Laporan Mulesoft: Kebutuhan Inovasi IT Diprediksi Melonjak Pasca Pandemi

Kebutuhan inovasi IT diprediksi menjadi urgensi baru bagi perusahaan usai pandemi Covid-19 mereda. Temuan ini disampaikan dalam laporan Mulesoft Connectivity Benchmark 2021 berdasarkan hasil wawancara dengan 800 pemimpin IT di dunia, baik dari perusahaan publik maupun swasta, yang memiliki sekitar 1.000 karyawan.

Dalam laporan ini, ada lima temuan besar yang menarik bagi para Chief Information Officer (CIO) maupun orang IT. Pertama, pandemi memunculkan tipping point terhadap kebutuhan IT. Penerapan kerja remote maupun Work From Home (WFH) akibat pandemi memicu kebutuhan IT yang lebih besar.

Perusahaan mengandalkan IT untuk mempercepat proses pengalihan kerja remote. Kondisi ini justru memberikan tekanan luar biasa bagi tim IT untuk bergerak lebih gesit. Karena upaya ini menyita sebagian besar waktu mereka, pelaku IT banyak tertinggal atau gagal menyelesaikan proyeknya. Laporan menyebutkan hanya 37% perusahaan mampu menyelesaikan proyek yang diminta di 2020 atau 4 dari 10 tim IT dapat memenuhi seluruh komitmen proyek.

Tantangan lainnya adalah pertumbuhan budget IT tidak selaras dengan urgensi kebutuhan. Rata-rata anggaran IT diestimasi naik tipis ke 5,84% di 2021 dari 5,62% di 2020. Menurut responden, pihaknya diminta menyelesaikan 30% proyek tahun ini, tetapi anggarannya diestimasi hanya naik tak sampai 6%.

Tantangan integrasi memperlambat transformasi

Kedua, pandemi memberi tekanan pada perusahaan untuk mengintegrasikan sistem, aplikasi, dan data. Sayangnya, 87% responden menilai upaya integrasi memunculkan tantangan yang dapat memperlambat transformasi. Padahal integrasi merupakan faktor kritikal dalam menentukan kecepatan transformasi digital bagi seluruh industri. 

Alhasil, perusahaan terpaksa menghabiskan waktu dan biaya untuk mengatasi tantangan integrasi. Rata-rata perusahaan menghabiskan rata-rata sebesar $3,5 juta untuk tenaga kerja IT baru, di mana lebih dari sepertiga waktu dihabiskan untuk menyelesaikan integrasi.

Selain itu, sebanyak 77% responden juga menilai bahwa kegagalan transformasi digital bakal berdampak pada pendapatan perusahaan. Hal ini karena transformasi digital diyakini dapat berdampak terhadap pendapatan perusahaan di masa depan.

“Ambil contoh di sektor jasa keuangan di mana telah terjadi pergeseran perilaku konsumen yang cukup signifikan ke layanan mobile dan online selama 12 bulan terakhir. Dalam konteks ini, 89% responden mengaku akan ada pengaruh negatif terhadap pendapatan,” ungkap laporan tersebut.

Sistem lama menyulitkan transformasi secara agile

Ada tiga tantangan utama yang dihadapi perusahaan yang melakukan transformasi digital. Sebanyak 34% responden menilai bahwa warisan infrastruktur IT lama (legacy) menjadi tantangan terbesar yang dapat menghalangai perusahaan untuk menciptakan inisiatif digital baru.

Kemudian, 30% responden menyebut risk management, compliance, dan legal implication sebagai tantangan terbesar kedua. Di urutan ketiga, alokasi budget dan SDM menjadi tantangan utama selanjutnya.

Selain itu, silo data menurut 90% responden dan warisan infrastruktur IT yang lama (legacy) bagi 60% responden, dinilai mempersulit integrasi ke teknologi baru dan membuat perusahaan sulit bertindak secara agile. Sebanyak 70% responden bahkan menilai legacy IT menjadi tantangan sulit bagi industri healthcare dan 68% di asuransi.

Di balik itu semua, transformasi digital diyakini dapat memberikan dampak positif terhadap peningkatan engagement dan inovasi pelanggan, serta penyelesaian proyek yang lebih cepat.

API menghasilkan pendapatan baru

Temuan keempat, sebanyak 96% responden dilaporkan telah mengimplementasi API, yang mana sebagian besar digunakan untuk melakukan integrasi dan menjalankan proyek baru. Dengan kebutuhan tersebut, setidaknya 27% responden menyebut telah meraup pendapatan dari implementasi API.

Laporan ini juga menemukan bahwa penggunaan API dapat berpengaruh terhadap sejumlah aspek penting bisnis. Misalnya, peningkatan produktivitas (59%), self-service (48%), dan peningkatan inovasi (46%). Selain itu, API juga memberikan manfaat lain, yaitu penurunan biaya operasional, peningkatan keterlibatan karyawan, dan pertumbuhan pendapatan (28%).

Terakhir, laporan ini juga menyebutkan bahwa data menjadi aspek penting dalam proses integrasi. Dari berbagai peran yang dibutuhkan untuk melakukan integrasi besar, data scientist berada di urutan teratas bagi 47% responden, naik dari 38% di 2020.

“Data menjadi jantung dari setiap rencana investasi. Maka itu, data scientist dan proyek yang berfokus pada big data dan analitik diperkirakan menjadi fokus utama perusahaan ke depannya,” ungkap laporan ini.

Laporan ini merekomendasikan tim IT untuk dapat memenuhi kebutuhan integrasi dari tim bisnis. Menurut surveinya, banyak perusahaan kini mulai mengembangkan tools sendiri untuk memperlengkapi tim bisnisnya melakukan integrasi aplikasi dan sumber data.

Selain cloud (57%) dan sistem keamanan (53%), sebanyak 45% responden menyebut analitik data dan 43% responden pada integrasi big data sebagai prioritas investasi perusahaan di 2021.

Kolaborasi dengan Startup Jadi Strategi Perusahaan Asuransi Perdalam Kanal Distribusi

Pekan lalu, Home Credit mengumumkan kerja samanya dengan PT Asuransi Harta Aman Pratama meluncurkan lini insurtech bernama “MyLifeCOVER” di platform fintech tersebut. Pengguna kini bisa mendaftarkan diri, membayar, hingga proses klaim secara daring melalui aplikasi Home Credit.

Sebelumnya pada awal bulan ini, Grab juga baru mengumumkan masuknya PT PFI Mega Life Insurance ke jajaran mitranya. Kerja sama direalisasikan dengan peluncuran fitur “Sobat Proteksi” di superapp tersebut, memudahkan pengguna dalam mendapatkan produk asuransi perlindungan penyakit kritis.

Total di tahun 2020 kami mencatat ada delapan peresmian kerja sama serupa, antara platform digital dengan perusahaan asuransi – di luar platform yang dikembangkan oleh startup yang spesifik menggarap bisnis insurtech—meliputi:

Platform Digital Perusahaan Asuransi
DANA AXA Financial Indonesia, Mandiri AXA General Insurance
Traveloka FWD Life Indonesia
Grab Asuransi Simas Jiwa
Good Doctor AXA Financial Indonesia
JD.id Asuransi Jiwa Sequis Life
Modal Rakyat Adira Insurance
OYO Asuransi Simas Insurtech
Halodoc Avrist Assurance

Mengutip laporan Corporate Digital Transformation Report 2020, inovasi digital untuk produk dan layanan asuransi terbagi ke dalam beberapa aspek. Model kerja sama yang dilakukan di atas hampir semua memfokuskan pada “digital customer engagement” alias sebagai kanal untuk menghubungkan antara produk dan layanan asuransi kepada penggunanya. Tentu pertanyaannya: seberapa efektif?

Insurtech Innovation

Baru-baru Grab Financial (unit dari Grab yang fokus menangani platform finansial dan asuransi) mengumumkan bahwa sepanjang dua tahun beroperasi di Asia Tenggara, unit insurtech mereka berhasil menjual 100 juta polis asuransi. Dalam rilisnya Tokopedia juga menyampaikan, per akhir 2020 produk asuransi mikro seperti “Proteksi Gadget” yang dijajakan kepada pengguna telah mengalami peningkatan transaksi hingga 70 kali lupat. Jelas dua contoh ini adalah pencapaian yang luar biasa.

Potensinya juga masih bisa terus digali; menurut riset Nielsen di tahun 2020, kesadaran masyarakat untuk memiliki produk asuransi jiwa di kota-kota besar di Indonesia selama pandemi meningkat menjadi 24%. Sebelumnya peningkatan selalu mentok di angka satu digit. Kendati secara umum saat ini di Indonesia kepemilikan asuransi secara umum masih terbilang rendah, dengan penetrasi asuransi (total premi/PDB) sebesar 3%.

Perspektif penyaji layanan

Dalam sesi peresmian kerja samanya dengan mitra perusahaan asuransi, Head of Payments & Value-Added Services Home Credit Indonesia Randy Pragustio Priantoro mengatakan, “Dibutuhkan inovasi melalui teknologi digital agar asuransi dapat menjangkau seluas-luasnya masyarakat Indonesia dan mampu memberikan pemahaman yang baik tentang pentingnya perlindungan jiwa.”

Ia sendiri berpendapat bahwa aplikasi consumer seperti yang diusung memang jadi pendekatan tepat untuk menjangkau kalangan tersebut. Terlebih salah satu misi fintech juga mengayomi mereka yang belum terlayani sepenuhnya oleh layanan perbankan sembari membantu meningkatkan literasi keuangan.

Hal senada juga disampaikan Head of Insurance Grab Financial Group Tom Duncan saat mengumumkan kerja samanya dengan Mega Life Insurance, “Produk ini [Sobat Proteksi] merupakan perpanjangan dari pendekatan penetapan harga mikro dan fraksional kami sehingga lebih banyak orang Indonesia yang kurang terlayani dapat memperoleh manfaat dari produk asuransi yang dapat diakses dan disampaikan secara transparan.”

Di sisi perusahaan asuransi, Niharika Yadav selaku Presiden Direktur AXA Financial Indonesia juga berujar saat meresmikan kerja samanya dengan DANA, bahwa aksesibilitas produk menjadi prioritas dalam kerja sama yang dibangun dengan pengembang aplikasi digital. “Kami berupaya untuk selalu berinovasi dan menghadirkan solusi asuransi jiwa dan kesehatan yang berfokus pada nasabah serta memberikan kemudahan akses bagi semua orang untuk memiliki dan merasakan manfaat perlindungan asuransi.”

Edukasi lewat relevansi produk

Cara terbaik memberikan edukasi adalah dengan memberikan pengalaman praktik. Model ini tampaknya relevan saat mengaitkan maraknya produk asuransi mikro yang saat ini diintegrasikan dengan layanan dari startup digital. Produk asuransi mikro yang dimaksud di sini adalah perlindungan untuk sesuatu yang nilainya relatif lebih kecil, contohnya asuransi gadget, asuransi perjalanan jarak pendek dll. Harganya pun cukup terjangkau.

Ambil contoh asuransi untuk perlindungan smartphone dari layar retak, OVO mengenakan biaya bulanan berkisar Rp15.000,- hingga Rp65.000,- untuk  (1) 100% jaminan penggantian layar yang baru; (2) garansi perbaikan jika layar kembali rusak selama 90 hari; (3) periode perlindungan yang fleksibel mulai dari 3 hingga 12 bulan; (4) layanan klaim pick-up dan delivery gratis dari tempat tinggal pengguna ke service centre dan sebaliknya; (5) spare part baru dan asli.

Gojek pun miliki produk serupa, bekerja sama dengan portofolionya PasarPolis. Menurut Chief Risk and Compliance Officer Gopay Budi Gandasoebrata, fokus GoSure (unit insurtech) adalah memudahkan akses masyarakat terhadap produk asuransi yang terjangkau. Selain itu, produk atau layanan juga harus dipastikan dengan kebutuhan sehari-hari.  “[sebagai contoh] Dalam menghadirkan produk ini [asuransi gadget], kami memahami betul pentingnya melindungi gadget yang saat ini telah hampir menjadi kebutuhan primer di masyarakat yang semakin terdigitalisasi sejak pandemi Covid-19.”

Dengan pemahaman yang semakin matang terkait produk/layanan asuransi dan cara kerjanya –terlebih dengan merasakan langsung manfaat yang diberikan—bukan tidak mungkin bahwa penetrasi produk asuransi (termasuk asuransi jiwa) akan semakin meningkat di kemudian hari.

Mengutip dari laporan DSResearch, faktor-faktor keengganan orang Indonesia terhadap asuransi disebabkan oleh sejumlah alasan. Yakni, terkait prosedur untuk mendapatkannya (33,62%); harga yang dinilai terlalu mahal (24,15%); tidak memahami tentang produk dan manfaat (20,76%). Ada beberapa responden (13,56%) yang mengaitkan dengan larangan agama.

Bank Mandiri dan Shopee Luncurkan Kartu Kredit “Co-Brand”

Bank Mandiri bersama Shopee meluncurkan kartu kredit co-brand Mandiri Kartu Kredit Shopee dengan memanfaatkan jaringan global Visa. Kerja sama ini diklaim pertama kalinya di Indonesia, menawarkan kemudahan bertransaksi nontunai di platform marketplace dengan menggunakan kartu kredit.

Seperti diketahui, penetrasi kartu kredit di Indonesia tergolong minim. Mengutip dari data Bank Indonesia, jumlah kartu kredit bank umum per akhir Desember 2020 tercatat 16,94 juta, turun 3,14% yoy dari sebelumnya sebesar 17,49 juta. Volume transaksi kartu kredit tercatat 274,68 juta, turun 21,34% secara tahunan.

Kehadiran Shopee di Indonesia sebagai platform marketplace dengan rataan kunjungan tertinggi hingga 90 juta kali sepanjang tahun lalu, menurut laporan iPrice, menjadi celah untuk mendongkrak penetrasi kartu kredit.

Direktur Jaringan & Retail Banking Bank Mandiri Aquarius Rudianto menuturkan, kolaborasi ini menjadi sangat strategis karena Shopee juga merupakan salah satu pemain utama di industri e-commerce sehingga platform memiliki basis pengguna yang sangat besar.

“Dengan berbagai kemudahan bertransaksi ala Mandiri Kartu Kredit yang dikombinasikan dengan fitur keamanan dan aneka keuntungan berbelanja ala Shopee, kami berharap pemegang kartu kredit akan semakin rajin berbelanja,” tuturnya dalam konferensi pers virtual, Rabu (17/3).

Direktur Eksekutif Shopee Indonesia Handhika Jahja menambahkan, sebagai perusahaan berbasis teknologi, Shopee berkomitmen untuk memenuhi kebutuhan setiap pengguna melalui rangkaian inisiatif dan inovasi, salah satunya dengan berkolaborasi bersama-sama mitra-mitra ternama untuk perluas ragam piliha produk.

“Kami berharap kolaborasi Shopee bersama Mandiri dapat menjadi rangkaian awal kerja sama yang membawa manfaat khususnya dalam memberikan kenyamanan, keuntungan lebih dan pengalaman belanja online terbaik bagi pengguna,” kata Handika.

Peluncuran Mandiri Kartu Kredit Shopee / Bank Mandiri
Peluncuran Mandiri Kartu Kredit Shopee / Bank Mandiri

Dalam kartu kredit co-brand ini, kedua perusahaan telah menyiapkan beragam penawaran, seperti promo diskon atau potongan harga, cashback, bebas biaya penanganan baik untuk transaksi full payment atau cicilan khusus belanja di Shopee, yang dapat membantu masyarakat untuk berbelanja, namun tetap cerdas dalam keuangan.

Dengan dukungan Visa, maka para pemegang kartu dapat berbelanja di lebih dari 70 juta merchant Visa di seluruh dunia, di lebih dari 200 negara, dalam lebih dari 160 mata uang. Kartu juga sudah diusung dengan teknologi contactless, di mana pemegang kartu cukup men-tap kartu ke terminal pembayaran tanpa kartu harus berpindah tangan dan memasukkan PIN untuk transaksi sampai dengan Rp1 juta.

Untuk pengajuan kartu kredit co brand ini, pengguna Shopee dapat mengajukan langsung melalui aplikasi Shopee. Berikutnya akan dihubungi oleh Bank Mandiri untuk proses verifikasinya.

Saat ini Bank Mandiri telah menerbitkan lebih dari 1,8 juta kartu kredit. Selain Shopee, dalam kerja sama serupa ini juga pernah dilakukan Bank Mandiri bersama Traveloka.

Application Information Will Show Up Here

Perkembangan Ekosistem “Platform as a Service” di Indonesia

Ketika dunia semakin dikuasai oleh perangkat lunak, pengembangan aplikasi dan alat juga semakin besar dan kompleks. Hal ini mempengaruhi beban kerja para pengembang atau developer yang juga semakin banyak ketika mengelola sebuah aplikasi. Platform as a Service atau PaaS merupakan salah satu layanan yang ditawarkan oleh komputasi awan atau cloud computing selain Software as a Service (SaaS) dan Infrastruktur as a Service (IaaS) yang fokus membantu para pengembang dalam pengelolaan aplikasi.

Platform as a Service (PaaS) menyediakan komponen cloud dalam bentuk platform yang dapat dimanfaatkan pengguna untuk membuat aplikasi di atasnya. Layanan ini memudahkan pelanggan untuk mengembangkan, menjalankan, dan mengelola aplikasi tanpa kompleksitas membangun dan memelihara infrastruktur terkait dengan pengembangan dan peluncuran aplikasi.

Menurut pemaparan Microsoft Azure, ada beberapa skenario penggunaan layanan PaaS, seperti menyediakan kerangka kerja yang dapat dibangun oleh pengembang untuk mengembangkan atau menyesuaikan aplikasi berbasis cloud; menyediakan alat yang memudahkan organisasi dalam melakukan analisis atau mengambil keputusan bisnis. Juga sebagai layanan pendukung untuk pengelolaan aplikasi.

Sumber: Microsoft Azure

Penggunaan layanan ini bisa menekan biaya dan dan menghemat waktu dalam pengelolaan lisensi perangkat lunak, infrastruktur aplikasi dan middleware, orkestra kontainer seperti Kubernetes, atau alat pengembangan dan sumber daya lainnya. Pengembang tidak perlu melakukan manajemen sumber daya penunjang pengembangan aplikasi yang mereka kembangkan, karena semuanya telah disediakan oleh layanan ini.

Di Indonesia, layanan PaaS lazim digunakan untuk pengelolaan microservices atau layanan mikro pada aplikasi. Arsitektur layanan mikro membuat aplikasi lebih mudah diskalakan dan lebih cepat berkembang, memungkinkan inovasi dan mempercepat penetrasi pasar untuk fitur baru.

Ekosistem PaaS di Indonesia

Ketua Umum Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI) Alex Budiyanto mengatakan, perkembangan ekosistem cloud computing di Indonesia berangkat dari IaaS, yang pada dasarnya merupakan landasan infrastruktur dari layanan PaaS dan Software as a Service (SaaS).

Ia menyampaikan, di Indonesia sendiri, belum banyak pemain lokal yang fokus merambah keseluruhan lini bisnis PaaS. Namun, beberapa pemain yang sudah lebih dulu mengembangkan solusi cloud computing mulai menawarkan produk dari layanan PaaS ini. Dua di antaranya adalah Datacomm dan Lintasarta.

Didirikan pada 8 Okt 2015, Datacomm Cloud Business (DCB) adalah divisi bisnis PT Datacomm Diangraha yang berfokus pada peluang cloud di Indonesia. Di awal tahun 2021 ini, Datacomm baru saja meluncurkan produk PaaS baru berbasis Kubernetes. Teknologi ini diyakini mampu membuat perusahaan dapat bergerak menjadi lebih lincah dalam menjawab tantangan teknologi, khususnya dalam pembuatan sistem aplikasi.

Perwakilan Datacomm menyampaikan, layanan PaaS memiliki potensi besar, karena untuk bisa bersaing dengan perusahaan lain yang di bidang internet, perusahaan harus semakin cepat. PaaS memberikan kemungkinan untuk  pengembangan yang lebih cepat dan terkelola.

PaaS sendiri bersifat high-scalability atau memiliki skalabilitas tinggi dimana ketika aktivitas dalam aplikasi mulai padat, secara otomatis layanan ini akan menskalakan aplikasi dengan lebih baik dalam melayani pengguna. Hal ini membuat target market dari PaaS sendiri merupakan perusahaan yang membutuhkan layanan 24/7 serta memiliki aktivitas padat dalam aplikasinya.

Senior Manager Cloud Product Development Lintasarta Reski Rukmantiyo mengungkapkan, “Saya melihat adopsi yang cukup besar untuk produk PaaS di ranah yang erat dengan B2C seperti industri fiansial perbankan atau asuransi yang membutuhkan koneksi dan workload tinggi, selain itu juga telco.”

Sebagai salah satu pelopor internet pertama di Indonesia, Lintasarta yang merupakan anak perusahaan PT Indosat Tbk, fokus menyediakan solusi korporat melibatkan Komunikasi Data, Internet dan Layanan TI. Timnya mengklaim sudah menawarkan produk dari layanan PaaS yang berbasis kontainer sejak dua tahun yang lalu.

Dalam menyediakan layanan PaaS, kedua perusahaan di atas bekerja sama dengan RedHat – OpenShift, salah satu penyedia layanan PaaS global yang menawarkan berbagai opsi untuk pengembang yang terdiri dari hostingproject PaaS private atau open source.

Persaingan dengan pemain hyper-scale

Melihat persaingan layanan PaaS di Indonesia, saat ini masih didominasi pemain global atau hyper-scale. Selain karena belum ada pemain lokal yang menawarkan solusi PaaS menyeluruh, para pengembang juga cenderung memilih solusi yang memiliki cakupan besar dan sesuai dengan kebiasaan.

Perusahaan hyper-scale identik dengan high-availability karna memiliki banyak data center yang tersebar di berbagai belahan dunia. Hal ini membuat kemungkinan server untuk downtime kecil, itu menjadi salah satu keunggulan para pemain global.

Consultant Engineer Datacomm Kevin Haryono mengatakan, “Sebagai pemain lokal, yang bisa kita andalkan adalah layanan yang sesuai dengan rekomendasi kominfo, dimana seluruh data krusial itu wajib. Mengenai keamanan, data center lokal juga sudah mengupayakan untuk sertifikasi ISO dan berusaha mencapai standar internasional.”

“Pemain global juga memiliki harga yang kompetitif serta kepercayaan masyarakat bahwa solusi yang datang dari luar lebih baik. Selain itu, dari sisi native, ketika pengembang sudah terbiasa menggunakan salah satu solusi lalu yang ditawarkan pihak luar sesuai dengan kebiasaan di sini,” tambahnya.

Terkait persaingan, Alex menutup diskusi dengan menyampaikan, “Kita perlu mendorong kecintaan masyarakan ke produk dalam negri, di samping itu produk lokal juga harus meningkatkan kualitas layanannya supaya bisa berkelanjutan. Karena jika diminta head-to-head tanpa ada kepercayaan masyarakat semua akan jadi sulit.”

Strategi MNC Group Perkuat Lini Bisnis Fintech

MNC Group melalui unit MNC Kapital makin agresif mengembangkan layanan fintech. Setelah meluncurkan platform pembayaran SPIN (Smart Payment Indonesia) pada akhir 2019 lalu, mereka mengenalkan Flash Mobile untuk menjadi sistem payment gateway. Layanan tersebut juga sudah mendapatkan lisensi penuh dari Bank Indonesia, meliputi payment gateway, fraud detection, dan invoicing service.

Di luar itu, sebenarnya MNC juga sudah memiliki beberapa aplikasi finansial. Contohnya adalah Hario sebagai platform insurtech yang mengintegrasikan dengan unit perusahaan asuransi MNC Life. Ada juga BangKredit Mobile, aplikasi pengajuan kredit mobil atau rumah yang terintegrasi dengan PT MNC Finance.

Untuk membahas lebih lanjut mengenai visi perusahaan mengembangkan ekosistem fintech-nya, DailySocial berkesempatan melakukan wawancara dengan Jessica Tanoesoedibjo. Ia saat ini menjabat Direktur MNC Kapital, Managing Director SPIN, dan Managing Director Flash Mobile.

“Di struktur MNC Kapital, kami memiliki ekosistem layanan finansial menyeluruh mulai dari bank, sekuritas, aset manajemen, asuransi, multifinasial, dan lain-lain. Tapi seperti yang kita ketahui, sekarang semua sudah merambah ke digital, jadi jika ingin kompetitif dan memberi layanan terbaik maka harus masuk ke sana. Dan kalau kita lihat di ekosistem MNC, maka salah satu yang bisa melengkapi di awal adalah pembayaran, maka dari itu fintech pertama kita adalah e-money dan e-wallet,” jelas Jessica.

Direktur MNC Kapital Jessica Tanoesoedibjo / MNC Group
Direktur MNC Kapital Jessica Tanoesoedibjo / MNC Group

Flash Mobile sendiri bukan unit baru di perusahaan. Sebelumnya platform tersebut sudah bernaung di Infokom (anak usaha MNC di bidang infrastruktur) sebagai biller aggregator, ditujukan untuk menjadi jembatan dengan platform pembayaran di luar MNC. Contohnya memudahkan pengguna membayar langganan TV berbayar lewat aplikasi digital wallet atau platform e-commerce.

“Kami melihat potensi payment gateway cukup besar di pasar, jadi kami migrasikan dari di bawah unit media ke layanan finansial,” imbuhnya.

Peran payment gateway memang cukup krusial untuk ekonomi internet saat ini. Layanan tersebut memungkinkan berbagai aplikasi digital atau situs web untuk terhubung dengan berbagai sistem pembayaran. Menggunakan sambungan API, pemilik bisnis bisa menyuguhkan berbagai opsi pembayaran, mulai dari dompet digital, transfer bank, hingga kartu kredit. Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa startup yang menyajikan layanan serupa, termasuk Midtrans (Gojek Group), Doku, Xendit, Faspay, dan Cashlez.

Terintegrasi dengan ekosistem bisnis

Menurut hasil survei yang dirangkum dalam Fintech Report 2020, ada lima aplikasi pembayaran digital yang paling banyak digunakan menurut responden. Secara berurutan meliputi Gopay (87%), OVO (80,4%), Dana (75,6%), ShopeePay (53,2%), dan LinkAja (47,5%). Kondisi pasar memang sangat kompetitif, untuk itu penting bagi pengusung layanan untuk mampu menunjukkan unique selling point yang relevan sehingga dapat memikat pangsa pasar.

Samuel Mulyono, Komisaris SPIN dan COO Flash Mobile, memberikan pandangannya. Ia menjelaskan ada beberapa aspek yang diyakini dapat memperkuat posisi layanan fintech MNC. Salah satu yang dominan adalah kekuatan media.

“Kami hadir bukan sebagai single player, tapi sebagai satu buah ekosistem yang memberikan solusi terintegrasi dengan seluruh layanan kami. SPIN dan Flash Mobile akan berdiri di tengah sebagai center dari seluruh ekosistem keuangan kami. Selain itu kami juga akan menggabungkan dengan kekuatan media yang dimiliki perusahaan, untuk benar-benar mampu menjawab kebutuhan masyarakat,” ujar Samuel.

Lebih lanjut Jessica menambahkan, integrasi dengan platform digital lain juga menjadi salah satu prioritas dalam menumbuhkan bisnis. “Sebenarnya di MNC ada [platform] e-commerce (salah satunya The F Thing), kita ada Mister Aladin yang beranjak menjadi AladinMall, selain itu ada juga MNC Shop. Di internal kita sudah ada ekosistem digital. Tentunya SPIN dan Flash Mobile akan diintegrasikan. Cuma tidak menutup kemungkinan untuk memperluas cakupan ke luar, karena yang kita tawarkan bukan sekadar pembayaran, melainkan ekosistem yang menyeluruh.”

Lebih lanjut Jessica mencontohkan, kepada rekanannya mereka juga akan memberikan keuntungan seperti exposure media untuk membantu memaksimalkan pemasaran.

Dalam waktu dekat, MNC akan melahirkan inovasi e-TVmall, mengintegrasikan integrasi layanan media, pembayaran, dan e-commerce. Platform ini memungkinkan penonton menjadi lebih interaktif. Saat konsumen melihat iklan di televisi, mereka bisa langsung memindai QRIS yang ditampilkan untuk selanjutnya berbelanja dan melakukan pembayaran. Pendekatan ini juga dinilai akan menguntungkan pengiklan. Jika tadinya promosi hanya untuk meningkatkan awareness, sekarang bisa sekaligus menghasilkan transaksi.

Fokus bisnis tahun 2021

[Ki-Ka] Yudi Hamka (Director SPIN & Director Flash Mobile), Almais Tandung (COO SPIN), Jessica Tanoesoedibjo (Direktur MNC Kapital, Managing Director SPIN & Flash Mobile), Maya Sari Dewi (CFO SPIN & Flash Mobile), Samuel Mulyono (COO Flash Mobile), Darma Widjaja (CFO Benih Baik) / MNC Group
[Ki-Ka] Yudi Hamka (Director SPIN & Director Flash Mobile), Almais Tandung (COO SPIN), Jessica Tanoesoedibjo (Direktur MNC Kapital, Managing Director SPIN & Flash Mobile), Maya Sari Dewi (CFO SPIN & Flash Mobile), Santi Paramita (Direktur Legal MNC Group), Samuel Mulyono (COO Flash Mobile), Darma Widjaja (CFO Benih Bersama) / MNC Group
Di tahun 2020, SPIN dihadapkan pada tantangan pandemi. Namun Jessica justru melihatnya sebagai momentum. Dibantu kekuatan media, mereka mencoba menyampaikan pesan bahwa di era new normal ini model transaksi contactless bisa menjadi pilihan untuk meminimalkan persebaran virus. “One of the good things, karena kita memiliki media masa, pesannya juga bisa kita sampaikan secara luas, tidak perlu door to door satu per satu,” imbuh Jessica.

Kolaborasi juga diyakini menjadi variabel penting dalam ekonomi digital saat ini. Berbicara tentang roadmap MNC di lini digital, sudah ada beberapa hal yang akan disiapkan di waktu mendatang. Mereka akan masuk ke lini venture capital dan crowdfunding. Selain itu akan ada semacam konsep “sandboxing”, sehingga bisa berbaur dengan pemain lain. Semua itu akan dilakukan secara bertahap.

Beberapa korporasi di Indonesia sekarang mengandalkan pendekatan corporate venture capital (CVC) untuk melakukan konsolidasi dengan startup. Tujuannya untuk mengakselerasi transformasi digital di lini bisnis – alih-alih mengembangkan layanan digital secara mandiri, mereka merangkul startup di bidang terkait untuk berjalan bersama, sehingga meminimalkan effort untuk membuat segala sesuatunya dari nol, termasuk edukasi pasar dan mempersempit persaingan.

Dengan bisnis model yang ada, MNC Kapital juga melihat potensi besar di kota tier 2 dan 3, sekaligus di luar Jawa. SPIN maupun Flash Mobile cukup percaya diri mampu masuk ke area tersebut, karena fokusnya memberikan manfaat sekaligus komplementer bagi kebiasaan sehari-hari mereka. Lagi-lagi kekuatan market share 48% di kancah nasional, MNC yakin bisa gesit memberikan edukasi pasar secara tepat.

“Kekuatan media coba kita kolaborasikan. Dengan market share tersebut media kita telah mencakup ke daerah-daerah tadi, yang literasi digitalnya masih perlu ditingkatkan, sehingga kita masih cukup percaya diri bisa membuka pasar baru sekaligus bersaing dengan bisnis lain,” imbuh COO SPIN Almais Tandung.

Beberapa aplikasi yang sudah ada, seperti insurtech, lending, dan securities crowdfunding, ke depannya ingin diintegrasikan menjadi sebuah satu kesatuan sistem. Jessica mengatakan, “Kita punya Hario dan beberapa aplikasi lainnya. Harapannya itu bukan jadi standalone app. Sekarang masih di fase awal, tapi ke depannya semua mengerucut ke satu combined ecosystem.”

“Fitur produk akan terus dikembangkan, baik SPIN, Flash Mobile, dan platform lainnya. Tahun ini juga ada target user acquisition lebih luas lagi,” tutup Jessica.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Flou Jadi Diversifikasi Produk Komputasi Awan TelkomSigma, Rambah Segmen UKM

Awal Desember 2020, TelkomSigma memperkenalkan produk cloud baru bernama “Flou”. Solusi ini disebut sebagai pendekatan baru perusahaan untuk mengakomodasi kebutuhan pelaku usaha di era digital yang cepat berubah. Adapun, solusi ini sudah dapat digunakan pelanggan sejak pertengahan 2020.

Dalam acara peluncurannya, Direktur Business & Cloud TelkomSigma Tanto Suratno mengatakan bahwa pasar cloud semakin meningkat setiap tahunnya. Di 2020 saja, diestimasi berada di kisaran Rp11 triliun dengan pertumbuhan yang menjanjikan. Ia mengestimasi pasar cloud Indonesia meroket hingga Rp24 triliun di 2021.

Menurutnya, solusi cloud hadir untuk mendisrupsi dan mengakselerasi transformasi digital. Namun, dengan situasi pandemi saat ini, pelaku usaha dituntut untuk beradaptasi cepat terhadap perubahan. “Ke depan, kita bakal melihat ada gelombang disrupsi yang lebih besar dan dahsyat, yakni cloud native computing,” papar Tanto.

Sementara, Direktur Digital, Teknologi Informasi, dan Operasi BRI Indra Utoyo yang hadir dalam kesempatan sama menilai bahwa kehadiran Flou menjadi momentum tepat di situasi pandemi ini. “Covid-19 menjadi semacam chief transformation officer yang memaksa kita semua untuk bertransformasi. Esensi digital itu adalah bagaimana bisa create value. Makanya, kita harus beradaptasi dengan cara baru karena pasar dan perilaku konsumen cepat berubah,” ujarnya.

Mendorong konsep “cloud native mindset

Ada beberapa elemen yang difokuskan pada Flou, antara lain customer experience, reliability, dan kecepatan. Flou mengutamakan pengalaman yang seamless dengan sistem pembayaran yang fleksibel (pay-as-you go dan subscription). Kemudian, Flou juga menghadirkan kecepatan lewat agile deployment (API ready) dengan performa tinggi untuk segala sektor industri.

Semua elemen tersebut diprioritaskan untuk mendorong konsep cloud native mindset sebagaimana disebutkan Tanto di atas. Menurutnya, struktur traditional monolithic apps yang banyak digunakan pelaku usaha dinilai tidak mampu lagi mengejar dinamika pasar yang cepat berubah. Artinya, konsep ini dapat menghambat upaya untuk bertransformasi digital.

“Lewat Flou, kami ingin bawa konsep cloud native apps untuk memunculkan paradigma baru dan memberikan agility dalam mendukung pembuatan aplikasi, inovasi, dan ide secara cepat. Saat ini semakin banyak generasi terkini yang lahir di era yang akrab atau di mana resource-nya ada di cloud. Mereka ini yang disebut cloud native mindset,” papar Tanto.

Ia menilai mindset tersebut dapat dibangkitkan melalui fitur dan tools yang disediakan Flou. Salah satunya adalah merealisasikan ide menjadi MVP lebih cepat. “Kalaupun ide ini masuk produksi, elasticity bisa lebih besar. Pada tahap ini, pengguna tidak perlu memikirkan bagaimana scale dan resiliency-nya,” tambahnya.

Kendati demikian, Tanto menegaskan bahwa Flou tidak hanya mengakomodasi kebutuhan segmen pasar yang sudah terbiasa menggunakan cloud, tetapi juga pengguna baru secara seamless, baik UKM dan perusahaan berskala besar.

Sementara dari sisi harga, ia mengklaim bahwa solusi Flou mampu meminimalkan biaya operasional. Ia menyadari bahwa umumnya meningkatnya basis pengguna UKM dapat berdampak terhadap kenaikan biaya sewa cloud dan connevtivity.

“Kami memahami bahwa dinamika pasar yang cepat berubah menjadi tantangan bagi pelaku usaha. Karena mereka dituntut untuk agile, kami mengatur pricing sedemikian rupa supaya pelaku usaha dapat menjaga biaya operasional dan tetap tumbuh menikmati profit. Dengan begitu, mereka bisa mengembangkan bisnis dan inovasi ke depan,” tambahnya.

Di segmen ini sebenarnya sudah ada banyak pemain lokal yang jajakan produk infrastruktur cloud. Sebut saja Biznet Gio, Cloud Kilat, Indonesian Cloud, dan masih banyak lagi. Beberapa juga menyajikan varian produk cloud seperti VPS bersamaan dengan solusi hosting konvensional yang masih banyak dipakai usaha kecil karena biaya yang relatif lebih rendah.

Membidik pangsa 3 besar di Asia Tenggara

Saat ini, TelkomSigma mengklaim telah menguasai sebesar 40 persen pangsa pasar data center dengan total akumulasi seluas 11 ribu meter persegi, kapasitas penyimpanan hingga 41 ribu Terabyte (TB), dan lokasi tersebar di sebanyak 16 titik di seluruh Indonesia. Telkom menjamin cakupan Flou yang lebih luas dengan dukungan fasilitas data center dan konektivitas yang dimilikinya.

Dalam kesempatan tersebut, Director of Enterprise & Business Service TelkomSigma Edi Witjara mengatakan bahwa pencapaian tersebut sebetulnya menjadi tantangan bagi perusahaan untuk mempertahankan posisinya sebagai penyedia solusi ICT di segmen enterprise.

Selain itu, pengembangan Flou dinilai harus dapat menjadi pemacu untuk melahirkan peluang dan model bisnis baru. Menurut catatannya, ungkap Edi, segmen korporasi menyumbang lebih dari 50 persen terhadap pendapatan perusahaan, diikuti segmen pemerintahan (23%), dan SME (21%).

“Cita-cita TelkomSigma dalam 3-5 tahun mendatang adalah menjadi top 3 di Asia Tenggara. Kami yakin peluang ini dapat diupayakan, salah satunya lewat kehadiran Flou. Kami harap, Flou dapat mengakomodasi kebutuhan pelaku usaha di era sekarang yang menginginkan customer experience, realiability, dan agility yang cepat.”

Bank Mandiri dan Grab Teken Kerja Sama Strategis, Perluas Layanan Keuangan Digital

Bank Mandiri mengumumkan kerja sama strategis dengan Grab untuk perluasan layanan keuangan secara digital. Nantinya, Bank Mandiri akan mengembangkan sejumlah produk dan layanan keuangan, terkait layanan pembayaran digital dan pembiayaan produktif, di dalam platform Grab.

Baik Grab dan Bank Mandiri sama-sama menjadi pemegang saham di platform e-money LinkAja.

Nota Kesepahaman (MoU) ditandatangani secara virtual oleh Country Managing Director Grab Indonesia Neneng Goenadi dan Direktur Jaringan & Retail Banking Bank Mandiri Aquarius Rudianto, disaksikan oleh jajaran direksi Grab Indonesia dan Bank Mandiri lainnya di Jakarta pada hari ini (19/1).

Direktur TI Bank Mandiri Rico Usthavia Frans menuturkan, kerja sama ini sangat strategis karena melibatkan dua pihak dengan pemahaman bisnis dan keunggulan yang nyata di bidangnya masing-masing. “Sinergi layanan ini akan melahirkan banyak peluang bisnis yang bisa dimanfaatkan, terutama oleh pelaku UMKM, dalam situasi penuh keterbatasan di masa pandemi ini,” kata Rico.

Dalam kerja sama ini, Bank Mandiri akan mengembangkan sejumlah produk dan layanan keuangan, terkait layanan pembayaran digital dan pembiayaan produktif, di dalam platform Grab untuk memberikan nilai tambah kepada mitra dan para pelanggan Grab yang datang dari sektor UMKM.

Rencananya, berbagai solusi pembayaran Bank Mandiri akan dapat diakses oleh mitra bisnis Grab, seperti pembayaran melalui scan QR dan Mandiri Direct Debit, melengkapi akseptasi kartu debit dan kartu kredit Bank Mandiri yang telah hadir lebih dulu di Grab. Hal lainnya, kerja sama ini juga memungkinkan pelanggan Grab membuka rekening Bank Mandiri secara online dan melakukan top up e-money.

Country Managing Director Grab Indonesia Neneng Goenadi menambahkan, pihaknya ingin mengembangkan Grab menjadi salah satu platform dengan akses keuangan terlengkap bagi para mitra dan pengguna, termasuk akses pembiayaan digital. Grab memiliki layanan yang sangat berkaitan erat dengan sektor UMKM, mulai dari GrabMart, GrabKios, GrabFood, dan GrabExpress.

“Grab berkomitmen membantu perkembangan dan pertumbuhan sektor riil ekonomi nasional, terutama pelaku UMKM yang belum terjangkau oleh akses perbankan dan layanan keuangan. Melalui sinergi dengan Bank Mandiri, Grab berupaya untuk terus menggerakkan ekonomi digital UMKM dengan menyediakan beragam layanan perbankan yang aman, nyaman, dan mudah diakses,” ujar Neneng.

Bersama Bank Mandiri, Grab berinisiatif melakukan sinergi penyaluran pinjaman mikro kepada jaringan mitra merchant GrabFood dan agen GrabKios. Pengusaha ini akan memiliki kemudahan dalam mengakses pembiayaan produktif secara digital dari Bank Mandiri melalui platform Grab. Plafon kredit yang dapat diajukan maksimal Rp100 juta dengan suku bunga bersaing.

Aquarius menuturkan, pembiayaan produktif mikro ini sangat potensial untuk dikembangkan mengingat Grab juga akan berperan sebagai pemberi referral. Kemudian pelaksanaannya pun akan tetap memenuhi prinsip kehati-hatian dan tata kelola perusahaan yang baik untuk memitigasi risiko pembiayaan.

Tak berhenti di situ, inisiatif lainnya yang akan dilakukan bersama kedua perusahaan adalah kerja sama keagenan branchless banking bagi mitra Grab, sehingga mereka bisa mendapat penghasilan tambahan.

“MoU ini adalah langkah awal kerja sama Bank Mandiri dan Grab. Kami sudah membentuk forum koordinasi yang akan membahas lebih detail potensi kerja sama lain yang akan menguntungkan baik bagi pengguna Grab maupun nasabah Bank Mandiri. Kami juga berharap, hadirnya Bank Mandiri dalam ekosistem digital Grab akan menjadi daya tarik tersendiri bagi calon mitra, sehingga akan semakin banyak mitra bisnis yang bergabung dengan Grab,” tutup Aquarius.

Application Information Will Show Up Here

Gojek dan BCA Rilis Perangkat POS GoBiz Plus, Mudahkan Merchant Terima Pembayaran Nontunai

Gojek mengumumkan kolaborasi bersama BCA untuk peluncuran perangkat POS GoBiz Plus guna permudah merchant menerima semua opsi pembayaran nontunai; mulai dari kartu debit, kredit, uang elektronik, dan QRIS. GoBiz Plus merupakan kelanjutan pengembangan dari superapp GoBiz, aplikasi Gojek untuk mitra bisnis sejak 2018.

Co-CEO Gojek Andre Soelistyo menjelaskan, UMKM merupakan tulang punggung ekonomi negara. Oleh karenanya, Gojek punya peranan untuk mendukung mitra UMKM agar terus memperoleh akses untuk go digital. Terlebih di masa pandemi ini, masyarakat semakin mengedepankan transaksi non tunai untuk meminimalisir kontak fisik langsung.

“Untuk mewujudkan visi tersebut, kami selalu melakukan kolaborasi yang telah menjadi DNA kami. Dalam peluncuran GoBiz Plus ini, kami bersama BCA. BCA sudah menjadi big supporter kami sejak lima tahun lalu,” ucapnya dalam konferensi pers yang secara virtual, Selasa (15/12).’=

Perangkat GoBiz Plus / GoBiz
Perangkat GoBiz Plus / GoBiz

Baik Gojek maupun Gojek sama-sama terafiliasi dengan induk yang sama yakni Djarum Group. Melalui Blibli, Djarum menyuntik Gojek dengan nominal dirahasiakan pada 2018.

Direktur BCA Santoso Liem turut menyampaikan, kedua perusahaan punya visi yang sama dalam memajukan sektor UMKM dengan digitalisasi. BCA mengimplementasikan teknologi yang memungkinkan pengguna untuk memilih berbagai opsi pembayaran. Lewat kesempatan ini pula, BCA ingin masuk ke kota lapis dua dan tiga karena ia sadar bahwa BCA selama ini kuat di daerah perkotaan saja.

“GoBiz Plus menggunakan standar-standar pembayaran yang diakui oleh Bank Indonesia, baik itu dari teknologi chip dan QRIS. Ini diharapkan dapat menjadi nilai tambah yang dapat mendorong UMKM kita,” kata Santoso.

Lebih jauh dijelaskan oleh Head of Merchant Platform Business Gojek Novi Tandjung, GoBiz Plus adalah perangkat keras serba bisa yang mendukung mitra bisnis dapat beroperasi lebih efisien dan mendukung pertumbuhan usaha mereka. Beberapa kemampuannya adalah menerima pembayaran berbagai kartu, berkat kerja sama dengan BCA.

Lalu, menerima pembayaran berbasis kode QR dan berbagai dompet digital; mencetak resi secara instan karena sudah dilengkapi dengan ‘built-in’ printer; dan layanan POS untuk permudah pencatatan pesanan, memperbarui menu dan harga.

Novi melanjutkan, GoBiz Plus sebenarnya sudah dirilis sejak awal tahun ini, namun perilisan baru dilakukan menjelang akhir tahun karena ada banyak pertimbangan akibat pandemi. GoBiz sendiri diklaim sudah memiliki lebih dari 900 ribu merchant di seluruh Asia Tenggara. Tidak disebutkan sudah berapa banyak mitra yang sudah upgrade ke GoBiz Plus.

Novi hanya bilang, GoBiz Plus secara terbatas baru ditawarkan untuk mitra yang memiliki ambang batas transaksi sesuai dengan kriteria. Biaya yang dibayarkan mitra untuk menggunakan GoBiz Plus adalah Rp4.900 per harinya. “GoBiz memiliki merchant yang tersebar di 19 kota di Indonesia. Namun untuk menggunakan GoBiz Plus harus memenuhi syarat tertentu,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Membangun Mindset Inovasi Demi Wujudkan Transformasi Digital dalam Pemerintahan

Transformasi digital saat ini menjadi istilah yang semakin sering digunakan, tidak hanya dalam ekosistem bisnis teknologi, tetapi juga dalam hampir semua bidang industri, terutama bagi UMKM dan perusahaan yang masih menjalankan bisnis secara konvensional. Penerapan transformasi digital pada berbagai bidang industri telah terbukti dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas, baik dari segi operasional maupun anggaran.

Selain dalam bisnis, transformasi digital juga gencar diterapkan dalam sistem pemerintahan di seluruh dunia. Di era ketika akses internet dan adopsi teknologi di masyarakat semakin tinggi, implementasi pemerintahan digital sangat penting dilakukan. Tujuannya adalah agar warga negara dapat menikmati layanan pemerintahan sebagaimana layaknya mereka menggunakan berbagai produk teknologi dan aplikasi yang disediakan oleh perusahaan dan startup digital.

Namun, untuk mewujudkan pemerintahan digital yang ideal bukanlah hal yang mudah. Sebab, pemerintahan digital yang sukses bukan hanya dilihat dari banyaknya website dan aplikasi yang dibuat oleh lembaga-lembaga pemerintah, melainkan dari bagaimana produk dan platform digital yang disediakan benar-benar mampu mempermudah masyarakat dalam mengakses layanan pemerintahan yang dibutuhkan.

Salah satu negara yang berhasil menerapkan sistem pemerintahan digital dengan baik adalah Selandia Baru (New Zealand). Lewat situs www.govt.nz, penduduk Selandia Baru dapat mengakses berbagai layanan pemerintahan. Mulai dari hal terkait administrasi kependudukan, kesehatan, pekerjaan, hingga pendirian usaha.

new zealand
Tampilan situs www.govt.nz

Berbagai layanan tersebut dapat diakses lewat satu platform saja, sehingga memudahkan masyarakat yang membutuhkan layanan pemerintahan tanpa harus mencari tahu departemen atau kementerian apa yang menanganinya. Bercermin dari keberhasilan sistem pemerintahan Selandia Baru, ada beberapa aspek yang dapat dipelajari, antara lain sebagai berikut.

Innovative Mindset dalam Pemerintahan

Inovasi terutama dari sisi teknologi merupakan salah satu elemen penting dalam transformasi digital, baik dalam perusahaan maupun pemerintahan. Namun, upaya mewujudkan pemerintahan digital yang ideal tentu akan sulit jika pemerintah masih senantiasa berpikir secara konvensional.

Untuk mewujudkan sistem pemerintahan digital yang ideal, pola pikir inovatif (innovative mindset) harus tertanam dalam diri segenap jajaran pemerintah, terutama para pemangku kepentingan (stakeholder) yang memiliki posisi dan peran penting dalam pemerintahan. Hal ini menjadi salah satu aspek fundamental dalam membangun sistem pemerintahan digital. Pola pikir inovatif akan membantu para pengambil keputusan untuk bersikap terbuka terhadap ide-ide baru dan solusi teknologi yang mampu dihadirkan lewat transformasi digital.

Jadikan Warga Negara Layaknya Pelanggan

Mewujudkan dan melaksanakan pemerintahan digital tak ubahnya seperti mendirikan dan mengembangkan sebuah bisnis teknologi. Salah satunya adalah dengan memperlakukan warga negara sebagai pelanggan atau pengguna produk digital yang dimiliki. Pengembangan platform yang dilakukan juga perlu memperhatikan kenyamanan bagi pengguna, memiliki alur informasi yang jelas, serta menghadirkan tampilan yang baik dan sederhana.

Seperti halnya produk digital yang dibuat oleh startup, pengembangan layanan juga sebaiknya dilakukan secara dinamis dan agile. Umpan balik (feedback) dari para pengguna juga perlu dikumpulkan, diukur, dan dianalisis untuk mengetahui seberapa besar kepuasan warga negara terhadap layanan pemerintahan berbasis digital ini. Masukan dari para pengguna juga dapat digunakan sebagai bekal dalam pengembangan platform agar semakin sesuai dengan kebutuhan warga negara.

Kolaborasi Sebagai Kunci dalam Berinovasi

Salah satu anggapan yang kurang tepat dalam penerapan pemerintahan digital adalah bahwa setiap lembaga pemerintahan perlu membuat platform dan aplikasi masing-masing untuk mendigitalkan layanannya. Hal ini juga sempat dirasakan oleh Selandia Baru pada sekitar tahun 2006. Saat itu, semua kementerian berlomba-lomba membuat website dan aplikasi. Namun setelah dilakukan survei, banyaknya aplikasi dan situs web yang ada justru membuat masyarakat bingung dalam memilih layanan apa yang tepat bagi kebutuhannya.

Akhirnya, pemerintah Selandia Baru membuat satu website utama yaitu www.govt.nz yang mampu menyediakan informasi lengkap mengenai berbagai layanan pemerintahan yang tersedia, dan mengarahkan para penggunanya kepada lembaga pemerintahan terkait. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pemerintahan digital yang baik, semua lembaga tidak selalu berjalan dan bekerja sendiri-sendiri. Kolaborasi antara kementerian dan lembaga pemerintahan yang ada justru dapat membuat layanan yang dikembangkan menjadi semakin mudah digunakan oleh masyarakat.

Selain mengembangkan platform utama yang dimiliki, pemerintah Selandia Baru juga mendukung para pegawai di lembaga pemerintahan untuk dapat mengembangkan solusi inovatif bagi sektor publik. Salah satunya adalah dengan menyelenggarakan program NZ Govtech Accelerator yang dilaksanakan sejak tahun 2018 dan telah menghasilkan berbagai proyek yang mampu membantu permasalahan warga negaranya. Peserta NZ Govtech Accelerator juga tidak terbatas pada pemerintah Selandia Baru saja. Program ini terbuka bagi semua lembaga pemerintahan, baik yang bersifat nasional maupun lokal di seluruh dunia, serta perusahaan dan startup yang memiliki ide untuk mengembangkan solusi di bidang sektor publik.

Tidak hanya bagi negaranya sendiri, pemerintah Selandia Baru juga mendorong dan membantu negara-negara tetangga di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara untuk dapat membangun dan mewujudkan pemerintahan digital yang sukses lewat program kerja sama G2G Know-How. Dalam kerja sama ini, akan dihadirkan tim experts dari Selandia Baru yang akan menganalisis berbagai permasalahan sektor publik dalam suatu negara, kemudian memberikan pandangan dan solusi berdasarkan langkah-langkah yang telah berhasil dilakukan di Selandia Baru, serta menyesuaikan dengan kondisi yang ada di negara tersebut. Mereka juga akan membantu mengukur efektivitas dan keberhasilan dari solusi yang diimplementasikan, serta memberikan evaluasi untuk solusi tersebut.

Mewujudkan transformasi digital dalam pemerintahan memang bukan hal yang mudah. Perlu proses pembelajaran yang panjang, serta waktu yang tidak sebentar tentunya. Dukungan dan masukan dari masyarakat juga sangat penting demi mendapatkan solusi terbaik yang mampu memberikan kemudahan bagi warga negara untuk menikmati berbagai layanan pemerintah dengan mudah, cepat, kapan saja, dan di mana saja.

Disclosure: Artikel ini adalah konten bersponsor yang didukung oleh NZTE

Potensi Sinergi Startup dan Perusahaan Ritel Merealisasikan “New Retail” di Indonesia

New retail adalah istilah yang dipopulerkan raksasa e-commerce Alibaba untuk menggambarkan perpaduan ritel online dan offline melalui digitalisasi proses perdagangan atau disebut dengan retail value chain. Tujuannya menghadirkan pengalaman pengguna (User Experience/UX) yang lebih baik untuk kepentingan pedagang, konsumen, sekaligus berbagai mitra yang terlibat dalam proses bisnis.

Berdasarkan studi CGAP, konsep new retail mendemokratisasi beberapa dimensi di bisnis perdagangan, meliputi: (1) rantai pasokan dan logistik distribusi, (2) layanan nilai tambah bagi produsen/pengecer, (3) pengalaman berbelanja yang terintegrasi bagi konsumen.

Dengan sumber daya dan kemampuan finansial yang dimiliki, Alibaba mengembangkan semua aspek tersebut secara mandiri. Namun bagaimana jika dihadapkan dengan kondisi sebaliknya, saat transformasi digital dihadapkan pada proses bisnis legasi, perubahan tidak bisa dilakukan cepat – dengan berbagai keterbatasan sumber daya yang ada.

Peluang sinergi

Realisasi new retail, khususnya di Indonesia, bisa dilakukan dengan jalinan sinergi antara startup teknologi dan perusahaan ritel. Sinergi tersebut dapat dimulai dengan mengidentifikasi aspek paling fundamental dari new retail itu sendiri, yang tak lain adalah membangun data warehouse. Data yang terkumpul nantinya digunakan untuk berbagai kebutuhan seperti analisis prediktif.

Jika ditinjau lebih dalam, ada beberapa data yang bisa dimanfaatkan dalam proses bisnis retail guna membantu sistem pengambilan keputusan, meliputi data pembayaran/transaksi, data produk, data promosi, dan data logistik/rantai pasokan.

new_retail_1

Tidak hanya proses digitalisasi seperti yang sudah banyak dilakukan peritel tradisional, data-data tersebut harus dapat diintegrasikan satu dengan yang lain untuk menghasilkan insight komprehensif. Misalnya antara data produk, tren transaksi, dan sistem logistik untuk membantu peritel memastikan stok bahan makanan selalu dalam kondisi prima.

Secara teknis, harus ada konektivitas yang baik antara aplikasi point of sales yang menerima transaksi dari konsumen, aplikasi stok barang di unit pergudangan, hingga aplikasi rantai pasokan yang menghubungkan peritel dengan mitra-mitranya.

new_retail_2

Penggunaan alat-alat digitalisasi secara signifikan akan mengonversi tatanan data yang diproduksi atau dikelola peritel. Platform yang ada saat ini juga umumnya bersifat terbuka, memungkinkan adanya integrasi dengan layanan digital lainnya. Ambil contoh aplikasi pencatatan keuangan yang dapat terintegrasi dengan sistem kasir atau dasbor transaksi dompet digital melalui sambungan API.

Riset yang dilakukan Accenture juga memperlihatkan adanya tren akselerasi transformasi digital yang dilakukan di sektor ritel dan FMCG selama masa pandemi. Ada sepuluh aspek yang ditangkap, mulai keinginan untuk mengurai data konsumer menjadi pengetahuan, peningkatan manajemen penjualan, hingga peningkatan ekosistem mitra.

Survei DSResearch terhadap perusahaan FMCG/ritel lokal juga memperlihatkan hasil yang kurang lebih sama. Visi transformasi yang dicanangkan untuk menghadirkan terobosan membuka potensi produk/layanan baru dan menyesuaikan dengan tren kebutuhan konsumen.

Accenture

Bentuk kolaborasi

Mempelajari bentuk transformasi digital dari laporan DSResearch di atas, ada beberapa model yang dapat diadopsi perusahaan ritel ketika berkolaborasi dengan startup. Bentuk pertama adalah adopsi sistem, sederhananya peritel hanya perlu menjadi pelanggan premium dari layanan digital yang disediakan startup. Beberapa platform memberikan keleluasaan untuk melakukan kustomisasi kebutuhan di tataran terbatas.

Bentuk kedua ialah melalui kemitraan strategis. Di Indonesia, untuk perusahaan ritel ataupun FMCG praktik ini memang terlihat belum lazim, hanya saja beberapa sudah melakukan. Perusahaan dengan skala dan kapabilitas yang lebih besar dapat turut serta dalam pengembangan startup – umumnya melalui kepemilikan alias si perusahaan menjadi shareholder (baik mayoritas atau minoritas). Model ini memungkinkan penyelarasan visi antarperusahaan, sehingga dapat bersinergi secara lebih intim.

Ketiga adalah melalui platform sharing, beberapa startup memiliki ketergantungan kepada mitra bisnis dalam kaitannya dengan pemenuhan produk. Khususnya bagi mereka yang mengembangkan sistem berbasis online-to-offline.

Pengalaman baru konsumen

Melalui platform omni-channel, peritel bisa masuk ke platform digital untuk melayani lebih banyak pengguna. Toko yang menyediakan bahan segar, misalnya, bisa saja masuk ke ekosistem HappyFresh, bahkan beberapa layanan e-commerce populer juga mulai akomodasi layanan serupa. Selain diantarkan, aplikasi grocery juga memiliki opsi untuk diambil di toko, sehingga pengalaman offline berbelanja masih sangat mungkin terbentuk.

Ketika orang berbelanja, ada tiga pengalaman yang akan dirasakan, yakni persiapan belanja, proses belanja, dan setelah belanja. Di tahap persiapan belanja, beberapa aktivitas mulai dari mendata barang belanjaan, menemukan inspirasi untuk membeli item baru, mencari/melihat promo, sampai memilih toko ritel yang ingin dikunjungi.

Saat berada di toko ritel, mereka dihadapkan pada beberapa aktivitas. Dimulai dari mengitari rak demi rak untuk menemukan barang yang bisa dibeli. Di proses ini ada beberapa inovasi yang mungkin bisa dikembangkan, seperti aplikasi store mapping atau sesederhana aplikasi informasi produk – pengguna dapat melakukan scan ke kode yang tertera pada suatu produk untuk melihat berbagai informasi, mulai dari harga, kandungan, hingga proses distribusi (akan berpengaruh pada produk segar seperti sayuran). Dilanjutkan proses pembayaran dan klaim diskon jika sedang ada promo yang diikuti.

new_retail_3

Setelah pulang pun masih ada beberapa pengalaman yang bisa disuguhkan. Contohnya memungkinkan pengguna untuk mendapatkan poin dari program loyalty yang dijalankan atau pengguna dapat memberikan testimoni terhadap barang tertentu. Aspek yang paling penting adalah memudahkan pengguna  mengelola catatan belanja mereka dan membantu melakukan analisis pengeluaran. Di tahap ini, beberapa startup lokal sudah mencoba menghadirkan inovasi, salah satunya Pomona, memungkinkan pengguna mendapatkan poin dengan cara melakukan scan struk belanja.

Industri ritel akan bertahan

Sebuah penelitian mengemukakan pengalaman berbelanja langsung masih akan relevan di tengah perkembangan layanan e-commerce atau online grocery. Ada empat dimensi yang dipertahankan, meliputi sensoris, emosional, psikososial, dan kesan/makna.

Dimensi sensoris terkait pengalaman yang mengacu pada rangsangan bentuk, warna, sentuhan, dan lain-lain. Sementara dimensi emosional terkait pengalaman menggunakan emosi untuk menghasilkan kesukaan terhadap merek atau produk. Dimensi psikososial adalah keinginan orang untuk memanjakan diri seperti jalan-jalan sambil berbelanja. Sementara dimensi kesan/makna terkait dengan pengalaman dalam melakukan aktivitas itu sendiri.

Yang layak menjadi prioritas saat ini oleh peritel adalah bagaimana meningkatkan faktor-faktor tersebut di atas melalui ponsel yang selalu digenggam tiap konsumen. Ini dilakukan sambil mencari inovasi untuk menghadirkan pengalaman baru yang lebih berkesan, yang tujuannya untuk meningkatkan penjualan/kunjungan itu sendiri. Melakukan transformasi digital adalah jawabannya. Membentuk sinergi dengan startup digital jadi satu opsi yang dapat dipilih.


Gambar Header: Depositphotos.com