Platform Pekerjaan Lepas Berinisiatif Dorong Permintaan dari Peluang Baru

Sejumlah perusahaan di dunia mulai mengambil keputusan sulit akibat efek domino pandemi Covid-19. Industri penerbangan merupakan sektor yang paling terpukul dari situasi ini. Peningkatan jumlah kasus positif baru, mau tak mau memaksa dunia untuk menutup jalur akses dari luar dan melakukan pembatasan gerak.

Krisis kesehatan global ini tak pandang bulu. Terkini, startup unicorn AS di bidang travel management, TripActions, malah terpaksa merumahkan 350 karyawannya. Sementara, menurut Indonesia National Air Carriers Association (INACA) maskapai Indonesia sudah mulai merumahkan pilot, awak kabin, teknisi, dan karyawan pendukung lain.

Tak hanya para pekerja tetap, pandemi ini juga berimbas terhadap nasib pekerja lepas. Dengan ketidakpastian situasi, banyak pebisnis membatalkan sejumlah proyeknya. Sebagai gambaran, dengan status negara dengan jumlah kematian tertinggi di dunia, pekerja lepas atau freelancer Italia dihadapkan pada situasi buruk.

Berdasarkan riset terbaru Statista, pada periode 26-28 Februari 2020 terdapat 57,6 persen kasus penundaan komisi dan 47,3 persen pembatalan komisi proyek. Kemudian pada periode 14-16 Maret 2020, persentasenya meroket di mana sebanyak 82,9 persen mengalami penundaan komisi dan 71,5 persen mengalami pembatalan komisi proyek.

Di Indonesia saat ini memang belum ada laporan serupa. Namun, dampak yang sama juga diprediksi bakal terjadi kepada freelancer di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik per Mei 2019, jumlah freelancer di Indonesia berkisar 5,89 juta orang.

DailySocial menghimpun informasi dari dua platform Sribu.com dan Freelancer.com, terkait dampak pandemi terhadap para pekerja lepas di Tanah Air maupun langkah mitigasi yang akan dipersiapkan.

Kebijakan “WFH” picu penurunan permintaan proyek

CEO Sribu Ryan Gondokusumo mengakui ada penurunan demand proyek atau pekerjaan lepas di platform-nya. Penurunan ini dipicu imbauan pemerintah kepada seluruh pebisnis dan karyawannya untuk bekerja dari rumah. Menurutnya, kebijakan WFH jangan disalahartikan bahwa sejumlah pekerjaan dapat digantikan (switch) oleh pekerja lepas.

Ia menyebut Sribu mengalami penurunan demand terbesar pada empat sektor industri, yakni travel, event, export dan import, serta fashion. Ia juga memprediksi penurunan demand bakal berimbas ke sektor F&B mengingat sejumlah pusat perbelanjaan dan sentra komersial sudah mulai mengurangi kegiatan operasional, terutama di kawasan Jabodetabek.

“Anggaplah restoran, mereka pakai jasa kami untuk memberikan proyek social media marketing. Karena tidak beroperasi, freelancer tidak dapat order. Sebetulnya, demand ada, tapi barang yang mau dijual tidak ada karena sejumlah bisnis mulai tidak beroperasi,” jelasnya.

Sebaliknya, Freelancer.com justru melihat adanya tren kenaikan jumlah proyek pekerja lepas yang diposkan maupun jumlah pengguna baru di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Berdasarkan data perusahaan, Indonesia merupakan negara terbesar kelima, setelah India, Amerika Serikat, Tiongkok, dan Pakistan dalam jumlah basis pengguna dengan 1,4 juta dari total 42 juta pengguna.

Namun, menurut Communications Manager Freelancer.com Helma Kusuma, saat ini masih terlalu dini untuk mengumpulkan data representatif yang dapat menggambarkan permintaan pekerjaan di Indonesia. Hal ini mengingat kebijakan WFH baru dimulai sejak 15 Maret 2020. Data belum bisa menggambarkan kondisi sebenarnya.

“Banyak perusahaan di dunia masih beradaptasi dengan konsep WFH. Tentu ini menjadi tantangan besar karena ada kebutuhan untuk mengubah cara berpikir secara drastis mengenai bagaimana segala sesuatu dilakukan. Kami mengharapkan akan ada kenaikan signifikan permintaan jasa freelancer dalam beberapa pekan ke depan,” jelasnya dalam pernyataannya kepada DailySocial.

Di sisi lain, CEO Kreavi Anto Motulz justru menilai pekerja kreatif atau kreator di Indonesia tidak terlalu sulit untuk beradaptasi di situasi sekarang mengingat kebanyakan dari mereka merupakan freelancer atau pekerja kontrak per proyek. Dengan kata lain sudah terbiasa karena mereka digital native.

“Belum ada informasi berapa kreator yang terdampak. Namun, mungkin yang terdampak adalah pekerjaan yang prosesnya melibatkan banyak orang dan harus outdoor, seperti video shooting dan photo session,” tuturnya.

Saat ini Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) tengah mengumpulkan data terkait jumlah pekerja kreatif di Indonesia yang terdampak pandemi Covid-19.

Peluang situasional terhadap permintaan jasa baru

Lebih lanjut, Helma berujar bahwa penerapan kebijakan bekerja dari rumah ini justru dapat membuka kesempatan bagi pebisnis untuk tetap menghasilkan pemasukan, terutama pebisnis yang ingin meningkatkan penggunaan jasa untuk tujuan efisiensi.

Ia menilai kebijakan tersebut menjadi cara untuk mengedukasi perusahaan yang belum terbiasa dengan cara-cara bekerja semacam ini. Untuk memudahkan adaptasi dan transisi ini, ujar Helma, pihaknya memperkuat fitur, saranan, hingga pengalaman pengguna untuk mengakomodasi tujuan bisnis di dunia.

Sementara itu, meski diakuinya ada penurunan permintaan di sejumlah vertikal, Ryan meyakini bahwa situasi ini akan memunculkan peluang pekerjaan baru. Situasi ini menjadi celah bagi platform Sribu untuk mendorong permintaan pekerjaan lepas dari vertikal lain.

Ambil contoh, permintaan jasa pembuatan Alat Pelindung Diri (APD) dan hand sanitizer. Contoh lainnya adalah copy writing yang dinilai berpotensi naik permintaannya. Ia menilai sejumlah pebisnis bakal memanfaatkan jasa tersebut untuk mengetahui update mengenai situasi COVID-19 saat ini.

“Kami pikirkan mereka ini butuh jasa apa, setelah itu baru kita approach. Kita lebih strategic thinking, di mana ada demand, di situ akan kejar. Kami lihat ada dua sektor potensial, yakni healthcare dan e-groceries. Kami coba penetrate apa jasa yang cocok,” tambahnya.

Imbas Pandemi Covid-19 Bagi Sejumlah Startup di Indonesia

Imbauan pemerintah untuk bekerja dari rumah dan menerapkan social distancing terkait penyebaran Covid-19, terutama di Jakarta, rupanya memberikan pengaruh bagi tiga startup centaur Indonesia, yakni Blibli.com, Modalku, dan TaniHub Group.

Disampaikan CEO TaniHub Group Ivan Arie Sustiawan, layanan e-commerce hasil pertanian ini mengalami peningkatan pengguna sehingga kini jumlahnya mencapai lebih dari 20.000. Kenaikan turut mendongkrak transaksi pemesanan sekitar 15-20 persen.

Tak hanya penjualan buah, sayur, dan hasil tani, permintaan tinggi juga terjadi pada produk tanaman herbal dan produk lain yang bermanfaat untuk meningkatkan imunitas tubuh.

Dalam mengantisipasi lonjakan permintaan ini, ujarnya, TaniHub menerapkan beberapa kebijakan baru terkait food sofety untuk melindungi keselamatan dan kesehatan karyawan, mitra, dan pelanggan tanpa mengurangi tingkat pelayanan. Prosedur food sofety ini sendiri sebetulnya sudah dijalankan sejak awal TaniHub Group berdiri.

Evaluasi rencana capex

Di sisi lain, karena ketidakpastian situasi sekarang, TaniHub mengevaluasi kembali seluruh rencana penggunaan modal (capex – capital expenditures) yang sedang maupun yang belum berjalan di 2020. Menurutnya, langkah ini diambil agar TaniHub bisa lebih fokus pada investasi yang memberikan dampak langsung terhadap ketersediaan produk kepada masyarakat.

“Jadi, kami mengalokasikan capex untuk menambah kapasitas persediaan barang, infrastuktur, serta menambah armada pengantaran kami,” tambahnya kepada DailySocial.

Fenomena sama terjadi pada Blibli.com. Markeplace yang berdiri di 2010 ini mengalami lonjakan transaksi untuk produk tertentu seperti hand sanitizer, produk kesehatan, dan makanan segar. Malahan, pasca pemerintah mengumumkan imbauan bekerja dari rumah, layanannya mengalami lonjakan transaksi yang signifikan pada produk utilities, minyak goreng, susu, dan makanan bayi.

“Sejak kasus COVID-19 pertama terjadi di Tiongkok, Blibli telah melakukan antisipasi dengan menyusun beberapa skenario bisnis dengan pertimbangan jika kasus ini masuk ke Indonesia,” ujar CEO Blibli.com Kusumo Martanto kepada DailySocial.

Salah satu skenario bisnis yang dimaksud mencakup penentuan fokus bisnis dan alokasi dana untuk pengembangan bisnis di 2020. Menurutnya, imbauan untuk melakukan social distancing dinilai bakal berpengaruh terhadap bagaimana perusahaan mengalokasikan marketing spending.

Jika awalnya diperuntukkan pada kegiatan perusahaan dengan situasi normal, alokasi ini nantinya akan digunakan sesuai kebutuhan kondisi terkini di Indonesia.

“Sejauh ini, Blibli tidak melakukan revisi target bisnis kami untuk tahun 2020,” ungkapnya.

Untuk saat ini, lanjutnya, Blibli fokus untuk menyesuaikan layanan operasional sesuai dengan kondisi saat ini. Beberapa strateginya adalah melakukan pengiriman tanpa kontak (contactless shipping) di mana kurir Blibli Express Service (BES) diwajibkan menggunakan masker dan sarung tangan pada saat mengirim barang. Prosedur ini diterapkan ke seluruh mitra logistik Blibli.

Kemudian, pihaknya juga berupaya untuk menjaga ketersediaan produk dengan melakukan prosedur pembatasan stok pada mitra merchant. Sesuai imbauan pemerintah, strategi ini dilakukan untuk menghindari para pihak tidak bertanggungjawab untuk menimbun barang.

Mulai berimbas ke penyaluran pinjaman

Di sisi lain, kebijakan WFH dan social distancing berimbas terhadap bisnis P2P lending milik Modalku. Menurut perusahaan, sejumlah peminjam mulai mengajukan rescheduling pembayaran utang. Imbas ini karena Modalku bermain di segmen UMKM yang cukup terpukul situasi sekarang.

“Namun, kami akan berdiskusi dengan para peminjam untuk menemukan solusi terkait untuk mendukung keberlangsungan perkembangan bisnis UMKM,” ungkap Co-Founder dan CEO Modalku Reynold Wijaya dalam pernyataannya kepada DailySocial.

Startup centaur ini tengah menyiapkan sejumlah langkah mitigasi, seperti melakukan penyesuaian dalam pemberian pinjaman, baik limit dan tenor pinjaman. Kemudian, melakukan seleksi lebih komprehensif terhadap calon peminjam maupun peminjam existing.

Pihaknya juga menjamin untuk tetap menerapkan prinsip “responsible lending”  dengan melakukan penilaian terhadap kemampuan finansial peminjam dalam melunasi pinjamannya.

“Soal revisi target, kami masih lakukan diskusi di internal mengingat saat ini kami masih fokus untuk mendukung UMKM yang bisnisnya terdampak oleh Covid-19,” tambahnya.

Per Maret 2020, Modalku telah menyalurkan sebanyak 1.750.506 jumlah pinjaman yang senilai Rp13,49 triliun. Tingkat gagal bayar (default) Modalku berkisar di angka 1,31 persen.

Kembali ke titik ekuilibrium

Menurut VP of Investor Relation & Strategy BRI Ventures Markus Liman Rahardja, situasi seperti ini bakal memicu terjadinya ketidakseimbangan antar sektor. Beberapa sektor akan terdampak penyebaran COVID-19, sebaliknya sektor lain bakal mendulang keuntungan.

Menurut hipotesisnya, social distancing otomatis akan mengubah cara orang berbelanja. Apalagi sejak pemerintah mengimbau masyarakat untuk bekerja dari rumah, ruang publik mulai sepi. Pemerintah juga mulai menutup kawasan wisata di sejumlah daerah.

“Dalam hal ini, layanan e-commerce dan online healthcare bakal naik. Di sisi lain, pemain OTA akan hit hard karena travel ban. Untungnya, beberapa player tidak main di satu vertikal, jadi vertikal bisnis lain bisa compensate. Hopefully, one or two quarter situasinya bakal kembali ke titik ekuilibrium,” jelasnya kepada DailySocial beberapa waktu lalu.

Sebelumnya, perusahaan VC raksasa Sequoia Capital telah memperingatkan bahwa penyebaran COVID-19 bakal memberikan efek turbulensi terhadap bisnis dan iklim investasi di industri startup dunia. Sequoia bahkan menyebut Covid-19 sebagai “The Black Swan di 2020”.

Sequoia memperingatkan seluruh ekosistem startup dan turunannya untuk memikirkan ulang sejumlah aspek bisnisnya di sepanjang tahun ini. Beberapa aspek penting ini adalah pengelolaan dan pengeluaran modal, penggalangan dana, prediksi penjualan, penambahan karyawan, peningkatan produktivitas, hingga strategi marketing.

“Meskipun mungkin bisnis Anda belum akan terdampak langsung dari kasus ini, Anda perlu mengantisipasi bahwa konsumen bisa saja mengubah spending habit mereka,” menurut Sequoia.

Patamar Capital Galang Dana Baru di 2020, Incar Vertikal Finansial dan UKM

Perusahaan modal ventura berbasis San Francisco, Patamar Capital, yang memiliki Partner dan portofolio luas di Indonesia, tengah melakukan penggalangan dana kedua untuk pengembangan portofolio yang lebih agresif di 2020. Dari target dana yang dikumpulkan sebesar $150 juta (sekitar 2,5 triliun Rupiah), Patamar menyebut sudah mengantongi $60 juta (sekitar 1 triliun Rupiah) saat ini.

“Kami lagi mencari Limited Partner (LP) dari luar negeri. Target kami closing penuh $150 juta di akhir tahun. Begitu sudah dapat komitmen, kami sudah bisa berinvestasi karena partially dananya sudah available,” papar Partner Patamar Capital Dondi Hananto saat diwawancarai DailySocial.

Dondi mengungkapkan, fokus investasi masih membidik empat negara di Asia, yakni Indonesia, Filipina, Vietnam, dan India. Pihaknya juga tetap mengincar startup tahap seri A yang dapat memberikan social impact. Saat ini, Patamar sedang penjajakan ke dua startup di Indonesia dan akan closing satu deal di Vietnam dalam waktu dekat.

Untuk sekarang, Patamar belum tertarik berinvestasi ke startup yang fokus pada environmental impact, karena secara model bisnis sulit untuk scale up. Menurutnya, jika ingin masuk ke sini, startup perlu blended-finance yang modalnya tidak hanya datang dari investor. Artinya perlu ada kolaborasi dengan yayasan, program CSR, atau dana sosial.

“Pembelajaran terbesar kami selama ini adalah masuk ke bisnis yang tech-enabled jika scalability ingin cepat. Tidak harus full tech, tetapi setidaknya ada tech enablement karena most of our business challenge terbanyak ada di operasional bukan teknologi,” jelasnya.

Selain itu, lanjut Dondi, hipotesis investasi akan fokus pada dua vertikal bisnis, yakni layanan keuangan dan layanan untuk pengembangan Small Medium Enterprise (SME). Jika dirinci, Patamar mengincar lima sub vertikal layanan keuangan, antara lain pembayaran, remitansi, P2P lending, asuransi, dan investasi.

Menurut Dondi, pengembangan segmen payment dinilai susah-gampang. Susah karena bagaimanapun juga strateginya, dominasinya akan tetap dipegang oleh dua pemain besar, seperti GoPay dan OVO. Di sisi lain, pemain baru dapat berhati-hati dengan belajar dari kasus yang terjadi di industri global.

Menariknya, kategori P2P lending memiliki potensi pasar yang begitu luas mengingat akses terhadap pinjaman di Indonesia masih rendah. Meski terdapat ratusan startup yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pemain yang fokus di niche market saja punya segmen yang sangat besar.

“Untuk hipotesis SME, kita tahu bahwa UKM di sini banyak sekali. Ada sekitar 58 juta dengan 90 persen itu termasuk mikro yang pendapatan per tahun rata-rata 200 juta. Kami ingin bantu mereka berbisnis dengan mudah, makanya ini nanti nyambung ke financial services. Bisa jadi masuk ke POS System atau B2B commerce,” tambah Dondi.

Patamar Capital memulai debut investasinya di Asia sejak 2014 dengan dana putaran pertama senilai $45 juta. Di Indonesia, Patamar memiliki beberapa portofolio, termasuk Sayurbox dan Mapan. Yang terakhir telah diakusisi penuh oleh Gojek. Kemudian di 2017 firma meluncurkan “Mini Fund” yang diinvestasikan khusus untuk female founder senilai $3 juta di tahap seed stage.

Antisipasi risiko bisnis

Terkait dengan situasi lockdown di sejumlah negara, Dondi mengaku pihaknya sedang mengantisipasi bagaimana risikonya terhadap seluruh portofolio Patamar. Secara umum, kemungkinan perlambatan pertumbuhan bisnis dapat terjadi, terutama bisnis yang sangat bergantung ke Tiongkok.

Patamar juga sedang melakukan penggalangan dana dan penjajakan investasi ke sejumlah startup. “Buat saya, dapat $100 juta sudah cukup untuk bisa mengeksekusi strategi kami. Mungkin saja nanti bisa direvisi,” ujar Dondi.

Sebetulnya, ungkap Dondi, tanpa bicara soal penyebaran COVID-19 ini, aktivitas investasi startup di dunia sudah mulai berhati-hati. Beberapa pemicunya adalah “kegagalan” investasi Softbank pada sejumlah portofolionya, seperti OYO dan WeWork. Juga adanya perlambatan ekonomi di Amerika Serikat (AS).

“[Proses investasi] ini kan semua seperti rantai makanan. Efeknya, kalau Softbank ‘goyang’ atau ‘tidak lapar’, bisa jadi ini berdampak ke iklim investasi ke ekosistem di bawahnya. Mereka tidak bisa raise [pendanaan] lagi,” ucapnya.

Kiat Kata.ai dan eFishery Mengoptimalkan Produktivitas Saat “Work From Home”

Kebijakan “Work From Home” tengah mencuat di saat penyebaran COVID-19 semakin meluas di Indonesia. Bagi startup, kebijakan ini sebetulnya sudah tidak asing lagi. Mereka sudah lebih dulu menerapkan bekerja dari rumah sebagai salah satu upaya efisiensi.

Misalnya, startup di bidang Natural Language Processing (NLP), Kata.ai, mengungkap bahwa konsep WFH ini sebetulnya sudah dilakukan sejak perusahaan pivot dari bisnis terhadulunya Yesboss di 2015.

Jumlah karyawan Kata.ai berkisar antara 50-200 orang, 20 orang dari engineering dan product kerja remote dari Malang. Ditambah lagi, Kata.ai juga punya kebijakan bagi karyawan di Jakarta untuk bekerja dua kali seminggu dari rumah.

Kemudian, startup pemberi pakan ikan otomatis eFishery tidak memberlakukan kebijakan WFH secara sepenuhnya. Sebagian karyawannya di kantor pusat memang sudah mulai bekerja dari rumah. Namun, untuk beberapa tim yang tidak berbasis di kantor pusat diberlakukan WFH dengan sistem shift atau assigment tertentu.

Untuk mengoptimalkan WFH atau remote working, baik Kata.ai dan eFishery memberikan pro-tips yang bermanfaat bagi startup yang baru merintis.

Mengukur produktivitas dan output

Bagi Kata.ai, efektivitas bekerja dapat diukur dari produktivitas dan output-nya. Dengan situasi bekerja remote, kedua hal ini terkadang sulit untuk dioptimalkan.

Untuk mengakomodasi kedua hal tersebut, pihaknya memanfaatkan sejumlah aplikasi sebagai “workspace” mereka. Misalnya, Slack untuk instant messaging, Zoom untuk video conferencing dan online meeting, dan Asana untuk mendukung work management karyawan.

“[Divisi] engineering dan product sudah terbiasa dengan culture ini. Terutama setiap pagi ada daily stand-up [meeting], ada bot yang mengingatkan di Slack. Jadi walaupun jauh, kita tetap kasih trust dan accountability ke mereka,” ungkap Co-founder & CEO Kata.ai Irzan Raditya kepada DailySocial.

Melakukan “silent meeting”

Tak banyak yang tahu bahwa konsep “silent meeting” sudah banyak diterapkan oleh sejumlah perusahaan teknologi dunia. Sebagai contoh, Amazon.

Bagi Irzan, silent meeting menjadi opsi alternatif untuk mengakomodasi karyawannya yang situasinya tidak siap untuk melakukan meeting. Umumnya, salah satu kendala yang sering ditemui adalah koneksi internet yang tidak stabil.

“Apalagi kalau sedang meeting via video call. Kalau internet tidak stabil, mereka cenderung masuk-keluar aplikasi. Ini akan menghambat proses meeting karena kelamaan,” papar Irzan.

Dalam hal ini, silent meeting yang dimaksud Irzan adalah memanfaatkan working sheet untuk melakukan update pekerjaan, yang dapat dipakai secara real-time oleh seluruh karyawan. Tim dapat menentukan dulu apa meeting goals dan catatan pengingatnya. “Kita spend 1/4 waktu meeting untuk update dan sisanya tinggal sesi Q&A,” tambahnya.

Embrace budaya apresiasi

Selain menjaga produktivitas, lanjut Irzan, ia juga menekankan pentingnya budaya apresiasi kepada setiap karyawan. Hal ini dapat dimulai dengan melontarkan pertanyaan sederhana, seperti “Are you OK?”,What did you do during weekend?”, atau “Whom do you wanna thank for?”.

“Salah satu tantangan WFH adalah kita tidak bertatap muka sehingga terkadang kita tidak dapat membaca tone mereka, baik lisan maupun tulisan. Kita perlu juga untuk mengecek mood meter karyawan. Makanya kita coba embrace culture untuk lebih humanize,” tutur Irzan.

Sinkronisasi dari atas hingga ke bawah

Irzan menambahkan catatan penting lain bagi startup yang baru merintis saat menerapkan kebijakan WFH adalah menyamakan mindset dari top-down dan sebaliknya bottom-up. Hal ini untuk menghindari gap informasi terhadap pekerjaan yang sedang dilakukan.

“Kalau WFH is actually harus lebih produktif. Makanya, [organisasi] harus ada common belief dulu supaya lebih tersinkronisasi terhadap apa yang ingin dikerjakan. Bahkan kalau perlu over-communicate ya, daripada kurang jelas, ” jelasnya.

Atur waktu fokus dan buat to-do list

Pro-tips menarik dari eFishery adalah mengatur focus time atau waktu yang tepat untuk mulai mengerjakan task A, B atau C. Buat slot waktunya agar Anda tidak bablas seharian hanya menjawab atau merespons update pekerjaan dari Slack.

Setelah itu, buat to-do list kecil. Cacah apa saja pekerjaan yang ingin dielesaikan dalam rentang waktu tertentu. Tips ini akan bermanfaat bagi kita yang suka bingung mau mulai mengerjakan dari mana dulu.

Monitoring dengan collaboration tools

Salah satu tantangan yang dihadapi oleh siapapun yang berada di head level adalah memantau kerja setiap anggota timnya. Untuk memudahkan memantau pekerjaan, eFishery menggunakan sejumlah aplikasi yang saling terintegrasi.

Sebagai contoh Slack dan Trello. Slack memang dirancang untuk memisahkan kehidupan pekerjaan dan pribadi. Aplikasi ini akan memudahkan komunikasi antar-karyawan dan antar-divisi.

Sementara, Trello digunakan untuk monitoring pekerjaan. Trello memiliki fitur untuk memberikan real-time update dari kita membuat task board, mengerjakannya, dan menyelesaikannya. Aplikasi ini juga dapat diintegrasikan ke Slack sehingga atasan dapat otomatis tahu progress pekerjaan kita.

eFishery juga memberikan opsi aplikasi alternatif untuk memantau pekerjaan, yaitu Google Sheet. Sama-sama real-time, kita dapat membuat tabel progress yang dapat diperbarui dan diakses sendiri oleh masing-masing tim.

No distraction!

Siapa di antara kita yang sering terdistraksi oleh media sosial? Terkadang kita butuh distraksi untuk menghilangkan sedikit kecemasan. Tapi, distraksi bisa menjadi musuh terbesar kala kita sedang fokus-fokusnya mengerjakan sesuatu.

Biasanya, kalau pikiran sudah penat, kita sering sekali membuka media sosial sebagai selingan atau hiburan. Bagi eFishery, ini bukanlah tips yang tepat karena bisa menghilangkan fokus kita dalam bekerja.

Rehat boleh saja, tapi ingat tetap fokus tanpa terdistraksi.

7 Highlights for the “Work From Home” Strategy by Gojek

The COVID-19 pandemic in Indonesia encouraged a number of companies in Jakarta to begin the “Work From Home” or WFH policy from Monday, 15 March 2020. This policy was no exception for unicorn startups, including Gojek.

This decision was inevitably taken by company officials to reduce the spread of the COVID-19 virus which was increasingly unstoppable, especially in the Jakarta area as the economic center in Indonesia.

Meanwhile, Gojek is one that captures the attention regarding WFH’s policies. It is not stated whether this policy applies to all employees or not. The management of Gojek said the work-from-home trial will last for a short period.

“Compared to a combination of employees working from the office and home, or from home for 1-2 days, it feels like working full time from home has its own unique challenges. Having a team that is spread out in various locations means it requires a number of different ways to communicate with each other, make decisions and connect with each other, “Gojek management stated.

For this reason, DailySocial summarizes a number of important notes from Gojek for managers and staff. This note can be guidance for new startups.

Set limits when working at home

Prepare your own workspace in one of your home spots. This is important to create a comfortable, focused work atmosphere and avoid distractions. Don’t forget, for those who are married and have children, you need to give a “signal” that this is your time to start working.

However, don’t hesitate or worry, if your child makes a sound or suddenly appears on the screen while you are having a conference call with the team. They certainly understand.

Prepare a channel for communication

Communication is the most important element in work. And now Slack is the “virtual workspace” most used by professionals. Now, make sure your status remains “online” so the manager knows that you are always active to be contacted.

It should also be understood that the response in the office will certainly be different from at home. To manage your expectations in communication, make sure the entire team and manager prepare an alternative communication channel if the internet connection is unstable. Email and WhatsApp for example.

Over-communicating doesn’t matter

Because it is not under one office roof, of course, there will be adjustments when communicating between teams. For example, coordinating work problems. In some cases, don’t assume that your team knows everything.

So, there’s nothing wrong to say it back – if necessary over and over – about what you are doing. This is to reduce the potential for ambiguity/miscommunication/misinformation from your team.

Managing daily productivity

As a manager, one of the other challenges of WFH is managing and measuring the productivity of each person on your team. To make it easier for you to get started, you can set a work schedule, if necessary, set time on Google Calendar to your team.

Then, manage your expectations of team productivity. First, set and share everything to your team. For example, telling what will be done today or how to deal with a crisis in a situation. The more clear and concise the daily process and plan on your team, the less likely your team will be confused and ask questions.

Next, ensure to your team that time is worth the effort. One of the advantages of working in the same room is a fast response from your team. Since working from a different location, encourage your team to work on an easy task intelligently, not linger.

Manage your focus on work

When you work from home, one day will just run out just to check Slack and email. As the head of the team, you need to arrange a time with your team about when you will receive a report. If you need to make provisions, such as reports in the morning and evening.

On the other hand, you also have a load of work that needs to be completed. Decide on a priority job and temporarily turn off Slack or e-mail so that you are more focused. This can be done while waiting for your team to finish their work and report back to you.

Break the ice with emojis

In situations like this, we will be more sensitive. Thus, this becomes a reminder for the head level and staff to always be careful in speaking and gesturing, both oral and written. To reduce tension, you can use softer tones by saying “Help” and “Thank you”. If you need to include emojis like this 🙏.

Don’t forget to take a break

Working from home is indeed very challenging considering the house is a place to rest, not work. Now, in this case, there are times when you will be very focused on doing something. Do not forget to take about 1-2 hours to rest from the computer.

Occasionally you can do small exercises by stretching your body. Or you can do other relaxing things, like cooking or watering plants, before returning to your computer.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

7 Poin Penting Strategi “Work From Home” dari Gojek

Pandemi COVID-19 di Indonesia mendorong sejumlah perusahaan di Jakarta untuk mulai melakukan uji coba kebijakan “Work From Home” atau WFH sejak Senin, 15 Maret 2020. Kebijakan ini tak terkecuali diterapkan startup unicorn, termasuk Gojek.

Keputusan ini mau tak mau harus diambil para petinggi perusahaan untuk meredam penyebaran virus COVID-19 yang semakin tak terbendung, terutama di wilayah DKI Jakarta sebagai pusat perekonomian di Indonesia.

Adapun, Gojek menjadi salah satu yang mengambil perhatian lebih terkait kebijakan WFH. Memang tidak disebutkan apakah kebijakan ini berlaku untuk seluruh karyawannya atau tidak. Pihak manajemen Gojek menyebut pihaknya sedang menguji coba bekerja dari rumah untuk periode pendek.

“Dibandingkan kombinasi karyawan bekerja dari kantor dan rumah, atau dari rumah selama 1-2 hari, rasanya bekerja full time dari rumah memiliki tantangan unik tersendiri. Memiliki tim yang tersebar di berbagai lokasi berarti membutuhkan sejumlah cara berbeda untuk saling berkomunikasi, membuat keputusan, dan saling terhubung,” demikian disampaikan manajemen Gojek.

Untuk itu, berikut ini DailySocial merangkum sejumlah catatan penting dari Gojek bagi para manager dan staf. Catatan ini sekiranya dapat menjadi guidance bagi startup-startup baru.

Menetapkan batasan saat bekerja di rumah

Siapkan workspace tersendiri di salah satu spot rumah Anda. Hal ini penting untuk menciptakan suasana kerja yang nyaman, fokus, dan terhindar dari distraksi. Jangan lupa, bagi yang sudah berkeluarga dan memiliki anak, Anda perlu memberikan sebuah “sinyal” bahwa ini adalah waktu Anda untuk memulai kerja.

Tapi, tidak usah sungkan atau khawatir, apabila anak Anda bersuara atau tiba-tiba muncul di layar saat Anda sedang melakukan conference call dengan tim. Mereka pasti memahami.

Persiapkan channel untuk berkomunikasi

Komunikasi adalah elemen paling penting dalam pekerjaan. Dan saat ini Slack menjadi “virtual workspace” yang paling banyak digunakan oleh profesional. Nah, pastikan status Anda untuk tetap “online” agar manager tahu bahwa Anda selalu aktif untuk dihubungi.

Perlu dipahami juga bahwa respons di kantor tentu akan berbeda dengan di rumah. Untuk mengelola ekspetasi Anda dalam berkomunkasi, pastikan kepada seluruh tim dan manager untuk menyiapkan channel komunikasi alternatif apabila koneksi internet tidak stabil. Email dan WhatsApp misalnya.

Over-communicate tidak masalah

Karena tidak berada dalam satu atap kantor, tentu akan ada penyesuaian saat berkomunikasi antar-tim. Misalnya berkoordinasi masalah pekerjaan. Dalam beberapa hal, jangan berasumsi bahwa tim Anda tahu semuanya.

Jadi, tak ada salahnya untuk menyampaikannya kembali–kalau perlu berulang–mengenai apa yang sedang Anda dikerjakan. Hal ini untuk mengurangi potensi adanya ambigu/miskomunikasi/misinformasi dari tim Anda.

Mengatur produktivitas harian

Sebagai manager, salah satu tantangan lain dari WFH adalah mengelola dan mengukur produktivitas dari masing-masing orang di tim Anda. Agar memudahkan Anda untuk memulai, Anda dapat mengatur jadwal kerja, kalau perlu buat di Google Calendar ke tim Anda.

Kemudian, mengelola ekspetasi Anda terhadap produktivitas tim. Pertama, set and share segalanya kepada tim Anda. Misalnya, mengabarkan apa yang akan dikerjakan hari ini atau bagaimana cara menghadapi krisis dalam sebuah situasi. Semakin jelas dan ringkas proses dan rencana harian di tim Anda, semakin sedikit kemungkinan tim Anda bingung dan bertanya-tanya.

Selanjutnya, memastikan kepada tim Anda bahwa waktu setara dengan usaha. Salah satu keuntungan bekerja dalam satu ruangan yang sama adalah respons yang cepat dari tim Anda. Berhubung bekerja dari lokasi berbeda, dorong tim Anda untuk mengerjakannya sebuah task mudah secara cerdas, bukan berlama-lama.

Mengelola fokus pada pekerjaan

Ketika Anda bekerja dari rumah, satu hari akan habis begitu saja hanya untuk mengecek Slack dan email. Sebagai kepala tim, Anda perlu mengatur waktu dengan tim Anda tentang kapan Anda akan menerima report. Kalau perlu buat ketentuan, seperti report di pagi dan sore hari.

Di sisi lain, Anda juga memiliki load pekerjaan yang perlu diselesaikan. Tentukan pekerjaan yang menjadi prioritas dan matikan Slack atau email untuk sementara agar Anda lebih fokus. Ini dapat dilakukan sembari menunggu tim Anda menyelesaikan pekerjaannya dan report kembali ke Anda.

Cairkan suasana dengan emoji

Di situasi seperti ini, kita akan menjadi lebih sensitif. Maka itu, ini menjadi reminder bagi head level dan stafnya untuk selalu berhati-hati dalam berbicara dan bergestur, baik lisan maupun tertulis. Untuk mengurangi ketegangan, Anda dapat menggunakan tone yang lebih halus dengan mengucapkan “Tolong” dan “Terima kasih”. Jika perlu sertakan emoji seperti ini 🙏.

Jangan lupa rehat sebentar

Bekerja dari rumah memang sangat menantang mengingat rumah adalah tempat beristirahat, bukan bekerja. Nah, pada kasus ini, ada kalanya Anda akan sangat fokus mengerjakan sesuatu. Jangan lupa meluangkan waktu sekitar 1-2 jam untuk beristirahat dari komputer.

Sesekali Anda dapat melakukan olahraga kecil dengan merenggangkan tubuh Anda. Atau Anda dapat melakukan hal-hal santai lain, seperti memasak atau menyiram tanaman, sebelum kembali ke komputer Anda.

Penyebaran COVID-19 Belum Pengaruhi Iklim Investasi VC di Indonesia

Di tengah aktifnya rencana pembentukan dana kelolaan baru dan penggalangan dana dari Limited Partner (LP) dalam dan luar, sejumlah venture capital (VC) di Indonesia mengaku kemunculan kasus pertama virus Corona (COVID-19) belum terlalu mempengaruhi agenda investasinya saat ini.

Menurut Head of Investor Relations & Capital Raising MDI Ventures Kenneth Li, dampaknya belum akan terasa untuk iklim investasi dalam negeri. MDI Ventures tahun ini sedang menyiapkan dua dana kelolaan baru dan menggalang dana senilai Rp7 triliun.

Hanya saja, ungkap Kenneth, sejumlah aktivitas MDI Ventures di Singapura mulai diredam dan dikerjakan dari rumah (work from home).

“Tapi, fundraising dari global mungkin agak melambat karena akses untuk air travel mulai sulit. Untungnya, kami sudah mau close semua, jadi tidak terlalu berimbas untuk MDI Ventures,” ungkap Kenneth kepada DailySocial.

VP of Investor Relation & Strategy BRI Ventures Markus Liman Rahardja memiliki pandangan yang sama. Ia juga menilai bahwa penyebaran COVID-19 belum terlalu berimbas besar terhadap industri VC di Indonesia, melainkan bisnis yang berkaitan langsung dengan konsumen.

“Sebetulnya, yang hit hard bukan kami, tapi mereka yang bermain di B2C, seperti OTA dan hospitality. Nah, pengaruhnya jadi sedikit-banyak. Sedikit di kami karena meeting yang dijadwalkan terpaksa ditunda. Tapi, banyak di mereka [bisnis B2C],” tuturnya

Markus juga menyebut bahwa hingga saat ini belum ada proses yang terganggu dari pengajuan izin pembentukan entitas di Singapura untuk dana kelolaan baru BRI Ventures.

Sementara itu, Managing Partner IndoGen Capital Chandra Firmanto lebih mengkhawatirkan apabila masyarakat bereaksi berlebihan terhadap kasus COVID-19 di Indonesia. Pasalnya, hal tersebut dapat memperlambat berbagai aktivitas dan iklim investasi.

“Sebetulnya appetite dan dana [berinvestasi] itu ada. Itu yang paling penting. Tapi jadi tertunda saja karena closing bisa jadi lebih lambat dari target awal,” tuturnya.

Ancaman COVID-19 terhadap industri startup dunia

Sejumlah perusahaan global telah mengambil langkah signifikan untuk menghindari risiko penyebaran virus Corona yang lebih luas. Sebagaimana diwartakan CNN, JPMorgan Chase & Co meminta 1.000 karyawannya untuk bekerja dari rumah untuk mengetes bagaimana penyebarannya.

Perusahaan raksasa teknologi yang “bermukim” di Seattle, seperti Amazon, Facebook, Google, dan Microsoft juga melakukan hal yang sama kepada seluruh pekerjanya. Hal ini menyusul salah satu karyawan Facebook yang dinyatakan positif terfinfeksi virus Corona.

Keputusan-keputusan tersebut mendorong Google menggratiskan layanan Hangouts Meet premium. Kebijakan ini berlaku sejak pekan lalu hingga 1 Juli 2020. Google berharap hal ini dapat memudahkan setiap orang bekerja dari rumah.

Tak dapat dihindari, penyebaran COVID-19 di lebih dari 90 negara mulai memberikan efek domino terhadap aspek perekonomian dan bisnis di dunia. Salah satu sektor yang diprediksi terdampak adalah industri startup.

Dalam tulisannya yang dimuat di Mediumperusahaan VC raksasa Sequoia Capital memperingatkan bahwa penyebaran COVID-19 bakal memberikan efek turbulensi terhadap bisnis dan iklim investasi di industri startup dunia. Sequoia bahkan menyebut COVID-19 sebagai “The Black Swan di 2020”.

“Karena ada di sejumlah negara, kami menyadari lebih awal tentang efek corona terhadap bisnis global. Memang ada bisnis yang akan terdampak positif dengan hal ini, tapi sejumlah perusahaan mengalami kesulitan seiring dengan adanya penurunan aktivitas, penundaan meeting karena travel ban, dan imbas supply chain karena adanya lockdown di sejumlah pabrik di Tiongkok,” paparnya.

Sequoia memperingatkan seluruh ekosistem startup dan turunannya untuk memikirkan ulang sejumlah aspek bisnisnya di sepanjang tahun ini. Beberapa aspek penting ini adalah pengelolaan dan pengeluaran modal, penggalangan dana, prediksi penjualan, penambahan karyawan, peningkatan produktivitas, hingga strategi marketing.

“Meskipun mungkin bisnis Anda belum akan terdampak langsung dari kasus ini, Anda perlu mengantisipasi bahwa konsumen bisa saja mengubah spending habit mereka,” menurut Sequioa.

Kantongi Dana Baru, Digiasia Bios Berusaha Perkuat Posisi Perusahaan

Perusahaan fintech Indonesia, Digiasia Bios (Digiasia), mengumumkan perolehan pendanaan Seri B yang dipimpin Mastercard yang tidak disebutkan nilainya. Pendanaan baru ini berupa modal dan dukungan strategis untuk memperkuat posisi perusahaan.

“Dengan masuknya Mastercard, kami mendapat dukungan dari salah satu expert di bidang digital commerce. Kami menantikan kerja sama selanjutnya untuk memperluas jangkauan kami di Indonesia dan mengembangkan layanan keuangan yang kuat untuk segala macam kalangan,” tutur Co-Founder dan CEO Alexander Rusli dalam keterangan resminya.

Tak hanya modal dan akses strategis yang disediakan Mastercard, disebutkan juga bahwa Digiasia mendapatkan akses memperkuat layanannya dengan me-leverage jaringan bisnis dan perbankan, serta teknologi keamanan siber milik Mastercard.

Digiasia didirikan oleh mantan petinggi Indosat Ooredoo, yakni Alexander Rusli (mantan CEO) dan Prashant Gokarn (mantan Chief Digital & Service Officer) pada 2018 lalu.

Perusahaan merupakan holding company dari layanan e-wallet KasPro, platform P2P lending KreditPro, dan layanan remitansi dengan channel digital dan jaringan offline RemitPro. Ketiganya berada di bawah naungan PT Solusi Pasti Indonesia, PT Tri Digi Fin, dan PT Reyhan Putra Mandiri.

Sebelumnya, anak usahanya PT Solusi Pasti Indonesia sempat mengambil alih layanan dompet digital Dompetku milik Indosat Ooredoo. Layanan ini kemudian dilebur menjadi PayPro di 2017. Tidak jelas bagaimana kelanjutan nasib bisnis PayPro hingga saat ini.

Dari sisi partnership, Digiasia telah bermitra dengan sejumlah perusahaan transportasi untuk menyediakan kemudahaan bertransaksi, seperti kerja sama KasPro dengan Damri untuk rute tertentu di Bandung. Di sisi lain, penjualan produk B2B dari Metrodata difasilitasi KreditPro.

Peta persaingan dan peluang pasar fintech

Digiasia sebetulnya saat ini memiliki portfolio yang cukup untuk memperkuat ekosistem produk ke depan. Perusahaan menggunakan pendekatan B2B2C dengan mengembangkan layanan di bidang digital payment, P2P lending, dan remitansi.

Meskipun demikian, belum banyak yang dapat terbaca dari pergerakan strategi Digiasia dengan sinergi strategis ini.

Dengan dukungan Mastercard, Digiasia memiliki peluang mendongkrak pangsa pasar KasPro, KreditPro, dan RemitPro di Indonesia dan luar negeri. Ditambah dukungan 25.000 jaringan institusi keuangan di dunia yang dimiliki Mastercard akan mempermudah Digiasia untuk memperluas merchant dan menambah jumlah penggunanya.

Head of Corporate Communications Digiasia Bios Andy Muhammad Salidin  mengonfirmasi kemungkinan tersebut. “Betul untuk ketiga produk ini dan ada beberapa project [baru] lain yang belum bisa kami sebutkan,” paparnya dalam pesan singkat kepada DailySocial.

Menurut data Google, Temasek, dan Bain & Company 2019, sebanyak 92 juta masyarakat di Indonesia belum terpapar layanan keuangan (unbankable). Maka itu, kehadiran layanan fintech dianggap menjadi salah satu solusi untuk mengakselerasi layanan keuangan.

Di Indonesia, awareness terhadap produk fintech dan ekosistemnya di Indonesia sudah mulai terbangun. Berdasarkan Fintech Report 2019, awareness tertinggi berasal dari layanan Digital Wallet (82,7%), diikuti Investment (62,4%), PayLater (56,7%), Online Multifinance (40%), Insurtech (39,1%), P2P Business Lending (21,5%), Crowdfunding (17,3%), dan Remittance (6,9%).

Sementara pemakaian (usage) layanan fintech tertinggi berasal dari Digital Wallet (79,9%), diikuti Investment (31,5%), PayLater (30,9%), Online Multifinance (12%), Insurtech (11,8%), Crowdfunding (8,2%), P2P Business Lending (6,2%), dan Remittance (2,4%).

Ini menandakan ekosistem layanan pembayaran digital di Indonesia mulai terbentuk dan adopsinya jauh lebih cepat dibandingkan produk lainnya. Situasi ini bisa juga menjadi tantangan bagi Digiasia yang bermain di digital payment mengingat ketatnya persaingan yang mengarah pada adu kuat strategi bakar uang demi mengejar traction lebih besar–tapi belum tentu profitable.

Peluang di P2P lending juga masih terbuka lebar di Indonesia terutama dari sektor produktif. Masih ada 52 juta pelaku usaha mikro dan kecil menengah (UMKM) di Indonesia sebagai target potensial. Tak hanya itu, pertumbuhan P2P lending di Indonesia juga tak lepas dengan mulai masuknya investor institusi/korporasi yang dapat memberikan jangkauan pinjaman lebih luas.

Pertumbuhan baru dari layanan remitansi online

Salah satu portofolio menarik dari Digiasia adalah layanan remitansi online. Sinergi strategis dengan Mastercard dapat menjadi penguatan layanan RemitPro atau chapter baru untuk menjadikan satu ekosistem dari seluruh produk existing Digiasia.

Menurut perusahaan, RemitPro sudah tersedia di 60 negara dengan dukungan 200 agen pembayaran. RemitPro juga bekerja sama dengan PT Eka Bakti Amerta Yoga sebagai mitra penyelenggara transfer dana remitansi, yang memungkinkan pencairan dana di 4.800 kantor pos dan 10.000 cabang BRI di Indonesia.

Secara umum, industri fintech di Indonesia memang didorong untuk tidak hanya tumbuh dari beberapa jenis layanan saja, seperti digital payment, investment, dan P2P lending. Maka itu, layanan remitansi online cukup dilirik karena memiliki peluang yang besar.

Mengutip CNN Indonesia, Bank Indonesia (BI) mencatat nilai pengiriman uang antar-negara dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri pada 2018 mencapai $10,8 miliar atau sekitar Rp151 triliun. Saat ini jumlah TKI di luar negeri mencapai 3,65 juta orang.

Telkom Siapkan Dana Kelolaan Baru Senilai 7 Triliun Rupiah

PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom Group) tengah mempersiapkan dana kelolaan baru tahun ini. Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin menyebutkan kapasitas pendanaannya berkisar US$300-500 juta atau Rp4,2 triliun-7 triliun (kurs Rp14.000/dolar AS).

Disampaikan Budi di ajang Digital Economy Summit 2020 oleh Microsoft Indonesia, Telkom Fund atau dana kelolaan tahap pertama telah menyalurkan investasi ke 35 startup, baik lokal maupun global.

Telkom Fund tahap kedua disiapkan untuk mendukung transformasi digital Telkom Group ke depan. Salah satu strateginya adalah berinvestasi ke startup. “Sektor telekomunikasi punya belanja modal yang sangat tinggi sehingga perlu ada perubahan dari infrastruktur digital ke platform digital,” katanya di Jakarta.

Sebagaimana diketahui, Telkom Fund adalah investasi yang dikelola oleh MDI Ventures sebagai corporate venture capital (CVC) di bawah naungan Telkom.  Di awal berdiri di 2015, MDI Ventures mendapat suntikan dana tahap pertama sebesar $100 juta.

Kemudian pada Mei 2019, Telkom kembali menyuntik investasi lanjutan sebesar $40 juta untuk sub unit investasi Telkomsel, yakni Telkomsel Mitra Inovasi (TMI). Adapun investasi ini tetap dikelola oleh MDI Ventures.

Barulah di September 2019, MDI Ventures melakukan debut penggalangan dana dengan investor di luar Telkom sebesar $100 juta atau setara Rp1,4 triliun. Salah satu limited partner (LP) yang terlibat adalah Kookmin Bank. Pada Desember 2019, Telkom melalui MDI Ventures dan KB Financial Group asal Korea Selatan membentuk dana kelolaan baru bernama Centauri Fund.

Sebelumnya Head of Investor Relations & Capital Raising MDI Ventures Kenneth Li mengungkap, akan ada tambahan dua dana kelolaan baru tahun ini. Fokus pendanaannya untuk segmen growth stage dan later stage. Dengan kata lain, ini adalah Telkom Fund tahap kedua yang disinggung sebelumnya.

Kenneth sendiri telah mengonfirmasi kapasitas investasi sebesar Rp7 triliun untuk dana kelolaan baru. “Ini masih dalam proses. Tapi kami belum bisa confirm [apakah cari LP lagi atau murni dari Telkom],” ujarnya dalam pesan singkat kepada DailySocial.

Industri telekomunikasi terdisrupsi

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), industri telekomunikasi Indonesia mencatat  pertumbuhan minus 6,4 persen di 2018.

Ketua ATSI sekaligus Direktur Utama Telkom Ririek Adriansyah mengungkap, di sepanjang 2018 industri telekomunikasi di tanah air diperkirakan hanya mampu mengantongi pendapatan Rp148 triliun. Nilai ini turun dari pencapaian dua tahun sebelumnya sebesar Rp158 triliun.

“Penurunan ini disebabkan oleh penurunan layanan voice dan SMS yang kini digantikan oleh layanan baru dari pemain Over-the-Top (OTT), perang tarif data antar-operator, dan regulasi registrasi SIM Card,” ungkapnya seperti dikutip dari CNN Indonesia.

Sementara Telkom mencatat pertumbuhan pendapatan 3,5 persen atau sebesar Rp102 triliun dibandingkan periode sama tahun sebelumnya pada kuartal ketiga 2019. Marjin EBITDA Telkom juga hanya tumbuh 3,4 persen secara year-on-year (YoY).

Dalam beberapa tahun terakhir, operator telekomunikasi berupaya untuk menemukan model bisnis yang tepat untuk mengembangkan bisnis digital. Transformasi ini memang diharapkan dapat mendongkrak pertumbuhan pendapatan dan EBITDA. Sayangnya, kebanyakan bisnis digital yang dikembangkan operator gagal.

Maka itu, pertumbuhan anorganik dirasa menjadi salah satu langkah yang tepat untuk mengakselerasi pertumbuhan perusahaan. Dalam hal ini, Telkom membentuk entitas baru sebagai perpanjangan investasi untuk startup dari berbagai vertikal bisnis.

Mempertebal sinergi dan capital gain

Dalam kurun waktu cukup berdekatan Telkom mendelegasikan Telkomsel untuk membentuk unit investasi baru, yakni TMI. Kemudian dilanjutkan dengan sinergi Telkom dan KB Financial Group untuk mendirikan Centauri Fund.

Dengan rencana tambahan dua dana kelolaan baru–sepertinya bisa bertambah lagi–menandakan betapa pemerintah agresif untuk mendorong sinergi untuk memperkuat transformasi bisnis digital Telkom dalam beberapa tahun ke depan.

Tentu dengan semakin banyaknya kesempatan untuk berinvestasi di startup dapat menciptakan sinergi, baik dari sisi teknologi maupun transfer knowledge, yang dapat diserap seluruh anak usaha Telkom, utamanya Telkomsel sebagai penyumbang pendapatan terbesar.

Di sisi lain, MDI Ventures sebagai perpanjangan tangan investasi Telkom kini telah menghabiskan investasi tahap awal dengan mendanai 35 portofolio. Selama rentang empat tahun pasca-didirikan, MDI Ventures telah membuktikan kesuksesannya di bawah nakhoda Nicko Widjaja yang kini telah berlabuh ke BRI Ventures.

Dengan target penggalangan dana besar senilai Rp7 triliun dan iklim investasi di ekosistem digital yang semakin selektif , Telkom akan membuka peluang bagi investor lokal dan luar untuk lebih banyak masuk ke dalam kantong investasi selanjutnya.

Five Pivot Strategies from Akseleran, Moselo, and Kata.ai

Building a startup is not just a matter of creating traction and gaining as many users as possible. A true startup is well-known with a culture that survives through the concept of “fail fast, learn fast”.

Therefore, what happens if the startup business that you develop does not get the expected traction? One of the answers is a pivot.

Changing business models, transitioning to different services, or being called pivots is no longer a new way in the startup industry. Some startups in Indonesia have done this, starting from 100 percent pivot by changing company brands and platforms to changing the type of service.

When you decide to pivot, many questions will arise. Starting from what kind of things to prepare, things to be avoided, and how to begin.

In order to answer the question above, DailySocial summarizes various tips and strategies for pivots based on the results of our interviews with Kata.ai (pivot 2016), Akseleran (pivot 2017), and Moselo (pivot 2018).

For the record, these tips are not sorted by the sequence of steps.

Communication with stakeholders

All agreed that startups must communicate with stakeholders if they want to do a pivot. Indeed, the most important ones are the investors and the company team.

Kata.ai’s Co-founder and CEO, Irzan Raditya said communication is important to provide understanding and awareness for investors and teams. There should even be a break between making plans and starting pivoting employees.

“Do the right communication, especially investors to make sure you get the support from the shareholders to support and give a clear understanding of why you pivot,” Irzan said.

As for Moselo’s CEO Richard Fang, startups should avoid one-way communication about the reasons and goals of the pivot. That is, every employee has the right to express their perspectives and concerns about this pivot.

A clear and sustainable business model

Making a business transition is a major step that requires full commitment from both the organization and other stakeholders.

Also, for Irzan, before meeting investors, startups should ideally have a clear and sustainable business plan to ensure this new business model can survive in the future.

“First, we have to research before meeting investors. [After that], we were assisted by one of our investors to work on the direction. We must emphasized that when meeting investors, the plan should be clear and have the option of going where to pivot,”  he added.

As an example, Kata.ai, which was previously named Yesboss in 2015, offers a personal virtual assistant service with the concept of conversational commerce. In its journey, this business model is considered less scalable and has a wide impact.

Thus, the company pivot and the following year by becoming an Artificial Intelligence (AI) enabler focused on Natural Language Processing (NLP) technology.

Product-market fit is fundamental

The most common reason we’ll ancounter while interviewing pivoted startups is: products and services are not developing, or the traction grow slowly.

Above are some valuable lessons for Akseleran that product-market-fit is a very fundamental point for the survival of startup businesses.

Akseleran started its business as a solution to channeling loans to SMEs in the form of equity participation. After six months of release, Akseleran decided to pivot into P2P lending because of the slow distribution. After the pivot, Akseleran focus on the same target market, SMEs.

Akseleran’s co-founder and CEO Ivan Nikolas Tambunan revealed that the Indonesian market is quite receptive to equity-based funding. With the slow distribution, it makes Akseleran products less scalable and considered not market-fit.

Ivan also added, when the developed product has not been validated in the market when running the pivot process, startups should refrain from adding new human resources.

“At first, we have to give full information about the product roadmap and the business model. Therefore, they understand the changes. Well, to facilitate motivation and stay in one direction, it’s good for [the team] to start small,” he said.

Focus on the target market, not feature

Another point that should be noted for anyone who is building a startup is how important it is to focus on what the market needs, not what the company wants.

No matter how cool or sophisticated a product or service is, it will be useless if consumers are reluctant to use it.

This was experienced by Moselo who was originally a startup commerce chat provider for creative products. Richard Fang believes that this is often the case with startups who are just starting out.

He admitted that initially, his team was too focused on developing features, then forget the target market. When making a pivot into a marketplace that offers creative products, the company finally begins to focus on recognizing the right target market.

In addition, he said, the pivot that took time from August-December 2018 will actually make the company more relevant to consumers and businesses can be profitable.

“So what we did [during the pivot] was to sharpen Moselo’s target audience. We look for solutions that are appropriate from our data collection. Also, recognize the pain-points of the target because this can be a source of income for the business,” Richard added.

Measuring the limit of pivot success

Don’t ask how many startups failed to pivot. Lots.

Now, as startups, it is very important to know the extent of our limits to ensure that the pivots are run successfully or vice versa.

As we interviewed the three startups, each has its own parameter to measure the pivot success. Generally, it is the number of users or Gross Merchandise Value / Volume (GMV).

In terms of Kata.ai, Irzan mentioned after the pivot in 2016, the company has experienced business growth of three to five times, even already obtained profits in 2019. In addition, Kata.ai also has corporate customers from large-scale companies.

“Speaking of startups, talk of surviving. We have data and see which parameters can be improved. As an AI conversational startup, we look up to user engagement. Previously, we only have tens of thousands, now millions of users. Revenues also increased,” he said.

While Moselo pivots to get significant traction. Therefore, the number of transactions, the number of customers, and GMV will be the main parameters.

“Since the pivot, we have raised 320 percent GMV growth with users reaching up to 50 thousand. We continue to track the parameters in order to know whether this initiative succeeded or failed,” Richard said.

Similar to Moselo, Akseleran validates the action of this pivot with traction. Based on the company data, Akseleran can only distribute Rp2 billion funding while it was still an equity-based loan platform.

“In order to have a product-market fit, we validate it with traction. After turning into P2P lending, we have distributed more than Rp1 billion in the first month. Then it increased to Rp30 billion in six months. This validates whether the pivot is working or not.” Ivan added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian