Pajak.io Jembatani Kebutuhan UKM Soal Perpajakan

Rendahnya peran serta pelaku UKM untuk membayar pajak dan kurang user friendly opsi perpajakan saat ini, memberikan inspirasi bagi Rayhan Gautama (CEO), Jefriansyah Hertikawan (CTO), dan Fadil Moestar (CPO) untuk mendirikan Pajak.io. Platform tersebut diinisiasi oleh pendiri Fintax (PT Fintek Integrasi Digital), salah satu Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan (PJAP) resmi yang terdaftar dan diawasi oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Republik Indonesia.

Kepada DailySocial Rayhan mengungkapkan, berdasarkan data yang diperoleh, dari sekitar 60 juta UKM di Indonesia, hanya sekitar 2 juta unit usaha yang membayar pajak. Maka dari itu Pajak.io dibangun untuk menyediakan opsi perpajakan yang lebih user friendly agar mudah dimengerti bagi masyarakat dan pengusaha pada umumnya.

“Berdasarkan hasil studi yang kami pelajari dari berbagai jurnal ilmiah, setidaknya kami menemukan dua alasan mengapa inklusi perpajakan pada UKM sangatlah rendah. Yang pertama dikarenakan sistem daring kepatuhan pajak milik Ditjen Pajak dipandang kurang user friendly, yang kedua karena minimnya sosialisasi kepada para pelaku UKM.” kata Rayhan.

Sejak diluncurkan pada 14 Juli 2020, Pajak.io berhasil mencatat pertumbuhan yang baik sepanjang tahun 2020. Mereka mengklaim telah memiliki 3322 pengguna dari 2540 badan usaha yang terdaftar di Indonesia. Sepanjang tahun 2020, Pajak.io mencatat lebih dari 14025 transaksi dengan nominal pajak yang terkelola mencapai lebih dari 22,6 miliar Rupiah.

“Model bisnis dari Pajak.io adalah freemium. Strategi Pajak.io adalah untuk memberikan layanan gratis kepada seluruh pengguna dan juga membangun database kontak untuk nantinya ditawarkan layanan premium Pajak.io, untuk layanan premium ini akan diluncurkan pada Q1 2021,” kata Rayhan.

Manfaatkan web app

Solusi dan kemudahan yang ditawarkan untuk pelaporan pajak para pelaku UKM tersebut adalah melalui web app Pajak.io. Platform tersebut fokus pada layanan pembuatan kode billing untuk kebutuhan pembayaran pajak dan juga layanan pelaporan SPT secara daring yang lebih user friendly. Di samping itu, Fintax juga aktif untuk memberikan edukasi dan sosialisasi kepada para pelaku usaha UKM tentang kemudahan administrasi perpajakan.

“Untuk saat ini fitur multi-pengguna dan multi-perusahaan merupakan fitur yang paling diminati oleh pasar kami. Dengan fitur tersebut, satu pengguna dapat mengelola lebih dari satu perusahaan dan satu perusahaan juga dapat dikelola lebih dari satu pengguna, gratis dan tanpa batasan,” kata Rayhan.

Disinggung apa yang membedakan Pajak.io dengan platform serupa lainnya, Rayhan menegaskan positioning layanan serupa di pasar saat ini, lebih memfokuskan kepada monetisasi produknya kepada segmen enterprise. Sedangkan visi Pajak.io adalah untuk mendongkrak inklusi perpajakan terutama kepada UKM.

“Bukan berarti produk Pajak.io tidak dapat digunakan enterprise, namun product market fit terhadap segmen UKM akan selalu menjadi fokus jangka panjang dari Pajak.io,” kata Rayhan.

Perusahaan mencatat saat ini sekitar 75% pengguna dari Pajak.io adalah UKM, sementara 15% masuk dalam kategori segmen enterprise. Sisanya Pajak.io memiliki pengguna yang berasal dari kalangan instansi pemerintahan meliputi Sekolah Negeri, Madrasah, dan lainnya.

Pandemi dan rencana tahun 2021

Dilihat dari pertumbuhan bisnis saat pandemi, Pajak.io tidak mengalami kendala yang berarti. Perusahaan mencatat target telah tercapai. Sejak diluncurkannya platform, relasi yang lebih baik telah tercipta dengan target pengguna mereka yaitu kalangan UKM di Indonesia.

“Hal yang paling membanggakan justru bukan dari capaian kuantitatif, namun kualitatif. Semenjak layanan Pajak.io diluncurkan, kami merasa sangat engaged dengan segmen UKM. Berbagai macam sosialisasi perpajakan dan tawaran kerjasama dengan berbagai komunitas UKM juga kami lakukan sehingga kami jadi lebih paham mengenai pain point mereka dalam perpajakan, dan layanan apa yang harus kami bangun kedepannya untuk membantu mereka,” kata Rayhan.

Tahun 2021 mendatang ada beberapa rencana yang dimiliki oleh perusahaan, di antaranya adalah fokus untuk monetisasi produk premium melalui aplikasi e-Faktur (untuk administrasi PPN) dan e-Bupot (untuk administrasi PPh 23/26).

Ke depannya perusahaan juga akan meluncurkan layanan lain yang difokuskan untuk melayani segmen UKM secara full service (hitung-bayar-lapor) dengan memanfaatkan kemitraan strategis dengan beberapa komunitas UKM. Perusahaan juga memiliki rencana untuk melakukan penggalangan dana tahapan awal.

“Kami cukup senang atas respon positif pasar terhadap Pajak.io, terutama untuk para pengguna dari sektor UKM atas antusiasme mereka terhadap kewajiban perpajakannya,” kata Rayhan.

Digiasia Bukukan “Debt Funding” 711 Miliar Rupiah, Perkuat Unit P2P Lending

Setelah mengantongi pendanaan Seri B awal tahun 2020 lalu, perusahaan fintech Digiasia Bios kembali merampungkan pendanaan melalui jalur debt funding senilai $50 juta atau setara 711,8 miliar Rupiah. Tidak diinfokan lebih detail mengenai institusi mana saja yang terlibat meminjamkan/menyalurkan dana tersebut.

Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO Alexander Rusli mengungkapkan, dana segar tersebut nantinya akan dimanfaatkan untuk memperkuat kanal bisnis p2p lending.

“Saat ini channel tersebut sudah berjalan sejak 1,5 tahun terakhir, dengan pendanaan ini akan ramp up rencana kita. Kita telah memberikan pinjaman kepada sekitar 11 ribu warung,” kata Alex.

Modal tambahan tersebut juga akan dimanfaatkan untuk berinvestasi kepada mitra strategis. Untuk rencana ini Alex menegaskan masih dalam tahap pengembangan dan baru saja dirilis. Pihaknya masih dalam tahap monitoring dan pengamatan terlebih dulu.

Digiasia didirikan oleh mantan petinggi Indosat Ooredoo, yakni Alexander Rusli (mantan CEO) dan Prashant Gokarn (mantan Chief Digital & Service Officer) pada 2018 lalu.

Sejumlah kemitraan Digiasia

Dari sisi partnership, Digiasia telah bermitra dengan sejumlah perusahaan transportasi untuk menyediakan kemudahan bertransaksi, seperti kerja sama KasPro (unit usaha Digiasia) dengan Damri untuk rute tertentu di Bandung. Di sisi lain, penjualan produk B2B dari Metrodata difasilitasi KreditPro (unit usaha Digiasia).

Salah satu portofolio menarik dari Digiasia adalah layanan remitansi online. Sinergi strategis dengan Mastercard dapat menjadi penguatan layanan RemitPro atau chapter baru untuk menjadikan satu ekosistem dari seluruh produk existing Digiasia.

Menurut perusahaan, RemitPro sudah tersedia di 60 negara dengan dukungan 200 agen pembayaran. RemitPro juga bekerja sama dengan PT Eka Bakti Amerta Yoga sebagai mitra penyelenggara transfer dana remitansi, yang memungkinkan pencairan dana di 4.800 kantor pos dan 10.000 cabang BRI di Indonesia.

Mendukung Pertumbuhan Startup Bioteknologi dan “Life Science” Indonesia

Salah satu sektor yang masih sangat niche di Indonesia adalah sektor biotech (bioteknologi) dan life science. Dengan aturan yang begitu kompleks, tidak banyak pemain baru yang ingin masuk ke sektor ini. Angin segar hadir ketika selama setahun terakhir mulai hadir startup-startup yang mendapat dukungan investor untuk mencoba memberikan warna baru. Sebut saja startup seperti Nusantics, Nalagenetics, dan Sensing Self.

DailySocial mencoba memahami seperti apa peluang, tantangan, dan masa depan startup bioteknologi dan life science saat ini. Lebih jauh, bagaimana dukungan investor menyikapi dan menangkap peluang yang ada.

Pasar yang “niche”

Tim Nalagenetics
Tim Nalagenetics

Bagi Nalagenetics, salah satu portofolio East Ventures, menjadi tantangan tersendiri untuk mulai mengembangkan bisnis di Indonesia. Startup yang didirikan oleh Jianjun Liu, Astrid Irwanto, Alexander Lezhava, dan Levana Sani ini hadir menyediakan layanan tes genetik berbiaya murah yang disesuaikan pasar Asia. Penetrasi bisnisnya dimulai di Singapura dan Indonesia.

Co-founder Nalagenetics Levana Sani mengungkapkan, salah satu kendala mengapa startup seperti Nalagenetics kesulitan memperkenalkan produknya ke target pasar adalah kurangnya pengetahuan terkait tes genetik. Proses yang bisa membantu orang banyak beradaptasi dengan obat-obatan yang mereka konsumsi sudah cukup familiar di pasar Amerika Serikat dan Singapura. Untuk Indonesia, kebanyakan belum memahami lebih jauh.

“Karena hal tersebut terkadang menyulitkan kami untuk melakukan pendekatan ke pihak rumah sakit dan pemerintah. Meskipun para dokter kebanyakan sudah mengetahui layanan yang kami sediakan, tapi sebagian besar pihak terkait belum mengenal lebih jauh,” kata Levana.

Saat ini Nalagenetics telah mendapatkan hibah dan menjalin kerja sama dengan berbagai institusi terkait di Indonesia, termasuk FKUI, RSCM, dan Litbangkes. Sementara di Singapura, perusahaan juga telah berkolaborasi dengan NUHS, NNI, GIS. Dukungan yang diterima dari investor membantu perusahaan untuk tumbuh dan berkembang lebih baik lagi.

“Menurut saya, sektor ini masih sangat baru, tetapi lebih banyak dikembangkan di beberapa bidang seperti pertanian. Tingkat implementasi juga bervariasi tergantung pada kompleksitas teknologi yang terlibat. Kebanyakan permintaan yang ada datang dari industri swasta, bukan dari kalangan umum atau arahan pemerintah,” kata Levana.

Tim Nusantics
Tim Nusantics

Menurut CEO Nusantics Sharlini Eriza Putri, meskipun dukungan yang diberikan tidak terlalu besar jumlahnya, namun perhatian investor dan pemerintah telah membantu Nusantics mengembangkan bisnis. Sebagai startup berbasis teknologi, Nusantics fokus pada pengembangan dan penerapan berbagai riset genomika dan mikrobioma untuk memenuhi gaya hidup sehat dan berkelanjutan. Nusantics juga merupakan portofolio East Ventures.

“Menurut saya, pertumbuhan startup biotech dan life science seperti Nusantics dan lainnya masih dalam tahap awal. Potensi yang ditawarkan cukup besar, namun kebanyakan masih kurang dipahami karena istilahnya yang masih sangat asing, sehingga seseorang harus memulai dari suatu tempat dan terus berkontribusi dalam membangun momentum.”

Pandemi mendorong akselerasi

Pandemi telah mengubah semua kebiasaan dan kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini menjadi momentum baik bagi startup seperti Nusantics dan Nalagenetics. Bagi mereka, kondisi pandemi menjadi ideal untuk melakukan uji coba dan mempercepat akselerasi, sekaligus ajang pembuktian bahwa teknologi yang mereka tawarkan sangat relevan.

“Pandemi telah meningkatkan kesadaran di kalangan masyarakat yang cukup besar akan pengujian genetik di rumah,” kata Levana.

Hal senada diungkapkan Sharlini. Meskipun pandemi mempengaruhi bisnis mereka secara negatif, terutama layanan pemeriksaan mikrobioma kulit, di sisi lain perusahaan melihat pandemi juga telah memberikan dampak yang positif ke pipeline bisnis baru, yaitu produk lokal komersial pertama untuk COVID-19 PCR Test Kit.

Bulan April lalu produk serupa juga diluncurkan Sensing Self. Sebagai alat tes mandiri untuk Covid-19, alat tes ini diklaim memberikan hasil deteksi yang cepat dan akurat karena menggunakan analisis enzim. Memungkinkan setiap orang melakukan pengetesan di rumah masing-masing, dalam waktu 10 menit, dan harga terjangkau (Rp160 ribu per unit).

“Kehadiran alat tes mandiri ini dapat membantu pemerintah untuk menyediakan akses tes yang lebih aman, praktis, dan terjangkau. Ketika terdapat pasien positif, mereka dapat langsung melakukan isolasi mandiri ataupun mendapatkan perawatan di rumah sakit,” kata Co-Founder Sensing Self Santo Purnama.

Startup yang berbasis di Singapura ini, didirikan Santo dan Shripal Gandhi. Mereka berdua menempatkan Sensing Self sebagai perusahaan yang fokus menciptakan alat tes kesehatan mandiri, agar setiap orang dapat mendeteksi kesehatannya sendiri dan mendapatkan pengobatan di tahap sedini mungkin.

Dukungan investor

Menurut Tania Shanny Lestari dari OpenSpace Ventures, sektor ini masih dalam tahap pertumbuhan di Indonesia, karena proses penemuan obat membutuhkan banyak sumber daya dan kemampuan penelitian. Namun, dengan jumlah penduduk yang secara alami menjadi pasar potensial yang besar, startup bioteknologi Indonesia dapat mengambil peran lebih banyak dalam mengembangkan uji klinis bersama perusahaan-perusahaan farmasi (asing). Jalur kemitraan dengan perusahaan farmasi asing ini secara bertahap akan membangun kapabilitas bioteknologi Indonesia.

“Untuk memfasilitasi uji klinis, ketersediaan Rekam Medis Elektronik (EMR) yang terstruktur menjadi sangat penting. Ini adalah enabler yang akan memungkinkan perusahaan bioteknologi / life science memiliki kumpulan data yang lebih besar dan lebih komprehensif untuk dikerjakan. Ini bisa menjadi peluang langsung untuk bekerja di bidang teknologi kesehatan,” kata Tania.

Sebagai investor, Tania melihat peluang yang besar untuk menyasar bidang ini. Saat ini menjadi waktu yang tepat bagi startup Indonesia untuk membangun rekam medis digital health yang akan menjadi infrastruktur pengembangan bidang bioteknologi dan life science di Indonesia.

“Seperti yang kita saksikan dalam lima tahun terakhir, dua negara di Asia, yaitu Tiongkok dan Korea, telah muncul sebagai pemain global di bidang bioteknologi dan life science. Ini adalah sektor yang secara tradisional didominasi perusahaan AS, Eropa, dan Jepang dengan perusahaan global seperti Amgen, GSK, dan Takeda. Startup di sektor ini juga baru-baru ini menemukan jalannya untuk menjadi perusahaan yang terdaftar, seperti Vir Biotechnology, yang didukung oleh Softbank dan Gates Foundation,” kata Tania.

Sementara itu menurut Sr. Executive Director Vertex Ventures Gary Khoeng, ada beberapa alasan mengapa belum banyak investor yang tertarik untuk menanamkan modal kepada startup yang menyasar biotech dan life science, selain kompleks dan luasnya bidang ini.

Dibutuhkan investasi dalam jangka cukup lama untuk melakukan riset dan membuat produk yang diterima masyarakat.

“Pada akhirnya solusi dan penelitian bioteknologi biasanya memiliki waktu gestation yang sangat lama karena penelitian dan uji coba. Misalnya dengan pengobatan baru untuk penyakit yang menyebar luas atau mengembangkan vaksin baru. Berdasarkan pembayaran dan pendanaan yang ada, harus dipastikan perusahaan dapat bertahan dan juga memiliki rencana akhir yang jelas.”

Sebagai venture capital, Vertex Ventures melihat potensi yang besar untuk berinvestasi ke startup di kategori ini. Salah satu dukungan perusahaan adalah melalui Vertex Healthcare Fund yang fokus ke startup yang menawarkan solusi bioteknologi.

“Dana ini berasal dari Singapura tetapi telah dipindahkan ke Amerika Serikat karena fakta bahwa sebagian besar peluang bioteknologi ada di AS dibandingkan negara lainnya. Meskipun sektor ini cukup tertinggal dan berjalan lambat dibandingkan sektor lainnya, namun memiliki peluang besar yang belum dimanfaatkan oleh startup yang benar-benar memiliki semangat dan kemampuan untuk beroperasi di bidang ini,” kata Gary.

Flick Luncurkan Layanan Keuangan Digital Terintegrasi untuk Pelaku Usaha F&B

Bertujuan untuk memudahkan proses transaksi antara penjual dan pembeli, Flick platform yang mengusung konsep pembayaran secara cashless memanfaatkan QR Code meresmikan produknya. Kepada DailySocial, Co-founder & CEO Flick Thalla Hirasazari mengungkapkan, saat diluncurkan tahun 2019 lalu ide awal platform ini berkonsep ATM berjalan, masyarakat dapat menarik uang secara tunai melalui pedagang kaki lima dan warung.

Setelah melewati berbagai tahap adaptasi dan pivot, bersama para pendiri lainnya yaitu Rizha Teuku, Indra Prasetyo, dan Abhishta Gatya kemudian secara resmi mulai memperkenalkan beberapa produk baru dari Flick kepada target pengguna dan merchant.

“Flick saat ini fokus memberikan solusi kepada para UKM melalui dua produk. Pertama, FlickSilvi+ yaitu penyediaan sistem contactless dining untuk restoran dan cafe, beradaptasi dengan perilaku konsumen saat pandemi. Kedua, FlickShop yakni platform online social commerce,” kata Thalla.

Dengan sistem table QR yang praktis, pelanggan yang datang ke restoran mitra hanya perlu memindai QR code dan memilih makanan melalui tampilan menu digital di smartphone tanpa memanggil pelayan atau beranjak dari kursi. Sistem yang terintegrasi juga memungkinkan pelanggan untuk membayar pesanan melalui fitur FlickPay.

Permudah mitra kelola transaksi

Diperuntukkan bagi mitra, baik FlickSilvi maupun FlickSilvi+ mengusung teknologi smart cashier mobile. FlickSilvi dirancang untuk UKM seperti warung kelontong atau warteg agar lebih terdigitalisasi dan cashless. Sedangkan FlickSilvi+ menyasar market restoran maupun kedai kopi dalam memproses pesanan dari pelanggan dine-in.

“Keunggulan yang ditawarkan FlickSilvi dan FlickSilvi+ bagi mitra adalah kemudahan mencatat transaksi penjualan, alert system stok bahan baku, dan data analisis penjualan untuk mencegah food waste bagi industri makanan. Selain itu, di FlickSilvi dan FlickSilvi+ ada data yang bisa diserap, seperti data penjualan harian, range usia, hingga area domisili pelanggan untuk dijadikan analisis data penjualan yang efektif dan terukur,” kata Thalla.

Menargetkan penjual online yang memanfaatkan media sosial seperti Instagram, Flick kemudian menyederhanakan proses penjualan di satu tempat melalui FlickMerchant yang terintegrasi dengan Instagram. Penjual cukup mendaftarkan toko dan upload foto dagangan di aplikasi FlickMerchant, salin link, dan tempel URL di link bio Instagram. Pembeli dapat merasakan pengalaman belanja online seperti di Instagram Shop, termasuk memilih jasa kurir, tracking, dan melakukan transaksi pembeliannya. Bagi sisi pembeli, semua kemudahan ini tersedia di satu aplikasi Flick.

“Kebanyakan penjual menyediakan link penjualan di profil Instagram. Ketika calon pembeli mengklik tautan tersebut, calon pembeli diarahkan ke channel platform lain, misal WhatsApp atau marketplace. Dengan FlickMerchant, memudahkan penjual memberikan informasi produk dagangannya langsung di Instagram,” kata CPO Flick Rizha Teuku.

Rencana dan fokus Flick tahun 2021

Saat ini Flick mengklaim telah memiliki sekitar 1500 mitra yang terdiri dari restoran dan cafe. Untuk produk FlickSilvi+ contactless dining, telah tersedia di restoran-restoran yang tersebar di Jabodetabek, Bandung, dan kota kota besar lainnya. Untuk mendukung layanan, Flick juga telah menjalin kemitraan di antaranya dengan layanan logistik SiCepat, Mr. Speedy, AnterAja, dan tengah menjajaki kerja sama dengan Grab sebagai alternatif pilihan pengiriman.

Flick juga memiliki rencana untuk meluncurkan FlickTransfer dan FlickFund untuk melengkapi layanan one-stop-service digital di aplikasi Flick. Saat ini masih dalam proses pengembangan dan perizinan oleh OJK, nantinya kedua fitur ini diharapkan bisa mempermudah akses dan menjadikan UKM sebagai sarana transfer dana baik untuk lokal maupun internasional. Sedangkan, FlickFund bertujuan memberikan akses pinjaman ke UKM melalui fitur p2p lending.

“Tahun 2021 mendatang ada beberapa target yang ingin dicapai oleh perusahaan, di antaranya adalah fokus kepada iterasi produk dan jumlah transaksi. Setelah mengantongi pendanaan pre-seed dari angel investor Kiwi Aliwarga, perusahaan juga memiliki rencana untuk melakukan penggalangan dana seri A tahun depan,” kata Thalla.

Application Information Will Show Up Here

Endeavor Indonesia Ingin Rangkul Lebih Banyak Startup di Daerah

Telah hadir sejak 2012, program Endeavor Indonesia yang fokus menyeleksi dan membantu high-impact entrepreneur berbasis teknologi telah memiliki beberapa rencana dan target yang bakal dilancarkan tahun depan. Mereka juga baru mengumumkan suksesi dengan masuknya jajaran 4 board member baru, salah satunya Co-CEO Gojek Andre Soelistyo.

Dalam sesi temu media secara virtual, Arif P. Rachmat yang baru saja ditunjuk sebagai Chairman Endeavor Indonesia 2020 mengungkapkan, tahun 2021 mendatang diharapkan organisasi ini bisa menjaring lebih banyak startup yang saat ini masih terbilang ‘overlooked’ dan belum banyak diincar oleh venture capital dan program akselerator.

“Kami ingin mencari lebih banyak startup yang berasal dari daerah, memiliki latarbelakang unik namun memiliki impact yang besar. Bisa jadi mereka yang berasal dari kalangan menegah kebawah dan memiliki perhatian dengan lingkungan akan menjadi prioritas kami ke depannya.”

Selama ini Endeavor Indonesia telah membantu entrepreneur berpengaruh mengakselerasi pertumbuhan usaha mereka dengan memperkenalkan mereka ke pakar industri lokal dan global yang menjadi mentor mereka. Saat ini terdapat 73 mentor dengan 436 jam mentoring yang telah didedikasikan. Endeavor Indonesia juga memberikan akses komprehensif ke pasar, permodalan dan talenta.

“Negeri ini butuh lebih banyak high-impact entrepreneur karena mereka dapat membawa Indonesia menjadi negara maju. Presiden Jokowi menyatakan bahwa salah satu syarat menjadi negara maju adalah jumlah entrepreneur di negara tersebut mencapai 14% dari jumlah penduduknya. Dan di Indonesia, angkanya baru sekitar 3%,” kata Arif.

Dukungan mentoring selama program

Gibran Huzaifah (dua dari kiri) dalam acara Endeavor Scaleup Asia Clinic (Speed mentoring) 2016

Salah satu kegiatan yang dinilai cukup menarik dan menjadi keunggulan dari Endeavor Indonesia adalah, kegiatan mentoring yang diberikan kepada startup selama program berlangsung. Salah satu startup yang merupakan lulusan Endeavor Indonesia adalah eFishery.

Menurut Co-Founder & CEO eFishery Gibran Huzaifah, bukan saja berkesempatan bertemu dengan para mentor yang berkualitas, namun insight yang kemudian didapatkan selama mengikuti program adalah, agar startup bisa dream big dan memiliki impian hingga cita-cita yang sangat besar untuk startup yang dimiliki.

“Selama mengikuti program saya juga memiliki kesempatan menjalin relasi dengan penggiat startup yang sudah berpengalaman. Salah satu contohnya adalah pertemuan saya dengan Aldi Haryopratomo dari GoPay yang akhirnya membawa eFishery menjalin kerja sama strategis dengan Gojek saat ini,” kata Gibran.

Gibran Huzaifah bersama dengan Christian Sutardi (Co-Founder, Fabelio) merupakan dua startup asal Indonesia terpilih sebagai Endeavor Entrepreneur of The Year 2020. Penghargaan ini diberikan berdasarkan prestasi yang mereka raih, yaitu berhasil membawa startup mengalami perkembangan positif dan sukses melakukan penggalangan dana.

“Bukan hanya memperkuat skill dan wawasan dari pendiri startup, Endeavor Indonesia juga memiliki Endeavor Academy yang bertujuan untuk memperkuat tim. Kami juga memiliki program untuk memperkuat masing-masing bidang, seperti sales, HR dan lainnya. Kami juga memiliki bantuan terkait legal/hukum, terutama untuk isu yang saat ini sedang hangat yaitu omnibus law,” kata Managing Director Endeavor Indonesia Wayah Wiroto.

“Freemium” vs Berlangganan: Mana yang Cocok untuk Startupmu?

Istilah freemium, gabungan dari free + premium, merupakan salah satu model bisnis populer yang menggabungkan konsep gratis dan berbayar. Tesis freemium memberikan akses gratis bagi pelanggan dengan fitur-fitur dasar dan memberikan fitur lebih banyak bagi mereka yang bersedia membayar.

Di sisi lain, ada pula layanan yang tidak memberikan free lunch, meskipun biasanya tetap menawarkan konsep uji coba gratis. Konsep berlangganan (atau subscription), membayar biaya secara pasti per bulan atau per tahun, menjadi pilihan bisnis untuk mendulang pendapatan.

DailySocial mencoba mencari tahu apakah skema freemium atau skema berlangganan bisa menjadi model bisnis yang tepat bagi startupmu.

Freemium dan pertumbuhan bisnis

Platform yang menyasar pasar ritel (B2C), seperti Linkedin, Spotify, atau YouTube, cenderung menawarkan skema freemium bagi konsumennya. Pelanggan yang enggan berlangganan secara premium akan disuguhkan iklan secara singkat atau dikurangi fiturnya ketika mereka mengakses layanan. Hal ini dianggap solusi win-win bagi semua pihak.

Menurut CEO Mtarget Yopie Suryadi, layanan freemium populer diterapkan perusahaan yang fokus secara B2C. Konsep freemium dianggap mampu meningkatkan stickiness pengguna untuk kemudian dikonversi sebagai pengguna berbayar.

“Di Mtarget sendiri Kami menerapkan [model bisnis] freemium dan juga subscription. Dengan demikian pengguna gratis dapat menggunakan seluruh fitur kami tetapi kuotanyanya terbatas. Setelah masa free berakhir, tim kami akan membuat flow dan strategi untuk mengubah mereka menjadi paid customer,” kata Yopie.

Ia melanjutkan, “[Penerapan konsep] Freemium yang berhasil memerlukan market research dan investasi yang cukup besar. Tapi ini akan sangat menjanjikan dari sisi growth. Strategi freemium sangat tergantung dengan karakter pengguna, aplikasi, dan market region masing-masing platform.”

Pilihan freemium juga banyak dipilih aplikasi permainan sosial. Platform semacam ini merupakan contoh sempurna penerapan model ini.

Mereka umumnya menampilkan mata uang virtual yang dapat digunakan pemain membuat kemajuan melalui berbagai level dalam permainan. Seorang pemain akan diberikan mata uang gratis pada awal permainan dan dapat meningkatkan saldo koin mereka dengan menyelesaikan tugas yang ditetapkan atau hanya dengan masuk setiap hari.

Jika ingin lebih cepat mendapatkan koin virtual atau melakukan kemajuan, konsumen bisa membayar biaya-biaya yang disajikan.

Menurut CEO MainGame Anton Soeharyo, strategi freemium “berhasil” memenangkan pelanggan di berbagai industri, termasuk bagaimana para game publisher mencari model bisnis terbaik bagi konsumennya.

“Pasar gaming di Indonesia mencapai $701 juta. Mereka [konsumen] willing to pay untuk bermain dan mendapatkan pengalaman dalam permainannya,” kata Anton.

Anton mengatakan, untuk permainan sederhana, biasanya berbasis HTML5  untuk menghabiskan waktu dan mungkin bisa mendapatkan hadiah, skema berlangganan adalah pilihan yang tepat. Sedangkan untuk game RPG dan sejenisnya, maka freemium bisa menjadi pilihannya.

“Saya melihat demikian karena setelah pemain mendapatkan ‘rasa’ dan ‘pengalaman’ dalam permainannya, maka mereka condong untuk melakukan pembelian dan kemudian beralih ke premium,” kata Anton.

Skema berlangganan untuk konsumen bisnis

Berbeda dengan skema freemium, pilihan berlangganan lebih lazim ditawarkan oleh mereka yang menyasar konsumen bisnis (B2B). Skema berlangganan memberikan kebebasan penggunaan dan opsi kustomisasi yang disesuaikan dengan kebutuhan bisnis, misalnya solusi-solusi berbasis SaaS.

Menurut CEO Prasetia Dwidharma Arya Setiadharma, freemium dan berlangganan hanyalah cara perusahaan menangkap lebih banyak permintaan. Ini dapat diterapkan ke berbagai segmen pengguna. Aspek menarik dari perusahaan yang menjual produk piranti lunak (software) adalah biaya marjinal dari pelanggan tambahan terkadang mendekati nol. Biaya marjinal berbeda dengan biaya untuk mendapatkan pelanggan tertentu. Biaya ini serupa dengan Cost of Goods Sold (COGS) di perusahaan brick and mortar.

“Di perusahaan perangkat lunak, biaya paling umum yang terkait dengan biaya marjinal ini adalah biaya server dan kecuali itu adalah perusahaan Artificial Intelligence (AI), biaya ini dapat diabaikan. Jika startup memiliki keunggulan ini, ia dapat menerapkan model freemium di mana mereka dapat menawarkan produk paling basic secara gratis. Ini sejalan dengan konsep pemasaran untuk membawa produk ke tangan pelanggan,” kata Arya.

Tentu saja konsep berlangganan tidak eksklusif untuk konsumen bisnis.

“Menurut saya subscription ini tidak terbatas ke [konsumen] B2B tetapi hampir semua akan masuk ke area ini. Seperti yang CEO Zuora bilang, kita masuk ke masa subscription economy,” kata Yopie.

Hal senada diungkapkan Anton. Dirinya melihat provider TV kabel yang menyasar konsumen perorangan juga menerapkan model berlangganan ke pelanggannya. Set-up box ditawarkan di luar harga langganan paket channel TV dan di dalamnya juga tersedia menu video on demand.

Pada akhirnya, menurut Arya, setiap pelanggan memiliki persepsi sendiri tentang nilai produk. Pengalaman pengguna gratis juga berharga untuk mendorong startup mengembangkan model bisnisnya.

“Contoh yang bagus dari ini adalah LinkedIn. LinkedIn menawarkan LinkedIn Premium untuk menangkap pengguna yang bersedia membayar lebih banyak fasilitas, privasi, dan status. Namun, LinkedIn juga memonetisasi pengguna gratis dengan menawarkan alat perekrutan ke perusahaan,” kata Arya.

Sebagai investor, Arya melihat ke depannya tidak menjadi masalah, apakah startup tersebut menerapkan model freemium atau berlangganan. Yang penting adalah kemampuan startup mempertahankan pelanggannya (dengan tingkat churn rendah) untuk tumbuh secara berkelanjutan dan mendapatkan nilai tambah dari pelanggan.

Lionsgate Play Is to Launch in Indonesia in Q1 2021

Recently arrived in India, Lionsgate Play, an on-demand video platform owned by US based colossal studio, The Lionsgate Motion Picture Group, is scheduled to be launched in Indonesia in the first quarter of 2021.

Guntur S. Siboro, who currently serves as the representative of Lionsgate Play in Indonesia, delivered the news to DailySocial. Disney+ Hotstar also offered similar concept in mid-2020.

“Indonesia will be the first country in Southeast Asia to welcome the Lionsgate Play platform. The similar market of India and Indonesia becomes the reason for Lionsgate Play to launch in Indonesia after India,” Guntur said.

Outside the Asian countries, Lionsgate Play is known as STARZPLAY, as well as in its home country of the United States, Lionsgate Play was chosen for countries in Asia, because Star was the name previously owned by a well-known company in Asia which is also a leading media company.

“However, the difference in name does not change the content we present in Asia and other countries. Lionsgate is not a big studio like Disney for example, but we have various Hollywood films, tv series, to indie films that have the best quality,” said Guntur.

Lionsgate Play pricelist and content

128882385_765745777618350_7554219817079945132_n

About the payment options for Lionsgate Play in Indonesia, Guntur avoids to reveal any further. However, he is open to the possibility with affordable and relevant prices to be given to target its customers in Indonesia.

Whether Lionsgate Play will partner with a local telco operator, as Disney+ Hotstar previously done with Telkomsel, is not further stated. Precisely, Guntur emphasized that even though the competition is getting fierce, with the existing content choices, it can be an option for Indonesian customers.

“I see that when Lionsgate Play finally arrived in Indonesia, it will not immediately turn off Disney+ Hostar, HBO Go, Netflix, and Amazon, which was prior to offer its services. Each of those has unique content with loyal customers,” Guntur said.

The strategic move taken by major studios such as Disney and The Lionsgate Motion Picture Group, has become an activity that many other major studios in the United States have aimed to compete with services such as Netflix, Amazon and Hulu, which mostly buy film production licenses. belong to each of these major studios.

“When I was at Hooq, I saw the steps taken by the major studio to stop licensing and launch its own OTT service, a trend that has proven successful and will be seen more in the future,” Guntur said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Lionsgate Play akan Meluncur di Indonesia pada Q1 2021

Setelah sudah lebih dulu hadir di India, Lionsgate Play yang merupakan platform video on-demand milik studio besar asal Amerika Serikat, The Lionsgate Motion Picture Group, rencananya akan segera hadir di Indonesia pada kuartal pertama tahun 2021 mendatang.

Kepada DailySocial. Guntur S. Siboro yang saat ini menjabat sebagai perwakilan Lionsgate Play di Indonesia menyampaikan kabar tersebut. Konsep serupa sebelumnya juga dilakukan oleh Disney+ Hotstar pertengahan tahun 2020 lalu.

“Indonesia nantinya akan menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang menjadi pilihan dari Lionsgate Play. Pasar India dan Indonesia terbilang serupa, hal tersebut yang kemudian menjadikan Lionsgate Play akan meluncur di Indonesia setelah India,” kata Guntur.

Di luar Asia, nama Lionsgate Play dikenal dengan nama STARZPLAY, demikian pula di negara asalnya Amerika Serikat, Nama Lionsgate Play dipilih untuk negara di Asia, karena nama Star sebelumnya telah dimiliki terlebih dahulu oleh perusahaan ternama di Asia yang juga merupakan perusahaan media terkemuka.

“Namun perbedaan nama tersebut tidak mengubah konten yang kami sajikan di Asia dan negara lainnya. Lionsgate memang bukan studio besar seperti Disney misalnya, namun kami memiliki film Hollywood yang beragam, tv seri, hingga film indie yang memiliki kualitas terbaik,” kata Guntur

Harga dan konten Lionsgate Play

128882385_765745777618350_7554219817079945132_n

Disinggung seperti pilihan pembayaran yang akan ditetapkan oleh Lionsgate Play di Indonesia, Guntur enggan mengungkapkan lebih jauh. Meskipun demikian Guntur tidak menutup kemungkinan harga terjangkau dan relevan akan diberikan kepada target pelanggan di Indonesia.

Apakah nantinya Lionsgate Play akan menggandeng perusahaan operator telekomunikasi lokal seperti yang dilakukan oleh Disney+ Hotstar bersama dengan Telkomsel, tidak disebutkan lebih lanjut. Yang pasti Guntur menegaskan meskipun persaingan makin sengit, namun dengan pilihan konten yang ada, bisa menjadi pilihan bagi pelanggan di Indonesia.

“Saya melihat jika nantinya Lionsgate Play hadir di Indonesia tidak akan langsung mematikan Disney+ Hostar, HBO Go, Netflix, dan Amazon yang sebelumnya sudah hadir di Indonesia. Masing-masing memiliki konten yang unik dengan pelanggan setia yang hanya dimiliki oleh setiap platform,” kata Guntur.

Langkah strategis yang dilakukan oleh studio besar seperti Disney dan The Lionsgate Motion Picture Group, telah menjadi kegiatan yang juga banyak dilakukan oleh studio besar lainnya di Amerika Serikat, yang bertujuan untuk menjadi pesaing layanan seperti Netflix hingga Amazon dan Hulu, yang kebanyakan membeli lisensi film produksi milik masing-masing studio besar tersebut.

“Saat saya di Hooq sudah terlihat langkah yang kemudian diambil oleh studio besar tersebut untuk menghentikan lisensi dan meluncurkan layanan OTT sendiri, menjadi tren yang terbukti sukses dan akan makin banyak terlihat ke depannya,” kata Guntur.

Access Ventures Shares the Big Picture After Closing Its Second Fund

Hong Kong-based venture capital firm Access Ventures has completed a second fundraising campaign in early December worth of $30 million. Next year they plan to continue fundraising targeting around $50 million.

Charles Rim, General & Founding Partner of Access Ventures, told DailySocial, the company expects to launch some additional plans, especially after securing funding from Korea Venture Investment Corp. As the situation may improve and make it possible, it is expected that the plan will be finalized by the next quarter.

“We have invested in two startups in Indonesia this year (one of those is Andalin), and we’re so close to finalizing the ongoing fundraising process,” said Charles.

Aside from Vietnam, Indonesia is one of Southeast Asia’s countries Access Ventures focuses on. It is a venture capital company focusing on early-stage startup funding. Apart from Andalin, they also invested in Akseleran, Kata.ai, RevivalTV, and Volantis.

Pandemic and Indonesia’s startup ecosystem

About the pandemic effect on the growth of Access Ventures’ startup portfolio business, Charles said, many startups are having problems running their business, not only those listed in the Access Ventures portfolio. On the other hand, he sees that this pandemic has created an acceleration in digitization which followed by good investment opportunities.

“Indeed, our portfolios will also benefit from this situation, and we have seen that. Investments in online education, esports, digital logistics, and lending are just a few examples,” said Charles.

As the investor’s most preferred Southeast Asia country, Indonesia has its own advantages. From the investor’s perspective, Charles said the government has put bigger efforts and support by providing clarity of regulations to support the ecosystem. This has certainly had delivered quite a few bigger startups.

“However, the negative fact is that it has created competition and a ring for digital talent, this will result in the lack of talent that is necessary for most startups. It would be wise for the government and the education sector to promote studies in engineering and science,” Charles said.

 


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Rencana Access Ventures di Indonesia Setelah Rampungkan Pendanaan Kedua

Perusahaan modal ventura asal Hong Kong Access Ventures telah merampungkan penggalangan dana kedua awal bulan Desember lalu senilai $30 juta. Tahun depan mereka masih memiliki rencana untuk melanjutkan kegiatan penggalangan dana dengan target bisa mengantongi sekitar $50 juta.

Kepada DailySocial, General & Founding Partner Access Ventures Charles Rim mengungkapkan, ada beberapa rencana tambahan yang ingin dilancarkan perusahaan, terutama setelah mendapatkan pendanaan dari Korea Venture Investment Corp. Jika kondisi membaik dan memungkinkan, diharapkan rencana tersebut bisa segera final di kuartal mendatang.

“Kami telah memberikan investasi kepada dua startup di Indonesia tahun ini (salah satunya Andalin), dan dalam waktu dekat kami akan merampungkan proses penggalangan dana yang saat ini masih dieksekusi,” kata Charles.

Selain Vietnam, Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara yang menjadi fokus dari Access Ventures. Mereka merupakan perusahaan modal ventura yang selama ini fokus kepada pendanaan startup tahap awal. Selain Andalin, mereka juga berinvestasi ke Akseleran, Kata.ai, RevivalTV, dan Volantis.

Pandemi dan ekosistem startup Indonesia

Disinggung seberapa besar pandemi mempengaruhi pertumbuhan bisnis portofolio startup dari Access Ventures, Charles menyebutkan, banyak startup yang mengalami kendala menjalankan bisnis, bukan hanya mereka yang masuk dalam portofolio Access Ventures. Namun di sisi lain dirinya melihat hal tersebut telah menciptakan percepatan digitalisasi yang akan menciptakan peluang investasi yang baik.

“Tentunya perusahaan yang masuk dalam portofolio kami akan mendapatkan manfaat dari kondisi ini, dan kami telah melihat hal tersebut. Investasi dalam pendidikan online, esports, logistik digital, dan peminjaman adalah beberapa contohnya,” kata Charles.

Sebagai negara yang menjadi pilihan kebanyakan investor asing di Asia Tenggara, Indonesia memiliki keuntungan tersendiri. Menurut Charles, dari sisi investor upaya dan dukungan dari pemerintah juga makin besar dengan menyediakan kejelasan peraturan untuk mendukung ekosistem. Hal tersebut tentunya telah melahirkan beberapa startup yang cukup besar jumlahnya.

“Tetapi fakta negatifnya adalah bahwa hal itu telah menciptakan persaingan dan perebutan talenta digital, hal ini akan berimbas kepada masih kurangnya talenta tersebut yang dibutuhkan oleh kebanyakan startup. Akan menjadi bijaksana bagi pemerintah dan sektor pendidikan untuk mempromosikan studi di bidang teknik dan sains,” kata Charles.