Tekad Aspire Permudah Perusahaan Kelola Keuangan

Bukan rahasia umum bahwa perusahaan masih dihadapkan pada tantangan pengelolaan keuangan yang menjelimet, seperti akses terbatas pada kartu kredit korporat dan prosedur keuangan yang tidak efisien. Tak heran, dibutuhkan solusi tepat guna agar literasi keuangan di ranah perusahaan juga tidak kalah bertumbuh dari masyarakat pada umumnya.

Berbasis di Singapura, startup fintech Aspire berupaya menyelesaikan tantangan tersebut melalui software finansial untuk mempermudah perusahaan mengatur keuangan operasional bisnis. Solusinya all-in-one mencakup virtual business account, spend management, corporate card, receivable dan payable management, transfer uang lokal dan internasional, dan yang teranyar payment gateway.

“Ada tiga isu yang ingin kita selesaikan untuk bantu tim finance. Orang finance itu paling takut kalau tidak punya kontrol, visibilitas terhadap cash flow-nya, dan enggak bisa atur cash flow dengan baik. Kita berikan software untuk selesaikan tiga isu tersebut yang bisa diakses secara real time,” terang General Manager Aspire Indonesia Ferdy Nandes kepada DailySocial.id.

Masing-masing produk di atas menyelesaikan berbagai permasalahan yang sering dihadapi tim keuangan setiap bulannya, terutama saat tutup buku. Dicontohkan, spend management yang menjadi produk flagship perusahaan memungkinkan tim finance dapat melakukan budgeting untuk alat kontrol setiap pengeluaran, entah untuk belanja iklan digital, proyek, dan sebagainya.

Ketika budget iklan sudah capai makan biaya hingga 80%, maka akan muncul notifikasi yang dikirimkan ke budget owner. “Kalau untuk proyek-proyek, nanti setiap pemasukan dan pengeluaran bisa di-tag ke budget owner. Dengan dua klik, bisa tahu pemasukan dan pengeluaran untuk proyek yang mana saja, sehingga proses rekonsiliasinya lebih mudah.”

Kemudian, untuk produk virtual corporate card bisa membantu tim finance untuk membayar operasional perusahaan, entah untuk budget marketing, listrik, klaim, dan sebagainya. Berbeda dengan kartu kredit pada umumnya karena bank statement baru terbit setiap akhir bulan, kartu ini dapat dilacak secara real time penggunaannya.

Produk lainnya yang banyak digunakan adalah receivable dan payable management. Ini merupakan invoice yang terhubung dengan sistem Aspire, sehingga ketika klien membayarkan tagihannya dapat terlacak secara otomatis. Bahkan ketika klien tersebut memakai software akuntansi Xero, Netsuite, Quickboo, MYOB, dapat secara otomatis menautkan pengeluaran dan terintegrasi dengan Aspire, sehingga klien akan selalu memiliki data akuntansi yang akurat dan terorganisir dengan baik.

“Kita juga punya produk cross border payment. Ini banyak dipakai startup saat mereka dapat pendanaan dari investornya di luar negeri. Dalam 3-5 hari mereka bisa punya USD account, lalu begitu funding-nya masuk bisa di-convert [kurs Rupiah] sesuai kebutuhannya.”

Visibility-nya jelas, kontrol jelas, dan bisa tracking real time. Kartu ini juga bisa untuk bayar klaim ke karyawan. Budget owner dapat memantau langsung lewat aplikasi dan bisa diatur otoritasnya sebagai approval akhir atau bisa sekalian untuk bayar klaimnya. Semua tergantung kebijakan masing-masing perusahaan [pengaturan otoritas].”

General Manager Aspire Indonesia Ferdy Nandes / Aspire

Ferdy menuturkan, perusahaan menganut prinsip consumer-centric, artinya ada personalisasi untuk setiap negara di mana mereka beroperasi. Maka dari itu, ada kustomisasi dari setiap produk yang dibawa dari Singapura ke negara lain. Singapura contohnya, aturan di sana memperbolehkan suatu perusahaan untuk langsung bekerja sama dengan jaringan pembayaran global Visa dan Mastercard dalam menerbitkan kartu debit/kredit korporat.

“Tapi di Indonesia, untuk menerbitkan kartu kredit korporat aturannya harus melalui bank. Saat ini kami sudah bekerja sama dengan Bank CIMB Niaga untuk corporate virtual card. Produknya sama tapi pendekatannya beda, jadi kami selalu mengikuti aturan yang berlaku di tiap negara.”

Ekspansi produk

Cakupan bisnis Aspire tak hanya di Singapura saja, tapi sudah masuk ke Indonesia setahun setelah pertama kali berdiri pada 2018. Tak hanya itu, negara Asia lainnya juga telah dirambah, seperti Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Hong Kong yang baru diresmikan pada dua bulan lalu. Total karyawan Aspire di regional mencapai 500 orang, 118 orang di antaranya adalah karyawan di Indonesia, 200 karyawan di Singapura, 100 karyawan engineer khusus di India, dan sisanya tersebar di negara lain.

“Berdasarkan kontribusi revenue, Indonesia menempati posisi kedua setelah Singapura. Timnya juga terbanyak kedua, ini menandakan bahwa kami sangat serius menggarap pasar ini sejak 18 bulan belakang.”

Penunjukkan Ferdy sebagai General Manager sejak 10 bulan lalu memperlihatkan keseriusan Aspire untuk menggarap pangsa pasar di negara ini. Sebelum bergabung, Ferdy memiliki pengalaman di berbagai perusahaan teknologi global di antaranya LinkedIn, Skyscanner, Google, Apple, Facebook, hingga Xero.

Para pengguna Aspire, sekitar 35% berasal dari startup dan sisanya UMKM. Para startup ini datang dari berbagai vertikal bisnis: e-commerce, fintech, ritel, hingga food and beverages (F&B). Nama-nama perusahaannya, seperti Schoters, eFishery, Brick, Ayoconnect, Pinhome, Base dan Haus!.

Dalam rangka mengembangkan solusi bisnis dan menjangkau lebih banyak perusahaan dari skala bisnis menengah hingga ke atas, Aspire baru-baru ini menghadirkan layanan gerbang pembayaran (payment gateway). “Dengan payment gateway ini, solusi Aspire sudah dari hulu ke hilir, mulai dari atur keuangan sampai terima uang dari end-consumer.”

Tak hanya itu perusahaan sedang mempelajari kebutuhan bagi perusahaan dengan skala bisnis yang lebih tinggi, mengingat solusi yang dibutuhkan lebih kompleks karena karyawan berjumlah ribuan. “Kalau karyawannya ada 1000-2000 untuk klaim saja pasti lebih panjang proses approval-nya, jadi butuh kostumisasi. Ini yang sedang kita pelajari agar lebih mengerti sebab kami ini consumer centric.”

Model bisnis yang digunakan Aspire adalah berlangganan. Namun pengguna dapat menyesuaikan berlangganannya fleksibel sesuai produk yang mereka pakai. Menurut Ferdy, dengan cara ini mampu membawa perusahaan mencapai posisi profit sejak Mei 2023. Keuntungan diraih setelah Aspire berhasil menggandakan pendapatan sebanyak tiga kali lipat dalam setahun belakangan. Aspire juga mengeklaim total volume pemrosesan dana dalam setahun terakhir mencapai sebesar $15 miliar.

“Karena meski kami Saas, kita selalu melihat apa yang jadi kebutuhan konsumer, lalu bisa costumize [pembayarannya] sesuai kebutuhan dan purchasing power mereka. kita berusaha fleksibel dan berusaha klien pakai software ini karena setelah pricing, kunci terpenting berikutnya apakah mereka benar-benar butuh atau tidak.”

Pencapaian tersebut membuat perusahaan percaya diri untuk mereplikasi kesuksesannya ke negara Asia lainnya. Meski tidak bisa dirinci lebih lanjut, perusahaan berencana untuk ekspansi sepanjang tahun ini. Negara terakhir yang dirambah adalah Hong Kong pada dua bulan lalu.

Selain fokus mengembangkan bisnis, perusahaan juga fokus mengedukasi para penggunanya di lapangan. Menurut Ferdy, pihaknya banyak menemukan bahwa literasi digital bagi perusahaan itu tidak berjalan sekencang dibandingkan level masyarakat akhir. Padahal perusahaan juga diisi oleh manusia yang sama dan juga terpapar dengan perkembangan teknologi terbaru.

“Ini enggak terjadi di Aspire saja, tapi di startup pada umumnya juga. Supaya kita enggak tertinggal dengan negara lain, adaptasi perusahaan juga harus lebih cepat. Ini unik bagaimana kita bisa berbenah. Banyak SDM kita yang kurang ulet untuk belajar hal baru, padahal potensi kita besar,” pungkas Ferdy.

Application Information Will Show Up Here

Perjalanan Olsera Menuju “Superapp” untuk UMKM

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memegang peranan penting dalam memajukan perekonomian negara. Pandemi yang terjadi tahun 2020 sempat menghantam sektor ini. Namun di sisi lain turut mendorong digitalisasi di dalamnya. Berdasarkan data yang dihimpun MSME Empowerment Report 2022, terdapat 83,8% pelaku UMKM yang melakukan digitalisasi atau memanfaatkan teknologi untuk mendukung operasional bisnis mereka.

Angka ini merupakan pasar yang sangat besar bagi para penyedia layanan digitalisasi UMKM, salah satunya Olsera. Berawal dari menyediakan layanan Point-of-Sales bagi UMKM, Olsera (sebelumnya OlseraPOS) kini telah berkembang menyediakan solusi end-to-end untuk bisnis di Indonesia.

Didirikan pada tahun 2015, Olsera memiliki objektif untuk menyediakan sumber daya yang dibutuhkan UMKM agar dapat berkembang dan meningkatkan produktivitas mereka.

Dalam interview eksklusif bersama DailySocial.id, Co-Founder Olsera Ali Tjin menceritakan awal mula didirikannya startup tersebut. Kala itu UMKM sudah mulai menjamur, tetapi operasional bisnisnya masih belum efisien.

“Untuk bisa mengadopsi teknologi membutuhkan dana yang tidak sedikit. Pada saat itu kita ingin mengembangkan layanan POS, tetapi alat-alatnya kebanyakan mahal.”

Meskipun begitu, perkembangan teknologi melahirkan alat-alat canggih seperti smartphone, tablet, dan lain-lain yang lebih terjangkau bagi para pebisnis. Berangkat dari situ, mereka berusaha mengembangkan teknologi yang bisa memfasilitasi manajemen bisnis dengan solusi yang lebih fleksibel dan tersedia dalam perangkat yang mereka gunakan sehari-hari.

Co-Founder & CEO Olsera Novendy Chen yang juga hadir dalam wawancara virtual ini menambahkan bahwa ketika mendirikan Olsera, timnya melihat dari sisi kebutuhan para UMKM. Semakin banyak UMKM yang semakin bertumbuh, tuntutan mereka untuk lebih produktif dan efisien juga semakin tinggi.

“Di sisi lain, kita lihat kemajuan teknologi dapat banyak membantu untuk tujuan tersebut. Namun, kebanyakan kita hanya menjadi konsumen terhadap teknologi. Ini yang menjadi inspirasi juga. Kenapa ada alat-alat canggih tetapi tidak digunakan dengan maksimal. Saat itu kita mulai dari POS,” ujarnya.

Berkembang seiring pertumbuhan mitra

Seiring pertumbuhan bisnisnya, layanan Olsera semakin berkembang menjadi manajemen bisnis all-in-one yang mendukung setiap aspek operasional. Sistem ini memungkinkan UMKM untuk merampingkan dan memaksimalkan efisiensi demi percepatan bisnisnya. Olsera juga mengungkap ambisinya untuk bisa menjadi superapp untuk UMKM Indonesia.

Layanan yang ditawarkan Olsera yang saling terintegrasi

Novendy menambahkan, “kami memiliki filosofi untuk bertumbuh bersama UMKM. Kesuksesan bisnis kita itu diukur dari seberapa banyak UMKM yang sudah kita bantu. Tanpa mereka tidak ada kami. Kata kuncinya adalah untuk melayani UMKM,”

Filosofi ini juga tertuang dalam logo Olsera yang adalah balon udara. “Kami ingin bisa membantu UMKM untuk elevate their business. Kami juga memiliki core value yang customer-centric. Apa yang kita kembangkan, itu sesuai dengan feedback mitra. Solusi yang kita telurkan juga fokus untuk mendorong para pebisnis untuk bisa lebih produktif, kompetitif, dan efisien secara waktu dan biaya. Selain itu juga lebih efektif secara pemasaran,” tambahnya.

Jika POS menjadi pintu gerbang digitalisasi UMKM, seiring pertumbuhan bisnis kebutuhan mereka pun bertambah, seperti manajemen inventori dan accounting. Olsera sendiri juga tidak ingin terpaku pada layanan POS.

Ketika pandemi melanda, banyak bisnis yang terpaksa harus menutup toko dan mulai membuka pemesanan online. Atas kondisi tersebut, Olsera menghadirkan solusi omnichannel.

Beberapa fitur utama yang ditawarkan meliputi manajemen inventori dan rantai pasok, solusi pemasaran, manajemen karyawan, toko online, solusi  omnichannel, serta program loyalitas. Selain itu Olsera juga terus menambah metode pembayaran di platformnya. Saat ini sudah ada 11 metode pembayaran, termasuk ShopeePay, OVO, DANA, GOPAY, DOKU, Akulaku, Kredivo, dan lainnya.

Untuk segmentasi pasar yang disasar, Olsera mengaku melihat masing-masing bisnis memiliki unique operational-nya sendiri. Meskipun kebanyakan merchant datang dari ritel dan F&B, mereka mengaku beruntung mampu mengembangkan layanan yang cukup fleksibel dan bisa tap-in di bisnis yang sifatnya layanan atau produk. Belum lama ini, perusahaan juga sudah masuk ke ranah korporasi.

Merchant Olsera datang dari beragam lini bisnis seperti F&B, ritel, wellness, fesyen & kecantikan, layanan (barbershop dan laundry), dan lainnya. Untuk klien korporasi yang sudah bekerja sama, termasuk TMII (Taman Mini Indonesia Indah), Grup Ciputra, dan Martha Tillaar. Untuk ticketing, Olsera telah bekerja sama dengan PRSU (Pekan Raya Sumatra Utara).

“Jadi segmentasi kita ini sekarang sudah semakin luas dan itu menjadi integrated, beberapa brand ternama maupun korporasi yang memiliki sebuah kawasan, di dalamnya ada ritel, usaha layanan, hospitality, kita bisa digitalisasi secara bersamaan dalam menggunakan ekosistem kita,” tambah Novendy.

Terkait monetisasi, Olsera menawarkan model bisnis subscription dalam 3 tier, yaitu Basic (Rp158 ribu/bulan), Premium (Rp248 ribu/bulan), dan Pro (Rp328 ribu/bulan). Dalam beberapa kasus khusus, Olsera juga mengambil fee/transaksi. Hingga saat ini, perusahaan mengklaim telah berhasil memproses transaksi sebanyak Rp2,5 triliun per bulannya.

Pada awal pengembangannya, bisnis Olsera berbasis di Batam. Setelah beberapa bulan beroperasi, timnya melihat bahwa permintaan dari luar Batam semakin banyak. Di tahun ke-2 beroperasi, layanan ini sudah memiliki representatif di beberapa kota besar di Pulau Jawa, seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya.

“Batam, layaknya kota-kota lain, terus berkembang dari sisi teknologi. Begitu pula adopsi teknologi yang semakin tinggi. Namun, pada saat itu, permintaan lebih tinggi datang dari Jabodetabek. Selain itu, kita juga ingin menjangkau area yang sudah siap dan memiliki kesadaran atau awareness terhadap pemakaian teknologi serupa di hal yang lebih produktif. Hingga saat ini, kita sudah hadir di 500 kota di Indonesia.” ungkap Novendy.

Presentase kategori merchant yang memanfaatkan layanan Olsera

Eskalasi bisnis jadi fokus selanjutnya

Ketidakpastian kondisi ekonomi ketika pandemi yang masih berlanjut hingga saat ini telah memicu kesadaran akan pentingnya membangun fundamental yang kuat dalam berbisnis. Olsera sendiri mengaku sudah menyadari hal ini sebelum mereka memulai bisnis.

“Sejak 2015 kita cukup efisien dalam operasional bisnis. Di 6 bulan pertama kita masih bleeding. Namun, untungnya tim tetap solid. Masuk bulan ke-7 kita sudah bisa mencatatkan laporan keuangan yang positif. Hal ini membuat kami merasa cukup dengan cash flow yang ada hingga Covid-19 melanda Indonesia.”

Novendy mengaku bahwa ketika itu timnya tidak tahu kondisi tersebut akan berjalan berapa lama. Secara eksternal, mereka coba menghadapi isu ini dengan memberi kelonggaran kepada merchant yang usahanya terpaksa tutup di masa lockdown. Olsera juga meluncurkan layanan baru seperti dine-in dan takeaway untuk membantu merchant F&B tetap bisa berjualan.

Secara internal, tentunya kita tidak lepas dari potensi efisiensi, tetapi manajemen berusaha untuk tidak menempuh jalur itu. Secara penjualan, perusahaan menyadari bahwa tidak banyak yang bisa dilakukan. Maka dari itu, mereka fokus in-touch untuk memelihara kepuasan dan kesetiaan merchant. Di sisi lain juga mengembangkan layanan baru untuk tetap optimistis.

“Saat itu, kita mulai memikirkan pendanaan eksternal. Kami mulai menjajaki potensi pendanaan dengan investor. Hingga pada Januari 2022, kita putuskan untuk menerima pendanaan dari Kejora Capital. Sampai saat ini, mereka jadi investor satu-satunya di Olsera,” jelas Novendy.

Post-funding, Olsera mulai eksplor ide-ide baru. “Ada yang berhasil, ada yang tidak. Kita fokus pada yang berhasil. Nafas kami di Olsera adalah when we do the business, we want to do it right. Sebelum sustainability startup jadi isu, kita sudah punya path to profitability. Jadi di tahun ke 2 ini, kita sudah kembali ke jalur menuju profit. Next quarter kita akan kembali mencatatkan profit,” tegasnya.

Perusahaan juga mengaku akan segera merencanakan pendanaan selanjutnya. Namun, Novendy mengungkapkan bahwa objektifnya akan berbeda dari yang sebelumnya.

Our next fundraising goal bukan bicara untuk menutup operasional. It’s not only about the cash, tapi untuk scale-up our business. The future fundraise will be purely to speed up our roadmap development dan akselerasi akuisisi selanjutnya, bukan karena kondisi kita bleeding. Sehingga kita bisa berfokus pada hal yang kreatif dan produktif, bukan sibuk memadamkan api,” pungkasnya.

Untuk target ke depannya, Olsera, melalui data-data yang mereka punya, juga ingin membantu influence dan memberi insights bagi para merchant supaya bisa lebih berkembang. “Kita akan lebih fokus untuk utilize the data. Kita juga akan masuk ke ranah machine learning dan AI namun tetap sejalan dengan kebutuhan merchant kita. Kita akan tetap fokus pada core business,” tambah Ali.

“Di samping itu, the next big thing yang kita akan lakukan adalah membawa pelanggan baru bagi para merchant, termasuk menjembatani mereka dengan merek/korporasi yang memiliki satu kesamaan visi/misi supaya bisnis UMKM bisa tumbuh lebih baik lagi. Secara roadmap kembali ke how we are going to improve efisiensi dan produktivitas dari mitra,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

D3 Labs Hadirkan Infrastruktur Finansial Berbasis Blockchain untuk B2B

Konsep programmable money yang diaktifkan teknologi blockchain memiliki potensi untuk merevolusi cara transaksi, investasi, dan pengelolaan keuangan di Indonesia. Teknologi ini memungkinkan automasi proses keuangan, mengurangi friksi, dan meningkatkan efisiensi.

Melihat peluang tersebut, D3 Labs hadir untuk menyediakan solusi dan infrastruktur teknologi guna merealisasikan konsep tersebut. Kepada DailySocial.id, Co-CEO D3 Lab Chung Ying dan Tigran Adiwirya menyampaikan rencana startup mereka dalam mengakuisisi lebih banyak klien dan niat mereka untuk melakukan ekspansi.

Targetkan korporasi hingga industri gaming

Indonesia saat ini sedang mengalami transformasi teknologi yang bisa mengubah lanskap keuangan secara keseluruhan. Programmable money berteknologi blockchain menawarkan potensi untuk meningkatkan inklusi keuangan, menyederhanakan transaksi, dan menciptakan peluang investasi inovatif.

Meskipun secara teknis dan pengalaman platform asal Amerika Serikat seperti Paxos hingga Circle menawarkan teknologi tersebut, namun masih terkendala dengan biaya yang sangat mahal, mata uang yang fokus kepada dolar dan perihal lainnya.

D3 Labs ingin menghadirkan solusi serupa namun dengan biaya yang jauh lebih terjangkau, fokus kepada rupiah dan sistem keamanan sesuai regulasi yang berlaku. Pengalaman bekerja para pendirinya yang sudah familiar dengan para regulator sebelumnya di Tokocrypto turut dijadikan proposisi nilai.

“Pada dasarnya ide ini datang dari we’re taking a bet melalui infrastruktur token-based/blockchain-based dibandingkan dengan infrastruktur The Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunications (SWIFT). Karena saat ini sebagian besar pihak terkait masih mengandalkan SWIFT yang terbilang besar biayanya, kita coba menghadirkan infrastruktur berbeda berangkat dari kondisi tersebut,” kata Tigran.

Dalam menggali peluang bisnis, D3 Labs menargetkan segmen B2B, mulai dari korporasi, grup konglomerasi, perusahaan logistik, industri gaming, dan lain-lain. Dari sisi layanan, D3 Labs juga mencoba untuk menghadirkan layanan yang hands on, artinya siap membantu klien mereka kapan saja dan di mana saja. Konsep tersebut yang membedakan D3 Labs dengan pemain asing lainnya.

“Untuk tahap sekarang kita sebagai penyedia infrastruktur. Jika saat ini perusahaan misalnya ingin melakukan pemindahan uang melalui existing payment gateway atau infrastruktur lainnya, kita ingin menghadirkan infrastruktur melalui blockchain-based,” kata Tigran.

Produk unggulan D3Labs yang sudah dikenalkan ke publik adalah SeaSeed. SeaSeed, memungkinkan transaksi otomatis 24/7 secara real-time antara perusahaan dan ekosistem terkait lainnya, meningkatkan proses penyelesaian dan rekonsiliasi. Programmable money dapat mengurangi biaya ini dengan menghilangkan perantara dan memungkinkan transaksi peer-to-peer.

Gambaran dasbor SeaSeed dari D3 Labs

Saat ini D3 Labs juga telah bermitra dengan perbankan swasta sebagai kustodian. Bank yang telah menjalin kemitraan adalah DBS dan investor strategis mereka UOB.

Tahun ini perusahaan juga telah melancarkan inisiatif dengan Bank Indonesia (BI) bernama “Proyek Garuda”. Inisiatif ini diluncurkan untuk pengembangan Rupiah Digital. Bank Indonesia pun telah mengundang masukan atau pandangan kepada seluruh stakeholder terkait terhadap Consultative Paper (CP) untuk menyempurnakan desain pengembangan Rupiah Digital.

Dalam Consultative Paper juga membahas dampak dari penerbitan Rupiah Digital pada sistem pembayaran, stabilitas keuangan dan moneter. D3 Labs bersama dengan Asosiasi Blockchain Indonesia (A-B-I) bersinergi untuk memberikan dorongan dalam pengembangan tahap pertama Rupiah Digital.

Rencana ekspansi ke Singapura tahun depan

Meskipun baru meluncur awal tahun ini, namun perusahaan telah memberikan layanan kepada dua perusahaan dan sedang melalui proses dengan beberapa klien baru lainnya.

Bulan April 2023 lalu D3 Labs juga telah mengantongi pendanaan pra-awal dengan nominal dirahasiakan dari sejumlah investor, di antaranya Saison Capital, Kinesys Capital, Arkana Capital, EX Capital, Qredo, DS/X Ventures, serta UOB Venture Management dan Signum Capital melalui UVM Signum Blockchain Fund.

Disinggung apa rencana perusahaan hingga akhir tahun ini, Chung Ying menegaskan perusahaan masih ingin menambah jumlah klien mereka. Tahun depan jika sesuai rencana, D3 Labs juga ingin melakukan ekspansi ke Singapura. Masih dalam tahap penjajakan, rencana ekspansi lainnya yang bakal dilakukan oleh D3 Labs adalah Korea Selatan dan Australia.

“Kami ingin melakukan ekspansi di negara yang sering melakukan bisnis di Indonesia dan memiliki hubungan yang dekat dengan Indonesia. Singapura kami pilih karena sudah sangat familiar dengan bisnis di sana,” kata Chung Ying.

Meskipun saat ini mulai banyak fokus investor bergeser kepada profitabilitas, namun menurut Chung Ying penting juga bagi startup untuk mendapatkan growth yang seimbang. Untuk bisa menjaga runway yang ada, perusahaan berupaya untuk fokus kepada sustainable growth dan tidak melakukan kegiatan bakar uang yang berlebihan.

“Buat saya penting untuk bisa fokus kepada growth, namun demikian menurut saya jika tidak ada growth bagaimana bisa mendapatkan profit yang decent. Bukan berarti tidak adanya growth maka profitability tidak bisa tercapai, namun yang ideal adalah bisa menggabungkan keduanya,” kata Chung Ying.

Untuk bisa melakukan scale-up, ke depannya mereka berharap bisa mempercepat proses yang ada saat ini. Jika pada umumnya dibutuhkan waktu sekitar satu minggu untuk implementasi proses, nantinya jika perusahaan makin berkembang, diharapkan proses tersebut bisa berjalan lebih cepat lagi. Selain itu industri yang disasar juga ke depannya bisa lebih bervariasi.

“Saat ini menjadi waktu yang tepat bagi kami untuk masuk menawarkan teknologi ini. Dilihat dari sudah banyaknya enterprise di Indonesia yang mencoba teknologi blockchain, dan saat ini sudah ada blockchain expert, menjadi waktu yang tepat bagi kami untuk hadir,” kata Chung Ying.

Disclosure: DS/X Ventures merupakan bagian dari grup DailySocial.id

Teknologi Kartu Indonesia Sajikan Layanan Digitalisasi Sekolah

Berdiri sejak tahun 2019, Teknologi Kartu Indonesia (TKI) menjadi startup yang fokus memberikan solusi digitalisasi di sektor pendidikan. Startup yang berbasis di Salatiga ini merupakan hasil pivot dari bisnis sebelumnya yang didirikan pada 2018 bernama SekolahPintar.

Kini TKI fokus pada layanan digitalisasi sekolah melalui Platform Sekolah Pintar. Fitur yang dihadirkan mencakup Kartu Pelajar Pintar (untuk transaksi pembayaran), Tagihan Digital, Absensi Wajah, dan PPDB Online (pendaftaran siswa baru). Tidak hanya untuk sekolah formal, TKI juga menargetkan layanannya bisa digunakan di kalangan pesantren.

TKI sekarang sudah digunakan lebih dari 1000 instansi dengan lebih dari 300 ribu pengguna. Rata-rata per hari ada sekitar 500 ribu lebih transaksi. Dengan model bisnis yang solid, perusahaan juga mengaku telah mencapai titik profitabilitas. TKI juga didukung oleh CTO Yudi Kurniawan, COO Wuntat Wiranto dan CMO Agung Putro.

Kepada DailySocial.id, Founder & CEO TKI Arif Arinto menyampaikan rencana perusahaan untuk memperluas area layanan di 22 kota lainnya, setelah sebelumnya berhasil melakukan penetrasi produk di 34 provinsi.

Rencana penggalangan dana

Sejak awal, TKI menjalankan bisnis dalam mode bootstrapping dan belum pernah melakukan penggalangan dana. Perusahaan mengklaim telah tumbuh secara organik dengan dukungan sekitar 100 karyawan. Namun demikian untuk mempercepat pertumbuhan bisnis, tahun ini TKI berencana untuk melakukan penggalangan dana.

Fundraising menjadi plan B kami, kebutuhan dana tersebut untuk membuka support office di 22 kota di Indonesia, sehingga penjualan dan support kami menjadi lebih maksimal di berbagai provinsi. Tanpa fundraising, kami juga berfokus memperbanyak support office secara bertahap,” kata Arif.

Chart pertumbuhan transaksi TKI / TKI

Alasan utama TKI dibangun berawal dari rasa kekhawatiran pendirinya terkait kebiasaan atau perilaku anak-anak saat melakukan pembelian jajanan di sekolah. Uang tunai yang kemudian diberikan oleh orang tua, kebanyakan dibelikan makanan yang tidak sehat, akhirnya anak sering sakit karena hal tersebut.

Muncul ide, bagaimana jika jajan anak menggunakan kartu yang terhubung dan bisa diatur melalui aplikasi orang tua, sehingga anak hanya bisa membelanjakan uang sakunya ke kantin yang sudah bekerja sama dengan sekolah dan memiliki standard kantin sehat yang baik.

“Kami memiliki dua solusi utama, yaitu kartu pelajar multifungsi dan sistem pembayaran Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). Target institusi pendidikan yang kami sasar di antaranya adalah pondok pesantren, sekolah swasta, dan sekolah negeri,” kata Arif.

Secara khusus TKI menghadirkan sistem transaksi atau pembayaran yang bersifat closed loop. Dana dari orang tua tersimpan dan dikelola di rekening sekolah. Sekolah kemudian dapat membuka rekening di bank, dan mendaftarkan layanan Virtual Account (VA) untuk top up atau isi saldo yang akan digunakan untuk transaksi anak dan berbagai pembayaran lainnya.

Perluas kemitraan dengan perbankan

Saat ini, produk yang dihadirkan oleh TKI telah digunakan hampir di semua provinsi di Indonesia. TKI juga telah menjalin kemitraan strategis dengan 10 bank mitra untuk menjual produk dan solusi. Di antaranya adalah BSI, BNI, BRI, Danamon, BTN Syariah, Muamalat, Bank DKI, Bank Jabar Syariah, Bank Jatim Syariah, dan NTB Syariah.

“Kami fokus ke sistem pembayaran digital hingga e-money untuk anak di bawah 17 tahun yang belum bisa melakukan Know Your Customer (KYC). Mimpi kami bisa menghadirkan solusi e-money for kids seperti platform Greenlight di US dan GoHenry di UK,” kata Arif.

Strategi monetisasi yang dilancarkan adalah dengan menerapkan biaya, yakni biaya pendaftaran sebesar Rp10.000 per siswa baru dan biaya pembelian kartu Rp20.000 per kartu RFID/NFC yang sudah dicetak sebagai kartu pelajar juga. TKI juga mendapatkan fee dari biaya top up VA

“Selama ini uang titipan tersebut dicatat secara manual dan sangat merepotkan, terlebih untuk pesantren dengan santri yang banyak. Solusi kami termasuk closed loop yang bisa berjalan tanpa izin dari BI, sesuai dengan aturan PBI, e-money closed loop dengan floating fund di bawah Rp 1 miliar bisa berjalan tanpa izin terlebih dulu,” kata Arif.

Fokus Chope Indonesia dalam Mendigitalkan Bisnis Restoran

Pandemi telah membawa tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi industri restoran, mengubah cara orang makan di luar dan berinteraksi dengan tempat makan. Di Indonesia, negara yang terkenal dengan budaya kuliner, dampak pandemi terhadap reservasi restoran sangatlah besar. Dengan penurunan jumlah orang yang melakukan dining out atau makan di luar.

Salah satu platform yang ingin membawa kembali kenikmatan makan di luar sekaligus membantu industri F&B untuk mengadopsi teknologi adalah Chope. Berbasis di Singapura, Chope Indonesia mengklaim saat ini telah mengalami pertumbuhan positif dari sisi jumlah mitra restoran hingga pengguna aktif. Kepada DailySocial.id, General Manager Chope Indonesia Karthik Shetty mengungkapkan rencana bisnisnya ke depan.

Dukungan teknologi untuk industri F&B

Chope telah mengembangkan bisnis mereka di Indonesia sejak tahun 2018 lalu. Namun karena masih perlunya memahami pasar yang cukup unik, akselerasi bisnisnya relatif pelan. Perusahaan masih fokus kepada dua pasar utama mereka, yaitu Jakarta dan Bali.

Kini Chope Indonesia memiliki 1800 lebih mitra restoran untuk reservasi online dan deals serta sekitar 120 ribu pengguna aktif. Chope Indonesia juga memiliki rencana untuk melakukan ekspansi ke kota-kota besar lainnya seperti Bandung, Medan, Surabaya, dan Yogyakarta.

Core value proposition yang kami hadirkan adalah memungkinkan pelanggan untuk menemukan restoran, dapat melakukan reservasi secara online, dan memungkin mereka untuk melakukan pembelian deals di restoran yang berbeda,” kata Karthik.

Sebelumnya ada sejumlah platform serupa yang telah beroperasi di Indonesia. Zomato dari India adalah salah satunya, namun memutuskan untuk menutup bisnis mereka di Indonesia. Pemain lokal pun ada yang turut andil di sini, termasuk PergiKuliner.

Sementara Qraved yang awalnya fokus kepada reservasi restoran online, kini hanya bermain di ranah listing saja dan memosisikan platform mereka sebagai aplikasi gaya hidup.

Model bisnis

Terdapat beberapa model bisnis yang diaplikasikan Chope kepada mitra restoran mereka. Untuk sistem reservasi Chope memiliki dua opsi, yang pertama adalah online reservation dan yang kedua adalah table management system. Untuk kedua produk tersebut perusahaan kenakan biaya berlangganan per bulan kepada restoran.

Kemudian untuk setiap online reservation yang dilakukan dari semua platform Chope, mereka mengenakan commission fee dari setiap pelanggan yang datang ke restoran. Namun jika pelanggan melakukan reservasi langsung ke website atau media sosial restoran, Chope tidak mengenakan biaya kepada mereka.

Model bisnis perusahaan lainnya adalah melalui penjualan deals. Yaitu setiap ada pelanggan yang membeli deals di platform Chope, akan dikenakan biaya, serupa dengan yang dilancarkan oleh layanan e-commerce kepada mitra merchant mereka.

Revenue terakhir yang didapatkan oleh Chope kepada restoran adalah melalui Paid Marketing Services. Meskipun Chope menawarkan layanan tersebut secara gratis, namun bagi restoran yang ingin melakukan kegiatan pemasaran atau promosi lebih, Chope akan mengenakan biaya untuk layanan tersebut.

“Awalnya restoran yang kami targetkan adalah kelas premium. Namun seiring berjalannya waktu, kami mulai menargetkan restoran kelas menengah. Bagi restoran yang saat ini masuk dalam kategori belum terlalu ideal untuk reservasi online, kami tawarkan layanan untuk kegiatan pemasaran, penjualan deals di platform kami seperti voucher dan lainnya. Restoran skala kecil bisa menjual penawaran tersebut di Chope,” kata Karthik.

Tawarkan layanan data

Chope menawarkan data analytics kepada mitra restoran mereka. Perusahaan juga mencatat sebanyak 70% reservasi restoran paling banyak dilakukan di aplikasi Chope dan sisanya di mobile browser hingga desktop.

“Kami melakukan kegiatan kampanye dan pemasaran untuk semua mitra restoran. Dari kegiatan pemasaran tersebut, kami menunjukkan konversi kepada restoran berdasarkan pemesanan online. Setelah itu kami juga menyediakan analisis data yang bisa membantu restoran untuk menyasar pelanggan yang tepat dan melancarkan kegiatan pemasaran.” kata Karthik.

Hal tersebut yang kemudian diklaim oleh Chope yang membedakan platform mereka dengan platform lainnya. Konsep end-to-end ini menjadi solusi yang Chope coba hadirkan, agar bisa membantu restoran untuk mendapatkan keuntungan lebih.

Saat ini Chope Indonesia sudah memiliki sekitar 52 orang tim. Terdiri dari tim lokal dan tim pendukung dari Singapura. Meskipun masih enggan untuk memberikan informasi lebih lanjut kapan ekspansi kota lainnya akan dilakukan, namun Chope Indonesia berharap bisa mengakuisisi lebih banyak mitra hingga lebih dari 2000 restoran.

“Untuk Indonesia target kami akhir tahun ingin meningkatkan revenue dengan harapannya tahun depan bisa melakukan ekspansi ke kota baru yang merupakan bagian dari rencana bisnis perusahaan. Dari sisi teknologi juga kami terus kembangkan mulai dari peluncuran fitur dan produk lainnya yang bisa berguna untuk restoran,” kata Karthik.

Application Information Will Show Up Here

Jangjo Hadirkan Solusi Pengelolaan Limbah Sektor B2B

Menurut Bank Dunia, Indonesia menghasilkan lebih dari 65 juta ton limbah setiap tahunnya, namun hanya sekitar 10-15% yang dikelola dengan benar. Laporan tersebut juga menegaskan sektor bisnis/industrial berkontribusi secara signifikan pada aliran sampah ini, menghasilkan berbagai bentuk limbah, termasuk bahan kemasan, produk sampingan industri, dan limbah elektronik.

Salah satu platform yang kemudian mencoba menghadirkan solusi kepada sektor B2B dalam pengelolaan limbah adalah Jangjo. Saat ini klien mereka termasuk pengelola pusat perbelanjaan, perkantoran, area rekreasi, hingga perumahan.

Kepada DailySocial.id, CEO Jangjo Joe Hansen, mengungkapkan rencana perusahaan ke depannya.

Fokus kepada sektor B2B

Setelah menerima pendanaan awal dari Darmawan Capital, Jangjo ingin menciptakan solusi pengelolaan sampah berkelanjutan dengan konsep ekonomi sirkular demi menghubungkan para stakeholder. Stakeholder yang dimaksud melingkup penghasil sampah (masyarakat), pengangkut sampah (operator), tempat singgah sampah sementara (hub), dan pengelolaan sampah (industri).

Jangjo juga ingin memodernisasi proses pengelolaan sampah dengan mendorong kolaborasi stakeholder melalui teknologi sehingga memberikan keuntungan secara ekonomi maupun dampak ke lingkungan.

Tercatat saat ini perusahaan yang telah bermitra dengan Jangjo di antaranya adalah Plaza Indonesia, Mall of Indonesia, Grand Hyatt, Ashta, PIK Avenue, dan lainnya.

“Jangjo pada dasarnya ingin menyelesaikan sampah secara menyeluruh. Namun sumber sampah terbanyak ternyata ada pada B2B, yaitu mall, hotel, office, dibanding perumahan. Dengan ini kami melihat impact yang kami berikan bisa lebih besar dan pengukuran pun dapat kami lakukan dengan lebih efektif,” kata Joe.

Mengklaim sebagai platform waste management yang menerapkan proses secara end-to-end, Jangjo hingga kini masih terus melakukan edukasi, penjemputan, sampai strategi pengurangan sampah ke landfill. Jangjo berkomitmen untuk melakukan zero waste, sehingga perusahaan menggunakan strategi pengurangan sampah yang komprehensif, seperti penggunaan maggot untuk sisa makanan, serta melakukan pemilahan hingga 60 jenis material untuk didaur ulang oleh para mitra.

“Ada dua poin penting untuk memperluas layanan kami, yaitu melalui kolaborasi dan inovasi. Hal yang akan kami lakukan yaitu berkolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah dan masyarakat. Karena dengan hal ini kami percaya, permasalahan sampah bisa diselesaikan bersama,” kata Joe.

Hal lain yang juga menjadi fokus dari Jangjo adalah dengan mengedepankan berbagai inovasi, baik dalam mengedukasi masyarakat, mau pun dari sisi teknologi sesuai dengan kebutuhan pengolahan sampah modern.

Strategi monetisasi yang dilancarkan oleh Jangjo saat ini adalah cukup sederhana, yaitu dengan tipping fee dan pemanfaat value dari material yang mereka terima.

Pengelolaan sampah berkelanjutan

Indonesia saat ini sedang menghadapi krisis pengelolaan limbah yang signifikan. Ditandai dengan infrastruktur yang kurang memadai, inisiatif daur ulang yang terbatas, dan pertumbuhan penduduk yang cepat.

Meskipun Indonesia telah menetapkan regulasi terkait pengelolaan limbah, penegakan dan implementasi regulasi ini tetap tidak konsisten. Regulasi yang lebih jelas dan ketat untuk pembuangan limbah, daur ulang, dan tanggung jawab produsen diperlukan untuk mendorong bisnis menuju praktik berkelanjutan.

Mengadopsi pendekatan ekonomi sirkular juga dapat membantu meminimalkan penghasilan limbah. Bisnis dapat menerapkan cara ideal untuk mengurangi kemasan, mempromosikan penggunaan daur ulang, dan menggabungkan bahan daur ulang ke dalam proses produksi mereka. Ini tidak hanya mengurangi limbah tetapi juga mampu menurunkan biaya dalam jangka panjang.

DailySocial.id juga mencatat penyebab lain pengelolaan limbah masih sulit untuk dilakukan adalah ongkos pengelolaan sampah yang terlalu murah dibandingkan tanggung jawab yang harus diemban. Ongkos yang kelewat murah ini dinikmati warga selama bertahun-tahun sehingga sedikit kenaikannya saja bisa menuai protes.

Ke depannya Jangjo melihat pengelolaan limbah untuk konsumen hingga bisnis masih menghadapi banyak tantangan. Namun kehadiran platform seperti Jangjo, MallSampah, Rekosistem, Waste4Change dan WLabku, diharapkan bisa melancarkan proses pengelolaan limbah dan sampah lebih efektif lagi.

“Sulit tapi diperlukan. Tanpa pengolahan sampah yang baik, pertumbuhan bisnis malah bisa menjadi boomerang untuk kehidupan kita berikutnya. Karena ini Jangjo memiliki visi untuk membangun keseimbangan antara lingkungan dan manusia,” kata Joe.

Yosia Sugialam Ceritakan Perjalanan Paper.id hingga Jadi Bisnis Profitabel

Pandemi telah mengakselerasi digitalisasi di Indonesia secara signifikan. Hal ini turut dirasakan oleh startup yang fokus pada platform pembayaran B2B, Paper.id. Setelah lebih dari 3 tahun fokus mengedukasi pasar, memasuki tahun ke-7 perusahaan mulai menuai hasilnya.

Didirikan oleh Yosia Sugialam dan Jeremy Limman pada akhir 2016, ide Paper.id berawal dari kegelisahan terhadap kelangsungan bisnis usaha keluarga. Selain memiliki ketertarikan yang sama di bidang teknologi, keduanya juga memiliki latar belakang dari usaha B2B. Ketika itu, teknologi tengah berkembang pesat. Namun, mereka merasa implementasi teknologi masih belum maksimal di ranah B2B.

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, Yosia mengungkapkan bagaimana ide awal terbentuknya Paper.id, yakni berawal dari niat baik Yosia menawarkan klien baru untuk bisnis keluarganya, namun ditolak dengan alasan kekhawatiran akan mengganggu cashflow perusahaan. Hal ini cukup mengagetkan, karena biasanya usaha akan sangat senang jika mendapat klien baru.

Yosua juga bercerita tentang kompleksnya transaksi di B2B. Selain transaksi atau pergerakan uang yang masih manual, ada dua isu yang cukup signifikan dalam rangkaian transaksi B2B, yaitu dokumen dan tempo. Dalam usaha mendigitalkan pembayaran B2B, beberapa pihak merasa bahwa invoice yang dikeluarkan secara digital tanpa materai itu tidak berlaku.

Di samping itu, ada praktik umum dalam industri ini terkait adanya tempo yang bisa diberikan untuk pembayaran yang dilakukan. Hal ini serupa tenor dalam pembayaran kredit. Praktik ini yang bisa berdampak pada cashflow jika tidak bisa dikelola dengan baik.

“Tiga hal ini yang jadi problem utama di B2B payment yang coba kita solve di Paper.id, termasuk membantu supplier dibayar lebih cepat, serta membantu pembeli bisa kontrol pembayarannya. Selain itu, kita juga mau mendorong industri ini supaya bisa bertransformasi dengan baik dan sempurna,” ungkap Yosia.

Perluas layanan lewat kolaborasi bisnis

Paper.id meresmikan kehadirannya ke publik pada 2018 lalu, menawarkan perangkat invoicing, accounting, dan inventory. Seiring pertumbuhan bisnis, Paper.id semakin memperluas layanan melalui kolaborasi dengan berbagai pihak, salah satunya dengan BNI untuk memudahkan klien dari mitra perusahaan dalam melakukan pembayaran invoice melalui scan kode QR.

Selain BNI, Paper.id juga sudah bekerja sama dengan beberapa institusi keuangan guna menawarkan program pendanaan pelaku UMKM yang tepat guna dan memberikan mereka kontrol untuk mengatur tempo terhadap supplier maupun buyer.

Bagi buyer, mereka bisa mendapatkan tempo pembayaran lebih panjang melalui produk Buy Now Pay Later (BNPL) untuk B2B. Bagi yang memiliki masalah tempo yang panjang, supplier dapat mendapatkan pencairan invoice lebih cepat dari jatuh tempo dengan produk bernama Get Paid Faster.

Belum lama ini, VISA Indonesia dan Paper.id menjalin kemitraan strategis melalui penunjukkan Paper.id sebagai salah satu mitra penyedia pembayaran bisnis (Business Payment Solution Provider/BPSP). Tidak hanya itu, Paper.id juga menggandeng BRI untuk menghadirkan kartu kredit inovatif “PAPERCARD”.

Terkait segmentasi, Yosia juga mengungkapkan bahwa saat ini Paper.id menargetkan pelaku UKM B2B dari kota-kota tier 1 & 2. Untuk penetrasi kartu kredit di daerah ini juga sudah lebih banyak, tapi belum maksimal. Hal ini yang menginisiasi kehadiran kartu kredit bisnis “PAPERCARD”.

Terkait isu dokumen tanpa materai yang menjadi kekhawatiran bisnis B2B, Paper.id juga telah bekerja sama dengan Perum Peruri untuk menyediakan e-materai atau materai elektronik bagi masyarakat umum, utamanya untuk penagihan faktur atau invoice.

“Meskipun kita fokus ke pembayaran B2B, tapi kalau dipikir-pikir, hampir semua bisnis melakukan transaksi B2B. Contohnya, restoran atau ritel, mereka juga ambil barang ke supplier. Lebih detail soal segmentasinya, yang jadi sweet spot kita adalah UMKM dengan karyawan di bawah 50 orang. Tetapi sekitar 1,5 tahun terakhir, kita juga masuk ke korporasi,” jelasnya.

Tech winter di Paper.id

Pada tahun 2016-2018, pengguna Paper.id sudah terbilang cukup banyak, imbas dari implementasi sistem hyperlocal di platformnya. Paper.id memulai dengan menawarkan fitur freemium dengan tujuan mengajak pengguna yang sebelumnya masih menggunakan cara manual untuk bergeser ke arah digital, dan bisa dinikmati secara gratis.

Meskipun begitu, tidak semua fitur diberikan secara cuma-cuma. Untuk bisa mengakses fitur yang lebih lengkap, pengguna diwajibkan untuk berlangganan Paper Plus. Paper.id akan mengambil fee dari setiap pembayaran yang berhasil diproses.

Selama hampir 7 tahun berdiri, Yosua mengaku bahwa, “yang sulit bukanlah digitalisasi invoice-nya, melainkan mendigitalisasi pembayarannya. Pembeli ‘dipaksa’ bayar secara digital karena invoice-nya digital.”

Pandemi yang datang di pertengahan Maret 2020 ternyata tidak hanya membawa petaka tetapi juga pencerahan bagi kemajuan digitalisasi di Indonesia. Bukan hanya di bisnis pengguna, tetapi juga di bisnis mitra, seperti VISA dan PERURI, transformasi digital sungguh direalisasikan.

Selain itu, dukungan dari pemerintah terhadap kemajuan digitalisasi juga semakin nyata, salah satunya adalah dengan mengeluarkan dan mendukung elektronik materai. Sebelumnya, banyak usaha yang masih menolak invoice digital karena tidak ada materai. Setelah e-materai diresmikan, kita juga jadi salah satu partner untuk ematerai di invoicing.

Terkait isu Tech Winter yang masih terjadi sekarang, Yosia mengungkapkan bahwa ia sangat berempati pada teman-teman startup yang masih mengalami masa sulit. Meskipun begitu, ia mengaku bahwa kondisi ini juga tidak sepenuhnya buruk.

“Dengan adanya market correction, pasar sekarang jadi lebih make sense. Perusahaan yang punya fundamental bagus dan mengerti para penggunanya akan semakin bertumbuh. Secara market, kalibrasinya bagus, karena ke depannya jadi lebih baik dan persaingan lebih sehat,” ujar Yosia.

Yosia juga mengungkapkan bahwa, “tech winter di Paper.id itu bukan terjadi sekarang, melainkan di 2018-2020. Kita masuk ahead of its time, melakukan edukasi pasar, bahkan ke investor juga masih sulit memberi pemahaman bisnis.”

Namun, lanjut Yosia, hal itu justru yang bikin mereka terlatih untuk membuat Paper berbeda, lebih frugal, membangun relasi yang lebih kuat ke partner, bisa cross collaboration, juga control hiring. Lalu di masa ini, ia dan timnya bisa mulai menikmati hasil jerih payah mereka selama ini.

Technically, kita tidak merasakan winter. Faktanya, sampai sekarang kita masih hiring dan  sekarang bisa dibilang the cheapest time untuk kita going aggressive,” ungkap Yosia.

Dari sisi target, Yosia mengaku tidak mau muluk, hanya ingin dampak layanan mereka bisa terasa di seluruh penjuru Indonesia. Kembali lagi ke masalah awal, supaya pebisnis tidak lagi khawatir cashflow berantakan dan menolak pelanggan. Ketika sudah ada teknologi dan layanan yang mendukung, kontrol dan kuasa jadi lebih seimbang antara supplier, buyer, dan bisnis UKM utamanya.

Hingga 2022, Paper.id mengklaim jumlah pengguna telah berkembang hampir 3x lipat dari sebelumnya. Jumlah invoice yang telah diproses pun mencapai level tertinggi hingga Rp9 triliun lebih, angka tersebut diklaim naik 2x lipat dari periode yang sama saat pandemi dimulai. Perusahaan juga mengklaim telah memiliki unit ekonomi yang sudah positif.

Seiring perkembangan bisnis, perusahaan juga telah mendapatkan pendanaan melalui beberapa tahapan. Golden Gate Ventures terlibat dalam dua pendanaan awal Paper.id. Pada akhir tahun 2022, perusahaan juga mengumumkan pendanaan seri B dipimpin oleh Argor Capital (sebelumnya Go-Ventures), diikuti oleh BM Capital, Skystar Capital, PT Kaya Alam International, Living Lab Ventures, dan Redbadge Pacific.

Application Information Will Show Up Here

CEO Pertamina NRE Dannif Danusaputro Paparkan tentang Energy Fund

Energy Fund, dana kelolaan bentukan PT Pertamina (Persero) melalui Subholding Power & New Renewable Energy (NRE), siap diinvestasikan ke startup tahap lanjut pada 2024. Perusahaan kini tengah mematangkan pendirian dana kelolaan tersebuttermasuk komitmen nilai investasinya.

Sekadar informasi, Energy Fund adalah satu dari tiga dana kelolaan yang telah diluncurkan oleh Kementerian BUMN pada September 2022, dan disepakati melalui penandatanganan Head of Agreement (HoA). Energy Fund nantinya akan dikelola oleh MDI Ventures.

Dalam wawancara dengan DailySocial.id, CEO Pertamina NRE Dannif Danusaputro mengungkap Energy Fund sedang dalam tahap pendirian untuk memastikan proses administrasi dan tata kelolanya sesuai. Ia juga memastikan Pertamina belum melakukan investasi apapun ke startup hingga saat ini.

“Kami menunggu proses fund establishment selesai dengan komitmen dan tesis investasi yang direncanakan. Pertamina NRE mengestimasi deployment [Energy Fund] terealisasi pada 2024. Pada saat initial closing, Pertamina NRE masih bertindak sebagai Limited Partner (LP) utama. Namun, kami juga membuka akses terhadap LP lain untuk berinvestasi melalui Energy Fund ini,” tutur Dannif.

Pihaknya belum dapat mengungkap nilai investasi yang disiapkan dan perkiraan ticket size. Namun, Energy Fund membidik startup tahap pertumbuhan (growth stage) dan lanjutan (later stage). Ini menunjukkan bahwa Pertamina NRE mengutamakan startup yang telah memiliki sumber pendapatan, dan tidak mengincar startup dengan ide/produk yang masih diinkubasi.

Pertamina NRE diketahui kini tengah mengeksplorasi dan memproduksi sumber energi terbarukan (EBT) dengan cakupan usaha meliputi wilayah kerja geothermal, pembangkit listrik panas bumi, pembangkit listrik tenaga gas, dan pengembangan EBT.

Dannif menambahkan, terlepas dari situasi bubble yang menghantam industri teknologi sejak beberapa tahun terakhir, saat ini justru menjadi momentum yang tepat bagi perusahaan untuk melirik kembali ekosistem startup. Ia meyakini masih ada pertumbuhan di sektor teknologi.

“Upaya transisi energi tidak dapat dilakukan pemerintah dan korporasi saja, ekosistem juga dibutuhkan. Kami percaya investasi di perusahaan rintisan teknologi dan inovasi di sektor EBT akan mendukung pembentukan ekosistemnya dan mempercepat mempercepat transisi energi di Indonesia,” tambahnya.

Solusi rendah karbon hingga panel surya

Ada tiga kriteria utama yang diincar Pertamina NRE—juga diselaraskan dengan pilar bisnisnya—antara lain solusi rendah karbon, energi terbarukan, dan bisnis baru (new and future business). Prioritasnya, startup di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara dengan pengembangan ke pasar Asia, Eropa, Amerika Serikat, dan Australia.

Terkait inovasi, Energy Fund akan diinvestasikan ke startup yang menggarap solusi/produk yang berkaitan dengan ekosistem kendaraan listrik (EV) dan baterai, teknologi clean hydrogen, konservasi energi, panel surya, waste dan EBT, hingga energy audit platform.

Sebetulnya, ungkap Dannif, saat ini Pertamina tengah mengembangkan produk baru untuk mengebut transisi energi. Beberapa di antaranya adalah perdagangan karbon kredit, hidrogen bersih, serta ekosistem baterai dan EV. Sementara, bisnis berbasis EBT yang sudah beroperasi saat ini adalah energi panas bumi (Pertamina Geothermal Energy) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS)

Lewat dana kelolaan ini, pihaknya berharap dapat bersinergi dengan pelaku startup cleantech agar dapat mencapai efisiensi biaya operasi (cost efficiency), sumber pendapatan baru, hingga kolaborasi go-to-market. Sinergi ini dapat melengkapi kapabilitas masing-masing, baik pasar baru di lingkungan Pertamina maupun ekosistem BUMN.

“Perkembangan inovasi dan ekosistem EBT di Indonesia bisa dibilang cukup pesat meski startup yang berkecimpung di bidang masih di fase inkubasi dan tahap awal. Maka itu, sinergi dengan startup cleantech diperlukan untuk mengakses ke teknologi dan inovasi mereka,” ungkapnya.

Potensi energi terbarukan (EBT) di Indonesia tercatat mencapai lebih dari 3.000 GW. Dalam rangka transisi energi, Indonesia memerlukan teknologi dan inovasi baru untuk mengembangkan dan mendayagunakan potensi tersebut.

Kendati begitu, upaya transisi energi terhambat oleh sejumlah faktor, di antaranya akses ke pembiayaan yang kompetitif dan teknologi, pendanaan untuk pengembangan tahap awal, serta kapabilitas sumber daya manusia.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, bauran EBT baru mencapai 14,11% pada 2022, naik sedikit dari tingkat bauran di tahun sebelumnya yang sekitar 13,65%. Mayoritas bauran energi primer pembangkit listrik masih berasal dari batu bara dengan persentase 67,21%.

Ekosistem cleantech

Isu lingkungan, kebutuhan terhadap praktik bisnis berkelanjutan, dan permintaan pasar ikut mendorong kebangkitan ekosistem startup teknologi bersih (cleantech) di Indonesia yang ingin terlibat dalam upaya transisi energi, pengelolaan sampah, hingga dekarbonisasi.

Berdasarkan laporan teranyar New Energy Nexus Indonesia berjudul “Clean energy technology startups in Indonesia: How the government can help the ecosystem”, terdapat sekitar 300 startup cleantech di Tanah Air. Dari survei terhadap 50 startup cleantech Indonesia, laporan ingin merangkum sejumlah kendala terkait pengembangan produk dan bisnis di sektor tersebut.

Kendala finansial menjadi salah satu batu sandungan besar yang cukup disoroti. Laporan ini menyebutkan kendaraan investasi milik negara, baik Corporate Venture Capital (CVC) maupun dana kelolaan, masih fokus berinvestasi di sektor besar, seperti fintech, e-commerce, dan logistik.

Dalam temuannya, tiga CVC besar yang beroperasi saat ini, yakni MDI Ventures, MCI Ventures, dan BRI Ventures, belum memiliki rekam jejak portofolio di sektor cleantech. Selain itu, dana kelolaan khusus di sektor energi yang akan diluncurkan juga dinilai belum memiliki komitmen investasi dan implementasi yang jelas.

Sumber: New Energy Nexus Indonesia

Laporan ini merekomendasikan agar pemangku kepentingan terkait dapat menjembatani fasilitas pinjaman bank lewat skema venture debut atau pinjaman lunak untuk startup cleantech tahap lanjutan (later stage). Dukungan finansial dari pemerintah daerah juga diperlukan.

RedDoorz Targetkan Capai Profitabilitas Tahun Ini, Rencanakan IPO di 2027

Melalui model bisnisnya yang unik, RedDoorz ingin mendukung lanskap hotel tradisional dan membuka peluang baru bagi para traveler yang mencari alternatif akomodasi yang terjangkau dan nyaman. Sejak meluncur tahun 2015, platform budget hotel ini telah mengalami transformasi dan mulai fokus ekspansif di pasar utamanya, yakni Indonesia dan Filipina.

Kepada DailySocial.id, Founder & CEO RedDoorz Amit Saberwal mengungkapkan rencana perusahaan yang ingin mencapai profitabilitas tahun ini dan mempercepat ekspansi.

Fokus sebagai multi-brand hospitality platform

RedDoorz mulai menempatkan posisi mereka sebagai multi-brand terbesar di kategori hospitality di Asia Tenggara. Fokus perusahaan juga kembali kepada core business, yaitu penyediaan kamar kepada turis lokal dengan pendekatan kepada harga dan kualitas menyesuaikan standardisasi perusahaan.

Indonesia sebagai pasar terbesar bagi RedDoorz, telah memberikan kontribusi paling signifikan untuk perusahaan. Hal tersebut dilihat dari makin banyaknya jumlah mitra hotel hingga potensi pasar yang semakin meningkat jumlahnya.

Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta masih termasuk dalam kategori lokasi yang memiliki mitra hotel paling besar jumlahnya, demikian juga dengan jumlah pengguna. Bali yang sejak tahun 2021 lalu mulai kembali membuka diri untuk turis lokal dan asing, dinilai juga mulai mengalami pertumbuhan positif.

“Pemulihan pandemi di Indonesia terbilang lambat prosesnya, berbeda dengan negara di barat seperti Amerika Serikat dan Eropa. Namun demikian saat ini mulai terlihat pertumbuhan yang positif. Di RedDoorz sendiri kami mendapatkan momentum tersebut tahun ini saat bulan suci ramadan,” kata Amit.

Ditambahkan olehnya, sebelum pandemi jumlah okupansi RedDoorz telah mencapai 60%, namun saat ini baru mencapai 44%; diperkirakan akan terus bertambah ke depannya.

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, saat perusahaan harus memberikan awareness kepada pengguna dan mitra terkait dengan layanan dan teknologi yang ditawarkan RedDoorz, saat ini masyarakat Indonesia mulai dewasa atau mature dan mengerti model bisnis dan layanan yang ditawarkan.

Kondisi ini ternyata mempengaruhi perusahaan untuk memberikan ragam layanan yang berbeda. Bukan hanya hotel bintang dua dengan harga miring, namun pilihan hotel lainnya yang masuk dalam kelas premium. Tercatat saat ini RedDoorz telah memiliki opsi penginapan yang berbeda. Mulai dari Sans Hotels, Koolkost, RedPartner, Sunerra Hotels, UrbanView Hotels, RedLiving dan The Lavana.

Pilihan hotel di RedDoorz / RedDoorz
Opsi hotel di RedDoorz / RedDoorz

Pilihan tersebut juga diklaim bisa memberikan peluang bagi mitra hotel RedDoorz untuk mengedepankan konsep staycation dan desain “Instagrammable”, yang saat ini mulai banyak dicari oleh masyarakat luas terkait dengan pilihan penginapan mereka.

Target capai profitabilitas

Hingga 2023, RedDoorz sudah memiliki 10 juta pengguna aplikasi dan bermitra dengan 3.200 mitra properti yang tersebar di 257 kota di Indonesia. Meskipun masih mengendalkan pihak ketiga untuk pemesanan, namun tercatat sebanyak 70% pemesanan atau booking berasal dari aplikasi RedDoorz.

“Fokus kami dalam 3-6 bulan ke depan adalah mencapai profitabilitas. Selain itu kami juga optimis dapat menambah revenue, menambah jumlah mitra hotel. Di sisi lain kita juga memangkas pengeluaran dengan menerapkan sistem otomisasi. Ke depannya kami ingin mencapai profitabilitas dan melancarkan rencana IPO tahun 2027 mendatang,” kata Amit.

Disinggung apakah RedDoorz masih berencana untuk melakukan kegiatan penggalangan dana, menurut Amit jika memang ada investor yang menawarkan dan waktunya tepat, peluang tersebut tentunya tidak akan mereka lewatkan. Namun demikian perusahaan masih fokus kepada pengembangan bisnis.

Tahun 2019 lalu perusahaan telah memperoleh pendanaan seri C senilai $70 juta (mendekati 1 triliun Rupiah). Putaran pendanaan tersebut dipimpin Asia Partners dengan partisipasi dua investor baru, Rakuten Capital dan Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund. Investor sebelumnya, Qiming Venture Partners dan International Finance Corporation (IFC) juga kembali memberikan dukungannya dengan ikut berpartisipasi.

Potensi pasar dan kompetisi

Salah satu keunggulan yang diklaim hanya dimiliki oleh RedDoorz saat ini sebagai hospitality platform adalah, keberadaan mereka di Indonesia sejak tahun 2015. Sulitnya perusahaan untuk mempelajari pasar dan perilaku konsumen secara menyeluruh, saat ini ternyata telah menjadi kunci sukses RedDoorz masih bisa bertahan dibandingkan pemain lainnya.

Beberapa pemain yang sebelumnya sempat hadir di Indonesia di antaranya adalah AiryRooms (tutup layanan tahun 2020) dan ZenRooms (dikabarkan berubah menjadi Yanolja).

Sementara itu operator hotel bujet OYO yang sempat mengalami pasang-surut berbisnis, masih mampu bertahan dan mengestimasi total Gross Booking Value (GBV) pada tahun buku 2023 naik 23% menjadi $1,3 miliar dibandingkan tahun lalu di mana bisnis akomodasi memberikan kontribusi tertinggi.

Terkait dengan adanya potensi pemain baru asing dan lokal yang menghadirkan solusi serupa, Amit menyebutkan hal tersebut tidak menjadi masalah. Dilihat dari masih besarnya peluang bagi mereka untuk menjangkau lebih banyak pemilik hotel skala UMKM di Indonesia dan pengalaman mereka selama ini menyasar segmen budget hotel dengan mengedepankan teknologi di Indonesia.

“Kami memosisikan diri kita seperti Marriot untuk hotel bintang dua. Kami adalah perusahaan teknologi yang menyasar kepada industri yang masih belum tersentuh dengan teknologi,” kata Amit.

RedDoorz juga telah mengumumkan pencapaian BEP di 2022 dengan pertumbuhan pendapatan lima kali lipat. Selain Indonesia, RedDoorz juga beroperasi di Singapura, Vietnam, Filipina, dan Thailand.

Di bulan Oktober 2022, RedDoorz Indonesia dan Filipina disebut telah mencapai break even point (BEP) atau tidak lagi merugi. Fokus perusahaan saat ini adalah Indonesia dan Filipina yang ditargetkan menjadi dua pasar terbesar mereka di Asia Tenggara.

“Berbeda dengan Indonesia yang kebanyakan didominasi oleh turis lokal, di Filipina banyak warga negaranya yang bekerja di luar negeri kembali ke kampung halaman saat liburan natal. Kondisi tersebut menjadikan hotel kita menjadi pilihan untuk tempat tinggal dalam kurun waktu yang tidak lama. Mereka yang kemudian menjadi target pengguna kita di Filipina,” kata Amit.

Application Information Will Show Up Here

Optimisme Igloo Digitalkan Sistem Keagenan Asuransi

Walau digitalisasi tumbuh pesat, ternyata belum mampu menggeser peranan manusia dalam memasarkan produk asuransi. Peran mereka dinilai vital dalam meningkatkan penetrasi, inklusi, dan literasi asuransi yang angkanya masih rendah di Indonesia.

Kendati begitu, operasional para agen asuransi ini belum sepenuhnya terdigitalisasi, masih melibatkan proses manual untuk penerbitan polis, misalnya. Belum lagi terdapat aturan dari regulator yang membatasi mereka untuk menjual produk dari berbagai perusahaan asuransi.

Di saat bersamaan, mereka juga dituntut untuk terus meningkatkan kompetensi dan pengetahuannya. Kesempatan tersebut digarap oleh sejumlah pemain insurtech, salah satunya adalah Igloo melalui Ignite, produk khusus keagenan asuransi.

“Agen asuransi itu sangat penting hadir di Indonesia karena kebanyakan orang mau beli asuransi berdasarkan relationship dan kepercayaan mereka kepada agennya. Terlebih itu ada gap, secara tradisional kerja mereka lama, produknya terbatas. Dari sisi kami ingin bantu mereka dengan aplikasi yang dibuat menyesuaikan kebutuhan agen,” terang Country Manager Igloo Indonesia Henry Mixson saat ditemui DailySocial.id.

Country Manager Igloo Indonesia Henry Mixson / Igloo

Aplikasi Ignite kini ditenagai dengan fitur yang lebih lengkap, berfokus membantu agen dalam pekerjaan administratif dan penawaran produk, serta membantu para pelanggan menemukan produk yang tepat. Fitur-fitur tersebut di antaranya:

  1. Tampilan antar muka didesain untuk pengalaman menjelajah yang lebih cepat dan lancar;
  2. Fast quote mempersingkat alur pembelian dengan menghitung premi dan menghasilkan penawaran hanya dalam hitungan detik;
  3. Proses pembayaran yang terjamin membantu pelanggan bertransaksi dengan rasa aman dan nyaman;
  4. Alat manajemen data untuk tim dan penjualan menggunakan teknologi analisis data dan mengurangi waktu pelaporan manual;
  5. Pelacakan dan pelaporan komisi yang langsung disambungkan ke rekening bank agen secara real-time.

“Mitra (sebutan agen di Igloo) bisa monitor nasabah mereka, produk apa saja yang dibeli nasabahnya, cek pendapatan, komisi, dan poinnya. Lalu ada juga artikel dan video agar mereka semakin teredukasi.”

Igloo bekerja sama dengan belasan perusahaan asuransi meracik lebih dari 30 paket asuransi umum, termasuk asuransi kendaraan, perjalanan, kecelakaan diri, dan properti. Sejumlah perusahaan asuransinya adalah Asuransi Mega Syariah, Asuransi Rama, Asuransi Tugu, Asuransi Staco Mandiri, dan Asuransi Sinar Mas.

Bidik penambahan agen

Perusahaan mengincar para agen asuransi jiwa, agen perjalanan, agen properti, dan anggota MLM sebagai mitra Ignite. Henry menjelaskan, dengan menempatkan para agen sebagai mitra perusahaan, maka memungkinkan mereka untuk bergabung sebagai pengguna Ignite, dan menjual berbagai produk asuransi dari banyak perusahaan.

Terlebih itu, para agen asuransi jiwa existing biasanya sudah memiliki jaringan nasabah, yang mana mereka pasti punya kebutuhan untuk membeli asuransi umum, dan hal pertama yang dilakukan nasabah tersebut adalah menanyakannya ke agen mereka.

“Jadi agen asuransi jiwa ini tetap buka relationship dengan konsumennya. Salah satunya kita lengkapi dengan Ignite. Mereka bisa berjualan semua produk asuransi yang ber-partner dengan Igloo, menawarkan asuransi mobil dari perusahaan asuransi mana saja yang cocok dengan preferensi konsumennya.”

Dari segi edukasi, para agen asuransi jiwa ini biasanya terbilang lebih familiar untuk mempelajari produk asuransi umum yang lebih simpel daripada produk asuransi jiwa. Walau begitu, Igloo juga menyasar para mitra asuransi berasal dari kalangan agen properti dan agen perjalanan. Kedua bisnis ini juga erat kaitannya dengan kebutuhan untuk mencari asuransi.

“Kami juga mengincar para mitra dari kalangan non-agen, seperti masyarakat umum, anggota multi level marketing. Memang proses edukasinya lebih panjang karena harus training, asah soft skill-nya. Tapi aplikasi ini sudah intuitif, untuk knowledge-nya bisa belajar dari aplikasi.”

Ignite tidak hanya hadir di Indonesia, juga hadir di Vietnam, mengingat Igloo adalah perusahaan regional yang beroperasi di sejumlah negara. Diklaim jumlah mitra yang bergabung di Ignite saat ini sebanyak 22 ribu orang. Tidak dirinci masing-masing kontribusi dari kedua negara ini, begitupun peta persebarannya ada di mana saja.

Ditargetkan sampai akhir tahun ini Igloo dapat meningkatkan jumlah mitranya hingga 50 ribu orang dan menjual polis dengan peningkatan hingga 50 kali lipat (Gross Written Premium) dibandingkan tahun sebelumnya. Walau target naik, perusahaan berkomitmen untuk tetap menjaga kualitas pelayanan para mitranya, mengingat bisnis asuransi ini bicara mengenai kepercayaan orang. Target tersebut juga akan dicapai dengan ekspansi Ignite ke negara lainnya.

Tidak hanya jumlah agen, perusahaan juga akan menambah rangkaian produk asuransi yang dapat dijual para agen. Menurutnya, DNA perusahaan adalah inovasi berdasarkan data, jadinya akan selalu sigap dengan semua masukan di lapangan.

Henry juga membuka kemungkinan untuk mulai menjual produk asuransi jiwa, namun untuk produk tertentu saja. “Kita mengedepankan affordability dan accessibility, misal ada nasabah yang sudah punya life insurance tapi belum ada yang cover critical illness misalnya, bisa ditambahkan.”

Produk asuransi lainnya

Sebagai full-stack insurtech, Igloo tidak hanya bermain di bisnis keagenan asuransi saja, tapi juga B2B2C dan direct-to-consumer (situs & aplikasi). Salah satu produk inovatif yang sudah dirilis perusahaan adalah Asuransi Indeks Cuaca berbasis blockchain untuk petani.

Henry mengungkapkan produk tersebut baru hadir di Vietnam, dan kini sedang dipersiapkan kehadirannya di Indonesia. Hanya saja, ia belum bisa memberikan detail spesifik mengenai waktunya. Ia berdalih bahwa perusahaan masih berdiskusi dengan berbagai pemangku kepentingan mengenai skema model bisnisnya.

“Kami masih coba dari beberapa channel, bisa dengan kementerian terkait, perbankan yang kasih pinjaman ke petani, asosiasi petani, atau startup. Kami ingin edukasi para petani yang punya kebutuhan ini tapi enggak tahu kalau ada produk ini.”

Menurutnya, produk asuransi ini menggunakan smart contract yang dapat mengotomatisasi klaim berdasarkan tingkat curah hujan yang terjadi. Bila menggunakan asuransi konvensional biasanya harga premi yang dipatok mahal karena harus didatangi petugas, baik saat beli premi ataupun klaim.

“Petani jadi susah untuk beli, belum lagi ada kecenderungan scam. Nanti ketika petani beli tinggal masukkan lokasi, jenis tanaman, dan luas sawah. Bila cuaca jelek, tanpa mereka harus klaim sendiri, secara sistem akan langsung dibayarkan.”

Produk ini nantinya akan dijual mulai dari seharga puluhan ribu saja dan dihitung berdasarkan musim tanam dan per hektar tanah.

Di Vietnam, perusahaan menggunakan data-data dan bekerja sama dengan PVI Insurance, Administrasi Meteorologi dan Hidrologi Vietnam (VNMHA), Saigon Hanoi Insurance Corporation (BSH), dan reasuransi internasional SCOR untuk memperluas Asuransi Indeks Cuaca ini kepada petani kopi, dari sebelumnya untuk petani padi.

Harga preminya mulai dari VND 1.000.000 (Rp600 ribu) per hektar, dengan area cakupan minimum 0,1 hektar dan cakupan hingga VND 40.000.000 (Rp25,6 juta) per hektar. Diluncurkan akhir tahun lalu, Asuransi Indeks Cuaca untuk petani padi kini telah mencakup lebih dari 6.000 hektar sawah di 8 provinsi di Vietnam.

“Bahkan kami sedang mengembangkan produk yang lebih universal, jadi bisa untuk semua jenis tanaman karena pada dasarnya ini semua bergantung pada cuaca,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here