Microsoft Tak Lagi Anggap Sony dan Nintendo Sebagai Kompetitor Utama?

Ranah console gaming selalu diasosiasikan dengan tiga brand besar yang sejak dulu berkompetisi ketat: Microsoft Xbox, Sony PlayStation, dan Nintendo. Namun industri gaming terus berubah. Kehadiran sejumlah teknologi baru mentransformasi metode penyajian konten, dan kita tahu bukan hanya nama-nama itu yang menunjukkan ketertarikannya terhadap gaming. Raksasa seperti Google dan Apple juga sudah lama berupaya mempenetrasinya.

Peluncuran PlayStation 5 dan Xbox next-gen yang rencananya dilangsungkan di akhir tahun ini diestimasi akan kembali memperpanas ‘perang console‘ – yang telah berlansung selama beberapa dekade. Namun menariknya, Microsoft mengaku bahwa mereka tak lagi melihat Sony Interactive Entertainment serta Nintendo sebagai kompetitor. Bagi perusahaan asal Redmond itu, Amazon dan Google lebih memberi ‘ancaman’ ketimbang rival-rival lamanya.

Via Protocol.com, bos Xbox Phil Spencer menjelaskan alasan mengapa Sony dan Nintendo bukan lagi rival mereka ialah karena kedua brand tersebut tidak memiliki infrastruktur cloud top-end yang dapat menyaingi platform Microsoft Azure. Dalam menyajikan console baru nanti, Sony diestimasi masih mengandalkan konten eksklusif – begitu pula Nintendo. Sedangkan Xbox generasi keempat akan terintegrasi dengan teknologi xCloud.

Project xCloud ialah layanan cloud gaming yang tengah Microsoft godok, telah memasuki tahap uji coba ‘rumahan’ sejak bulan Mei 2019 lalu. Layanan ini ditunjang oleh tidak kurang dari 54 data center Azure yang tersebar di 140 negara, dirancang agar dapat diakses secara optimal dari smartphone. Game-game-nya bisa dikendalikan langsung via layar sentuh maupun controller Xbox lewat Bluetooth. Dan dibandingkan Stadia, xCloud juga memiliki koleksi permainan lebih banyak.

“Ketika membahas Sony dan Nintendo, kami sangat menghormati brand-brand ini, namun buat sekarang kami melihat Amazon dan Google sebagai kompetitor utama,” tutur Spencer. “Tanpa mengurangi hormat kepada Nintendo serta Sony, perusahaan-perusahaan gaming tradisional berada di posisi yang kurang menguntungkan. Mereka bisa saja mencoba membangun infrastruktur seperti Azure, tetapi selama beberapa tahun ini kami telah berinvestasi miliaran dolar di cloud.”

Selain itu, Microsoft menyadari bahwa ketika perusahaan seperti Nintendo dan Sony memfokuskan produk mereka untuk gamer dan fans, Amazon serta Google berupaya menggaet tujuh miliar di dunia buat jadi gamer. Menurut Microsoft, inilah tujuan sesungguhnya dari layanan gaming.

Mungkin Anda juga tahu, Microsoft tak lagi berupaya menyuguhkan game atau konten eksklusif. Kini hampir seluruh permainan Xbox One juga tersedia di Windows 10, dan Microsoft merupakan salah satu produsen console pertama yang mengusahakan agar agar gamer di sistem berbeda bisa bermain bersama melalui cross-platform play. Sedangkan Sony awalnya malah enggan mengadopsi fitur ini.

Lepas Status Beta, GeForce Now Resmi Meluncur dan Siap Menyaingi Stadia

Dahulu dikenal sebagai Nvidia Grid, GeForce Now merupakan upaya sang rakasasa teknologi grafis dalam menyediakan platform cloud gaming. Di masa uji coba beta yang dimulai pada tahun 2013, Nvidia telah melakukan berbagai eksperimen, misalnya lewat pengadaan fitur ‘buy and play‘ serta virtual desktop. Selama beta berlangsung, GeForce Now bisa diakses dari Windows, Mac serta perangkat Shield (Portable, Tablet dan Console).

Tujuh tahun berselang, pagi ini GeForce Now resmi melepaskankan status beta-nya dan meluncur secara lebih luas. Kehadirannya tentu saja akan meramaikan ranah gaming on demand, tapi perlu ditekankan bahwa metode penyajiannya cukup berbeda dari Stadia. GeForce Now tidak mencoba menawarkan pengalaman gaming ala console, namun menjanjikan kemudahan akses ke konten-konten di platform yang sudah ada – mirip Skyegrid atau Shadow.

GeForce Now 1

Nvidia menghidangkan GeForce Now dalam dua tingkatan, yaitu gratis dan berbayar bertajuk Founder. Untuk menggunakannya, kita harus mendaftar (tidak dipungut biaya) dan memiliki game-nya terlebih dulu, bisa dibeli dari Steam, Epic Games Store atau Battle.net. Opsi gratis cocok buat mencoba, sedangkan keanggotaan premium menyuguhkan teknologi eksklusif yang belum pernah ada di layanan cloud gaming sebelumnya.

Pengguna GeForce Now gratis dipersilakan menikmati video game via cloud selama satu jam. Setelah waktu tersebut habis, kita diharuskan buat memulai sesi dari awal. Anda bisa segera bermain lagi, namun jika ada banyak orang yang menggunakan layanan ini, Anda perlu mengantre. Tentu saja, sejumlah fitur premium tidak hadir di versi gratis tersebut.

GeForce Now 2

Dengan menjadi pelanggan Founder, Anda dihidangkan teknologi ray tracing tanpa perlu memiliki PC berkartu grafis GeForce RTX serta mendapatkan sesi bermain selama enam jam. Beberapa judul yang telah didukung ray tracing di GeForce Now meliputi Wolfenstein: Youngblood, Call of Duty: Modern Warfare, Metro Exodus, dan Deliver Us the Moon. Menariknya lagi, biaya berlangganan GeForce Now juga sangat terjangkau, hanya US$ 5 per bulan selama setahun plus gratis di tiga bulan pertama (ada kemungkinan Nvidia akan mengubah harganya di waktu ke depan).

Kapabilitas lain yang membuat GeForce Now lebih unggul dibanding Stadia adalah, kita tak perlu membeli game lagi jika sudah memilikinya. Pengguna hanya tinggal menyambungkan akun Steam atau Epic Store mereka. Saat ini, GeForce Now mendukung lebih dari 100 permainan, minus beberapa judul semisal Control dan Red Dead Redemption 2. Nvidia juga berencana untuk memperluas dukungan platform sehingga layanan dapat digunakan via Chromebook.

Satu hal yang perlu digarisbawahi ialah, GeForce Now belum tersedia merata di seluruh dunia. Pengguna harus bertempat tinggal di dekat data center agar layanan dapat tersaji lancar. Perusahaan kabarnya memiliki sembilan data center di Amerika Serikat, lima di Eropa, dua di Jepang dan satu di Korea Selatan. Selain itu, kita membutuhkan internet berkecepatan minimal 15Mbps, dengan rekomendasi 25Mbps dan jaringan wireless 5GHz.

Via PC Gamer & TechCrunch.

Glamos Berikan Kemampuan Deteksi Gerakan di Perangkat Elektronik Biasa

Beragam pilihan produk tersedia untuk memudahkan kita dalam berinteraksi dengan konten digital. Kini periferal input seperti keyboard dan mouse bertambah ringkas, didukung oleh luasnya aspek kompatibilitas sehingga mereka bisa terkoneksi ke beragam jenis perangkat. Namun di beberapa situasi, metode kendali yang lebih praktis – misalnya menggunakan gerakan tangan – memang lebih baik.

Tentu tak semua perangkat diitunjang sistem input berbasis motion ataupun sentuh. Kondisi inilah yang mendorong seorang mantan teknisi Samsung mengembangkan alat unik bernama Glamos. Dengan memanfaatkan teknologi LiDAR (light detection and ranging), Glamos dirancang untuk mengubah segala layar di rumah jadi touchscreen interaktif. Bukan cuma itu saja, pada dasarnya Glamos bisa bekerja layaknya sensor gerakan ala Kinect.

Portabilitas juga menjadi aspek yang diunggulkan oleh Glamos. Teknologi LiDAR di sana dikemas dalam tubuh super-mungil – berdimensi hanya 37x27x34mm dan memiliki bobot 17,7-gram. Wujud mini tersebut memudahkan kita untuk membawa-bawanya serta mencantumkan Glamos di mana pun. Meski berukuran kecil, ia mempunyai jangkauan deteksi yang lebih luas dari produk dengan fungsi serupa, misalnya Leap Motion atau Airbar.

Selain portabilitas tinggi, produsen Glamos juga menjanjikan kemudahan proses pemasangan. Anda hanya perlu menaruh atau menyematkan Glamos dan mencolokkan kabel, setelah itu ia siap digunakan. Alat ini kompatibel dengan berbagai jenis perangkat (dari mulai smartphone, tablet, laptop, PC desktop, televisi pintar hingga kios digital) serta mendukung sistem operasi Windows, Linux, Mac dan Android.

Glamos 2

Sensor LiDAR biasanya dimanfaatkan oleh robotic vacuum cleaner dan kendaraan driverless. Dan dalam bekerja, Glamos bersandar pada tiga buah elemen: modul cermin yang dapat berputar, software pelacak gerakan, serta sensor pengukur jarak. Setiap gerakan nantinya diubah jadi input dan ditransfer via Bluetooth. Glamos mampu membaca gerakan tangan/jari di frekuensi 40Hz di area atas tempatnya ditaruh – seluas 182x91cm 180 derajat.

Glamos 1

Glamos bisa membantu kita di beragam skenario: untuk mempermudah presentasi, navigasi konten smart TV hingga eReader, serta membuat proyeksi di dinding jadi interaktif. Produsen juga bilang bahwa Glamos dapat menyulap ‘segala game mobile jadi permainan ala Wii’, sangat membantu buat membebaskan si kecil dari jeratan perangkat bergerak. Ada banyak judul populer didukungnya: Fruit Ninja, Doodle Jump, Bowling King, Cooking Mama, Perfect Slices, dan lain-lain.

Glamos 4

Kampanye penggalangan dana Glamos berjalan mulus di Kickstarter dan saat ini produsen sudah memperkenankan kita untuk melakukan pemesanan. Selama periode crowdfunding masih berlangsung, Glamos dibanderol seharga mulai dari US$ 120. Pengiriman rencananya akan dilakukan di bulan Juli 2020.

Freedom Wing Adapter Mampu Menyulap Kursi Roda Jadi Controller Xbox

Sebelum resmi diumumkan di bulan Mei 2018, pengerjaan Xbox Adaptive Controller dimulai di tahun 2015 oleh tim internal Xbox sebagai upaya mengeksplorasi aksesibilitas, khususnya aspek kompatibilitas ke aksesori pihak ketiga yang digunakan oleh gamer difabel. Pada akhirnya, Microsoft memutuskan buat mengangkatnya jadi produk konsumen, dibantu dukungan sejumlah organisasi non-profit.

Langkah Microsoft tersebut mendapat respons positif dari banyak kalangan, bahkan juga mendorong sejumlah perusahaan untuk menyediakan aksesori tambahan sebagai alternatif input. Salah satu contohnya adalah Adaptive Gaming Kit persembahan Logitech G. Kali ini organisasi amal AbleGamer dan sekelompok inventor serta pecinta teknologi yang tergabung dalam ATMakers memperkenalkan unit adaptor unik bernama Freedom Wing Adapter.

Freedom Wing Adaptor adalah aksesori berwujud kotak kecil yang bisa menyambungkan kursi roda listrik ke Xbox Adaptive Controller, secara efektif mengubah alat bantu tersebut menjadi unit kendali permainan video. Fungsi utama Freedom Wing Adapter ialah menerjemahkan tekanan pada tombol di kursi roda sehingga bisa dibaca oleh Xbox Adaptive Controller sebagai input, caranya cukup dengan mencolokkan connector ke port simbilan-pin di adaptor.

Di video, metode ini memberikan seorang penyandang disabilitas untuk menikmati Rocket League (dan kita lihat performanya di dalam permainan sama sekali tak buruk). Rocket League merupakan salah satu judul istimewa yang memperkenankan gamer di satu sistem bertanding dengan pemain di platform lain lewat fitur cross-platform play.

Lewat Twitter, COO AbleGamer Steve Spohn menjelaskan alasan di belakang perancangan Freedom Wing Adaptor. Ia ingin agar pengguna kursi roda – khususnya di tahun 2020 ini – bisa segera ‘tersambung’ ke Xbox. Kapabilitas ini sulit dibayangkan hingga sekarang. AbleGamer Foundation adalah organisasi yang terus mendorong dan mempromosikan kemudahan akses di ranah gaming. Bersama Microsoft, Special Effect, dan Warfighter Engaged, mereka punya andil dalam pengembangan purwarupa Xbox Adaptive Controller.

Freedom Wing Adapter 1

Saat ini, AbleGamers kabarnya telah mulai membagikan Freedom Wing Adapter – sebuah indikasi kuat bahwa organisasi tidak fokus pada profit. Namun untuk mempermudah pemakaian, mereka berencana buat menjual komponen printed circuit board Freedom Wing Adapter seharga US$ 7. Selanjutnya panduan perakitan akan segera dipublikasikan dan menghitung semua material yang dibutuhkan, unit adaptor ini bisa dibuat dengan modal kurang lebih US$ 35.

Anda mungkin sudah tahu, Xbox Adaptive Controller tak hanya didesain untuk dipasangkan ke console Xbox One. Periferal juga kompatibel dengan PC ber-sistem operasi Windows 10, sehingga membuka peluang bagi Freedom Wing Adapter buat menopang berbagai permainan. Xbox Adaptive Controller sendiri dibanderol seharga US$ 100.

Via The Verge & VentureBeat.

Penjualan Nintendo Switch Melampaui 52 Juta Unit, Susul SNES dan Xbox One

Hanya tinggal beberapa bulan lagi kita akan berkenalan lebih dekat dengan sistem gaming next-gen milik Microsoft dan Sony, tetapi masa transisi ini tampak tidak mempengaruhi bisnis Nintendo. Saat ini mereka malah tengah menikmati kesuksesannya sendiri. Dalam tiga tahun ketersediaannya, momentum penjualan Switch tetap tinggi, lalu game-game eksklusif Nintendo di sana terus jadi favorit pengguna.

Di tanggal 30 Januari 2020 kemarin, Nintendo menungkap rentetan informasi terkini terkait penjualan hardware Switch dan software-nya (FY3/2020 Q3), termasuk estimasi dan rencana-rencana perusahaan ke depan. Mungkin pencapaian yang paling dibanggakan Nintendo adalah keberhasilannya mengapalkan 52,48 juta unit Switch, dari saat produk tersedia di bulan Maret 2017 hingga Desember 2019. Tentu saja, Animo konsumen yang tinggi turut mendongkrak angka adopsi Switch dari tahun ke tahun.

Switch 3

Beberapa fakta bisa kita tarik dari data di atas. Pertama, itu berarti penjualan Switch berhasil melampaui Super Nintendo Entertainment System – menempatkanya sebagai console terlaris ketiga Nintendo sepanjang masa, di belakang Wii dan NES. Seumur hidupnya, SNES terjual sebanyak 49,1 juta unit. Kedua, analis Daniel Ahmad dari Niko Partners memperkirakan bahwa total pengapalan Switch telah menyusul Xbox One. Angka 50 juta dapat dicapai Switch dalam 34 bulan, sementara Xbox One membutuhkan waktu 74 bulan.

Pertumbuhan Switch menunjukkan kenaikan year-on-year sebesar 15 persen, terbantu oleh hadirnya varian portable Switch Lite yang dibanderol lebih terjangkau, serta peluncuran produk secara resmi di kawasan Tiongkok. Menariknya, sesudah periode libur di tahun 2019 berakhir, konsumen malah lebih memburu Switch standar dibanding Lite. Dan uniknya lagi, Lite lebih populer di kalangan gamer perempuan dan fans Pokémon.

Switch 4

Konten turut menjadi faktor krusial yang memicu ketertarikan konsumen terhadap Switch. Di musim liburan kemarin, Pokémon Sword dan Shield jadi permainan terbesar di console hybrid Nintendo tersebut. Game kabarnya terjual sebanyak lebih dari 16 juta kopi, 4 juta kopi lebih banyak dibanding Super Smash Bros. Ultimate. Selain permainan Pokémon anyar, Luigi’s Mansion 3 juga menjadi kisah sukses, mencetak total penjualan lima juta kopi lebih.

Seiring berjalannya waktu, Switch juga pelan-pelan jadi platform gaming pilihan ‘para pendatang baru’. Ke depannya, perusahaan ingin merangkul lebih banyak jenis konsumen, salah satu caranya ialah melalui penggarapan produk-produk unik. Nintendo menyampaikan, gaming merupakan pasar yang sangat luas. Masih terbuka peluang besar bagi ‘perusahaan gaming tradisional’ buat bersaing dengan smartphone serta layanan digital.

Switch 1

Berkaitan dengan brand lain yang tengah mempersiapkan perangkat next-gen, Nintendo mengaku tak melihat nama-nama itu sebagai kompetitor. Perusahaan mengaku belum yakin apakah siklus hidup Switch akan berbeda dari produk lain atau hardware mereka sebelumnya. Yang jelas, Nintendo akan berupaya untuk memperpanjang usia console melalui pendekatan software.

Via The Verge, Eurogamer & Reuters. Tambahan: Go Nintendo.

Half-Life: Alyx Bantu Dongkrak Penjualan Headset VR Valve Index

Sempat berkolaborasi dengan HTC dalam penggarapan Vive serta mengukuhkan pijakannya di ranah virtual reality lewat pengembangan SteamVR, Valve kian percaya diri untuk meramu headset VR-nya sendiri. Index diumumkan di bulan April 2018 lalu mulai dipasarkan tak lama setelahnya. Selain spesifikasi yang lebih canggih dibanding perangkat sekelas, Index menjanjikan sistem kendali intuitif lewat Knuckles Controllers.

Melengkapi upaya Valve berkiprah di segmen VR, sang pemilik Steam itu akhirnya mengumumkan kelanjutan dari seri Half-Life sesudah keheningan selama 12 tahun. Meski demikian, Half-Life: Alyx bukanlah game biasa. Untuk bisa menikmatinya, kita diharuskan mempunyai headset virtual reality. Ada cukup banyak gamer yang kecewa dengan arahan ini, namun langkah tersebut terbukti tepat. Menyusul dibukanya gerbang pre-order Alyx, penjualan Index juga terdongkrak naik.

Berdasarkan data terkini dari firma analis SuperData, permintaan terhadap Index melonjak dua kali lipat lebih di kuartal keempat 2019 dibanding triwulan sebelumnya. Valve berhasil menjual 103 ribu unit Index di antara bulan Oktober sampai Desember, dan kini total penjualan headset di 2019 mencapai 149 ribu. Hal ini sangat menarik karena Index bisa dibilang merupakan produk premium – satu setnya dibanderol US$ 1.000.

Angka penjualan sebetulnya berpotensi melambung lebih tinggi lagi seandainya tidak ada kendala pada persediaan unit. Info Road to VR mengungkapkan bahwa produk tersebut terjual habis di mana-mana per tanggal 15 Januari 2020. Saat ini laman Index di Steam masih menunjukkan status ‘kehabisan stok’. Anda yang benar-benar menginginkannya diminta memasukkan email agar Valve bisa mengabarkan langsung jika unit telah kembali tersedia.

Selain Index, SuperData juga menyingkap penjualan HMD virtual reality lain di periode kuartal empat 2019. PlayStation VR terlihat masih memimpin di depan, tentu saja berkat ketiadaan ‘daftar kebutuhan hardware‘. Headset bisa langsung bekerja begitu disambungkan ke PlayStation 4. Posisi kedua ditempati oleh HMD virtual reality standalone Oculus Quest. Uniknya lagi, penjualan Index lebih tinggi dari Rift S, lalu Vive sendiri tidak muncul di daftar lima besar.

Top VR headsets.

Kabar gembiranya, Half-Life: Alyx bukanlah game yang dieksklusifkan untuk Valve Index. Pemilik HTC Vive, Oculus Rift dan Quest, serta headset Windows Mixed Reality juga dipersilakan menikmatinya. Tapi khusus buat pengguna Index, Alyx bisa diperoleh secara gratis. Di Indonesia, game dijual seharga Rp 225 ribu dan dijadwalkan meluncur di bulan Maret 2020 besok.

Masih ada satu hal yang membuat saya penasaran. Ketika Half-Life: Alyx baru disingkap, Valve bilang bahwa salah satu alasan mengapa game disajikan via virtual reality adalah karena pemanfaatan sistem kendali berbasis motion dalam pertempuran, eksplorasi serta menyelesaikan puzzle. Apakah itu artinya gamer wajib memiliki aksesori Knuckles atau sejenisnya, atau adakah solusi lainnya?

Via Eurogamer.

Pelanggan Stadia Mengeluhkan Minimnya Pilihan Game dan Absennya Fitur-Fitur Penting

Lebih dari dua bulan telah berlalu sejak Google resmi meluncurkan Stadia. Ia memang bukanlah layanan cloud gaming pertama di dunia, namun dengan begitu luasnya pengaruh Google, banyak orang berharap Stadia bisa jadi nama yang merakyatkan platform ini. Awalnya, penawaran sang raksasa internet terdengar menjanjikan, tapi hingga kini Stadia tampaknya masih belum beroperasi secara maksimal.

Belum lama ini, sejumlah pengguna menyampaikan keluhan mereka di thread Reddit resmi Stadia. Seorang pengguna (ber-username Gizoogle) bilang, belakangan tim Stadia terkesan membisu. Sudah 40 hari Google tidak mengumumkan sesuatu, mengungkap fitur anyar atau meluncurkan game baru. Karena alasan ini, pelanggan menuntut layanan yang lebih baik, dan via Reddit, sang user menjabarkan janji developer Stadia yang belum terpenuhi.

Lewat Stadia, Google menawarkan akses ke lebih dari 40 game. Namun dari daftar tersebut, beberapa masih belum dirilis atau mengalami penundaan peluncuran – contohnya Cyberpunk 2077, Watch Dogs: Legion, Doom Eternal, Baldur’s Gate 3, Orcs Must Die 3 dan Marvel’s Avengers. Diteliti lebih jauh, hanya ada sekitar 20-an permainan Stadia yang bisa dinikmati saat ini. Google kemarin akhirnya mengumumkan rencana buat menambahkan Metro Exodus dan GYLT di tanggal 1 Februari 2020 khusus untuk pelanggan Pro.

Sayangnya, penambahan dua judul ini dibarengi oleh hilangnya dua game dari daftar itu. Terhitung di tanggal 31 Januari besok, Rise of the Tomb Raider: 20 Year Celebration dan Samurai Shodown akan meninggalkan Stadia. Kabar baiknya, mereka berdua akan tetap ada di library jika Anda membelinya sebelum hari H tiba. Google tidak memberikan alasan jelas mengapa dua permainan tersebut dihilangkan.

Selain itu pelanggan menginginkan kejelasan soal ‘120 game‘ yang katanya akan dihadirkan oleh Stadia di 2020, sepuluh di antaranya merupakan judul eksklusif, namun Google sama sekali belum mengungkap detailnya sampai hari ini. Sejumlah fitur juga belum bisa ditemukan, contohnya family sharing, versi iOS, dukungan penuh controller wireless, opsi 4K di PC dan fungsi Google Assistant. Google kabarnya akan meluncurkan itu semua di kuartal pertama 2020.

Selanjutnya, pekerjaan rumah lain yang mesti Google selesaikan berkaitan dengan pengalaman penggunaan Stadia. Masih banyak pelanggan menemui masalah jaringan LTE dan kendala pada resolusi 4K.

Stadia sudah tersedia di 14 negara, tetapi Indonesia belum termasuk di sana. Meski demikian, laman store berbahasa Indonesia bisa jadi indikasi Google memiliki rencana buat meluncurkan platform gaming on demand-nya di tanah air.

Via DualShockers & PC Gamer.

Bagaimana Microsoft Membantu Penderita Gangguan Penglihatan Lewat Project Tokyo

Berdasarkan data WHO di bulan Oktober 2019, ada sekitar 2,2 miliar orang di dunia yang mengidap gangguan penglihatan, termasuk kebutaan. Bagi separuh dari angka tersebut (kurang lebih satu miliar jiwa), masalah penglihatan sebetulnya masih bisa diobati, sayangnya mereka belum mendapatkan penanganan yang tepat. Kabar baiknya, sejumlah raksasa teknologi menaruh perhatian besar pada kondisi ini, salah satunya ialah Microsoft.

Empat tahun silam, Microsoft memulai sebuah inisiatif bertajuk Project Tokyo. Dilakukan bersama tim ilmuwan dari Amerika Serikat, Inggris, Tiongkok dan Jepang, perusahaan asal Redmond itu bermaksud untuk mengkaji serta menemukan jalan keluar terbaik demi membantu kaum difabel berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya. Dan di bulan Januari ini, Microsoft akhirnya menyingkap buah dari proyek ambisius tersebut. Solusinya hadir lewat kombinasi hardware dan AI.

Project Tokyo 2

Basis dari Project Tokyo adalah headset mixed reality HoloLens. Microsoft dan para peneliti memodifikasi perangkat tersebut, melepas bagian lensa, menyambungkannya ke PC dengan unit proses grafis, kemudian pakar machine learning menanamkan algoritma istimewa di sana. Selanjutnya, tim Project Tokyo mengundang orang-orang yang menyandang masalah penglihatan dan kaum tunanetra buat mencobanya serta memberikan masukan.

Microsoft HoloLens versi Project Tokyo memiliki LED strip di bagian atas rangkaian kamera, berfungsi untuk melacak individu yang berada paling dekat dengan pengguna. LED akan menyala hijau ketika berhasil mengidentifikasi orang tersebut, sebagai tanda bahwa ia telah dikenali. Project Tokyo juga ditunjang sistem computer vision yang mampu membaca gerak-gerik orang-orang di sekitar, sehingga pengguna (secara kasar) bisa tahu di mana mereka berada dan seberapa jauh posisinya.

Project Tokyo 1

Seluruh informasi tersebut disampaikan ke user lewat suara. Misalnya, ketika HoloLens Project Tokyo mendeteksi seseorang di sebelah kiri dengan jarak satu meter, headset akan mengeluarkan bunyi klik yang seolah-olah muncul dari area kiri. Jika ia mengenal wajah orang itu, headset segera menghasilkan efek suara seperti benturan. Lalu seandainya individu itu terdaftar di sistem (seperti anggota keluarga atau sahabat), HoloLens akan menyebut namanya.

Tim juga tengah bereksperimen dengan sejumlah fitur notifikasi lain via bunyi-bunyian, contohnya saat seseorang melihat/menatap pengguna HoloLens Project Tokyo. Alasan mengapa fungsi ini cukup krusial ialah, mayoritas orang (yang tidak punya masalah penglihatan) biasanya akan melakukan kontak mata terlebih dahulu sebelum memulai percakapan. Selain itu, Project Tokyo memperkenankan pihak non-user memilih agar identitasnya tidak masuk ke dalam sistem.

Project Tokyo 3

Selain diracang untuk memudahkan interaksi bagi mereka yang memiliki gangguan penglihatan, Microsoft dan tim ilmuwan juga berharap Project Tokyo dapat membantu anak-anak dengan problem serupa mengembangkan kemampuan sosial dan komunikasinya. Sebanyak dua pertiga anak yang tak bisa melihat normal atau menderita kebutaan umumnya terlihat malu dan menahan diri saat berdialog.

Via VentureBeat.

Torchlight Frontiers Berubah Jadi Torchlight III, Siap Sajikan Gameplay ARPG yang Lebih Tradisional

Pembuatan Torchlight berawal dari keinginan mantan developer Diablo, Max Schaefer dan kawan-kawan sesama pengembang veteran menciptakan MMO. Saat itu, Runic Games yang baru mereka dirikan hanya diperkuat oleh belasan orang developer. Sebelum memulai proyek besar itu, Runic memutuskan untuk melakukan sedikit pemanasan, yaitu lewat pengerjaan game berskala kecil dengan formula action-RPG.

Torchlight memperoleh respons positif dari gamer dan mendorong penggarapan Torchlight II. Di tengah pengerjaan sekuel tersebut, studio diakuisisi oleh Perfect World Entertainment. Meski sukses secara komersial dan merangkul jutaan fans, Schaefer ternyata masih berambisi menciptakan MMO. Pada akhirnya, ia mengundurkan diri dari Runic dan mendirikan studio Echtra Games. Karena ditinggalkan begitu banyak staf inti, Runic Games akhirnya ditutup.

Proyek pertama Echtra Games ialah Torchlight Frontiers, permainan shared world yang dibangun berlandaskan franchise Torchlight. Selain berbasis MMORPG dan menyuguhkan gameplay hack and slash, Frontiers rencananya akan disajikan sebagai judul free-to-play seperti banyak permainan Perfect World lain. Namun arahan tersebut tiba-tiba dirombak total. Baru saja, developer mengumumkan transisi Torchlight Frontiers menjadi Torchlight III.

Bergantinya judul tentu saja menandai perubahan pada desain permainan. Torchlight III dihidangkan layaknya judul premium, dan developer berupaya mengembalikan game ke akarnya, membangunnya sebagai sekuel sejati dari Torchlight I dan II. Permainan akan dilepas di PC lebih dulu lewat Steam. Via platform tersebut, Echtra Games juga berencana buat melangsungkan uji coba beta – fase tes alpha-nya sendiri telah dilangsungkan sejak game masih bertajuk Frontiers.

Dengan begini, konten Torchlight III diracik secara lebih tradisional. Petualangan Anda dimulai di sebuah tempat bernama Imperial Outpost yang diserbu oleh gerombolan goblin. Pemain ditugaskan untuk menyelidiki dan menghentikan sumber serangan ini. Saat menciptakan karakter, Anda bisa memilih mode offline dan online. Anda dipersilakan bermain sendirian di mode offline, tapi juga dapat menggunakan karakter itu di multiplayer online.

Banyak elemen di Frontiers yang dibongkar. Sistem progres di Torchlight III dibuat lebih familier dan sederhana (tak lagi bersifat horisontal berdasarkan item), kemudian mayoritas zona dirancang secara ‘tertutup’ sehingga pengalaman bermain jadi lebih baik. Kita tetap bisa bertemu pemain lain di wilayah kota jika Anda memilih mode online. Selanjutnya, Echtra Games turut menghapus store in-game yang transaksinya menggunakan uang sungguhan.

Torchlight III dijadwalkan untuk meluncur di tahun ini, namun developer belum memberikan tanggal pastinya. Konten yang sudah ada di versi closed alpha; seperti fitur, item-item koleksi dan pilihan kelas tetap dipertahankan. Belakangan, panggung action-RPG kembali memanas karena selain Torchlight III, kita tahu Diablo IV dan Path of Exile II juga akan hadir.

Sumber: Torchlight3.com.

EA Kabarnya Tengah Mengembangkan Game Star Wars: Knights of the Old Republic Baru

Banyak orang mungkin tidak puas dengan konklusi dari The Rise of Skywalker, namun fans sebetulnya bisa mengalihkan perhatiannya ke medium lain untuk memuaskan dagaha mereka terhadap Star Wars. Ada serial The Mandalorian di layanan Disney+, novel-novel brilian ‘canon‘ seperti Lost Stars dan trilogi Thrawn, serta tentu saja permainan video dengan Jedi: Fallen Order sebagai ujung tombaknya.

Setelah perkara lootbox yang menodai peluncuran Battlefront II, Jedi: Fallen Order menjadi satu-satunya harapan bagi franchise Star Wars untuk kembali bangkit di segmen video game. Berita baiknya, Jedi: Fallen Order berhasil memuaskan banyak pemain, bahkan sukses secara komersial. Dan kini gamer berharap elemen-elemen positif di sana turut diadopsi ke permainan Star Wars selanjutnya: bebas dari lootbox, DLC berbayar dan season pass.

Terkait game Star Wars, info terkini menyebutkan bahwa Electronic Arts berencana untuk menggarap penerus seri Knights of the Old Republic. Star Wars: KotOR ialah game role-playing buatan BioWare yang dirilis LucasArts di tahun 2003. Permainan melahirkan satu sekuel dan menjadi landasan bagi pengembangan MMORPG Star Wars: The Old Republic. Knights of the Old Republic awalnya disiapkan sebagai trilogi, namun proyek game ketiganya tak pernah lepas landas.

Keberadaan permainan Knights of the Old Republic anyar dilaporkan oleh Cinelinx lewat artikel eksklusifnya. Setidaknya ada tiga narasumber independen yang membocorkan informasi ini – satu informan bilang bahwa ini merupakan proyek remake dan satu lagi mengklaimnya sebagai sekuel. Arahan remake sendiri sepertinya lebih tepat untuk game Star Wars baru tersebut terkait retcon (revisi) terhadap konten non-film (Expanded Universe, kini disebut Legends) yang dilakukan Disney di tahun 2014.

Mengembangkan Knights of the Old Republic baru sebagai remake sebetulnya memudahkan tim developer karena mereka tidak perlu menggarapnya dari nol, cukup mengadopsi dan melakukan pengembangan dari konten yang ada di dua permainan sebelumnya. Sejauh ini, ada banyak elemen di Star Wars yang tadinya tak resmi (dianggap Legends) tetapi akhirnya diangkat ke film layar lebar serta serial televisi.

Soal keabsahan info ini, salah seorang narasumber Cinelinx adalah individu yang melaporkan keterlibatan aktor Ewan McGregor dalam film serial Obi-Wan Kenobi di Disney+. Pihak Disney telah mengonfirmasi kebenaran kabar tersebut di bulan Agustus 2019 kemarin.

Sebagai perusahaan yang memegang hak publikasi game Star Wars (sampai tahun 2023), saya penasaran studio apa yang Electronic Arts percayakan buat menggarap sekuel/remake Knights of the Old Republic. Apakah BioWare yang merupakan developer aslinya atau nama lain seperti Respawn atau DICE?

Via GamesRadar.