Revolusi Konsep “Ride Sharing” sebagai Alternatif Jasa Transportasi

Konsep ride sharing sering kali disamakan dengan layanan ride hailing. Kendati memiliki tujuan yang sama, sejatinya dua konsep ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Ride hailing berorientasi pada permintaan penumpang yang membutuhkan kendaraan; sementara ride sharing lebih fokus kepada pemilik kendaraan yang memiliki slot kosong untuk berbagi perjalanan.

Salah satu startup yang fokus menggarap segmen ride sharing adalah Tebengan. Co-Founder & CEO Tebengan Will Widjaja pertama kali terpapar konsep ini ketika ia menghadiri sebuah konferensi di Aarhus, Denmark pada tahun 2014. Sempat berkenalan dengan beberapa orang lokal, ketika ia hendak kembali ke Copenhagen menggunakan kereta, mereka menawarkan untuk menggunakan sebuah aplikasi ride sharing yang ternyata sudah lumrah di sana.

“Saat itu saya berpikir, dengan harga lebih murah, tempat lebih nyaman, dan ada teman ngobrol, mengapa tidak coba dikembangkan saja. Inilah yang menjadi inspirasi saya untuk membuat Tebengan di Indonesia,” tambah Will.

Fokus bisnis

Dalam perjalanannya, startup ride sharing yang akan menginjak tahun ke-4 di bulan Maret 2021 ini juga sempat mengalami fase model bisnis yang berubah-ubah. Untuk mencapai product market-fit perusahaan memulai dari iterasi pengemudi untuk membuat trayek rutin, lalu menyediakan sistem offer agar mereka juga bisa menawarkan layanan ke penumpang.

Will juga turut mengungkapkan, “Tantangan terbesar kami adalah bagaimana mengkoordinasi 2 user yang punya alamat berbeda tujuan berbeda dan jam berbeda untuk bisa saling koordinasi, fitur seperti apa yang harus kita hadirkan untuk memfasilitasi hal itu.”

Selain itu, kesabaran pemilik kendaraan dan penumpang juga masih menjadi alasan rentan terjadinya keluhan di aplikasi yang sudah diunduh lebih dari 10 ribu pengguna ini. Kepercayaan juga menjadi salah satu faktor esensial untuk keberlangsungan bisnis. Beberapa fitur seperti verifikasi SIM, KTP, juga komunitas untuk wadah berdiskusi turut dikembangkan demi membangun kepercayaan antar pemilik kendaraan dan penumpang.

Mengenai potensi ride sharing di Indonesia, konsep ini sendiri sebenarnya sudah menjadi budaya di Indonesia. Dalam segmen ini, ada beberapa pemain yang juga menawarkan layanan serupa seperti Noompang dan Nebengers.

Ketika disinggung mengenai diferensiasi, Will mengungkapkan, “Value proposition yang ingin kami bawa di sini adalah pengalaman berkendara yang nyaman dan menyenangkan. Harapan kami adalah dengan kesederhanaan yang ditawarkan melalui aplikasi tebengan ini bisa memudahkan user untuk mencari teman nebeng atau relasi baru dengan objektif yang sesuai.”

Di tengah pandemi, layanan yang sempat juga menekankan bahwa ekosistem di Tebengan selalu dianjurkan untuk mematuhi protokol yang berlaku, baik pada jumlah penumpang di dalam kendaraan juga protokol kesehatan lainnya yang diatur pemerintah.

Dari sisi harga, platform ini tidak bertugas mematok angka, tetapi memberi rekomendasi yang sesuai. Namun, semua kembali lagi pada keputusan pemilik kendaraan. Saat ini tebengan masih fokus melayani pengguna di area Jabodetabek dan sudah mulai mengembangkan cakupan antar kota/provinsi.

“Fokus kita masih di Jabodetabek, sekarang lagi membangun sistem komunitas di mana bisa membuat grup diskusi antar penumpang dan pemilik kendaraan. Saat ini kami mau fokus di area yang minim angkutan umum dengan membuka trayek baru yang tidak ada di transportasi umum,” jelas Will.

Sebagai informasi, Tebengan adalah salah satu peserta di program akselerator DSLaunchpad yang diadakan oleh DailySocial bekerja sama dengan Amazon Web Services.

Gambar Header: Depositphotos.com

Application Information Will Show Up Here

Didominasi Grab dan Gojek, GMV Layanan Pesan-Antar Makanan di Indonesia Capai 52 Triliun Rupiah

Layanan pesan-antar makanan (food delivery) mengalami percepatan pertumbuhan selama masa pandemi. Menurut hasil riset yang dilakukan Momentum Works, GMV layanan ini di enam negara Asia Tenggara mencapai $11,9 miliar di tahun 2020. Di Indonesia sendiri, nilai total yang berhasil dibukukan mencapai $3,7 miliar atau setara 52 triliun Rupiah — didominasi dua pemain besar, yakni Grab dan Gojek, masing-masing memegang 53% dan 47% dari total pangsa pasar.

Turut disampaikan juga, capaian tersebut sebenarnya baru menyumbang 1% dari potensi food delivery di Indonesia yang nilainya diproyeksi bisa mencapai $61 miliar per 2019 lalu. Indikasi utamanya, sejauh ini penetrasi para pemain masih terfokus di kota-kota besar, sementara di wilayah tier-2 dan tier-3 belum banyak dioptimalkan bisnisnya.

CEO Momentum Works Jianggan Li menyampaikan, sebagian besar pertumbuhan layanan pesan-antar makanan yang terjadi di tahun 2020 bersifat permanen. Mengingat adanya tren digitalisasi dan perubahan perilaku konsumen ke arah digital.

“Kami optimis terhadap prospek layanan pesan-antar makanan di Indonesia, meskipun kemungkinan akan memakan waktu beberapa tahun sebelum sektor ini dapat diadopsi secara massal. Pemain layanan pesan-antar makanan harus memiliki strategi jangka panjang agar dapat memanfaatkan peluang di pasar yang sangat besar ini secara optimal,” ujarnya.

Gambar 1

Faktor pertumbuhan

Faktor utama yang menjadikan Indonesia sebagai pasar layanan pesan-antar makanan terbesar di regional tak lain karena besarnya populasi di negara ini. Data hasil sensus penduduk 2020 menyebutkan, penduduk Indonesia saat ini ada sekitar 270,20 juta jiwa. Dari total tersebut, 27,94% di antaranya adalah Gen Z dan 25,87%-nya milenial. Di samping itu, turut didukung beberapa faktor lain seperti pertumbuhan ekonomi, urbanisasi, dan penetrasi ponsel pintar.

Hasil riset juga menyoroti, beberapa langkah yang dilakukan oleh para pemain untuk mencapai profitabilitas dan keberlanjutan jangka panjang. Platform perlu mengendalikan biaya akuisisi/retensi, mempertahankan unit economics, dan menghasilkan pendapatan tambahan yang dapat mencakup iklan, pembiayaan, dan layanan B2B lainnya. Opsi tersebut didasarkan pada studi kasus kesuksesan Meituan, salah satu layanan pesan-antar makanan besar di Tiongkok. Pada Q2 2020, perusahaan mencatatkan net profit hingga $420 juta.

Gambar 2

Sementara dari perspektif konsumen, beberapa hal yang dijadikan konsiderasi untuk memilih layanan pesan-antar makanan meliputi: banyaknya pilihan, kecepatan, kualitas/keandalan, dan biaya. Menurut Momentum Works, masing-masing pemain harus (setidaknya) unggul di dua faktor yang ada, karena memimpin di semua variabel tersebut dikatakan tidak mungkin.

Potensi yang bisa digali

Selain di Indonesia, beberapa pasar besar layanan food delivery di Asia Tenggara berada di Thailand ($2,8 miliar), Singapura ($2,4 miliar), Filipina ($1,2 miliar), Malaysia ($1,1 miliar), dan Vietnam ($0,7 miliar). Riset turut menganalisis beberapa strategi potensial yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai transaksi bisnis ini setiap tahunnya. Pertama, fokus meningkatkan volume transaksi segmen konsumen kelas menengah ke atas.

Kedua, menekan biaya untuk mengimbangi harga makanan dan nilai pesanan yang rendah. Kemudian penting juga untuk meningkatkan literasi digital supaya merchant (restoran, kedai makanan, UKM dll) dapat mengadopsi aplikasi pesan-antar. Dan terakhir, para pemain juga harus berani berinvestasi dalam infrastruktur yang diperlukan untuk mendorong adopsi layanan di kota tier-2 dan 3.

Grab dan Gojek di Indonesia juga sudah terlihat mengeksekusi strategi tersebut, salah satunya direalisasikan melalui inisiatif cloud kitchen. Dapur bersama tersebut memungkinkan mitra UKM mendapatkan kemudahan untuk menjajakan produknya, serta melakukan ekspansi pasar; karena pada dasarnya berbagai fasilitas produktifnya disediakan dan terintegrasi ke dalam ekosistem super app masing-masing layanan. Di sisi konsumen pun memungkinkan mereka untuk mendapatkan pilihan makanan lebih banyak dengan biaya antar yang lebih rendah.

Gambar Header: Depositphotos.com

Ula Kembali Umumkan Pendanaan Seri A 282 Miliar Rupiah

Ula, startup teknologi untuk modernisasi ritel tradisional, kembali mengumumkan pendanaan Seri A senilai $20 juta (lebih dari 282 miliar Rupiah) yang dipimpin Quona Capital dan B Capital Group. Sequoia Capital India dan Lightspeed India, yang merupakan investor sebelumnya turut berpartisipasi dalam putaran ini.

Lewat pendanaan ini, perusahaan berambisi untuk perluas tim dan ekspansi lokasi agar semakin banyak pengecer kecil yang dapat terbantu lewat teknologi Ula. Di samping itu, Ula akan perluas kategori produk ke fesyen dan elektronik, dari saat ini menjangkau pengecer yang menjual produk FMCG dan sayur mayur.

Ula merampungkan pendanaan tahap awal sebesar $10 juta tepat pada Juni tahun lalu. Jajaran investor yang terlibat dalam putaran ini ada SMDV, Quona Capital, Saison Capital, dan Alter Global. Beberapa angel investor juga turut berpartisipasi, meliputi Patrick Walujo, Willy Arifin, Sujeet Kumar, Vaibhav Gupta, Amod Malviya, Rohan Monga, dan Rahul Mehta.

Mengutip dari TechCrunch, Managing Partner Quona Capital Ganesh Rengaswamy mengatakan, “Jika Anda melihat keseluruhan retail value chain, terutama produk-produk esensial, seperti FMCG, bahan pokok, dan produk segar, sangat terfragmentasi. Padahal pasar telah bergerak dalam hal konsolidasi, permintaan, dan penawaran yang lebih efisien.”

Dia melanjutkan, “Ula mencoba untuk mengulang ekosistem distribusi ritel dengan overlay teknologi yang signifikan. Ula menghubungkan beberapa pemain terbesar di sisi supply ke pengecer dan konsumen terkecil.”

Ula menyediakan modal kerja untuk para pengecer mikro, yang biasanya beroperasi di toko-toko kecil di halaman rumah mereka. Dengan demikian, mereka tidak perlu menunggu dibayar oleh pelanggan untuk membeli stok baru. Perusahaan menyadari bahwa ini adalah tantangan serius yang dihadapi pengecer mikro di Asia.

Pemilik usaha mikro ini umumnya memiliki ikatan yang kuat dengan pelanggan, sering kali menjual barang tanpa di bayar di muka. Sementara, mengumpulkan pembayaran ini sering membutuhkan waktu yang lebih lama dari perkiraan.

Frictionless payment dan menawarkan kredit kepada pengecer sehingga mereka dapat mengelola arus kas dengan lebih efisien adalah komponen penting dari perdagangan digital modern,” tandas Rengaswamy.

Ula didirikan oleh eks petinggi Flipkart India Nipun Mehra, dan Derry Sakti, yang mengali kariernya di P&G di Indonesia, pada Januari 2020. Mehra menyebut, sebagian besar pasar ritel Indonesia tidak terorganisir, sama halnya dengan India.

Di kategori sayur mayur misalnya, banyak petani yang menjual ke tengkulak, lalu baru masuk ke pasar. “Dari pasar, persediaan masuk ke pedagang grosir kecil dan seterusnya. Ada banyak pemain di dalam rantai ini,” ucapnya.

Sepanjang tahun lalu, diklaim perusahaan telah melayani lebih dari 20 ribu toko. Ula pertama kali beroperasi di Surabaya, dengan cepat perluas kehadiran di seluruh Jawa Timur dan masuk ke Semarang.

Application Information Will Show Up Here

Tiket.com Resmikan Fitur Aktivitas Liburan “TO DO”

Tiket.com meresmikan fitur aktivitas liburan “TO DO”, setelah pertama kali soft launch pada Maret 2020. Diklaim, fitur ini tumbuh paling signifikan hingga 515% untuk angka penjualan tiket pada kuartal III dan IV 2020, melampaui kinerja tiket pesawat dan akomodasi masing-masing sebesar 89% dan 118%.

Co-Founder & CMO Tiket.com Gaery Undarsa menerangkan, awalnya TO DO baru melayani kategori tiket atraksi dan wahana. Namun sekarang TO DO menaungi 10 kategori dengan lebih dari 10.200 pilihan kegiatan online dan offline, 386 event di 62 negara. Khusus di Indonesia, tersedia 2 ribu pilihan kegiatan dan 380 event yang dapat dipilih konsumen.

TO DO dibentuk untuk melengkapi produk yang sudah kita punya, sekaligus menanggapi kebutuhan konsumen saat ini,” ucap Gaery saat konferensi pers virtual, Kamis (28/1).

Ada 10 kategori di dalam TO DO, di antaranya TO DO Online yang berisi jajaran kegiatan online seperti kelas online, seminar, gala premier film, podcast, dan lain-lain; atraksi; event (konser musik dan seminar); pelengkap perjalanan (travel essentials seperti tes Covid-19, pembelian SIM card); transportasi; tur; tempat bermain; kecantikan dan kebugaran; wisata kuliner; permainan dan hobi.

Dari keseluruhan kategori di atas, travel esensial, atraksi, dan event menjadi kategori yang paling banyak dibeli konsumen. Hal ini selaras dengan kondisi di mana konsumen yang mulai bepergian harus melengkapi sejumlah persyaratan dokumen kesehatan, sementara agar tidak bosan di rumah membeli tiket aktivitas online.

Ke depannya, perusahaan akan terus menambah kemitraan dengan berbagai pemain industri pariwisata on board ke dalam TO DO. Gaery menuturkan, selain industri penerbangan dan perhotelan, ada jutaan orang di sekitarnya yang terdampak akibat pandemi.

“Ada tempat rekreasi, tour guide, tempat souvenir, di sekitar industri pariwisata yang bisa dikunjungi. Ini yang sedang kami coba support mereka dengan bergabung ke TO DO,” pungkasnya.

Konsep yang sama juga sudah diluncurkan kompetitor terdekatnya, Traveloka dengan fitur Xperience. Agar lebih kompetitif, perusahaan baru merilis kategori OnlineXperience yang menawarkan lebih dari 100 sesi unik yang dirancang untuk mendorong konsumen menikmati waktu luang di rumah bersama keluarga.

Traveloka Xperience sendiri dirilis pada 2019. Sejak pandemi, perusahaan merilis layanan travel esensial berupa uji tes Covid-19. diklaim, fitur ini dimanfaatkan oleh 200 ribu pengguna.

Application Information Will Show Up Here

Ekosistem Startup Indonesia dan Singapura Masih Jadi Perhatian Utama Monk’s Hill Ventures

Sebagai venture capital yang fokus di Asia Tenggara, Monk’s Hill Ventures hingga saat ini masih melihat Singapura, Indonesia, dan Vietnam sebagai negara yang memiliki potensi lebih terkait kinerja startup dan potensi berinvestasi. Namun melihat perkembangan yang saat ini terjadi di negara lain di Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia dan Filipina, menjadi tidak mungkin ke depannya tiga negara tersebut bakal dilirik oleh mereka.

Dalam sesi media briefing yang digelar oleh Monk’s Hill Ventures (MHV) terungkap, beberapa fokus yang kemudian menjadi highlights sepanjang tahun 2020. Diungkapkan juga rencana investasi, peluang dan sektor yang dilirik oleh MHV untuk tahun 2021.

Indonesia dan Singapura investasi terbesar

Dalam presentasi yang disampaikan oleh Managing Partner Monk’s Hill Ventures Kuo-Yi Lim, investasi terbesar yang telah digelontorkan oleh MHV selama ini adalah negara Singapura dan Indonesia.

Tercatat sejak tahun 2017, investasi yang dilakukan lumayan rutin oleh MHV, meskipun perusahaan mengklaim idealnya hanya sekitar 4-5 investasi saja yang diberikan per tahunnya. Namun memasuki tahun 2020 ketika pandemi mulai menyebar secara global, mereka memutuskan untuk melakukan penundaan investasi dan lebih melihat tren dan pergerakan sektor yang kemudian mengalami pertumbuhan saat pandemi.

“Sepanjang tahun 2020 angka menunjukkan dinamika naik-turun, terlihat lebih berat dari tahun sebelumnya,” kata Kuo-Yi Lim

Ditambahkan olehnya, sebelumnya kondisi tersebut telah diprediksi, karena kebanyakan venture capital, menunda investasi saat pandemi dengan kondisi pasar yang tidak menentu. Namun setelah melihat dinamika sektor yang ada, ternyata tahun 2020 menjadi waktu yang tepat untuk berinvestasi.

Dalam pemaparan tersebut juga disampaikan 10 sektor yang kemudian dilirik oleh MHV. Di antaranya adalah Fintech (17%), IT (18%), Software (11%), layanan finansial (9%), marketplace (7%), logistik (5%), healthcare (5%), layanan e-commerce (9%), SaaS (9%) dan Internet (8%). Sektor tersebut yang kemudian merupakan deal yang banyak dilancarkan oleh MHV sepanjang tahun 2020.

“Dari catatan kami terlihat banyak sektor yang kami lirik adalah layanan fintech, IT terutama mereka yang menawarkan layanan infrastruktur seperti software untuk layanan e-commerce. Logistik juga menjadi pilihan investasi kami. Data ini mewakili sektor yang kami lirik sepanjang tahun 2020 dan tahun 2021.”

Tahun 2021 ini ternyata tidak mengalami perubahan yang berarti bagi MHV terkait dengan sektor mana yang akan menjadi fokus. Secara khusus menyesuaikan sektor yang telah dipilih sebelumnya, tidak melihat perubahan yang cukup besar pada tahun 2021.

“Hal tersebut dilihat dari jumlah pemain yang masuk dalam sektor ini cukup banyak jumlahnya. Bersamaan dengan besarnya permintaan dari industri. Misalnya healthcare dan financial services, semua tetap menjadi key player. kita akan melihat pengaruh dari sektor-sektor ini,” kata Kuo-Yi Lim.

Tips investasi saat ini

Pelajaran paling penting yang kemudian diambil oleh MHV ketika melakukan investasi saat pandemi dan memasuki realitas baru adalah, untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan kerja secara remote. Namun di sisi lain perlu melakukan proses due diligence lebih kritis dan tentunya lebih ketat lagi. Venture capital juga harus bisa melakukan pengecekan yang relevan, dan selalu melakukan komunikasi dengan jaringan di industri terkait.

Hal penting lainnya yang kemudian menjadi perhatian oleh MHV adalah, fokus kepada kualitas pendiri, terutama bagi mereka yang memiliki kualitas paling tinggi dengan fundamental yang solid dan higher conviction dari sebelumnya. Dan yang terakhir kemudian menjadi perhatian dari MHV adalah, menjadi penting untuk bisa menciptakan relasi lokal yang baik. Dalam hal ini adalah 5 negara yang disasar di Asia Tenggara.

“Hal tersebut telah memungkin kami untuk membangun kepercayaan dan relasi jangka panjang, di saat yang sama juga menghilangkan keterbatasan yang terjadi karena aturan perjalanan (travel restriction),” kata Kuo-Yi Lim.

Gambar Header: Depositphotos.com

Monk’s Hill Ventures: Transformasi “E-commerce 2.0” akan Terjadi di Indonesia Tahun Ini

Sepanjang tahun 2020, layanan e-commerce mengalami pertumbuhan yang signifikan. Aturan bekerja dan belajar di rumah, banyak mendorong masyarakat untuk melakukan aktivitas belanja secara online. Terkait tren bisnis e-commerce, dalam media briefing yang digelar oleh Monk’s Hill Ventures (MHV) hari ini (27/01) diungkapkan beberapa hal. Salah satunya, hasil pengamatan mereka menunjukkan bahwa di tahun 2021 layanan e-commerce akan mengalami transformasi lebih besar lagi, mereka menyebutkan “E-commerce 2.0”.

Transformasi layanan e-commerce 2.0

Di Indonesia saat ini sudah banyak penjual, meskipun skalanya kecil namun telah memanfaatkan berbagai layanan online marketplace seperti Shopee, Tokopedia, Bukalapak, dan lainnya untuk melakukan penjualan. Selain itu mereka juga mulai banyak mendapatkan traksi dengan memanfaatkan media sosial seperti Facebook, Instagram, dan channel lainnya. Cara tersebut sebenarnya bukanlah hal yang baru lagi. Kebanyakan penjual selalu melakukan engagement dengan pembeli mereka melalui media sosial.

“Yang berbeda saat ini adalah kebanyakan penjual dan pembeli bukan hanya fokus kepada produk tapi siapa yang menjual. Jadi brand equity penjual dan produk yang mereka miliki menjadi bagian dari pengalaman saat ini,” kata Managing Partner Monk’s Hill Ventures Kuo-Yi Lim.

Dalam hal ini dicontohkan olehnya, ketika pembeli berniat untuk melakukan pembelian di platform seperti Lazada atau Shopee, mereka akan ditawarkan langsung 20 lebih penjual dari masing-masing platform tersebut. Ke depannya akan mulai terlihat pergeseran pengalaman brand di berbagai channel dari sisi penjual.

Ninja Van (salah satu portofolio dari MHV) saat ini telah membantu lebih dari 100 ribu bisnis setiap bulannya. 30% kontribusi tersebut berasal dari para penjual UKM dari berbagai lokasi di Indonesia, mulai dari kota kecil hingga pelosok daerah,” kata Kuo-Yi Lim.

Untuk bisa mewujudkan hal tersebut tentunya dibutuhkan dukungan yang besar dari pihak terkait, mulai dari procurement, pembayaran, logistik dan lainnya. Penting untuk kemudian bisa membuat masing-masing penjual tampil lebih unggul, di antara makin sengitnya persaingan saat ini.

“MHV melihat hal tersebut bisa menjadi potensi, dengan mengadopsi cara tradisional memanfaatkan channel baru yang akan mendorong dinamika menarik di Indonesia dan negara lainnya.”

Pertumbuhan edutech dan healthtech

Hal menarik yang kemudian juga menjadi perhatian oleh MHV adalah, makin besarnya pertumbuhan layanan healthtech dan edtech secara global saat ini. Meskipun saat awal pandemi agak sulit bagi platform healthtech untuk bisa tetap relevan terkait dengan pandemi, namun memanfaatkan teknologi artifical inteligence ternyata mampu mempercepat pengumpulan informasi dan pengambilan keputusan para dokter dan rumah sakit untuk menyelamatkan nyawa pasien.

“Meskipun masih lamban adopsi teknologi rumah sakit dan sebagian besar dokter yang menjadi pengambil kebijakan tersebut, namun ketika mereka melihat teknologi bisa menyelamatkan hidup seseorang, diharapkan bisa mengubah mindset mereka. Dalam ruang lingkup digital saya melihat akan ada pertumbuhan yang berkelanjutan,” kata Kuo-Yi Lim.

Sementara dari sisi edtech, meskipun saat ini dengan pemerintah Amerika Serikat dan presiden barunya mulai memberlakukan kebijakan kembali ke sekolah untuk siswa, tentunya akan terlihat seperti apa perubahan ke depannya. Namun di sisi lain, dengan menggabungkan kegiatan belajar mengajar secara offline dan online, ternyata tetap bisa berjalan dan ke depannya akan menjadi the new normal untuk dunia pendidikan secara global.

“Ketika dulunya banyak pihak sekolah keberatan untuk mengadopsi teknologi untuk edukasi, dengan adanya pandemi menjadi pembuktian dan tentunya menjadi peringatan bagaimana jika nantinya terjadi lagi kondisi seperti ini. Ke depannya akan semakin banyak pengajar dan sekolah yang melihat, bahwa ada cara baru untuk mengajar dan belajar yaitu secara online. Meskipun akan ada penurunan dan penyesuaian, tapi tren ini ke depannya akan semakin berkembang,” kata Kuo-Yi Lim.

Tren investasi tahun 2021

Hal menarik yang kemudian diungkapkan oleh Partner Monk’s Hill Ventures Justin Nguyen adalah, sebelum pandemi berlangsung, pihaknya telah memberikan investasi kepada berbagai sektor. Mulai dari logistik, healthtech, dan lainnya. Sektor tersebut menurut Justin telah menjadi pilihan bagi MHV untuk kemudian dikembangkan dan tentunya diinvestasikan. Faktanya sektor tersebut selama pandemi ternyata memang mengalami akselerasi yang sangat baik.

“Sebagai principal dari investor yang kami lihat adalah, apakah hal yang mereka (pendiri startup) lakukan masuk akal. Saya melihat ketika menjalankan perusahaan masih sama saja sebelum atau saat pandemi.”

Meskipun ada penurunan investasi pada Q3 2020 lalu, namun jika dilihat dari makin besarnya minat investor asal Tiongkok hingga Amerika Serikat untuk bermain di kawasan Asia Tenggara, diprediksi oleh Justin tahun 2021 ini jumlah investasi dari berbagai investor akan makin banyak jumlahnya.

CrediBook Terima Pendanaan Pra-Seri A 21 Miliar Rupiah Dipimpin Wavemaker Partners [UPDATED]

Startup pencatatan keuangan CrediBook mengumumkan perolehan pendanaan pra-seri A senilai $1,5 juta (lebih dari 21 miliar Rupiah) yang dipimpin Wavemaker Partners. Alpha JWC Ventures turut berpartisipasi dalam putaran ini, serta diikuti Insignia Ventures yang merupakan investor di putaran sebelumnya.

Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO CrediBook Gabriel Frans menuturkan, dana segar akan dimanfaatkan untuk perkuat bisnis baru perusahaan yang kini mulai menyediakan solusi keuangan di UKM dengan fitur baru dan perluas kehadirannya, tidak hanya di Jabodetabek dan Bandung saja.

“Kami ingin digitalisasi proses manual di SME, masih banyak yang pakai paper and book dengan memperkenalkan produk yang lebih robust dan perluas jaringan distribusi retailer dan supplier,” ujarnya, Selasa (26/1).

Solusi yang dihadirkan untuk segmen UKM, lanjutnya, tidak hanya sekadar pencatatan utang atau pengiriman tagihan saja. Mereka juga membutuhkan solusi seperti manajemen penjualan agar aktivitas bisnisnya dapat terdigitalisasi secara perlahan dari sepenuhnya masih manual.

Jooalan menjadi salah satu contoh solusi untuk UKM yang sudah dirilis perusahaan. Ia memiliki sejumlah fitur untuk para UKM, seperti permudah pedagang warung bertransaksi di wholeseller tanpa harus repot antre datang ke lokasi.

“Credibook ingin menjadi katalis, sehingga aktivitas bisnis retailer bisa less and less manual. Kami juga ingin dukung retailer dan wholeseller dengan lebih banyak fitur dan produk keuangan agar bisa dukung aktivitas bisnis mereka.”

CrediBook pertama kali beroperasi pada tahun lalu, menyasar usaha mikro dengan solusi pencatatan keuangan sederhana untuk usaha mikro, seperti warung, dengan fitur pencatatan utang, laporan lengkap, dan pengiriman tagihan melalui WhatsApp/SMS, telepon.

Gabriel mengklaim kini pengguna CrediBook tembus di angka 500 ribu orang yang tersebar di seluruh Indonesia.

Pasca peroleh pendanaan dari Payfazz, kedua perusahaan gencar melakukan perluasan produk finansial dari satu sama lain untuk memberikan nilai tambah kepada masing-masing penggunanya. “Kami ada beberapa partnership dengan lending, termasuk dari Payfazz, untuk support user. Ke depannya akan ada lebih banyak produk financing bersama Payfazz.”

Dari segi bisnis, kehadiran layanan seperti CrediBook dianggap sangat membantu pengusaha untuk go digital dimulai dari pencatatan keuangan secara digital sebagai data historis yang bisa diboyong saat mengajukan pinjaman ke lembaga keuangan. Masih rendahnya penetrasi pengusaha mikro untuk sadar dengan pentingnya hal ini, menjadi bisnis yang menarik digeluti oleh banyak perusahaan teknologi.

Di segmen yang sama, selain CrediBook sebelumnya ada BukuKas dan BukuWarung yang juga mengumumkan perolehan pendanaan selama pandemi. Menariknya, ketiga startup ini kompak mendapat pendanaan pada tahun lalu sepanjang pandemi berlangsung. Selain mereka, masih ada pemain lain yang ikut masuk, diantaranya Moodah, Teman Bisnis, Akuntansiku, Lababook, Akuntansi UKM, dan masih banyak lagi.

*Kami melakukan revisi terkait tahapan pendanaan dari Seri A menjadi Pra-Seri A

Application Information Will Show Up Here

OVO Gandeng Bareksa dan Manulife Luncurkan Fitur Investasi

Platform pembayaran dan dompet digital OVO hari ini (26/1) meluncurkan fitur terbarunya “Invest” bekerja sama dengan Bareksa dan Manulife. Reksa dana pasar uang menjadi produk pertama dari sinergi ini, menargetkan kaum milennials yang baru mulai menjajaki dunia investasi.

Presiden Direktur OVO sekaligus Co-Founder/CEO Bareksa Karaniya Dharmasaputra mengungkapkan, “Peluncuran fitur Invest adalah bagian dari komitmen kami untuk membuka akses yang terjangkau, terpercaya, dan nyaman dalam pengelolaan investasi, khususnya bagi investor pemula. Produk yang kami sediakan secara eksklusif di platform OVO adalah reksa dana pasar uang Manulife OVO Bareksa Likuid (MOBLI) yang dikelola oleh Manulife Aset Manajemen Indonesia, salah satu perusahaan manajemen investasi terbesar di dunia.”

Mengacu pada data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Indeks Inklusi Keuangan di Indonesia saat ini mencapai 76,2 persen. Sementara tingkat literasi keuangan menunjukkan angka yang masih rendah yaitu sebesar 38,0 persen dengan hanya 1,7 persen yang masuk ke area pasar modal. Untuk menjawab tantangan dan permasalahan tersebut, OVO didukung Bareksa sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana (APERD) menciptakan terobosan baru dengan melakukan integrasi e-money dan e-investment.

Sebelum ini, beberapa platform investasi juga lakukan integrasi dengan berbagai layanan digital konsumer. Misalnya yang dilakukan Pluang dengan masuk ke ekosistem Dana dan Gojek. Bahkan saking tingginya minat pasar terhadap investasi reksa dana, Bukalapak juga telah membentuk unit usaha tersendiri yang fokus ke segmen tersebut.

“Sebagaimana halnya kita lihat pada integrasi Alipay dan Yu’e Bao di China, yang telah mencatatkan sukses besar dalam mengenalkan investasi reksa dana secara masif di kalangan milenial. Dalam mengembangkan terobosan ini, kami telah berkonsultasi dengan Bank Indonesia (BI) dan OJK. Untuk itu, kami berterima kasih atas dukungan BI dan OJK yang pro-inovasi dan visioner dalam pemanfaatan tekfin bagi peningkatan inklusi keuangan dan pendalaman pasar keuangan kita,” jelas Karaniya.

Reksa dana pasar uang MOBLI tersedia secara eksklusif di aplikasi OVO. Para pengguna yang sudah memperbarui layanan akan menemukan fitur “Invest” di halaman utama OVO. Setelah masuk ke dalam fitur “Invest”, pengguna hanya perlu mengisi profil resiko serta menunggu proses verifikasi dan bisa langsung mematok nominal yang ingin di-invest mulai dari Rp10 ribu.

Selain menawarkan kemudahan dan kenyamanan bertransaksi [belanja, membayar tagihan, dll] dan berinvestasi dalam satu platform, keunggulan lainnya adalah proses pencairan instan, yang memungkinkan investor dapat mencairkan investasi mereka langsung ke saldo OVO Cash.

Salah satu Financial coach yang ikut hadir dalam acara peluncuran OVO “Invest”, Philip Mulyana turut menyatakan bahwa investasi reksa dana juga dapat menjadi salah satu opsi tabungan dana darurat yang baik untuk investor pemula. Pertimbangannya adalah reksa dana pasar uang merupakan salah satu instrumen investasi yang paling aman namun memberikan retur yang lumayan.

Application Information Will Show Up Here

Mendalami Peluang dan Tantangan Menjalankan Konsep “Sharing Economy”

Kehadiran Airbnb dan Uber yang membawa konsep sharing economy mampu menginspirasi banyak orang di dunia untuk mereduplikasinya ke industri yang lain. Begitu pula di Indonesia, startup yang kini sudah menyandang status unicorn mayoritas menjalankan konsep ini sebagai basis bisnisnya.

Seperti apa peluang dan tantangannya bagi startup baru yang tertarik dengan ke konsep ini? Dalam menjawab pertanyaan ini, #SelasaStartup edisi kali ini mengundang Co-Founder dan CEO Titipku Henri Suhardja. Titipku adalah startup asal Yogyakarta yang menyediakan jasa personal shopper yang bisa membelanjakan kebutuhan konsumen di area mereka.

Model bisnis Titipku

Henri menjelaskan, konsep bisnis Titipku cukup sederhana. Konsumen dihubungkan dengan personal shopper untuk membelanjakan kebutuhan sehari-hari dari toko sekitar konsumen. Konsep ini berbeda dengan situs marketplace yang di dalamnya juga menyediakan penjual yang menjajakan produk tersier.

“Bahkan kami lebih spesifik. Di Indonesia ada puluhan juta UKM konvensional yang belum gabung ke online karena mereka sulit untuk proses registrasi, menggunakan aplikasinya, dan sebagainya.”

Karena Titipku hanya bermain di produk kebutuhan sehari-hari, kelebihan inilah yang menjadi pembeda antara perusahaan dengan unicorn seperti Grab atau Gojek. Kendati permodalan Titipku tidak sebesar kedua perusahaan tersebut, tapi perusahaan mampu terus ekspansi dari 2017 hingga sekarang.

Ekspansi Titipku terbilang lebih sistematis dan tidak asal tembak. Perusahaan menargetkan dalam satu minggu dapat masuk ke satu kecamatan. Sebelum memilih lokasi tersebut, perusahaan membandingkan tingkat penawaran dan permintaan masing-masing kabupaten di dalam satu kota.

“Kami menjalankan ekspansi dengan cara beda dengan unicorn karena kami harus lebih bijak. Di satu kabupaten, kami riset titik mana yang paling potensial yang kami masuki.”

Model bisnis ini sebenarnya tidak langsung muncul begitu saja. Lewat proses pembelajaran, akhirnya menemukan product market fit tepat pada awal tahun kemarin sebelum pandemi. Awalnya Titipku masih memakai validasi dengan konsep nasional, seperti marketplace pada umumnya.

Tapi ketika awal tahun kemarin, menerapkan konsep hyperlocal untuk menjangkau usaha mikro yang menjual produk sehari-hari karena ingin menyasar warga sekitar. Ia mengaku sangat beruntung dengan keputusan tersebut karena Titipku menjadi startup yang meraup berkah dari pandemi. Pasalnya, dengan konsep ini secara psikologis, konsumen tentu lebih suka belanja di toko di sekitarnya karena sudah mengenalnya. “Bila ini [model bisnis] belum diganti, pasti kita akan kesulitan [berkembang].”

Diklaim pendapatan perusahaan mampu menutupi variable cost-nya, dikembangkan kembali untuk mendukung perkembangan perusahaan. Sepanjang tahun lalu, Titipku mampu menambah 31 ribu pedagang yang masuk ke Titipku. Hal ini tercapai berkat kinerja dari sekitar 7 ribu ‘penjelajah’ (istilah untuk pengguna aplikasi yang mengunggah informasi UKM yang ditemui).

Titipku juga telah membentuk 47 pasar digital yang berisi 1219 pedagang di dalamnya. Ke-47 pasar digital tersebut adalah pasar tradisional yang tersebar di Jabodetabek, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali. Selain itu, perusahaan mencatat pertumbuhan omzet lebih dari 700% yang didukung peningkatan transaksi per bulan rata-rata mencapai 80%.

Ambil pendekatan sesuai budaya

Titipku sejauh ini baru beroperasi di dua lokasi, Yogyakarta, dan sebagian Jakarta (Jakarta Barat dan Jakarta Utara). Menariknya, cerita di balik ekspansi ke Jakarta terjadi karena ketidaksengajaan. Henri menceritakan, ia berada di Jakarta Barat ketika pemerintah memutuskan PSBB pada pertama kali di Maret 2020.

“Rekan saya, Ong Tek Tjan kebetulan tinggal di Kelapa Gading. Jadi kami berdiskusi lagi untuk masuk ke pasar. Saya sendiri yang menjelajah Pasar Tomang Barat, padahal awalnya tidak tahu daerah sama sekali. Akhirnya, Juni 2020 mulai growing dan satu per satu rekrut tim lapangan, akhirnya buka kantor cabang di sini.”

Penetrasi internet di Yogyakarta dengan Jakarta cukup berbeda. Pedagang di Jakarta sudah familiar dengan aplikasi di smartphone dan cara transfer, sehingga tidak perlu edukasi yang masif. Sementara, di Yogyakarta tidak demikian, namun keingintahuan masyarakatnya sangat tinggi terhadap sesuatu yang baru.

Dari sini, perusahaan belajar untuk menyesuaikan strategi pemasarannya. Di Jakarta, perusahaan memilih untuk pemasaran dengan kanal digital untuk menciptakan transaksi baru. Sementara, di Yogyakarta masih ada proses turun ke lapangan untuk menemui langsung konsumen.

Apalagi, saat perusahaan berusaha mendapatkan 100 pengguna awalnya, tidak langsung membuat aplikasi. Melainkan mendatangi langsung pedagang dan konsumen untuk mencari tahu titik masalahnya, ketimbang ujug-ujug langsung membuat aplikasi.

“Kita lakukan semuanya bertahap, mulai pakai brosur, hanya pakai media sosial, kontak WhatsApp, dan telepon. Setelah dapat 100 konsumen, kita jadi tahu profile konsumen seperti apa agar strategi berikutnya dapat tepat sasaran.”

Application Information Will Show Up Here

Telkomsel dan Gojek Integrasikan Layanan Iklan Digital Khusus Mitra Usaha

Telkomsel dan Gojek kembali mengumumkan kolaborasi bisnis berikutnya, kali ini berkaitan dengan perluasan layanan iklan digital Telkomsel MyAds yang bisa diakses melalui aplikasi GoBiz. Kemitraan ini membuka kesempatan para mitra usaha Gojek untuk perluas bisnis dengan menjangkau lebih banyak pelanggan baru.

“Kami harap, kolaborasi antara MyAds dan GoBiz ini dapat membuka lebih banyak peluang dan kesempatan bagi UMKM di Tanah Air, sekaligus membantu perekonomian negara untuk kembali tumbuh secara berkelanjutan,” terang Direktur Utama Telkomsel Setyanto Hantoro dalam keterangan resmi, Senin (25/1).

Co-CEO Gojek Andre Soelistyo turut menambahkan, GoBiz adalah salah satu solusi komprehensif Gojek untuk memfasilitas pelaku UMKM go-digital di masa pandemi. “Kami percaya kolaborasi dengan Telkomsel melalui integrasi MyAds Telkomsel dan GoBiz akan membantu ratusan ribu pelaku UMKM di dalam ekosistem Gojek untuk memperluas pangsa pasar dan meningkatkan potensi pengembangan bisnis mereka.”

Melalui integrasi ini, para mitra usaha Gojek dapat mengakses layanan Telkomsel MyAds dari aplikasi GoBiz untuk membuat, mengirimkan, dan memonitor kampanye iklan usaha mereka. Sehingga, mereka dapat memperluas pangsa pasar dan mengembangkan bisnis dengan menjangkau lebih banyak pelanggan baru yang mengandalkan solusi iklan yang terarah dari Telkomsel MyAds.

Telkomsel menyiapkan promo berkala khusus para mitra usaha dalam menggunakan layanan Telkomsel MyAds, sebagai nilai tambahnya.

Telkomsel MyAds adalah bagian dari Telkomsel DigiAds, solusi periklanan digital dari Telkomsel. Solusi bisnis ini memfasilitas pelaku usaha dalam membuat, mengirimkan, dan memonitor kampanye iklan berbasis SMS, MMS, dan pesan pop-up secara mandiri. Solusi ini telah dimanfaatkan oleh para pelaku bisnis dari seluruh skala bisnis dan industri, mulai dari kuliner, otomotif, warung elektronik, dan edukasi.

Sementara, GoBiz adalah super app yang diciptakan khusus mitra usaha Gojek untuk melengkapi solusi bisnis mereka, terkait operasional sehari-hari hingga pengembangan usaha ke tahapan selanjutnya. Dalam aplikasi tersebut, mitra dapat mengatur promosi secara mandiri untuk menarik lebih banyak pelanggan, menyediakan pilihan metode pembayaran non tunai, rekap seluruh transaksi dan manajemen usaha dengan POS.

GoBiz diklaim telah dimanfaatkan oleh ratusan ribu mitra usaha yang datang dari sektor kuliner dan ritel, dan menghubungkan mitra ke jutaan pengguna Gojek di Indonesia.

Kemitraan Telkomsel dan Gojek sebelumnya

Pasca investasi yang dilakukan Telkomsel kepada Gojek pada tahun lalu sebesar $150 juta, kolaborasi kedua perusahaan semakin gencar dilakukan. Sebelumnya, kedua perusahaan bekerja sama untuk GoShop.

Ada lebih dari 20 ribu mitra seller/outlet Telkomsel telah mendapatkan akses untuk berjualan langsung di GoShop dari aplikasi Gojek. Dengan demikian, para mitra reseller dapat menjangkau kebutuhan dari lebih banyak pelanggan secara digital. Selain itu, Telkomsel turut mendukung produktivitas mitra pengemudi Gojek melalui Paket Swadaya dengan harga mulai dari Rp25 ribu.

“Ke depan, kami menatap optimis untuk menghadirkan lebih banyak upaya kolaboratif dari Telkomsel dan Gojek yang mampu menjadi solusi bagi para pelaku UMKM untuk mengakselerasikan bisnisnya, sekaligus memperkuat komitmen Telkomsel dalam mengembangkan ekosistem digital yang inklusif dan berkelanjutan di Indonesia lebih jauh lagi,” tutup Setyanto.

Telkomsel, di saat yang bersamaan, bersama dengan Grab menjadi salah satu pemegang saham di LinkAja. Hubungan ini menjadi lebih menarik karena baik Grab dan Gojek merupakan kompetitor. LinkAja pun kini turut hadir sebagai alternatif metode pembayaran baik di Gojek maupun Grab.

Application Information Will Show Up Here