Dampak Layanan Fintech untuk Masyarakat dan Pelaku UMKM di Indonesia

Dalam dua tahun terakhir layanan fintech berkembang secara cepat menawarkan pilihan yang saat ini sudah banyak digunakan secara rutin oleh masyarakat. Mulai dari dompet digital, fintech lending, wealth management, paylater, insurtech, hingga fintech enabler. Dalam sesi #SelasaStartup bersama Editor in Chief DailySocial.id Amir Karimuddin, dibahas seperti apa tren dan perkembangan layanan fintech di Indonesia.

Pertumbuhan platform fintech enabler

Secara khusus saat ini sebagian besar masyarakat Indonesia makin terbiasa dengan penggunaan dompet digital hingga paylater untuk pembayaran. Namun dalam waktu dua tahun terakhir layanan fintech juga mulai diramaikan dengan platform baru yang juga dikenal sebagai fintech enabler. Istilah baru pun bermunculan, ada open banking, open finance, hingga banking as a service (BaaS) yang seluruhnya ini sebenarnya memanfaatkan keberadaan Open API dengan sasaran target yang berbeda.

“Khusus untuk enabler, emebded finance atau open finance semua fokus kepada segmen B2B. Ada bisnis baru yang memberikan warna, yang juga menjadi keyword di Fintech Report 2021. Platform fintech ini dengan layanan yang bervariasi, nantinya apakah ada ada di satu rumah atau antar platform bisa saling berkomunikasi lebih baik dengan menggunakan API. Ke depannya open finance, embeded finance akan lebih banyak lagi diaplikasikan di berbagai macam platform,” kata Amir.

Ditambahkan olehnya untuk bisa memberikan layanan yang seamless, pada umumnya produk tersebut dibungkus layaknya produk keuangan seperti investasi dan lainnya masuk dalam opsi di marketplace, yang menjalin kerja sama strategis dengan fintech enabler tersebut. Di Indonesia pemain yang menyasar industri tersebut di antaranya adalah Brankas, Finantier, dan AyoConnect.

Edukasi dan keamanan

Satu hal yang juga menjadi perhatian semua pihak terkait dengan layanan fintech adalah menjawab pertanyaan: apa layanan fintech dibutuhkan dan sesuai untuk kebutuhan mereka? Sehingga akan terhindar dari penyalahgunaan platform hingga penawaran yang disebar secara bebas memanfaatkan media sosial. Pemahaman atau literasi keuangan digital perlu disampaikan banyak pihak, baik stakeholder yang terlibat langsung, media, hingga masyarakat pada umumnya.

“Untuk platform biasanya sudah masuk dalam asosiasi, misalnya AFPI yang secara bersama melakukan edukasi. Dala hal ini saya melihat bukan hanya literasi produk, tapi juga literasi digital yang memang harus terus digalakkan, jika kita melihat begitu banyak orang meneruskan pesan di WhatsApp tanpa verifikasi kebenarannya untuk layanan pinjol dan lainnya, termasuk di media sosial,” kata Amir.

Dari sisi keamanan, hingga saat ini belum ada kasus yang cukup besar yang merugikan nasabah hingga platform. Semua platform sudah bekerja dengan baik melindungi pengguna/nasabah mereka dari ancaman hacker dan lainnya. Namun demikian untuk terus bisa menjaga keamanan, semua platform terkait wajib untuk terus mengikuti aturan yang diberlakukan oleh regulator. Apakah itu menjaga keamanan data pengguna hingga akun pengguna.

Manfaat untuk UMKM

Layanan fintech secara langsung sangat menguntungkan para pelaku UMKM. mereka yang masuk dalam kategori mikro, selama ini tidak memiliki catatan keuangan atau pembukuan yang lengkap dan kebanyakan masih dilakukan secara konvensional. Sehingga menyulitkan mereka ketika ingin melakukan pengembangan usaha untuk mendapatkan pinjaman modal dari bank.

Sebagai penyedia layanan keuangan konvensional, perbankan memiliki aturan dan batasan, sehingga mereka kesulitan untuk menjangkau pelaku UMKM yang masih belum bisa memiliki data keuangan dan usaha yang akurat. Dalam hal ini layanan fintech dengan proses KYC dan proses lainnya yang lebih fleksibel, bisa menjembatani pihak perbankan dengan mereka.

Misalnya melalui marketplace yang menyimpan data para pelaku UMKM, atau komunitas tertentu yang sudah dijangkau oleh para institusi finansial untuk pembiayaan. Memanfaatkan proses tersebut, nantinya bank bisa mendukung pelaku UMKM melalui kerja sama strategis dengan layanan fintech.

Fintech memiliki cara untuk melakukan analisis KYC atau screening yang lebih baik untuk memastikan bahwa usaha yang susah diakses dan dihindari oleh perbankan, kemudian bisa dijangkau memanfaatkan layanan fintech,” kata Amir.

Telkomsel Ekosistem Digital Resmikan Identitas Baru “INDICO”

PT Telkomsel Ekosistem Digital (TED) resmi mengumumkan identitas baru bernama Indonesia Digital Ecosystem atau INDICO. Dengan identitas ini, INDICO akan menaungi berbagai inovasi digital Telkomsel, baik yang sudah ada maupun yang akan datang.

Seperti diketahui, TED merupakan entitas baru yang didirikan Telkomsel awal tahun ini. TED menjadi holding company bagi sub-bisnis digital Telkomsel. Beberapa inovasi digital Telkomsel yang sudah berjalan di antaranya adalah Kuncie (edtech), Fita (healthtech), dan Majamojo (game).

Disampaikan dalam acara peresmian secara virtual, CEO Telkomsel Ekosistem Digital Andi Kristianto menegaskan INDICO sebagai komitmen untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia secara inklusif dan berdampak. “INDICO akan memampukan kami untuk lebih engage dengan para inovator, investor, mitra strategis, dan stakeholder terkait,” tutur Andi.

Untuk jangka pendek, TED mengembangkan platform yang memungkinkan para inovator, investor, collaborator untuk menjangkau pasar lebih mudah dalam lima tahun ke depan. Pengembangan ini akan didasarkan pada kebutuhan masyarakat dengan memanfaatkan aset dan kapabilitas yang dimiliki induk usaha, yakni basis pelanggan sebanyak 170 juta dan lebih dari 300 ribu mitra outlet Telkomsel di 514 kota.

Pengembangan inovasi digital tersebut juga memanfaatkan pemahaman yang dimiliki, baik secara geografis maupun demografis. “Dengan demikian, aset kami tak hanya relevan bagi [pasar] telekomunikasi saja, tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia, dengan strategi growth hacking. Indonesia sangat diverse, pemahaman terhadap lokal itu sangat berharga,” tambahnya.

Untuk tahap awal, lanjut Andi, pihaknya akan mendorong pengembangan produk digital yang sudah ada dalam enam bulan ke depan, yakni Kuncie, Fita, dan Majamojo. Apabila kapabilitas yang dimiliki sudah dimanfaatkan secara optimal, pihaknya baru akan mulai masuk ke vertikal lain.

Pendekatan baru Telkomsel

Merangkum perjalanan transformasi digitalnya, sejak tahun lalu Telkomsel mulai mengambil pendekatan berbeda dalam mengembangkan produk digital. Sebelum ini, pengembangan inovasi digital dilaksanakan lewat kendaraan Telkomsel Innovation Center (TINC) dan Telkomsel Mitra Inovasi (TMI). TINC menjaring ide untuk diinkubasi dan diakselerasi dari startup lokal, sedangkan TMI masuk melalui pemberian investasi ke startup tahap awal (early stage).

Namun, kali ini Telkomsel mencoba mengeksplorasi vertikal yang belum pernah digarap oleh telekomunikasi sebelumnya. Telkomsel mengembangkan platform Kuncie dan Fita yang sama-sama masuk ke segmen digital lifestyle tahun lalu. Kemudian, masuk Majamojo yang didirikan lewat skema patungan oleh TED dan GoTo pada Februari kemarin.

Dalam wawancara terdahulu DailySocial.id dengan Kuncie dan Fita, pendekatan ini tercermin dari langkah Telkomsel mendapuk CEO Kuncie dan Fita dari luar lingkungan perusahaan dan induk usaha. Selain itu, Telkomsel memberikan keleluasaan untuk mengembangkan bisnis dengan model growth hacking, dan punya potensi untuk di-spin-off. Model ini tentu bertentangan dengan model bisnis telekomunikasi yang berorientasi pada Return of Investment (ROI).

Menanggapi langkah strategis TED, Partner Telecommunications Practice di Bain & Company Kiran Karunakaran menilai sejumlah platform memanfaatkan pertumbuhan pasar di industri teknologi dan telekomunikasi. Bagi pasar seperti Indonesia, platform digital berpotensi menjadi katalis ekonomi dan mengakselerasi startup lokal di vertikal industri utama.

Maka itu, operator telekomunikasi besar, seperti Telkom dan Telkomsel, dapat memanfaatkan aset mereka untuk bertransformasi menjadi platform digital. “Inti dari transformasi tersebut adalah kemampuan untuk membentuk kemitraan dengan jangkauan luas dan menarik investasi dari hyperscaler global yang ingin berperan mendukung ekonomi digital,” tutur Karunakaran dalam keterangan resminya.

Storytel Resmi Hadir di Indonesia, Tawarkan “Streaming Audiobook” Terkurasi

Storytel, aplikasi audiobook berbasis di Swedia, meresmikan kehadirannya di Indonesia setelah mengumumkan rencananya tersebut sejak April 2021. Aplikasi ini hadir dengan membawa pendekatan audiobook pertama berbahasa Indonesia yang hadir secara premium karena sudah terkurasi dan diproduksi dengan serius.

“Kami sangat menantikan kesempatan ini, untuk membawa layanan Storytel yang memberikan cerita terbaik menggunakan teknologi terdepan dan mudah digunakan oleh konsumen. Pengalaman panjang kami dalam konten audio dan feedback yang luar biasa dari pelanggan, mendorong kami untuk mengambil langkah baru dalam misi untuk memungkinkan lebih banyak orang dalam berbagi dan menikmati cerita kapan saja dalam skala global,” ucap Chief Content Strategy Officer Storytel Helena Gustafsson dalam konferensi pers virtual, Rabu (9/3).

Format buku audio dinilai berpotensi

Country Manager Storytel Indonesia Indriani Widyasari menambahkan, audiobook merupakan rekreasi yang bermakna. Kelebihan audiobook bisa dinikmati sambil melakukan hal-hal lain, seperti sebelum tidur atau sambil merelaksasi tubuh. Hal ini tentu bisa meningkatkan wawasan, membuka konten-konten literasi yang biasanya harus dibaca sekarang bisa dinikmati dengan mendengarkan.

Dia melanjutkan, berdasarkan survei yang sebelumnya dilakukan perusahaan di negara-negara lain, mendapati bahwa pengguna audiobook memiliki kesempatan lebih banyak menghabiskan buku dibandingkan saat hanya membacanya. Jika biasanya, dalam satu bulan seseorang bisa menghabiskan buku satu hingga tiga buku, maka dengan audiobook orang-orang bisa membaca buku mencapai lima buku.

“Indonesia adalah salah satu negara yang cepat beradaptasi dan adopsi digital baru. Sekitar tiga sampai empat tahun lalu masih banyak yang belum tahu podcast, tapi sekarang sudah jadi bagian dari gaya hidup,” kata Indri.

Storytel menghadirkan lebih dari 150 ribu audiobook dalam berbagai 19 genre buku dan cerita dalam Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan Mandarin. Seluruh konten ini diproduksi secara serius. Perusahaan bermitra dengan penerbit terkemuka lokal untuk menghasilkan perpustakaan audiobook berbahasa Indonesia dengan mengakuisisi hak cipta audio.

Serta, memproduksi sendiri cerita audiobook oleh tim Storytel, disebut Storytel Original. Salah satu judul original yang sudah dirilis adalah cerita detektif terbaru tentang Sherlock Holmes yang terlaksana berkat kesepakatan dengan Conan Doyle Estate. Karya tersebut ditulis oleh penulis tersohor dari Inggris, Anthony Horowitz.

Indri melanjutkan, isi audiobook dinarasikan para seniman suara profesional yang dapat menghidupkan cerita melalui suara untuk melepaskan diri dari rutinitas sehari-hari yang melelahkan dengan cerita yang praktis dan mudah dinikmati oleh para pecinta buku.

Secara eksklusif, Storytel Indonesia menampilkan versi audiobook dari judul-judul buku populer dari penulis terkenal, seperti Dewi Lestari, Tere Liye, Ika Natassa, Asma Nadia, Ahmad Fuadi, Pidi Baiq, dan Habiburrahman El Shirazy. Juga, bekerja sama dengan aktor dan aktris Indonesia untuk menarasikan audiobook, seperti Dian Sastrowardoyo, Adinia Wirasti, dan Fedi Nuril.

Langkah tersebut menjadi perhatian serius Storytel. Pasalnya, dalam riset perusahaan disebutkan bahwa 90% penggunanya mengonsumsi konten di Storytel dalam bahasa lokal. Oleh karenanya, lokalisasi punya peranan penting untuk mendekatkan pengguna dengan buku-buku terbitan luar negeri.

Ditambah lagi, masih dalam riset yang sama, dikatakan sebanyak 70% perpustakaan di Storytel adalah buku keluaran lama yang tidak dijual lagi bentuk fisiknya di toko buku. Sehingga, unsur tersebut membuat munculnya unsur emosional yang mengikat para pengguna untuk bernostalgia.

Secara global, Storytel memiliki lebih dari 700 ribu judul buku dan 30 bahasa, termasuk dalam Bahasa Indonesia. Penggunanya mencapai lebih dari 1,7 juta orang dengan genre yang paling banyak dinikmati adalah detektif dan romansa.

Untuk menikmati seluruh pustaka di Storytel, pengguna perlu berlangganan dengan biaya mulai dari Rp39 ribu per minggu selama periode peluncuran. Aplikasi dapat diunduh melalui App Store dan Play Store dengan persyaratan minimal Android 5 dan iOS 13.

Parentalk Akuisisi Platform Edukasi “Parenting” Good Enough Parents

Platform digital komunitas parenting, Parentalk, mengumumkan ekspansi bisnisnya dengan mengakuisisi Good Enough Parents, platform edukasi berbasis web bagi orang tua masa kini. Perusahaan mengungkapkan ambisinya untuk membangun ekosistem lengkap untuk mendampingi para orang-tua dan keluarga di Indonesia.

Founder & CEO Parentalk Nucha Bachri mengaku bahwa tidak hanya menghadirkan konten yang relevan dengan kondisi yang sering kali dihadapi oleh para orang tua, Parentalk juga senantiasa menghadirkan ekosistem komunitas yang dapat membantu memperluas wawasan dan pengalaman serta memberikan solusi.

“Untuk terus berkembang dalam menyukseskan misi yang kami bawa, Parentalk ingin dapat bersama-sama bertumbuh dengan platform komunitas dengan misi yang sejalan untuk hadirkan dukungan yang lebih lengkap bagi keluarga Indonesia. Dalam hal ini, kami melihat Good Enough Parents membawa misi dan semangat yang sama untuk mendukung para orang tua agar terus bertumbuh dan belajar,” ungkapnya.

Damar Wahyu Wijayanti sebagai salah satu founder Good Enough Parents mengatakan “Kami sangat antusias untuk bisa menjadi bagian dari Parentalk dan terhubung dengan lebih banyak orang tua yang sudah menjadi pengikut setia Parentalk. Kami harap kehadiran Good Enough Parents bisa memfasilitasi para keluarga Indonesia dalam memberikan pengasuhan terbaik untuk tumbuh kembang anak-anaknya.”

Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangan seorang anak, sehingga peran dan fungsi keluarga menjadi sangat penting dan bertanggung jawab terhadap tumbuh kembang anak. Good Enough Parents (GEP) merupakan platform pembelajaran bagi orang tua untuk menjadi orang dewasa yang siap mendampingi tumbuh kembang dan pembelajaran anak-anaknya.

GEP memiliki metode pembelajaran berkelanjutan, membantu orang tua menumbuhkan kesadaran tentang perannya dalam tumbuh kembang anak, menangkap informasi secara utuh dan mengubahnya menjadi sebuah parenting skill. Kelas-kelas GEP didesain untuk menyampaikan informasi/pengetahuan dengan lebih efisien dan fleksibel bagi orang tua.

Harga yang dipatok untuk mengikuti kelas-kelas yang ditawarkan oleh GEP mulai dari Rp85 ribu hingga Rp450 ribu untuk akses selama 8 minggu. Selain itu, para orang tua juga akan mendapatkan fasilitas seperti video pembelajaran, workbook, materi PDF, serta forum diskusi untuk memperdalam pemahaman atau melempar pertanyaan terkait isu-isu dalam rumah tangga.

Setiap materi yang tersedia dalam platform ini berasal dari para expert yang sudah memiliki sertifikasi di bidangnya. Damar sendiri merupakan salah satu praktisi dan edukator yang memiliki diploma pendidikan Montessori, sebuah metode pendidikan yang dipopulerkan oleh Dr. Maria Montessori, seorang dokter dan pendidik, pada awal tahun 1900. Metode ini menekankan pada kemandirian dan keaktifan anak dengan konsep pembelajaran langsung melalui praktik dan permainan kolaboratif untuk bisa mencapai potensinya dalam kehidupan.

Nucha juga mengungkapkan alasan Parentalk memilih GEP sebagai partner adalah karena memiliki kesamaan value, bahwa menjadi orang tua itu adalah sebuah proses belajar. Selain itu, Investasi Parentalk di Good Enough Parents diharapkan bisa membangun sebuah ekosistem multiplatform yang mampu menghadirkan informasi, solusi dan pengalaman yang menyeluruh baik melalui digital platform maupun communal space yang tercipta dari beragam komunitas dengan expertise masing-masing.

Lima tahun bisnis Parentalk

Didirikan sejak tahun 2017, Parentalk bermula dari kegelisahan para orang tua muda, termasuk founder, dalam menentukan pola asuh yang baik untuk anak. Berbekal konten di media sosial (pada saat itu Instagram), Nucha dan timnya sukses meraih pertumbuhan organik mencapai 40% di tahun pertama. Hingga saat ini, Parentalk telah hadir di ragam platform seperti Youtube, Spotify (podcast) dan Tiktok.

Parentalk memosisikan diri sebagai digital content creator. Dalam menghadirkan konten, timnya mengedepankan konten yang mengangkat keseharian keluarga, tidak hanya informasi dan pengetahuan mengenai tumbuh kembang anak namun juga relasi suami istri dan dinamika rumah tangga. Hal ini menjadikan Parentalk sangat relevan dengan berbagai segmentasi keluarga di Indonesia.

Sebagai data driven company, pihaknya juga mengakui untuk setiap konten yang dibuat, adalah berdasarkan riset yang sudah disesuaikan dengan demografi pengguna. Dalam konferensi pers yang digelar secara online (9/3), turut hadir Michael Tampi yang juga menjabat sebagai Co-Founder Parentalk. Ia menjabarkan masih besarnya potensi pasar untuk platform seperti Parentalk yang ada di Indonesia.

Sumber: Parentalk

Secara teknologi, investasi ini juga merupakan bentuk ekspansi Parentalk. Nucha juga mengungkap roadmap perusahaan yang mengarah pada superapps,  mereka akan membangun ekosistem parenting. Bukan hanya Parentalk sebagai digital konten kreator, namun juga dilengkapi dengan GEP di dalamnya yang membantu proses belajar yang lebih fleksibel untuk orang tua.

Sebelumnya, Parentalk sudah pernah mendapat pendanaan tahap awal dari Emera Capital dan saat ini diklaim sudah profitable. “Kita bertumbuh dari profit yang sudah didapat. Hari ini bukan Parentalk mendapat investasi, justru ParenTalk berinvestasi di Good Enough Parents. Hal ini sebagai awal dari roadmap kita menuju super-app,” tutup Michael.

AwanTunai Bukukan Pendanaan Seri A3, Berbentuk Ekuitas dan Debt

Layanan fintech lending AwanTunai kembali mendapatkan pendanaan. Berdasarkan data yang diinputkan ke regulator, nilainya berkisar $8,5 juta atau setara 121,5 miliar Rupiah. Sejumlah investor turut terlibat, termasuk International Finance Corporation (IFC), Global Brain, Insignia Ventures, OCBC NISP Ventures, dan beberapa lainnya.

Ketika dihubungi DailySocial.id, Co-Founder & CEO AwanTunai Dino Setiawan membenarkan adanya pendanaan baru tersebut, yang masuk dalam seri A3. Ia juga menjelaskan, bahwa investasi yang didapat terdiri dari dua jenis, yakni pendanaan ekuitas dan fasilitas pinjaman (debt facility). Untuk nilai di atas adalah pendanaan ekuitas, sementara debt facility belum disebutkan nilainya.

Di putaran ini, IFC menjadi penopang dana terbesar, menyubang sekitar 50% dari total nilai pendanaan ekuitas yang didapat. Masuknya institusi keuangan di bawah Bank Dunia tersebut di AwanTunai menambah daftar portofolionya di Indonesia. Sebelumnya IFC juga berinvestasi ke PasarPolis, ASSA, dan eFishery. Sebagian misinya untuk mencari proyek investasi berdampak, seperti untuk meningkatkan inklusi keuangan dan digitalisasi di sektor riil.

AwanTunai mengumumkan pendanaan seri A2 senilai $56,2 juta (lebih dari 811 miliar Rupiah) dalam bentuk ekuitas dan fasilitas pinjaman pada pertengahan tahun 2021 lalu. Pendanaan ekuitas sebesar $11,2 juta diberikan oleh investor baru BRI Ventures dan OCBC NISP Ventura, serta partisipasi dari investor sebelumnya, antara lain Insignia Ventures dan Global Brains.

Spesialisasi AwanTunai adalah pada pembiayaan rantai pasok, menyasar kalangan pelaku usaha mikro di daerah. Hingga Juni 2021, perusahaan telah bekerja sama dengan lebih dari 160 mitra supplier untuk membantu pedagang grosir tradisional melakukan digitalisasi dan pembiayaan usaha mereka.  AwanTunai telah melayani lebih dari 8.000 pedagang mikro sebagai pengguna, dengan peningkatan jumlah pengguna yang berasal dari kota tier 2 dan 3 di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Sukses Menjangkau 1 Juta ‘CEO’ UMKM Perempuan, Amartha Siap Jangkau Lebih Banyak dengan Kolaborasi

Bersamaan dengan momen International Women’s Day yang diperingati kemarin (8/3), hari ini (9/3), Amartha merayakan kesuksesannya dalam menjangkau satu juta pengusaha mikro perempuan. Selama 12 tahun berdiri, Amartha selalu fokus untuk menciptakan inklusi keuangan dan memastikan taraf hidup para pelaku usaha mikro, terutama perempuan, meningkat dengan memberikan akses permodalan.

Selain fokus untuk menjangkau lebih banyak UMKM, Amartha juga terus fokus mempertahankan kualitas pinjaman. Hal ini juga didukung dengan fakta bahwa Amartha telah mempertahankan perolehan NPL di bawah 0,5% sejak 2020.

Untuk itu, Andi Taufan Garuda Putra, selaku Founder & CEO Amartha, mengucapkan terima kasih dan merasa puas dengan semua tim yang telah berkolaborasi dalam menyediakan permodalan untuk para mitra Amartha. Kemudian, Andi juga menegaskan bahwa milestone ini bukanlah akhir, melainkan permulaan, dan yakin milestone selanjutnya akan dicapai lebih cepat daripada ini dengan bantuan kolaborasi dan fitur crowdfunding Amartha yang telah tersedia di aplikasi sejak akhir 2021 lalu.

“Pencapaian ini bukanlah akhir perjalanan melainkan permulaan bagi kami untuk terus menjangkau jutaan pengusaha UMKM lainnya, sehingga dibutuhkan kolaborasi yang lebih masif lagi dari masyarakat untuk mengakselerasi pertumbuhan UMKM perempuan di Indonesia,” kata Andi.

Kolaborasi memang sangat dibutuhkan di era saat ini untuk membantu mewujudkan misi sosial dari Amartha. Dalam kesuksesan mendanai satu juta ‘CEO’ UMKM perempuan, Amartha masih terus bertekad untuk bisa menjangkau lebih banyak lagi ‘CEO’ UMKM perempuan di seluruh Indonesia.

Selain berterima kasih kepada semua pihak yang membantu tercapainya satu juta mitra ini, Andi juga mengajak masyarakat luas untuk turut andil dalam mendanai UMKM perempuan bersama Amartha mulai dari Rp.100.000 dalam kampanye #100ribuSejutaPeluang.

 

Untitled

 

Menurut Aria Widyanto, Chief Risk and Sustainability Officer Amartha, dengan membantu mendanai mitra pengusaha perempuan melalui Amartha, para pendana bisa memastikan taraf hidup mitra meningkat dan dapat membantu mitra memperoleh biaya untuk pendidikan anak-anaknya.

Tidak hanya melalui pendanaan, Amartha juga masih terus konsisten dalam memberikan training mingguan kepada mitra secara berkelompok mengenai literasi keuangan, literasi digital, dan kemampuan kewirausahaan yang bisa membantu mitra mengakses pasar yang lebih luas lagi dan memiliki relasi baru.

Dengan strategi tersebut, Amartha mencatat ada 95% mitra yang telah berhasil memenuhi kebutuhan dasar. Kemudian, terdapat 96% mitra yang telah berhasil meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Dampak positif ini tidak hanya dirasakan oleh mitra dan keluarga, tapi juga komunitas di sekitar karena terciptanya lapangan kerja baru di desa dimana 75% dari total tenaga kerja juga datang dari kalangan perempuan.

Meskipun angka satu juta merupakan angka yang besar, tapi nyatanya hingga saat ini masih ada 30 juta UMKM yang belum mendapatkan akses ke permodalan. Fakta ini juga dipaparkan oleh Komisaris Utama Amartha, Rudiantara, dalam acara Virtual Media Briefing: Launching Satu Juta Mitra Amartha. Ia yakin bahwa microfinance seperti Amartha bisa menjangkau lebih banyak UMKM lagi terutama dengan adanya transformasi digital dan juga kolaborasi.

3 Catatan Penting dalam Membangun Layanan “Quick Commerce”

Dalam dua tahun terakhir, Indonesia mengalami pertumbuhan ritel online yang cukup signifikan. Memang kontribusinya masih sangat kecil, sekitar 10% terhadap total penjualan ritel nasional, namun pertumbuhan ini terbilang signifikan jika dibandingkan beberapa tahun lalu yang kontribusinya hanya 2%-4%.

Pertumbuhan ini turut didorong meningkatnya permintaan belanja on-demand di masa pandemi Covid-19. Masyarakat mulai memanfaatkan platform digital untuk berbelanja produk, terutama untuk kebutuhan sehari-hari atau (grocery).

Seiring dengan pertumbuhan permintaan, ekspektasi masyarakat terhadap pengiriman produk juga ikut meningkat. Para pelaku startup mulai mengembangkan inovasi untuk mengakomodasi kebutuhan belanja online secara cepat atau disebut sebagai quick commerce.

Pada sesi #SelasaStartup kali ini, Co-Founder dan CEO Astro Vincent Tjendra berbagi pandangan dan pengalamannya dalam membangun bisnis quick commerce di Indonesia. Berikut rangkuman selengkapnya.

Unsur kecepatan

Bicara quick commerce, pada dasarnya istilah ini punya konsep serupa dengan e-commerce. Bedanya, pengiriman barang di quick commerce dilakukan secara instan, setidaknya dalam kurun waktu satu jam.

Mengacu laporan RedSeer, quick commerce didefinisikan sebgai pengiriman barang habis pakai dalam rentang waktu 45 menit dengan biaya pengiriman normal. Faktor penggerak utama quick commerce di antaranya adalah  peningkatan permintaan pengiriman produk kebutuhan sehari-hari, perilaku belanja impulsif atau tidak terencana, termasuk perubahan perilaku konsumen akibat Covid-19.

Dalam mengembangkan Astro, Vincent menekankan unsur kecepatan dengan melakukan pengiriman hanya dalam 15 menit. Berbeda dengan pengiriman instan atau same day delivery yang memakan waktu lebih dari satu jam.

Menurutnya, penentuan waktu pengiriman 15 menit ini sesuai dengan riset yang telah dilakukan untuk mengakomodasi kebutuhan on-demand masyarakat yang betul-betul membutuhkan produknya saat itu juga, misalnya bahan masakan.

Namun, komitmen untuk memenuhi pengiriman dalam 15 menit saja dinilai cukup sulit dikarenakan Jakarta dan sekitarnya rentan macet. Ia menilai salah satu kunci untuk mengatasi hal ini adalah membangun titik (hub) penyimpanan produk sehingga memungkinkan pengirimannya ke lokasi terdekat pengguna.

“Di Jakarta saja rasanya tidak mungkin mengirimkan barang dalam 10-15 menit. Tetapi, dari transaksi yang dilakukan konsumen, 15 menit menjadi waktu yang cukup pas untuk mencapai radius tertentu. Kami juga melihat, meski konsep ini terbilang baru, konsumen mengapresiasi layanan [quick commerce] tuturnya.

Kurasi produk

Salah satu yang membuat e-commerce cukup banyak diminati dibandingkan toko ritel fisik adalah ketersediaan produk yang lebih beragam. Lalu, bagaimana platform quick commerce dapat mengurasi produk yang dapat dikirim secara cepat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat?

Pada kasus Astro, pihaknya memilih fokus mengakomodasi kebutuhan sehari-hari, seperti produk segar, bahan pokok, makanan dan minuman, hingga bahan-bahan darurat. Menurutnya, kata kunci kurasi produk didasarkan pada barang yang betul-betul dibutuhkan saat itu juga.

“Dengan kurasi ini, platform dapat memastikan ketersediaan produk karena stok sudah pasti akurat, pelayanan jadi lebih efisien karena mengurangi waktu untuk menanyakan ketersediaan produk. Platform jadi bisa fokus pada pengiriman saja,” ujar Vincent.

Meskipun demikian, pengecualian diberikan bagi produk segar. Menurutnya, ketersediaan stok tidak selalu equal dengan kualitas. Stok bisa jadi ada, tetapi belum tentu layak untuk dikirim. Mengingat produk segar selalu berkejaran dengan waktu konsumsi, penting untuk melakukan penyimpanan di kulkas dan pengecekan secara berkala di setiap hub. Ini yang menjadi salah satu tantangan dalam menjalani layanan quick commerce untuk produk segar.

Selain itu, Vincent juga menyoroti pentingnya penerapan harga produk yang tepat dalam menjalankan bisnis ini. Meski mengusung kecepatan, tak serta merta harga harus lebih murah atau mahal dibandingkan platform sejenis.

Pricing yang kompetitif itu penting, tetapi yang utama adalah menerapkan harga yang wajar bagi pembeli,” tambahnya.

Evaluasi pasar

Lebih lanjut, Vincent menilai bahwa ruang pertumbuhan quick commerce masih sangat besar mengingat penetrasi e-grocery saja hanya 0,4% dari total penetrasi e-commerce di Indonesia. Menurutnya, ini juga menjadi momentum untuk mengevaluasi peluang-peluang baru.

“Astro memang menitikberatkan value kecepatan kepada konsumen. Namun, kita perlu melihat apakah kecepatan menjadi sesuatu yang penting bagi pasar di tier 2 dan 3? Bisa jadi pasar-pasar di luar tier 1 lebih mementingkan harga atau kualitas produk. Ini menjadi hal yang perlu dipikirkan untuk bisa reach lebih banyak konsumen,” ujarnya.

Masih mengacu laporan RedSeer, saat ini quick commerce masih didominasi oleh konsumen di kota metropolitan. Segmen rumah tanggan berpenghasilan menengah ke atas di kota tier 1 ini diprediksi menjadi pendorong pertumbuhan, terutama segmen konsumen yang memilih kenyamanan dan belanja cepat pada produk habis pakai.

RedSeer memproyeksi penetrasi pasar quick commerce sebesar $0,3 miliar di 2021 dan akan tumbuh 10-15 kali lipat menjadi $5 miliar dalam lima tahun mendatang.

Application Information Will Show Up Here

EV-DCI 2022: Daya Saing Digital Antarprovinsi Makin Merata

Laporan East Ventures Digital Competitiveness Index (EV-DCI) 2022 menunjukkan tren positif untuk daya saing digital antarprovinsi di Indonesia yang semakin merata. Provinsi di luar Jawa, seperti Bengkulu, Papua Barat, Lampung, Aceh, NTT, dan Kalimantan Tengah, memiliki pertumbuhan skor lebih tinggi dibandingkan provinsi-provinsi di Pulau Jawa.

Laporan ini disusun East Ventures, Katadata Insight Center, dan PwC Indonesia. Tim EV-DCI mengukur perbandingan daya saing digital 34 provinsi dan kota/kabupaten di Indonesia dalam bentuk indeks, yang terdiri dari tiga aspek utama atau sub-indeks, yaitu input, output, dan penunjang.

Sub-indeks input dari pilar pembentuk, Sumber Daya Manusia (SDM), penggunaan TIK, dan pengeluaran untuk TIK. Untuk sub-indeks output dibentuk dari pilar perekonomian, kewirausahaan, dan produktivitas dan ketenagakerjaan. Sementara sub-indeks Penunjang dengan pilar infrastruktur, keuangan, serta regulasi dan kapasitas pemerintah daerah.

Hasil kajian tersebut menunjukkan, skor median indeks secara nasional pada 2022 mendapat skor 35,2 dari 32,1 di 2021 (skala 0-100). Angka ini menunjukkan daya saing digital di Indonesia semakin membaik, terlihat dari spread ekor EV-DCI antarprovinsi selama tiga tahun berturut-turut semakin mengecil.

Pada 2020 dan 2021 spread masing-masing 61,9 dan 55,6. Tahun ini hanya 48,3. Nilai spread, atau selisih antara skor provinsi tertinggi, adalah DKI Jakarta 73,2 dan terendah Papua 24,9.

“Semakin kecil nilai spread ini menunjukkan peningkatan daya saing digital dari provinsi-provinsi di urutan menengah dan bawah,” ucap Panel Expert Katadata Insight Center Mulya Amri saat konferensi pers digital, Senin (7/3).

Masih sama halnya dengan tahun lalu, posisi atas daya saing digital antar provinsi di Indonesia masih cenderung didominasi provinsi di Pulau Jawa. Di posisi tengah disusul provinsi yang umumnya berasal dari Pulau Sumatera dan Kalimantan. Sementara posisi terbawah masih didominasi provinsi yang umumnya berada di kawasan Timur. Kondisi ini masih terlihat konsisten selama tiga tahun berturut-turut.

Peta Sebaran Skor EV-DCI 2022 di 34 Provinsi di Indonesia / EV-DCI 2022

Skor EV-DCI 2022 tertinggi masih dipegang oleh DKI Jakarta dengan skor 73,2. Sementara itu, di posisi kedua dan ketiga ditempati oleh Jawa Barat dan DI Yogyakarta dengan skor 58,5 dan 49,2. Kalimantan Timur menjadi salah satu provinsi di luar Pulau Jawa yang berhasil masuk ke 10 besar di peringkat 7 dengan kenaikan skor 4,5, dengan skor EV-DCI 2022 sebesar 44,0.

Selain Kalimantan Timur, beberapa provinsi di luar Jawa mengalami peningkatan daya saing digital yang cukup baik. Contohnya, Bengkulu yang mengalami peningkatan skor EV-DCI 2022 tertinggi dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 7,8 poin menjadi 39,1. Kenaikan skor tersebut membuat Bengkulu naik tujuh peringkat, menjadi 12. Papua Barat dan Lampung juga menunjukkan peningkatan daya saing digital yang signifikan; masing-masing naik 11 peringkat ke posisi 19 dan enam peringkat ke posisi 20.

Penurunan signifikan terjadi pada provinsi Jawa Tengah dan Jambi. Jawa Tengah turun enam peringkat ke posisi 14 dengan skor 38,0 dari skor 42,6 di 2021. Sementara Jambi turun 10 peringkat dari posisi 20 ke 30 dengan skor 31,9 walaupun skornya pada 2022 (31.9) lebih tinggi daripada pada 2021 (30.9).

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun Jambi mengalami peningkatan skor, namun provinsi lainnya meningkat dengan lebih baik dibandingkan Jambi dan berhasil mendapatkan peringkat yang lebih tinggi. Secara umum, meskipun terjadi penurunan peringkat pada beberapa daerah, namun skor indeks pada sebagian besar daerah terutama kelompok daerah menengah dan bawah mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan perbaikan kondisi ekonomi digital daerah di Indonesia.

Operating Partner East Ventures David F. Audy menambahkan, menurunnya peringkat di provinsi bukan menunjukkan terjadi penurunan. Ambil contoh, satu provinsi pertumbuhan ekonominya 5%, tapi ada provinsi lain yang tumbuh lebih tinggi dari itu dan berada peringkat di atas. Provinsi yang tadinya tertinggal, terus mengejar. Sementara provinsi yang besar semakin besar pertumbuhannya pasti makin melambat angka pertumbuhannya.

“Seperti Papua Barat yang sekarang naik 11 peringkat, tapi skornya masih jauh dari DKI Jakarta. Tapi sekarang mediannya makin sempit. Jadi artinya ini makin bagus karena semakin merata, sekarang tinggal menyelesaikan bagaimana bisa lebih cepat lagi adopsi digitalnya,” ucap David.

Pilar infrastruktur yang menjadi pilar tertinggi di tahun sebelumnya juga masih mengalami peningkatan skor pada EV-DCI 2022. Pada EV-DCI 2022, pilar ini meningkat 10,5 poin menjadi 64,8. Spread pada pilar infrastruktur juga mengecil 8,3 poin atau mencapai 79,0 di tahun ini, dibandingkan tahun sebelumnya spread pilar ini sebesar 87,3.

Penurunan kesenjangan daya saing digital di daerah-daerah ini ditunjukkan juga dengan peningkatan skor pada pilar kewirausahaan dan produktivitas. Pilar ini meningkat 10,1 poin menjadi skor 23,6 pada EV-DCI 2022. Selain itu, Pilar regulasi dan kapasitas pemda juga mengalami peningkatan 19,1 poin menjadi 54,6 tahun ini.

EV-DCI 2022
EV-DCI 2022

Desentralisasi Rambah Industri Musik, Netra Perkenalkan Platform NFT Musik Berbagi Royalti

Desentralisasi kini tidak hanya merambat di sektor finansial, tetapi juga meluas hingga ke industri musik. Konsep terdesentralisasi Web 3.0 mendorong kemunculan berbagai proyek Web 3.0, termasuk Netra, platform NFT musik berbagi royalti (royalty sharing) yang memanfaatkan teknologi blockchain dan diklaim sebagai yang pertama di Asia.

Berbasis blockchain, Layanan web3 Netra memungkinkan musisi lokal Indonesia maupun internasional menawarkan kepemilikan dan hak royalti atas karya musik mereka dalam bentuk aset digital NFT ke para penggemarnya. Teknologi ini diharapkan bisa membawa kesejahteraan yang lebih merata pada produsen inti industri musik, yaitu musisi.

Netra memungkinkan musisi meraih pendapatan alternatif dari kegiatan berkarya yang pada dasarnya mengurangi atau menghilangkan porsi pekerjaan (dan porsi bagi hasil) oleh penengah seperti distributor, bahkan label. Selain musisi, para penikmat musik juga diberi kesempatan ikut berkontribusi sebagai investor yang punya kepemilikan dan bisa mendapat royalti dari streaming.

Menurut rilis resmi, CEO Netra Setiawan Winarto menjelaskan, visi utama Netra adalah untuk menjadi platform dan sebagai partner para musisi untuk memasuki dunia Web3, Blockchain dan Metaverse. Selain itu, Netra juga punya misi memberi fans kesempatan memiliki legacy abadi dari para musisi yang tidak bisa terjadi tanpa teknologi blockchain.

Sederhananya, ketika kita membeli CD/album, kita hanya membeli salinan lagu. Kita tidak memegang kepemilikan atau ownership apa pun. Netra ingin mengubah hal ini.

Sekarang para penikmat musik dapat membeli NFT dari lagu favorit, serta memiliki sebagian dari kekayaan intelektual lagu itu sendiri. Memiliki NFT Netra berarti memiliki lagu yang dibuat artis favorit Anda dan akan mendapat royalti setiap kali lagu tersebut diputar.

Saat ini, Netra sudah resmi diperkenalkan dan sedang bersiap membuka akses whitelist untuk bisa membeli NFT mereka. Pihaknya sudah mempersiapkan setidaknya 4 artis, termasuk Dewa Budjana, Indra Lesmana, Andra Ramadhan, dan Lalahuta yang akan didistribusikan dan masuk platform Netra. Setiap lagu yang didistribusikan Netra nantinya akan dipecah royaltinya.

NFT pertama akan dirilis tepat pada tanggal 9 Maret sekaligus memperingati Hari Musik Nasional. Karya Dewa Budjana menjadi debut NFT musik di Netra. Dalam konferensi pers, Netra sempat memaparkan perhitungan royalti dalam platformnya. Royalti sebesar 50% akan dimiliki oleh artis alias Dewa Budjana sendiri dan 50% lagi akan dipecah untuk didistribusikan ke mereka yang tertarik.

Kepemilikan royalti atas streaming lagu ini akan ditandai oleh token dalam bentuk NFT yang terbagi menjadi 3 tier, yaitu Gold (0,02% royalti atas streaming), platinum (0,05%). dan Legend (bisa mendapatkan 0.3% serta akses eksklusif dari acara yang diadakan musisi).

Untuk perhitungan royalti sendiri, distribusi akan dilakukan setiap 6 bulan ke wallet yang telah terkoneksi dengan Netra, yang juga sebagai penanda kepemilikan NFT, karena semuanya telah terkoneksi di alamat wallet yang sama. Sedangkan perhitungan royalti streaming mengikuti mekanisme yang ada di platform masing-masing tempat lagu diputar.

Di sisi lain, lagu yang didistribusikan Netra tetap harus mendapatkan jumlah putar yang tinggi jika para holder NFT-nya ingin mendapatkan royalti. Hal ini bisa mendorong para holder untuk ikut mempromosikan lagu agar banyak didengar. Beberapa platform streaming yang terlibat dalam distribusi musik dan didata pemutarannya termasuk Spotify, Apple Music, YouTube Music, dan lainnya.

COO Netra Bryan Blanc menambahkan, “Inovasi teknologi blockchain di dunia musik tidak ada batasnya dan Netra memiliki banyak rencana untuk masa depan industri musik melalui blockchain, mulai dari decentralized music hingga dunia music metaverse. Namun, langkah pertama Netra adalah fokus mendesentralisasikan industri musik untuk menjadi adil, transparan, dan abadi.”

Transparansi di teknologi blockchain

Salah satu masalah yang teridentifikasi di dunia musik adalah terkait transparansi. Musisi dari seluruh dunia telah lama mengaku kesulitan untuk hidup dengan mengandalkan musik karena adanya pemain-pemain besar yang bertindak sebagai penengah namun kurang memberi kejelasan dan transparansi tentang distribusi royalti.

Dengan menerapkan prinsip desentralisasi, keuntungan yang diperoleh melalui streaming musik akan langsung ditransfer ke musisi dan dapat diklaim oleh pemilik NFT Netra tanpa intervensi pihak ketiga. Dan dengan memanfaatkan teknologi blockchain, keamanan dan keaslian setiap transaksi bersifat terjamin dan transparan.

Kehadiran blockchain dianggap menjadi standar baru dalam transparansi di dunia musik. Blockchain memungkinkan transparansi data yang belum pernah ada sebelumnya. Dengan karakteristik desentralisasi dan trustless, segala riwayat transaksi yang terjadi di dalam blockchain bisa diakses siapa saja, namun di saat yang sama tidak bisa dimanipulasi siapapun.

Terkait smart contract, Netra menggunakan Matic yang berjalan di atas blockchain Polygon. Hal ini dinilai bisa menekan cost untuk gas fee karena di Polygon gas fee tidak akan semahal di ETH layer 1. Netra juga menyebutkan bahwa nantinya NFT ini akan bisa diperjualbelikan di secondary market Opensea.

Target dan rencana ke depan

Setiawan mengungkapkan saat ini pihaknya masih fokus untuk bisa scale-up secepat mungkin dan onboarding sebanyak mungkin artis dan pengguna. Melihat jangkauan teknologi blockchain yang sangat luas, Netra menargetkan tidak hanya musisi atau penikmat musik di Indonesia saja yang bergabung di platform, tetapi juga Asia dan global. Sama seperti musik yang bisa dinikmati dari berbagai belahan dunia, harapannya teknologi ini juga bisa menjangkau pasar yang lebih luas.

Di kancah global, Kings of Leon resmi merilis album dalam bentuk NFT di paltform musik berbasis blockchain, yaitu Yellow Heart. Selain itu, ada juga Mike Shinoda, vokalis Linkin Park yang melelang versi NFT lagunya melalui Zora. Di industri musik tanah air, ada band Souljah yang memanfaatkan NFT untuk memasarkan karya seni lagu berjudul “Keep On Moving” di platform Hic Et  Nunc.

Namun, seperti disampaikan Ario Tamat, Co-Founder dan CEO Karyakarsa dalam tulisan tamunya di DailySocial, ada faktor lain yang sangat mempengaruhi kemungkinan seorang artis atau musisi mendapatkan penghasilan dari karyanya melalui merchandise sampai NFT, bahkan mendapatkan pemasukan lebih dari layanan music streaming. Faktor itu adalah basis pendengar atau fans.

Ia juga menyebutkan bahwa NFT dan merchandise, layaknya “barang jualan”. Kalau barang jualannya tidak ada potensi massa yang berminat membeli, akan menjadi masalah. Pembentukan massa pendengar, penikmat dan fans tetap menjadi unsur penting dalam membangun karier seorang musisi komersial.

Zenius Terima Pendanaan Lanjutan dari MDI Ventures

Startup edtech Zenius hari ini (7/3) mengumumkan perolehan pendanaan dari MDI Ventures dengan nominal dirahasiakan. Secara total Zenius disebutkan telah mengumpulkan lebih dari $40 juta (lebih dari 576 miliar Rupiah) dari jajaran investornya. Investor terdahulu (Northstar Group, Alpha JWC Ventures, Openspace Ventures) dan investor baru (Beacon Venture Capital sebagai perusahaan modal ventura milik  Kasikorn Bank Thailand) turut bergabung dalam putaran tersebut.

Tidak dijelaskan pendanaan segar ini masuk ke dalam putaran baru atau melanjutkan putaran Pra-Seri B yang sudah diumumkan pada tahun lalu.

Dalam keterangan resmi, CEO Zenius Rohan Monga mengatakan, pendanaan ini akan mendukung pengembangan lebih lanjut dan perluasan ekosistem pembelajaran di Zenius. Pihaknya akan terus fokus pada peningkatan pengalaman belajar yang dipersonalisasi dengan meningkatan motivasi belajar siswa.

“Melalui jaringan baru yang kami peroleh dari Primagama, kami akan memperluas jangkauan kami untuk meningkatkan dampak yang kami miliki dalam dunia pendidikan. Kami sangat percaya bahwa model pembelajaran hybrid, yaitu gabungan antara offline dan online, akan memberikan hasil terbaik bagi siswa,” kata Monga.

Menurutnya, dengan dukungan investor strategis seperti MDI Ventures, perusahaan mampu memperluas jaringan kemitraan dan distribusi layanan untuk memberikan dampak yang lebih besar dan lebih dalam bagi pendidikan Indonesia.

“Zenius memiliki rekam jejak yang telah terbukti dalam memberikan dampak bagi pendidikan di Indonesia. Sejak didirikan pada 2004, Zenius kini telah mengembangkan ekosistem pembelajaran yang komprehensif,” kata CEO MDI Ventures Donald Wihardja.

Sejak didirikan pada tahun 2004, Zenius telah membantu lebih dari 1,5 juta alumni untuk masuk ke universitas negeri/impian mereka. Tahun lalu, tujuh dari 10 pengguna premium Zenius berhasil lolos Ujian Tertulis Berbasis Komputer (UTBK), sementara pendapatan Zenius meningkat empat kali lipat, salah satunya ditopang oleh “Live Class”.

Setelah akuisisi Primagama, Zenius juga melengkapi ekosistem pembelajarannya dengan berkolaborasi dengan Disney untuk segmen sekolah dasar, serta mengembangkan ZenPro, sebuah platform untuk segmen pembelajaran profesional atau seumur hidup.

“Zenius adalah pemain yang kolaboratif. Kami yakin dapat mewujudkan misi kami untuk merangkai Indonesia yang lebih cerdas, cerah, dan asik melalui kolaborasi, kemitraan, dan sinergi dengan berbagai pemangku kepentingan, seperti MDI yang memiliki visi yang sama, yaitu memajukan pendidikan di Indonesia,” kata Rohan.

Kompetisi pasar dan proposisi nilai

Sektor edtech di Indonesia cukup berkembang pesat, apalagi sejak pandemi. Dua pemain yang saat ini mendominasi adalah Ruangguru dan Zenius, dengan varian sub-produk yang dimiliki keduanya juga nyaris memiliki kesamaan.

Satu hal yang selalu digaungkan Zenius adalah di sisi materi. Alih-alih mengajak peserta didik hanya menghafal, materi di Zenius mengedepankan pada pemahaman konsep fundamental dan cara berpikir kritis melalui berbagai studi kasus.

Di luar Zenius dan Ruangguru, sejumlah platform edtech juga terus bermanuver. Yang terbaru CoLearn baru saja membukukan pendanaan Seri A senilai 244 miliar Rupiah. Aplikasinya fokus pada pembelajaran matematika dan sains, membantu para siswa menyelesaikan berbagai PR secara mandiri. Di luar itu masih ada Pahamify, Squline, dan lain-lain.

Hadirnya Primagama di jajaran lini bisnis Zenius berpotensi menguatkan proposisi nilai jika benar-benar berhasil membungkus pengalaman belajar hibrida – ini juga bisa menjadi yang pertama di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here