Sepanjang 2020 Unicorn Indonesia Dominasi Perolehan Pendanaan di Asia Tenggara

Cento Ventures baru saja merilis laporan terbaru terkait lanskap investasi sektor teknologi di kawasan Asia Tenggara pada 2020. Dalam laporan bertajuk Southeast Asia Tech Investment 2020, total pendanaan startup di Asia Tenggara tercatat mencapai $8,2 miliar atau sebesar Rp118,8 triliun.

Nilai investasi startup di Asia tenggara dilaporkan turun 3% dibandingkan 2019. Demikian juga jumlah kesepakatan (deal) investasi merosot 8% di periode yang sama. Dari total investasi tersebut, hampir 50% dari total pendanaan di Asia tenggara masuk ke kantong startup raksasa, antara lain Grab, Gojek, Gopay, Bukalapak, dan Traveloka.

Laporan ini juga menyoroti tren pendanaan startup dengan ticket size $50-100 juta dengan total akumulasi hingga $1,1 miliar (Rp15 triliun) atau naik 26% dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara, pendanaan startup dengan ticket size $10-50 juta turun 17% menjadi $1,5 miliar atau Rp21 triliun di 2020.

Menurut pemaparan Investment Associate Cento Ventures Laphat Tantiphipop, kesepakatan investasi yang diterima startup raksasa (mega deals) biasanya mendominasi total akumulasi pendanaan. “Namun, perlu dicatat bahwa smaller deals dapat menjadi satu indikator terhadap ekosistem startup yang lebih baik,” ucapnya.

Lebih lanjut, Indonesia tercatat sebagai penerima investasi paling besar dengan porsi dua pertiga terhadap total pendanaan di Asia Tenggara. Utamanya ini dipicu oleh investasi ke Gojek dan sejumlah deal besar lain, seperti Bukalapak, Kopi Kenangan, Waresix, dan LinkAja.

Tren kenaikan investasi juga terjadi di sejumlah negara, yaitu Malaysia, Thailand, dan Filipina. Sementara, Vietnam justru mengalami penurunan signifikan di 2020 karena sejumlah startup later stage di sana sudah menutup putaran pendanaan dengan nilai besar di 2019.

Sebagai catatan, data ini mengecualikan pendanaan yang diterima grup besar di kawasan tersebut, yaitu Grab, Sea Group, dan Lazada, untuk menghindari bias tren investasi di negara tertentu.

Dari sisi vertikal bisnis, laporan ini juga menemukan bahwa fintech menjadi sektor yang paling banyak memperoleh kesepakatan investasi di Indonesia atau sekitar 51% dibandingkan negara lainnya.

Asia Tenggara paling resilient

Jika dibanding negara-negara besar lain, pasar di Asia Tenggara mengalami dampak fluktuatif paling rendah dalam hal investasi. Partner di Cento Ventures Mark Suckling mengatakan volume investasi di kawasan ini memang menurun, tetapi tidak terlalu signifikan.

Berbeda dengan sejumlah negara lain di luar kawasan ini yang mengalami penurunan tajam, baik dari volume maupun jumlah deal investasi. Asia Tenggara mencatat penurunan volume investasi dan jumlah deal masing-masing 3% dan 8%.

Penurunan ini masih lebih baik daripada Tiongkok yang volume investasinya naik 6%, tetapi deal-nya turun 20%. Sebaliknya, deal investasi di India naik 3%, tetapi volumenya terjun ke 31%.

Tren “exit

Dalam laporannya, Cento mencatat jumlah aksi exit di 2020 tidak jauh berbeda dengan pencapaian di 2018, yaitu dengan nilai di bawah $1 miliar. Menurut Cento, tren ini dinilai wajar mengingat sejumlah rencana exit potensial bernilai besar terpaksa ditunda akibat pandemi. Kebijakan travel restriction menyulitkan proses due dilligence sejumlah rencana exit.

Hal ini salah satunya tercermin dari upaya liquidity dan proceeds untuk nilai $50-100 juta yang turun dari 6 aksi ($404 juta) di 2019 menjadi 3 ($221 juta) di 2020. Yang cukup signifikan adalah upaya liquidity dan proceeds untuk nilai di atas $100 juta merosot dari 5 aksi ($2,09 miliar) di 2019 menjadi 1 aksi ($176 juta) di 2020.

Di Indonesia, strategi exit di sepanjang 2020 cukup banyak terjadi. Mengacu Startup Report 2020 oleh DailySocial, terdapat 13 aksi korporasi melalui skema merger and acquisitions (M&A). Salah satunya adalah akuisisi startup SaaS Moka oleh Gojek pada April 2020. Selain itu, laporan ini juga mencatat dua IPO yang dilakukan oleh startup Indonesia, yakni Pigijo dan Cashlez masing-masing dengan nilai kapitalisasi pasar sebesar Rp17,57 miliar dan Rp400,71 miliar.

Beberapa startup unicorn telah memberikan sinyal untuk melakukan IPO, seperti Gojek, Tokopedia, dan Bukalapak. Demikian juga kabar aksi merger yang akan dilakukan Gojek dan Tokopedia di mana keduanya dikabarkan telah melakukan perjanjian jual beli saham bersyarat (conditional sales purchase agreement/CSPA).

Gambar Header: Depositphotos.com

Bank Jago Aims for Ecosystem Collaboration to Accelerate Growth

The public is currently waiting for the commercialization of mobile banking PT Bank Jago Tbk (ARTO) to be launched in late March. Quoting Bloomberg, this application will offer some financial services, including loans. This service will be available in the Gojek application, therefore, millions of users can open accounts and manage their finances automatically.

When announcing Gojek’s arrival as a shareholder, Bank Jago emphasized its vision to connect financial and lifestyle solutions into one platform. Gradually, this vision has begun to be reflected in Bank Jago’s efforts to embrace digital platforms from various business verticals to enter its ecosystem.

Prior to Gojek, Bank Jago had collaborated with Akulaku to launch digital-based financing in November 2020. Another partnership followed, such as Smart Credit and Akseleran. This number will continue to grow from other business verticals, including e-commerce retailers, travel, entertainment, and insurance.

By embracing ecosystem partners, Bank Jago is showing a full picture in building a digital bank. This is also reinforced by the statement of senior banker and founder of Bank Jago, Jerry Ng, who highlighted collaboration as one of the keys to the development of a digital bank.

Organic vs Collaboration

In the 2021 Indonesia Data and Economic Conference session by Katadata, Jerry said that it would be difficult for banks to grow if they did not have a unique business model. Especially in the digital era, all services will eventually collaborate with other lines. One of the goals is to accommodate the emergence of a new digital literate generation. Unlike the situation 5-10 years ago, there was no digital service ecosystem such as Gojek, Tokopedia, and Traveloka.

Jerry said this collaboration can be a key strategy to accelerate the growth of the digital bank business. For instance, digital banks in China and South Korea are oriented towards ecosystem collaboration, therefore, they can pursue growth through products with a wider spectrum.

This has proven Bank Jago’s various strategic partnership actions of several verticals since 2020. Also, he said this model is different from digital banks in Europe and the United States which focus on developing life-centric services.

“We have to create a unique value proposition. What we are doing is combining the two as they both have advantages. The bank is no longer the center of the ecosystem, but it is part of the ecosystem made by consumers, in the end it is all about payment,” Jerry said.

This strategy is different from Jenius, he said, which is oriented towards organic development. Therefore, he rejects the notion that Bank Jago is a continuation of Jenius development. This assumption is often carried away as he used to be the President Director of BTPN, and also the brains behind Jenius development.

Looking at the competitive map, it seems that Bank Jago is the one which aggressively expanding its collaboration partners. However, this strategy is up for other banks that have transformed digitally. For example, the Bank Neo Commerce (BNC). In addition to Akulaku’s entry as a shareholder, BNC also collaborates with the fintech platform Crowdo for SME financing.

Challenges of tech-based bank

In terms of technology, Bank Jago claims that all of its service infrastructures is digital-based. Even Jerry dared to claim to be the first tech-based bank in the region. In becoming a digital bank, Jerry admitted to have several criteria in selecting a bank.

Bank Artos (before Bank Jago) was considered to meet the criteria as it did not have a legacy and only had few human resources. Based on the condition, his team can develop technology from scratch. This criteria indeed will fail if they use bank with big legacy. For example, a bank with thousands of branch offices.

“We consider Bank Artos fit as it is yet to develop the technology with only few human resources. In the case of Covid-19, all banks considered digitalization. We [Artos Bank] have no problem because the balance sheet is small. This makes it easier for us to make strategic decisions and the Bank Artos fit the criteria,” he explained.

He considered post-pandemic conditions could make the banking industry in Indonesia aware, banks have built too many branch offices. “Branches is not really necessary. I closed 600 branches once and it was not easy. Hence, changing the existing technology will be more difficult,” he added.

The above hypothesis is relevant as its competitor used the same strategy, acquiring BUKU I and II as Sea Group, the parent company of Shopee did with Bank Kesejahteraan Ekonomi and Akulaku towards BNC (formerly Bank Yudha Bhakti).

With a collaboration-based business model, Jerry said that the challenges are quite difficult in harmonizing visions. Moreover, the collaboration partners are digital platforms from various business verticals that bring their respective technologies or innovations.

“Banks are synonymous with slow processes, strong bureaucracy, and always refer to risk management or compliance. Meanwhile, startups innovate quickly and as in a hurry. However, we learn a lot to solve problems and get the latest technology. It has to be at the expense of carelessness, we can achieve both. To date, we feel pretty good doing it at Jago Bank.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Flokq Akuisisi Yukstay, Perkuat Posisi di Pasar “Co-living” Indonesia

Flokq resmi mengumumkan akuisisinya terhadap Yukstay, penyedia layanan marketplace untuk penyewaan apartemen dan indekos dengan nilai yang tidak disebutkan. Dalam keterangan resmi kepada DailySocial, CEO Flokq Anand Janardhanan mengungkap, akuisisi ini akan memperkuat posisinya di pasar co-living Indonesia serta mengakselerasi pertumbuhannya bisnis ke depan.

Menurut Anand, Yukstay telah memiliki kapabilitas teknologi lebih lanjut yang memungkinkan Flokq untuk memperluas segmen bisnisnya dari penyedia co-living menjadi tech-driven property management company. Kesepakatan akuisisi ini dinilai strategis mengingat pasar penyewaan ruang jangka panjang di Asia Tenggara diestimasi mencapai $180 miliar.

“Kami ingin meningkatkan basis pengguna kami di Indonesia, dan tak hanya dari layanan co-living saja. Kami ingin memperluas produk kami dengan menjadi full long term rental market platform hingga ke pasar Asia Tenggara dalam dua tahun ke depan. Dengan teknologi Yukstay, kami dapat memulai journey kami lebih cepat,” ujarnya.

Sekadar informasi, Flokq didirikan oleh Anand Janardhanan dan Harmeet Singh pada 2019 dengan pengalaman selama satu dekade membangun startup dan perusahaan global, seperti Microsoft. Saat ini Flokq telah menyewakan lebih dari 1.000 unit hunian di segmen mid to high di Indonesia dengan rerata tingkat okupansi di atas 95%, Average Room Rate (ARR) berkisar beberapa juta dolar AS, dan cash flow positif.

Sementara, Yukstay merupakan startup penyedia co-living pertama di Indonesia yang berfokus pada hunian apartemen di Jakarta dan Surabaya. Sejak berdiri di 2018, Yukstay telah menerima sejumlah investasi, termasuk dari Y Combinator, Insignia Ventures, Skystar Capital, Tanglin Venture Partners, dan K3 Ventures.

Co-founder & CEO Yukstay Christoper Kung menambahkan bahwa selama 18 bulan terakhir ini, pihaknya telah membangun sebuah platform yang dapat menyederhanakan rantai suplai di pasar real estate. Berbekal teknologi dan data yang dimiliknya, mitra agen Yukstay dapat melakukan transaksi lebih baik. Demikian juga dengan pengembangan customer experience dan pengelolaan properti.

“Bergabungnya Yukstay dengan Flokq akan mempercepat operating model yang sudah ada sebelumnya sehingga dapat mengakomodasi kebutuhan housing yang terus meningkat,” tutur Christoper.

Permintaan hunian co-living di masa pandemi

Anand mengakui permintaan co-living sempat turun drastis akibat pandemi. Kendati demikian, ia meyakini tren pasar hunian akan kembali meningkat tahun ini, sejalan dengan semakin banyaknya kalangan profesional yang melakukan Work From Home (WFH) di Indonesia.

Menurutnya, tren kenaikan ini akan dipicu oleh fleksibilitas persyaratan sewa yang ditawarkan oleh pemilik hunian di situasi pasar yang masih tidak pasti. Dengan keleluasaan ini, hunian co-living dapat menjadi pilihan alternatif jangka panjang yang menarik selain indekos. Pasar co-living bagi kaum milenial di Jakarta kini diestimasi bernilai $2,1 miliar, sedangkan di kawasan Asia Tenggara nilainya diperkirakan mencapai $15,6 miliar.

Di Indonesia, proptech termasuk salah satu vertikal bisnis yang terus bertumbuh selama beberapa tahun terakhir. Jumlah pemainnya mulai menjamur dengan menawarkan berbagai model bisnis, seperti listing properti hingga sewa hunian dengan konsep co-living. 

Kendati demikian, sepanjang 2020 pertumbuhan proptech tidak sekencang vertikal lain, seperti e-commerce, edtech, dan fintech. Pembatasan sosial akibat pandemi memicu penurunan permintaan properti, baik itu pembelian rumah atau sewa apartemen dan hotel. Salah satu dampak signifikan akibat pandemi ini adalah penutupan platform jaringan hotel dan penginapan Airy Rooms.

Dari sisi investasi, mengacu Startup Report 2020, hanya dua startup proptech Indonesia yang menerima pendanaan, yakni Jendela 360 dan Yukstay. Di periode itu, grup portal properti Emerging Markets Property Group (EMPG) mengakuisisi Lamudi Global, termasuk untuk Lamudi di Indonesia, Filipina, dan Meksiko. Dengan ketidakpastian situasi–meski vaksin kini sudah mulai didistribusikan–potensi merger dan akuisisi proptech bisa kembali terjadi di 2021.

Bank Jago Berkiblat pada Kolaborasi Ekosistem untuk Akselerasi Pertumbuhan

Saat ini, publik tengah menanti komersialisasi mobile banking PT Bank Jago Tbk (ARTO) yang ditargetkan meluncur akhir Maret ini. Mengutip Bloomberg, aplikasi ini akan menawarkan sejumlah layanan keuangan, termasuk pinjaman. Layanan ini juga akan hadir di aplikasi Gojek, sehingga puluhan juta pengguna bisa otomatis membuka rekening dan mengelola keuangannya.

Saat mengumumkan masuknya Gojek sebagai pemegang saham, Bank Jago sempat menekankan visinya untuk menghubungkan solusi keuangan dan gaya hidup ke dalam satu platform. Secara bertahap, visi ini mulai tercermin dari upaya Bank Jago merangkul platform digital dari berbagai vertikal bisnis agar masuk ke dalam ekosistemnya.

Sebelum Gojek, Bank Jago telah berkolaborasi dengan Akulaku untuk menghadirkan pembiayaan berbasis digital pada November 2020. Kemudian menyusul kemitraan strategis lainnya, seperti Kredit Pintar dan Akseleran. Jumlah ini tentu akan terus bertambah dari vertikal bisnis lainnya, antara lain e-commerce retailer, travel, entertainment, hingga asuransi.

Dengan merangkul mitra ekosistem satu demi satu, Bank Jago semakin memperlihatkan full picture dalam membangun bank digital. Hal ini turut diperkuat dari pernyataan bankir senior sekaligus pendiri Bank Jago Jerry Ng yang menyoroti kolaborasi sebagai salah satu kunci pengembangan bank digital.

Organik versus kolaborasi

Dalam sesi Indonesia Data and Economic Conference 2021 oleh Katadata, Jerry menilai perbankan akan sulit bertumbuh apabila tidak memiliki model bisnis yang unik. Apalagi di era digital, semua layanan pada akhirnya saling berkolaborasi. Salah satu tujuannya adalah mengakomodasi kemunculan generasi baru yang melek digital. Berbeda dengan situasi di 5-10 tahun lalu, saat itu belum ada ekosistem layanan digital seperti Gojek, Tokopedia, dan Traveloka.

Menurut Jerry, kolaborasi tersebut dapat menjadi strategi kunci untuk mengakselerasi pertumbuhan bisnis bank digital. Ia mencontohkan, bank digital di Tiongkok dan Korea Selatan berkiblat pada kolaborasi ekosistem sehingga dapat mengejar pertumbuhan melalui produk dengan spektrum yang lebih luas.

Ini turut menjawab berbagai aksi kemitraan strategis dari berbagai vertikal yang dilakukan Bank Jago sejak 2020. Di sisi lain, model ini menurutnya berbeda dengan bank digital di Eropa dan Amerika Serikat yang fokus pada pengembangan layanan bersifat life centric.

We have to create unique value proposition. Yang kami lakukan adalah mengombinasikan keduanya karena sama-sama punya keunggulan. Bank is no longer the centre of ecosystem, tetapi bagian dari ekosistem. Jika menempatkan diri dengan tepat, kita akan punya peranan strategis karena apapun yang dilakukan konsumen, ujung-ujungnya adalah pembayaran,” ungkap Jerry.

Strategi ini menurutnya berbeda dengan Jenius yang berkiblat pada pengembangan organik. Maka itu, ia menampik anggapan bahwa Bank Jago adalah kelanjutan pengembangan dari Jenius. Anggapan ini kerap terbawa mengingat Jerry sebelumnya merupakan Presiden Direktur BTPN, yang juga merupakan otak di balik pengembangan Jenius.

Jika melihat peta persaingannya, saat ini tampaknya baru Bank Jago yang agresif memperbanyak mitra kolaborasi. Namun, strategi ini juga dapat dilakukan oleh bank-bank lain yang baru bertransformasi digital. Misalnya, Bank Neo Commerce (BNC). Selain masuknya Akulaku sebagai pemegang saham, BNC juga berkolaborasi dengan platform fintech Crowdo untuk pembiayaan UKM.

Tantangan menjadi tech-based bank

Dari sisi teknologi, Bank Jago mengklaim bahwa seluruh infrastruktur layanannya berbasis digital. Bahkan Jerry berani mengklaim sebagai tech-based bank pertama di regional. Untuk menjadi bank digital, Jerry mengaku menggunakan beberapa kriteria dalam pemilihan bank.

Bank Artos (sebelum berganti nama menjadi Bank Jago) dinilai memenuhi kriteria saat itu karena tidak memiliki legacy dan SDM-nya sedikit. Dengan kondisi itu, pihaknya dapat leluasa mengembangkan teknologi dari scratch. Tentu kriteria ini akan patah apabila yang dicaplok adalah bank-bank besar dengan legacy lama. Misalnya, bank yang sudah memiliki ribuan kantor cabang.

“Kami lihat Bank Artos belum memiliki teknologi dan SDM-nya sedikit. Kalau kasusnya saat Covid-19, semua bank bicara digitalisasi. Kami [Bank Artos] tidak ada masalah karena balance sheet-nya kecil. Ini memudahkan kami untuk membuat strategic decision dan Bank Artos memenuhi kriteria yang kami cari,” paparnya.

Ia menilai, kondisi pasca-pandemi nanti dapat membuka mata industri perbankan di Indonesia bahwa selama ini bank terlalu banyak membangun kantor cabang. “Kebutuhan cabang itu tidak perlu. Saya pernah tutup 600 cabang dan itu tidak mudah. Makanya, mengubah teknologi yang sudah ada itu akan lebih sulit,” tambahnya.

Hipotesis di atas menjadi relevan karena dilakukan oleh kompetitor, yakni mencaplok bank BUKU I dan II sebagaimana dilakukan Sea Group, induk usaha Shopee, terhadap Bank Kesejahteraan Ekonomi dan Akulaku terhadap BNC (sebelumnya Bank Yudha Bhakti).

Dengan memilih model bisnis berbasis kolaborasi, Jerry mengungkapkan bahwa tantangannya cukup sulit dalam menyamakan visi. Apalagi, mitra kolaborasinya merupakan platform digital dari berbagai vertikal bisnis yang membawa teknologi atau inovasi masing-masing.

“Bank itu identik dengan proses lambat, birokrasi kuat, dan selalu mengacu pada risk management atau compliance. Sementara, startup itu berinovasi dengan cepat dan seperti tergesa-gesa. Tapi, kami banyak belajar solve problem dan mendapat teknologi baru mereka. Inovasi dan speed tidak harus di expense of ceroboh, we can achieve both. Sejauh ini, kami merasa cukup baik melakukannya di Bank Jago.”

Init-6 Pours 72 Billion Rupiah Seed Funding to IDCloudHost

A Venture Capital founded by Bukalapak’s co-founder Achmad Zaky, Init-6, has just announced its latest investment of $5 million or around Rp72 billion to IDCloudHost, a local cloud service provider and data center.

In a virtual media presentation, Zaky revealed that IDCloudHost is his 11th portfolio after the venture capital was founded in April 2020.

“Since founded a year ago, we have observed around three thousand [startup] companies in Indonesia. We invested in IDCloudHost as we saw the cloud market grows rapidly. The products they offer are suitable for expanding into the Southeast Asian market,” he said.

Moreover, SME digitalization has increased rapidly during the Covid-19 pandemic, therefore, it is the right momentum for the cloud business. IDCloudHost is also targeting the SME market which is the pillar of the Indonesian economy.

On a general note, Init-6 was founded after Zaky resigned from his position as CEO of Bukalapak. Apart from Zaky, Bukalapak’s Co-Founder Nugroho Herucahyono also joined as a Partner at Init-6 after leaving his position as CTO. Init-6 is aiming for investment in the early stage, with Eduka edtech platform as its first portfolio.

Expand to Southeast Asia

This is IDCloudHost’s first funding during its five years of operation. Previously, companies relied on bootstrapping to grow their business.

IDCloudHost’s CEO, Alfian Pamungkas Sakawiguna revealed, this funding will be used for market expansion to Southeast Asia this year. With this target, his team is targeting one million users of its service next year.

Currently, IDCloudHost has served around 100 thousand customers, 350 thousand requests, and planted 5 data centers in Indonesia.

“We will continue to increase data center capacity in line with our expansion to Southeast Asia. We already have a data center in Singapore. In the future, we hope there will be an increase of up to ten times as much for SMEs using the cloud,” he said.

The local cloud computing-based web hosting market is quite competitive. Apart from IDCloudHost, there are dozens of other providers, for example in the micro-medium segment there are Niagahoster, IDWebHost, Masterweb, Exabytes, and so on. Meanwhile, in the upper-medium segment, there are players such as Biznet Gio, Telkom Sigma, and others.

Nevertheless, there are global players starting to mature businesses and build data centers in Indonesia, such as Amazon Web Services, Alibaba Cloud, and Microsoft Azure. In addition to the reliability and affordability, the value proposition of each service provider should be a priority in business strategy to be able to attract wider market interest.

Init-6 investment target in 2021

Furthermore, Zaky revealed that his team will continue to add new portfolios with a bottom-up approach this year. There is no specific target, but Init-6 remains committed to entering some business verticals, such as cloud, edtech, and fintech.

“Last year, we targeted [closing] 20 portfolios, but reached only ten. In fact, the investment cannot be forced, it may be because the pandemic started last year. This year, there could be more as we are getting more agnostic. There are many interesting sectors, fintech for example. Even though we are yet to score a portfolio, I think the future is good.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Init-6 Beri Pendanaan Awal 72 Miliar Rupiah ke IDCloudHost

Perusahaan investasi yang didirikan Co-founder Bukalapak Achmad Zaky, Init-6, baru saja mengumumkan pendanaan terbarunya sebesar $5 juta atau sekitar Rp72 miliar kepada IDCloudHost, penyedia layanan cloud dan data center lokal.

Dalam paparan virtual kepada media, Zaky mengungkap bahwa IDCloudHost merupakan portofolionya ke-11 setelah perusahaan modal ventura tersebut berdiri pada April 2020.

“Sejak berdiri setahun lalu, kami telah mengobservasi sebanyak tiga ribu perusahaan [startup] di Indonesia. Kami berinvestasi di IDCloudHost karena melihat pasar cloud tengah berkembang pesat. Produk yang mereka tawarkan juga cocok untuk diperluas ke pasar Asia Tenggara,” ujarnya.

Terlebih, digitalisasi UKM meningkat pesat selama masa pandemi Covid-19 sehingga saat ini menjadi momentum tepat untuk mendorong penggunaan cloud. IDCloudHost juga membidik segmen pasar UKM yang saat ini masih menjadi penopang perekonomian di Indonesia.

Sekadar informasi, Init-6 berdiri usai Zaky mundur dari posisinya sebagai CEO Bukalapak. Selain Zaky, Co-Founder Bukalapak Nugroho Herucahyono juga bergabung menjadi Partner di Init-6 setelah melepaskan posisinya sebagai CTO. Init-6 membidik investasi di early stage, di mana platform edtech Eduka menjadi portofolio pertamanya.

Ekspansi ke Asia Tenggara

Ini merupakan pendanaan pertama yang diperoleh IDCloudHost selama lima tahun berdiri. Sebelumnya, perusahaan mengandalkan bootstrapping untuk mengembangkan bisnis.

CEO IDCloudHost Alfian Pamungkas Sakawiguna mengungkap, pendanaan ini akan digunakan untuk ekspansi pasar ke Asia Tenggara pada tahun ini. Dengan target tersebut, pihaknya membidik sebanyak satu juta pengguna layanannya di tahun depan.

Saat ini, IDCloudHost telah melayani sebanyak 100 ribu pelanggan, 350 ribu permintaan, serta memiliki 5 data center di Indonesia.

“Kami akan terus meningkatkan kapasitas data center sejalan dengan ekspansi kami ke Asia Tenggara. Kami sudah ada data center di Singapura. Ke depan, kami harap ada peningkatan hingga sepuluh kali lipat UKM yang menggunakan cloud,” ucapnya.

Pasar web hosting berbasis komputasi awan di lokal memang cukup riuh kompetisinya. Selain IDCloudHost ada puluhan provider lain, misalnya di segmen mikro-medium ada Niagahoster, IDWebHost, Masterweb, Exabytes dan lain sebagainya. Sementara di segmen medium-atas ada pemain seperti Biznet Gio, Telkom Sigma, dan lainnya.

Belum lagi adanya pemain luar yang mulai matangkan bisnis dan bangun data center di Indonesia, seperti Amazon Web Services, Alibaba Cloud, dan Microsoft Azure. Selain tingkat keandalan dan keterjangkauan, value proposition dari setiap penyedia layanan patut menjadi prioritas dalam strategi bisnis untuk dapat menarik minat pasar secara lebih luas.

Target investasi Init-6 di 2021

Lebih lanjut, Zaki mengungkap bahwa pihaknya akan terus menambah portofolio baru di tahun ini dengan pendekatan bottom up. Tidak ada target spesifik yang diincar, tetapi Init-6 tetap berkomitmen untuk masuk ke sejumlah vertikal bisnis, seperti cloud, edtech, dan fintech.

“Tahun lalu kami target [closing] 20 portofolio, tapi cuma tercapai sepuluh. Jadi memang target investasi tidak bisa dipaksa, mungkin juga karena tahun lalu mulai pandemi. Tahun ini bisa lebih bisa lebih banyak lagi karena kami lebih agnostik. Ada banyak sektor menarik, fintech misalnya. Meski belum ada portofolio di situ, saya rasa masa depannya bagus.”

Startup Pendidikan upGrad Ekspansi ke Indonesia, Bidik Segmen Pekerja Profesional

Platform edtech asal India, upGrad, tengah menyiapkan rencana ekspansi ke pasar Indonesia. Melalui penunjukan Sendy Filemon sebagai Country Head upGrad di Indonesia, ekspansi ini diharapkan terealisasi pada September 2021. Sebelumnya, Sendy adalah CEO dan Presiden Direktur Futuready.

Berdiri di 2015, upGrad menawarkan program pendidikan tinggi dari sejumlah mitra institusi atau universitas untuk segmen pasar working professional. Beberapa materi yang tersedia antara lain adalah program MBA, data science, marketing, software & technology, machine learning, dan management.

Dalam wawancaranya dengan DailySocial, Sendy mengungkap ekspansi tahap awal akan mengikuti apa yang sudah lebih dulu dijalankan upGrad di India. Pihaknya juga mulai mencari mitra universitas lokal yang mampu menyediakan perkuliahan yang sepenuhnya dapat dilaksanakan secara online dan fleksibel.

“Kebanyakan sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di Indonesia adalah synchronous class atau peserta didik dan pengajar berada di tempat/waktu yang sama. Kami ingin mengakomodasi kebutuhan working professional dengan metode asynchronous class sehingga mereka bisa belajar di mana saja dan kapan saja. Misalnya, menonton video materi kuliah di kereta sambil mengerjakan kuis,” papar Sendy.

Selain menawarkan program MBA dan materi existing, pihaknya juga tengah menyiapkan program kuliah online lain — nantinya universitas di luar negeri dapat berkolaborasi dengan universitas di Indonesia. Modelnya bisa berupa program kurikulum dan ijazah dari universitas luar negeri, tetapi dengan pengantar berbahasa Indonesia. Peserta didik bisa mendapat double degree.

Selain biaya lebih terjangkau, Sendy menilai belum ada lembaga pendidikan yang menawarkan program di segmen ini di Indonesia. Apalagi, menurutnya selama ini perkuliahan di universitas asing masih harus menggunakan bahasa pengantar asing pula.

“Biaya kuliah dengan range Rp3-15 juta per semester sudah banyak yang menyediakan, tetapi belum banyak yang bisa online. Selain itu, segmen program kuliah online berkurikulum asing, bekerja sama dengan universitas lokal, dan berbahasa pengantar Indonesia itu juga belum ada karena konsepnya masih baru. Kami bisa jawab kebutuhan di situ,” ujarnya.

Dalam catatannya, saat ini ada lebih dari 4 ribu institusi pendidikan tinggi di Indonesia. Dari 96 institusi yang terakreditasi, hanya 7 institusi yang sudah bisa melaksanakan kuliah online sepenuhnya. Sendy menyebut, baru menjajaki kerja sama untuk rencana program tersebut dengan lima institusi di Indonesia.

“Kami tidak ingin punya izin pendidikan karena kami bukanlah lembaga pendidikan. Untuk itu, kami mesti menemukan partner yang memiliki izin [pelaksanaan kuliah] online untuk merealisasikan rencana kami di segmen tersebut. Targetnya bisa terealisasi di 2022. Tahap awal, kami jalan dengan program yang sudah ada di India,” tuturnya.

Pengembangan konten dan kreatif secara end-to-end

Untuk merealisasi rencana awal di pasar Indonesia, Sendy mengungkap masih bakal memakai resource dari India untuk pengembangan teknologi dan konten. Pihaknya juga belum menentukan investasi spesifik untuk ekspansi ke Indonesia.

Kendati demikian, pihak upGrad di India disebut sangat berkomitmen untuk pengembangan pasar Indonesia. Sendy yang tengah melakukan perekrutan tim juga memastikan bahwa upGrad bakal membangun kapabilitas sendiri di Indonesia.

Dari sisi model bisnis, upGrad menawarkan beberapa skema. Misalnya, berkolaborasi dengan institusi pendidikan untuk mengembangkan program perkuliahan dengan skema revenue share. Dalam hal ini, universitas tidak mengeluarkan biaya, hanya menyediakan kurikulum dan tenaga pengajar saja. upGrad mengelola konten dan teknologi supaya dapat di-deliver dengan baik.

Menurutnya, platform edtech di Indonesia kebanyakan berupa learning management system (LMS), mereka mengelola konten pendidikan, seperti video, tugas, dan teks. Sementara, upGrad menawarkan fleksibilitas dan teknologi yang lebih advanced sehingga pengguna bisa tetap fokus pada materinya.

Di luar itu, ujar Sendy, upGrad mengembangkan fitur-fitur lain yang dapat memberikan pengalaman end-to-end kepada peserta didik, mulai dari pelaksanaan kuliah online hingga mempertemukan mereka dengan perusahaan perekrut. Ambil contoh, upGrad berkolaborasi dengan universitas untuk menyediakan content atau study plan untuk program MBA selama 40 minggu.

“Kami berkolaborasi dengan upGrad untuk memproduksi konten dari materi pelajaran, seperti video dan animasi. Kebetulan, founder upGrad punya production house di India dan dijual ke Disney. Jadi kami punya [posisi] yang kuat di media. Jadi, kami bisa buat konten animasi untuk materi, kuis, atau tugas, dan diunggah ke sistem. Kami sudah punya teknologinya,” katanya.

Kemudian, upGrad juga mengembangkan sejumlah fitur yang mempermudah peserta didik dan tenaga pengajar dalam mengecek administrasi kelas, penjadwalan kuliah, hingga sistem penilaian. “upGrad juga menghubungkan peserta didik yang lulus ujian dengan perusahaan yang menyediakan program internship hingga mereka interview.”

Ke depannya, Sendy menargetkan dapat bermitra dengan lebih banyak lembaga pendidikan untuk membuka program S1 di akuntansi, teknik informatika, dan manajemen secara online. Program ini diharapkan dapat membantu segmen pasar yang baru lulus SMA dan D3 untuk bisa meraih gelar dengan cepat.

Application Information Will Show Up Here

Noice On-Demand Audio Platform to Close Funding Round in Second Quarter of 2021

Noice’s audio-on-demand platform has received seed funding from several investors, including Kenangan Kapital, Alpha JWC, and Kinesys Group. This round will be used to accelerate the development of Noice’s local content and technology this year. Although the value is undisclosed.

In his interview with DailySocial, Mahaka Radio’s President Director, Adrian Syarkawie revealed there’s another investor, claimed to be a unicorn startup, that is involved. He said this unicorn will provide opportunities for synergy between the two companies and greater technology transfer. “I can’t announce the name yet. We will push [closing] in the second quarter,” Adrian said.

Noice was first developed as a streaming radio platform. However, Adrian said this service is considered insufficient to the growing market. Meanwhile on-demand content is growing rapidly in some countries, including Indonesia.

“If it’s only streaming radio, it seems [lacking] for digital applications. Also, people can still access radio from other media. Therefore, we are looking forward to what will be attractive to consumers through this application, and then we will get to the podcast content,” he said to DailySocial.

With PT Mahaka Radio Integra Tbk (MARI) strong position in the radio business, the company also formed a joint venture with PT Quatro Kreasi Indonesia to establish PT Mahaka Radio Digital, Noice’s parent company. Quatro is a consortium of four recording companies in Indonesia, including Musica, Aquarius, My Music, and Trinity.

This consortium, Adrian said, is linked to the common vision of each music label owner to develop applications that focus on local voice-based content.

Investors in tech

This year, Noice will focus on developing application platforms and content localization. Those two things had was not the company’s main focus at first, considering that Mahaka Radio Integra’s main business was producing content. Adrian also said that the Noice platform was not quite optimal at that time in terms of technology as it was developed by a third party.

“We are not a tech company. However, we are aware that we cannot develop from content alone in the future, technology is necessary. Therefore, we have two concerns, content and technology. Mahaka Radio Integra and Quatro are strong in content, and we try to find investors who can provide support in technology,” Adrian said to DailySocial.

Kenangan Kapital is an angel fund owned by Kopi Kenangan’s Co-founder and CEO, Edward Tirtanata, which focuses on portfolios in consumer tech. Kopi Kenangan is also part of the Alpha JWC portfolio. Meanwhile, Kinesys Group focuses on early-stage startup funding.

“Currently, investors are yet to act as shareholders because [their investment] is in the form of convertible loans, which will then be converted into equity. We are looking for partners who can provide guidance in terms of technology and collaboration. For example, investors invest in other portfolios, to be synergized with Noice. We do it gradually as we focus on developing content,” he explained.

With this rank of investors, Noice has added new resources that will focus on the technology side. The company formed a special team from India to internally develop the platform.

Business roadmap 2021

Furthermore, Adrian said that Noice’s technology focuses divided into three phases. First, the launch of the Noice 2.0 beta platform with the new UI / UX this March. Second, the company will launch the 2.X version in May. In this phase, Noice starts to enter an open platform, aka content that can be uploaded individually or personalized content. Third, Noice will begin monetization, either with an advertising or subscription scheme.

With this platform, the company began to boost the number of podcast content this year targeting 4,000-5,000 episodes. As of December, Noice has more than 3,000 podcast episodes, 62 podcast content titles, and signed up to 80 podcasters.

Adrian said, entertainment content, especially comedy and horror, is currently the most popular genre in Indonesia. Nevertheless, Noice will continue to expand its content into various categories, such as education and business. “We produce 95% of the content on Noice ourselves. We hired an exclusive podcaster. We run the idea and podcaster execute the content,” he explained.

For now, Noice content can still be accessed for free. Monetization will only be discussed if the user base, monthly active users (MAU), and time spend increase. Regarding target, Noice is aiming for an increase in user base up to four times from its current position, total play up to eight times, and the amount of exclusive original content increased by two times.

“Currently, we have not focused on monetization as resistance is still an issue with the Indonesian market when talking about the subscription system. Of course, we will start to accelerate advertising and subscription schemes in the future, maybe later in the third stage.”

Based on Spotify data, Indonesia will dominate the most podcast consumption in Southeast Asia in 2020. As many as 20% of the total Spotify users in Indonesia listen to podcasts every month, and this number is higher than the global average percentage.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Platform Audio On-Demand Noice Targetkan Tutup Putaran Pendanaan di Kuartal II 2021

Platform audio on-demand Noice telah menerima perolehan pendanaan tahap awal dari sejumlah investor, yakni Kenangan Kapital, Alpha JWC, dan Kinesys Group. Investasi ini akan digunakan untuk menggenjot pengembangan teknologi dan konten lokal Noice pada tahun ini. Nilai investasinya sendiri tidak disebutkan.

Dalam wawancaranya dengan DailySocial, Presiden Direktur Mahaka Radio Adrian Syarkawie mengungkap bahwa ada satu investor lagi, diklaim adalah startup unicorn, yang akan masuk ke pendanaan ini. Menurutnya, keterlibatan unicorn ini bakal memberikan peluang sinergi kedua perusahaan dan transfer teknologi yang lebih besar. “Saya belum bisa announce namanya. Kami akan push [closing] di kuartal kedua ini,” ujar Adrian.

Semula Noice dikembangkan sebagai platform radio streaming. Namun, menurut Adrian, layanan ini dinilai tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pasar yang kian berkembang. Sementara konten on-demand tumbuh pesat di sejumlah negara, termasuk Indonesia.

“Kalau hanya dari radio streaming saja, kelihatannya [kurang] untuk aplikasi digital. Terlebih orang masih bisa mendengar radio dari media lain. Jadi, kami melihat ke depan apa yang menarik bagi konsumen lewat aplikasi ini, dan maka itu kami masuk ke konten podcast,” ujarnya kepada DailySocial.

Dengan posisi kuat PT Mahaka Radio Integra Tbk (MARI) di bisnis radio, perusahaan pun membentuk joint venture dengan PT Quatro Kreasi Indonesia untuk mendirikan PT Mahaka Radio Digital yang menaungi Noice. Quatro merupakan konsorsium dari empat perusahan rekaman di Indonesia, antara lain Musica, Aquarius, My Music, dan Trinity.

Konsorsium ini, ujar Adrian, terjalin dari kesamaan visi dari masing-masing pemilik label musik untuk mengembangkan aplikasi yang fokus pada konten lokal berbasis suara.

Investor yang memberikan dukungan di teknologi

Tahun ini, Noice akan fokus pada pengembangan platform aplikasi dan lokalisasi konten. Kedua hal tersebut tadinya belum menjadi fokus utama perusahaan mengingat bisnis utama Mahaka Radio Integra adalah memproduksi konten. Adrian juga menyebut platform Noice belum optimal dari sisi teknologi karena saat itu dikembangkan oleh pihak ketiga.

“Kami memang bukan tech company. Namun kami sadar ke depannya tidak bisa berkembang dari konten saja, tetapi juga dari teknologi. Dari sini, kami punya dua concern, yakni konten dan teknologi. Karena Mahaka Radio Integra dan Quatro kuat di konten, kami coba cari investor yang bisa memberikan support di teknologi,” ungkap Adrian kepada DailySocial.

Kenangan Kapital merupakan angel fund milik Co-founder dan CEO Kopi Kenangan Edward Tirtanata yang fokus pada portofolio di consumer tech. Kopi Kenangan juga merupakan bagian dari portofolio Alpha JWC. Sementara, Kinesys Group fokus terhadap pendanaan startup tahap awal.

“Saat ini, investor belum masuk sebagai pemegang saham karena [investasinya] masih dalam bentuk convertible loans, nanti baru dikonversi menjadi equity. Kami memang mencari partner yang bisa memberikan guidance dari sisi teknologi dan kolaborasi. Misal, investor berinvestasi ke portofolio lain, ini bisa disinergikan ke Noice. Kami lakukan bertahap karena kami fokus perkuat di konten,” paparnya.

Dengan keterlibatan investor ini, Noice telah menambah resource baru yang akan fokus dari sisi teknologi. Perusahaan membentuk tim khusus dari India untuk mengembangkan platform Noice secara internal ke depannya.

Roadmap bisnis 2021

Lebih lanjut, Adrian menyebutkan fokus pada pengembangan teknologi Noice terbagi dalam tiga fase. Pertama, peluncuran platform Noice 2.0 beta dengan UI/UX baru pada Maret ini. Kedua, perusahaan akan meluncurkan platform Noice versi 2.X pada Mei mendatang. Di fase ini, Noice mulai masuk ke jenis konten yang bisa open platform alias konten yang dapat diunggah sendiri atau personalized content. Ketiga, Noice akan mulai melakukan monetisasi, baik dengan skema iklan maupun berlangganan.

Dengan pengembangan platform ini, perusahaan mulai menggenjot jumlah konten podcast di tahun ini dengan target konten mencapai 4.000-5.000 episode. Per Desember, Noice telah memiliki lebih dari 3.000 episode podcast, 62 judul konten podcast, dan mengontrak sebanyak 80 podcaster.

Menurut Adrian, saat ini jenis konten hiburan, terutama komedi dan horor, masih menjadi genre paling diminati di Indonesia. Kendati demikian, Noice akan terus memperluas konten ke depan ke berbagai kategori, seperti edukasi dan bisnis. “Sebanyak 95% konten di Noice itu kami produksi sendiri. Kami kontrak podcaster secara eksklusif. Kami godok idenya dan podcaster yang eksekusi kontennya,” jelasnya.

Untuk sekarang, konten Noice masih bisa diakses secara gratis oleh pengguna. Monetisasi baru akan digodok apabila user basemonthly active users (MAU), dan time spend meningkat. Targetnya, Noice mengincar kenaikan user base hingga empat kali lipat dari posisinya sekarang, total play hingga delapan kali lipat, dan jumlah konten original eksklusif hingga dua kali lipat.

“Saat ini kami belum fokus monetisasi karena pasar Indonesia masih ada penolakan jika bicara sistem berlangganan. Tentu skema iklan dan berlangganan akan kami mulai genjot ke depan, mungkin nanti di tahap ketiga.”

Berdasarkan data Spotify, Indonesia mendominasi konsumsi podcast terbanyak se-Asia Tenggara pada 2020. Sebanyak 20% dari total pengguna Spotify di Indonesia mendengarkan podcast setiap bulan, dan jumlah tersebut lebih tinggi dari persentase rata-rata global.

East Ventures Paparkan Pemetaan Daya Saing Digital Indonesia di 2021

East Ventures (EV) kembali merilis edisi kedua laporan Digital Competitiveness Index (DCI) yang memetakan daya saing digital pada 34 provinsi dan 25 kota di Indonesia. Laporan ini banyak menyoroti bagaimana pandemi Covid-19 mengakselerasi digitalisasi di Indonesia secara signifikan.

Salah satunya adalah kenaikan penetrasi internet yang luar biasa. Dalam laporannya, EV-DCI menyebutkan bahwa pengguna internet Indonesia bertambah 25 juta hanya dalam kurun waktu delapan bulan (Mei-Desember 2020). Sementara, Indonesia membutuhkan 10 tahun sejak 2009 hingga 2019 untuk mendapatkan 30 juta pengguna internet menjadi 167 juta.

Menurut Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca, pertumbuhan ekonomi digital Indonesia akan sulit dikebut apabila infrastrukturnya tidak merata. Jika infrastruktur dan layanan digital tersebar di setiap provinsi, Indonesia dapat ‘menyetir’ ekonomi digital dengan baik.

“Ibarat dalam ketapel, ekonomi digital kita adalah bola. Gara-gara Covid-19, bola ketapel kita tertahan ke belakang. Di sini terjadi akumulasi power di mana pelaku startup disiplin dan merespons situasi dengan baik. Dengan infrastruktur yang dibangun bertahun-tahun dan populasi internet bertumbuh, potensi ekonomi digital kita terkumpul dalam peregangan ketapel. Artinya, bola ini akan melesat begitu situasi Covid-19 mereda,” ujarnya dalam paparan virtual EV-DCI.

Gambaran analogi ketapel yang disampaikan Willson dalam pemaparannya / East Ventures

Untuk memetakan daya saing digital tersebut, EV-DCI menggunakan pengukuran yang mengacu pada sembilan metode pada tiga pilar, antara lain input (sumber daya manusia, penggunaan TIK, pengeluaran TIK), output (perekonomian, kewirausahaan & produktivitas, ketenagakerjaan), dan penunjang (infrastruktur, keuangan, regulasi & kapasitas pemerintah daerah).

Skor daya saing digital Indonesia

Secara keseluruhan, indeks daya saing digital Indonesia di 2021 berada di angka tengah 32,05 atau meningkat dari skor sebelumnya 27,92 di 2020. Ada beberapa temuan yang disoroti dari capaian indeks ini.

Pertama, skor pada pilar SDM semakin melandai dari 77,3 poin di 2020 menjadi 58,4 poin di 2021. Artinya, daya saing ke-34 provinsi dalam menyiapkan SDM semakin merata. Pada pilar infrastruktur digital, laporan ini mencatat kenaikan signifikan hingga 7,5 poin dari semula 46,8 poin di 2020 menjadi 54,3 di 2021.

Secara keseluruhan, DKI Jakarta masih mengungguli provinsi dengan daya saing digital terbesar. Namun, kali ini Bali dan Riau sama-sama naik tiga peringkat dengan masing-masing ke posisi empat dan tujuh di tahun ini. Kenaikan ini dipicu oleh peningkatan infrastruktur internet yang semakin menjangkau pedesaan sehingga mendorong pertumbuhan usaha.

“Alasan kenaikan skor di Riau adalah karena konsentrasi di SDM semakin membaik. Kerja sama Indonesia dan Singapura untuk membangun Nongsa Digital Park di Batam otomatis memberikan spillover effect sehingga mendorong pertumbuhan talenta digital. Demikian juga di Bali yang kini menjadi destinasi digital nomad yang bekerja remote, baik di Thailand, Malaysia, atau negara lain. Makanya ada pergerakan ekonomi yang signifikan di sana,” jelasnya.

Kendati demikian, ketimpangan digital masih sangat terasa di luar Jawa. EV-DCI melaporkan bahwa hampir semua wilayah Indonesia, kecuali Jawa, terwakili dalam sepuluh provinsi dengan daya saing terendah. Ada tujuh provinsi non-Jawa di posisi ini antara lain Kepulauan Bangka Belitung, Lampung, Aceh, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Kalimantan Barat, Maluku Utara, Sulawesi Barat, dan Papua

Pentingnya akses dan SDM

Dari sejumlah laporan yang disoroti di atas, Willson menekankan bahwa akses dan SDM menjadi salah satu elemen penting dalam meningkatkan daya saing digital. Misalnya, daerah membuka akses investasi dari luar.

Di luar itu, ada juga variabel lain yang dapat mendorong daya saing digital per daerah, seperti pengembangan edukasi dan kapabilitas. Willson menilai bahwa penyerapan digital terhadap UMKM bisa lebih cepat apabila setiap wilayah di Indonesia memiliki SDM yang baik. Artinya, ada akselerasi yang membuat output menjadi lebih besar.

“Pemerataan digital itu tidak berkaitan dengan keharusan memiliki startup di setiap wilayah. Startup itu pasti terkonsentrasi di kota besar seperti Jakarta, tetapi mereka bisa membuka cabang tanpa harus menunggu di daerah itu ada startup baru. Apa yang dibangun di Jakarta dapat dipakai tempat lain, makanya jalannya harus dibangun supaya bisa kencang dan dinikmati,” jelas Willson.

Dampak pandemi

Transportasi dan travel online menjadi dua sektor yang terdampak signifikan akibat Covid-19. Dampak ini terlihat dari jumlah kunjungan per Januari 2020 yang mencapai 1,29 juta kunjungan, anjlok 89% menjadi 141.269 per Januari 2021.

Kendati demikian, perubahan pola masyarakat Indonesia ke perjalanan domestik diprediksi mendongkrak bisnis OTA hingga lima kali lipat di 2025. Terutama dengan distribusi vaksin lebih luas, confidence level terhadap bisnis OTA akan perlahan-lahan pulih.

Di sisi lain, dampak positif juga dialami pada sektor lain, seperti infrastruktur digital, e-commerce, dan edtech. Pada kasus Tokopedia, unicorn ini mengantongi sebanyak 2,5 juta merchant di sepanjang 2020. Padahal, Tokopedia membutuhkan waktu 10 tahun untuk mendapatkan 7 juta merchant.

“Semua bisnis dipaksa online karena tidak bisa jualan offline saat pandemi. Makanya pengeluaran pulsa juga turut naik. Di Indonesia, ada 30 juta pengguna internet baru yang pertama kali bertransaksi di e-commerce selama masa pandemi. Tetapi, apakah setelah go online, ekonomi digital bisa langsung melesat? Di sini mengapa O2O penting. Behavior akan tetap stay, begitu vaksin didistribusikan, offline dan online jalan, akselerasi akan lebih cepat,” katanya.

Tren digital selanjutnya

Willson juga mengungkap beberapa tren digital selanjutnya yang bakal semakin terakselerasi karena Covid-19. Pertama, sektor yang berkaitan dengan media (game, media sosial, video, etc) akan semakin meningkat dan mendorong terciptanya kategori baru, yakni creator economy.

“Semua orang bisa menciptakan konten sendiri ke depannya sejalan dengan tren perilaku konsumen yang beralih dari [konsumsi] TV. Eyeball semua tadinya di TV, kini konsumen bisa [menciptakan] konten mengikuti tren pasar,” tutur Willson.

Selanjutnya adalah tren investasi di dompet digital. Menurutnya, bisnis dompet digital sudah mendominasi pasar Indonesia. Jika bicara investasi ke dompet digital, tren ini dinilai tak lagi menarik. “Justru yang menarik adalah bagaimana isi dompetnya. Makanya, semua [pelaku startup] masuk ke bank digital,” ucapnya.

Terakhir, konsep remote working dan Work From Home (WFH) yang sudah mulai terbiasa diadaptasi perusahaan selama masa pandemi, akan semakin meningkatkan adopsi Software-as-a-Service (SaaS), misalnya cloud based computing.