Mendorong Implementasi “Open API” Perbankan di Indonesia

Dengan semakin maraknya saluran dan aplikasi digital di sektor finansial, generasi modern sekarang sudah jarang mengunjungi cabang bank lokal untuk memenuhi kebutuhan finansial mereka. Masyarakat ingin mengakses layanan perbankan bukan di mana bank berada, tetapi di mana mereka berada. Perbankan kini berinovasi dengan customer journey dan multi-channel yang semakin modern.

Kemunculan permintaan baru ini, dikombinasikan dengan kemunculan teknologi perangkat lunak yang semakin inovatif, menciptakan bentuk keuangan baru yang disematkan melalui application programming interfaces (API) yang memungkinkan layanan bank dan data konsumen terintegrasi pada aplikasi pihak ketiga.

Pengamat ekonomi INDEF Nailul Huda menyampaikan bahwa open API sebenarnya bukan barang baru dalam ekosistem keuangan global namun masih baru di ekosistem keuangan di Indonesia. Lalu, mengapa open API menjadi penting dalam evolusi sektor perbankan?

Implementasi open API perbankan

Pada tahun 2010, pembuat kebijakan Inggris dan Eropa membuat peraturan yang mewajibkan bank untuk membuka data dan layanan kepada pihak ketiga secara aman untuk mendorong inovasi yang akan mengubah dan menciptakan produk keuangan yang lebih baik bagi konsumen. Hal ini menghasilkan investasi yang lebih besar di ekosistem fintech, karena banyak pengusaha dan investor mengambil kesempatan untuk melakukan revolusi perbankan dengan dukungan infrastruktur yang ada.

Inisiatif ini juga disebut open banking atau perbankan terbuka, yang dikeluarkan di Inggris dengan peraturan Perbankan Terbuka Inggris dan di benua Eropa dengan Petunjuk Layanan Pembayaran 2 (PSD2). Beberapa pemimpin industri memahami potensi bisnis yang menarik, tetapi tidak sedikit yang memilih untuk mempertahankan status quo.

Source: BLUEPRINT SISTEM PEMBAYARAN INDONESIA 2025
Source: Blueprint sistem pembayaran Indonesia 2025

Di Indonesia sendiri, pengembangan open banking melalui API telah diimplementasi oleh beberapa bank, termasuk BCA, BRI, Permata Bank, BNI, CIMB Niaga, dan Mandiri.

Tahun 2016 menjadi momen awal perbankan membuka diri ke ekosistem dalam bentuk API. Saat itu, BCA, melalui Finhacks 2016, sebuah upaya percepatan inovasi digital Indonesia di bidang financial technology (fintech). Hal ini bertujuan untuk memperkenalkan ketersediaan API ke komunitas pengembang di Indonesia.

Selanjutnya, BRIAPI memungkinkan konsumen bisnis melakukan transaksi dan mengakses informasi mengenai produk-produk BRI langsung dari aplikasi, mulai dari fitur pembayaran lewat virtual account dan Direct Debit, fitur isi ulang saldo BRIZZI, hingga fitur pengecekan lokasi Kantor Cabang dan lokasi E-Channel BRI. Di sisi internal perusahaan, open API BRI juga memudahkan proses pengecekan saldo dan mutasi rekening bisnis, hingga melakukan transfer baik menuju rekening BRI maupun bank lainnya.

Salah satu BUMN yaitu Bank Mandiri belum lama ini juga mengenalkan layanan Mandiri Application Programming Interface (API) yang menyasar pasar pelaku bisnis digital, seperti financial technology (fintech) dan e-commerce, yang sedang tumbuh di Indonesia. Mandiri API memiliki 13 fitur sandboxing serta 3 fitur by call untuk top up e-money, direct debit, dan seller financing. Platform ini dapat diakses oleh pelaku bisnis digital untuk mencari informasi produk, melakukan pengembangan dan uji coba, serta integrasi produk dan layanan perbankan Bank Mandiri langsung melalui situs ataupun aplikasi mereka.

Selain itu, open API juga bisa mempecepat proses interlink antar perbankan dan layanan jasa keuangan lainnya seperti fintech pembayaran, fintech p2p lending, ataupun jenis fintech lainnya.

Sejumlah bank juga secara progresif menjalin kolaborasi dengan fintech. Sejak tahun 2018, BRI sudah memulai kerjasama dengan menyalurkan pendanaan melalui platform fintech Investree dan Modal Rakyat. Startup fintech Modalku juga telah bekerja sama dengan Bank Sinarmas sebagai bank kustodian yang akan berwenang untuk menampung dana pemberi pinjaman untuk bisa meningkatkan keamanan dan transparansi dana.

Pada dasarnya, implementasi open API di Indonesia bertujuan sama. Menyongsong era ekonomi digital dan inklusi finansial. Diharapkan dengan tersedianya berbagai fitur ini akan mendorong terjadinya perubahan besar di ekosistem perbankan nasional.

Pandemi picu akselerasi digital dan keterbukaan

Menurut survei yang diadakan Comscore bertajuk “COVID-19 and its impact on Digital Media Consumption in Indonesia”, tertera data-data tentang jumlah pengguna internet yang semakin meningkat di masa pandemi. Masyarakat mulai mengurangi interaksi dan transaksi langsung, serta lebih memilih untuk mencukupi segala kebutuhan secara daring.

Semakin berkembangnya sektor e-commerce yang menjadi lokomotif industri digital di Indonesia telah memicu perbankan untuk mendorong adopsi Open API yang lebih masif.

Dengan adanya API, nantinya konsumen yang melakukan pembelian produk di market place dapat memilih opsi kanal pembayaran dari transfer virtual account. Market place yang bekerja sama dengan payment gateway menyediakan opsi pembayaran, yang nantinya akan terjadi pertukaran data dari kedua belah pihak dan terhubung ke bank sebagai penyedia uang elektronik.

Dengan masa depan indah yang diproyeksikan melalui implementasi open API, kenyataannya masih banyak perbankan yang belum berbenah menghadapi era digitalisasi dan adanya disrupsi yang ditimbulkan oleh pelaku layanan jasa keuangan innovative seperti fintech. Akibatnya proses perkembangan open API masih terhambat.

Tantangan yang dihadapi

Dalam pengembangannya, teknologi open banking di Indonesia kerap mendapat pandangan pesimis dari beberapa pihak. Pasalnya teknologi ini memungkinkan terjadinya tindakan moral hazard yang bisa mengancam aspek perlindungan konsumen. Aspek ini merupakan pedoman yang harus diutamakan bagi industri jasa keuangan dalam berbisnis.

Sudah sewajarnya perbankan sangat berhati-hati dalam masalah tata kelola data, hal ini kerap menjadi alasan mereka belum siap untuk menghadapi perbankan era digital dan keterbukaan informasi. Salah satu alasannya memang sistem keamanan data yang dimiliki perbankan [terutama bank kecil dan bank daerah] yang belum memadai. Ada rasa khawatir yang besar akan terjadinya penyalahgunaan data.

Dalam hal ini, regulator memiliki peran kunci yang harus segera dipentaskan –  standardisasi API kemungkinan akan menjadi syarat utama kesuksesan. Sebaliknya, kurangnya standar umum akan menghambat kemajuan dan menambah beban.

Anton Himawan, Head of Digital Business Development Bank CIMB Niaga, mengatakan, “Di antara tantangan yang dihadapi perbankan yaitu belum adanya aturan baku tentang implementasi Open Banking, sehingga membuat Bank wajib mengacu pada aturan-aturan yang sudah diterapkan sebelumnya yang mungkin tidak lagi cocok.”

Maka diperlukan sebuah peraturan yang setara undang-undang yang mengatur perlindungan data pribadi. Hingga saat ini Indonesia belum mempunyai UU Perlindungan Data Pribadi yang bisa menjadi pedoman.

“Apabila UU Perlindungan Data Pribadi disahkan maka saya yakin perbankan nasional akan menuju sebuah era baru keterbukaan informasi. Saya rasa peluang penerapan open banking akan semakin kajadian apabila UU Perlindungan Data Pribadi disahkan,” tambah Nailul.

Masa depan open API

Pada akhir bulan Juli lalu, Bank Indonesia (BI) mengumumkan akan mengeluarkan standar Open Application Programming Interface (API) untuk mendorong kolaborasi perbankan, dan perusahaan teknologi finansial (fintech). Kolaborasi perbankan dan fintech melalui standar Open API diharapkan dapat mewujudkan ekosistem layanan keuangan yang inklusif.

Standar Open API dibutuhkan untuk mendorong adopsi open banking yang mendukung tercapainya layanan pembayaran yang efisien, aman, dan handal;  meningkatkan inovasi dan kompetisi; mendorong inklusi keuangan termasuk pembiayaan kepada UMKM; mengurangi risiko shadow banking; serta mendorong terciptanya ekosistem Open API yang berintegritas.

Penerapan standar open API ini akan dilakukan secara bertahap mempertimbangkan keberagaman dalam industri sistem pembayaran di Indonesia. Tahapan tersebut disebutkan akan dilakukan baik dari sisi pelaku maupun waktu implementasi, dengan mempertimbangkan aspek ukuran dan kompleksitas bisnis.

“Kami melihat pada akhirnya Open Banking akan menjadi sebuah keharusan bagi industri perbankan. Ke depan, kompetisi terkait Open Banking tidak hanya terkait fitur dan ketersediaan teknologi, yang lebih penting adalah bagaimana pihak-pihak yang berkolaborasi dapat memanfaatkan Open Banking secara maksimal baik dari sisi layanan maupun model bisnis yang tepat bagi masyarakat,” ujar Anton.

 

Akseleran Kembangkan Produk Pinjaman Baru; Diversifikasi Dana Lewat Lender Institusi

Di awal tahun 2021, perusahaan teknologi p2p lending Akseleran mengumumkan pencapaiannya dalam menyalurkan pinjaman senilai Rp960 miliar sepanjang tahun lalu. Kinerja itu berhasil disalurkan meskipun Indonesia mengalami krisis seiring pandemi Covid-19.

Berdasarkan catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penyaluran pinjaman di tahun 2020 mengalami peningkatan 91,3% year on year (yoy) di angka Rp155,9 triliun dibandingkan tahun 2019 sebanyak Rp81,49 triliun. Sementara itu, jumlah pinjaman yang disalurkan p2p lending tumbuh 16,43% yoy dari Rp13,14 triliun menjadi Rp15,31 triliun di 2020.

Co-Founder & CFO Akseleran Mikhail Tambunan dalam keterangan resmi menyampaikan, “Secara kumulatif, Akseleran sudah menyalurkan total pinjaman usaha sebesar Rp1,9 trililun lebih kepada 2500 peminjam dan juga didukung oleh 150 ribu lebih pemberi pinjaman (lender) ritel atau perorangan yang tersebar merata dari Aceh hingga Papua.”

Ia turut menambahkan, terjadi peningkatan tren penyaluran pinjaman usaha Akseleran tiap bulannya dengan rata-rata mencapai sebesar Rp80-90 miliar. Di bulan Januari 2021, Akseleran berhasil menyalurkan total pinjaman usaha sebesar Rp105 miliar atau berada di atas rata-rata penyaluran pinjaman.

Pengembangan produk

Dalam wawancara terpisah, Ivan Tambunan selaku Co-Founder & CEO Akseleran menyampaikan, pandemi yang terjadi di 2020 telah membuat perusahaan melakukan de-risking, yaitu pengurangan risiko yang menyebabkan perubahan peresentase dua produk andalan mereka, meliputi invoice financing (60%) dan pre-invoice financing (40%). Hal ini disebabkan oleh sifat dasar pre-invoice financing yang cenderung lebih berisiko.

Meskipun demikian, perusahaan mengakui tetap menerapkan penilaian kredit yang prudent dengan fokus kepada cashflow calon borrower sebagai bagian dari mitigasi risiko. Langkah tersebut disinyalir berhasil menurunkan pencapaian total NPL Akseleran secara kumulatif di angka 0,13%.

Selain itu, Ivan juga menyampaikan bahwa perusahaan tengah mengembangkan solusi API-based loan origination system (LOS). Produk ini disebut seamless supply chain financing facilities. Konsepnya sama seperti pembiayaan modal kerja kepada mata rantai bisnis dalam rangka penyediaan pasokan barang/jasa dari pihak supplier, dalam hal ini adalah corporate anchor kepada pihak buyer.

Bersama solusi API ini, akan hadir juga produk baru yang disebut instant B2B digital commerce financing. Akseleran menargetkan kerja sama dengan platform digital B2B commerce , payment gateway, atau saluran pembayaran lainnya untuk mempermudah transaksi menggunakan fasilitas yang disediakan Akseleran. Sistemnya seperti paylater, namun spesifik untuk B2B.

Diversifikasi sumber dana

Pada hari ini (11/2) Akseleran baru saja mengumumkan PT Bank Jago Tbk sebagi salah satu institutional lenders dalam platformnya. Melalui kolaborasi sinergis ini, Bank Jago berkomitmen untuk menyalurkan pembiayaan produktif kepada para pelaku UMKM (borrower) melalui platform Akseleran sebesar Rp50 miliar yang akan dimulai pada Februari 2021.

Sebelumnya, sudah ada beberapa nama yang lebih dulu menjadi partner institui di Akseleran. Dari industri perbankan sudah ada Bank Mandiri, BCA, JTRUST, dan bank regional BPR SUPRA. Selain itu, ada juga Pegadaian, Mandiri Tunas Finance, KreditPlus, Ciptadana,dan beberapa multifinance yang ikut menjadi institutional lender.

Sampai saat ini, presentase jumlah penyaluran dana di Akseleran masih didominasi oleh ritel (70%); sisanya insititutional lender (30%). Bekerja sama dengan lebih dari 10 institutional lender, perusahaan berhasil menyalurkan dana sekitar $70m atau Rp979 miliar.

Pihaknya melihat kedepannya ada kemungkinan untuk komposisi ini bisa berubah menjadi 50:50 antara ritel dan institusi. Melihat pasar di luar, misalnya di Amerika Serikat atau Tiongkok, pada akhirnya yang mendominasi adalah institutional funding. Namun, menurut Ivan, pasar Indonesia sedikit berbeda. Investasi retail di luar sudah sangat banyak, sementara di Indonesia belum. Platform ini sendiri bertujuan untuk membuka akses bagi masyarakat bisa mengembangkan dananya. Hal ini yang dirasa Ivan menjadi unique market.

“Menurut saya, retail market akan tetap ada, mungkin ke depannya bisa lebih sedikit tetapi kita akan tetap maintain marketplace konsep kita. Ketika pandemi melanda, institutional lender mulai menarik diri, apa jadinya kalau tidak ada retail? Hal ini menunjukkan pentingnya diversifikasi sumber dana,” jelas Ivan.

Saat ini Akseleran disebut sedang terlibat penggalangan dana putaran seri B yang ditargetkan bisa selesai di Q1 2021. Tidak disebutkan siapa saja yang terlibat, namun pihaknya menyatakan dukungan dari investor sebelumnya tetap kuat.

“Targetnya, kita ingin bisa scale-up 10x lipat dari volume kita saat ini dalam waktu 2-3 tahun. Harapannya, di akhir tahun 2021, kita sudah bisa sustainable dengan cashflow positif,” tutup Ivan.

Application Information Will Show Up Here

Perjalanan Berliku J.P. Ellis Membangun Bisnis Sebagai Penduduk Asing di Indonesia

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

John Patrick Ellis, yang akrab disapa J.P., adalah pengusaha teknologi dan keuangan yang telah berbasis di Indonesia selama 15 tahun terakhir. Lahir di Amerika Serikat lalu tumbuh besar di Asia dan Eropa, ia pertama kali datang ke Indonesia untuk bekerja di bidang pembangunan (NGO) pada tahun 2005 dan tetap di sini hingga saat ini sebagai pendiri startup fintech.

Perjalanan karir J. P. penuh dengan pilihan dan kebetulan yang tidak terduga. Berawal dari industri hukum New York hingga pendidikan dan pelayanan kesehatan masyarakat di Flores, berperan dalam asosiasi di firma ekuitas swasta regional, meluncurkan aplikasi pesan berbasis lokasi yang dimulai pada tahun 2012, hingga terlibat dalam pendirian Asosiasi Fintech Indonesia dan mendirikan sebuah perusahaan fintech regional yang terbilang sukses.

Dengan latar belakang ilmu politik, hubungan internasional, dan bahasa, J. P. memiliki pengalaman luas dalam kewirausahaan, teknologi, dan perencanaan. Dalam perannya saat ini sebagai CEO grup C88 Financial Technologies, ia mengawasi bisnis fintech yang beragam dalam pengambilan keputusan kredit, analisis keuangan, penilaian kredit, dan ruang peminjaman pasar dengan lebih dari 400 karyawan di Indonesia, Filipina, Singapura, Thailand, Australia dan Cina. Tim DailySocial berkesempatan untuk berdiskusi J. P. terkait perjalanannya, mengapa Indonesia, mengapa fintech dan bagaimana rasanya mencoba dan berhasil sebagai imigran non-pribumi. Setengah dari diskusi kami terjadi dalam bahasa Inggris, dan dilanjutkan dengan bahasa Indonesia yang sangat baik, di mana J.P. berekspresi cukup fasih tetapi dengan sedikit aksen.

Ketika masih muda, pernahkah terpikir oleh Anda untuk memulai bisnis atau menjadi seorang CEO?

Saya lahir di Amerika Serikat tetapi saya menghabiskan masa kecil saya dengan berpindah-pindah setiap beberapa tahun di Asia dan Eropa. Pengalaman berpindah-pindah ini mendefinisikan masa muda saya, dan menjadikan saya orang yang mudah beradaptasi, tangguh, dan berpikiran terbuka.

Sewaktu kecil, impian saya adalah menjadi perenang profesional. Saya berlatih keras dan hasilnya cukup baik dalam kompetisi. Tetapi sekitar usia 16 tahun, saya menyadari kemampuan saya belum bisa mencapai level Olimpiade. Kemudian, saya mengurangi fokus pada olahraga lalu beralih lebih kepada sekolah dan belajar. Tetapi etos kerja yang kuat dari pelatihan renang tetap melekat pada saya, dan telah sangat membantu saya selama bertahun-tahun.

Sejak usia muda, saya selalu suka memikirkan cara memecahkan masalah, tetapi baru di umur ke sekian saya menyadari bahwa hal itu dapat diwujudkan sebagai pendiri. Banyak hal yang saya lakukan sebelum mencapai titik itu, tetapi benang merah karir saya fokus pada pemecahan masalah.

Anda memiliki latar belakang pendidikan di bidang ilmu politik dan hubungan internasional, apa yang sesungguhnya menjadi passion Anda dan bagaimana keduanya bisa berjalan seiring?

Saya gemar memecahkan masalah dan mempertanyakan bagaimana dunia bekerja. Mungkin hal inilah yang benar-benar mendorong dan mendefinisikan saya. Di Indonesia, dan di seluruh dunia, banyak sekali masalah yang harus diselesaikan, hal itu menciptakan peluang bisnis. Memang tidak semuanya, namun kebanyakan. Banyak perusahaan raksasa dunia berawal dari sini.

Saya lulus dari Universitas Columbia. Lulusan seperti saya biasanya akan melanjutkan gelar Juris Doctor dari sekolah hukum. Kebanyaan teman sudah melakukan ini dan saya berniat melakukannya juga. Setelah lulus, saya bekerja di industri hukum New York di bidang penyelesaian sengketa. Hal itu sangat menarik dan pekerjaan berjalan sangat lancar, tetapi saya hanya duduk di meja sepanjang hari. Ada sedikit rasa hampa. Kemudian, saya melamar beberapa program untuk pekerjaan pembangunan (NGO) dunia. Saya menerima banyak tawaran termasuk satu dari Princeton-in-Asia, tetapi tawaran yang paling menarik adalah dari program afiliasi Universitas Stanford bernama ViA untuk bergabung dengan sebuah proyek di Flores, pedesaan timur Indonesia.

Saat itu, segala sesuatu di Flores sangat terbatas. Tidak ada listrik, tidak ada sinyal, dan tidak ada air ledeng. Kami harus berjalan melewati hutan untuk sampai ke desa-desa. Mungkin karena ini, tempat itu menjadi penuh dengan kehangatan dan komunitas yang luar biasa. Saya berinteraksi dengan orang Tado, belajar bahasa Manggarai, dan membantu mewujudkan beberapa inisiatif baik di bidang pendidikan dan kesehatan masyarakat untuk masyarakat desa, bekerja dengan guru dan Puskesmas mereka. Itu adalah pengalaman yang sangat memuaskan tetapi juga membuka mata saya.

J.P. Ellis with the district head and ethnic leaders At Rumah Tua Golo Beo Tado, Manggarai Barat, Flores, NTT in 2015
J.P. Ellis bersama Bupati dan Tokoh Etnis di Rumah Tua Golo Beo Tado, Manggarai Barat, Flores, NTT pada tahun 2005

Setelah itu, saya bekerja dengan pengusaha sukses, John dan Cynthia Hardy, yang menjual perusahaan perhiasan internasional mereka kepada perusahaan ekuitas swasta. Setelah penjualan, John dan Cynthia kemudian meminta saya untuk membantu mereka mengubah sebidang tanah kosong di Sibang Kaja, selatan Ubud, menjadi Sekolah Hijau; sebagai karyawan pertama di sana. John dan Cynthia sangat karismatik dan sangat inovatif. Sungguh menyenangkan dikelilingi antusiasme dan energi positif setiap hari. Melalui mereka, saya bertemu dengan istri saya Agatha yang juga bekerja di sana. Saat ini kami telah menikah selama hampir 13 tahun dan memiliki dua anak.

Saya kemudian mendapat kesempatan untuk bergabung dengan firma ekuitas swasta regional di Singapura dan Jakarta yang didirikan oleh Tom Lembong. Itu disebut Quvat Capital dan Principia Management. Saya belajar banyak dari Tom dan sangat menikmati bekerja untuknya, Brata, dan tim. Saya menghabiskan lebih dari empat tahun di sana dan melakukan banyak proyek yang bervariasi termasuk due-diligence perusahaan, pengadaan dan eksekusi kesepakatan, penggalangan dana, relasi investor, penelitian, restrukturisasi situasi khusus, dan bahkan perdagangan.

Sepanjang waktu ini, saya sangat menikmati berada di sekitar orang-orang pintar dan bekerja langsung dengan perusahaan dalam lingkungan yang dinamis dan bergerak cepat. Meskipun Jakarta adalah kota besar dalam banyak hal, Jakarta mempertahankan nilai-nilai komunitas yang lebih kecil; sopan santun. Saya merasa waktu yang saya habiskan di pedesaan Indonesia bisa membantu saya memahami keaadaan di ibukota pada tingkat yang lebih dalam daripada jika saya datang ke Jakarta langsung dari New York, Paris, atau San Francisco. Adalah sangat penting untuk memahami berbagai hal baik di tingkat mikro maupun makro. Anda tidak dapat benar-benar memahami satu tanpa yang lain.

Sebelum memulai C88Group dan CekAja, Anda sempat mendirikan Harpoen Mobile. Boleh berbagi sedikit cerita tentang perusahaan tersebut?

Sejak tahun 2011, saya yakin bahwa internet akan menjadi kekuatan ekonomi yang sangat kuat di Asia Tenggara. Melihat ke belakang, saya mendapati bahwa tindakan ini terlalu awal. Namun saat itu saya belum menyadarinya. Ditambah lagi, setelah beberapa tahun di bidang private equity, saya merasa ingin memulai dan mengembangkan bisnis sendiri. Saya ingin menciptakan sesuatu dan memecahkan masalah, mudah beradaptasi, dan suka tantangan dan petualangan. Dalam banyak hal, startup teknologi menjadi sarana yang tepat untuk mengekspresikan dan mendalami semua ini.

Kami meluncurkan Harpoen Mobile di atas meja makan saya dan rilis produk pertama kami adalah aplikasi iOS dan Android berbasis lokasi yang disebut Harpoen. Kami kemudian menambahkan tumpukan produk gratis yang disebut Mapiary, yang pada dasarnya adalah server iklan berbasis lokasi, dalam upaya untuk menghasilkan pendapatan lebih.

Saya dan rekan pendiri saya senang kami mencoba sesuatu yang orisinal. Saat itu, banyak startup di kawasan ini cenderung meniru model yang sudah ada. Kami merasa bangga karena kami mencoba ide baru. Syukurlah, kami memiliki banyak teman di komunitas teknologi serta media yang mendukung dan menyemangati kami. Kami sempat mewakili Indonesia di World Summit Awards untuk inovasi seluler di Abu Dhabi pada awal 2013, dan menang! Itu merupakan sebuah pencapaian yang cukup bisa diakui dalam hal inovasi.

Tetapi inovasi saja tidak cukup. Pada startup pertama, kemungkinan besar, Anda akan melakukan banyak kesalahan. Kami merasakannya sendiri. Dalam memilih lokasi sebagai inti layanan kami, kami tertahan pada matematika GPS yang tidak fleksibel dan kompleksitas saturasi informasi. Untuk meringkasnya secara singkat, di jaringan informasi biasa konten ada pada dua sumbu, biasanya pencipta dan kebaruan atau relevansi. Lokasi memperkenalkan sumbu ketiga dan dengan demikian mencapai kepadatan informasi matematika secara eksponensial lebih sulit: dunia adalah tempat yang besar dan tidak peduli seberapa besar Anda membuat vektor GPS, akan selalu ada tempat di luar jangkauan dengan konten lama atau tidak ada konten sama sekali. Inilah alasan mengapa banyak layanan berbasis lokasi seperti FourSquare dan Highlight tidak sesukses yang diperkirakan semua orang pada tahun 2012. Dalam bahasa ilmu komputer, konten berbasis lokasi akan digambarkan sebagai algoritma dengan “kompleksitas eksponensial”.

Secara retrospektif, bahkan jika kami telah sukses besar-besaran dan mencapai DAU, model komersial tidak akan berhasil karena monetisasi iklan dan CPM secara komersial sangat sulit untuk diukur di Indonesia bahkan sekarang, apalagi di tahun 2012.

Jadi, setelah setahun mencoba – dan banyak pengalaman luar biasa termasuk menjadi pendiri pertama yang melakukan pitch di TechInAsia Summit pertama di Jakarta pada tahun 2012 – saya bertemu dengan perusahaan periklanan berbasis di Toronto, Kanada yang berencana untuk mengkomersialkan lokasi ke klien perusahaan. Server iklan lokasi Mapiary kami dapat membantu klien mereka seperti Nike mengajak orang-orang melakukan joging interaktif, atau Heineken mengajak orang-orang menjelajahi pub interaktif. Ada banyak kasus penggunaan yang menarik dan mereka sangat antusias, dan saya merasa teknologinya juga lebih cocok untuk Amerika Utara, jadi mereka akhirnya mengakuisisi apa yang telah kami bangun dan saya dapat mengembalikan modal kepada investor. Secara keseluruhan, memang bukan kesuksesan komersial, tetapi memberi saya banyak keberanian dan pengalaman.

Apa yang mendorong Anda untuk membuat CekAja?

Setelah Harpoen Mobile, saya tetap bersemangat mengenai startup. Saat itu, komunitas startup di Indonesia masih cukup kecil dan semua orang saling mengenal. Saya banyak berpikir tentang perubahan dan peluang apa yang akan diciptakan dengan meningkatkan digitalisasi ekonomi, dan teman dekat saya Sebastian Togelang dan Andy Zain juga melakukan hal yang sama. Di penghujung 2013, kami semua berkumpul untuk mendirikan Kejora Ventures. Saya bertindak sebagai entrepreneur-in-residence. Saya mulai membangun perusahaan fintech saya di gedung Barito Pacific di Jakarta, berdampingan dengan Kejora.

Kami memutuskan untuk melakukan sesuatu yang tidak biasa dan diluncurkan di Jakarta dan Manila pada waktu yang bersamaan. Sangat tidak biasa untuk meluncurkan produk di dua negara secara bersamaan, tetapi kami memiliki sumber daya teknis yang dalam dan pendiri yang kuat seperti Stephanie Chung di Manila. Ditambah lagi, fintech di kedua pasar cukup mirp di awal tahun 2013; tidak terjadi satu pasar lebih maju dari yang lain. Jadi kami merasa mengambil pendekatan “sekali dayung dua tiga pulau terlampaui” akan membantu kami berkembang lebih cepat.

Kami menjadi salah salah satu perusahaan pertama di Jakarta dan Manila yang berhubungan dengan bank terkait model kerjasama fintech/bank. Dengan cepat kami berlari melihat dan mengunjungi setiap ruang rapat di bank. Tetapi yang tidak kami manfaatkan dengan baik saat itu adalah lamanya bank harus beradaptasi dan berubah. Bahkan sekarang, saya masih heran ada banyak bank di wilayah ini yang masih belum mengarah ke digital. Hal ini sebagian dapat dijelaskan oleh sisa trauma sektor perbankan dari krisis ’98, dan bahwa institusi besar memiliki insentif yang menghukum kegagalan lebih dari mereka menghargai kesuksesan, sedangkan startup adalah kebalikannya. Jadi insentif asimetris adalah penjelasan terbaik saya ketika orang bertanya kepada saya mengapa laju perubahan tidak secepat ini. Perubahan sedang terjadi, dan COVID-19 telah mempercepatnya.

Di masa-masa awal, kami juga menyadari bahwa undang-undang dan peraturan perlu dikembangkan untuk mendukung inovasi fintech. Mulai tahun 2014, saya bergabung dengan beberapa pengusaha fintech lainnya seperti Niki Luhur, Karaniya Dharmasaputra, Budi Gandasoebrata, Aldi Hariyopratomo, Ryu Kawano, Alison Jap, dan banyak lagi lainnya untuk memulai apa yang kini telah menjadi Asosiasi FinTech Indonesia. Kami juga melakukan pekerjaan advokasi kebijakan serupa di Filipina. Ini menciptakan apa yang menurut saya merupakan momentum untuk banyak regulasi dan aktivitas fintech yang kita lihat saat ini di kedua pasar ini.

Selama bertahun-tahun, baik bisnis maupun asosiasi telah tumbuh dan berkembang. Dalam bisnis sekarang, kami memiliki agregasi pasar, pinjaman pasar, penilaian kredit, agregasi skor, insurtech, solusi manajemen data, analitik, dan manajemen risiko kredit, dan perangkat lunak pengambilan keputusan yang tersedia di cloud dan sebagai lisensi. Kami bermitra dengan Anton Hariyanto, Sulaeman Liong dan Rainier Widjaja untuk kapabilitas perusahaan dan klien kami hampir di setiap bank di negara ini.

Kami memiliki tim yang luar biasa, dan tentu saja ada banyak kemunduran dan tantangan di sepanjang jalan, namun kami bertumbuh dan memberikan nilai kepada klien dan industri. Sementara di Asosiasi, pertumbuhan luar biasa sedang terjadi dan sekarang terdapat ratusan perusahaan fintech di negara ini, dan undang-undang fintech yang jelas, serta keterlibatan yang luar biasa dengan OJK dan BI. Karena itu, menurut saya Indonesia memiliki beberapa hukum dan kebijakan fintech paling inovatif dan jelas di seluruh dunia. Ini adalah pekerjaan seluruh industri dan saya sangat bangga telah memainkan peran kecil di dalamnya.

Pada tahun 2018, C88 Financial Technologies (perusahaan induk CekAja), menerima investasi minoritas strategis dari perusahaan penilaian kredit global Experian.

Anda telah melihat pasar di beberapa belahan dunia, apa yang membuat Asia Tenggara berbeda, khususnya Indonesia?

Wilayah ini unik karena demografi, tingkat pertumbuhan, dan tingkat suku bunganya. Secara regional, Indonesia unik karena ukurannya. Pasar lain di Asia Tenggara masing-masing memiliki kepentingannya sendiri, dan untuk menjadi sukses secara regional, ada prinsip yang harus Anda perhatikan dengan benar untuk menyeimbangkan kekuatan setiap pasar secara harmonis disamping kelemahan pasar lainnya. Misalnya, walaupun Indonesia besar dan penuh potensi, monetisasi sangat sulit dan konsumen serta perusahaan sangat sensitif terhadap harga. Pasar lain mungkin memiliki jalur monetisasi yang lebih mudah, tetapi ukuran pasar yang lebih kecil dan pertumbuhan yang lebih sedikit. Oleh karena itu, pendekatan terbaik untuk wilayah tersebut menciptakan keseimbangan di antara elemen-elemen ini.

Bagi mereka yang ingin memulai bisnis teknologi di wilayah ini, mereka harus tahu bahwa pasar sedang bergerak cepat, dan akan tetap seperti ini selama bertahun-tahun yang akan datang. Jangan terintimidasi oleh seberapa cepatnya bergerak atau berpikir itu “terlambat” sama sekali. Sekarang ada penggunaan internet dan penetrasi perangkat seluler yang signifikan, ekosistem usaha yang dinamis dengan banyak modal dan investor profesional, pemimpin dan kisah sukses yang menginspirasi, ada super-app dan juga kisah exit yang sukses melalui penjualan dan IPO. Teknologi cloud mulai muncul dan semakin berkembang dan ini akan membuka jalan bagi model SaaS, undang-undang lebih jelas, dan sekarang COVID-19 telah menciptakan dorongan digitalisasi besar-besaran ini. Setelah semua orang divaksinasi dan ekonomi terbuka kembali, jelas akan ada percepatan model bisnis yang didukung teknologi.

Namun, penting juga untuk tidak membangun startup. Namun, mulailah dengan bisnis. Ketahui ekonomi Anda, ketahui jalan menuju monetisasi dan laba, fokuslah untuk melakukannya dengan baik daripada metrik canggih atau sekedar viral. Terkadang sulit untuk membedakannya, terutama bagi pendiri muda, dan ketika media terengah-engah dan investor menuntut pertumbuhan untuk memenuhi ekspektasi pengembalian dari portofolio mereka. Tetapi sebagai seseorang yang telah melakukan banyak hal dalam bidang ini selama bertahun-tahun, mengalami kesuksesan dan kegagalan, saya dapat mengatakan bahwa ketika Anda benar-benar ingin memulai, mulailah dari bisnisnya dan bukan hanya startupnya.

Menjadi entrepreneur itu tidak mudah, terlebih sebagai sorang pendatang. Apa saja tantangan yang Anda hadapi ketika sampai dan membangun bisnis di Indonesia?

Saya merasa sangat disambut di sini. Negara ini telah memberi saya begitu banyak dan saya bersyukur untuk itu. Saya menyukai pekerjaan yang saya lakukan setiap hari, orang-orang yang bekerja dengan saya, dan peluang yang kami miliki untuk memecahkan masalah dan membangun industri yang lebih baik, masyarakat yang lebih baik, dan negara yang lebih makmur.

Saya pikir setiap kesulitan yang saya alami adalah kesulitan yang dialami setiap pendiri: menyesuaikan diri dengan pasar produk, bergulat untuk berada di sisi kanan unit ekonomi, membangun tim yang hebat dan budaya yang sehat, menavigasi krisis COVID-19, dan sebagainya. Saya bahkan tidak akan menyebut kesulitan ini – inilah inti dari menjadi seorang pendiri.

Dalam hal sebagai orang asing, sejujurnya saya bahkan tidak merasakannya lagi. Bagi orang yang mengenal saya dengan baik, hanya ada sedikit gesekan antara diri bule saya dan diri Indonesia saya. Saya merasa nyaman di kedua sisi dan saya menyukainya.

Dengan segudang pengalaman dalam berbisnis, apakah masih ada harapan Anda yang belum tercapai? Pernahkah terpikir untuk pada akhirnya kembali ke Amerika Serikat?

Saya tertarik pada banyak hal dan saya merasa dapat terus menciptakan produk dan layanan yang baru dan inovatif selama beberapa dekade mendatang. Ada banyak hal yang ingin saya lakukan, banyak masalah yang harus diselesaikan, dan inovasi baru yang harus dibuat.

Khususnya di fintech, industri ini masih di tahap awal. Saya sangat yakin dalam dekade mendatang, perusahaan teknologi akan menjadi yang memanfaatkan data, membuat produk, menulis perangkat lunak, membangun analitik, dan membuat pengalaman pelanggan untuk membuat konsumen dan bisnis Indonesia menjadi bank universal, serta kompetitif secara regional dan global.

Mengenai Amerika Serikat, saya mengakui bahwa negara tersebut perlu membangun kembali masyarakat dan mempercayai serta memulihkan lembaganya dalam konteks pasca-Trump. Amerika Serikat akan membutuhkan orang-orang yang energik dan berkomitmen yang bersedia menyingsingkan lengan baju dan membantu melakukan itu. Saya tidak mengesampingkan bahwa suatu hari nanti, saya mungkin ingin kembali untuk berperan di dalamnya. Tapi sekarang, perusahaan, klien, teman, dan keluarga saya membutuhkan saya di sini, di Indonesia dan di Asia Tenggara. Perlu diingat, kami juga memiliki kehadiran yang signifikan di Filipina, dan ratusan karyawan serta bisnis besar di sana, dan ada banyak peluang di sana yang menyemangati saya.

Terkait pandemi yang sedang terjadi, apakah ada perubahan signifikan yang terjadi pada bisnis Anda?

Klien kami adalah bank dan lembaga jasa keuangan. Banyak yang terpaksa menunda atau menghentikan proyek dan kegiatan karena pandemi. Meskipun mereka tidak berniat untuk menunda, beradaptasi dengan sistem  kerja dari rumah untuk organisasi besar seperti itu merupakan sebuah tantangan, banyak penundaan yang tidak disengaja. Sebagai sebuah bisnis, kami harus sangat fleksibel dan adaptif dengan kenyataan ini untuk memastikan kami dapat terus melebihi ekspektasi klien kami. Kabar baiknya adalah klien kami membutuhkan solusi digital. Kami mengantisipasi iklim pasca-vaksin yang sangat menggembirakan bagi klien dan bisnis kami.

Memasuki tahun 2020, kami merasa siap seperti perusahaan mana pun untuk apapun yang terjadi. Kami memiliki beberapa eksekutif di Beijing, dan karena itu, tim eksekutif dan saya telah menyadari sedini mungkin sejak pertengahan Januari tahun lalu bahwa pandemi global mungkin terjadi. Kami memiliki skenario yang mengarah ke tingkat yang menakutkan yang untungnya penyakit itu tidak pernah mendekati.

Ketika lockdown mulai terjadi di Filipina dan Indonesia pada bulan Maret tahun lalu, saya mengumpulkan seluruh perusahaan dan kami menyusun strategi yang jelas tentang apa yang akan kami lakukan untuk bertahan dari krisis dan memastikan kelangsungan bisnis.

Kami memiliki tingkat kesinambungan bisnis yang sangat spesifik, dan kami menyuruh semua orang pulang untuk bekerja sesuai arahan, kebijakan, dan instruksi yang jelas. Saya juga membuka memo strategi dwi-bahasa kami dan mengirimkannya ke banyak perusahaan dan startup lain. Saya ingin apa yang kami lakukan untuk menanggapi COVID-19 dapat diakses oleh orang lain yang mungkin memiliki keragu-raguan apakah itu akan memengaruhi mereka. Kami mengira COVID-19 akan menciptakan krisis yang akan berlangsung lama dan berat, dan sayangnya, kami benar.

Jelas, tim saya dan saya mampu membuat perubahan yang sesuai pada bisnis untuk menempatkan kami di jalur yang baik. Kami terus melayani klien kami dengan baik, tumbuh secara menguntungkan, dan berinovasi di segmen pasar kami. Dengan vaksin yang mulai diluncurkan sekarang, kami mulai beralih ke pola pikir optimis untuk tahun 2022 dan seterusnya. Kami merasa tahun 2021 akan terus sulit untuk sebagian besar tahun ini, dengan beberapa peningkatan menjelang semester kedua.

Apa yang ingin Anda sampaikan pada para entrepreneur di luar sana yang ingin memulai bisnisnya namun terhalang oleh pandemi?

Menurut saya, tidak ada waktu yang lebih baik untuk memulai bisnis teknologi. Ya, virus menciptakan tantangan, tetapi vaksinnya juga hampir tiba. Fokus pada tahun 2022 dan seterusnya. Dan jangan berpikir akan terlambat. Dalam teknologi, tidak ada yang benar-benar berakhir karena inovasi akan selalu lahir. Kode terus dikompilasi ulang. Memang benar bahwa hampir 90% dari startup gagal, tetapi jika Anda fokus membangun bisnis daripada memulai, Anda sudah meningkatkan peluang sukses Anda. Hampir setiap pengetahuan yang Anda butuhkan dapat diakses dan mudah dipelajari. Yang dibutuhkan hanyalah komitmen dan kerja keras untuk melakukannya. Saya melakukan ini, dan banyak kolega serta teman saya yang berkinerja tinggi juga melakukannya. Kami tidak hanya secara ajaib mempelajari subyek baru. Sebaliknya, ini adalah upaya terus-menerus untuk tetap mengetahui apa yang baru dan terkini dengan teknologi dan dunia.

Untuk memulai sebuah perusahaan, Anda harus mengidentifikasi di mana letak masalah besar, bagaimana Anda menyelesaikannya dan bagaimana Anda mengubahnya menjadi sebuah bisnis. Pola pikir ini adalah sesuatu yang saya pelajari dan kembangkan selama bertahun-tahun. Fokus pada masalah dan pelanggan, jadilah mesin pembelajaran, jadilah optimis dan realistis pada saat yang sama, perlakukan orang lain dengan baik, fokus pada komunitas, dan hasilnya akan baik. Indonesia membutuhkan lebih banyak pemecah masalah, hal itu bisa menjadi alasan untuk Anda bisa maju dan menyelesaikan masalah. Kita bisa. Anak bangsa bisa. Saya optimis kok.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Turochas “T” Fuad on The “Exit” Stories: Speed and Execution is Everything

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

“Starting a new venture never seems to get old for me. The rush, the pain, the anxiety, the joy, all mix together. It is never the same yet, it is also so familiar.”

Turochas “T” Fuad wrote in the opening paragraph about his latest venture, Pace.

It’s a compact yet thorough explanation about the life of a serial entrepreneur, at least for Turochas Fuad, or sometimes called T. Was born in Indonesia and had a chance to study English in Singapore, he decided to pursue his Management Information System degree all the way to the US at The University of Texas, Austin. That is quite the beginning of his big passion for technology.

From the story of the founding of his first venture which finally acquired by an American-based tech giant, Yahoo!; next to the founding of the iconic travelmob, which then acquired by Homeaway in 2013 for $11.5 million; then the story of Coworking-space giant WeWork acquired Spacemob to ramp up its expansion and growth in Southeast Asia.

DailySocial team had a chance to interview him on his business journey as a veteran entrepreneur and the vision towards a better future in the tech industry.

Let’s start with your latest venture. Before Pace, I don’t recall you have been involved in the fintech industry? What makes you interested and started this one?

What excites me most about starting a new business is the possibility to create a positive impact on individuals on a large scale. From my very first company till my last startup, Spacemob, this has always been the driving force behind what I do and continues to be the case, even now with Fintech.

With Pace specifically, the chance to create financial inclusion across Asia is an opportunity that is too difficult to turn down. The financial landscape remains fragmented, with room for incumbents to be disrupted across all segments, payments notwithstanding. Our mission is to provide financial inclusion by building a banking engine that can operate across multiple countries easily – one that helps merchants create sales efficiencies, and provides consumers with an option to spend sustainably.

pace 2

Completing a bachelor’s degree in the US and manage to work there for a while, why did you finally decide to build a career in Singapore? [Since you were born in Indonesia]

Singapore, being a major business hub in Asia, represented a way for me to build a career that could give me international exposure and provided me a global network of contacts that I could build over time. Being around the right people helps you think big, and I’ve been lucky enough to gain perspective from the many talented people I’ve gotten to know here. Truth be told, given my time here in Singapore, I’ve also developed businesses across North Asia and Southeast Asia.

That said, my heart is still very much with Indonesia, and with its current speed of growth and large population, any startup that does not have Indonesia as a part of its expansion plans is missing out on the potential to create a large positive impact. After all, it is hard to ignore the fourth largest country in the world, ya?

You’ve had your history with some tech giants like Yahoo! and Skype. How did those past experiences shape you and what finally encouraged you to build your own company?

If anything, these experiences showed me how important culture is to the success of any company. I’ve had the pleasure of working with people from all over the world, and I’ve seen how the most successful of them, learn to always be people-first even in the most difficult situations. That, to me, is a great culture.

The other thing that was very prevalent in these companies was their speed of execution. You can have the greatest plan in the world, but when it comes down to it, the most difficult part of it is figuring out how to iterate and execute as fast as you can, while maintaining the quality of your product or service. Especially when you’re operating in a disruptive space, you’re going to face a barrage of challenges; staying focused on executing through tough times, is imperative for success.

On the journey to “exit”, did you have certain considerations or specific targets before deciding to sell the company?

Great entrepreneurs never start a company to sell it, because without having a convicted mission that is focused on creating change, a company often wavers under pressure, and eventually crumbles.

When it came to evaluating the previous exits I’ve had, the question I’ve always asked myself was, ‘will this acquisition furthers our company’s vision?’ If there was any doubt at all, then a decision against it would be easily made with a clear heart.

A great example of this was the acquisition of Spacemob five years ago. We set out to build collaborative workspaces across Southeast Asia that helped people to bring their visions to life, and with the acquisition by WeWork we were able to do just that. The core Spacemob team stayed together, expanded the business to dozens of spaces across six countries in Southeast Asia, and delivered on the mission we set out to achieve.

You’ve launched and sold three startups so far, what is the biggest lesson you’ve learned among all those experiences?

It’s often said that speed & execution is everything, and through the different situations I’ve been in, I’ve learned that to be very true. That, and making sure you have a great team of people who are willing to commit themselves to the grind. If you do these few things well enough, there’s no reason why you can’t succeed.

Do you have a particular individual or figure that inspired you to become your today self?

As cliche as it sounds, I’ve always been inspired by my father. Growing up in Medan, I saw him work hard at his own small business, which he still runs today. Although my brothers and I were fortunate enough to be put through school in the US, it didn’t come easy for him. Through permanent late nights and non-existent weekends, he’s made personal sacrifices to ensure we got the best he could provide. That strength and commitment towards putting in the hard work and staying focused on the daily grind is something that keeps me going every single day.

Especially when the Covid-19 still around, how do you see the development of the tech industry in Southeast Asia?

In short, it’s bright and full of promise! Southeast Asia has been churning out great tech talent in recent years and companies now have more options than before, in how they want to set up their teams. We’ve also seen large expansions into the region both from American companies like Amazon and Chinese companies like Bytedance, which validates the quality of people in the industry and the scale of the business opportunity in Southeast Asia.

More specific to different countries, I think Singapore will continue to be a business hub for the region and the first landing spot for companies looking to expand into Southeast Asia as a whole. But once operations have been set up, companies immediately look towards Indonesia as a key source of long-term growth, and the best of them move quickly to gain market share there.

Fintech is also fast becoming a mainstay in this region, with companies getting fresh rounds of funding even during economically uncertain times. Coupled with healthtech, these two categories are the ones to look out for in terms of growth and innovation.

With tons of experience in the business, do you still aim for something more in this industry? Maybe you have other goals yet to be achieved?

With each startup, I keep telling myself that it will be my last one. And then, soon enough, I find myself starting yet another company. In some way, I guess this is my calling in life and I’m thankful to be able to continue building businesses because it’s a privilege that not everyone gets.

In terms of goals, I would have to say that seeing my daughters growing up and being with them each step of the way, will be the most rewarding achievement that I will have in life. The family gives me the greatest joy, and seeing each of them succeed in their own way is a goal worth striving hard for.

What would you say to all the tech enthusiasts out there trying to make something but hindered with pandemic stuff?

I’d say that there never is a right time to start a business. There’ll always be a reason not to, and you just have to keep finding solutions to any hurdles you might face. Whether that’s as simple as not having enough time, or as difficult as trying to look for funding to get your business off the ground, there will always be a solution if you search hard enough. But with enough will to do so, coupled with a willingness to put in the time and work, there is no reason for success to evade you. And when you do make it, remember to find your own ways to pay it forward.

Layanan Paylater Asal Singapura “Pace” Mengudara, Mulai Melirik Pasar Indonesia

Sebuah startup fintech baru Pace Enterprise meluncur di Singapura. Didirikan oleh Turochas “T” Fuad yang juga dikenal sebagai pendiri Spacemob [diakuisisi oleh WeWork pada tahun 2017], startup ini menawarkan paylater yang bertujuan untuk menghadirkan akses dan inklusi keuangan pada segmen yang kurang terlayani di wilayah Asia Pasifik.

DailySocial mewawancara pihak Pace terkait peluncuran layanan ini, mereka menyinggung tentang industri BNPL (buy-now-pay-later) yang masih sangat baru di Asia Tenggara namun optimis bahwa ini hanya masalah waktu sebelum paylater mendominasi sebagai metode pembayaran. Hal ini didorong oleh keinginan konsumen untuk memiliki kendali lebih besar atas pengeluaran mereka.

Dikutip dari e27, “Alasan kami meluncurkan Pace –dan tujuan jangka panjang kami– adalah untuk menciptakan platform fintech digital yang lebih luas dan lebih inklusif yang memberdayakan populasi yang kurang terlayani. Untuk mencapai hal ini, BNPL adalah langkah pertama yang tepat yang secara fleksibel dan mulus memperluas batas pembelian pelanggan sambil memberi pedagang akses ke alternatif pembiayaan dan segmen pelanggan yang sama sekali baru,” ujar Founder & CEO Pace T. Fuad.

Layanan ini telah berhasil mengumpulkan pendanaan tahap awal dengan nilai yang disebut “high seven-figure” atau sekitar $6 juta hingga $9 juta yang dipimpin oleh Vertex Ventures dan Alpha JWC Ventures. Dana ini akan digunakan untuk mengembangkan platformnya lebih baik dan menawarkan layanan dan solusi progresif kepada konsumen dan pedagang.

Model bisnis

Pace mulai bergulir pada November 2020, menggunakan algoritma pembuatan profil keuangan. Platform ini akan mencocokkan profil pelanggan dengan batas pengeluaran paling sesuai yang memungkinkan mereka membagi pembelian menjadi tiga cicilan tanpa bunga.

Perusahaan juga mengklaim telah dengan cepat menambahkan lebih dari 300 titik penjualan dari lebih dari 200 mitra pedagang, termasuk Goldheart, OSIM, Sincere Watch, Carousell, Reebonz, dan FJ Benjamin.

BNPL dipercaya sebagai salah satu solusi yang bisa diimplementasi oleh berbagai kalangan, karena memberikan cara bagi bisnis untuk meningkatkan pendapatan dengan menjangkau audiens baru di semua industri.

Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa perusahaan fintech yang menyediakan layanan paylater. Implementasinya muncul di banyak aplikasi, mulai dari dompet digital, pemesanan tiket, sampai yang paling populer di platform e-commerce dan/atau online marketplace.

Pihaknya menambahkan “Kami juga percaya bahwa budaya unik setiap negara akan mendorong perbedaan penggunaan BNPL di antara berbagai sektor. Meskipun demikian, kami telah melihat banyak daya tarik dalam kategori layanan, fesyen, dan olahraga & kebugaran yang semuanya pasti akan terus tumbuh seiring popularitas BNPL di antara konsumen.”

Target ke depan

Berdasarkan studi dari Coherent Market Insights, pasar paylater global diperkirakan akan tumbuh dari US$5 miliar pada 2019, menjadi $33.6 miliar pada 2027, dengan tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata (CAGR) lebih dari 21.2%.

Pihaknya turut menyatakan bahwa selain layanan BNPL, Pace juga berencana mengembangkan seluruh rangkaian solusi fintech yang akan membantu bisnis dan konsumen. Perusahaan menargetkan untuk menjangkau 5000 mitra pedagang pada akhir 2021 melalui ekspansi geografisnya ke Asia Utara dan seluruh Asia Tenggara.

Saat ini Pace telah tersedia di Malaysia, Thailand, dan Hongkong. Namun, tidak menutup kemungkinan mereka akan melebarkan sayapnya ke Indonesia, mengingat keterlibatan Alpha JWC dalam putaran awalnya.

“Kami sangat percaya pada Indonesia dan potensi dampak yang dapat kami sumbangkan di sana. Kami memiliki ambisi untuk menjadi pemain global suatu hari nanti, tetapi kami tahu bahwa kami harus ultra lokal (dari produk hingga layanan) ketika kami memasuki setiap pasar. Kami melakukan yang terbaik untuk berkembang dengan cepat dan kami akan berusaha sekuat tenaga untuk sampai ke Indonesia secepat mungkin,” ujar representatif Pace.

Seperti kebanyakan produk fintech, pangsa pasar akan selalu berubah-ubah, dengan peluang bagi pemain baru dan inovasi baru yang bermunculan. Pihaknya menambahkan, “Yang penting bagi kami adalah bahwa produk dan penawaran kami dikembangkan dengan mempertimbangkan pengeluaran yang berkelanjutan. Kami percaya itu adalah kunci untuk mencapai inklusi keuangan dan aksesibilitas bagi semua orang.”

Gambar Header: Depositphotos.com

Application Information Will Show Up Here

Didukung Penuh Telkom Group, RUN System Tawarkan Solusi ERP untuk Perusahaan

Pandemi Covid-19 mendadak mengubah budaya kerja sekaligus mengganggu roda bisnis hampir di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, Badan Pusat Statistik mencatat lebih dari 82 persen bisnis terdampak. Hal ini menyebabkan perusahaan harus kembali beradaptasi dengan kebiasaan baru di masyarakat, dan ini berlaku untuk semua sektor.

Berbagai jenis pekerjaan mulai dari sales, purchasing, akuntansi, inventaris, dan kolaborasi kini harus saling koordinasi demi mencapai hasil pekerjaan yang maksimal. Teknologi ERP (Enterprise Resource Planning) dipercaya bisa menjadi solusi dari kepelikan yang melanda perusahaan. Layanan tersebut mampu menyuguhkan laporan bisnis dari interaksi secara real time sehingga koordinasi antar departemen bisa berjalan lebih efektif dan efisien.

PT Global Sukses Solusi (RUN System) didirikan pada tahun 2010; dan sejak 2013 mengkhususkan diri dalam menyediakan solusi software ERP untuk bisnis skala menengah hingga besar di industri manufaktur, distribusi dan perdagangan, dan jasa. Mereka juga sempat mengikuti program inkubator Indigo Incubator 2014 yang diadakan oleh PT Telkom Indonesia.

RUN System mencoba mewujudkan sebuah solusi lokal yang bisa menyelesaikan masalah global yang disesuaikan dengan situasi, kondisi dan budaya perusahaan di Indonesia yang memiliki keunikan tersendiri.

Pada tahun 2015, Telkom menjadikan RUN System sebagai salah satu Distribution Partner solusi ERP bagi seluruh pelanggannya di Indonesia. Di samping itu, perusahaan rintisan asal Yogyakarta ini turut mendapat dukungan dari MDI Ventures dan dana kelolaannya Centauri Fund.

Managing Partner MDI Ventures Kenneth Li menjelaskan, investasi di RUN System merupakan salah satu bentuk yang sejalan dengan misi grup Telkom dalam menuju persaingan di pasar software sekaligus berkompetisi dengan pemain global seperti SAP atau Oracle. “MDI Ventures menyasar investasi berdasarkan karakteristik perusahaan dan daya saingnya di era pasca pandemi. Kami melihat RUN System sebagai startup yang sudah established dengan model bisnis yang teruji.” kata Kenneth.

Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa startup lain yang sajikan solusi serupa, dua di antaranya Esensi Solusi Buana dan Ukirama. ESB bahkan belum lama ini baru bukukan pendanaan awal senilai 69,5 miliar Rupiah dengan salah satu investor yang terlibat adalah AC Ventures.

Target Bisnis

Tampilan software ERP RUN System pada smartphone / RUN System
Tampilan software ERP RUN System pada smartphone / RUN System

Di tahun 2021, Run System menargetkan peningkatan pendapatan hingga 300% sebagai bagian dari rencana strategis perusahaan untuk memperkuat posisinya di industri ERP tanah air. Dalam wawancara terpisah, Presiden Direktur RUN System Sony Rachmadi Purnomo turut menyampaikan bahwa pihaknya memang dari awal mengincar skala kontribusi yang menjangkau pasar korporasi di Asia Tenggara untuk bisa bersaing dengan pemain global.

Selain itu, IPO juga dikabarkan menjadi target selanjutnya dari perusahaan startup jebolan Indigo batch pertama ini. Sementara itu, di tengah pandemi, antrean perusahaan untuk melantai di bursa jauh dari kata sepi. Dilansir dari Katadata, setidaknya sudah ada 50 emiten yang melakukan IPO sepanjang tahun ini. Berdasarkan pipeline yang ada di bursa, masih ada sekitar 17 perusahaan lagi yang siap untuk melantai.

Saat ini RUN System telah melayani sekitar 50 perusahaan di berbagai skala bisnis mulai dari UMKM, menengah, hingga besar yang bergerak di sektor manufaktur, distribusi, perdagangan, dan jasa. Dalam sesi wawancara berbeda, Soni turut menyampaikan, saat ini timnya tengah menggarap integrasi ERP dan sektor perbankan.

Sony mengungkapkan bahwa peluang industri ERP di Indonesia masih sangat besar, dengan sekitar 10-20% perusahaan yang baru memanfaatkan layanan tersebut untuk bisnis mereka. “Kami sangat optimis industri ERP akan terus berkembang ke depannya dengan semakin banyaknya perusahaan yang mulai berinvestasi dan mengimplementasikan sistem ERP untuk mengefisiensikan operasional mereka,” jelasnya.

Revolusi Konsep “Ride Sharing” sebagai Alternatif Jasa Transportasi

Konsep ride sharing sering kali disamakan dengan layanan ride hailing. Kendati memiliki tujuan yang sama, sejatinya dua konsep ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Ride hailing berorientasi pada permintaan penumpang yang membutuhkan kendaraan; sementara ride sharing lebih fokus kepada pemilik kendaraan yang memiliki slot kosong untuk berbagi perjalanan.

Salah satu startup yang fokus menggarap segmen ride sharing adalah Tebengan. Co-Founder & CEO Tebengan Will Widjaja pertama kali terpapar konsep ini ketika ia menghadiri sebuah konferensi di Aarhus, Denmark pada tahun 2014. Sempat berkenalan dengan beberapa orang lokal, ketika ia hendak kembali ke Copenhagen menggunakan kereta, mereka menawarkan untuk menggunakan sebuah aplikasi ride sharing yang ternyata sudah lumrah di sana.

“Saat itu saya berpikir, dengan harga lebih murah, tempat lebih nyaman, dan ada teman ngobrol, mengapa tidak coba dikembangkan saja. Inilah yang menjadi inspirasi saya untuk membuat Tebengan di Indonesia,” tambah Will.

Fokus bisnis

Dalam perjalanannya, startup ride sharing yang akan menginjak tahun ke-4 di bulan Maret 2021 ini juga sempat mengalami fase model bisnis yang berubah-ubah. Untuk mencapai product market-fit perusahaan memulai dari iterasi pengemudi untuk membuat trayek rutin, lalu menyediakan sistem offer agar mereka juga bisa menawarkan layanan ke penumpang.

Will juga turut mengungkapkan, “Tantangan terbesar kami adalah bagaimana mengkoordinasi 2 user yang punya alamat berbeda tujuan berbeda dan jam berbeda untuk bisa saling koordinasi, fitur seperti apa yang harus kita hadirkan untuk memfasilitasi hal itu.”

Selain itu, kesabaran pemilik kendaraan dan penumpang juga masih menjadi alasan rentan terjadinya keluhan di aplikasi yang sudah diunduh lebih dari 10 ribu pengguna ini. Kepercayaan juga menjadi salah satu faktor esensial untuk keberlangsungan bisnis. Beberapa fitur seperti verifikasi SIM, KTP, juga komunitas untuk wadah berdiskusi turut dikembangkan demi membangun kepercayaan antar pemilik kendaraan dan penumpang.

Mengenai potensi ride sharing di Indonesia, konsep ini sendiri sebenarnya sudah menjadi budaya di Indonesia. Dalam segmen ini, ada beberapa pemain yang juga menawarkan layanan serupa seperti Noompang dan Nebengers.

Ketika disinggung mengenai diferensiasi, Will mengungkapkan, “Value proposition yang ingin kami bawa di sini adalah pengalaman berkendara yang nyaman dan menyenangkan. Harapan kami adalah dengan kesederhanaan yang ditawarkan melalui aplikasi tebengan ini bisa memudahkan user untuk mencari teman nebeng atau relasi baru dengan objektif yang sesuai.”

Di tengah pandemi, layanan yang sempat juga menekankan bahwa ekosistem di Tebengan selalu dianjurkan untuk mematuhi protokol yang berlaku, baik pada jumlah penumpang di dalam kendaraan juga protokol kesehatan lainnya yang diatur pemerintah.

Dari sisi harga, platform ini tidak bertugas mematok angka, tetapi memberi rekomendasi yang sesuai. Namun, semua kembali lagi pada keputusan pemilik kendaraan. Saat ini tebengan masih fokus melayani pengguna di area Jabodetabek dan sudah mulai mengembangkan cakupan antar kota/provinsi.

“Fokus kita masih di Jabodetabek, sekarang lagi membangun sistem komunitas di mana bisa membuat grup diskusi antar penumpang dan pemilik kendaraan. Saat ini kami mau fokus di area yang minim angkutan umum dengan membuka trayek baru yang tidak ada di transportasi umum,” jelas Will.

Sebagai informasi, Tebengan adalah salah satu peserta di program akselerator DSLaunchpad yang diadakan oleh DailySocial bekerja sama dengan Amazon Web Services.

Gambar Header: Depositphotos.com

Application Information Will Show Up Here

OVO Gandeng Bareksa dan Manulife Luncurkan Fitur Investasi

Platform pembayaran dan dompet digital OVO hari ini (26/1) meluncurkan fitur terbarunya “Invest” bekerja sama dengan Bareksa dan Manulife. Reksa dana pasar uang menjadi produk pertama dari sinergi ini, menargetkan kaum milennials yang baru mulai menjajaki dunia investasi.

Presiden Direktur OVO sekaligus Co-Founder/CEO Bareksa Karaniya Dharmasaputra mengungkapkan, “Peluncuran fitur Invest adalah bagian dari komitmen kami untuk membuka akses yang terjangkau, terpercaya, dan nyaman dalam pengelolaan investasi, khususnya bagi investor pemula. Produk yang kami sediakan secara eksklusif di platform OVO adalah reksa dana pasar uang Manulife OVO Bareksa Likuid (MOBLI) yang dikelola oleh Manulife Aset Manajemen Indonesia, salah satu perusahaan manajemen investasi terbesar di dunia.”

Mengacu pada data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Indeks Inklusi Keuangan di Indonesia saat ini mencapai 76,2 persen. Sementara tingkat literasi keuangan menunjukkan angka yang masih rendah yaitu sebesar 38,0 persen dengan hanya 1,7 persen yang masuk ke area pasar modal. Untuk menjawab tantangan dan permasalahan tersebut, OVO didukung Bareksa sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana (APERD) menciptakan terobosan baru dengan melakukan integrasi e-money dan e-investment.

Sebelum ini, beberapa platform investasi juga lakukan integrasi dengan berbagai layanan digital konsumer. Misalnya yang dilakukan Pluang dengan masuk ke ekosistem Dana dan Gojek. Bahkan saking tingginya minat pasar terhadap investasi reksa dana, Bukalapak juga telah membentuk unit usaha tersendiri yang fokus ke segmen tersebut.

“Sebagaimana halnya kita lihat pada integrasi Alipay dan Yu’e Bao di China, yang telah mencatatkan sukses besar dalam mengenalkan investasi reksa dana secara masif di kalangan milenial. Dalam mengembangkan terobosan ini, kami telah berkonsultasi dengan Bank Indonesia (BI) dan OJK. Untuk itu, kami berterima kasih atas dukungan BI dan OJK yang pro-inovasi dan visioner dalam pemanfaatan tekfin bagi peningkatan inklusi keuangan dan pendalaman pasar keuangan kita,” jelas Karaniya.

Reksa dana pasar uang MOBLI tersedia secara eksklusif di aplikasi OVO. Para pengguna yang sudah memperbarui layanan akan menemukan fitur “Invest” di halaman utama OVO. Setelah masuk ke dalam fitur “Invest”, pengguna hanya perlu mengisi profil resiko serta menunggu proses verifikasi dan bisa langsung mematok nominal yang ingin di-invest mulai dari Rp10 ribu.

Selain menawarkan kemudahan dan kenyamanan bertransaksi [belanja, membayar tagihan, dll] dan berinvestasi dalam satu platform, keunggulan lainnya adalah proses pencairan instan, yang memungkinkan investor dapat mencairkan investasi mereka langsung ke saldo OVO Cash.

Salah satu Financial coach yang ikut hadir dalam acara peluncuran OVO “Invest”, Philip Mulyana turut menyatakan bahwa investasi reksa dana juga dapat menjadi salah satu opsi tabungan dana darurat yang baik untuk investor pemula. Pertimbangannya adalah reksa dana pasar uang merupakan salah satu instrumen investasi yang paling aman namun memberikan retur yang lumayan.

Application Information Will Show Up Here

Perawatku.id Fokus Jembatani Kebutuhan Pelatihan dan Penempatan Perawat

Pandemi Covid-19 telah membatasi ruang gerak masyarakat sedemikian rupa, termasuk mereka yang terlibat dengan fasilitas kesehatan. Masyarakat yang cenderung takut mengunjungi rumah sakit mengakibatkan tingkat permintaan perawat medis semakin tinggi. Perawatku mencoba hadir untuk menjembatani kebutuhan akan perawat serta berbagai aktivitas yang mendukung jalannya industri perawaton-demand.

Menurut data BPS, jumlah perawat di Indonesia pada 2019 mencapai 345.508 orang. Persebaran terbanyak terdapat di Pulau Jawa, diikuti Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku.

Di antara jumlah lulusan sekolah perawat setiap tahun, hanya kurang dari 40% yang diterima dalam peran perawat penuh waktu. Sebagai usaha untuk mengatasi masalah dalam industri perawat-on-demand, Perawatku.id menyediakan ekosistem memungkinkan institusi perawatan kesehatan dapat bertemu dan berinteraksi dengan kumpulan profesional perawatan kesehatan yang berkualitas di bawah satu sistem.

Beberapa layanan yang ditawarkan untuk calon tenaga kesehatan di bidang pemberdayaan seperti pelatihan, masterclass, dan sertifikasi. Dalam platform ini tersedia juga informasi lowongan kerja dengan penempatan lokal dan global. Perusahaan juga menyediakan sumber daya pendukung seperti tes psikologi, integrasi e-wallet, dan pembiayaan.

Melalui layanan ini, Perawatku.id bertujuan untuk mengatasi kesenjangan yang ada di pasar dengan tidak hanya menyediakan koneksi ke pencipta lapangan kerja tetapi juga dukungan pengembangan kapasitas untuk calon talenta tanpa sertifikasi keperawatan yang sesuai. Dalam proses kurasinya, kandidat perawat dipastikan harus memiliki STR (Surat Tanda Registrasi) sebagai bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah kepada tenaga kesehatan yang telah memiliki sertifikat kompetensi.

Fokus menjembatani kebutuhan perawat

Sempat mengawali bisnis dengan fokus pada homecare, startup yang didirikan oleh Ogy Winenriandhika sebagai CEO, Triwahyuni Ilaihi sebagai COO, Ifa Alfi selaku CTO ini memosisikan dirinya sebagai healthhunting company. Sedikit berbeda dengan layanan perawat-on-demand lainnya seperti Homecare24 atau Halodoc yang juga sudah menyediakan jasa serupa, Perawatku fokus untuk menjembatani kebutuhan perawat akan pelatihan serta penempatan.

Pada tahap awal,  Perawatku.id berhasil mendapat dukungan dari oleh UMG IdeaLab besutan inovator teknologi Kiwi Aliwarga. Saat ini perusahaan juga tengah dalam masa penjajakan untuk menutup pendanaan Pra-Seri A, namun belum bisa menyebutkan investor yang terlibat.

Dalam hal monetisasi, Perawatku.id menjalankan model bagi hasil dengan tenaga kesehatan yang berhasil dipekerjakan. Selain itu, model bisnis ini juga menghasilkan uang dari layanan pendukung untuk talenta dan lembaga perawatan kesehatan.

“Selama pandemi, dengan kebutuhan perawat yang tinggi, kita bisa cukup bersaing. Pertumbuhan mitra berbanding lurus dengan kebutuhan pasar. Untuk program pelatihan pun sudah bisa dilakukan secara masif dan punya beberapa partner dalam pendampingannya.” ujar CEO Perawatku Ogy Winenriandhika.

Selama setahun beroperasi, Perawatku.id telah bekerja sama dengan kurang lebih 30 sekolah perawat di Indonesia. Selain itu, ada lebih dari 300 pelanggan berbayar dan diharapkan akan terus bertambah. Layanan Perawatku.id saat ini baru tersedia untuk wilayah Jakarta, Bogor dan Bandung.

Application Information Will Show Up Here

Dapat Lisensi BI, Startup Remitansi Transfree Segera Resmikan Kehadiran di Q2 2021

Berawal dari pengalaman pribadi sebagai anak rantau di Inggris, Crisman Wise merasakan sulitnya menemukan solusi transfer antar negara yang sederhana dan tidak mahal. Dengan niat awal untuk membantu teman, pada bulan Juli 2018 ia membuat sebuah solusi untuk mempermudah transfer ke luar negeri serta menerima uang dalam mata uang lain tanpa biaya tambahan.

Kemudian layanan tersebut diberi nama Transfree (akronim dari transfer free). Dua tahun kemudian, setelah perjalanan berliku untuk mendapat izin dari Bank Indonesia, layanan ini berhasil meraih lisensi per Juli 2020.

“Kami melihat masalah transfer antar negara ini besar dan menjadi kebutuhan banyak orang. Dengan niat awal membantu teman, kita merasa ini adalah sesuatu yang bisa berkembang. Itulah awalnya kita membuat Transfree,” ungkap Founder & CEO Transfree Crisman Wise.

Crisman mengakui, hidup sebagai anak rantau mengharuskannya berurusan dengan transfer uang ke dan dari Indonesia. Untuk mencapai hal itu, ia harus merogoh kocek cukup besar akibat biaya transfer yang cukup tinggi dari platform transfer uang internasional.

Secara model bisnis, layanan yang ditawarkan Transfree tidak jauh berbeda dari kompetitor seperti Transfez, Zendmoney atau TransferWise. Mereka memungkinkan pelanggan mengirim uang ke luar negeri dan mendapatkan pembayaran dalam mata uang lain ke dalam rekening mereka atau rekening penerima. Bedanya, Transfree tidak mematok biaya tambahan untuk layanan ini. Perusahaan mengakui hanya mengambil keuntungan dari selisih kurs.

Pemain remitansi digital di Indonesia
Pemain remitansi digital di Indonesia

Target di 2021

Pada awalnya, Transfree memang ditujukan untuk membantu para pelajar asing, terutama di Inggris agar bisa lebih mudah dan murah dalam proses transfer antar negara. Seiring perjalanan, ternyata timnya menemukan bahwa masalah terbesar ada pada para PMI (Pekerja Migran Indonesia). Dalam proses mengirim hasil jerih payah yang mereka dapat di negara orang ke Indonesia mereka harus merogoh kocek yang tidak sedikit untuk biaya tambahan.

Data yang dihimpun dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa remitansi atau kiriman devisa dari TKI yang mengadu nasib ke luar negeri sepanjang 2018 mencapai US$10,971 miliar atau setara Rp153,6 triliun. Dari jumlah remitansi yang masuk ini telah menciptakan potensi bisnis yang besar.

Dalam waktu kurang lebih dua tahun, startup ini telah melayani transaksi antara Indonesia, Eropa dan Australia. Sebagian besar pelanggan datang dari relasi, namun tidak sedikit juga yang melalui rekomendasi. Jumlah tersebut kemudian digunakan perusahaan untuk memvalidasi permintaan (demand).

Secara teknis, Transfree belum resmi meluncurkan layanan untuk PMI ini. Hal ini menjadi salah satu target mereka di Q2 2021. Target lainnya datang dari sisi pendanaan, saat ini Transfree masih berstatus bootstrapping. Timnya masih berupaya untuk mendapat tambahan modal demi mewujudkan visi perusahaan membuat proses transfer uang internasional terasa seperti transfer lokal.

“Saat ini kita sedang mengusahakan untuk bisa launching di Q2 tahun ini. Fokus layanan kita masih akan di Asia Tenggara. Untuk target customer dan volume transaksi kita masih belum bisa disclose. Tapi bisa dibilang traksinya cukup baik. Saat ini kita sedang lari kencang agar tidak ketinggalan momentum,” ujar Crisman.