Indra Utoyo: Proses Belajar yang Tak Pernah Berhenti untuk Ciptakan “Value-Driven Innovation” (Bagian I)

Kecintaan Indra Utoyo terhadap teknologi, digital, dan inovasi tak pernah padam sekalipun ia berpindah haluan dari telekomunikasi hingga berlabuh ke perbankan. Alih-alih mencapai posisi kemapanan, ia justru mengaku ingin terus belajar dan menemukan hal-hal baru.

Belasan tahun ia habiskan untuk memperkuat pondasi Telkom sebagai penyedia konektivitas terbesar di Tanah Air sampai akhirnya ia dipercaya untuk memimpin transformasi digital bank BUMN BRI .

Pada gelaran program gagasannya Indigo enam tahun lalu, ia sempat mengatakan bahwa peran entreprenuer muda sangat penting dalam memecahkan masalah dengan cara baru di era digital yang laju perkembangannya sudah tak terbendung lagi.

Ia berharap legacy yang ia tinggalkan dapat terus dibagikan sehingga dapat melahirkan generasi-generasi entreprenuer bertalenta. Kini ia menikmati babak barunya untuk memupuk talenta serta mengorkestrasi layanan dan inovasi di Allo Bank.

Bagaimana Anda melihat perjalanan karier Anda dari sektor telekomunikasi sampai ke perbankan?

Jawab: Sebetulnya berkarier [di perbankan] tidak saya rencanakan. Saya bekerja di Telkom selama hampir 17 tahun, di mana 10 tahun terakhir menjadi direksi. Di Telkom, saya mengeksplorasi hal baru, baik itu inovasi, IT, hingga digital. Di situlah [perjalanan di dunia digital] saya dimulai. Saya juga mendirikan program inkubator dan akselerator Indigo.

Kemudian, saya pindah ke BRI yang sebelumnya tidak pernah saya bayangkan. Saat itu saya diminta untuk membenahi sistem IT dan memimpin transformasi digital supaya BRI bisa beradaptasi dan tetap relevan bagi nasabah di era digital. Saya melakukan inovasi, mengembangkan produk digital banking — ada PINANG dan CERIA — dan melakukan massive collaboration dengan pemain digital.

Alhadumdulillah, BRI kini sudah punya pondasi yang baik. Saya membangun digital BRI dengan future-ready IT dan arsitektur di masa depan. Saya siapkan agar dapat mengakomodasi volume yang besar. Itu legacy yang saya tinggalkan [di Telkom dan BRI]. Namun, yang terpenting adalah meninggalkan talent dan culture yang terus membaik.

Apakah kemampuan dan kapabilitas Anda selama ini di telekomunikasi menjadi lebih tereskalasi begitu masuk ke perbankan?

J: Ini pertanyaan bagus. Memang saya merasakannya ketika berkarier di perbankan. Yang membuat saya tertarik adalah bagaimana bank konvensional memadukan layanan banking dengan teknologi karena bisa emerge dengan sektor lain. Kita merasa tumbuh karena proses belajar terus berjalan.

Bank bicara segmen B2C, B2B, atau SME. Bank mendorong inisiatif bisnis untuk tumbuh. Apalagi ada mata rantai di belakangnya. Pemilik bisnis dibantu dengan layanan keuangan. Makanya bank agak berbeda karena lekat dengan semua sektor. Apapun bisnisnya pasti butuh layanan keuangan. Untuk simpan uang atau pembiayaan misalnya. Bank memahami business process. Itulah peran bank.

Ini yang membedakan telekomunikasi dengan perbankan karena sifatnya horizontal bukan vertikal. Sektor telekomunikasi fokus pada platform dan punya basis data kuat. Sebagai penyedia konektivitas dan penyimpanan data, perannya bagus. Selain itu juga mengakomodasi kebutuhan harian konsumen, misalnya pulsa atau paket data. Namun, telekomunikasi kurang dalam hal konteks [bisnis] sebuah sektor, kurang menguasai business process dari konsumen.

Di Telkom, ada misi [membangun] ekosistem digital. Saat itu saya mengembangkan [solusi digital], seperti health dan logistic. Namun, sebetulnya model bisnis Telkom adalah platform, infrastruktur. Sementara business process di sektor terkait bukan ranah Telkom. Artinya, butuh partner di sektor itu agar Telkom bisa engage dengan konsumennya.

Bagaimana Anda bertransisi dari BRI yang notabene fokus ke UMKM ke Allo Bank yang didukung mega ekosistem CT Corp?

J: Ini menarik. Saya menyadari bahwa kita perlu terampil berkolaborasi. Leadership akan berbeda, bukan lagi memimpin satu perusahaan, melainkan menyelaraskan dengan ekosistem. Kita mengorkestrasi ekosistem yang didukung frekuensi, kecepatan, dan pola pikir yang sama.

Misalnya, ada pertukaran value antara Allo Bank dengan Transmart. Belanja di Transmart cukup bahwa ponsel. Mungkin mereka akan merasa kolaborasi ini dapat menghasilkan data, jadi tahu apa yang disukai konsumen. Kita bisa lebih engage untuk memberikan hal baru. Konsumen bisa sering bertransaksi karena layanan lebih personalized. Jadi ke depan bisa semakin relevan. Ini semua menjadi value-driven. 

Di awal, mungkin masih banyak PR. Pemahaman di ekosistem masih baru, produk perlu banyak di-improve. Perlu waktu untuk menguasai produk sampai di tahap ‘oh pakai Allo Bank bisa lebih tumbuh’, itu seninya. Tantangannya bagaimana bermain sebagai ekosistem dan melakukannya bersama dengan tim. Pada dasarnya, semua akan bicara value.

Dari BUMN kini ke perusahaan swasta, apakah Anda kini merasa lebih nyaman untuk deliver sebuah inovasi?

J: Mestinya lebih mudah karena [sebelumnya] sistemnya lebih rigid dengan tata kelola sedemikian panjang. Sementara, di sini kita lebih punya speed yang diseimbangkan dengan kualitas. Speed bisa lebih dominan. Namun, saya tidak suka kemapanan dan senang terhadap hal-hal baru. Sejak di Telkom, saya memang begitu. Kalau kamu tanya apa INDIGO punya KPI? Ya tidak ada. Itu saya bikin sendiri sehingga jadi lah sesuatu. Maka itu, kita harus memadukan entrepreneurship dan strategic management.

Untuk menghadapi hal-hal yang tidak pasti, butuh keberanian mencoba. Ini saya terapkan ketika di Telkom maupun BRI. Sementara CT Corp berawal dari entrepreneurial sehingga lebih mudah pada aspek kecepatan. Yang penting, arahnya jelas dan punya pondasi kuat untuk memanuver gerakan kita ke depan. Ini sedang saya bangun di Allo Bank, tentu didukung Pak CT dan grup. Bagaimana Allo Bank bisa siap ke depan, tak hanya kecepatan, tapi fokus untuk menciptakan value.

Sebagai seseorang yang passion terhadap teknologi dan digital, apakah ada yang ingin Anda eksplorasi maupun belum tercapai saat ini?

J: Perjalanan saya masih jauh dan masih tahap awal, tetapi saya punya aspirasi yang jelas, yakni bagaimana menghadirkan kehidupan dalam satu genggaman, all in one.

Ke depan arahnya ada AI, crypto, hingga blockchain. Sekarang kita bicara Web3, tapi Jack Dorsey (Co-founder Twitter) sudah bicara Web5. Artinya, kita harus adaptasi terus agar dapat memberikan value baru dengan model bisnis yang saya rasa akan terus berkembang dengan Web3.

Kita juga akan berhadapan dengan kompetitor yang membawa pendekatan baru. Ini akan menjadi perjalanan yang tidak akan berhenti untuk beradaptasi dan bertransformasi supaya [implementasi] bisa semakin luas.

Strategi Klinik Pintar Bidik Digitalisasi 1000 Klinik Kesehatan di Indonesia

Startup healthtech Klinik Pintar membidik digitalisasi 1.000 klinik di Indonesia dalam jangka panjang, baik melalui kerja sama dengan pemilik klinik maupun pembangunan klinik fisik baru. Pihaknya juga fokus memperluas ekosistem pendukung untuk memperkuat kualitas layanan kesehatan mitranya.

Dalam sesi media interview, Co-founder & CEO Klinik Pintar Harya Bimo mengatakan, sebagai pionir di rantai suplai klinik, Klinik Pintar memiliki posisi yang strategis untuk mengakselerasi pertumbuhannya. Terlebih, perusahaan juga memanfaatkan momentum dari roadmap transformasi digital yang diterbitkan Kementerian Kesehatan tahun lalu.

Sekadar informasi, salah satu agenda utama dari transformasi digital industri kesehatan adalah keterhubungan data. Agenda ini sejalan dengan upayanya mendigitalkan klinik-klinik di seluruh Indonesia. Berdasarkan data Kemenkes di 2018, terdapat 2.813 RS, 8.841 klinik, dan 9.993 puskesmas.

“Sejak awal misi Klinik Pintar adalah keterhubungan di industri kesehatan. Kami percaya bahwa masalah paling besar adalah diskoneksi, artinya setiap fasilitas kesehatan membuat sistem dan menyimpan data sendiri, tidak ada upaya untuk menghubungkan. Upaya ini baru ada ketika terjadi Covid-19,” ujar pria yang karib disapa Bimo ini.

Klinik Pintar tidak hanya melakukan digitalisasi internal dengan Klinik OS (Operating System), tetapi juga menghubungkan ke jaringan pendukung, seperti laboratorium, sistem rujukan dokter spesialis, rantai pasok obat-obatan hingga alat kesehatan, dan asuransi. Dengan cara ini, klinik bisa lebih berdaya, baik memudahkan pasien maupun mendorong bisnis.

Hingga Maret, terdapat 152 klinik yang tergabung dalam jaringan Klinik Pintar di 60 kota. Pihaknya berencana membangun 20 klinik fisik di 2022.

Untuk melakukan penetrasi ke daerah, Klinik Pintar selalu menggandeng Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI), Perhimpunan Klinik dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan (PKFI), dan Asosiasi Klinik Indonesia (Asklin) serta Dinas Kesehatan.

Kepemilikan klinik

Klinik Pintar menawarkan solusi teknologi untuk mendigitalkan proses bisnis dan layanan, standardisasi, dan investasi yang dapat membantu pemilik klinik mengembangkan usaha dan meningkatkan value based care.

Di sisi teknologi, mereka menawarkan Klinik OS secara gratis. Di level ini, klinik dapat mengakses layanan yang meliputi modul pendaftaran pasien online, penjadwalan praktik dokter, rekam medis elektronik, resep elektronik, inventori obat, pembayaran digital, hingga pelaporan.

Monetisasi baru dilakukan apabila mitra klinik naik ke tahap Klinik Prima. Di tahap ini, Klinik Pintar mengambil margin dari kerja sama layanan di mitra klinik, misal vaksinasi atau pembelian inventori. Kemudian, pemilik klinik bisa naik ke tahap lebih tinggi untuk mengelola klinik bersama Klinik Pintar (co-manage). Di sini, baik Klinik Pintar dan mitra melakukan profit-sharing.

“Sebetulnya, kami sedang menggodok program untuk kepemilikan klinik. Kami setiap hari bekerja sama dengan mereka, sering ditawarkan untuk punya equity sekian persen. Tapi, kami belum tertarik karena model bisnis kami asset-lite, kami tidak ingin punya banyak aset,” ungkapnya.

Namun, mereka tengah mempertimbangkan hal ini mengingat pihaknya cukup optimistis dengan model bisnisnya terlepas dari situasi global saat ini. Bimo mengaku Klinik Pintar meraih untung dari setiap layanan dan tidak melakukan ‘bakar uang’.

“Dari riset yang dilakukan, banyak pemilik klinik yang tidak tahu cara mengembangkan bisnis. Banyak [pemilik klinik] memercayakan kami untuk mengelola sehingga mereka bisa fokus untuk buka praktik saja. Jadi, kami ada peluang untuk melakukan pembangunan klinik bersama mitra dengan model asset play. Kami akan kabari apabila sudah di-launch,”

Mendorong bisnis klinik lebih sustain

Dalam catatan kami, Klinik Pintar sebelumnya sempat membidik digitalisasi di seluruh ekosistem kesehatan dari hulu ke hilir dengan pendekatan awal pada rumah sakit (RS). Namun, dalam perjalanannya, upaya ini terhambat karena RS punya rantai birokrasi yang panjang sehingga sulit diakselerasi.

Usai pivot sepenuhnya menjadi penyedia rantai suplai klinik di 2020, Bimo mengaku Klinik Pintar telah mencapai product-market fit. Tahap selanjutnya adalah fokus untuk mencari mitra klinik yang bisnisnya dapat dikembangkan dalam jangka panjang. Per 2021, Klinik Pintar telah mendistribusikan 500 ribu pasien ke mitra klinik. Selain itu, pemilik klinik juga mengaku pendapatannya naik hingga 22%.

“Salah satu strategi kami adalah masuk ke [segmen] corporate clinic. Tetap menggunakan OS yang sama, hanya saja kami menambah employee management system yang dapat diakses oleh mitra,” ungkapnya.

Menurutnya, perusahaan kini mulai menyadari pentingnya kesehatan karyawan. Dengan solusi ini, perusahaan dapat mengetahui data kesehatan karyawan dan dapat menjadi perbaikan ke depannya. Saat ini, Klinik Pintar sudah mengelola 40.000 karyawan.

Uji coba

Bimo mengungkap pihaknya melalui Asosiasi Healthtech Indonesia (AHI) telah mengajukan diri sebagai mitra digitalisasi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Salah satunya untuk mengikuti uji coba platform Indonesia Health Services (IHS). 

Berdasarkan informasi terakhir, DTO sedang melakukan beta testing platform IHS dan menargetkan kick off-nya pada Juli mendatang. Ada sekitar 90 lebih institusi mendaftar untuk ikut uji coba, termasuk di antaranya klinik, asuransi, dan laboratorium. 

Uji coba ini termasuk bagaimana mengintegrasikan data pada sistem di fasilitas kesehatan dan Kemenkes. Sebagai informasi, DTO akan memakai standar HL7 FHIR berbasis API sebagai salah satu format pertukaran data dan informasi kesehatan. 

“Pertama yang harus dilakukan adalah menyamakan format database rekam medis di sistem Klinik Pintar dan mitra dengan platform IHS. Yang utama adalah menyamakan ‘bahasa’ dulu, barulah bicara soal keterhubungan yang mana itu ada di bagian [regulatory] sandbox,” tambahnya.

Menurut Bimo, ada tantangan lain dalam mendorong penetrasinya di daerah. Saat ini payung regulasi memang berada di bawah Kemenkes, tetapi Dinas Kesehatan (Dinkes) punya sudut pandang berbeda terhadap implementasi regulasi di daerah sehingga butuh upaya agar semua dapat onboard terhadap digitalisasi.

Contohnya, terkait rekam medis elektronik. Saat ini pemerintah tengah menggodok regulasi terkait rekam medis berbasis elektronik. Untuk mencapai keterhubungan data di 2024, tentu tidak dapat menunggu hingga regulasi keluar. “Dinkes di daerah bingung bagaimana mengelola dan melakukan enforcement [terhadap digitalisasi], jadi kami harus ajak agar mereka onboard,” tuturnya.

Bank Sinarmas Batal Berinvestasi ke DANA

PT Bank Sinarmas Tbk (IDX: BSIM) batal berinvestasi ke platform dompet digital DANA. Disampaikan dalam keterbukaan informasi di BEI pada 10 Juni lalu, Bank Sinarmas menyatakan tidak lagi menjadi salah satu calon investor di DANA.

Menindaklanjuti laporan terkait rencana investasi pada 2 Maret 2022, Direktur Utama Bank Sinarmas Frenky Tirtowijoyo mengatakan, terdapat perubahan rencana kepemilikan saham pada PT Espay Debit Indonesia Koe (DANA) melalui PT Elang Andalan Nusantara (EAN). Atas kesepakatan bersama para calon investor, Bank Sinarmas mundur menjadi salah satu calon investor.

“Tidak ada dampak terhadap kegiatan operasional, hukum, kondisi keuangan, atau kelangsungan usaha emiten atau perusahaan publik,” demikian disampaikan dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia.

Seperti diketahui, Grup Sinarmas melalui Bank Sinarmas dilaporkan akan berinvestasi ke DANA senilai $25 juta atau sekitar Rp368 miliar pada Maret lalu. Sebelumnya, perusahaan konglomerasi ini melalui anak usaha lainnya, yakni PT Dian Swastika Sentosa Tbk telah menandatangani kesepakatan investasi senilai $200 juta atau lebih dari Rp2,8 triliun ke PT Elang Andalan Nusantara yang diteken pada Februari 2022.

Rencana investasi ini disebut sebagai bagian dari kolaborasi pengembangan bisnis digital kedua perusahaan, dan dapat memberikan dampak positif terhadap pengembangan ekosistem digital yang dimiliki perusahaan.

Perusahaan patungan

Terakhir kepemilikan saham DANA dikuasai oleh Elang Andalan Nusantara. Sebagai informasi, PT Elang Andalan Nusantara merupakan perusahaan patungan (joint venture) yang didirikan oleh EMTEK PT Kreatif Media Karya (KMK) dan Alibaba melalui API Investment Ltd dengan porsi kepemilikan masing-masing 55% dan 45%.

Sejak April 2021, EMTEK tak lagi menjadi pemegang saham pengendali di Elang Andalan Nusantara sebagai induk pengendali DANA. EMTEK melepas 6% saham Elang Andalan Nusantara ke pihak ketiga yang dirahasiakan namanya sebesar Rp76 miliar. Kini EMTEK hanya menggenggam 49% saham Elang Andalan Nusantara.

Adopsi dompet digital

Jika dipetakan, pasar dompet digital Indonesia dikuasai setidaknya oleh lima pemain besar. Mengacu laporan NeuroSensum pada periode November 2020-Januari 2021, ShopeePay tercatat sebagai pemimpin pasar dompet digital dengan pangsa 68%, diikuti OVO (62%), DANA (54%), GoPay (53%), dan LinkAja (23%).

Salah satu alasan utama ShopeePay merangkak dengan cepat adalah kemudahannya untuk bertransaksi mengingat sudah terintegrasi di Shopee, bukan sebagai aplikasi terpisah. ShopeePay sendiri baru beroperasi setahun saat itu dibandingkan pemain inkumben lain yang sudah lebih lama

Dalam catatan kami, pemain dompet digital di Indonesia memiliki afiliasi masing-masing dengan ekosistem kuat. Misalnya, GoPay dalam ekosistem Gojek, Tokopedia, dan Bank Jago. ShopeePay dengan Shopee dan Seabank. OVO dengan Grab dan masih menjadi salah satu opsi pembayaran yang banyak digunakan di Tokopedia.

Sementara, DANA terafiliasi dengan Bukalapak. Berdasarkan data terakhir, DANA kini punya 5.000 mitra merchant online, dengan 100 juta pengguna. DANA menyebut telah mengantongi lebih dari 350 juta total transaksi dengan 31 juta transaksi dari QRIS, serta menggerakkan lebih dari 400 ribu UMKM di Indonesia.

Menurut proyeksi dari laporan AFTECH 2021, pembayaran digital telah mencapai tingkat kematangan paling tinggi dibandingkan layanan fintech lainnya. Hal ini turut dipicu oleh melonjaknya penggunaan aplikasi dompet digital di mana tren cashless economy diperkirakan terus berlanjut.

“Pembayaran digital Indonesia telah mengembangkan kemitraan besar dengan perusahaan e-commerce, ride hailing, bank, dan pemangku kepentingan terkait lainnya di Indonesia, serta mengembangkan basis pelanggan yang solid dengan akuisisi pelanggan yang tinggi, ” ungkap laporan ini.

Jika melihat proyeksi di atas, dapat dikatakan bahwa babak selanjutnya bagi platform pembayaran digital adalah memperkuat posisinya dengan memenangkan pasar di daerah-daerah yang masih belum terjamah akses keuangan. Perluasan ekosistem layanan masih menjadi kunci untuk meningkatkan akses keuangan ke masyarakat.

Application Information Will Show Up Here

Setiaji: Standardisasi Jadi “Backbone” Keterhubungan Data di Industri Kesehatan

Tahun lalu saat menduduki posisi Staf Ahli Menteri di bidang teknologi kesehatan, Setiaji mendapat amanat dari Menkes Budi Gunadi Sadikin untuk menangani pandemi dan menyukseskan program vaksinasi Covid-19 dengan teknologi, serta melakukan transformasi digital di industri kesehatan.

Ia dipercaya memimpin sebuah inisiatif besar–dan mungkin dapat dikatakan pertama kalinya di industri kesehatan–melalui Digital Transformation Office (DTO) untuk mengatasi rangkaian permasalahan sistemik di Tanah Air. Berbekal pengalaman kuat terdahulunya di ranah birokrasi dan teknologi, Setiaji mengawali eksekusinya dengan menyusun standardisasi data sebagai tulang punggung dari seluruh ekosistem kesehatan.

“Tentu fokus awal adalah bagaimana membereskan Covid-19 karena tantangannya setiap hari ada sekitar 400-500 orang meninggal. Bagi saya [menjadi Chief DTO] adalah tugas mulia untuk mengurangi tingkat kematian dan penyebaran Covid-19 dengan melibatkan teknologi,” ungkapnya.

Bagaimana persiapan awal Anda dalam memimpin DTO?

Jawab: Saat itu sistem, cara kerja, dan tim yang ada, belum mendukung. [Eksekusinya] tidak mungkin ditangani oleh tim internal karena ada keterbatasan SDM, kompetensi, skill set, dan pengalaman untuk menangani sistem besar. Visi dan misi sudah ada, tinggal bagaimana mengakselerasinya dengan tim yang lebih efektif dan tepat sasaran untuk tahu root cause-nya.

Saya bawa pengalaman saya ke DTO, menyederhanakan sistem aplikasi dan membentuk tim agar dapat bekerja lebih efektif. Saya sebelumnya sudah memiliki pengalaman–membentuk startup dalam lingkup pemerintahan–yaitu di Jakarta (Head of Jakarta Smart City) dan Jawa Barat (Head of ICT Digital Services). Nah, di level nasional belum ada.

Tim kami kemudian menyusun roadmap, mulai dari arahnya seperti apa dan bagaimana arsitekturnya. Tentu tantangan akan besar sekali karena kami menyusun roadmap sambil menangani Covid-19. Istilahnya ‘kami berlari sambil mengikat tali sepatu’.

Kami set up organisasi, struktur, dan talent. Kalau di daerah, [organisasi] ini menempel dengan Dinas Kominfo sebagai PT, lalu nanti ada tim govtech. Di Kementerian, istilahnya seperti Pusdatin (Pusat Data dan Teknologi Informasi). Kami pikirkan ini karena kalau levelnya direktorat terkait, eksekusi akan lebih lambat meski berada di bawah Kementerian.

Maka itu, kami dudukan posisi Pusdatin sebagai sekretariat yang akan menyokong berbagai keperluan administratif, seperti pajak dan korespondensi, dipimpin oleh Chief Digital Transformation Officer bersama staf ahli.

Setelah struktur organisasi terbentuk, kami rekrut key hire dulu untuk mengisi posisi C-Level, misalnya CTO, COO, dan CPO. Di awal kami rekrut tim inti, tetapi secara bertahap sambil merekrut tim-tim lain. Saat ini DTO ada 150 orang dan targetnya mencapai 260 orang.

Apakah ada perbedaan signifikan saat memimpin DTO dibanding pengalaman sebelumnya di sektor lain?

Jawab: Sebetulnya, [posisi] sekarang justru lebih spesifik dalam mengatasi problem. Di Jakarta Smart City ada layanan smart health yang terkait dengan Dinas Kesehatan. Kemudian, ada pula sistem penanganan Covid-19 yang saya siapkan di Jawa Barat. Jadi, saya tidak terlalu jetlag. Hanya saja, saya harus mempelajari dan memahami istilah kesehatan, misalnya soal pengukuran data dan proses input. Ini sangat complicated, tetapi saya bisa belajar mengenai end-to-end supply chain hingga rekam medis elektronik.

Pada saat pandemi, memang ruang-ruang regulasi bisa dikesampingkan [agar eksekusi penanganan Covid-19 bisa lebih cepat]. Misalnya, penggunaan telekonsultasi, regulasinya belum klop karena pemeriksaan harus dilakukan secara fisik dan butuh KTP. Justru pada penanganan Covid-19, kami menggabungkan beberapa ekosistem dan menghubungkan ke beberapa sektor agar aktivitas tetap berjalan.

Di DTO, saya bisa eksekusi langsung root cause-nya, sedangkan dulu eksekusinya dilakukan oleh dinas-dinas terkait. Contoh, kalau mau buat smart health, tidak bisa kalau belum bereskan root cause. Dalam konteks standardisasi data, tidak bisa ditransformasi jika data tidak sama. Saya beruntung karena bisa melakukan perubahan itu dengan posisi saat ini di level nasional.

Sulit mendisrupsi industri kesehatan karena tidak ada standardisasi data. Apa upaya DTO untuk mengatasi hal itu?

Jawab: Kami dihadapkan pada 400 aplikasi di bidang kesehatan, 70 aplikasi puskesmas, dan 50 aplikasi rumah sakit. Dulu kami pikir, tinggal connect saja supaya data-data ini bisa masuk ke data center. Setelah kami lihat, pelajari, dan eksplorasi dari studi kasus negara lain, ternyata pendekatan awal salah. Kenapa? Masing-masing direktorat bikin aplikasi untuk kejar pelaporan. Para nakes jadi punya beban tinggi karena harus menginput data berkali-kali.

Maka itu, kami mendahulukan [transformasi] pada rekam medis elektronik sebagai backbone. Salah satu tantangan besar adalah setiap rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain punya format data masing-masing. Contoh variabel paling sederhana, format jenis kelamin ada yang sebut L/P, ada juga P/W. Nah, “P” ini maksudnya “Pria” atau “Perempuan”?

Sumber: DTO Kementerian Kesehatan

Tak hanya rekam medis, kami standardisasi data pada obat-obatan hingga laboratorium. Kami akan keluarkan kamus standardisasi yang harus diacu oleh setiap fasilitas kesehatan. Jadi, begitu berobat ke rumah sakit, data langsung terhubung, ada nomor kesehatan nasional, rekam medis, informasi berobat di rumah sakit mana. Semua data ini terekam tanpa perlu input lagi. Ini menjadi semacam single identifier berisi informasi kesehatan masyarakat. Selain itu, rekam medis elektronik bisa terintegrasi di berbagai aplikasi dan perangkat elektronik, seperti wearable device.

Nakes juga diberikan semacam kodefikasi sehingga ketika ingin memberikan rujukan kepada pasien, prosesnya tidak lagi berjenjang, kelamaan. Dengan sistem yang kami bangun, nakes dapat tahu rekomendasi rujukan ke mana. Ini semua kami harap dapat meningkatkan kualitas kesehatan.

Aturan mengenai rekam medis elektronik sedang [disusun] dan turunannya di Kemenko Polhukam. Karena ini bentuknya Peraturan Menteri, [penyusunannya] harus disinkronisasikan dengan Kemenko Polhukam untuk memastikan aturannya tidak bertabarakan dengan aturan lain, dan dapat menunjang aturan mana saja. Kami harap aturan ini bisa terbit pada Juni ini.

Sejauh mana progress dari transformasi digital ini? Bagaimana pengujian regulatory sandbox untuk healthtech?

Jawab: Kami punya tiga agenda transformasi, yaitu data, aplikasi, dan ekosistem. Tahun lalu kami fokus menyiapkan arsitektur untuk Indonesia Health Services (IHS), sekarang kami sedang beta testing platformnya. Kurang lebih ada 91 institusi mendaftar, mulai dari asuransi, peneliti, klinik, hingga laboratorium.

Targetnya, kami bisa kick off platform IHS pada Juli mendatang. IHS dapat diintegrasikan ke fasilitas kesehatan yang sudah siap, tentunya mereka harus punya sistem dulu. Kalau rumah sakit masih menggunakan rekam medis berbasis kertas, tidak bisa [integrasi]. Kami targetkan integrasi IHS dapat mencapai 8000 fasilitas kesehatan, termasuk rumah sakit, puskesmas, dan klinik.

Sumber: DTO Kementerian Kesehatan

Banyak pemilik fasilitas kesehatan yang bertanya bagaimana proses integrasinya dan apa saja yang perlu disiapkan. Kami sedang edukasi supaya mereka paham standardisasi yang kami buat. Salah satunya, kami menggunakan format HL7 FHIR berbasis API sebagai standar terkini untuk melakukan pertukaran data dan informasi kesehatan.

Terkait regulatory sandbox, [pengujian] awal memang dibuka untuk telemedicine dulu karena kami ingin mulai dari yang paling sederhana. Ke depannya kami akan buka untuk lebih banyak penyakit dan layanan lain

Kami tidak punya pengalaman [membuat] ini sebelumnya karena belum pernah ada regulatory sandbox di industri kesehatan. Kami juga belajar dari negara lain, seperti Singapura dan Inggris, dan terus melakukan diskusi tentang bagaimana melakukan regulatory sandbox. Belum lagi ini bicara UU Perlindungan Data Pribadi. Makanya, pengujiannya harus hati-hati karena ini berkaitan dengan nyawa manusia, tidak bisa salah diagnosis.

Kami mendapat dukungan dari universitas dan para pakar. Untuk starting, kami bekerja sama dengan UGM untuk pengujian [regulatory sandbox] ini. Kami sedang selesaikan uji coba telemedicine pada penyakit Malaria.

Salah satu tantangan yang kami lihat, para inovator yang menyusun proposal [pengujian] menganggap bahwa regulatory sandbox adalah sesuatu untuk mewujudkan ide-idenya. Padahal, kami menguji produk yang sudah jadi dan secara langsung. Piloting di suatu tempat, lalu testing bersama. Di sini kami lakukan edukasi karena ini berbeda dengan accelerator. Kira-kira ada 25 proposal masuk, tapi hanya 20 yang siap uji. Selebihnya baru sekadar konsep atau prototype untuk penanganan Malaria, belum ada alatnya.

Adapun, lisensi [healthtech] akan dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan. Tapi, kami sedang pikirkan siapa yang operate ini. Di OJK, Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) yang mengoperasikan regulatory sandbox. Nah, bisa saja yang operasikan regulatory sandbox ini asosiasi healthtech atau asosiasi telemedicine. Kami akan lihat mana yang cocok.

Bagaimana pengembangan PeduliLindungi selanjutnya pasca-pandemi?

Jawab: Nantinya PeduliLindungi tidak hanya untuk Covid-19. Kami mulai dari vaksinasi anak, seperti polio atau campak. Sertifikasinya akan muncul di aplikasi. Nanti juga ada semacam buku kesehatan digital, misalnya bagi ibu dan anak atau pasien diabetes.

Penyakit kan ada banyak, kami akan buat PeduliLindungi lebih personalized sehingga tampilannya dapat disesuaikan dengan status kesehatan setiap pengguna. Ada juga fitur untuk pencegahan sakit. Kami akan kerja sama dengan berbagai pihak untuk mendorong gaya hidup masyarakat lebih sehat. 

Kami sudah siapkan timeline sampai 2022. Secara bertahap, kami akan tambahkan prioritas layanan kesehatannya supaya ini menjadi kebutuhan mereka setiap hari sebagaimana mereka memakai aplikasi PeduliLindungi di masa pandemi.

Bagaimana mengajak ekosistem kesehatan agar onboard dengan transformasi ini?

Jawab: Selama ini developer membuat aplikasi telemedicine sendiri, untuk rumah sakit atau klinik. Jadi mereka punya ekosistem masing-masing sehingga tidak bisa saling bertukar data. Kami mengembangkan platform, seperti halnya operating system (OS), di mana setiap pihak bisa mengembangkan solusi di sini. Maka itu, platform ini akan menjadi roof bagi setiap inovator sehingga lebih inklusif dalam memudahkan ekosistem berinteraksi satu sama lain.

Kami akan kaitkan [transformasi] ini dengan sistem akreditasi. Apabila [fasilitas kesehatan] tidak punya rekam medis elektronik, akreditasinya akan turun. Mirip dengan laboratorium untuk tes Covid-19, jika tidak terhubung dengan PeduliLindungi, bisa ditinggalkan. Fasilitas kesehatan yang terdaftar di sistem IHS akan punya nilai tambah.

Hal-hal ini untuk memastikan ekosistem tumbuh transparan dan saling terhubung. Kami akan dorong proses transisinya selama satu tahun.

EMTEK Tambah Kepemilikan Saham di Bukalapak

Perusahaan konglomerasi media PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (IDX: EMTK) melalui anak usahanya PT Kreatif Media Karya (KMK) kembali menambah kepemilikan sahamnya di PT Bukalapak.com Tbk (IDX: BUKA). KMK membeli sebanyak 724,30 juta saham atau setara 0,7% dari total saham pada 6 Juni 2022.

Berdasarkan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), saham tersebut dilepas dengan harga Rp317 per lembar saham sehingga nilai transaksinya mencapai 229,60 miliar Rupiah.

Dengan transaksi ini, kini KMK menggenggam sebanyak 24,63% dari sebelumnya 23,93% dengan status kepemilikan saham langsung. Tidak disebutkan secara rinci mengenai alasan pembelian saham ini, tetapi hanya untuk tujuan investasi.

Berdasarkan Laporan Tahunan Bukalapak, komposisi pemegang saham Bukalapak per 31 Desember 2021 terdiri dari KMK (23,93%), API (Hong Kong) Investment Limited (13,05%), Archipelago Investment Pte Ltd (9,45%), dan publik (53,58%).

Investasi EMTEK

EMTEK pertama kali berinvestasi di Bukalapak dengan memberikan pendanaan seri B pada Februari 2015. Kala itu Sutanto Hartono yang menjabat sebagai CEO EMTEK mengatakan, alasan akuisisinya terhadap Bukalapak adalah kesamaan visi-misi dengan perusahaan. Bukalapak dinilai dapat mengembangkan ekosistem lokal yang paling kuat.

Adapun saat itu, EMTEK masuk sebagai managing strategic partner dengan memberikan fresh cash money untuk mendukung pengembangan usaha Bukalapak.

Tidak disebutkan nominal investasinya, tetapi berbagai sumber menyebutkan bahwa EMTEK menyuntik Rp439 miliar ke Bukalapak. 
Berdasarkan laporan keuangannya, EMTEK justru telah berinvestasi di Bukalapak sejak 2014 dengan mencaplok sebanyak 459.200 saham atau setara 19,68% kepemilikan saham.

EMTEK melalui KMK beberapa kali melakukan penambahan modal sehingga kepemilikan sahamnnya di Bukalapak sempat naik menjadi 49,08% pada November 2015.

Kinerja keuangan

Berdasarkan kinerja keuangan kuartal I 2022, Bukalapak tercatat meraup laba bersih sebesar Rp14,5 triliun dari periode sama tahun lalu yang merugi hingga Rp323,8 miliar.

Perusahaan marketplace ini juga mengecap laba operasional RP14,42 triliun dari rugi Rp327,9 miliar, utamanya diperoleh dari laba investasi ke PT Allo Bank Tbk (IDX: BBHI). Sementara pendapatannya tumbuh 86% menjadi Rp787,9 miliar yang disokong oleh pertumbuhan lini bisnis Mitra.

Dirinci berdasarkan lini bisnis, Mitra masih menjadi motor pertumbuhan pendapatan Bukalapak dengan kontribusi sebesar Rp471,8 miliar di kuartal pertama 2022 atau tumbuh 227% dari periode sama 2021, yaitu Rp144,3 miliar.

Bisnis Mitra juga masih memimpin kontribusi terhadap total pendapatan dengan porsi 60%, naik dari kontribusinya di kuartal pertama 2021 yang sekitar 34%. Jumlah Mitra Bukalapak melesat dari posisi 6,9 juta per Desember 2020 menjadi 13,1 juta per Maret 2022.

Carro Caplok 50% Saham Perusahaan Sewa Mobil “MPMRent” Senilai 783 Miliar Rupiah

Startup marketplace otomotif Carro mencaplok 50% saham milik PT Mitra Pinasthika Mustika Rent (MPMRent), anak usaha PT Mitra Pinasthika Mustika Tbk (IDX: MPMX) senilai $53,8 juta atau setara 783,8 miliar Rupiah. Melalui kemitraan strategis ini, Carro dan MPMX akan mengembangkan ekosistem otomotif O2O secara end-to-end di Indonesia.

Dalam keterangan resminya, aksi korporasi tersebut disepakati lewat penandatanganan perjanjian jual-beli antara MPMX dengan Trusty Cars Pte Ltd (Carro) pada 31 Mei 2022. Carro akan menggenggam saham MPMRent dengan kepemilikan saham 50% dari jumlah modal ditempatkan dan disetor penuh.

Berdasarkan data sumber yang diperoleh DailySocial.id, MPMX juga ikut menyuntik investasi ke Carro sebesar $25 juta atau sekitar 361,4 miliar Rupiah dalam putaran seri C tahun 2021 lalu.

Group CEO MPMX Suwito Mawarati meyakini kemitraan ini menjadi babak baru yang penting untuk menghadirkan ekosistem otomotif O2O yang terintegrasi, mulai dari marketplace, pembiayaan, sewa kendaraan, layanan perbaikan, hingga purnajual, untuk melayani pasar B2B dan B2C di Indonesia.

Adapun, kemitraan strategis ini disebut dapat terwujud berkat peran perusahaan investasi PT Saratoga Investama Sedaya Tbk selaku pemegang saham induk MPMX. “MPMX dan Saratoga percaya Carro dapat meningkatkan nilai strategis bisnis perusahaan dengan rekam jejak kesuksesan dan pengalaman operasional yang luas di ekosistem otomotif,” ujar Suwito.

Sebagai informasi, MPMX merupakan perusahaan otomotif dan transportasi terkemuka yang didirikan oleh William Soeryadjaya pada 1987. Sementara, Carro merupakan marketplace otomotif yang beroperasi di Asia Tenggara, yakni Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Vietnam.

Pertimbangan strategis

Disampaikan bahwa kemitraan ini menjadi upaya berkelanjutan MPMX untuk mengembangkan nilai (unlocking value) dari bisnis yang sudah berjalan, termasuk berinvestasi pada inovasi dan mengakselerasi transformasi digital perusahaan. Pasalnya, Carro memiliki ekosistem online yang terintegrasi dari pasar mobil, pembiayaan, big data, akses database kendaraan, termasuk teknologi computer vision dan algoritma harga.

Dengan menggandeng Carro, MPMRent dapat memperkuat posisinya sebagai pemimpin pasar persewaan mobil terkemuka di Asia Tenggara, menyediakan akses ke jaringan bengkel, lokasi persewaan dan pelelangan nasional, memiliki basis pelanggan, dan mempertahankan kemampuan operasional yang kuat.

Selain itu, kemitraan ini akan memberikan nilai tambah bagi pelanggan dan dealer untuk membuka akses ke lebih banyak pilihan mobil bekas berkualitas, sedangkan, menghadirkan praktik manajemen dan kontrol kualitas lebih baik, dan meneruskan digitalisasi layanan MPMRent bagi pelanggan B2B.

Co-Founder & CEO Carro Aaron Tan menambahkan, “Kami tetap berkomitmen untuk berinvestasi dan memajukan bisnis kami di Indonesia meskipun situasi makro dan global penuh ketidakpastian. Kami tak sabar bermitra dengan MPMX untuk meningkatkan pertumbuhan dan memberikan pengalaman kepada pelanggan melalui ratusan engineer dan data scientist di grup Carro.”

Aksi serupa

Langkah ini juga ikut menandai semakin ketatnya persaingan platform marketplace untuk memenangkan pasar otomotif Indonesia, seperti Carsome, Carmudi, OLX, dan Moladin.

Sebelumnya aksi serupa di atas telah dilakukan oleh marketplace Carsome tahun lalu dengan berinvestasi pada perusahaan jasa lelang mobil dan motor offline PT Universal Collection (UC). Investasi ini memungkinkan Carsome untuk memperluas jangkauan jaringan, akses ke penyedia keuangan dan leasing, serta berpotensi memasuki pasar sepeda motor.

Ada pula Moladin yang baru pivot untuk fokus pada segmen jual-beli mobil bekas, kini tersedia di lebih dari 115 kota di Indonesia. Moladin memperkuat posisinya dengan strategi pemberdayaan jaringan agen dan platform omnichannel untuk menawarkan pengalaman transaksi mobil yang personalized. Baru-baru ini Moladin dikabarkan mengantongi pendanaan seri B senilai $95 juta atau setara Rp1,4 triliun.

Berdasarkan laporan Ken Research berjudul “Indonesia Used Car Market Outlook to 2025”, penjualan mobil bekas di Tanah Air akan didorong oleh adopsi omnichannel, digitalisasi layanan, dan meningkatnya permintaan di kota-kota tier 2. Platform mobil bekas diprediksi akan lebih fokus pada pengembangan layanan secara end-to-end yang memungkinkan konsumen bertransaksi secara online tanpa harus mengunjungi showroom. 

Maka itu, platform mobil bekas mempertimbangkan penerapan teknologi AI dan 3D untuk menciptakan pengalaman pengguna dalam melakukan penelusuran dan analisis mobil yang lebih baik. Selain itu, banyak dealer multibrand dan independen mulai memasuki pasar mobil bekas online untuk meningkatkan transaksi berbasis digital mereka. 

Application Information Will Show Up Here

Kevin Aluwi Tinggalkan Posisi CEO Gojek, Segera Diangkat Jadi Komisaris GoTo

Co-founder Gojek Kevin Aluwi akan mundur dari posisinya sebagai CEO Gojek dan bertransisi sebagai komisaris PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (IDX: GOTO). Keputusan ini akan efektif usai mendapatkan persetujuan pemegang saham melalui RUPST GoTo pada 28 Juni 2022 mendatang.

Berdasarkan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), peran dan tanggung jawab Kevin Aluwi akan dipegang oleh Andre Soelistyo yang saat ini juga menjabat sebagai CEO GoTo. Andre akan bekerja bersama tim manajemen Gojek untuk menjalankan bisnis on-demand GoTo.

Adapun, Kevin akan menggantikan posisi Caesar Sengupta di jajaran dewan komisaris GoTo. Namun, Caesar masih tetap menjalankan perannya sebagai anggota dewan komisaris di GoTo Financial.

Setelah hampir satu dekade memimpin Gojek, Kevin mengaku ini menjadi momentum yang tepat untuk mengambil peran lebih strategis dan tidak bersinggungan langsung dengan aktivitas operasional sehari-hari.

Ia optimistis dengan masa depan Gojek usai mencatatkan milestone signifikan lewat aksi mergernya dengan Tokopedia dan melantai di BEI sebagai perusahaan terbuka. Ia juga melihat pertumbuhan kinerja GoTo yang mencetak pendapatan kotor sebesar 58% di kuartal I 2022 serta pemulihan di bisnis mobilitas.

“Kami telah berinvestasi signifikan dalam membangun tim manajemen tangguh dengan berbagai latar belakang dan pengalaman, serta membangun nnilai-nilai perusahaan dengan etos kerja tinggi. Saya optimistis tim manajemen Gojek di bawah kepemimpinan Andre yang solid, akan terus menjalankan strategi untuk memperkuat layanan on-demand yang telah menjadikan Gojek bagian penting dari Grup GoTo,” ujarnya dalam keterangan resminya.

Dengan transisi Kevin mendatang, dapat dikatakan kini tidak tersisa lagi Co-founder Gojek dalam jajaran direksi GoTo. Sebagai informasi, Gojek didirikan oleh Nadiem Makarim, Kevin Aluwi, dan Michaelangelo Moran. Nadiem kini menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia, sedangkan Michaelangelo tercatat menjadi LP di sejumlah VC, seperti Intudo Ventures dan Antler.

Pengembangan kendaraan listrik

Kevin akan memperkuat jajaran komisaris GoTo untuk mendukung manajemen dalam mencapai visi dan misi mendorong pengguna dan mitra di ekosistemnya. Salah satunya adalah merealisasikan komitmen perusahaan menuju zero emission pada 2030 melalui pengembangan kendaraan listrik di Gojek.

Tak hanya itu, Kevin juga akan didapuk masuk ke jajaran anggota dewan komisaris Electrum, perusahaan patungan Gojek dan TBS Energi Utama yang fokus terhadap pembangunan ekosistem kendaraan listrik roda dua terintegrasi dan holistik di Indonesia.

Dalam pemberitaan sebelumnya, Gojek dan TBS akan mengembangkan usaha bisnis dalam bidang manufaktur kendaraan listrik roda dua, teknologi pengemasan baterai, infrastruktur penukaran baterai, hingga pembiayaan untuk memiliki kendaraan listrik.

Lebih lanjut, dengan posisi barunya nanti, Kevin juga akan memiliki lebih banyak waktu luang untuk menyalurkan minat di bidang teknologi. Beberapa area yang ia minati dan akan dieksplorasi lebih dalam adalah web3, gaming, dan climate tech.

Selain perubahan susunan dewan komisaris dan direksi GoTo, RUPST ini juga membahas agenda penggunaan dana hasil IPO dan rencana penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dulu atau private placement.

Application Information Will Show Up Here

Mangkokku Bags 101 Billion Rupiah Series A Funding Led by Alpha JWC and Emtek

Mangkokku culinary startup received series A funding of $7 million or around 101 billion Rupiah led by Alpha JWC Ventures and EMTEK, followed by Cakra Ventures. Through this funding, the company will expand physical outlets and build a culinary brand ecosystem to become the largest F&B group of companies in Indonesia.

On a general note, Mangkokku had recently secured a $2 million seed funding from Alpha JWC Ventures, or around 29 billion Rupiah in 2020.

In his official statement, Mangkokku’s Co-founder & CEO, Randy Kartadinata said, the company has achieved product-market fit and has a loyal customer base with ricebowl as a first product. Mangkokku will be taking the next step by launching a holding company “Nusantara Culinary Group” to offer more menu variations and taste preferences to consumers.

“Mangkokku is ready to become the largest F&B group of companies in Indonesia that targets the mass market with a complete ecosystem of culinary brands,” Randy said.

Meanwhile, Alpha JWC Ventures’ Co-founder and General Partner, Jefrey Joey added, “Mangkokku continues to reach new milestones since last year’s first investment. Mangkokku’s strong fundamentals with innovation and sustainable R&D allow them to consistently launch new products, including contemporary and Indonesian dishes with the highest quality chef standards. We are excited to take this partnership further.”

Mangkokku was founded by Randy Kartadinata, Arnold Poernomo, Gibran Rakabuming, and Kaesang Pangarep which offers quality culinary products like professional chefs and can be enjoyed by anyone. The company aims to be the go-to comfort food choice made with local flavors so that it is familiar to the tongue of the Indonesian people.

Post-pandemic strategy

Based on internal data, Mangkokku has claimed growth in sales and the number of outlets. Currently, Mangkokku has 50 outlets spread across Jakarta, Surabaya, Bandung, Malang, Semarang, and Solo. Mangkokku also said that it has served four million orders in a year both online and offline.

As the Covid-19 pandemic situation started to recede, Randy revealed that he would continue to expand his physical outlets. In the next few months, Mangkokku will open more flagship restaurants and cloud kitchens in new cities. His team will collaborate more, like its previous initiatives with the judges and winners of MasterChef Indonesia and Garena’s Free Fire.

Moreover, his team will continue to prioritize purchases through online channels. In order to enhance the ordering experience, Mangkokku is to launch an app by the third quarter of this year.

“Mangkokku will strengthen its presence, both online and offline through new outlets, flagship dine-in restaurants with outstanding customer experiences, mobile applications, and most importantly exclusive dine-in restaurants to accommodate various types of food preferences. We aim to be an all-rounder new culinary retail company,” he explained.

Recently, Mangkokku launched its first flagship outlet located in Jakarta, which comes with a modern, cozy concept, accompanied by a special dine-in menu. It claims to have received thousands of customers in the first four weeks of its opening.

“With discipline, customer-focused strategy, thoroughness, and maintaining the quality of our operations, Mangkokku will become a sustainable business in the long term.” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mangkokku Dapat Pendanaan Seri A 101 Miliar Rupiah Dipimpin Alpha JWC dan EMTEK

Startup kuliner Mangkokku mendapatkan pendanaan seri A sebesar $7 juta atau sekitar 101 miliar Rupiah yang dipimpin oleh Alpha JWC Ventures dan EMTEK, serta partisipasi dari Cakra Ventures. Melalui pendanaan ini, Mangkokku akan menambah jumlah outlet fisik dan membangun ekosistem brand kuliner untuk menjadi grup perusahaan F&B terbesar di Indonesia.

Sebagai informasi, sebelumnya Mangkokku telah mengantongi investasi tahap awal dari Alpha JWC Ventures sebesar $2 juta atau sekitar 29 miliar Rupiah di 2020.

Dalam keterangan resminya, Co-founder & CEO Mangkokku Randy Kartadinata mengatakan, perusahaan telah mencapai product-market fit dan memiliki basis pelanggan loyal dengan produk ricebowl sebagai starting point. Kini Mangkokku siap mengambil langkah selanjutnya dengan meluncurkan perusahaan holding “Nusantara Culinary Group” untuk membawa lebih banyak variasi menu dan preferensi selera kepada konsumen.

“Mangkokku siap untuk menjadi grup perusahaan F&B terbesar di Indonesia yang membidik mass market dan memiliki ekosistem dengan rangkaian brand kuliner,” ungkap Randy.

Sementara, Co-founder dan General Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joey menambahkan, “Mangkokku terus mencapai milestone baru sejak investasi pertama kami tahun lalu. Fundamental kuat Mangkokku dengan inovasi dan R&D berkelanjutan memungkinkan mereka meluncurkan produk baru secara konsisten, yakni kontemporer dan hidangan khas Indonesia dengan kualitas standar chef terbaik. Kami bersemangat melanjutkan kemitraan ini ke evolusi berikutnya.”

Mangkokku didirikan oleh Randy Kartadinata, Arnold Poernomo, Gibran Rakabuming, dan Kaesang Pangarep yang menawarkan produk kuliner berkualitas ala koki profesional dan dapat dinikmati siapa pun. Perusahaan membidik posisi sebagai pilihan go-to comfort food yang dibuat dengan rasa lokal sehingga familiar bagi lidah masyarakat Indonesia.

Rencana pasca-pandemi

Berdasarkan data internal, Mangkokku telah mencatat pertumbuhan penjualan dan jumlah outlet masing-masing 6x lipat dan 3x lipat. Saat ini Mangkokku punya 50 outlet yang tersebar di Jakarta, Surabaya, Bandung, Malang, Semarang, dan Solo. Mangkokku juga menyebut telah mengantongi empat juta pesanan dalam setahun via online dan offline.

Dengan situasi pandemi Covid-19 yang mulai surut, Randy mengungkap akan kembali melanjutkan ekspansi outlet fisiknya. Dalam beberapa bulan ke depan, Mangkokku akan membuka lebih banyak restoran flagship dan cloud kitchen di kota-kota baru. Pihaknya juga akan menambah kolaborasi Mangkokku, seperti yang sudah dilakukan sebelumnya dengan juri dan pemenang MasterChef Indonesia hingga Free Fire milik Garena.

Kendati begitu, pihaknya akan tetap memprioritaskan pembelian melalui kanal online. Untuk meningkatkan pengalaman pemesanan, Mangkokku akan meluncurkan aplikasi pada kuartal ketiga tahun ini.

“Mangkokku akan memperkuat kehadirannya, baik online maupun offline melalui outlet baru, restoran dine-in flagship dengan customer experience luar biasa, aplikasi mobile, dan yang terpenting restoran dine-in eksklusif untuk mengakomodasi berbagai jenis preferensi makanan. Kami membidik menjadi all-rounder new culinary retail company,” jelasnya.

Baru-baru ini, Mangkokku meluncurkan outlet flagship pertama yang berlokasi di Jakarta, hadir dengan konsep modern, cozy, dan disertai menu dine-in spesial. Pihaknya mengaku mendapat ribuan pelanggan dalam empat minggu pertama pembukaannya.

“Dengan kedisiplinan, strategi yang berfokus pada konsumen, ketelitian, dan menjaga kualitas operasional kami, Mangkokku akan menjadi sustainable business dalam jangka panjang.” Tutupnya.

Paylater Makin Diminati Konsumen untuk Belanja Online

Pesatnya perkembangan e-commerce ikut membawa pertumbuhan signifikan pada ekosistem pembayaran digital di Indonesia. Karena platform yang dihadirkan dapat berperan signifikan untuk mempermudah transaksi dengan beragam metode pembayaran digital.

Setelah era dompet digital, kini penggunaan paylater semakin dilirik konsumen saat bertransaksi di platform e-commerce. Berdasarkan laporan terbaru Kredivo bertajuk “Perilaku Konsumen E-commerce Indonesia” per Juni 2022, paylater (17%) menjadi metode pembayaran digital yang paling sering digunakan setelah e-wallet (53%) dan transfer bank/virtual account (20%).

Laporan ini juga mencatat pengguna paylater di platform e-commerce meningkat menjadi 38% di 2022 dibandingkan tahun lalu yang sekitar 28%. Adapun survei ini dilakukan pada Maret 2022 pada 3500 responden di seluruh Indonesia.

Dalam temuannya, responden menggunakan paylater karena sejumlah alasan, utamanya untuk membeli kebutuhan mendadak/mendesak (58%), belanja dengan cicilan jangka pendek atau kurang dari satu tahun (52%), dan mendapatkan lebih banyak promo menarik (45%).

Kendati begitu, sebagian responden belum tertarik menggunakan paylater karena alasan utama tidak ingin menambah utang (43%), takut boros (35%), dan takut dengan denda apabila telat melakukan pembayaran tagihan (30%).

“Sebagian konsumen memiliki kekhawatiran dalam mengelola keuangan mereka. Di sini penyedia paylater punya peran untuk membuat strategi pemasaran yang dapat mendorong awareness terhadap pemanfaatan paylater secara bijak. Dengan begitu, mereka dapat mengelola pengeluarannya,” demikian tertulis dalam laporan.

Perilaku konsumen paylater

Dilihat dari perilaku penggunaan, sebanyak 70% responden menyebut fleksibilitas pembayaran sebagai pertimbangan utama memilih paylater, tenor cicilan bervariasi (53%), dapat dipakai di banyak platform e-commerce (49%), dan limit pinjaman yang diberikan besar (35%).

Frekuensi penggunaan paylater selama pandemi / Sumber: Laporan “Perilaku Konsumen E-commerce Indonesia”

Berdasarkan kategori transaksi, sebesar 90% responden menggunakan paylater untuk berbelanja online, 50% untuk membeli paket data internet, dan 49% untuk tagihan bulanan.

Limit paylater (dalam Rupiah) / Sumber: Laporan “Perilaku Konsumen E-commerce Indonesia”

Adapun, hampir 60% pengguna paylater menghabiskan dana kurang dari Rp500 ribu per bulan saat berbelanja online di sepanjang 2022. Rata-rata responden menghabiskan kurang dari Rp250 ribu (29%), Rp250 ribu-Rp500 ribu (28%), Rp500 ribu-Rp1 juta (24%), dan di atas Rp1 juta (19%) untuk bertransaksi dengan paylater.

Potensi paylater

Menurut Global Payments Report yang diterbitkan FIS, perusahaan software fintech berbasis di AS, paylater menyumbang 2,9% dari total transaksi e-commerce global di 2021 dan diproyeksi naik menjadi 5,3% di 2025.

Data tersebut menunjukkan potensi besar paylater sebagai salah satu metode pembayaran digital pilihan konsumen dalam skala global. Hal ini diperkuat juga oleh laporan IDC tentang “How Southeast Asia Buys and Pays: Driving New Business Value for Merchants” yang menunjukkan penggunaan paylater pada transaksi e-commerce di 2020 mencapai $530 juta.

Penilaian responden terkait paylater / Sumber: Laporan “Perilaku Konsumen E-commerce Indonesia”

Angka tersebut setara dengan 58% dari total penggunaan paylater di platform e-commerce di Asia tenggara yang sebesar $910 juta pada 2020. IDC memperkirakan nilai penggunaan paylater pada di e-commerce pada kawasan ini mencapai $8,84 miliar pada 2025 atau melambung 8,8 kali dibanding 2020.

Sementara, mengutip laporan e-Conomy SEA 2021, paylater menjadi salah satu opsi untuk meningkatkan akses keuangan mengingat penetrasi kartu kredit di Indonesia masih sangat rendah. Terlebih, paylater menawarkan kemudahan akses dan cara penggunaan karena produknya sudah banyak terintegrasi dalam proses check-out di platform e-commerce.

Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai e-commerce dan keuangan digital berperan signifikan dalam mendorong penetrasi layanan digital lebih luas di Indonesia. Apabila tren positif ini terus berlanjut, ia meyakini pemerataan ekonomi dapat terealisasi lebih cepat dengan dukungan ekosistem digital.