Kodi, Platform SaaS untuk Merevolusi Kinerja Koperasi

Kalau ada yang masih meremehkan atau sekadar tidak familiar saja dengan koperasi, mereka perlu tahu bahwa 12% penduduk dunia tergabung sebagai anggota koperasi dan mempekerjakan 280 juta orang.

Hampir di seluruh dunia, koperasi memainkan peran besar dalam perekonomian negara. Koperasi di Kenya punya andil hingga 43% terhadap PDB, Jepang tercatat 42% penduduknya adalah anggota koperasi, sementara di Singapura 1 dari 2 orang di sana adalah anggota koperasi. Koperasi di Indonesia sendiri ditaksir berjumlah lebih dari 120.000 unit dengan perkiraan kontribusi terhadap PDB sekitar 5%.

Meski angka-angka di Indonesia tidak sebesar di negara lain, koperasi tetaplah organisasi ekonomi penting untuk negara ini. Ada alasan mengapa koperasi selalu digunakan sebagai nama salah satu kementerian. Dan Kodi (Koperasi Digital), sebuah startup yang mulai beroperasi sejak 2018, punya pandangan serupa mengenai pentingnya koperasi.

CEO & Founder Kodi Inra Sumahamijaya menjelaskan, saat ini ada sekitar 37 juta orang terdaftar sebagai anggota koperasi atau sekitar 13% dari total penduduk Indonesia. Namun menurut Inra jumlah besar itu belum diikuti dengan informasi yang cukup mengenai seluk-beluk koperasi terutama soal kesehatan finansial koperasi.

“Koperasi pun memiliki masalah pada transparansi pengelolaan dana, alur penerimaan, dan manajemen anggota karena sulit terjangkaunya akses pada solusi teknologi digital. Kalaupun ada, harganya tidak dapat dijangkau oleh koperasi kecil dan mikro,” ucap Inra kepada DailySocial.

Dengan potensi pasar yang begitu besar dan masalah yang menyertai, Kodi masuk dengan platform software as a service (SaaS). Platform Kodi memungkinkan setiap unit koperasi menggunakan sistem perbankan yang disederhanakan untuk pencatatan transaksi online dan offline koperasi. Platform mereka juga bisa digunakan untuk manajemen keanggotaan koperasi, rapat akhir tahunan, hingga sebagai aplikasi kasir.

“Monetisasi Kodi didapat dari berbagai jalur, salah satunya adalah biaya berlangganan Rp1.000 per anggota koperasi per koperasi per bulan,” imbuh Inra.

Kodi menyasar berbagai jenis koperasi, mulai dari koperasi karyawan hingga koperasi simpan pinjam. Namun sejauh ini Inra mengaku memfokuskan diri ke koperasi karyawan dan koperasi komunitas dulu. Tercatat saat ini mereka sudah mengantongi 30 lebih koperasi sebagai klien yang beberapa di antaranya berasal dari bank nasional, bank swasta, otoritas keuangan, asosiasi dokter, hingga toko ritel.

Sementara dari aspek pendanaan, Kodi masih berada di fase pre-seed dari sejumlah angel investor. Dengan potensi pasar dan teknologi yang tersedia, Inra memperkirakan akan makin banyak platform digitalisasi koperasi yang bermain. Hal itu menurutnya akan membawa dampak positif bagi perekonomian dalam negeri.

“Kodi optimis bahwa vertikal Koperasi akan menjadi lebih segar dan modern untuk mendukung ekonomi Indonesia lebih besar lagi,” pungkas Inra.

Application Information Will Show Up Here

Menanti Gelombang Besar Startup Energi Baru di Indonesia

Listrik adalah urat nadi hidup manusia saat ini dan energi fosil adalah penunjang utamanya. Namun energi fosil tak akan bertahan selamanya dan eksplorasi energi alternatif akan terus terjadi. Pencarian energi yang bersih, murah, dan berkesinambungan adalah prinsip utama dari energi baru terbarukan (EBT) ini.

Dalam hal inilah negara-negara berkompetisi. Sadar akan ketersediaan energi fosil seperti gas, minyak bumi, batubara yang terbatas, pencarian energi baru menjadi tak terhindarkan lagi. Beberapa bahkan sudah berhasil mengadopsinya dalam skala besar seperti di Tiongkok dan Jerman. Indonesia pun perlahan mulai mengekor.

Indonesia sendiri sudah punya sejumlah pembangkit listrik non-fosil mulai dari tenaga air, bioenergi, surya, angin, hingga geotermal. Namun hingga 2019, bauran energi primer pembangkit listrik masih jauh didominasi oleh batu bara (60,50%) dan gas (23,11%). Kapasitas pembengkit listrik EBT sendiri menyumbang 10.157 Megawatt saja.

Kabar baiknya adalah jumlah tersebut selalu naik meski perlahan. Pemerintah sudah menargetkan sejak jauh-jauh hari untuk mencapai target bauran EBT sebesar 23% pada 2025 nanti. Tren menuju energi hijau inilah peluang yang ditangkap oleh startup new energy. Adopsi teknologi energi baru yang relatif perlahan di Indonesia diikuti dengan target pemerintah Indonesia menjadi sasaran empuk startup di sektor ini. Sejumlah pemain pun sudah bermunculan. Namun sebagaimana e-commerce pada awal dekade lalu, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan oleh pemain energi terbarukan dapat merengkuh pasarnya.

Kesempatan

Target pemerintah mendapatkan 23% bauran energi primer dari EBT pada 2025 adalah kesempatan bagi para startup di bidang energi baru ini, terlebih konsumsi listrik selalu naik setiap tahun. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memproyeksikan konsumsi listrik di 2020 mencapai 1.142 kWh/kapita. Mereka juga mendorong pengembangan kendaraan listrik dan kompor listrik untuk menggenjot pencapaian yang sudah ada.

Tren dunia pun sedang bergerak ke arah sana. Berbagai inisiatif dilancarkan untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Jika Anda tinggal di London, mencari kompor berbahan bakar gas adalah mustahil. Membeli kendaraan bermotor di Eropa akan dilematis karena pajak dan parkirnya begitu tinggi. Di Tiongkok, pemerintah mengguyur industri mobil listrik dan penunjangnya dengan dukungan bernilai US$60 miliar.

Di saat yang bersamaan kesadaran masyarakat dunia akan perlunya energi bersih terus menguat. Krisis akibat perubahan iklim makin nyata dan dekat. Contoh paling mudah adalah banjir besar di wilayah Jabodetabek pada awal tahun ini. Sejumlah ilmuwan meyakini hujan ekstrem yang memicu banjir kala itu disebabkan oleh perubahan iklim. Energi bersih menjadi kian relevan dalam pengambilan kebijakan publik.

Ini artinya ruang bagi sektor energi baru untuk tumbuh masih terbuka lebar. Terlebih potensi energi alternatif di Indonesia beragam dan berlimpah.

Mereka yang sudah beroperasi

Jejak startup energi masih belum panjang di Indonesia. Jumlah pemainnya pun tak bisa dikatakan banyak. Salah satu dari secuil pemain tersebut adalah Xurya. Startup ini berdiri sejak 2018 dengan produk andalannya panel surya atap. Managing Director Xurya, Eka Himawan mengatakan posisi Indonesia yang berada di garis khatulistiwa merupakan peluang besar untuk bagi startup seperti mereka untuk memanen energi dari sinar matahari.

Menurut Eka, penggunaan panel surya sejauh ini juga yang paling memungkinkan untuk dijajakan ke pasar secara harga, pemasangan, dan pemeliharaan. Ini jauh lebih cepat ketimbang memilih energi alternatif lain seperti bayu atau geotermal.

“Untuk pasang panel surya, kita bisa survei hanya dalam waktu 10 menit bisa jadi proposal. Kalau [tenaga] angin saya butuh data selama setahun, untuk geotermal butuh waktu lebih lama lagi bisa sekitar lima tahun,” ucap Eka.

Di tempat lain, Warung Energi memulai bisnisnya dengan premis membuka akses energi terbarukan ke semua kalangan dengan harga terjangkau. Seiring jalan mereka menjadi jembatan bagi lembaga yang menggelar proyek pengembangan energi di pedesaan dan daerah terpencil.

Serupa dengan Xurya, produk andalan Warung Energi mengandalkan tenaga surya. Sistem yang mereka miliki ini menjadi solusi untuk rumah-rumah yang belum terjangkau listrik PLN dengan kisaran tenaga yang dapat dihasilkan sekitar 350 watt hingga 2.000 watt. Setahun kemarin Warung Energi sudah mengerjakan hingga 20 sistem yang tersebar di seluruh Indonesia.

Selain Xurya dan Warung Energi, ada beberapa pemain lain yang tercatat berkecimpung di sektor EBT ini. Weston Energy, Forbetric, Erenesia, Khaira Energy, dan Syalendra Power adalah di antaranya. Hampir semuanya baru melewati fase inkubasi dan akselerasi.

Harapan pada surya

New Energy Nexus Indonesia yang dua tahun terakhir aktif menggelar program inkubasi dan akselerasi startup bidang energi terbarukan mengatakan Indonesia memang masih berada di tahap awal.

“Baru beberapa tahun terakhir publik mulai peduli tentang isu perubahan iklim dan energi alternatif,” ujar Program Director New Energy Nexus Indonesia, Imam Diyanto.

Namun dari sekian produk dan inisiatif yang telah ada, tenaga surya masih menjadi primadona di atas segalanya. New Energy Nexus Indonesia yang dua tahun aktif menggelar inkubasi dan akselerasi untuk startup energi baru mengatakan setidaknya ada empat hal yang menyebabkan panel surya sebagai opsi energi terbarukan paling populer.

Imam menyebut ketersediaan sinar matahari di hampir seluruh permukaan bumi membuat energi itu sebagai yang paling mudah dijangkau. Dari segi instalasi, panel surya juga jauh lebih mudah ketimbang instalasi alat-alat untuk pembangkit listrik energi hijau lain seperti tenaga angin yang membutuhkan baling-baling raksasa atau turbin untuk tenaga bayu.

“Perawatan solar photovoltaic (PV) tidak memerlukan teknologi khusus, orang biasa pun bisa melakukannya, sehingga populer dipasang di rumah-rumah. Permintaan yang tinggi, membuat skala produksi juga tinggi, sehingga biaya produksi bisa terus menurun,” ujar Imam dalam jawaban tertulisnya.

Kendala tersisa

Tapi tenaga surya pun bukan tanpa kendala. Memang dibandingkan sarana dan prasana pembangkit tenaga alternatif lain, panel surya lebih terjangkau dan mudah dipasang. Namun sejatinya bisnis panel surya ini masih menyisakan pekerjaan rumah bagi para pelaku industri.

Xurya yang bisnisnya menjembatani produsen panel surya dengan calon konsumen menyebut anggapan panel surya itu mahal masih cukup sering terdengar. Masalah lain yang tak kalah pelik adalah bisnis ini tidak membuahkan hasil dengan cepat.

Investasi besar harus berani dilakukan dengan asumsi balik modal agak lama. Xurya yang memperoleh pendanaan awal pada 2018 lalu mengaku hal ini sebagai tantangan utama dalam meyakinkan pihak pembiaya di bisnis panel surya.

“Sedikit bedanya ini dengan Modalku dan Investree misalnya, taruh uang di sana kan balik modalnya cepat, tiga bulan bisa balik. Kalau di sini balik modalnya 10 tahun jadi tidak mudah untuk investor awam masuk ke dalam bidang ini,” ucap Eka.

Butuh usaha lebih untuk memperkenalkan energi terbarukan, khususnya tenaga surya, ke pasar. Karena meskipun harga perangkatnya masih relatif mahal, biaya pemeliharaan panel surya sangat kecil sehingga bisa dikatakan meskipun investasinya besar di awal, pemilik tak perlu merogoh banyak uang lagi setelahnya.

“Contohnya sistem tenaga surya hanya membutuhkan pemeliharaan tahunan berupa pembersihan panel surya, sedangkan genset diesel akan membutuhkan bahan bakar setiap harinya dan pemeliharan mekanik (oli mesin, seal, bearing, dan lain-lain) setiap bulan,” ucap CEO Warung Angin Abdul Karim.

Terlepas itu semua, sektor ini diperkirakan akan terus tumbuh seiring waktu berjalan. Tren dunia beralih ke energi yang lebih efisien, ramah lingkungan, dengan suplai yang dapat terbarukan adalah karakter energi di masa depan.

Beberapa negara sudah membuka ruang lebar-lebar untuk perkembangan industri energi terbarukan sehingga bisnis yang berputar di sektor ini kian matang. Pemerintah pun punya visi yang jelas dengan target 23% kebutuhan nasional terpenuhi lewat EBT pada 2023 nanti. Dengan regulasi yang tepat, geliat startup di sektor energi terbarukan ini akan makin sibuk dalam beberapa tahun ke depan.

Gelombang Inisiatif Startup Demi Redam Dampak Pandemi Covid-19 di Indonesia

Tak ada yang mudah di masa pandemi seperti sekarang. Tanpa mengesampingkan pentingnya keselamatan dan kesehatan, kemerosotan pun memukul telak berbagai sendi kehidupan masyarakat. Wabah corona virus disease 2019 (Covid-19) ini selain menyerang organ pernapasan manusia, tapi juga secara tidak langsung melumpuhkan perekonomian dari yang skalanya besar hingga yang terkecil.

Dampak Covid-19 terhadap perekonomian ini memang tak kenal pandang bulu. Perusahaan dan individu sama-sama menanggung dampaknya. Kegiatan kantor terbatas secara virtual, bandara hampir kosong, hotel dan penginapan nyaris tak berpenghuni, rumah makan sepi pengunjung, pun jalan raya tak banyak yang melewati.

Namun hal tersebut justru mendorong sejumlah pihak untuk bergerak bahu-membahu membantu orang-orang yang membutuhkan, termasuk dari para startup. Inisiatif berupa bantuan finansial, pengetahuan, dan teknologi mereka berikan untuk melewati masa-masa sulit ini. Kami merangkum inisiatif-inisiatif yang terbungkus dalam berbagai cara dalam tulisan berikut ini.

DANA

Fintech dompet digital ini baru saja mengumumkan inisiatifnya beberapa hari lalu. Inisiatif yang mereka lakukan untuk meringankan beban mereka yang terdampak dari Covid-19 ini seluruhnya berada di aplikasi mereka.

Program ini mereka namakan “Siap Siaga Covid-19”. Program ini termasuk sejumlah fitur baru di aplikasi DANA yang meliputi update kasus Covid-19 di Indonesia, kontak layanan hotline Covid-19, hingga opsi donasi yang terhubung dengan platform Kitabisa. DANA yang mereka kumpulkan akan dipakai untuk menyediakan alat pelindung diri bagi tenaga kesehatan.

“Kami mengajak para pengguna DANA untuk bersinergi, berbagi, dan bergotong-royong secara digital dalam turut menanggulangi penyebaran virus Corona COVID-19. Melalui cara yang praktis, aman, dan efisien kita sudah turut berpartisipasi melindungi mereka yang sedang berjuang menyelamatkan jiwa dengan resiko terpapar virus saat bertugas ,” ucap CEO Dana Vincent Iswara dalam keterangan tertulis.

Gojek

Sejak wabah virus korona ini makin meluas dan kampanye #dirumahaja kian gencar, pengemudi ojek online mungkin yang paling mudah terlacak kena imbasnya. Mereka yang sedianya bergantung pada mobilitas warga untuk memperoleh pemasukan harian harus rela menepi atau setidaknya mengurangi intensitas pekerjaannya.

Merespons hal itu, Gojek meluncurkan program dana bantuan untuk ratusan ribu pengemudi dan merchant yang tergabung di platform mereka. Dana bantuan akan dikelola oleh yayasan mereka sendiri bernama Yayasan Anak Bangsa Bisa. Adapun sumber pendanaan di program ini berasal dari:

1. potongan 25% dari gaji setahun pimpinan dan manajemen senior,
2. realokasi anggaran kenaikan gaji tahunan seluruh karyawan Gojek,
3. kumpulan donasi dari perusahaan rekan bisnis Gojek.

Wahyoo

#RantangHati merupakan nama inisiatif dari Wahyoo untuk memerangi dampak Covid-19. Melalui inisiatif ini Wahyoo menghubungkan mitra warung makan yang diperkirakan omzetnya turun hingga 50% dengan orang-orang yang membutuhkan.

Wahyoo merinci cara kerja inisiatif mereka dengan mengumpulkan donasi berjumlah Rp350 juta via Kitabisa. Uang ini kemudian akan disebar ke sejumlah warung makan dengan target menyediakan makanan untuk 700 orang selama dua pekan. Anggaran di atas dibuat berdasarkan hitungan dua kali makan sehari dengan biaya makan Rp15.000 per porsi. Untuk menggelar inisiatif ini Wahyoo menggandeng influencer Edho Zell, pengemudi Gojek, serta kelompok relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT).

“Penerapan physical distancing yang berimbas pada imbauan kerja dari rumah, membuat warung makan di Jadetabek sepi pengunjung. Ironisnya, sebenarnya banyak orang yang tidak sanggup membeli makanan di warung,” ucap CEO & Founder Wahyoo Peter Shearer.

East Ventures dan Nusantics

East Ventures memulai inisiatifnya dengan membuka urun dana terbuka. Inisiatif bertajuk Indonesia Pasti Bisa ini menargetkan nominal Rp10 miliar. Hingga artikel ditulis jumlah yang sudah diperoleh sudah 45% dari target. Selain East Ventures sendiri, tercatat banyak startup dan korporasi lain yang ikut dalam urun dana ini. Sebut saja Tokopedia, Sociolla, Traveloka, Agaeti Convergence Ventures, hingga Warung Pintar.

“Ini pertama kalinya East Ventures memimpin fundraising non-profit. East Ventures mendapatkan berita keterlibatan salah satu portofolio East Ventures yaitu Nusantics di dalam task force BPPT pada Minggu (22/3). Ini membuat kami terdorong untuk berpartipasi lebih jauh dan berinisiatif untuk mengajak segenap ekosistem digital untuk berkontribusi,” kata Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Program inisiatif East Ventures ini menempatkan Nusantics, startup deep-tech, sebagai ujung tombak. Dari nominal target di atas, Rp9 miliar di antaranya akan diberikan ke Nusantics untuk mengembangkan test kit qPCR, menjalankan proyek pemetaan mutasi Covid-19 di Indonesia atau biasa disebut whole game sequencing.

Nusantics berencana menciptakan 100 test kit qPCR berupa prototipe dan dilanjutkan produksi massal berjumlah 100.000 test kit. Nusantics yang juga masuk dalam Task Force Riset dan Inovasi Teknologi untuk Covid-19 (TFRIC19) pun berpacu dengan waktu mengingat penyebaran virus corona di Indonesia terus meluas dan jumlah kasus yang meningkat.

Prixa, Halodoc, Alodokter

Persoalan sektor kesehatan membutuhkan solusi kesehatan. Kesadaran tersebut mendorong sejumlah startup bidang kesehatan seperti Halodoc, Alodokter, dan Prixa untuk menciptakan fitur baru dalam membantu masyarakat menghadapi wabah Covid-19.

Prixa, startup bidang kesehatan yang berada di naungan Kata.ai, menyediakan fitur baru untuk memerika gejala dan risiko terhadap Covid-19. Diluncurkan sejak 18 Maret lalu, fitur ini memungkinkan pengguna memahami keluhan kesehatan untuk antisipasi sedini mungkin terhadap gejala Covid-19. Fitur Prixa ini juga membantu tenaga kesehatan di luar sana agar masyarakat yang hendak memeriksakan diri tak perlu datang ke rumah sakit.

Prixa juga terlibat dalam pengembangan aplikasi pemeriksaan kesehatan mandiri Pikobar milik Pemprov Jawa Barat. Sistem kecerdasan buatan Prixa menjadi salah satu andalan Pikobar untuk mengenal gejala penyakit pernapasan untuk warga Jawa Barat.

Sementara Halodoc dan Alodokter menyediakan inisiatif yang identik dalam membantu masyarakat menghadapi virus corona. Keduanya menambahkan fitur pemeriksaan mandiri berupa chatbot. Fitur ini meski sederhana jelas akan membantu warga yang khawatir akan kemungkinan terpapar Covid-19. Halodoc mengalokasikan 1.000 dokter dari total 22.000 dokter yang tergabung untuk konsultasi mengenai Covid-19.

MDI Ventures 

MDI Ventures menginisiasi perlawanan mereka terhadap wabah Covid-19 dengan menciptakan program Indonesia Bergerak. Serupa dengan East Ventures, MDI Ventures melibatkan startup-startup yang berada di portofolionya, yaitu Qlue, Kata.ai, Qiscus, dan Volantis.

Melalui Qlue, mereka mengandalkan ekosistem smart city mereka sebagai wadah warga dalam memantau dan melaporkan perkembangan Covid-19. Data yang dihimpun akan disajikan menjadi visualisasi di laman Indonesia Bergerak.

Selain itu, Qlue juga membuat QlueWork yang ditujukan untuk petugas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Fitur tersebut nantinya dapat dimanfaatkan BNPB sebagai manajemen tenaga kerja di lapangan.

Ruangguru dan Zenius

Kegiatan belajar mengajar di segala tingkatan praktis terganggu sejak Covid-19 merebak. Kementerian Pendidikan pun sudah menghentikan sementara segala kegiatan di sekolah. Ruangguru dan Zenius mengisi kekosongan ruang kelas tersebut dengan menggratiskan layanan edukasi mereka.

Ruangguru misalnya, sejak dua pekan lalu resmi membuka program Sekolah Online Ruangguru Gratis. Program ini membantu para siswa untuk mengikuti berbagai macam kelas dengan jam belajar selayaknya di sekolah untuk kelas 1 SD hingga 12 SMA. Guru pun turut mendapat perhatian dengan program Program Guru Online di mana mereka dapat mengakses modul pelatihan guru secara gratis.

Tak hanya itu, Ruangguru juga membuka layanan Skill Academy mereka secara gratis secara terbatas. Berlaku sejak 23 Maret, siapa pun kini bisa mengikuti bermacam kelas pelatihan online dengan beragam topik secara gratis selama dua pekan.

Zenius pun menyediakan hal serupa. Edutech ini membuka lebar-lebar konten edukasinya yang lebih dari 80 juta secara cuma-cuma. Agar memudahkan proses belajar, Zenius memodifikasi videonya berlatar putih agar menghemat kuota pengakses. Selain itu mereka juga menyediakan fitur Live Teaching yang memungkinkan interaksi antara pengajar dan murid selayaknya di sekolah.

“Dengan proses pengajaran yang disiarkan langsung dan dilengkapi dengan Live Chat, kami berharap para siswa lebih semangat belajar dari rumah karena pengalaman yang berbeda,” ucap CEO Zenius, Rohan Monga seperti dikutip dari CNN Indonesia.

Kedai Sayur, Startup Agritech yang Bertumpu pada Kehadiran Tukang Sayur

Tidak ada kebutuhan yang lebih fundamental dibanding kebutuhan pangan. Dengan jumlah penduduk dan luas wilayah yang begitu besar, ekosistem agritech terus berkembang dan memunculkan pemain baru.

Kedai Sayur adalah salah satu agritech yang bertekad mengisi potensi pasar produk segar di Indonesia. Berdiri sejak 2018 dengan CEO & Co-founder Adrian Hernanto, Kedai Sayur berupaya membuat rantai suplai sayur-mayur dari petani ke pedagang jadi lebih efisien.

Dibuat untuk tukang sayur

Melalui jawaban tertulis, Adrian menjelaskan layanan Kedai Sayur menargetkan para tukang sayur. Layanan mereka yang berbasis aplikasi mobile dibuat untuk memudahkan tukang sayur mendapatkan produk segara tanpa repot-repot meninggalkan rumah. Nantinya tukang sayur yang sudah tergabung sebagai mitra dapat memesan produk dari para petani yang sudah bekerja sama dengan Kedai Sayur lalu mengambilnya di lokasi drop-off terdekat.

Hal ini yang membedakan Kedai Sayur dengan agritech lainnya. Beberapa startup lain punya layanan yang menghubungkan langsung antara petani dengan lender seperti halnya iGrow, ritel seperti yang dilakukan TaniHub, atau langsung ke konsumen akhir seperti Chilibeli.

“Perbedaan yang bisa dilihat adalah kami adalah perusahaan startup pertama yang menyasar ke Tukang Sayur. Selain itu, kami bisa masuk untuk semua model bisnis, B2B dan B2C,” tukas Adrian.

Monetisasi

Bisnis Kedai Sayur saat ini memang bersifat B2B. Namun seperti yang Adrian utarakan, mereka akan merambah ke B2C. Ia menargetkan tahun ini mereka sudah bisa meluncurkan platform untuk rumah tangga. “Secepatnya akan dibuka aplikasi khusus untuk end customer yang tentunya tetap melibatkan Tukang Sayur, yang merupakan tujuan utama bisnis Kedai Sayur,” imbuhnya.

Adapun keuntungan yang diambil Kedai Sayur berasal dari selisih harga yang mereka bayarkan kepada petani dengan yang mereka jual ke para tukang sayur. Hal itu dimungkinkan karena mereka membeli hasil panen dalam kuantitas besar sehingga harga beli yang mereka peroleh dan harga jual yang mereka berlakukan dapat bersaing dengan harga di pasar.

Kedai Sayur punya standardisasi produk yang memudahkan mereka menyortir dan mengontrol kualitas produk yang mereka distribusikan ke tukang sayur. Untuk sejumlah produk, mereka memberlakukan penanganan khusus agar kesegaran produk hasil panen tetap terjaga hingga tiba di gudang dan konsumen.

Pendanaan

Sejak berdiri dua tahun lalu, Kedai Sayur tercatat sudah dua kali mengumumkan dua kali mendapat pendanaan. Yang pertama adalah pendanaan awal senilai US$1,3 juta (Rp18,7 miliar dengan kurs saat itu) pada akhir Mei tahun lalu dengan East Ventures yang memimpin babak pendanaan tersebut.

Berselang beberapa bulan kemudian, tepatnya pada Oktober 2019 kemarin, Kedai Sayur mendapat tambahan pendanaan sebesar US$4 juta (Rp57 miliar dengan kurs saat itu). East Ventures kembali memimpin pendanaan tambahan itu dengan sokongan dari SMDV, Triputra Group, dan Multi Persada Nusantara.

Suntikan modal itu mereka pakai untuk menarik lebih banyak tukang sayur dan pedagang sebagai mitra. Sesuai targetnya, Kedai Sayur kini sudah punya lebih dari 5 ribu mitra di Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang bergabung di platform mereka, bertambah pesat dibanding pertengahan tahun lalu yang masih sekitar dua ribuan mitra.

Angka itu diperkirakan akan terus tumbuh seiring rencana mereka untuk memperluas jangkauan layanannya. “Juga kami ada target untuk ekspansi ke beberapa kota besar lainnya di Indonesia,” pungkas Adrian.

Application Information Will Show Up Here

Pendanaan yang Masih Seret Jadi Ironi Pengembang Game Lokal

Lebih dari dua tahun lalu kami membuat laporan mengenai kesulitan industri game lokal memperoleh modal. Kali ini kami berbicara dengan sejumlah pengembang game dan investor untuk mencari menengok kembali perkembangan ekosistem game Indonesia.

Belum lama ini judul game Coffee Talk dan DreadOut 2 menghiasi majalah Tempo. Keduanya disorot karena dianggap berhasil memikat banyak pelanggan dari luar negeri. Coffee Talk yang dipasarkan via Steam disebut 99% pembelinya berasal dari luar negeri, sementara DreadOut 2 disebut paling banyak laku dikonsumsi pembeli Tiongkok.

Tangkapan gambar DreadOut 2.
Tangkapan gambar DreadOut 2.

Namun di balik pencapaian itu, masih ada tantangan yang belum sepenuhnya terpecahkan–tak hanya oleh Digital Happiness dan Toge Productions, tapi juga seluruh ekosistem pengembangan game itu, yakni pendanaan. Digital Happiness yang membesut DreadOut 2 mengandalkan hasil penjualan game sebelumnya untuk memproduksi karya terbarunya. Toge Productions yang melahirkan Coffee Talk mengaku meski game teranyar mereka laku di pasaran, kenyataannya pengembang game masih sulit menggaet investor.

CEO & Founder Toge Productions Kris Antoni Hadiputra Nurwowo mengatakan, pengembangan game memang memakan biaya yang tak sedikit. Bahkan Kris juga mengatakan bisnis ini berisiko tinggi. Dengan kompetisi ketat di pasar lokal dan internasional, mereka dituntut untuk terus menghasilkan game berkualitas agar bisa menarik minat investor ataupun sumber pendanaan lain.

“Jujur saja pencapaian pengembang game lokal masih belum seberapa jika dibandingkan dengan game developer indie internasional lainnya. Kebanyakan game developer Indonesia juga tidak memiliki pengalaman ataupun network ke publisher atau investor game internasional,” ujar Kris.

Tangkapan gambar dari Coffee Talk
Tangkapan gambar dari Coffee Talk

Investor masih belum melirik

Kris melanjutkan bahwa cara kerja investor dalam negeri, khususnya perusahaan modal ventura tidak selaras dengan cara kerja ekosistem pengembang game lokal. Ia berpendapat sistem penanaman modal yang dilakukan oleh VC tidak cocok dengan kebutuhan studio game.

“Apalagi di mata kebanyakan VC di Indonesia tidak mengerti industri game dan memiliki lebih banyak lahan lain yang lebih hijau,” imbuh Kris.

CEO & Founder Digital Happiness Rachmad Imron membenarkan bahwa industri game memiliki risiko yang tinggi dan itu yang menurutnya membuat investor lokal enggan menanamkan uangnya ke pengembang game. Persoalan ini baginya wajar karena ekosistem lokal masih dalam tahap mengejar ketertinggalan dari aspek bisnis maupun teknis.

“Tidak banyak pemodal lokal yang mau berisiko untuk berinvestasi dalam skala panjang lebih dari 5 tahun untuk pengembangan satu produk, misalnya mereka lebih prefer ke skala kecil kurang dari 1-2 tahun maksimal misalnya,” ungkap Imron.

Hingga saat ini jumlah institusi keuangan yang berani menyuntikkan modal ke pengembang game masih sedikit. Pemodal ventura yang masuk ke sektor ini jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari, semisal Ideosource, Maloekoe Ventures, dan Digital Nusantara Capital (DNC). Pemerintah sebetulnya juga punya peran meski tak begitu besar. Hal ini tercermin dari kebijakan Bekraf yang memasukkan pengembangan game sebagai subsektor yang berhak memperoleh hibah Bantuan Insentif Pemerintah (BIP). Namun bantuan dari Bekraf ini bersifat terbatas dan sementara.

Managing Director Ideosource Andi S. Budiman menyebut metode pengumpulan dana oleh pengembang game masih sebatas dengan model ekuitas saja. Padahal menurut Andi masih ada metode lain seperti yang ia lakukan di industri film yakni dengan model financing per judul film.

Dalam kondisi demikian, Andi mengatakan hingga sekarang investor belum ada yang berminat terjun ke industri game. “Ada dua hal, pengembang belum biasa melakukan fundraise seperti film dan industri game belum banyak dipahami oleh investor,” tukasnya.

Butuh waktu

Komparasi pendanaan untuk industri film juga dipakai Imron. Menurutnya baik industri game maupun film sama-sama punya risiko tinggi dan potensi untung yang besar. Hanya saja waktu produksi film yang relatif lebih singkat menjadikannya lebih menarik bagi investor karena itu artinya perputaran uang mereka lebih cepat.

Namun ia optimis jika ekosistem pengembangan game di Indonesia kian matang, faktor-faktor tak menentu yang menyulitkan pengembang meraih pendanaan akan terkikis seperti halnya yang terjadi di industri film. Sumber optimisme Imron beranjak dari peningkatan jumlah pembeli DreadOut 2 dari Indonesia serta penerimaan yang menjanjikan di pasar internasional.

“Lima tahun lalu user Indonesia untuk DreadOut di peringkat belasan,” pungkas Imron.

Melihat kiprah pengembang lokal, seperti Digital Happiness dan Toge Productions, tak berlebihan menilai kualitas game buatan lokal terus meningkat seiring waktu berjalan. Meski begitu, bisa dikatakan belum ada kemajuan berarti bagi aspek pendanaan di industri pengembangan game lokal. Baik pengembang maupun investor masih mencari titik pertemuan yang cocok soal pendanaan.

Menilik Efek Omnibus Law Bagi Ekosistem Kerja Startup

Di tengah bombardir kabar suram dari wabah corona virus disease 2019 (COVID-19), ada satu isu penting yang akan berpengaruh pada hajat hidup orang banyak. Isu itu adalah rancangan Omnibus Law yang merupakan payung untuk banyak undang-undang sekaligus.

Omnibus Law sudah menjadi polemik sejak tahun lalu dan kian menyedot perhatian bersama di awal tahun ini. Pasalnya hukum sapu jagat ini bakal mengubah banyak undang-undang berkaitan dengan periuk masyarakat seperti RUU UMKM, RUU Perpajakan, dan RUU Cipta Lapangan Kerja. RUU terakhir merupakan pemantik utama ketidaksetujuan banyak kalangan atas pembuatan Omnibus Law.

Pemerintah membutuhkan Omnibus Law untuk menyederhanakan regulasi yang dianggap terlampau gemuk sehingga sulit mengambil keputusan. Motivasi pemerintah ini juga didasari oleh kebutuhan dalam memenangi kompetisi dengan negara lai. Semua masih di dalam koridor yang sama: menarik investasi lebih banyak demi mencapai target perekonomian.

Dampak bagi startup

Omnibus Law jelas juga membawa dampaknya ke ekosistem startup dalam negeri. Sejumlah pasal terpampang jelas bakal membawa perubahan. Contohnya adalah perubahan di Pasal 42 tentang Ketenagakerjaan.

Di beleid yang masih beraku saat ini, Pasal 42 mewajibkan tenaga kerja asing mendapat izin tertulis untuk bisa bekerja di Indonesia dengan pengecualian staf diplomatik dan konsuler. Dalam draf terbaru, pengecualian diperluas hingga tenaga kerja asing di jenis kegiatan startup.

Perubahan di Pasal 56 juga jadi sorotan karena memberi keleluasaan lebih bagi pemberi kerja karena hubungan kerja kontrak dapat berlangsung seumur hidup. Artinya tak ada kewajiban secara hukum bagi pemberi kerja untuk mengangkat status kepegawaian menjadi permanen.

Pasal- pasal ini membawa dilema tersendiri bagi para pekerja dan pendiri startup. CEO & Founder Izy.ai Gerry Mangentang menjelaskan bahwa model bisnis startup selalu menuntut bekerja lebih cepat dan mengejar target dalam jangka waktu relatif singkat. Akibat tuntutan itu, startup lebih suka mencari developer atau engineer lokal yang secara pengalaman sudah matang namun nyatanya ketersediaannya masih jauh dari cukup.

“Pada saat startup closing funding biasanya dimaksudkan untuk runway 12-18 bulan. Jadi dari awal kami dituntut untuk harus bisa ngebut sehingga banyak yang prefer untuk hire developer yang sudah jadi atau akhirnya ya outsource,” ucap Gerry.

Kendati demikian Gerry mengaku tetap mengutamakan talenta lokal. Itu sebabnya saban waktu ia kerap menolak tawaran outsourcing dari luar negeri yang memenuhi surelnya. Secara tak langsung ia menilai kebutuhan akan tenaga kerja asing tak akan dibutuhkan selama sudah terpenuhi di dalam negeri.

“Sayangnya sulit buat cari developer [lokal] bagus sekarang ini karena rata-rata sudah bekerja di startup-startup besar plus ratenya pun sudah tinggi,” imbuhnya.

CEO & Founder Prosa.ai Teguh Eko Budiarto sejatinya sepakat dengan semangat kemudahan mendatangkan talenta asing yang diusung Pasal 42. Namun Teguh mengkritik tak adanya persyaratan dalam beleid itu yang menunjukkan kebutuhan akan tenaga kerja asing itu bersifat penting.

“Permasalahannya, tidak ada persyaratan untuk memastikan tidak adanya tenaga dari dalam negeri terlebih dahulu, sehingga persaingan pekerja pada level tertentu menjadi semakin besar,” sebutnya.

Sementara untuk Pasal 56, Teguh mengaku tak begitu melihat pengaruh yang akan dibawa pasal tersebut. Ini karena menurutnya model bisnis startup selalu penuh ketidakpastian. “Lain halnya apabila startup tersebut sudah melewati fase scale up dan sudah mendapatkan profit yang berkesinambungan,” cetus Teguh.

Risiko pekerja bertambah

Ketua Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) Ellena Ekarahendy menggarisbawahi permasalahan yang dibawa oleh Omnibus Law adalah ancaman berkurangnya perlindungan terhadap pekerja tanpa pandang bulu. Ini artinya Omnibus Law dianggap sebagai musuh bersama bagi seluruh kelompok pekerja dan mendesak pemegang kewenangan memberi perlindungan yang konkret.

“Toh, banyak juga kan developer Indonesia yang menjadi tenaga kerja asing secara virtual dengan kemudahan ekonomi sekarang? Yang penting adalah menagih adanya perlindungan terhadap pekerja, apapun kewarganegaraannya,” tegas Ellena.

Ellena mengkritisi sikap pemerintah dan parlemen yang terlalu menganakemaskan kepentingan pemilik usaha yang tersebar di sejumlah pasal. Contohnya adalah fleksibilitas sistem kontrak yang dimuat di Pasal 56 tadi.

Ada juga penambahan alasan perusahaan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) di Pasal 154A, yang nantinya dikhawatirkan startup dapat melakukan PHK begitu saja ketika terjadi akuisisi, efisiensi, merger, dan divestasi. Sebagai catatan, aturan sebelumnya hanya memperbolehkan perusahaan melakukan PHK hanya ketika terjadi merger.

“Selain itu, perlu disoroti di Pasal 90B Cilaka [Cipta Lapangan Kerja] yang mengatakan kalau upah UMKM boleh tidak mengikuti upah minimum selama tidak berada di bawah garis kemiskinan,” pungkas Ellena. Sebagai tambahan garis kemiskinan Jakarta Selatan tahun lalu sekitar Rp730.000.

Terlepas dari poin pro dan kontra dari Omnibus Law ini, proses pembuatannya masih berjalan. Pemerintah bertekad segera merampungkannya secepat mungkin. Sementara itu gelombang protes terutama dari kelompok buruh dan mahasiswa untuk menolak peraturan sapu jagat ini pun tak kunjung padam.

Chilibeli Kantongi Pendanaan Seri A 160 Miliar Rupiah yang Dipimpin Lightspeed Ventures

Lightspeed Ventures memimpin pendanaan seri A senilai US$10 juta (sekitar 160 miliar Rupiah) untuk layanan social commerce Chilibeli. Di pendanaan ini juga berpartisipasi sejumlah investor lain, termasuk Golden Gate Ventures, Sequoia Surge, Kinesys Group, dan Alto Partners.

Penutupan pendanaan ini disampaikan ke publik hari ini. CEO Chilibeli Alex Feng sudah mengabarkan kepastian pendanaan ini sejak awal Maret ini.

Alex mengatakan dana tersebut akan digunakan memperkuat sejumlah lini bisnis mereka. Salah satu prioritas mereka adalah memperkuat jaringan komunitas mereka, yang berada di wilayah Jakarta, Tangerang Selatan, dan Depok, serta memperluas jaringan mereka di Bekasi dan Bogor.

Alex juga menambahkan bahwa dana tersebut juga akan dipakai untuk mempercanggih user interface dan user experience aplikasi mobile mereka, serta meningkatkan fasilitas gudang mereka yang terletak di Depok.

“Dukungan yang kuat dari investor ternama ini krusial dalam memperkuat dan meningkatkan skala pertumbuhan kami di masa depan serta terus memberikan dampak yang berarti untuk masyarakat,” imbuh Alex.

Model bisnis Chilibeli mengandalkan jejaring komunitas, khususnya ibu rumah tangga. Melalui jaringan ini, Chilibeli menjajakan produk sembako mereka, khususnya sayur-mayur dan aneka buah, langsung ke tangan konsumen.

Model ini mengakali tantangan yang kerap dihadapi pelaku agritech dalam mendistribusikan bahan pangan segar. Chilibeli mengklaim hingga saat ini hanya mereka agritech yang memakai model tersebut di Indonesia.

Akshay Bhushan, Partner Lightspeed Ventures, menyebut upaya Chilibeli akan menjadi skala baru bagi platform social commerce di Indonesia dan Asia Tenggara. Keyakinan Lighstpeed memimpin babak pendanaan ini ia sebut datang dari pengalaman mereka berinvestasi di sejumlah startup ternama, seperti Pinduoduo, Snapchat, Udaan, dan Sharechat.

“Kekuatan platform social commerce Chilibeli berasal dari pemberdayaan komunitas lokal di kelas menengah Indonesia melalui akses ke produk yang bernilai dan terjangkau sembari memajukan mata pencaharian petani, ibu rumah tangga, dan UMKM yang ada di ekosistem Chilibeli,” imbuhnya.

Social commerce diyakini banyak pihak sebagai subsektor yang belum banyak dijamah pelaku bisnis. Chilibeli mencatat sekitar 20% penghasilan rumah tanggal habis untuk kebutuhan bahan makan pokok. Itu sebabnya mereka yakin ruang tumbuh mereka masih cukup besar.

Dalam wawancara dengan DailySocial sebelumnya, Alex Feng percaya diri timnya bisa terus mengantongi profit. Alex menargetkan tahun ini Chilibeli mendapat pemasukan hingga Rp1,6 triliun. Selain itu ia juga berniat membuka putaran pendanaan seri B pada kuartal kedua atau ketiga tahun ini. Tahun ini juga mereka berencana melebarkan layanannya ke Jawa Tengah dan Jawa Timur.

“Babak pendanaan ini resmi menjadikan Chilibeli sebagai perusahaan seri A hanya dalam kurun 7 bulan sejak berdiri. Salah satu startup dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara,” pungkas Alex.

Application Information Will Show Up Here

Coworking Indonesia Imbau Anggotanya Hentikan Operasional Sementara

Persoalan yang ditimbulkan corona virus disease 2019 (COVID-19) menyentuh lapisan-lapisan hidup masyarakat yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Hal ini tak hanya membuat banyak pasien memadati fasilitas kesehatan, tapi juga mengharuskan banyak orang membatasi kegiatannya di rumah saja.

Sebagai bagian ruang kerja, coworking space merupakan salah satu tempat keramaian di mana sejumlah orang dari berbagai perusahaan serta individu berbagi tempat untuk bekerja atau untuk menggelar berbagai hajatan. Sifat coworking space yang dinamis ini kini mewajibkan para penghuninya ekstra hati-hati sejak COVID-19 merebak.

DailySocial berbicara dengan sejumlah pelaku coworking space dan perusahaan yang memakai jasa mereka. Beberapa mengambil langkah yang cenderung moderat, sementara beberapa yang lain memilih opsi yang lebih drastis.

Aryo Ariotedjo, CEO & Founder Wellspaces, mengutarakan 12 lokasi mereka masih beroperasi normal sampai saat ini. Hanya saja, per kemarin, Wellspaces mengaku jumlah anggota yang masih berkantor hanya sekitar 50%. Jumlah itu berkurang seiring makin santernya persebaran COVID-19 di Indonesia.

“Ini sebenarnya upaya juga untuk mengurangi risiko penyebaran,” ujar Ario.

Langkah serupa juga diambil CoHive. Penjaja coworking space ini masih membuka ruangnya bagi para anggota yang ingin bekerja. Hanya saja sejumlah penyesuaian dilakukan guna meminimalisasi kontak yang dapat terjadi di antara para penghuni.

CEO CoHive Jason Lee mengemukakan, penyesuaian itu dimulai dari meningkatkan frekuensi dan jangkauan pembersihan di setiap ruangan, menangguhkan penggunaan peralatan makan bersama, hingga meminta setiap pengunjung untuk mengisi deklarasi kesehatan.

“CoHive terus mengoperasikan semua center kami dan memutakhirkan langkah-langkah untuk mencegah penyebaran COVID-19 dalam rangka mendukung kebutuhan member kami,” imbuh Jason lewat pernyataan tertulisnya.

COVID-19 adalah pandemi global yang sudah menjadi momok besar di banyak negara. Tiongkok, Italia, Iran, dan Spanyol adalah negara yang terdampak paling parah saat ini dengan kematian mencapai ribuan nyawa.

Imbauan untuk berhenti sementara

Dihubungi terpisah, Faye Alund selaku Presiden Coworking Indonesia, asosiasi yang menghimpun pelaku bisnis coworking space, telah mengambil langkah yang lebih drastis. Faye berpendapat penutupan operasional coworking space untuk sementara akan berarti guna menghambat laju penyebaran virus.

Selain Wellspaces dan CoHive, memang masih ada sejumlah coworking space lain yang masih membuka layanannya sampai sekarang. Mengenai hal itu, ia mengaku tak bisa memaksa.

“Dari asosiasi cuma bisa mengimbau sih,” tukas Faye yang juga merupakan CEO Kumpul ini.

Sampai saat ini, total kasus positif virus Corona di Indonesia sudah menyentuh angka 227, dengan pasien sembuh 11 orang, dan 19 orang di antaranya meninggal. Jakarta menjadi titik persebaran paling padat dibanding provinsi lain. Tercatat ada 125 pasien positif COVID-19 yang tersebar di Jakarta.

Keganasan penyebaran virus ini yang membuat Faye lebih keras mengajak para pelaku coworking space lain untuk menutup layanannya sementara waktu. Imbauan dari Coworking Indonesia itu mencakup panduan dari segi operasional, relasi komunitas, hingga pengoperasian kembali.

“Jadi kita bilang kenapa perlu menutup space dan kerja dari rumah karena ketika ada banyak orang terinfeksi COVID-19 secara bersamaan, fasilitas kesehatan kita tidak cukup untuk menampung dan akibatnya tingkat kematian pada kelompok berisiko tinggi akan meningkat,” ujar Faye.

Baik CoHive dan Wellspaces sejatinya sudah punya pertimbangan untuk menutup sementara seperti imbauan tersebut. Namun keduanya juga tak bisa mengambil keputusan sepihak, mengingat belum semua klien memilih metode bekerja dari rumah.

Keputusan untuk tutup sementara baru akan diambil jika klien mereka sudah benar-benar mengambil jarak seperti anjuran pemerintah.

“Saya kembalikan lagi ke member kami karena kita punya misi masing-masing dalam perputaran roda ekonomi Indonesia. Jadi gimana pun juga kami berusaha support mereka dengan melakukan tindakan yang membantu pencegahan juga di lokasi-lokasi kami,” ucap Ario.

Sejumlah alasan melatari perusahaan belum menuruti anjuran pemerintah untuk bekerja dari rumah. CEO Sribu Ryan Gondokusumo mengaku timnya efektif baru bekerja dari rumah per Selasa (17/3) lalu.

Ryan bercerita beberapa pekan terakhir memang situasi di coworking space tempat mereka berkantor sudah relatif sepi. Melihat penyebaran virus yang makin cepat setiap hari berganti, akhirnya Sribu memilih bekerja dari rumah.

“Jujur dua minggu lalu apakah kepikiran WFH belum ada sih, tapi semuanya terjadi dengan cepat,” kata Ryan.

Sementara TaniHub, yang berkantor di CoHive, sudah mengimplementasi kebijakan bekerja dari rumah secara penuh sejak Senin (16/3). Kebijakan untuk mencegah penularan virus corona ini berlaku hingga 29 Maret jika kondisi sudah membaik.

“Sebagai komitmen, kami mengunci kantor HQ selama periode WFH. Access card karyawan HQ untuk masuk ke kantor kami nonaktifkan selama periode tersebut,” pungkas Astri Purnamasari, VP of Corporate Services TaniHub Group.

The Hope Remains for Logistics Sector Amidst COVID-19

The corona disease (COVID-19) is entering a new chapter. The World Health Organization (WHO) has announced the global pandemic. Indonesia followed the lead by declaring it a national disaster.

The economy was clearly impacted by this pestilence. The tourism and hospitality business is the most visible example to imagine how devastated after the explosion of the COVID-19 case in the world. This is not much different from the logistics sector which is very close to the impact of the corona virus.

Keep in mind that China is a global production hub in the current economic era. The crippling of most of the Chinese economy has disrupted the supply chain to its trading partners, including Indonesia. The effect spreads regardless of national borders.

Chinese Significance

The Chinese country is an important trading partner for Indonesia. It is visible from the value of trade transactions between the two countries which has reached US$ 72.66 billion in 2018. This figure takes a portion of 20 percent of the total trade that occurs with all partners.

Seen from the nominal it is also known that import transactions from China touched US$ 45.54 billion. Many imported raw materials needed by the domestic industry are imported there.

Chairman of the Indonesian Logistics Association (ALI) Zaidy Ilham Masita said the import tap from China had dropped 30 percent due to the corona pandemic. Shipping goods via sea is very limited, while shipping via air has been banned since last January. Exports have the same fate. Shipments to China are becoming sluggish at this time.

“Our exports to China also experienced a decline, especially perishable exports or fresh goods because China closed imports of fresh food. So for exports and imports the impact was quite severe,” Zaidy told Dailysocial.

The story of logistics players

Crewdible is one of the startups affected by this disaster. Being in the field of warehousing, they admit that their business has stalled. The CEO, Dhana Galindra said the productivity of all of their sellers dropped dramatically since the outbreak.

Logisly suffered a similar fate. The logistics business that bridges the needs of all types of freight trucks is directly affected. The CEO, Roolin Njotosetiadi stressed the sluggish export-import activities caused demand to fall on their platforms. “The container business is the most declined,” he added.

Zaidy Masita, who is also the Paxel‘s COO, said that the situation in the logistics landscape has worsened after several countries adopted a lockdown policy. China, New Zealand, Poland, Denmark, and Italy are examples of countries that have locked themselves in their struggle against the corona virus.

The situation in China is the main focus because they are like the epicenter of the global supply chain. Quoted from the New York Times, the problem in China is not in the inventory. Ports and customs have been called almost normal. The problem lies in the lack of trucks that come to deliver and pick up goods to the port. The government’s decision to impose a quarantine to lock up an area to reduce the spread of the corona virus had to be taken even though this meant to tear down their economy.

Looking for hope

In an uncertain situation for this economy, logistical startups must rack their brains to find solutions to survive. As a relatively new player, Logisly strives to continually add new shippers and transporters. It is required to patch up the quiet demand for trucks that they offer on the platform.

A similar method is taken by Crewdible. The difference is, this online warehouse platform focuses more on certain types of products. “We are more focused on local goods and fresh products now because imported goods are gone on the market,” said Dhana.

Fresh products seems to be excellent in times of crisis like this. Anticipation is higher for activities outside the home causing increased demand for fresh products. Besides Crewdible, this was also experienced by Paxel.

Zaldy said that since the corona virus became a serious threat to the community, shopping centers and food shops that were operating were increasingly limited. Therefore he was not surprised that the demand for food ingredients had risen sharply.

“In terms of Paxel, because we focus on the same day [delivery] between cities in Indonesia, even since the corona virus broke out, our volume has risen to 40%. Food and perishable shipments have risen sharply.”

In addition, Zaldy is quite confident that Paxel’s business model that relies on smart lockers can be a solution for delivering goods in situations like this. “Indeed, there are many disasters in Q1 2020 that we experience and logistics companies must be able to survive and change their business processes by using more technology,” concluded Zaldy.

Possible stagnate

The logistics industry in the country did experience many disasters during the first quarter of this year. After many times their operations were disrupted by flooding during January and February, now the corona virus is their newest block.

ALI, which previously targeted industrial growth at 12-14% with a contribution to gross domestic product (GDP) of Rp993.9 trillion, is predicted to be canceled. According to Zaldy, logistical growth for this year will be stagnant compared to last year’s achievement which was only 7-9%.

To date, no one knows how long the corona outbreak will continue to spread. While researchers are still struggling to find the right formula to fight the virus, the governments of each country are struggling to reduce its spread. As of this writing, Covid-19 has caused 117 cases with 8 patients recovering, and 5 patients dying in Indonesia. Meanwhile, the central government and a number of regions have encouraged residents to limit their activities at home to reduce the transmission of the virus.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Meski Terpukul Akibat COVID-19, Industri Logistik Punya Harapan

Serangan wabah corona disease 2019 (COVID-19) memasuki babak baru. World Health Organization (WHO) sudah mengumumkannya sebagai pandemi global. Indonesia pun melakukan hal serupa dengan mendeklarasikannya sebagai bencana nasional.

Perekonomian jelas terpukul dalam akibat sampar ini. Bisnis pariwisata dan hospitality misalnya adalah contoh paling mudah yang bisa terbayang sehancur apa setelah meledaknya kasus COVID-19 di dunia. Hal ini tak berbeda jauh dengan sektor logistik yang berada sangat dekat terhadap dampak virus corona.

Perlu diingat bahwa Tiongkok merupakan global production hub di era perekonomian saat ini. Lumpuhnya sebagian besar ekonomi Tiongkok menyebabkan rantai pasok ke para mitra dagangnya terganggu, termasuk Indonesia. Efeknya menjalar tanpa mengenal batas negara.

Signifikansi Tiongkok

Negeri Tirai Bambu adalah mitra dagang penting bagi Indonesia. Ini terlihat dari nilai transaksi perdagangan kedua negara yang mencapai US$72,66 miliar pada 2018. Angka ini mengambil porsi 20 persen dari total perdagangan yang terjadi dengan semua mitra.

Dari nominal tersebut juga diketahui bahwa transaksi impor dari Tiongkok menyentuh US$45,54 miliar. Bahan baku impor yang dibutuhkan industri dalam negeri banyak didatangkan dari sana.

Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaidy Ilham Masita menyebut keran impor dari Tiongkok sudah turun 30 persen akibat pandemi corona. Pengiriman barang via laut sangat terbatas, sementara pengiriman via udara sudah dilarang sejak Januari lalu. Ekspor pun bernasib serupa. Pengiriman barang ke Tiongkok kian lesu saat ini.

“Ekspor kita ke China juga mengalami penurunan terutama ekspor perishable atau barang segar karena China menutup import makanan segar. Jadi untuk ekspor dan impor dampaknya lumayan parah,” ucap Zaidy kepada Dailysocial.

Cerita pelaku logistik

Crewdible adalah salah satu startup yang terdampak bencana ini. Berada di bidang warehousing, mereka mengaku bisnisnya tersendat. CEO Dhana Galindra menyebut produktivitas semua seller mereka menurun drastis sejak wabah ini merebak.

Logisly mengalami nasib serupa. Bisnis Logisly yang menjembatani kebutuhan segala jenis truk pengiriman barang kena imbaslangsung. CEO Roolin Njotosetiadi menekankan lesunya kegiatan ekspor-impor menyebabkan permintaan di platform mereka turun. “Yang container paling turun,” imbuhnya.

Zaidy Masita yang juga COO Paxel mengemukakan situasi di lanskap logistik makin parah setelah beberapa negara mengambil kebijakan lockdown. Tiongkok, Selandia Baru, Polandia, Denmark, dan Italia adalah contoh beberapa negara yang mengunci diri dalam perjuangannya menghadapi virus corona.

Situasi di Tiongkok jadi sorotan utama karena mereka sudah seperti episentrum rantai pasok global. Dikutip dari New York Times, persoalan di Tiongkok bukan berada di persediaan barangnya. Pelabuhan dan bea cukai pun disebut sudah berjalan hampir normal. Masalahnya terletak di minimnya truk yang datang mengantar dan menjemput barang-barang ke pelabuhan. Keputusan pemerintah memberlakukan karantina hingga mengunci suatu wilayah untuk meredam penyebaran virus corona terpaksa diambil meski ini berarti menggerus perekonomian mereka.

Mencari harapan

Dalam situasi serba tidak pasti untuk perekenomian ini, startup logistik harus memutar otak menemukan solusi agar tetap bertahan. Sebagai pemain yang relatif baru, Logisly mengupayakan terus menambah shipper dan transporter baru. Hal ini perlu untuk menambal sepinya permintaan truk yang mereka tawarkan di platform.

Cara serupa juga ditempuh Crewdible. Bedanya, platform gudang online ini lebih menitikberatkan fokusnya ke jenis produk tertentu saja. “Kita lebih fokus barang lokal dan fresh product sekarang karena barang impor sudah habis di pasaran,” cetus Dhana.

Produk segar tampaknya menjadi primadona di masa krisis seperti ini. Antisipasi yang lebih tinggi untuk beraktivitas di luar rumah menyebabkan permintaan produk segar meningkat. Selain Crewdible, hal ini juga dialami oleh Paxel.

Zaldy bercerita sejak virus corona menjadi ancaman serius bagi masyarakat, pusat perbelanjaan dan toko-toko makanan yang beroperasi kian terbatas. Maka dari itu ia tak heran permintaan bahan-bahan makanan meningkat tajam.

“Untuk Paxel karena kita fokusnya same day [delivery] antarkota di Indonesia, malah sejak virus corona merebak, volume kita naik sampai 40%. Pengiriman makanan dan perishable naik dengan tajam.”

Selain itu, Zaldy cukup percaya diri model bisnis Paxel yang mengandalkan loker pintar seperti mereka dapat jadi solusi pengantaran barang di situasi seperti ini. “Memang banyak musibah di Q1 2020 yang kita alami dan perusahaan logistik harus bisa survive dan mengubah bisnis prosesnya dengan lebih banyak lagi menggunakan tekonologi,” pungkas Zaldy.

Akan stagnan

Industri logistik Tanah Air memang mengalami banyak musibah sepanjang kuartal pertama tahun ini. Setelah berkali-kali operasional mereka terganggu banjir selama Januari dan Februari, kini virus corona jadi ganjalan terbaru mereka.

ALI yang sebelumnya menargetkan pertumbuhan industri di angka 12-14% dengan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp993,9 triliun diprediksi bakal meleset. Menurut Zaldy pertumbuhan logistik untuk tahun ini akan stagnan dibanding raihan tahun lalu yang hanya 7-9%.

Hingga saat ini belum ada yang tahu berapa lama wabah corona bakal menerjang dunia. Sementara para peneliti masih berjibaku menemukan obat yang tepat untuk melawan virus ini, pemerintah tiap negara tengah berjuang meredam penyebarannya. Sampai tulisan ini dibuat, Covid-19 sudah menyebabkan 117 kasus dengan 8 pasien sembuh, dan 5 pasien meninggal di Indonesia. Sementara itu pemerintah pusat dan sejumlah daerah sudah menganjurkan warga membatasi kegiatannya di rumah guna menekan penularan virus.