BukuKas Tutup Pendanaan Seri C 1,1 Triliun Rupiah; “Rebranding” Menjadi Lummo

BukuKas, startup pengembang aplikasi pencatatan keuangan untuk UMKM, mengumumkan perolehan pendanaan seri C senilai $80 juta (lebih dari 1,1 triliun Rupiah). Tiger Global dan Sequoia Capital India menjadi pemimpin dalam putaran ini, turut diikuti oleh CapitalG selaku arm investing dari induk Google Alphabet Inc, dan sejumlah angel investor, seperti Santiago Sosa (Nuvemshop) dan Maximilian Bittner (Lazada); serta investor sebelumnya seperti Hedosophia.

Total capaian investasi yang berhasil diperoleh BukuKas sejak dua tahun berdiri ditaksir lebih dari $150 juta. Diproyeksikan valuasi perusahaan dapat mencapai $500 juta. Sejak putaran seri B yang diumumkan pada Mei 2021, BukuKas telah mencapai status centaur.

Rebranding jadi Lummo

Dalam kesempatan tersebut, perusahaan sekaligus mengumumkan perubahan merek menjadi Lummo. TOKKO yang berada di bawah BukuKas, juga ikut di-rebranding menjadi LummoSHOP.

Lummo diambil dari bahasa latin “lumen” yang berarti “cahaya”. Pemilihan nama ini sejalan dengan ambisi perusahaan untuk menjadi penerang bagi para pengusaha dan pemilik merek, dan memudahkan mereka dengan berbagai potensi untuk membangun bisnis melalui layanan perangkat lunak penghubung bisnis dengan pelanggannya (D2C SaaS).

Co-founder & CEO Lummo Krishnan Menon menjelaskan, perubahan nama ini menandakan ambisi yang serius dari perusahaan untuk menjadi top of mind sebagai solusi untuk UMKM. Nama sebelumnya, BukuKas, dianggap kurang mengaspirasi ambisi perusahaan yang ingin menjangkau lebih banyak segmen bisnis UMKM.

“Kami banyak membangun SaaS yang menyasar ke banyak segmen merchant, mengingat pengguna kami datang dari berbagai level usaha. Sehingga, peran kami adalah menyoroti semua kebutuhan merchant dan brands, sebelumnya banyak aplikasi yang hanya memfokuskan ke konsumer. Kita percaya Lummo akan jadi nama yang lebih besar dari BukuKas dan TOKKO,” ucapnya dalam konferensi pers virtual yang digelar hari ini (19/1).

Terkait penggunaan dana investasi, Co-founder & COO Lummo Lorenzo Peracchione menuturkan akan dipakai untuk memperluas penawaran produk agar dapat melayani lebih banyak pengusaha UMKM dan brand. Strategi tersebut tentunya dapat dicapai dengan diperlukannya merekrut lebih banyak talenta digital. Tak hanya itu, perusahaan mulai mengincar ekspansi ke pasar ASEAN yang memiliki permasalahan yang sama dengan Indonesia.

“Di ASEAN ada potensi yang besar dan punya kebutuhan yang sama dengan Indonesia. Tapi, kami masih menjadikan Indonesia sebagai pasar utama, masih banyak UMKM yang belum tergarap,” ujar Peracchione.

LummoSHOP

Lummo diluncurkan pertama kali di Desember 2019 dengan nama BukuKas, yaitu aplikasi pembukuan untuk UMKM yang memiliki misi memberdayakan dan mendukung lebih banyak UMKM menuju digitalisasi. Kemudian pada November 2020, perusahaan berekspansi meluncurkan TOKKO, layanan pembuat toko online yang memungkinkan pelaku usaha membangun relasi langsung dengan pelanggan.

Di tengah tingginya persaingan bisnis online, UMKM merasakan manfaat yang besar untuk mengelola bisnisnya lebih baik dengan memanfaatkan solusi teknologi yang dihadirkan TOKKO, sehingga Gross Merchandise Value (GMV) di TOKKO (sekarang menjadi LummoSHOP) tumbuh hingga 11 kali lipat dari Desember 2020 sampai dengan Desember 2021.

Untuk memperkuat komitmen mendorong digitalisasi UMKM daerah, perusahaan juga menghadirkan TOKKO Semesta yaitu sebuah program komunitas bagi UMKM dengan memberikan pendampingan, mentorship, dan pelatihan bisnis online dengan pendekatan personalisasi yang menyesuaikan dengan kebutuhan skala bisnis UMKM secara online maupun offline.

Evolusi LummoSHOP memperkuat keunggulan perusahaan dalam solusi inovasi teknologi yang menghubungkan bisnis langsung dengan pelanggan seperti chat commerce, integrasi katalog, custom domain, manajemen toko multi platform, fitur personalisasi untuk branding bisnis, dan beragam inovasi menarik lainnya.

Fitur manajemen toko multi-platform yang ada di LummoSHOP memudahkan UMKM untuk mengelola semua pesanan pelanggan mereka dari beberapa platform belanja sekaligus dan menjadikan LummoSHOP pusat pengelolaan operasional bisnis online mereka. Layanan tersebut juga membantu UMKM untuk membuat situs web resmi tokonya sehingga mereka dapat membangun merek dan identitas unik bisnis online-nya.

Dengan pendekatan D2C yang dimiliki LummoSHOP, UMKM dapat memanfaatkan solusi teknologi seperti mengakses riwayat pembelian, pengelolaan basis pelanggan, serta analitik lainnya yang penting untuk membangun dan mengembangkan basis pelanggan yang kuat, tanpa adanya halangan dari pihak ketiga.

Setelah rebranding ke LummoSHOP, perusahaan akan meningkatkan upayanya dalam mendukung kesuksesan pelaku usaha melalui pendekatan perdagangan online D2C, serta menjadikan pengusaha lokal Indonesia bisa mengelola dan mengembangkan bisnis mereka secara lebih mandiri dan optimal agar lebih siap bersaing.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Selain Pengelolaan Keuangan, Aplikasi PINA Kini Akomodasi Investasi Saham dan Reksa Dana

Setelah merampungkan pendanaan awal yang dipimpin 1982 Ventures akhir tahun 2021 lalu, pengembang aplikasi pengelolaan keuangan personal PINA mulai menggulirkan sejumlah fitur di aplikasinya. Dengan menyematkan produk saham dan reksa dana, kini pengguna bisa melakukan investasi langsung dalam platform. Berada dalam naungan Trust Sekuritas, PINA menawarkan berbagai macam fitur teknologi untuk mempermudah pengelolaan keuangan.

Kepada DailySocial.id, Co-founder PINA Christian Hermawan yang juga menjabat sebagai President Director Trust Sekuritas menyebutkan, dengan lisensi yang telah dimiliki, PINA memberikan pilihan kepada pengguna untuk berinvestasi kepada saham dan reksa dana. Trust Sekuritas sudah terdaftar dan diawasi oleh OJK.

“Saya dan Daniel Van Leeuwen (CEO PINA) memiliki latar belakang yang berbeda namun merasakan kesulitan yang sama. Daniel dengan background di digital dan saya lebih kepada pen and paper industry, diharapkan bisa saling melengkapi,” kata Christian.

PINA juga memastikan investasi milik pengguna nantinya tetap aman berada di Rekening Dana Nasabah (RDN) milik sendiri dan investasi pengguna di simpan di KSEI (Kustodian Sentral Efek Indonesia) melalui Trust Sekuritas.

Trust Sekuritas juga mendapat kepercayaan untuk bekerja sama dengan beberapa perusahaan aset manajemen seperti Sinarmas Asset Management, BNI Asset Management, Sucorinvest Asset Management, serta BNI di mana rekening dana nasabah disimpan.

Disinggung apakah ke depannya PINA memiliki rencana untuk menambahkan aset kripto ke dalam platform, Christian menegaskan belum ada rencana untuk ke arah sana. Fokus mereka saat ini adalah memperkenalkan produk saham dan reksa dana serta tools pengelolaan finansial.

Fitur unggulan PINA

Menargetkan generasi mudah, PINA memiliki beberapa fitur yang diklaim menjadi unggulan. Di antaranya adalah PINASave, tools yang bisa mengatur keuangan. Kemudian ada juga PINAInvest yang telah diotomatisasi agar investasi menjadi lebih mudah. Ada juga PINACash yang merupakan fitur menabung. Kemudian PINA juga menghadirkan PINAClassroom, yang merupakan wadah bagi pengguna untuk mendapatkan informasi mengenai finansial secara gratis.

PINA juga telah terintegrasi dengan berbagai macam aspek keuangan investor seperti tabungan, deposito, BPJS, kartu kredit dan lainnya. Bank yang sudah tersedia dalam platform saat ini di antaranya adalah BNI, BCA, Mandiri dan CIMB Niaga — rekening pengguna dapat diintegrasikan langsung ke aplikasi untuk dicatatkan pelaporan keuangannya.

Diharapkan hanya dalam satu platform, pengguna tidak perlu menggunakan banyak aplikasi untuk mengelola semua kegiatan finansial. Secara resmi aplikasi PINA telah meluncur sejak akhir tahun 2021 lalu.

“Bagi generasi muda yang kami hadirkan adalah kemudahan akses informasi dan akses langsung ke berbagai channel. Dengan koneksi tersebut bisa memudahkan kegiatan finansial dalam satu platform,” kata Co-Founder & CEO PINA Daniel Van Leeuwen.

Platform yang menawarkan layanan serupa seperti PINA di antaranya adalah Halofina, Finansialku, dan Fundtastic. Tidak sekadar aplikasi pencatatan keuangan pribadi, mereka juga menyematkan layanan investasi dan edukasi keuangan di aplikasinya — misinya memudahkan setiap pengguna mencapai tujuan finansialnya.

Menjadi bagian dari Y Combinator

Untuk mendapatkan informasi dan wawasan lebih luas lagi usai mengantongi investasi perdana tahun lalu, PINA kemudian mendaftarkan diri untuk menjadi bagian dari program Y Combinator (YC). Saat ini PINA masih mengikuti program tersebut yang akan berakhir bulan Maret 2022 mendatang.

Menurut Daniel ada kebanggaan tersendiri bagi tim PINA bisa berhasil lolos dalam program YC batch W22. Selain mewakili Indonesia, sekaligus juga memvalidasi model bisnis yang mereka miliki.

“Alasan saya mendaftar di program YC adalah untuk mendapatkan masukan dari pada pendiri startup yang telah mengikuti program dan tentunya partner dari Y Combinator sendiri. Harapannya saya bisa terhindar dari kesalahan saat membangun startup,” kata Daniel.

Selain mendapatkan kesempatan untuk memperluas jaringan kepada investor secara global, secara langsung PINA juga telah mendapatkan modal tambahan dari YC senilai $500 ribu. Dana segar tersebut kemudian bisa dimanfaatkan oleh PINA untuk mengembangkan produk lebih baik lagi.

“Untuk bisa bersaing dengan pemain lainnya tentu saja kembali lagi kepada produk yang kita miliki. Saat ini belum ada platform wealth management dan investasi dalam satu platform, hal tersebut yang kemudian membedakan kami dengan platform serupa lainnya. Kami juga ingin memberikan value berupa informasi dan masukan kepada pengguna dengan menyediakan tools yang tepat untuk bisa mengelola finansial mereka,” kata Daniel.

Application Information Will Show Up Here

Telkomsel Resmikan Anak Usaha Baru untuk Mewadahi Inisiatif Digital Perusahaan

Dalam upaya mendukung kelangsungan peta jalan transformasi digital di Indonesia, Telkomsel secara khusus membentuk sebuah entitas baru yang dinamakan PT Telkomsel Ekosistem Digital. Hal ini dinyatakan sebagai wujud keseriusan perusahaan dalam memperluas portofolio bisnis digital.

PT Telkomsel Ekosistem Digital akan mengambil posisi sebagai perusahaan induk yang menaungi beberapa anak perusahaan dari portofolio bisnis vertikal Telkomsel di sektor digital. Melalui inisiatif ini, mereka akan mengoptimalkan pemanfaatan sinergi seluruh ekosistem aset yang dimiliki. Hingga saat ini, perusahaan belum mengumumkan nama resmi yang akan digunakan sebagai brand atau identitas bisnis.

Selain itu, pembentukan anak usaha baru Telkomsel ini juga diharapkan bisa membuka peluang serta mempermudah pemanfaatan teknologi digital terkini. Hal ini semata-mata bertujuan untuk memperkuat ekosistem digital tanah air demi mengantarkan Indonesia menjadi digital powerhouse di Asia Tenggara.

Direktur Utama Telkomsel Hendri Mulya Syam mengatakan, “Telkomsel ingin terus memberikan manfaat kepada masyarakat dengan mengoptimalkan kapabilitas digital trifecta (digital connectivity, digital platform, dan digital service) yang dimiliki untuk mendorong perluasan portofolio bisnis di berbagai sektor, terutama yang dapat memperkuat perekonomian digital nasional.”

Indonesia kini telah menjadi salah satu negara dengan penetrasi ekonomi digital yang terus tumbuh positif setiap tahunnya dengan transaksi digital yang diproyeksikan mencapai $124 miliar pada tahun 2025.

Berdasarkan studi yang dilakukan Google, Temasek, dan Bain & Co., sekitar 41,9% dari total transaksi ekonomi digital Asia Tenggara berasal dari Indonesia. Nilai ekonomi digital Indonesia sendiri pada 2020 telah mencapai $44 miliar, tumbuh 11% dibandingkan 2019, dan memiliki kontribusi sebesar 9,5% terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

“Kami berharap, PT Telkomsel Ekosistem Digital dapat menjalankan perannya memperkuat Telkomsel sebagai digital ecosystem enabler, melalui optimalisasi kapabilitas ekosistem layanan digital yang dimiliki, guna mewujudkan visi Indonesia menjadi salah satu negara ekonomi digital terbesar di dunia,” ungkap Hendri.

Di tahap awal, PT Telkomsel Ekosistem Digital akan dipimpin oleh Andi Kristianto sebagai Chief Executive Officer (CEO). Sebelumnya, Andi juga pernah menjabat sebagai CEO Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) dan SVP Corporate Strategy and Strategic Investment di Telkomsel. Selain itu, Andi juga akan didampingi oleh Andry Firdiansyah sebagai Chief Financial Officer (CFO) dan Chief Human Resource Officer (CHRO), dan Luthfi K. Arif sebagai Chief Technology Officer (CTO).

Inisiatif digital Telkomsel

Beberapa tahun terakhir, Telkomsel telah memperluas cakupan solusi digitalnya melalui divisi inkubasi dan akselerasi internal Telkomsel Innovation Center (TINC) dan Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) sebagai perusahaan perpanjangan investasi di luar ekosistem perusahaan. Ini menjadi salah satu langkah strategis untuk mencari model bisnis yang tepat bagi bisnis telekomunikasinya.

Dalam upaya mendorong pengembangan di gelombang pertama, PT Telkomsel Ekosistem Digital akan fokus pada tiga sektor industri digital, yakni edtech, healthtech, dan gaming. Ketiga lini bisnis tersebut dinilai berpotensi untuk mendorong perekonomian digital nasional dan akan menjadi bagian dari emerging portofolio bisnis digital Telkomsel yang berkelanjutan.

Di pertengahan tahun 2021, Telkomsel memperkenalkan Kuncie, platform edtech yang menyediakan layanan pembelajaran pengembangan bisnis di berbagai macam kategori dengan mentor berpengalaman. Edtech merupakan vertikal bisnis yang mungkin belum pernah menjadi diversifikasi lini bisnis operator telekomunikasi, baik dikembangkan sendiri maupun lewat skema investasi atau kemitraan strategis.

Selang beberapa waktu, tepatnya di akhir tahun 2021, perusahaan resmi meluncurkan platform digital terbaru Fita yang bermain di segmen prevented healthcare. Produk ini disebut mengamalkan growth mentality yang lekat pada kultur startup. Sebelumnya, aplikasi Fita sudah lebih dulu hadir di Google Play Store dan Apps Store pada pertengahan tahun ini.

Dalam waktu dekat, Telkomsel berencana melakukan pemekaran usaha melalui pemisahan keseluruhan bisnis aplikasi Kuncie dan Fita untuk dialihkan kepada PT Telkomsel Ekosistem Digital, guna memperkuat penetrasi bisnis vertikal, masing-masing di sektor edutech dan healthtech.

Sedangkan untuk sektor gaming, Telkomsel juga telah mengalihkan kontrak usaha patungan kepada PT Telkomsel Ekosistem Digital untuk mendirikan perusahaan Joint Venture (JV) yang memiliki fokus bisnis sebagai perusahaan penerbit (publisher) gaming guna meningkatkan kompetensi dan kapabilitas di vertikal bisnis Telkomsel di industri gaming.

Azure Ventures Suntik Startup D2C Fine Counsel, Perkuat Teknologi dan Analitik

Startup fesyen D2C Fine Counsel mengumumkan pendanaan segar yang dipimpin oleh Azure Ventures dengan nominal dirahasiakan. Perusahaan akan menggunakan dana segar tersebut untuk berinvestasi dalam pengembangan brand, inovasi produk, perluasan distribusi omni-channel, serta mengembangkan teknologi dan analitik untuk memberikan pengalaman pelanggan yang lebih seamless.

Fine Counsel didirikan pada 2018 oleh Kaleb Lucman dengan visi menciptakan produk gaya hidup kelas premium yang setara dengan kualitas internasional. Variasi produk-produk sepatunya menyeimbangkan penampilan classy dengan casual, juga mengedepankan kenyamanan dan fungsi utama dari produknya. Sejak diluncurkan, perusahaan telah berkolaborasi dengan banyak mitra, seperti Mini Cooper, Big Bear and Bird, dan atlet bulu tangkis Greysia Polii. Dengan kemitraan tersebut, mampu mendongkrak pendapatan hingga sepuluh kali lipat.

Kaleb mengungkapkan adanya kemungkinan untuk mengakuisisi brand yang memiliki kesamaan visi dan nilai untuk melengkapi ekosistem Fine Counsel. “Kami selalu ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia memiliki potensi untuk memproduksi hasil karya yang berkualitas tinggi dan desain yang berkelas,” ucap Kaleb dalam keterangan resmi.

Pemegang saham dan brand ambassador Fine Counsel Greysia Polii menambahkan, “Kami berusaha untuk menjadikan Fine Counsel sebagai brand lifestyle terkemuka di Indonesia yang identik dengan desain dan kualitas yang baik. Perusahaan ini memiliki fundamental yang dapat merebut hati para penggemar fashion di Indonesia dan seterusnya.”

Mengomentari terkait investasi yang dikucurkan, Managing Partner Azure Ventures Felix Setyomulyono mengatakan, Fine Counsel adalah salah satu merek D2C dengan rekam jejak inovasi produk yang kuat dan memiliki hubungan yang erat dengan pelanggannya. “Kami bangga dan bersemangat untuk bermitra dengan tim Fine Counsel dalam fase pertumbuhan berikutnya dalam mengintegrasikan teknologi ke pasar, mengembangkan merek mereka lebih cepat dan mencapai pertumbuhan yang stabil,” tutur dia.

Tren D2C

Menurut data yang dihimpun dalam laporan “Driving Growth with D2C” oleh Ogilvy, Commercetolls, dan Verticurl, pemilik brand saat ini dinilai harus memiliki strategi digital D2C untuk dapat memenangkan pasar. Tujuan utamanya untuk membangun hubungan yang lebih personal dengan pelanggan, sehingga bisa menciptakan pengalaman brand yang lebih efektif dan menarik sebagai proposisi nilai. D2C memberikan kepemilikan data pelanggan yang tak ternilai.

Salah satu studi kasus yang banyak diceritakan adalah kesuksesan Perfect Diary, sebuah brand kosmetik asal Tiongkok. Didirikan sejak tahun 2016, startup tersebut mencapai pertumbuhan yang mengesankan sepanjang 2 tahun bisnis berjalan. Bahkan di 2019, mereka menjadi salah satu dari tiga brand dengan penjualan terbanyak. Hingga akhirnya pada tahun 2020 memutuskan IPO dengan valuasi $7 miliar. Strategi utama mereka tidak lain dengan D2C.

Ada tiga pilar utama yang idealnya didapat pemilik brand dalam strategi D2C mereka. Pertama, memungkinkan mereka menemukan diferensiasi produk, nilai unik tersebut dinilai akan mengundang lebih banyak pelanggan. Kedua, kemampuan memberdayakan data pelanggan untuk lebih memahami kebutuhan dan karakteristiknya. Dan ketiga, mendorong kepemimpinan brand dengan tingkat ketangkasan lebih secara menyeluruh, termasuk di sisi operasional.

Melihat peluang yang sama, beberapa pemain lokal mencoba keberuntungan di sektor tersebut. East Ventures sendiri turut berinvestasi ke startup D2C lainnya di bidang perawatan kulit bernama Base dan minuman nabati bernama Mohjo. Ada juga Hypefast yang hadir membantu pemilik brand untuk menajamkan strategi D2C mereka — termasuk dengan memberikan dukungan permodalan, jaringan, akses, dan operasional.

Di sisi investor, selain East Ventures beberapa pemodal ventura lokal lainnya juga mulai masuk ke sana. Mulai Alpha JWC Ventures, AC Ventures, hingga BRI Ventures melalui Sembrani. Terbaru ada Kinesys yang menjalin kerja sama dengan The-Wolfpack khusus untuk memperkuat ekosistem D2C di portofolionya.

Untuk bisnis fesyen sendiri, hingga saat ini masih mendominasi penjualan di online shopping secara global. Inovasi diperlukan untuk menjaga pertumbuhan tersebut, seiring dengan perubahan tren yang terjadi di kalangan konsumen.

Kategori produk paling populer di online shopping global sepanjang 2021 / Statista

Dikabarkan Dapat Pendanaan Seri A, Moladin Capai Tonggak “Centaur” dengan Valuasi 3,3 Triliun Rupiah

Moladin dikabarkan telah mendapatkan pendanaan seri A senilai $42 juta atau setara 601,5 miliar Rupiah. Menurut data yang diinputkan ke regulator, Sequoia Capital India dan Northstar Group terlibat memimpin pendanaan ini. Diikuti sejumlah investor sebelumnya termasuk East Ventures dan Global Founder Capital. Dengan dana segar yang didapat, diklaim valuasi perusahaan telah mencapai $231 juta atau setara 3,3 triliun Rupiah.

Kabar soal penggalangan dana ini sebenarnya sudah terendus sejak pertengahan tahun 2021 lalu. Adapun putaran terakhir secara resmi diumumkan Moladin pada Januari 2020 dalam pra-seri A.

Didirikan sejak 2017, Molaldin dinakhodai oleh Jovin Hoon dan Mario Tanamas. Awalnya platform tersebut didirikan untuk menjembatani kebutuhan pembelian motor baru da bekas. Hanya saja kini mereka sudah mengalihkan fokus ke jual-beli mobil bekas. Bahkan sudah tidak ada menu “Motor” lagi di situs mereka.

Masuknya Moladin ke bisnis ini semakin menambah peta persaingan car marketplace yang beberapa waktu terakhir menyita perhatian publik. Diketahui sebelumnya dua platform dari negeri tetangga Carro dan Carsome telah mencapai tonggak unicorn – keduanya juga memiliki basis bisnis yang cukup kuat di Indonesia. Sebelumnya juga ada BeliMobilGue yang kini menjadi OLX Autos.

Pasar yang besar

Pada paruh pertama 2021, OLX Autos menyampaikan capaian transaksi mobil bekas di platformnya telah melampaui $1 miliar secara global. OLX Autos sendiri mulai beroperasi sejak Januari 2020. Menurut riset yang dilakukan perusahaan, dampak Covid-19 juga masih memberikan tren positif pada industri jual-beli mobil bekas di Indonesia. Bahkan selama pandemi, permintaan secara umum untuk produk mobil bekas masih bisa naik 15-20%.

Pun demikian data yang disampaikan Carro. Sampai Q3 2021, mereka mendapati peningkatan transaksi 11x lipat. Untuk unit bisnisnya di Indonesia, 45,87% transaksi dilakukan secara online dengan pengguna dari Jabodetabek menjadi penyumbang utama penjualan.

Selama ini layanan penjualan mobil bekas memang masih tersentralisasi pada bisnis offline. Layanan Moladin, Carro, dan lainnya mencoba mendemokratisasi proses tersebut. Tidak hanya menyediakan layanan listing, infrastruktur mereka juga meliputi pembiayaan. Model bisnis yang diterapkan juga menyeluruh melalui C2B2C – membeli mobil dari pengguna, lalu menjualnya baik ke diler dengan sistem lelang maupun secara langsung ke konsumen melalui situs.

Perjalanan Moladin

Sejak meluncur, Moladin mendapatkan dukungan pendanaan awal dari East Ventures dan sejumlah investor lainnya. Layanan awal mereka pembelian motor untuk pengguna yang tinggal di area Jabodetabek, Banten, Bandung, Yogyakarta, Solo, dan Semarang. Pendanaan $1,2 yang kala itu didapat juga difokuskan untuk perluasan wilayah dan memperkuat aspek kemitraan bisnis dengan diler dan perusahaan leasing di berbagai daerah.

Kala itu, sampai pertengahan 2018, bisnis penjualan motor masih mendapati traksi yang sangat menarik. Moladin mengklaim mengalami pertumbuhan penjualan 20-30% per bulannya dengan total nilai transaksi lebih dari $1 juta.

Di tahun 2019, Moladin juga menyampaikan berhasil menggandakan GMV dari tahun sebelumnya. Mereka berhasil menambahkan 8000 listing sepeda motor bekas di sistem mereka, termasuk 8 kali lipat pertumbuhan penggunaan aplikasi. Moladin juga memperkenalkan produk baru seperti auto mortgage loan untuk memudahkan pengguna yang membutuhkan pilihan dalam mendapatkan sepeda motor mereka.

Lalu pada awal Januari 2020 East Ventures kembali memimpin pendanaan untuk Moladin di putaran pra-seri A. Pendanaan masih difokuskan untuk memperkuat posisinya di industri dengan penguatan bisnis dan ekspansi.

Sampai pada akhirnya di tahun 20121, Moladin mulai beralih dari produk motor ke mobil bekas. Kami sempat mengirimkan inquiry untuk menanyakan soal perkembangan bisnis dan konfirmasi pendanaan, namun demikian pihak Moladin untuk waktu dekat ini masih belum bersedia menerima wawancara dari media.

Menjadi menarik untuk ditunggu rancangan strategi berikutnya Moladin dengan model bisnis baru yang ditekuni. Terlebih ia langsung akan berhadapan dengan pemain-pemain yang notabenenya sudah memiliki power yang besar.

Application Information Will Show Up Here

East Ventures dan EMTEK Suntik Pendanaan Startup Pengembang NFT Proyek Real Estat

Fraction, startup fintech berbasis di Hong Kong dan Bangkok, mengumumkan perolehan dana sebesar $3 juta (hampir 43 miliar Rupiah) dalam putaran pra-seri A yang dipimpin oleh East Ventures. Turut diikuti oleh EMTEK Group, Thakral Limited, V Ventures, dan jajaran investor regional lainnya.

Pengumpulan dana ini sejalan dengan penerimaan ICO Portal License Thailand (bergantung atas persetujuan aktivasi) dari Securities and Exchange Commission of Thailand (SEC). Juga rencana yang telah diumumkan sebelumnya untuk menawarkan kepemilikan secara parsial (fractional ownership) dari beberapa aset real estat ikonik di Thailand pada kuartal I 2022 melalui platform fractional ownership end-to-end yang didukung oleh NFT dan blockchain.

Dalam putaran tahap awal yang digelar sebelumnya, Fraction telah didukung oleh beberapa nama terkenal, baik dari industri teknologi maupun keuangan tradisional, termasuk SINGHA Ventures, Tanarra Capital milik John Wylie, dan Skystar Capital Indonesia.

Fraction didirikan oleh Eka Nirapathpongporn eks-Direktor and Partner Lazard, firma penasihat keuangan dan manajemen aset global berbasis di New York. Dan Shaun Sales, seorang pengusaha berpengalaman di bidang teknologi. Fraction membuka akses ke penciptaan kekayaan untuk semua orang dengan memungkinkan transaksi aset secara parsial dan digital untuk dimiliki maupun diperdagangkan, dimulai dengan proyek real estat ikonik yang terkenal di dunia.

Dengan platform plug-and-play milik Fraction, setiap orang dan perusahaan kini dapat melakukan investasi, menjual, dan mengelola kepemilikan secara parsial mulai dari saham kecil di kondominium kota, penginapan tepi pantai, atau karya seni hingga mengelola dana pribadi, aset, dan investor.

“Menghilangkan hambatan dan memberikan akses yang sama ke berbagai peluang untuk mencapai kekayaan bagi semua orang telah menjadi isu global yang mendesak. Kami senang menjadi pelopor dalam menerapkan NFT dan solusi digital Ethereum terdesentralisasi untuk mengelola kepemilikan atas banyak aset secara parsial,” ujar Nirapathpongporn dalam keterangan resmi, Senin (17/1).

Dia melanjutkan, “Mulai dari sekarang, kami dapat mengaktifkan inklusi keuangan yang memungkinkan para investor kecil untuk berpartisipasi dalam kelas-kelas aset menarik yang tidak dapat diakses sebelumnya. Peluang pertumbuhan untuk Fraction sangatlah besar, di mana pasar tokenisasi real estat diperkirakan akan bernilai US$ 80 triliun dan kami senang dapat berada pada garis terdepan gelombang baru konvergensi keuangan dan teknologi blockchain.”

Co-founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengungkapkan kegembiraannya karena telah menjadi bagian dari visi Fraction untuk menciptakan akses ke investasi modal yang saat ini hanya diperuntukkan untuk segelintir orang saja.

“Namun kami semakin bersemangat akan peluang pertumbuhan yang besar dari platform ini; membuat digitalisasi dan kepemilikan rasa parsial akan aset dunia nyata menjadi aktivitas sehari-hari yang mudah. Real estat adalah kelas aset pertama dan kami berharap dapat mendukung Fraction seiring dengan perkembangannya menjadi beberapa kelas aset dan yurisdiksi,” kata Willson.

Produk Fraction

Dengan lisensi ICO yang diperoleh dari otoritas Thailand, perusahaan dapat menautkan aset offline seperti real estat ke non-fungible token (NFT), mendigitalkan mereka, dan menawarkan sebagian kecil dari mereka kepada pihak yang berkepentingan. “Kami membagi kepemilikan NFT ini, dan token kepemilikan ini ditawarkan kepada investor. Oleh karena itu, ini adalah token kepemilikan yang didukung aset, ” Co-founder dan CEO Eka Nirapathpongporn seperti dikutip dari Tech in Asia.

Fraction mencetak NFT yang memiliki “tautan hukum dunia nyata” ke sebuah properti. Token ini akan terdiri dari token yang dapat dipertukarkan yang berbeda, atau fraksi, dengan masing-masing mewakili sebagian dari properti. Kemudian, token tersebut didaftar melalui IFO dengan kepemilikan pecahan yang setara dengan kepemilikan sebagian dari aset real estat yang sebenarnya. Fraction dapat diperdagangkan di antara investor.

“Sekarang Anda dapat […] secara legal memiliki bagian dari vila ini – mungkin 1% darinya – daripada harus membayar US$5 juta untuk membeli semuanya,” tambah dia.

Dalam perjalanannya, Fraction telah mengembangkan platform terpadu di dunia yang meliputi, i) Digitalisasi dan kepemilikan aset secara fraksi yang terintegrasi, ii) Penawaran fraksi perdana kepada para investor (Initian Fraction Offering/IFO). Kemudian, iii) Platform perdagangan token fraksi pada pasar sekunder di antara para investor, iv) Seluruh layanan untuk mengakomodasi pengalaman end-to-end.

Platform Reseller Produk Kecantikan Raena Dikabarkan Rampungkan Pendanaan Lanjutan 140 Miliar Rupiah

Merampungkan pendanaan Seri A senilai $9 juta (Rp126 miliar) di awal tahun lalu, platform reseller produk kecantikan Raena dikabarkan kembali mengantongi pendanaan lanjutan. Dipimpin Alpha Wave Incubation dan AC Ventures, perusahaan disebutkan mendapatkan pendanaan senilai $10 juta (Rp140 miliar).

Investor lain yang turut terlibat dalam pendanaan kali ini adalah PT Sumber Alfaria Trijaya TBK (Alfamart) dan Alto Partners. Secara total Raena telah memperoleh dana investor senilai $21 juta (hampir 300 miliar Rupiah).

Belum ada keterangan resmi yang kami peroleh dari perusahaan.

Di artikel terdahulu, Founder dan CEO Raena Sreejita Deb mengungkapkan, di tahun 2020, bisnis baru yang dikembangkan Raena mengalami pertumbuhan yang masif, karena makin besarnya masyarakat yang melakukan transaksi secara online selama pandemi.

Konsep baru yang ditawarkan Raena adalah social commerce, mengelola semua kebutuhan dan proses yang biasanya dilakukan penjual secara online. Mulai dari pengelolaan stok barang, supplier, pemilihan brand, hingga logistik. Mereka yang ingin bergabung dengan Raena dan ingin menjadi penjual bisa lebih fokus mengembangkan jumlah pengikut mereka di media sosial, WhatsApp, kanal marketplace seperti Shopee, Lazada, Tokopedia dan lainnya.

“Sebelumnya model kita adalah one-to-one yang menghubungkan satu supplier ke satu influencer saja. Sekarang konsep yang kita tawarkan adalah many-to-many model, yang menghubungkan berbagai brand dan berbagai supplier kepada berbagai influencer,” kata Sreejita.

Application Information Will Show Up Here

Xendit Rambah Perbankan, Dirikan Bank Perkreditan Rakyat Xen [UPDATED]

Ekspansi bisnis startup unicorn di sektor fintech, Xendit, kini sudah melampaui bisnis payment gateway dengan merambah ke perbankan dan mendirikan PT Bank Perkreditan Rakyat Xen. Dari pantauan DailySocial.id, BPR Xen mulai aktif membuka lowongan pekerjaan di berbagai portal pencarian kerja.

Belum banyak informasi yang bisa didapat terkait hal ini, termasuk apakah Xendit masuk melalui skema akuisisi BPR yang sudah ada atau bangun dari awal. Lokasi BPR Xen berada di Depok, Jawa Barat. Menurut keterangan resmi yang disampaikan manajemen Xendit kepada DailySocial.id, diklaim bahwa PT BPR Xen dan PT Sinar Digital Terdepan (Xendit) merupakan dua entitas yang terpisah dan tidak terafiliasi secara kepemilikan.

“Xendit, perusahaan teknologi finansial yang menyediakan solusi pembayaran dan digital infrastruktur, baru saja menjalin kemitraan strategis dengan PT BPR Xen, sebuah Bank Perkreditan Rakyat yang berlokasi di Depok, Jawa Barat. Dalam tahap awal kemitraan ini, kedua belah pihak akan bekerjasama untuk mengeksplor bagaimana kemitraan ini dapat membawa dampak baik bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia, khususnya bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM),” tulis manajemen Xendit.

Mereka melanjutkan, “Karena masih dalam tahap eksplorasi, untuk saat ini kami belum memiliki informasi terkait strategi dan juga produk yang akan dikembangkan. Kami akan menginformasikan kembali jika ada perkembangan lebih lanjut.”

Kehadiran BPR Xen yang diusung Xendit meramaikan pemain digital yang menggunakan BPR dan BPRS sebagai kendaraannya di industri perbankan. Ada UpBanx (Fazz Financial Group), Bank Hijra (ALAMI Group), dan Komunal yang mengusung produk DepositoBPR.

Dibandingkan bank umum, kegiatan usaha BPR jauh lebih sempit karena mereka hanya bisa menyalurkan kredit (tidak boleh punya kartu kredit dan nilai plafon kredit umumnya terbatas hingga miliaran Rupiah), tabungan, dan deposito berjangka. Cakupan nasabahnya juga lebih terbatas, hanya untuk tingkat provinsi.

Meski demikian, segmen ini sebenarnya paling membutuhkan digitalisasi agar mereka dapat bersaing di industri, plus ditambah dukungan ekosistem. Xendit sebagai payment gateway punya kemampuan mumpuni untuk mengatasi arus transaksi keluar masuknya uang dari berbagai sumber dana hingga rekonsiliasi.

Digitalisasi BPR

Komunal dengan produk DepositoBPR-nya, mengambil perspektif dari sisi deposan BPR yang masih terbatas karena belum terdigitalisasi, sehingga produknya tidak dikenal dan tidak dapat diakses oleh deposan perkotaan. DepositoBPR menjembatani para mitra BPR yang mencari nasabah untuk pembukaan rekening deposito dengan para deposan yang ingin melakukan pengembangan dana atau investasi melalui Deposito BPR.

Co-Founder Komunal Hendry Lieviant mengatakan, di masa pandemi ini masih terjadi ironi, ketika bank komersial memiliki likuiditas tinggi dengan penawaran bunga yang rendah. Sementara, BPR kesulitan menerima deposit hanya karena 95% dari deposan Indonesia tinggal di area perkotaan.

Dalam pengembangan DepositoBPR, salah satu tantangan utamanya adalah membakukan dan mengoptimalkan proses-proses BPR yang saat ini masih terpecah-belah, sehingga diperlukan peningkatan agar pengalaman deposan meningkat jadi lebih baik. Misalnya mengganti tanda tangan basah menjadi digital, e-KYC melalui video call, dan yang paling penting mengubah bilyet fisik menjadi e-bilyet.

Menariknya, dalam mengadakan solusi ini, Komunal bekerja sama dengan ekosistem digital. Salah satunya adalah Xendit untuk memperlancar arus transaksinya.

Secara industri, OJK telah mendorong telah mendorong BPR untuk kolaborasi dengan menyusun kolaborasi dengan berbagi pihak, misalnya kerja sama channeling antara BPR dengan startup fintech.

OJK telah memberikan lampu hijau bagi BPR dan fintech lending dalam melakukan kerja sama melalui dua skema, yakni channeling dan referral. Hal tersebut tertuang dalam Buku Panduan Kerja Sama BPR dan Fintech Lending yang telah diterbitkan pada Maret 2021 lalu.

Selanjutnya, dengan menginisiasi pengembangan BPR e-Cash bekerja sama dengan Finnet Indonesia. BPR e-Cash adalah semacam uang elektronik berbasis mobile yang nantinya dapat digunakan untuk beragam transaksi seperti pembayaran QR, isi pulsa, kirim uang, dan lain-lain.

 

*) Kami menambahkan pernyataan resmi yang disampaikan manajemen Xendit

Raih Pendanaan Tambahan Senilai 787 Miliar Rupiah, Pluang Dorong Demokratisasi Akses Investasi

Platform wealthtech Pluang berhasil meraih pendanaan senilai $55 juta atau setara 787 miliar Rupiah yang dipimpin oleh Accel, perusahaan modal ventura global berbasis di Silicon Valley. Sebagai putaran lanjutan dari pendanaan seri B yang sudah diumumkan sebelumnya, Pluang kini telah mengantongi total pendanaan sebesar $110 juta sepanjang 2021.

Beberapa investor lain yang turut terlibat dalam putaran ini adalah Trung Nguyen, Andy Ho, Aleksander Leonard Larsen, dan Jeffrey Zirlin (pendiri Axie Infinity), Alexa von Tobel (mantan CEO Learnvest), Daniela Binatti (CTO Pismo), Jannick Malling dan Leif Abraham (Co-CEO Public.com), Raghu Yarlagadda (CEO FalconX), Sergio Jimenez (CEO Flink), The Chainsmokers, BRI Ventures, Gold House, beserta investor sebelumnya yang terdiri dari Square Peg, Go-Ventures, UOB Venture Management, dan Openspace Ventures.

Pluang akan menggunakan dana segar ini untuk terus mendemokratisasi akses investasi di beragam kelas aset kepada seluruh lapisan masyarakat. Selain memperluas akses investasi di dalam negeri, Pluang juga berencana memanfaatkan dana tersebut untuk memperbesar cakupan bisnisnya ke Asia Tenggara. Ekspansi tersebut sejalan dengan misi perusahaan untuk memberdayakan dan meningkatkan literasi serta inklusi keuangan di kawasan Asia.

“Dengan pendanaan tambahan ini, tim kami bisa mempercepat momentum dan menyediakan alat, sumber daya, pengetahuan, serta wawasan yang diperlukan agar lebih banyak masyarakat mampu menciptakan kekayaan jangka panjang. Kami sangat senang memiliki investor kelas dunia seperti Accel, dan juga para investor baru kami, yang mendukung Pluang untuk bertumbuh ke tingkatan selanjutnya,” ujar Co-Founder Pluang Claudia Kolonas dalam pernyataan resmi.

Demokratisasi akses investasi

Didirikan pada tahun 2019 oleh Claudia Kolonas dan Richard Chua, Pluang memulai bisnis dengan menyediakan akses ke investasi emas. Selama kurang lebih 3 tahun Pluang telah memiliki lebih dari 4 juta pengguna terdaftar di Indonesia dan angkanya terus berkembang pesat.

Pluang berhasil mencetak pertumbuhan pengguna yang aktif melakukan transaksi sebanyak 22 kali lipat antara Januari 2020 hingga November 2021. Di samping itu, mereka juga mencatat pertumbuhan pengguna yang memiliki saldo aktif sebanyak 28,5 kali lipat di periode yang sama.

Pertumbuhan yang dialami Pluang tidak lepas dari ragam diversifikasi produk yang tersedia pada platformnya. Mulai dari emas, pasar modal, reksa dana, serta belum lama ini menambah kelas aset investasi Micro E-mini Nasdaq 100 Index Futures, produk berjangka derivatif yang ditransaksikan pada Chicago Merchantile Exchange (CME).

Selain itu, kemitraan dengan beberapa aplikasi super apps di kawasan Asia Tenggara juga turut membuka akses investasi yang lebih luas ke masyarakat. Beberapa partner Pluang seperti Gojek, DANA, Bukalapak, dan Tokopedia. Mulai Desember ini, Pluang telah resmi hadir di aplikasi Tokopedia sebagai alternatif pilihan berinvestasi emas.

Mengenai segmen pasar yang adalah investor pemula, Claudia mengungkapkan bahwa penetrasi investasi di Indonesia yang masih di bawah 1 persen menunjukkan peluang yang sangat besar di sektor ini. Maka dari itu, Pluang dengan segala cara mencoba meningkatkan literasi finansial serta mendorong demokratisasi akses investasi bagi seluruh khalayak.

“Literasi finansial pada generasi muda menjadi salah satu solusi untuk mengatasi kesenjangan ekonomi di Indonesia. Kami berharap bisa berkontribusi untuk mengurangi kesenjangan ekonomi ini dengan memberikan akses pada produk yang sebelumnya sulit dijangkau,” ujar Claudia dalam webinar secara virtual yang diadakan Pluang (12/1).

Selain itu, dalam waktu dekat Pluang juga akan meluncurkan produk investasi pertama di Indonesia yang memungkinkan pengguna untuk berinvestasi saham AS mulai dari 0,1 unit saham saja.

Investasi di sektor wealthtech

Para investor global juga telah menyadari besarnya ukuran dan potensi pasar ekonomi digital di Asia Tenggara. Pada tahun 2020 saja, total investasi yang telah disalurkan ke perusahaan rintisan di Asia Tenggara sudah mencapai $8,2 miliar. Sektor wealthtech sendiri mengambil bagian dari total investasi tersebut.

Claudia juga mengungkapkan, “Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, kami sangat bangga kami melihat perkembangan pesat di bidang pasar modal dan aset digital. Saat ini sudah lebih dari 10 juta orang sudah berinvestasi di Indonesia. Semoga Indonesia bisa menjadi contoh dan inkubator bagi negara lain di Asia Tenggara untuk mengembangkan sektor wealthtech di negara masing-masing.”

Selain Pluang, beberapa platform yang menyediakan layanan serupa juga berhasil meraih pendanaan di sepanjang tahun 2021. Berikut daftar perusahaan yang berhasil terangkum oleh DailySocial.id:

Platform Tahapan Pendanaan
Moduit Pra-Seri A (November) 65 miliar Rupiah
Bareksa Seri C (November) Tidak disebutkan
Ajaib Seri B (Oktober) >2,1 triliun Rupiah
Bibit Lanjutan Seri A (Mei) 938 miliar Rupiah
FUNDtastic Seri A (Februari) 108 miliar Rupiah

Application Information Will Show Up Here

Xurya Konfirmasi Pendanaan Seri A 308 Miliar Rupiah Dipimpin East Ventures dan Saratoga

Startup energi terbarukan Xurya mengumumkan perolehan pendanaan seri A sebesar $21,5 juta (sekitar 308 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh East Ventures (Growth Fund) dan PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (Saratoga). Nilai yang dikonfirmasi ini lebih besar dari informasi yang DailySocial.id terima pada Desember 2021 sebesar $14 juta.

Schneider Electric dan New Energy Nexus Indonesia, investor sebelum dari Xurya, turut berpartisipasi dalam putaran tersebut. New Energy Nexus Indonesia pada tahun lalu telah menyelesaikan investasinya di lima perusahaan energi terbarukan. Sementara, Schneider Electric, melalui Schneider Electric Energy Access Asia (SEEAA) melakukan debut investasinya di startup energi terbarukan di Indonesia kepada Xurya.

Xurya akan mengalokasikan dana segarnya tersebut untuk melanjutkan pembangunan PLTS Atap yang telah tumbuh hingga tiga kali lipat sepanjang tahun lalu, pengembangan teknologi, dan sumber daya manusia agar upaya akselerasi transisi energi bersih bisa segera terealisasi.

“Kami mengapresiasi dukungan dan kepercayaan yang diberikan oleh para investor, partner, dan customer untuk membantu kami dalam mempercepat transisi energi baru terbarukan di Indonesia sejak Xurya berdiri tiga tahun lalu,” ujar Managing Director Xurya Daya Indonesia Eka Himawan dalam keterangan resmi, Rabu (12/1).

Managing Partner East Ventures Roderick Purwana mengatakan, “East Ventures percaya pentingnya berinvestasi di perusahaan yang tepat, tidak hanya untuk mengejar profit, tapi juga memberikan dampak sosial dan lingkungan. Sebagai salah satu pelopor VC yang menerapkan pendekatan ESG dalam investasi, kami sangat senang bisa mendukung tim Xurya sejak awal perjalanan mereka dalam menciptakan revolusi energi yang bersih dan berkelanjutan di Indonesia, serta melindungi bumi.”

Presiden Direktur Saratoga Michael Soeryadjaya menambahkan, “Investasi ini merupakan kesempatan yang baik bagi Saratoga untuk memperkuat dukungan di sektor teknologi Energi Baru & Terbarukan (EBT) yang kini menjadi salah satu sumber energi prioritas yang akan dikembangkan oleh pemerintah.”

Menurutnya, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap dapat memberikan solusi bagi tersedianya energi bersih, ramah lingkungan, dan berkelanjutan di Indonesia. Pertumbuhan kapasitas terpasang PLTS Atap sangat pesat dalam tiga tahun terakhir, ini membuktikan bahwa kebutuhan terhadap industri teknologi EBT semakin tinggi.

Sebagai salah satu inisiatif yang didukung pemerintah, Saratoga dapat membantu mempercepat upaya pemerintah dalam mencapai target bauran EBT hingga 23% pada 2025 dan 31% pada 2050.

Hingga akhir 2021, Xurya telah mengoperasikan 57 PLTS Atap dan saat ini sedang membangun di 38 lokasi lainnya dari berbagai industri dan bisnis yang semakin beragam, seperti perusahaan manufaktur (makanan dan minuman, consumer goods, pertanian, otomotif, baja, bahan bangunan, tekstil, dll), cold storage, hotel, hingga pusat perbelanjaan yang tersebar di Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Selatan dan Utara, serta Sulawesi Selatan.

Produk Xurya

Xurya Daya Indonesia (Xurya) memiliki beberapa produk, meliputi solusi energi berbasis surya, yang diaplikasikan pada atap bangunan. Selain jasa pemasangan dan perangkat, perusahaan juga mengembangkan platform aplikasi untuk memudahkan pemilik aset melakukan pengelolaan energi.

Selain itu, Xurya juga mempelopori metode no investment (tanpa investasi) untuk beralih ke tenaga surya dengan model biaya bulanan. Dalam implementasinya, solusi mereka berbasis satu pintu, Xurya akan membantu dari proses design, pemilihan equipment, perizinan, konstruksi sampai dengan pemilihan produk pembiayaan untuk listrik surya pelanggan.

Dalam sebuah kesempatan wawancara, Eka mengatakan, “Di tengah perlambatan investasi PLTS utilitas, kami percaya bahwa pelanggan komersial dan industri telah menjadi titik terang bagi para investor ketenagalistrikan di Indonesia, tidak hanya dari perspektif keuntungan, tetapi lebih penting lagi dari perspektif dampak iklim.”

Dalam menyajikan produk-produknya, Eka mengakui bahwa edukasi konsumen menjadi salah satu tantangan terberat. Karena masih banyak perusahaan dan individu yang kurang paham mengenai solar panel dan banyak yang salah sangka mengenai stabilitas listrik dari PLTS. “Target utama tahun ini melakukan ekspansi bisnis ke seluruh wilayah Indonesia untuk menawarkan solusi go green ke lebih banyak perusahaan.”

Peluang pengembangan PLTS Atap di Indonesia sangat besar, melebihi potensi kapasitasnya yang mencapai 200 ribu megawatt. Saat ini biaya komponen PLTS Atap lebih rendah dibandingkan energi terbarukan lainnya, namun pasar tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal sehingga baru terpasang kurang dari 150 megawatt di seluruh Indonesia.

Selain Xurya, di Indonesia sudah ada beberapa startup yang turut bermain di ranah tersebut. Beberapa di antaranya Warung Energi, Weston Energy, Forbetric, Erenesia, Khaira Energy, dan Syailendra Power. Sebagian besar menggarap potensi tenaga surya.