Kemkominfo: Mencetak Talenta Digital Dimulai dari Kurikulum yang “Disruptif”

Indonesia saat ini memiliki empat startup unicorn, yaitu Gojek, Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak. Menkominfo Rudiantara sempat memprediksi setidaknya ada dua unicorn baru dalam 2-3 tahun ke depan.

Hal ini menandakan bahwa Indonesia memiliki peluang sangat besar dalam mencetak unicorn baru. Dalam skala besar, Indonesia dapat mengembangkan potensi di bidang ekonomi digital, terutama menghadapi industri 4.0. Namun Indonesia masih terbentur pada kurangnya talenta digital.

“Kita punya potensi ekonomi digital yang besar. Bagaimana unleash-nya? Kita kebanyakan potensi, tetapi kapan jadinya?” ungkap Staf Khusus Menkominfo Lis Sutjiati di Pembukaan idEA Works Pro, Kamis (11/4).

Menurutnya, hal ini dapat terjawab apabila Indonesia telah siap dalam mencetak talenta digital baru yang saat ini dinilai masih minim. Saat ini talenta-talenta terbaik kini menjadi rebutan sejumlah startup atau perusahaan besar.

Menurut riset McKinsey, lanjut Lis, Indonesia diprediksi memiliki 180 juta populasi di usia produktif sebagai penggerak ekonomi, dengan sembilan juta harus melakukan shifting profesi dan dua juta profesi bakal tidak relevan lagi di 2030.

Indonesia juga diperkirakan menjadi negara dengan ekonomi terbesar kelima di dunia pada 2030 berdasarkan metode Purchasing Power Parity (PPP) atau keseimbangan kemampuan berbelanja.

“Nah, 180 juta ini mau kerja apa? Ini yang menjadi tantangan terbesar kita. Indonesia butuh sembilan juta talenta di bidang digital untuk bisa unleash semua sektor potensial kita. Tidak hanya e-commerce dan fintech, tetapi juga kesehatan, agrikultur, dan pendidikan,” paparnya.

Memulai dari kurikulum pendidikan

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk menghadapi era ekonomi digital di masa depan adalah mencetak talenta-talenta baru melalui sejumlah program. Salah satunya ada Indonesia Digital Talent Scholarship yang menggaet sejumlah mitra global dalam penyediaan kurikulum, seperti IBM dan Cisco.

Namun hal itu saja belum cukup untuk menyelesaikan masalah kekurangan talenta di masa depan. Menurutnya, kemampuan non-teknis dan akademis atau soft skill dan hard skill seseorang dapat diasah melalui kurikulum pendidikan sejak sekolah dasar.

“Kita tidak bisa pakai kurikulum konvensional [untuk menambah talenta baru]. Kurikulumnya harus disruptif. Begitu juga industri [harus kasih kurikulum] supaya bisa match juga dengan industri,” ungkap Lis.

Kemampuan hard skill, seperti coding sudah bisa diperkenalkan sebagai mata pelajaran di sekolah. Demikian juga kemampuan soft skill, seperti critical thinking dan creative thinking. “Ini sama pentingnya juga karena creative thinking tidak bisa mengandalkan engine,” katanya.

Ketua Umum idEA Ignatius Untung menilai bahwa soft skill juga sama pentingnya dengan hard skill. Kemampuan ini sebetulnya yang wajib dimiliki generasi selanjutnya di masa depan.

“Diakui ada gap antara kampus dan industri masih besar. Ketika lulus mereka tidak siap untuk bekerja. Penting untuk memikirkan profesi di era ekonomi digital,” ujar Untung.

Grab Ventures Velocity Angkatan Kedua Incar Pemberdayaan Usaha Mikro

Grab resmi mengumumkan Grab Ventures Velocity (GVV) angkatan kedua, Rabu (10/4) kemarin. Berbeda dari angkatan pendahulunya, program flagship Grab ini akan fokus pada inovasi dan penyelesaian masalah di bidang agrikultur dan pemberdayaan usaha mikro.

Dalam pembukaannya, Presiden Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata menegaskan, sejak awal bahwa kehadiran program ini diharapkan dapat memberikan dampak luas. Tidak hanya untuk Grab, tetapi juga masyarakat.

“Kami meyakini dua fokus tersebut dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang besar di Asia Tenggara. Melalui program ini, kami juga ingin nurturing bakal unicorn selanjutnya (nexticorn) di Asia Tenggara,” tutur Ridzki di Jakarta.

GVV merupakan program khusus pengembangan startup yang berstatus post seed dan ingin melakukan scale up. Sebanyak 3-5 startup terpilih akan mendapatkan mentorship, akses ke basis pelanggan dan teknologi Grab, serta mereka dapat menguji coba solusinya di platform Grab.

Head of Investments & Programs Grab Ventures Aditi Sharma menambahkan, ada banyak peluang yang dapat digali dari agrikultur, terutama yang berkaitan dengan rantai pasokan makanan segar tradisional, seperti buah dan sayur-sayuran.

Indonesia dinilai punya banyak persoalan berkaitan dengan rantai pasokan produk pertanian. Rumitnya jalur perdistribusian hingga kondisi geografis di Indonesia membuat prosesnya menjadi lama dan tidak efisien.

Diharapkan GVV dapat memaksimalkan potensi startup dalam membawa bahan makanan segar secara terjangkau dan berkualitas kepada seluruh target pasarnya di Asia Tenggara.

Demikian juga pemberdayaan terhadap pedagang kecil yang bertujuan memotong biaya operasional agar dapat meningkatkan pendapatan mereka. Aditi menyebutkan uji coba solusi mereka akan mengandalkan jaringan agen Kudo yang saat ini telah dipakai di 250 ribu wirausahawan digital Indonesia.

“Di angkatan sebelumnya, startup hanya menguji coba layanannya di negara asal mereka sendiri. Pada angkatan kedua, mereka berkesempatan untuk pilot di semua negara di Asia Tenggara,” ungkap Aditi.

Selain fase pendanaan post seed, kriteria lain yang dicari pada program ini adalah startup yang memiliki product market fit, telah memiliki basis pengguna, dan memiliki strong early traction. Pendaftaran telah dimulai sejak 29 Maret hingga 15 Mei. Program ini sendiri akan berjalan dua bulan (Mei dan Juni).

GVV didukung sejumlah instansi pemerintah terkemuka di Indonesia, seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) dan Badan Kreatif Ekonomi (BEKRAF).

Memberikan Peran “Big Data” terhadap Kehidupan Sosial dan Ekonomi

Implementasi big data atau himpunan data dalam jumlah besar umumnya lebih sering ditujukan untuk kebutuhan bisnis. Dewasa ini, big data banyak dijadikan sebagai salah satu penentu dalam pengambilan keputusan bisnis.

Berbicara dalam scope yang lebih luas, big data tak hanya diandalkan semata-mata untuk itu. Big data dapat diaplikasikan pada jenis usaha yang dapat memberikan perubahan lebih baik terhadap masyarakat.

Apalagi saat ini Indonesia memiliki populasi 268 juta, di mana terdapat 355 juta mobile subscriber dan 150 juta pengguna internet. Ini akan mengarah pada semakin besarnya spending data dari berbagai sektor di masa depan.

Co-founder dan CEO Volantis Bachtiar Rifai pada sesi #SelasaStartup kali ini akan mengulas lebih dalam tentang bagaimana big data dapat memberikan dampak sosial yang lebih luas.

Volantis sendiri adalah startup hasil ekspansi Kofera Technology, startup penyedia platform otomasi pemasaran di Indonesia. 

Dimulai dari perencanaan dan sinkronisasi data

Bachtiar membuka ceritanya dengan menggambarkan situasi saat ini, di mana kehadiran internet dan produk turunannya telah meningkatkan status sejumlah masyarakat (society) di Indonesia.

Misalnya, dari yang tadinya unbankable, kini sudah memiliki akses ke ragam layanan digital. Bahkan golongan ini juga sudah bisa membeli barang dengan cicilan kartu kredit.

Dalam kaitannya dengan big data, Bachtiar menilai teknologi tersebut dapat memberikan nilai tambah dalam kehidupan masyarakat kecil, seperti petani.

Ia mencontohkan bagaimana petani di Indonesia tidak pernah diberitakan secara positif. Yang terjadi, petani sering kali mengalami kesusahan karena produknya tidak laku.

Belum lagi sering terjadinya miskoordinasi antara supply dan demand. Pemerintah justru membuat kebijakan impor, padahal banyak petani panen di sejumlah daerah di Indonesia.

Menurutnya, hal di atas terjadi karena pemerintah tidak sepenuhnya data-driven sehingga ada banyak informasi di lapangan yang tidak terdata dengan baik. Contohnya, belum ada informasi mengenai kapan petani panen hingga waktu yang tepat bagi petani untuk mendistribusikan hasil panennya.

“Ini bisa terjadi karena tidak ada big data [dan turunannya], yakni artificial intelligence (AI) dan machine learning. Tidak ada sinkronisasi data. Masalah ini tidak sulit, tapi memerlukan niat dan koordinasi dari semua stakeholder BUMN,” ungkapnya.

Memiliki data-driven policy

Bachtiar menilai perencanaan dan sinkronisasi data dapat diterapkan dengan adanya kebijakan tentang integrasi data (data-driven policy). Malahan, big data juga digunakan untuk membuat kebijakan baru di masa depan.

Tentu saja, dalam jangka panjang, kebijakan yang dihasilkan dari big data diharapkan dapat memberikan dampak terhadap kemajuan ekonomi di Indonesia.

“Tanpa ada data, [kita] tidak bisa eksperimen. Justru data akan membantu kita untuk eksperimen, dan dengan machine learning kita bisa membuat kebijakan,” tambahnya.

Membudayakan data mindset

Tentu saja, elemen paling mendasar yang perlu dilakukan untuk mencapai hal-hal di atas adalah membudayakan data mindset dan keterbukaan data (data sharing).

Menurut Bachtiar, kedua elemen tersebut akan mempermudah integrasi data antara institusi dan industri yang selama ini dinilai masih tercerai-berai. 

“Ini menjadi pekerjaan rumah paling sulit bagi kita. Dan hal ini tidak mungkin diselesaikan oleh satu generasi. Ini harus dimulai dari sekarang,” ungkap Bachtiar.

Pemerintah menjadi enabler

Pemerintah juga dituntut berperan sebagai enabler dengan membudayakan keterbukaan data dalam sistem pemerintahannya agar ekosistem dapat tercipta.

Saat ini, pemerintah memang sudah mengambil perannya dengan membangun situs data.go.id. Situs ini menjadi pusat dari beragam data, seperti infrastruktur dan indeks kemiskinan. Namun ia menilai pengelolaannya tidak optimal karena data yang ditampilkan tidak up-to-date.

“Seharusnya proyek tersebut bisa terus berjalan karena kehadiran data-data di atas dapat mendorong data-driven society. Data bisa diutilisasi dalam penentu kebijakan, di mana ini juga akan berpengaruh ke masyarakat,” paparnya.

Tokopedia-UI Berkolaborasi, Percepat Adopsi Teknologi Lewat Pusat Pengembangan AI

Indonesia masih berada di fase awal jika bicara implementasi teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Namun, bukan berarti ekosistemnya saat ini masih nol.

Sudah banyak pelaku industri di bidang AI. Sejumlah perusahaan juga sudah mulai mengadopsi teknologi ini untuk peningkatan layanan. Menurut riset IDC, adopsi AI telah mencapai 14 persen di Indonesia, itupun untuk pebisnis.

Kemarin kolaborasi terjadi antara Tokopedia dan Universitas Indonesia (UI) untuk mengakselerasi adopsi AI di Tanah Air. Kolaborasi ini menghasilkan AI Center of Excellence yang diresmikan langsung, Kamis (28/3) di Fakultas Ilmu Komputer UI.

AI Center of Excellence menjadi pusat pengembangan AI yang menggunakan teknologi super-komputer deep learning dari NVIDIA, yakni NVIDIA® DGX-1. Pusat ini akan mempertemukan para peneliti dan akademisi dalam merancang solusi untuk menyelesaikan beragam masalah.

“Teknologi AI menjadi jalan untuk rujukan akademisi di internasional. Maka itu, kami bekerja sama dengan mitra industri, Tokopedia, supaya ke depan kami dapat menghasilkan solusi AI yang teoritas dan aplikatif,” tutur Rektor UI Muhammad Anis di acara peluncuran.

Pada kesempatan sama Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir mengatakan bahwa bentuk kerja sama semacam ini dapat direalisasikan secara masif untuk pengembangan riset di masa depan.

Tidak hanya UI, kerja sama dapat berlaku untuk semua perguruan tinggi. Sebelumnya sudah ada kerja sama untuk pusat pengembangan AI dan cloud computing di Indonesia, hasil kerja sama Bukalapak dan Institut Teknologi Bandung (ITB).

“Dulu riset itu hasilnya hanya dicetak dan ditinggal di perpustakan. Saya pikir ini semua perlu diaplikasikan ke industri. Makanya, nanti riset seharusnya on-demand dan market driven,” ucapnya.

CEO Tokopedia William Tanuwijaya menyebutkan bahwa kolaborasi ini bisa terjadi karena Indonesia sangat minim terhadap talenta di bidang teknologi dan teknologi lebih lanjut (advanced).

“Kolaborasi perlu dari akademisi, praktisi, sehingga bisa mencari jalan keluar. Kami pun mostly gunakan investasi untuk sumber daya manusia. Nantinya AI bakal jadi nadi perubahan teknologi di masa depan, tidak hanya untuk sektor tertentu, tetapi untuk semua.”

Pengembangan AI untuk mendorong pemerataan ekonomi

William menekankan pentingnya teknologi dalam memudahkan pengguna saat bertransaksi di platform jual-belinya. Hingga Januari 2019, transaksi di Tokopedia telah terjadi di 93 persen kecamatan di seluruh Indonesia.

Kehadiran teknologi AI diharapkan menjadi salah satu moda untuk mendorong pemerataan ekonomi yang selama ini menjadi mimpi besar Tokopedia. Saat ini, ungkap William, pihaknya tengah melakukan riset untuk pengembangan merchant on-demand.

“Kami terus lakukan riset AI untuk prediksi demand pada merchant dengan membangun smart warehouse. Nantinya, setiap pebisnis dapat melayani ke semua provinsi dengan mengikuti di mana pasarnya tanpa harus membangun warehouse. Makanya, ke depan tren urbanisasi tak perlu dilakukan,” jelas William dalam sambutannya.

Tokopedia juga mengembangkan AI yang dikemas dalam sebuah fitur yang sederhana di dalam platform-nya. Fitur ini diperagakan langsung saat Demo Session usai peluncuran resmi AI Center of Excellence.

Head of Research Scientist Tokopedia Irvan Bastian Arief mengungkapkan, fitur “Image Search” dirancang sedemikian rupa agar dapat langsung dipakai dengan mudah oleh seluruh penggunanya.

“Fitur ini sudah tersedia di aplikasi pada bagian kolom pencarian. Pengguna bisa langsung mencari produk yang diinginkannya tanpa perlu menuliskan teks, hanya dengan gambar,” ujar Irvan.

Fitur ini sendiri juga dengan dirancang dengan sejumlah variabel, salah satunya memperhitungkan lokasi penjual produk yang dicari pembeli dengan lokasi pembeli dari hasil pencarian.

Selain itu, Demo Session juga menampilkan Vehicle Recognition dan Emotion Recognition yang merupakan hasil pengembangan riset akademisi di UI.

Application Information Will Show Up Here

Jubelio Berencana Ekspansi Bisnis ke Singapura dan Vietnam Tahun Ini

Startup penyedia platform omni-channel Jubelio tengah menjajaki peluang bisnis di luar negeri. Startup yang berdiri di 2016 tersebut berencana untuk ekspansi ke Singapura dan Vietnam pada tahun ini.

Co-founder Jubelio Andra Yusuf mengatakan rencana ekspansi ini sejalan dengan adanya kebutuhan omni-channel di kedua negara tersebut. Ia mengungkap sudah ada mitra lokal di negara setempat yang mengajak kerja sama ekspansi.

“Ke depannya kami ingin Jubelio ada di setiap negara [yang butuh solusi omni-channel]. Kami ingin menjadi salah satu pemain besar di Asia Tenggara,” tutur Andra kepada DailySocial.

Untuk saat ini Jubelio belum bisa menyebutkan nama perusahaan yang akan menjadi mitra resminya di negara-negara tersebut. “Kami belum tahu kapan resmi masuk, yang pasti kami akan ekpansi di salah satu negara itu tahun ini,” ucapnya.

Sebagaimana diketahui, sejumlah merchant dan pelaku usaha ritel di Indonesia sudah mulai mengadopsi omni channel. Konsep ini sendiri diprediksi menjadi masa depan e-commerce dan ritel karena memiliki banyak kanal penjualan terintegrasi.

Jubelio merupakan salah satu pemain di Indonesia dalam penyediaan platform yang memudahkan pelaku usaha mengelola produk dan transaksi dari berbagai marketplace dalam satu dasbor.

Saat ini, Jubelio memiliki bisnis utama Software Omni-channel Management berbasis cloud yang mengintegrasikan Sales Channel (offline atau online), Inventory Management, Order Management (WMS), Point of Sale (POS), penyedia logistik, Loyalty Reward System, dan Sistem Akunting Terpadu dalam satu platform.

Masuk ke bisnis analisis data

Selain bisnis di atas, perusahaan juga menjajaki peluang bisnis baru, yaitu analisis data. Ini merupakan salah satu strategi “hard selling” perusahaan setelah fokus melakukan pengembangan produk sejak awal berdiri hingga pertengahan tahun lalu.

Andra menjelaskan fitur analisis data akan memudahkan para pebisnis retail untuk mengetahui segala informasi terkait produknya, mulai dari kapan produk harus diperbanyak, jenis produk terjual, dan perencanaan marketing sesuai kategori (berdasarkan bulan, minggu, kota, gender).

“Fitur analisis data ini akan diolah berdasarkan data penjualan mereka sendiri di Jubelio. Kami akan mengandalkan kecerdasan buatan (AI) dalam pengolahan data,” ujarnya.

Hingga per Februari 2019, Jubelio telah mengantongi 2000 pendaftar, dengan pengguna aktif mencapai 700. Tahun ini, Jubelio membidik 10.000 pengguna aktif. Jubelio juga akan ekspansif menambah jumlah SDM, terutama dari divisi teknologi produk.

Saturdays Tawarkan Produk Lifestyle dengan Konsep Penjualan O2O

Saturdays mungkin bukanlah satu-satunya startup yang menawarkan produk lifestyle di Indonesia. Meskipun demikian, mereka hadir dengan konsep direct-to-consumer dengan meniadakan perantara dalam menjual produknya.

Dengan eyewear sebagai bisnis utamanya saat ini, Saturdays.id menawarkan kacamata berkualitas dengan harga terjangkau. Produksi lensa dan frame dilakukan sendiri mulai dari desain, manufaktur, hingga pengiriman langsung ke konsumen.

Dari sisi penjualan, Saturdays memanfaatkan konsep online-to-offline (O2O) melalui penjualan online dan toko retail. Toko flagship pertamanya baru dibuka pada Februari 2019 di Lotte Shopping Avenue. Toko ini terintegrasi dengan gerai kopi untuk memberi sentuhan lifestyle.

Kepada DailySocial, CEO Saturdays Rama Suparta mengatakan, kini perbedaan online retail dan offline retail semakin tidak nyata karena industri ritel mulai fokus dalam memberikan kenyamanan berbelanja kepada konsumen.

Menurutnya sejumlah perusahaan ritel tradisional sudah merambah penjualan online melalui website, marketplace, dan media sosial. “Begitu juga [perusahaan] retail online kini punya offline channel agar konsumen bisa coba produk dan berinteraksi langsung,” ujar Rama.

Rama berharap tahun ini akan ada semakin banyak gerai fisik Saturdays di Indonesia yang tetap konsisten mengusung konsep lifestyle.

Selain toko flagship, Saturdays saat ini sudah hadir di sejumlah mall di Jakarta. Pihaknya juga bermitra dengan 13 lifestyle store di Jakarta, Bali, Surabaya, Bandung, dan Yogyakarta.

Kolaborasi fintech dan pengembangan aplikasi

Tahun ini Saturdays telah mengagendakan sejumlah rencana untuk mendorong pertumbuhan bisnisnya dan meningkatkan pengalaman berbelanja, baik di toko online maupun toko offline.

Dari sisi teknologi, Rama mengungkapkan pihaknya tengah mengembangkan aplikasi mobile untuk penjualan produk kacamata Saturdays. Ia juga tak menampik kemungkinan diversifikasi produk lain yang berhubungan dengan lifestyle dan teknologi ke depannya.

Tak kalah penting, pihaknya kini tengah menjajaki kerja sama dengan beberapa penyedia layanan fintech dan perusahaan teknologi untuk memberikan pengalaman belanja O2O yang lebih baik di masa depan.

“Teknologi merupakan bagian penting dari bisnis kami. Sejak awal didirikan, visi kami adalah dengan menggabungkan desain, teknologi, dan giving back,” tuturnya.

Mencermati perkembangan konsep new retail

Sebagai penyedia layanan O2O, Saturdays tak mengabaikan konsep new retail yang diprediksi bakal menjadi perkembangan commerce di masa depan. New retail sendiri digagas Alibaba yang menggabungkan teknologi dalam memberikan pengalaman belanja yang lebih baik.

Rama menyebutkan konsep ini sebetulnya dapat berguna untuk lebih memahami perilaku berbelanja konsumen, tidak hanya sekadar soal kenyamanan berbelanja yang lebih personal dan efisien. Menurutnya, konsep new retail telah diadopsi sejumlah brand besar, seperti Amazon dan Nike.

Untuk saat ini, ia mengaku masih mencermati perkembangan teknologi, seperti augmented reality, online eye testing, dan chatbot. Nantinya teknologi ini dapat diimplementasi untuk memberikan pengalaman berbelanja terintegrasi dan seamless kepada konsumen Saturdays.

Medigo Perkenalkan Layanan Kesehatan Digital Terintegrasi

Medigo, startup penyedia platform layanan kesehatan, resmi memperkenalkan tiga solusinya untuk rumah sakit, klinik, dan pasien. Ketiga solusi ini diharapkan dapat menciptakan ekosistem digital terintegrasi di industri kesehatan.

Kepada DailySocial, CEO Medigo Harya Bimo mengungkapkan misinya untuk menghubungkan ekosistem industri kesehatan (pasien, dokter, rumah sakit, dan klinik) dengan teknologi digital.

Menurutnya, ada banyak masalah yang melingkupi industri kesehatan di Indonesia, termasuk belum terintegrasinya sistem rumah sakit, klinik, asuransi, dan pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya.

Birokrasi yang rumit juga menyulitkan pasien untuk mendapat akses terhadap rekam medis mereka saat pergi ke rumah sakit rujukan. Apalagi industri kesehatan terbilang konvensional, ketika rekam medis masih ditulis secara manual.

“Bagi kami bukan pasien yang menjadi permasalahan utama tetapi provider-nya. Industri ini sangat high regulated dan tertutup,” ujar pria yang karib disapa Bimo ini.

Dibanding kebanyakan startup healthtech yang menyasar sisi hilir (pasien), Medigo memilih menyasar segmen hulu (penyedia layanan kesehatan).

Nantinya perusahaan berharap bisa menjadi penghubung (healthcare gateway) pihak layanan kesehatan dengan asuransi, perbankan, farmasi, hingga perusahaan swasta yang terlibat di industri ini.

Tawarkan solusi industri kesehatan terintegrasi

Medigo menawarkan platform untuk rumah sakit agar dapat mengatasi masalah pada pasien rawat jalan, seperti proses administrasi yang lama dan manual.

Lewat platform ini, pihak rumah sakit dapat mengelola pendaftaran pasien, sistem antrian dan slot pasien, dan jadwal dokter secara online.

Selanjutnya, aplikasi Qlinik diperuntukkan bagi klinik-klinik untuk mengoptimalkan pengelolaan pasien rawat jalan, mulai dari pendaftaran hingga jadwal dokter. Aplikasi ini sudah dapat diunduh di Play Store.

Terakhir adalah aplikasi untuk pasien yang ingin berkonsultasi, mengecek resume, dan melakukan pembayaran. Aplikasi ini terhubung dan terkustomisasi dengan sistem rumah sakit. Saat ini aplikasi tersebut belum dirilis ke publik.

“Kami ingin memberikan pengalaman seamless, termasuk obat langsung dikirim ke rumah. Makanya, kami kerja sama dengan Qasir untuk Point of Sales dan Prosehat untuk pengiriman obat,” ungkap Bimo.

Per Maret 2019, Medigo sudah melakukan pilot dengan dua rumah sakit (RSPP dan RSPJ), lebih dari 100 klinik, dan layanannya telah mengantongi 100 ribu interaksi. Tahun ini, Medigo akan mendorong kerja sama dengan sepuluh rumah sakit, 500 klinik, dan membidik tiga juta transaksi.

Medigo baru saja menerima pendanaan di Q4 2018 dari Venturra Discovery dengan nilai yang tidak bisa disebutkan. Tim Medigo terdiri 27 orang termasuk dengan para advisor.

“The next big thing

Bimo meyakini bahwa layanan kesehatan digital (healthtech) akan booming di masa depan setelah layanan fintech. Dalam lima tahun terakhir sektor kesehatan di Indonesia diprediksi tumbuh tiga kali lipat menjadi $21 miliar.

“Memang untuk startup healthtech jarang ada yang sustained, karena industri kesehatan itu sangat high regulated. Kami yakin untuk bisa tumbuh, apalagi masih banyak puluhan ribu klinik belum terdaftar. Saat ini, kami ingin perkuat layanan kami di Jawa dan Sumatera,” tuturnya.

Application Information Will Show Up Here

Astra Digital Jadi Pengejawantahan Bisnis Masa Depan Astra International

Setelah resmi menjadi entitas terpisah dari raksasa otomotif Astra International tahun lalu, Astra Digital kini semakin fokus dalam mengembangkan produk sebagai persiapan dalam menyambut era digital di masa depan.

Di bawah bendera PT Astra Digital Internasional, saat ini perusahaan telah memiliki empat produk sekaligus yang diharapkan dapat menjadi satu ekosistem yang saling terintegrasi. Tentu akan ada banyak pekerjaan rumah yang perlu dilakukan untuk memperkenalkan produk ini.

Di 2018, secara bertahap Astra Digital merilis empat layanan di bidang transportasi dalam bentuk aplikasi dan situs. Keempat layanan ini adalah Seva.id, CariParkir, Sejalan, dan Movic.

Kepada DailySocial, Head of Content Astra Digital Kania Kismadi mengungkapkan, kehadiran Astra Digital merupakan langkah besar induk usaha untuk bertransformasi di era digital.

Customer base Astra Group besar, tapi tidak pernah mendapat tersentuh [layanan] digital. Makanya, kami mulai [transformasi] dengan empat produk ini, dalam bentuk website dan aplikasi,” ujar Kania.

Keempat produk ini diinkubasi sendiri oleh perusahaan. Demikian juga pengelolaannya dijalankan oleh divisi yang berbeda-beda.

Kania berujar tahun ini menjadi tahun pengembangan produk secara masif untuk melihat layanan yang paling berkembang.

“2019 adalah tahun enhancement produk. Kami lakukan trial and error mana yang sesuai kebutuhan pengguna. Baru nanti kami pilih produk mana yang kami fokuskan,” ujarnya.

Saat ini Astra Digital masih menerima kucuran pendanaan dari investor tunggal, yakni Astra International. Secara total perusahaan memiliki 80 karyawan yang mengurusi pengembangan bisnis dan 60 karyawan di sisi teknologi.

Mengembangkan product market fit dan “Astra fit

Lahir dari induk korporat, Astra Digital berupaya menyejajarkan langkah mereka dengan para pelaku usaha digital saat ini melalu pengembangan produk yang lebih masif. Menurut perusahaan, keempat produk yang dimilikinya saat ini telah melewati masa pengembangan selama tiga tahun.

Astra Digital punya alasan mengapa pihaknya langsung mengembangkan empat layanan. Menurut Head of Digital Marketing and Services Astra Digital Fransiscus Andry Wibisono, yang akrab dipanggil Frans, ini adalah upaya persiapan Astra untuk menghadapi era digital di masa depan.

Pihaknya juga dituntut untuk lebih agile untuk menghadapi kemungkinan produknya gagal di pasar. Menurutnya, jika ada sepuluh produk dikembangkan, belum tentu semuanya bisa diterima pasar.

“Ini persiapan kami menghadapi 2020 ke atas, di mana milenial bakal menjadi tech savvy. Makanya, [layanan] yang dari awal offline, sekarang kami arahkan ke digital,” tutur Frans.

Ia menilai pengembangan produk tunggal justru akan menyulitkan mereka beradaptasi dengan kebutuhan konsumen yang akan berubah-ubah. Apalagi Astra adalah perusahaan konglomerat yang telah berdiri sejak lama. Akan ada tantangan untuk bertransformasi dan berevolusi di era digital.

“Kalau di kondisi sekarang tidak bisa menunggu [pengembangan produk] satu-satu. Tentu kami sangat berhati-hati. Kami tidak ingin produk kami market fit,  tapi juga Astra fit karena kami memikirkan ekosistem,” tutupnya.

Hipotesis-Hipotesis Investor dalam Mengucurkan Pendanaan

Pemodal ventura atau venture capital (VC) adalah salah satu elemen penting dalam ekosistem digital. VC menyalurkan pendanaan kepada startup tentu dengan sebuah proyeksi, baik keuntungan maupun pertumbuhan industri.

Banyak di antara kita yang pasti bertanya-tanya, kriteria apa saja yang sebetulnya diperlukan bagi VC sebelum memutuskan untuk menyuntik investasi kepada startup.  Apakah dari produk yang dikembangkannya? Atau idenya yang otentik?

Untuk menjawab hal ini, DailySocial kedatangan Co-Founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca yang berbagi pengalamannya seputar pendanaan startup pada sesi #SelasaStartup kali ini.

Mari kita simak ulasannya berikut ini:

Time capsule

Selama sepuluh tahun menjadi investor, Willson berbagi pengalamannya dalam mendanai startup-startup di Asia, khususnya di Indonesia. Dalam proses tersebut, ia menekankan perlunya membangun hipotesis sebelum membuat keputusan.

Willson bercerita bagaimana sepuluh tahun lalu tidak ada investor lokal yang mau berinvestasi di startup. Padahal, Indonesia merupakan pasar yang besar dengan sekelumit masalah. Ia berpikir sebaliknya karena sejumlah hipotesis yang ia yakini.

Sebagai contoh, vertikal e-commerce merupakan produk startup yang berkembang cepat di awal industri ini muncul. E-commerce dinilai menjadi lokomotif industri startup Indonesia. Menggunakan hipotesis model time capsule, e-commerce berkembang lebih dulu di negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Tiongkok, dan Rusia. Hal yang sama seharusnya akan hadir di Indonesia. Oleh karena itu, East Ventures memutuskan berinvestasi di sektor e-commerce.

“Kenapa mau investasi di startup sepuluh tahun lalu? Kita melihat adopsi digital di Indonesia cepat. Facebook dan Twitter saat itu belum ada kantor, tapi penggunanya banyak di Indonesia,” papar Willson.

Dengan banyaknya masalah di Indonesia sangat banyak, peluangnya juga semakin besar. Hal ini pula yang memperkuat keyakinannya untuk membangun industri ini.

Global knowledge, local execution

Terkait banyaknya berinvestasi ke founder yang memiliki pendidikan di luar negeri, khususnya Amerika Serikat, Willson menyebutkan sesungguhnya hal tersebut bukanlah hal yang utama.

Mereka yang berstudi di Amerika Serikat sudah mendapatkan knowledge dari negara-negara maju. Meskipun demikian, ketika akan diterapkan di Indonesia, mereka harus memperhatikan kondisi setempat, karena permasalahan di Indonesia biasanya unik dan berbeda dengan di negara maju.

Harus ada pendekatan pemahaman permasalahan dan eksekusi lokal untuk memberikan solusi di negara ini.

Single market domination

Willson meyakini konsep single market domination. Startup dapat fokus ke pasar yang diinginkan sebelum memutuskan untuk ekspansi.

Menurutnya, penting bagi startup untuk mengembangkan produk sesuai kebutuhan pasar dan target pengguna yang benar-benar dituju karena Indonesia memiliki pasar yang luas.

“40 persen populasi di Asia Tenggara itu dari Indonesia. Populasi Singapura itu tidak ada apa-apanya. Makanya, siapapun yang menang di Indonesia, pasti bisa kuasai Asia Tenggara.

Pendekatan bottom up

Hal lain yang disoroti adalah bagaimana mereka membangun produk yang dibuat. Sebagai investor, Willson memilih startup yang mengedepankan pendekatan bottom up, bukan top down dalam mengembangkan produknya.

Pendekatan bottom-up yang ia maksud adalah bagaimana startup melihat masalah yang ada di lapangan dan mencari solusinya.

“Yang harus dilakukan founder adalah amati masalahnya apa dan di mana. Bukan cari [masalah] dari berita yang ada internet. Kalau perlu dites apakah masalahnya betul ada, berarti ada problem statement. Apabila ada yang mau pakai produk kita, artinya sudah market fit,” jelasnya.

Yang penting orang dan industri

The key about investing adalah bukan tentang produknya, tetapi orang dan industrinya,” ungkap Willson.

Ia bercerita pengalamannya saat East Ventures berdiri. Ada tiga hal yang menjadi kriteria utama dalam menentukan investasi kepada startup, yaitu people, product, dan potential market (3P).

Seiring berjalannya waktu, Willson menilai bahwa produk tidaklah lagi menjadi kriteria utama, tetapi people dan potential market. Ia meyakini good people (team) dapat membangun produk yang baik.

People‘ yang dimaksud dalam hal ini juga merujuk pada founder. Menurutnya, penting untuk memiliki founder yang paham pasar. Dengan begitu, produk yang dibuat dapat relevan dalam mengatasi masalah-masalah yang ada.

“Untuk menjadi founder startup, mereka harus punya global knowledge dan local experience. Indonesia itu negara kepulauan terbesar dengan 17.000 pulau. Orang [luar] tidak bakal mengerti kompleksitas di sini,” ujarnya.

Founder muda tanpa pengalaman

Masih bicara tentang founder, Willson punya pemikiran terbalik dalam menentukan pendanaan kepada startup. Dalam hipotesisnya, ia lebih memilih founder yang tidak berpengalaman daripada yang punya banyak pengalaman.

Menurutnya, founder yang berpengalaman cenderung akan terjebak dalam pemikirannya sendiri. Hal ini dinilai akan menghambat startup dalam berkembang karena hanya mencari solusi masalah dari cara founder berpikir.

“Kalau founder terlalu paham, saya justru takut berinvestasi. Karena saat solving problem, mereka akan terjebak di pemikiran founder-nya saja. Makanya di East Ventures, kami tidak suka mentorship. Kami tidak ingin mereka terkungkung mengerjakan sesuai pemikiran investor,” tutur Willson.

Platform Marketplace Iklan ADX Asia Berkomitmen Dorong Pertumbuhan UKM Indonesia

Sejak awal tahun ini, ADX Asia telah mengumumkan komitmennya untuk mendorong segmen UKM di Indonesia. Komitmen ini diwujudkan dengan memberikan akses yang lebih mudah bagi UKM untuk beriklan di platform-nya.

Kemudahan yang dimaksud adalah akses untuk beriklan secara end-to-end, dengan harga yang bervariasi, mulai dari Rp10.000. Demikian juga pilihan kategori iklan yang beragam.

Menurut Head of Marketing ADX Asia Frebriansyah Hermansyah, saat ini terdapat 50 juta UKM di Indonesia yang belum mampu memaksimalkan usaha karena keterbatasan biaya dalam mempromosikannya.

Padahal, kata Frebri, UKM sebetulnya lebih membutuhkan impact daripada exposure saat beriklan. Berkebalikan dengan perusahaan atau brand besar. UKM juga memiliki keterbatasan biaya.

“Misi kami adalah membantu semua UMKM di Indonesia untuk memiliki kesempatan beriklan yang sama dengan brand-brand yang sudah besar,” ujar Frebri saat bertandang ke kantor DailySocial.

ADX Asia merupakan platform yang menyediakan marketplace atau spot untuk beriklan. Sebelum menyasar ke segmen UKM, layanan ADX Asia tadinya hanya menyasar korporat dan brand besar saja. ADX Asia telah berdiri selama 2,5 tahun dan baru digunakan oleh 200 perusahaan.

Perusahaan memetakan jasa beriklan ke dalam beberapa kategori, mulai dari billboard, digital screen (SPBU, mol, lifestyle, airport, inFlight, Videotren, dan Cinema), digital advertising (Adwords, Facebook & Instagram, SMS Blast, dan SMS Targeted), dan experience branding.

Selain itu, ADX memiliki jangkauan iklan di sejumlah area atau tempat di berbagai titik lokasi yang tersebar di DKI Jakarta hingga ke Tangerang.

Lebih lanjut, untuk menjangkau target pasar, ADX akan membantu menyiapkan konten iklan agar hasilnya lebih optimal. ADX juga akan mendukung pengembangan bisnisnya melalui edukasi, seperti kelas komunitas setiap bulan, blog, dan beragam jenis konten lainnya yang dapat diakses oleh UKM.

“Kami akan approach komunitas-komunitas bisnis untuk membantu mereka, mulai dari cara membuat konten, copywriting, dan berbagai aspek bisnis. Dengan begitu, mereka bisa membawa bisnisnya ke next level dari sisi branding dan iklan,” tutur Frebri.

Sementara dari sisi ADX, pihaknya akan melakukan pengembangan User Interface (UI) dan User Experience (UX) pada website-nya sesuai kebutuhan pengguna. Frebri menyebut pihaknya tengah menggarap fitur reporting agar pengguna dapat melihat laporan langsung melalui website.

“Teknologinya tetap kami yang sediakan, karena kita seperti Content Management System (CMS). Tetapi inventorinya tetap ada di pengguna,” katanya.

Dengan membidik segmen UKM, ADX Asia membidik pertumbuhan bisnis hingga sepuluh kali lipat dari tahun 2018, baik dari sisi pendapatan maupun jumlah pengguna. Tahun lalu, bisnis ADX Asia mengalami pertumbuhan 15 kali lipat dari tahun 2017.