia sejak awal tahun 2018. Gap pendanaan bagi para pemilik UKM di Indonesia disebut bisa mencapai angka Rp1.000 triliun per tahun.

Co-founder Komunal Hendry Lieviant menjelaskan, UKM saat ini menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia karena memberikan kontribusi lebih dari 60% untuk Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dan mampu menyerap tenaga kerja. Sayangnya mereka kesulitan mendapatkan pendanaan karena kurangnya riwayat pinjaman dan biaya operasional yang besar.

“Lewat Komunal, kami ingin membantu UKM yang potensial untuk terus berkembang dan turut memperbaiki ekonomi Indonesia secara substansial, serta mengurangi kesenjangan,” imbuh Hendry.

Sementara itu Co-founder Komunal Rico Tedyono menambahkan bahwa model bisnis p2p lending terbukti mampu membantu meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi, melalui inklusi keuangan yang lebih baik.

“Komunal tidak hanya menyediakan kesempatan bagi masyarakat umum untuk menjadi pemberi pinjaman dengan bunga yang menarik, namun kami juga membuka akses pendanaan baru bagi para peminjam yang tidak bisa dilayani oleh bank. Lewat platform kami, para pemilik UKM kini bisa mendapatkan pinjaman yang mereka butuhkan untuk tumbuh,” terang Rico.

Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengungkapkan bahwa Komunal memiliki misi yang sama dengan East Ventures, yakni mendorong inklusi keuangan di Indonesia. Tim Komunal juga disebut telah membuktikan kemampuan mereka dalam mengeksekusi dengan cepat dan tepat.

“Kami senang bisa turut bergandengan tangan dengan mereka dalam membuka kesempatan yang lebih baik bagi para UMKM di Indonesia,” jelas Willson.

Dalam waktu 8 bulan Komunal telah menyalurkan pinjaman dengan total nilai mencapai Rp50 miliar untuk para UKM di wilayah Jawa Timur. Komunal juga tengah menyiapkan diri untuk hadir di lebih banyak kota di Jawa Timur dan provinsi lainnya.

Application Information Will Show Up Here

Willson Cuaca Menanamkan Lebih dari Sekadar Uang dalam Sebuah Bisnis

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Sebagai salah satu investor yang paling aktif dalam industri VC, Willson Cuaca telah berinvestasi lebih dari sekadar uang dalam sebuah bisnis. Sejak awal, ia percaya pada ekonomi digital Indonesia dan Asia Tenggara.

Banyak orang hanya memandang Wilson identik dengan industri VC, sementara ada banyak bidang yang juga ia kuasai dengan baik. Ia merasa terlahir untuk berada dalam industri teknologi, menggeluti bidang komputer sedari belia hingga berbagai pencapaian sebagai nomor satu di masa-masa awal kariernya . Siapa sangka ia tumbuh menjadi seseorang dengan intuisi tinggi yang berhasil masuk ke dalam industri melalui pendekatan yang berbeda.

Didirikan pada tahun 2009, portfolio East Ventures kini sudah mencapai 160 startup dan beberapa diantaranya sudah profitable. Tahun ini tercatat sebagai ulang tahun ke 10 mereka dan pastinya banyak kisah yang sudah menanti. Ia percaya pada kekuatan bangsa ini beserta populasinya.

Di sini, Willson membahas perkara keyakinan serta nilai inti dalam menjalankan bisnis. DailySocial telah menerjemahkan percakapan tersebut ke dalam susunan paragraf di bawah ini.

Anda dikenal sebagai salah satu investor paling aktif di dalam industri VC. Kapan Anda mulai merintis karier ini?

Banyak orang mungkin berpikir saya hanya bermain dalam industri VC, padahal sejak awal saya sangat melekat dengan hal-hal terkait komputer dan jaringan.

Saya memulai perjalanan akademik di Binus University pada tahun 1996, di mana Binus baru dinobatkan menjadi universitas – sebelumnya bernama STMIK. Masa-masa kuliah saya dipenuhi dengan kegiatan selain belajar. Saya juga menjadi instruktur kursus di BNTRC sebelum berganti nama menjadi Binus Center. Di tengah jadwal yang ketat sekalipun, saya masih punya waktu untuk bersenang-senang dengan bermain game.

Saya selalu berusaha menjadi yang pertama mempelajari segalanya. Selama kuliah, saya mempelajari semua tentang jaringan area lokal dan mendalami Linux yang kemudian menjadi inti sistem Android dan iOS. Slackware menjadi distribusi Linux favorit saya saat itu. Saya mencoba memahami lebih dalam dan menjadi salah satu orang pertama yang belajar tentang peralatan Cisco. Setelah itu, saya ditunjuk menjadi instruktur Cisco Certified pertama di Indonesia yang melatih insinyur Cisco untuk mendapatkan sertifikasi CCNA, dan menjadi bagian dari tim pendiri Cisco Networking Academy di Indonesia.

Pada tahun 2000, saya menyelesaikan pendidikan di universitas kemudian diangkat sebagai Kepala Infrastruktur di sebuah perusahaan pertanian. Pekerjaan ini mengharuskan saya untuk mengelola konektivitas intra-jaringan nasional yang sangat luas.

Mengapa Anda pindah ke Singapura?

Sebenarnya, saya adalah seseorang yang mudah bosan, saya merasa perlu mencari sesuatu yang baru untuk dilakukan. Saat itu masih tahun 2001, ketika saya mengamati tren internet security dan memiliki ilmu yang cukup untuk menjadi spesialis, mendukung beberapa perusahaan di Singapura.

Sekitar tahun 2006, aplikasi web semakin populer lalu saya termotivasi untuk membuat aplikasi sendiri bernama Foyage. Hal ini terjadi sebelum iPhone diluncurkan dan Blackberry banyak digunakan. Saya juga menjadi bagian dari pengembang iPhone pertama di Singapura dan satu dari beberapa pengembang Blackberry pertama di kawasan ini.

Setelah Foyage, saya juga menciptakan Apps Foundry dengan tujuan untuk mengembangkan teknologi dan aplikasi. Terobosan pertama kami adalah Scoop – #1 digital magazine reader di Indonesia- yang kemudian diakuisisi oleh Kompas.

wilson cuaca 1

Boleh ceritakan sedikit tentang masa-masa awal berdirinya East Ventures? Bagaimana Anda menemukan mitra saat ini?

Relasi saya dengan Batara sudah terjalin jauh sejak 1993 ketika kami masih berada di SMA. Ketika saya pergi ke Jakarta, ia melanjutkan studi ke perguruan tinggi di Jepang. Sementara saya berjuang dengan Foyage, ia pun memutuskan keluar dari perusahaannya sendiri yang bernama Mixi. Mixi merupakan sebuah situs web yang memulai debut di pasar saham pada tahun 2006 dan bernilai miliaran dolar, hal ini terjadi sebelum istilah unicorn mencuat ke permukaan. Kami kemudian kembali berkolaborasi untuk membuat East Ventures pada tahun 2009 dengan dua mitra lainnya. Taiga Matsuyama, salah seorang mitra, adalah investor pertama Batara di Mixi.

Foyage mengumpulkan dana awal dari skema investasi pemerintah Singapura pada tahun 2008. Sampai pada akhirnya saya menyadari bahwa Indonesia juga memiliki peluang besar dalam industri ini. Pada tahun 2009, kami memutuskan untuk membentuk East Ventures.

Kami memulai Jakarta Ventures Night, mengundang beberapa investor dari Jepang dan juga startup lokal. Pada tahun 2010, turut berpartisipasi dalam acara tersebut, Rama Mamuaya dari DailySocial, serta William Tanuwijaya dari Tokopedia, yang akhirnya menjadi portfolio pertama kami. Setelah itu, kami berinvestasi di Disdus dan berhasil exit untuk pertama kali. Sebenarnya, kami adalah VC pertama yang memiliki siklus lengkap dan hal itu seketika meningkatkan kepercayaan diri kami. Hal ini kemudian membantu menciptakan the flywheels effect.

Hingga saat ini, East Ventures telah berinvestasi di 160 perusahaan, sebagian besar adalah startup tahap awal yang berfokus pada konsumen internet, ponsel, SaaS, media, pendidikan ritel, dan banyak lagi. Baru-baru ini, beberapa diantaranya telah mendapatkan keuntungan mengikuti ekonomi digital Indonesia yang telah mencapai titik perubahan.

Dengan begitu banyak portofolio di tangan, bagaimana Anda bisa mengaturnya?

Kuncinya adalah berinvestasi pada individu. Setelah Anda menemukan seseorang yang tepat dan klik, Anda akan percaya sepenuhnya pada kemampuan mereka untuk berjalan secara independen dan membawa hasil terbaik melalui kesepakatan ini.

Kami membutuhkan 3 titik keselarasan dengan pengusaha.
1. visi, masalah apa yang harus dipecahkan, apa tujuannya?
2. strategi, bagaimana menyelesaikannya, bagaimana cara sampai ke sana?
3. taktis, hal ini lebih kepada eksekusi.

East Ventures dan tim pendiri harus memiliki visi yang sama. Lagipula, saya tidak percaya bahwa investor dapat mengubah portofolionya. Kami bisa menyarankan strategi tetapi individu (para pendiri) adalah yang lebih tahu apa yang terbaik untuk perusahaan mereka.

Anda telah meluncurkan aplikasi, membuat VC, serta menjalankan bisnis. Selama perjalanan karier Anda, adakah hal yang menjadi batu sandungan?

Tentu saja, ada pasang surut, tetapi satu hal yang saya selalu yakini adalah “hal-hal yang tidak membunuhmu akan membuatmu lebih kuat”.

Saya pernah sangat putus asa karena tidak bisa mengumpulkan dana untuk Foyage, namun saya bukanlah tipe orang yang berhenti dan meratap sementara industri kian berkembang pesat. Kami mendirikan East Ventures pada tahun 2009, dimana sangat sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari orang-orang pada saat itu. Kami pergi ke beberapa tempat, tetapi tidak ada yang percaya, kecuali beberapa investor Jepang, itu pun karena kepercayaan pada Batara. Namun, saya merasa disini letak kekuatan untuk tidak menyerah sampai sampai pada titik di mana semua bagian pada akhirnya tersusun rapi.

masa awal di East Ventures, mengatur semua portfolio sendiri
masa awal di East Ventures, mengatur semua portfolio sendiri

Jika tidak ada yang percaya pada industri digital Indonesia, bagaimana bisa Anda percaya?

Secara emosional, ini karena saya orang Indonesia. Kalau bukan kita, siapa lagi?

Dalam hal bisnis, ada 30 juta pengguna internet di Indonesia. Pasar ini berukuran sangat besar, mengapa tidak ada yang membuat pergerakan? Saat itu, masalahnya hanya satu. Jika kita mulai sekarang, kapan kita akan berhasil? Di sinilah peran keyakinan sangat diperlukan.

Masalahnya, Indonesia mampu membuat sesuatu yang mustahil terjadi. Alih-alih berbicara tentang American Dreams, mengapa kita tidak bisa menciptakan Mimpi Indonesia. Kita terlalu fokus pada kisah beberapa orang yang menciptakan hal-hal besar di suatu tempat, mengapa tidak kita saja yang menyelesaikannya dan membuat orang melihat kita. Inferiority complex semacam ini seharusnya lenyap dari pola pikir kita. Kita adalah bangsa yang hebat dengan begitu banyak populasi.

Apa yang membuat Anda memutuskan untuk menanamkan investasi?

Ada tiga hipotesis tentang individu;
1. integritas, standar moral, Anda melakukan hal yang benar bahkan ketika tidak ada yang melihat,
2. kesadaran diri, mengetahui kapasitas dan kemampuan diri sendiri,
3. paradoks, memiliki sifat kontradiktif, yang berarti adaptif.
Hal-hal ini tidak dapat dipelajari secara langsung atau dipalsukan.

Begitu saya menemukan kriteria ini pada setiap orang, tidak perlu lagi banyak berpikir atau membuang waktu. Itulah sebabnya sebagian besar penawaran bagus kami terjadi dalam waktu 28 jam setelah pertemuan pertama. Secara konsisten, hal ini terjadi dengan Tokopedia, Traveloka, Kudo, Shopback, Ruangguru, Sociolla, The Fit Company, Kedai Sayur, Bahasa.ai dan banyak lagi. Kami juga mencoba menciptakan ekosistem yang sehat di VC ini. Karenanya, saya tidak akan berinvestasi dalam bisnis yang memiliki persaingan. Kami mendukung para pendiri kami dengan sepenuh hati.

Perihal latar belakang akademis, bagaimana Anda melihat orang-orang dengan gelar dari luar negeri memiliki dampak dalam industri ini?

Secara kasual, orang-orang yang belajar di luar negeri akan memiliki privilese untuk mendapatkan wawasan lebih serta pengetahuan global. Namun, saya tidak percaya orang yang belajar di luar negeri akan selalu lebih sukses. Yang saya percayai adalah, setiap orang harus memiliki pengetahuan global untuk mengetahui apa yang terbaik dalam eksekusi lokal. Hal ini tidak harus dengan belajar di luar negeri.

Selama bertahun-tahun bertahan menjalankan bisnis dalam industri. Apakah Anda memiliki support system khusus?

Keluarga harusnya menjadi dukungan mendasar yang membentuk diri kita saat ini. Saya juga percaya bahwa karakter itu dikembangkan, bukan dipelajari. Inilah mengapa saya merasa sulit untuk percaya pada konsep akselerator atau mentoring yang bertujuan untuk mengubah seseorang menjadi entepreneur.

Program akselerator, mereka mungkin telah melakukan proses dengan kurasi ketat untuk menemukan bakat, tetapi dalam konsep saya, sebuah permata yang sudah tercipta, meskipun tertutup tanah, adalah tetap permata. Potensi itu ada sejak awal dan berkembang melalui zaman.

Saya percaya pada serendipity, itulah sebabnya saya memusatkan perhatian pada individu. Konsep Chronos dan Chairos, bahwa setiap orang memiliki garis waktu mereka sendiri, dan saat keduanya bertemu, keputusan dibuat, apakah akan terlibat atau tidak dalam kehidupan masing-masing.

Jika Anda benar-benar percaya pada industri digital Indonesia, mengapa Anda tidak tinggal saja di Indonesia?

Di Singapura, kami selalu mendapatkan skenario terbaik, dalam hal regulasi dan banyak hal lain. Sementara di Indonesia, semuanya menjadi kasus terburuk, hal-hal tak terduga kerap terjadi. Saya ingin mempertahankan kesadaran dengan berada di dalam kontras. Seperti Yin dan Yang, jika diibaratkan. Jadi, hidup saya bisa lebih kontras dengan pikiran yang lebih jernih untuk mengidentifikasi sebuah masalah.

Selain itu, Singapura saat ini merupakan hub di Asia Tenggara.

Setelah meraih berbagai pencapaian “nomor satu” dalam industri komputer dan teknologi, juga dengan East Ventures, apa yang akan Anda lakukan selanjutnya?

Ini juga menjadi pertanyaan yang selalu hadir dalam diri saya setiap hari, Apa yang harus saya lakukan selanjutnya? Bagaimana saya bisa menurunkan pengetahuan saya ke tim yang ada saat ini, lalu mereka dapat melanjutkannya dengan kapasitas mereka sendiri, dengan gaya mereka sendiri, serta memiliki entitas sendiri.

Saya tidak bisa menjalankan peran ini selamanya, itulah sebabnya saya memiliki mitra. Saya ingin membangun East Ventures dan menjadikannya sebuah institusi, membesarkan tim generasi berikutnya, dan memastikan setiap mereka tetap setia pada misinya, untuk menjadi Platform Kewirausahaan. Kemudian, saya akan memiliki waktu dan ruang untuk memikirkan sesuatu yang baru lagi – atau mungkin saya akan melakukan ini selamanya. Mari menunggu waktu yang tepat agar semua bisa selaras.

Tahun ini menjadi tahun ke 10 East Venture beroperasi
Tahun ini menjadi tahun ke 10 East Venture beroperasi

Jika Anda memiliki sesuatu untuk dikatakan tentang industri VC, apa yang akan Anda katakan?

Industri VC saat ini memiliki kue yang jauh lebih besar. Indonesia, dengan begitu banyak masalah di negara ini, menawarkan banyak peluang. Jadi, saya pikir industri VC akan betah di sini.

Bagi saya, industri VC adalah tentang bisnis individu. Teknologi sendiri hanyalah alat.


Artikel ini awalnya ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

StickEarn Announces Series A Worth of 77.6 Billion Rupiah

StickEarn startup known with its advertising solution on the vehicle, today (10/15) announced series A funding closed at $5.5 million or around 77.6 billion Rupiah. This round led by East Ventures and SMDV, followed by Grab, Ovo, and Agaeti Ventures.

The fresh money is to be used to explore new opportunities and services. It also to improve data analytics for a better advertising business. StickEarn offers various out-of-home advertising platforms, such as StickMob (car), StickMotor (motorcycle), StickBus (bus), StickAngkot (Angkot), StickPlane (plane), dan StickMart (retail in-car).

Since 2017, there are more than 300 brands are helped by StickEarn service. Mostly has income growth up to 300% of the awareness. The company has been operating in 31 cities in Indonesia.

“We have this commitment to developing ads platform which brings significant impact, easy access, and smart product for our clients. Through this round, we tried to recruit the best talents in the industry to improve our service in order to meet the client’s demand, to develop new products, and tighten up our partnership among agencies,” StickEarn’s Co-Founder, Archie Carlson said.

Last month, StickEarn has introduced StickTron, a new model of advertising using moving LED on trucks. This is still on trial around Jakarta. They’re targeting 10 units of LED trucks by early 2020.

“We’ll keep developing various ad services to support campaigns in the integrated and multi-platform. This is to allow StickEarn clients to experience the whole advertising to integrate offline marketing strategy online. We’ll provide more data-based campaign report ad tech updates, therefore, to help clients make better decisions,” StickEarn’s Co-Founder, Garry Limanata said.

StickEarn first received seed funding in 2007 from East Ventures. Along the journey, they’ve made some strategic partnerships, such as GrabAds with Grab.

“As StickEarn’s early investor, East Venture has seen how the pioneers prove their point to develop this kind-of-new business model, in vertical or horizontal. Within only two years, their solution keeps making positive impact either for advertisers or brands. The investment is our commitment to StickEarn can work on its vision to make industrial revolution of out-of-home (OOH) advertising in Indonesia,” East Ventures’ Managing Partner, Willson Cuaca said.

In addition to StickEarn, Indonesia also has StiCar, Ubiklan, Adroady, and some other players that provide similar services. Promogo, a startup that offers advertisement on vehicles, has acquired by Gojek.

Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

 

StickEarn Umumkan Perolehan Pendanaan Seri A Senilai 77,6 Miliar Rupiah

StickEarn startup yang dikenal dengan solusi periklanan di kendaraan, hari ini (15/10) mengumumkan penutupan pendanaan seri A dengan nilai mencapai $5,5 juta atau setara 77,6 miliar Rupiah. Putaran investasi ini dipimpin oleh East Ventures dan SMDV, turut berpartisipasi di dalamnya Grab, Ovo, dan Agaeti Ventures.

Dana segar ini akan dimanfaatkan perusahaan untuk mengeksplorasi peluang dan layanan baru. Termasuk meningkatkan kemampuan analisis data untuk mendukung bisnis periklanan yang dijalankan. StickEarn menawarkan beragam pilihan platform beriklan luar ruangan seperti StickMob (mobil), StickMotor (sepeda motor), StickBus (bus), StickAngkot (angkutan perkotaan), StickPlane (pesawat), dan StickMart (ritel di dalam mobil).

Sejak debut pada tahun 2017, saat ini sudah lebih dari 300 brand dibantu dengan layanan iklan StickEarn. Rata-rata mengalami peningkatan pendapatan hingga 300% dari awareness yang dihasilkan. Perusahaan juga sudah  beroperasi di 31 kota di Indonesia.

“Kami berkomitmen untuk terus mengembangkan platform iklan yang membawa dampak besar, mudah diakses, dan cerdas untuk klien kami. Melalui putaran pendanaan ini, kami berupaya untuk merekrut talenta terbaik di industri guna meningkatkan layanan kami dalam memenuhi kebutuhan klien, mengembangkan produk-produk terbaru, serta memperkuat kemitraan antara agensi dan StickEarn lebih,” ujar Co-founder StickEarn Archie Carlson.

Awal bulan lalu StickEarn baru memperkenalkan StickTron, yakni model layanan beriklan melalui layar LED bergerak yang ditempelkan pada kendaraan truk. Saat ini masih diuji coba di kawasan Jakarta. Targetnya akan ada 10 unit LED Truck di awal 2020 mendatang.

“Kami akan terus mengembangkan berbagai layanan beriklan yang dapat mendukung kampanye di multi-platform dan terintegrasi. Hal ini agar memungkinkan klien StickEarn dapat merasakan pengalaman beriklan yang lebih menyeluruh dan mengintegrasikan strategi pemasaran offline ke online. Kami juga akan menyediakan lebih banyak laporan kampanye berbasis data, serta pembaharuan teknologi, sehingga dapat membantu klien membuat keputusan yang lebih baik,” lanjut Co-founder StickEarn Garry Limanata.

StickEarn mendapatkan pendanaan awal pada tahun 2017 dari East Ventures. Dalam perjalanannya, mereka juga menggandeng berbagai mitra strategis, salah satunya Grab untuk inisiatif GrabAds.

“Sebagai pendukung pertama StickEarn, East Ventures melihat bagaimana para pengagas membuktikan kemampuan mereka untuk mengembangkan model bisnis baru ini, baik secara horizontal maupun vertikal. Hanya dalam dua setengah tahun, solusi mereka terus memberikan dampak positif baik bagi pengiklan dan brand. Investasi ini adalah bukti kepercayaan kami bahwa StickEarn akan dapat memenuhi visinya dalam merevolusi industri periklanan luar ruang (OOH) di Indonesia,” sambut Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Selain StickEarn, di Indonesia juga ada StiCar, Ubiklan, Adroady, dan beberapa pemain lainnya yang menyajikan layanan serupa. Promogo juga memiliki layanan periklanan di kendaraan serupa, saat ini sudah diakuisisi oleh Gojek.

Application Information Will Show Up Here

The Importance of Mental Health Through the Lens of Gojek and East Venture

Working in a tech-startup demands creativity and innovations, in a fast-paced environment, and think of sustainable business at a time. When it comes to burnout, incapable of balancing work and life, it may lead to harm for oneself, family, also the company.

Mental health issues are often avoided and considered as taboo in the startup community. DailySocial has brought this issue once by interviewing some startup workers and talks on how important to keep the work-life balance in the industry.

Today, we bring up the issue with a different perspective, from the founders of unicorn and investors. Somehow, there’s no conference ever talked about this topic.

At least, this is the fact that Gojek‘s President, Andre Soelistyo confirmed as a speaker at East Venture’s 10th-year-anniversary event with East Ventures’ Managing Partner, Willson Cuaca as a moderator.

“The mental health issue on founders in the leadership has never been brought at any conference. In fact, we are all, investors and founders should really start thinking about this,” Andre said, Mon (10/7).

He didn’t specifically mention how to solve this problem. However, he admits the thing can damage the founder’s mind if not taken seriously.

As he quoted a statistic, founders have two times bigger possibility to get depressed, three times for substance abuse disorder, and other statistics following them.

The worst scenario, he thought, is very likely to happen as founders are required to be creative. Which is, a creative person tends to feel lonely. In a difficult time, they always keep it to themselves instead of sharing with people, especially the employees.

“I really want to encourage the startup community to change because it all started from the community. The closest person to the founder is investor, therefore, it’s important how investors handle this issue.”

Willson agreed that the investor is the closest person to founders. Honestly, investor’s job after investing money is to absorb them whining and complaining. He spent a lot of time on this.

“We do have a founder almost committing suicide. This is crucial because when investing in the early-stage in the digital economy, investors aren’t focused on the economy or the technology, but the people.”

“Our philosophy is to maintain the people [founder] because we invest in people,” Cuaca added.

Communication among Gojek’s officials

Another topic arises, on how to communicate with each founder under Gojek’s business verticals.

For your information, Gojek has 20 business verticals and subsidiaries by acquisition. Each founder comes from different kinds of startups, gathered in one company, must have various kinds of leadership.

However, the relationship among founders should be called a partnership-driven organization, not a dynasty consists of people in a high position.

“Aldi [Go-Pay], Ryu [Midtrans], Catherine, and 20 other strong leaders have their own leadership style and good quality on execution. They have the same perspective so that when focusing on Gojek’s goals and mission, many objectives will appear and synergy will be made with each other.”

For example, one of the synergies is Gojek’s product with the lowest user acquisition cost, Go-Ride. When they’re linked to Go-Food product, the potential is there to make them as loyal consumers.

Furthermore, for consumers to make easier transactions, a payment system provided as Gopay. “Everything is connected for consumers to get more sticky with Gojek services and have more transactions in our platform. And that’s the goal.”

For the record, Gojek is not listed as East Ventures’ portfolio. As Soelistyo asked the reason, Cuaca said in 2011, he already met Nadiem in Bali for an event participated by US’ former diplomat, Hillary Clinton.

However, he decided not to invest in Gojek because when it was started, Nadiem was not full-time. He was still working at Zalora as Managing Director.

“Our hypotheses since the beginning is to invest in the founder who works full-time. That’s it.”

After all, Cuaca didn’t regret the decision that costs him a unicorn potential, which is finally become one in 2017. He said investors must be discipline on the first hypotheses. Otherwise, they’ll lose by not having the competence to see unicorn potential.

“It’s okay to miss one or two, as long as we’re disciplined with the hypotheses. There’s a term, no one can invest in all unicorns. Therefore, we need to build hypotheses and discipline to it, then you’ll get many or missed a little [possibility to capture the unicorn potential],” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian