BRIK Dikabarkan Dapat Pendanaan Awal 59 Miliar Rupiah Dipimpin AC Ventures [UPDATED]

Startup pengembang platform B2B commerce (B2B Raw Materials Aggregator) untuk bahan bangunan “BRIK” dikabarkan mendapatkan pendanaan awal dari sejumlah investor. BRIK memanfaatkan teknologi untuk memberikan pengalaman pendanaan dan distribusi yang lebih efisien di ekosistem konstruksi. Mereka melayani pelanggan institusional dan gerai ritel.

Menurut sumber yang dekat dengak kesepakatan ini, pendanaan awal yang bernilai hampir $4 juta (atau 59,5 miliar Rupiah) ini dipimpin AC Ventures, dengan keterlibatan Accel, Infra.Market, Alto Partners, BizOnGo, dan sejumlah angel investor — termasuk eksekutif YummyCorp, KoinWorks, Bank Aladin Syariah, Bilah Metal, Goldman Sachs, LVMH Catterton, dan Kementerian Dikbudristek.

BRIK didirikan oleh 4 orang founder, dua di antaranya mantan VP SEA Invesment di Jardines dan salah satu co-founder di iDexpress.

Produk yang dijajakan BRIK cukup beragam, mulai dari pasir, semen, baja, beton, sampai bahan kimia yang biasa digunakan dalam konstruksi. Solusi yang ditawarkan berfokus produk konstruksi volume tinggi di bawah mereknya sendiri. Dengan demikian mereka ingin memecahkan masalah seperti kurangnya transparansi harga, kualitas yang tidak dapat diandalkan, basis vendor yang terfragmentasi, dan logistik yang tidak efisien.

Model bisnis

Mengutip dari informasi di situs resminya, BRIK mengembangkan produk konstruksi sendiri dengan kualitas dan karakteristik yang sesuai dengan riset yang telah dilakukan tim. Keunggulan kompetitifnya antara lain terletak pada kemampuan mereka dalam memperpendek rantai pasok/supply chain. Perusahaan juga menyediakan sistem cloud manufacturing dan retail as a services.

Lewat mekanisme cloud manufacturing, perusahaan merangkul rekanan pemasok bahan bangunan untuk membantu perusahaan memproduksi barang — BRIK memberikan jaminan penjualan lewat kanal yang dimiliki. Sementara mekanisme retail as a services memungkinkan siapa saja untuk bergabung menjadi agen BRIK.

Visi BRIK adalah untuk mempersingkat rantai distribusi bahan konstruksi melalui platform pengadaan berteknologi tinggi, menghubungkan pembeli dengan produsen bahan konstruksi.

Sebelumnya platform GoCement juga telah hadir tawarkan pengadaan bahan bangunan, dengan model bisnis yang berbeda — lebih ke B2B marketplace. Oktober 2021 lalu, mereka mengumumkan pendanaan awal dari Arise (fund kolaborasi MDI Ventures dan Finch Capital), MDI Ventures, Beenext, dan Ideosource. Perusahaan akan memfokuskan dana segar untuk mengakselerasi pengembangan produk pasar B2B dengan memasukkan distributor besar ke dalam platform.

Menurut pemaparan yang disampaikan Kementerian Perdagangan RI, ukuran pasar B2B commerce di Indonesia akan mencapai $21,3 miliar pada 2023 mendatang. Sementara itu, menurut laporan Mordor Intelligence, ukuran pasar konstruksi bangunan di Indonesia telah mencapai $10,97 miliar pada 2022 ini. Ini adalah peluang yang cukup besar untuk dieksplorasi oleh para pegiat startup.

Updated: Kami memperbarui informasi terkait nominal dan daftar investor

Haus! Kantongi Pendanaan Seri B1, Mantapkan Langkah Menuju IPO

Diluncurkan tahun 2018 lalu sebagai startup F&B di segmen produk new tea & boba, Haus! saat ini telah memiliki sekitar 200 outlet tersebar di Jabodetabek. Menerapkan model bisnis “cost leadership”, sejak awal perusahaan berupaya untuk konsisten menjaga kualitas produk.

Untuk bisa relevan dengan pangsa pasarnya, outlet turut didesain dengan nuansa gaya hidup dan dibumbui produk dengan harga jual terjangkau.

Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO Haus! Gufron Syarif mengungkapkan, terinspirasi dari Tiongkok, produk new tea & boba yang menyasar kepada kelas menengah ke bawah memiliki potensi yang besar. Ia pun menilai bahwa ada potensi yang sama di Indonesia. Ternyata hipotesis terkait bisnis F&B tersebut tervalidasi baik di pasar. Pun demikian di mata investor.

Belum lama ini, Haus! kembali mengantongi dana segar dalam putaran seri B1 dari beberapa angel investor seperti Rama Notowidigdo mewakili Ubi Capital dan Arya Setiadharma mewakili Prasetia Dwidharma. Sejumlah pemodal ventura juga terlibat, di antaranya Strategic Year Holdings dan Atlas Global Ventures.

Dana segar akan difokuskan untuk mempercepat pertumbuhan bisnis dan merealisasikan cita-cita perusahaan untuk segera IPO.

“Kami menyadari jika perusahaan ingin berlari kencang idealnya adalah mendapatkan pendanaan melalui VC. Harapannya dana segar tersebut bisa kita manfaatkan untuk mengembangkan bisnis dan melangkah lebih cepat menuju IPO. Perusahaan juga memiliki target untuk bisa memiliki sekitar 1000 outlet, sekaligus memosisikan Haus! sebagai brand leader untuk kategori pasar ini,” kata Gufron.

Sebelumnya Haus! juga telah mendapatkan pendanaan seri A senilai 30 miliar Rupiah dari BRI Ventures melalui Dana Sembrani Nusantara. Setelah menerima suntikan dana tersebut tahun 2020 lalu, Haus! mencatatkan peningkatan penjualan sebesar 54,5% dari $11 juta (156 miliar Rupiah) pada tahun 2020 menjadi $17,53 juta (252 miliar Rupiah) pada tahun 2021.

Meluncurkan aplikasi, targetkan akuisisi 20% transaksi

Sebagai bagian rencana, bulan Juli mendatang Haus! akan meluncurkan aplikasi mobile perdananya. Bermitra dengan logistik pihak ketiga Lalamove, melalui aplikasi tersebut diharapkan bisa memberikan keuntungan lebih, termasuk dengan pengelolaan data yang lebih intensif.

Saat ini perusahaan mencatat sekitar 60% transaksi berasal dari marketplace. Hal tersebut menurut Gufron telah membantu mereka untuk melakukan distribusi, namun akan menjadi ideal jika perusahaan juga memiliki data dan opsi pengantaran sendiri melalui aplikasi.

“Kami menargetkan hingga tahun 2025 mendatang sekitar 20% bisa didapatkan transaksi melalui aplikasi sendiri. Melihat dinamika yang ada saat ini, kemitraan dengan marketpalce memang sangat membantu namun ke depannya kami melihat akan ada perubahan dari sisi kebijakan komisi dan lainnya yang dikenakan oleh marketplace kepada kami,” kata Gufron.

Dengan pendekatan cost leadership, Haus! diibaratkan serupa dengan low cost budget airline, yang layanan dan produknya bisa dinikmati oleh semua kalangan. Meskipun mereka tetap konsisten memberikan kualitas produk terbaik, namun untuk harga diupayakan tetap terjangkau, menyasar segmen menengah ke bawah.

Strategi bisnis lainnya yang juga diklaim telah memberikan dampak positif adalah, sejak awal mereka tidak menjalankan operasional secara franchise atau waralaba. Menurut Gufron, dengan menjalankan operasional secara sendiri, memudahkan mereka untuk menjaga kualitas dan kontrol operasional. Untuk jangka panjang konsep seperti ini juga bisa menjadikan bisnis lebih berkelanjutan.

Pengembangan outlet modern dan minimalis

Untuk bisa menjangkau lebih banyak pelanggan, Haus! sengaja membangun outlet di berbagai lokasi yang berbeda. Mulai dari perumahan, sekolah, hingga lokasi transportasi umum seperti stasiun KRL. Meskipun tidak memiliki lokasi yang luas dan hanya berbentuk outlet sederhana, namun strategi seperti ini mampu menumbuhkan transaksi memanfaatkan pengantaran dari marketplace.

“Berbeda dengan produk serupa lainnya yang kategorinya lebih menengah ke atas, kami tidak menempatkan outlet kita di pusat perbelanjaan premium. Nantinya jika memang Haus! memiliki rencana untuk meluncurkan outlet baru di mall, yang kita pilih adalah tempat berbelanja yang masuk dalam kategori menengah ke bawah,” kata Gufron.

Sudah sangat familiarnya kalangan masyarakat menikmati minuman kekinian , menjadikan bisnis yang diterapkan Haus! dan produk serupa lainnya bisa berjalan lebih lancar. Akselerasi saat pandemi juga telah membantu mereka melakukan ekspansi outlet lebih banyak lagi jumlahnya. Menurut Gufron kategori new tea & boba dan coffee chain ketika digali lebih dalam market size-nya bernilai 10 triliun Rupiah.

“Frekuensi pembeliannya jika dibandingkan di Tiongkok yang lebih rutin, bahkan menjadikan minuman dalam kategori ini sebagai dessert atau makanan penutup. Di Indonesia sudah mulai menuju ke sana, bergeser dari tren menjadi kebiasaan,” kata Gufron.

Indra Utoyo: Integrasi Awal Allo Bank Sasar Ekosistem Ritel dan “Supply Chain” CT Corp (Bagian II)

Ini adalah bagian II dari dua tulisan. Bagian I menyajikan gagasan, sudut pandang, dan kilas balik Indra Utoyo yang sukses membangun karier dari industri telekomunikasi dan perbankan.

Mengapa Anda memutuskan mengambil pinangan CT untuk pimpin Allo Bank?

Jawab: Banyak tawaran datang, beberapa dari non-bank yang bukan background saya. Karena saya sudah 60 tahun, belajar hal baru tidak sejalan dengan apa yang saya lakukan selama ini. Kecuali saat saya masih muda, mungkin tawaran itu saya ambil.

Ketika ada tawaran dari Pak CT, saya lihat ini sejalan dengan apa yang saya pikirkan ke depan. Apalagi Pak CT sudah lama menyiapkan Allo Bank. Karena arah pengembangan bank digital adalah ekosistem, saya pikir masuk ke ekosistem CT Corp merupakan kombinasi yang pas.

Platform bank berbasis aplikasi dipadukan jaringan bisnis yang memiliki interaksi fisik. Ini menarik karena CT dan pemilik saham Allo Bank sama-sama memiliki ekosistem luas. Bukalapak salah satunya. Engagement nasabah akan semakin baik dalam memanfaatkan Allo Bank untuk utilitas kehidupan, seperti nama Allo yang berarti “All in One”.

Ada banyak ruang eksplorasi Allo Bank di O2O. Kehadiran fisik dan digital sama-sama punya peran kuat. Sebagai ekosistem, [CT Corp] sudah punya trust, tinggal ditambah bank digital saja.

Memang digitalisasi berdampak positif pada kecepatan maupun efisiensi. Tapi, aspek human touch juga penting karena masyarakat masih membutuhkannya. Bagaimana memadukan dua hal ini? Perlu hybrid model untuk kombinasikan aspek konvensional dan digital. Istilahnya ‘phygital‘ atau physical-digital. Model ini akan jauh lebih engage dengan konsumen.

Kalau fully digital, pasti [pengembangannya] akan mentok. Dalam buku saya (“Hybrid Company Model: Cara Menang di Era Digital yang Disruptif“), saya katakan bahwa digital tidak bisa menggantikan trust, brand, dan service. Namun, tanpa digital, kita tidak akan dapat mendapatkan ketiganya.

Apa fokus tahap awal Allo Bank tahun ini?

J: Kami akan mulai [integrasi] dari B2C di sektor ritel dan B2B di supply chain. Saya rasa dalam dua sampai tiga bulan pertama akan banyak [kolaborasi/integrasi] di kategori brick and mortar. Sambil Allo Bank terus memperbaiki platform, operasional, dan pengolahan data, kami akan integrasi ke ekosistem digital CT Corp yang sudah siap, seperti AlloFresh. Juga nanti ke Bukalapak, Grab, atau Traveloka.

Dengan membesarkan ekosistem yang terhubung dengan Allo Bank, kami dapat mendorong jumlah nasabah dan transaksi. Kami akan tambahkan fitur atau produk lain, seperti paylater atau instant cash. Semakin sering dipakai, kita bisa memahami konsumen dan memaksimalkan produk perbankan yang berkualitas dengan customer yang tepat.

Sumber: CT Corp

Allo Bank masih baru dan perjalanannya masih panjang. ‘”All in One”, ini menjadi semacam mantra ya, satu untuk semua dan semua untuk satu. Semua dapat terakomodasi melalui ekosistem CT Corp.

Bagaimana posisi Allo Bank dibandingkan kompetitornya?

J: Allo Bank bermain di mass market, volume transaksinya kecil-kecil tapi sering dipakai. Terkait produk bank, sama seperti yang ditawarkan bank-bank lain. Ada simpanan/deposit, transfer, dan kredit, hanya saja konteks model bisnisnya yang akan membedakan.

Allo Bank akan memadukan jaringan bisnis milik CT dan partner strategis, baik yang memiliki saham maupun bagi partner-partner baru nanti. Dengan [strategi] ini, Allo Bank akan punya posisi untuk tumbuh.

Dari sisi tim, kami akan menggabungkan mana yang dikerjakan sendiri, mana yang dikerjakan bersama partner. Dalam hal teknologi, Allo Bank bekerja sama dengan bank digital terbesar dunia, WeBank. Kami mengikuti disiplin pada pengembangan produk WeBank. Kedua, salah satu direksi Allo Bank merupakan eks petinggi Paytm (Sajal Bathnagar), platform pembayaran digital besar di India.

Kami belajar dengan pendekatan ini, belajar dari yang hebat sambil kami terus menambah core talent. Kalau memikirkan semua sendiri, kami bisa tersasar. Jadi kami belajar dan nurture SDM lokal dengan baik.

Apakah ada rencana meneruskan venturing ekosistem digital dengan membentuk VC?

J: Saya belum bisa bilang soal ini karena ini berada di ranah pusat. Pasti ada agenda itu karena kita akan mencari partner-partner baru. Tak lama lagi, Allo Bank akan tambah fitur atau produk, mulai dari asuransi, investasi. Tentu ini akan [bermitra] dengan startup yang sudah punya basis pengguna dan akan dihubungkan ke Allo Bank.

Bagaimana Anda melihat dinamika bank digital di Indonesia?

J: Ada tiga hal untuk bisa thriving sebagai bank digital, yaitu teknologi, ekosistem, dan talent. Dalam beberapa tahun terakhir, bank digital muncul sebagai sebuah model [bisnis]. Bank deliver layanannya melalui aplikasi. Dulu di awal ada Jenius, kemudian terakhir ada Jago, Neo Commerce, hingga Seabank yang bermain dengan ekosistem.

Bank digital memadukan ekosistem untuk mendapat nasabah berkualitas, karena bank bicara soal trust dan manajemen risiko. [Ekosistem] punya trust dan branding sehingga memiliki basis pelanggan yang berkualitas. Jika tidak [memadukan ekosistem], bank digital sulit tumbuh secara organik dan mendapat pelanggan berkualitas. Jadi mereka create value bersama.

Game field selanjutnya adalah bank digital mendorong masyarakat untuk semakin terliterasi terhadap keuangan, dapat menyentuh masyarakat lebih luas. Jika kita lihat, bank digital tidak lagi bicara sebagai bank, tetapi lebih banyak pada aspek kehidupan.

Maka itu, bank digital cocoknya di ritel sampai SME, bermain di volume besar. Dengan teknologi yang efisien, bank digital bisa memiliki cost per acquisition yang rendah sekali. Bank dapat menawarkan layanan yang menyasar kebutuhan sehari-hari. Kalau di atas itu, bank digital tidak terlalu main ke sana. Bank konvensional kan biasanya main di segmen korporasi dengan nilai transaksi besar.

Sementara, jika melihat [fenomena] fintech masuk ke bisnis bank, ini menjadi ujung dari perjalanan mereka. Bank dapat marjin dari pembiayaan, kalau dari payment saja tidak ada. Makanya fintech harus bergeser ke bank supaya bisa menawarkan layanan keuangan lain.

GoTo Tambah Modal ke Sejumlah Anak Usaha

PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (IDX: GOTO) mengumumkan pengambilalihan saham pada sejumlah anak usaha untuk melakukan penambahan modal.

Berdasarkan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, PT Tokopedia mengambil alih sebanyak 58.400 saham baru milik PT Semangat Bambu Runcing (SBR) sebanyak 58.400 dengan nilai Rp58,4 miliar.

Kemudian, Semangat Bambu Runcing menyerap 18.400 saham baru dari PT Roda Bangun Selaras (RBS) senilai Rp18,4 miliar. Dan, Roda Bangun Selaras melakukan aksi serupa terhadap 18.400 saham baru atau Rp18,4 miliar milik PT Adi Sarana Logistik (ASL).

Corporate Secretary GoTo R. A Koesoemohadiani mengatakan bahwa seluruh aksi korporasi ini bertujuan untuk meningkatkan modal untuk anak usaha.

Sementara dalam keterbukaan informasi secara terpisah, Presiden Direktur ASSA Prodjo Sunarjanto Sekar Pantjawati mengatakan bahwa penambahan modal ini diperlukan agar Adi Sarana Logistik dapat memberikan kontribusi positif terhadap perusahaan.

Sekadar informasi Adi Sarana Logistik merupakan anak usaha PT Adi Sarana Armada Tbk (IDX: ASSA) dengan kepemilikan 40% saham. Perlu diketahui, saham anak usaha Adi Sarana Armada, yakni Anteraja dan Autopedia, dimiliki oleh Komisaris Utama GoTo Garibaldi ‘Boy’ Thohir.

Modal usaha di Vietnam

Selain itu, GoTo juga mengumumkan telah menyuntik modal tambahan ke anak usahanya di Vietnam, yakni Go Car Technology Company Limited (GoCar Ltd) melalui Viet Lotus International Joint Stock Company (Viet Lotus) senilai VND140,6 miliar atau setara $6,2 juta.

Saat ini, GoCar Ltd dimiliki sepenuhnya melalui perusahaan induk Viet Lotus sebesar 100%, sedangkan 49% kepemilikan saham Viet Lotus dipegang oleh GoTo.

Kilas balik singkat, tahun lalu Gojek melakukan divestasi bisnisnya di Thailand ke AirAsia agar dapat fokus di pasar Vietnam dan Singapura. Kala itu, Kevin Aluwi yang masih menjabat sebagai CEO Gojek mengatakan pihaknya tidak dapat berkomitmen penuh dengan resource yang dimiliki di sana.

Berdasarkan laporan tahunan GoTo, layanan GoCar telah meluncur di Vietnam pada Agustus 2021, sedangkan layanan GoTaxi dan GoCar XL tersedia di Singapura pada Mei dan November 2021.

Adapun data OECD mencatat perekonomian Singapura memimpin pertumbuhan di Asia Tenggara dengan pertumbuhan PDB sebesar 7,6% di 2021, sedangkan Vietnam sebesar 2,6% di periode yang sama.

Sebagaimana diketahui, GoTo sejak awal berambisi untuk memperkuat infrastruktur dan ekosistem hyperlocal di Asia Tenggara melalui tiga anak usahanya, yaitu Gojek (ride-hailing), Tokopedia (e-commerce), dan GoTo Financial (fintech).

Dengan strategi ini, GoTo berupaya untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa dengan biaya ekonomis berkat supply dan demand yang berdekatan satu sama lain. Ini menjadi salah satu kekuatan GoTo dengan mengoptimalkan jaringan mitra pengemudi, merchant, dan logistiknya.

Application Information Will Show Up Here

Idealisme Hipotesis Berinvestasi ala BTPN Syariah Ventura

BTPN Syariah Ventura turut serta mewarnai kehadiran corporate venture capital (CVC) di Indonesia pada pertengahan tahun ini. Dalam catatan, sejauh ini sudah ada delapan CVC (Telkom, Telkomsel, Bank Mandiri, BRI, BNI, BCA, OCBC NISP) yang sudah beroperasi dan mengucurkan dana, kecuali BNI Modal Ventura yang baru mengumumkan kehadiran.

Masing-masing CVC memiliki mandat spesifik dari induk untuk mendukung keterbukaan terhadap inovasi yang berpotensi dapat digarap bersama ke depannya. Dalam konteks korporasi, pengembangan inovasi tidak bisa langsung direalisasikan dalam waktu cepat, meski sebenarnya siapa pun bisa melakukannya.

Kondisi yang sama juga diemban oleh BPTN Syariah Ventura. Dibandingkan perbankan lainnya, syariah sekalipun, bisnis utama BPTN Syariah adalah pembiayaan produktif untuk masyarakat pra/cukup sejahtera dengan nominal pinjaman mulai dari Rp2 juta dengan tenor satu tahun. Segmen ini berbeda dengan kebanyakan perbankan, makanya banyak kondisi-kondisi yang perlu dipertimbangkan saat BPTN Syariah melakukan digitalisasi.

Menariknya, karena induk BTPN Syariah Ventura ini adalah perbankan syariah, maka CVC-nya pun turut menyejajarkan diri. DailySocial.id berkesempatan untuk mewawancarai lebih dalam bersama Direktur Utama BTPN Syariah Ventura Ade Fauzan.

Hipotesis investasi

Dengan ranah bisnis yang tersegmentasi, kesempatan BTPN Syariah untuk masuk ke ranah digital ibaratnya pisau bermata dua. Sebab, proses digitalisasi di pedesaan dengan perkotaan adalah hal yang berbeda, termasuk dari kecepatan adopsinya. Kualitas jaringan internet adalah salah satu faktornya. Ade pun menyadari bahwa digitalisasi itu adalah suatu keniscayaan.

“Kami melihat bagaimana melakukan digital untuk segmen market-nya, makanya kami sebut teknologi untuk kebaikan. Tapi kami percaya perlu akselerasi lewat kolaborasi karena zaman sekarang muncul istilah baru, yakni kolaborasi, sebab memang tidak semua kebutuhan yang kita butuh itu harus bangun sendiri,” ujar Ade.

Sesuai mandat dari BTPN Syariah, hipotesis investasi yang dianut adalah mencari startup yang fokus pada pemberdayaan masyarakat pra/cukup sejahtera di kota lapis dua dan tiga. Dari total enam juta nasabah yang sudah terlayani di BTPN Syariah, harus mendapat nilai tambah dari setiap inovasi yang terjadi, dengan demikian kehidupan mereka semakin membaik.

Prinsip inilah yang akhirnya ditemukan dari Dagangan. Keputusan untuk menyuntik startup social commerce ini sebenarnya melalui tahapan yang tidak sebentar, bahkan jauh dari akhirnya BTPN Syariah Ventura resmi berdiri. Sedikit mengulang ke awal 2020, di situlah dimulainya kemitraan antara perusahaan dengan Dagangan.

Pada saat itu, Dagangan melakukan pilot project untuk mendukung para debitur BTPN Syariah untuk mengembangkan bisnis melalui pinjaman yang mereka terima. Dagangan menyediakan stok barang kelontong dalam bentuk paket-paket hemat yang bisa dibeli untuk nantinya dijual kembali oleh para mitra di lingkungan rumahnya. Karena berjualan barang kelontong, maka perputaran uangnya jauh lebih cepat hanya sekitar satu hingga dua hari saja.

“Ada kebutuhan untuk warung, yang mereka butuhkan akses terhadap barang. Nasabah kita bekerja sendiri untuk dukung keluarganya. Pain-nya access to supply, harus travel, harus tutup warung, artinya ada opportunity loss. Karena tidak sekadar barang, banyak startup yang menyediakan barang untuk warung, tapi yang sesuai BTPS cari tidak banyak, hanya Dagangan,” ucap Ade.

Dia melanjutkan, Dagangan mendedikasikan dirinya sebagai startup yang hanya menggarap kota lapis dua, tiga, dan empat, yang mana sejalan dengan strategi BTPN Syariah. Dari karakteristik model bisnisnya juga menarik karena Dagangan mengakomodasi nominal belanja dalam jumlah kecil, menyesuaikan dengan kebiasaan belanja pemilik warung.

“Pedagang kecil itu belanjanya dalam jumlah kecil, bukan botolan tapi sachetan. Nah Dagangan tipe barang-barangnya seperti itu, minimal order-nya juga tidak harus banyak. Kalau pemain lain itu minimal harus Rp1,5 jutaan. Kalau segitu [minimal belanja] nasabah kami enggak bisa order.”

Kemitraan tersebut berlanjut, sampai kedua perusahaan bahkan sudah mencapai integrasi API alias semakin serius karena mulai “buka dapur”. Kesepakatan tersebut diambil jauh sebelum BTPN Syariah Ventura peroleh izin dari regulator.

“Ke depannya kemitraan dengan Dagangan akan terus dilanjutkan, akan ada kolaborasi access to market untuk bantu perluas usaha kecil jangkau konsumen yang lebih luas.”

Setelah Dagangan, pihaknya akan terus mencari startup lainnya yang menyasar masyarakat desa dari berbagai vertikal. Meski tidak dirinci secara spesifik, BTPN Syariah mencari peluang-peluang kolaborasi dengan startup yang bermain di edtech, jual-beli digital, pelatihan, penyedia jasa pembayaran tagihan, penyedia barang perlengkapan rumah tangga, produsen/pemilik produk kebutuhan sehari-hari.

Layanan di atas diarahkan untuk membantu para konsumen BTPN Syariah yang terdiri dari nasabah, Mitra Tepat, Daya (program CSR), Ibu Tepat, dan lainnya.

Sumber: BTPN Syariah

Persaingan dengan VC

Hal menarik lainnya yang menjadi pertanyaan adalah mengapa baru sekarang BTPN Syariah masuk ke modal ventura, sementara korporasi lainnya sudah memulainya sejak empat hingga enam tahun lalu.

Ade pun menjawab bahwa terlambat atau tidaknya masuk ke modal ventura itu bicara mengenai prioritas. Bagi manajemen, kehadiran BTPN Syariah Ventura berada dalam momen yang tepat untuk mengakselerasi digital di induk perusahaan dan menciptakan ekosistem digital syariah.

“Tujuannya spesifik karena mandatnya sangat clear untuk bantu banknya [BTPN Syariah]. Karena proses bangun ekosistem digital syariah itu selama ini kita bangun sendiri. Ketika sudah berada di satu titik bisa ditinggalkan, source kita kemudian dialihkan untuk bangun VC. Jadi bukan terlambat atau tidak, tetapi memang kami atur milestone-nya.”

Dia menambahkan, prinsip yang selalu diunggulkan dari BTPN Syariah Ventura adalah selalu menjadi investor strategis, bukan ordinary investor atau investor yang mencari valuasi. Bagi Ade, valuasi adalah satu hal, tapi mengembangkan bisnis BTPN Syariah adalah hal terpenting.

Yuliati pengguna Dagangan dan pemilik warung di Desa Tempelsari, Kabupaten Sleman / Dagangan

“Ketika startup datang bantu nasabah kami tumbuh, maka mereka bantu BTPS tumbuh lebih besar. Kami sudah jalankan ini [bisnis bank syariah] sejak 2010 jadi kita tahu apa yang ultra mikro butuhkan, sekarang tinggal pilih yang mana dulu [mau diinvestasikan].

Karena menjadi investor strategis, pihaknya dapat menganalisis calon startup dengan memberikan pilot project dan akses ke nasabah. Dari situ, BTPN Syariah dapat mengukur efektivitasnya seperti apa, layak untuk dilanjutkan atau tidak. “Ketika masuk ke bisnis BTPS, market startupnya jadi bisa di-compare, sudah diukur risikonya. Beda halnya kalau mereka beda bisnis dengan kita, susah validasinya, jadi kita masuk ke area yang kita paham.”

Dana kelolaan BTPN Syariah Ventura tergolong mini, hanya Rp300 miliar (dari modal ditempatkan dan disetorkan penuh). Ade dan tim akan melakukan investasi dengan cerdas ke startup berkualitas. Proses investasi akan dilakukan dengan sabar dan tidak terburu.

Sebagai satu-satunya CVC syariah, sambung Ade, menjadi nilai unggul yang diberikan perusahaan kepada calon startup. Sebab, pihaknya memiliki dua orang Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang memastikan bahwa operasionalnya sesuai dengan ketentuan syariah yang diatur oleh DSN MUI, OJK, dan regulator terkait lainnya.

“Jadi dalam setiap penyertaan modal yang kami lakukan, maka startup tersebut harus mendapatkan opini kesesuaian syariah dari DPS BTPN Syariah Ventura.”

Ia pun tak khawatir dengan persaingan berebut dengan VC lainnya. Setidaknya, dalam rencana bisnis BTPN Syariah Ventura, dapat mendanai satu startup tiap tahunnya. Sayangnya, Ade tidak menyebutkan ticket size yang akan diberikan untuk tiap investasinya. Hanya disebutkan tergantung dari penyertaan modal yang dilakukan untuk setiap model bisnis dan rencana startup tersebut.

“Kami sudah ‘berkencan’ dengan Dagangan sebelum mereka terkenal seperti sekarang. Kami akan mencari Dagangan-Dagangan lain yang masih kecil tetapi punya potensi yang kami tahu potensi itu bisa menyelesaikan masalah,” tutup Ade.

East Ventures Pimpin Pendanaan Seri B di RPG Commerce

East Ventures memimpin putaran pendanaan seri B senilai $29 juta atau sekitar 431 miliar Rupiah kepada RPG Commerce. Selain East Ventures, putaran ini juga dipimpin oleh UOB Venture Management, Vertex Ventures SEA & India (VVSEAI), dan RHL Ventures.

Dalam keterangan resminya, Co-founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan, RPG Commerce memiliki posisi unik karena mengambil pendekatan dengan melayani berbagai kategori, merek, dan model roll-up di sektor e-commerce.

Menurutnya, ini menjadi strategi penting bagi bisnis D2C untuk memiliki daya tarik internasional demi memastikan kesuksesannya di pasar. “RPG Commerce mampu menumbuhkan basis pelanggan loyal di Amerika Serikat, Kanada, hingga Eropa, melalui produk berkualitas dan inovasi di supply chain,” tutur Willson.

Co-founder & CEO RPG Commerce Melvin CHee menyebutkan akan menambah portofolio merek dan jumlah SDM, mendorong inovasi R&D, hingga M&A dengan tambahan pendanaan ini. “Kami ingin menambah talenta kami dengan cepat dan meningkatkan kemampuan teknologi untuk memperluas lanskap konsumen kami,” ujar Melvin.

Sebagai informasi, RPG Commerce merupakan startup social commerce berbasis D2C asal Malaysia. RPG menawarkan produk merek in-house pada kategori kebutuhan sehari-hari, pakaian hingga rumah tangga. Saat ini, RPG bermitra dengan lebih dari sepuluh merek, termasuk Thousand Miles, Bottom Labs, Eubi, Montigo, dan Cosmic Cookware.

RPG mengelola berbagai merek mulai dari peluncuran produk, operasional, hingga optimalisasi yang didukung oleh produksi dan pengiriman secara end-to-end. Menurut perusahaan, RPG didukung teknologi back-end canggih dan tim kreatif yang visioner sehingga mampu melakukan ekspansi portofolio merek dengan cepat dan pertumbuhan pelanggan hingga 300% selama satu tahun terakhir.

Dengan semangat mendukung bisnis secara independen dengan produk sesuai permintaan, pihaknya berharap dapat memberdayakan pemilik bisnis kecil melalui program inkubasi dan akuisisi demi melayani konsumen di berbagai vertikal.

Iklim investasi dan potensi social commerce

Dalam wawancara dengan DailySocial.id baru-baru ini, Willson Cuaca memberikan beberapa catatan menarik terkait iklim investasi. Terlepas dengan adanya sentimen negatif di ekosistem startup Indonesia, ia menilai hal tersebut tidak mengubah posisinya dalam mencari startup yang potensial.

Menurutnya, masih banyak startup-startup yang memiliki fundamental yang baik. “Tetap bersifat tenang dan sigap dalam menghadapi situasi ini. Mencari dukungan dari para investor Anda, be more prudent in spending, dan jangan melakukan fundraising di saat perusahaan Anda memerlukan uang,” saran Willson untuk para founder.

Dalam konteks social commerce di Indonesia, model ini termasuk yang menunjukkan potensi pertumbuhan besar di masa depan. Data Bain & Co mencatat transaksi dari social commerce menyumbang $12 miliar terhadap total GMV e-commerce di tanah Air yang sebesar $47 miliar di 2020.

Di samping itu, tren social commerce terus berkembang mengingat masyarakat pedesaan masih memiliki keterbatasan akses dalam memenuhi kebutuhannya melalui platform online dibanding masyarakat yang tinggal di perkotaan.

Dengan memberdayakan model jaringan distribusi atau reseller, social commerce dapat membuka akses terhadap produk dan kesempatan kerja lebih luas.

Kenali 16 Startup Social Commerce Indonesia 

Dilansir oleh Data Reportal, jumlah pengguna media sosial di Indonesia tiap tahunnya meningkat. Pada Januari 2020 tercatat 160 juta penduduk Indonesia menggunakan media sosial dan tren ini akan terus meningkat. Pertumbuhan ini pun  dipandang menjadi kesempatan tersendiri bagi pelaku social commerce.

Sederhananya sebuah platform social commerce memanfaatkan jejaring yang dimiliki oleh pengguna akhir untuk melakukan transaksi jual-beli barang. Bisa melalui media sosial, aplikasi pesan, bahkan word of mouth. Laporan Mckinsey, juga menyebutkan sekitar 40% dari pasar e-commerce di Indonesia merupakan social commerce

Platform social commerce juga menjembatani mitra pedagang dengan brand principal yang membutuhkan sistem distribusi yang lebih efisien. Berikut ini daftar startup social commerce yang saat ini beroperasi di Indonesia:

Berkahi

Berkahi adalah platform untuk menjual produk-produk UMKM yang halal, aman, dan berkualitas, dengan visi dan tujuan untuk membantu pelaku-pelaku bisnis kecil dan perorangan untuk bersaing dengan perusahaan besar dan yang sudah maju.

Startup social commerce satu ini memungkinkan pelaku bisnis dapat akses ke ribuan produk halal dari dalam dan luar negeri. Proses pengemasan dan pengiriman dilakukan langsung dari gudang yang tersebar di berbagai wilayah, sehingga lebih efisien. Bagi pelaku UMKM sendiri biaya operasional dan fasilitas gudang tidak dikenankan biaya.

Ide perkembangan bisnis berkahi ini rampung pada November 2021 didirikan oleh tiga co-founder yaitu Rowdy Fatha (CEO), Turina Farouk (CTO), dan Andre Raditya Makmur (CMO). 

Saat ini berkahi masih mengandalkan pendanaan dari angel investor untuk menjalankan bisnisnya. Saat ini, Berkahi juga sedang mencari pendanaan tahap awal venture capital.

Chilibeli

Chilibeli adalah aplikasi belanja online kebutuhan sehari-hari yang berkualitas. Mengambil langsung dari petani, Chilibeli menjamin harga terbaik untuk semua. Memiliki visi untuk menyediakan produk dengan kualitas terbaik, segar dan langsung dari sumbernya ke setiap rumah dengan harga murah.

Alex Feng mendirikan perusahaan ni pada tahun 2019, Chilibeli terakhir kali mendapatkan pendanaan seri A dari Lightspeed Ventures senilai 160 Miliar Rupiah untuk mengekspansi bisnis yang lebih banyak lagi. Dikabarkan Chilibeli telah diakuisisi WeBuy untuk selanjutnya menjadi kendaraan mereka memasuki pasar Indonesia.

Credimart

CrediMart adalah startup social commerce berupa layanan grosir online yang menjual berbagai kebutuhan pokok. Mulai dari kopi, sabun, snack, hingga alat tulis dan obat-obatan — tersedia dalam bentuk potongan hingga karton. CrediMart akan mengantarkan pesanan ke lokasi bisnis dalam waktu 1 x 24 jam.

Salah satu fitur Credimart adalah Credistore, yang memudahkan penjual warung untuk melakukan stock lebih banyak dan praktis. Startup social commece yang ini didirikan oleh Gabriel Fans (CEO), Christian Lie (COO), Dekha Anggareska (CTO) pada tahun 2021.

Pendanaan seri A Credimart didapat melalui perusahaan induknya Credibook senilai 116 miliar Rupiah diikuti oleh Monk’s Hill Ventures, Insigna Ventures Partners, Wavemmaker Partners, Alpha JWC Ventures, dan lain-lain.

Dagangan

Dagangan ini lebih mengarah belanja sembako online grosir atau eceran. Menyediakan berbagai kebutuhan pokok seperti sembako, produk segar juga kebutuhan harian lainnya. Dagangan ini didirikan oleh Wilson Yanapresetya dan Ryan Manafe pada tahun 2016.

Fitur yang dimiliki dagangan sangat menarik. Mereka ini startup social commerce dengan model hub-and-spoke dalam operasionalnya. Dalam artian, membangun pusat pengadaan kebutuhan pokok atau micro fulfillment center (hub) ke kota lapis dua dan tiga dan pedesaan.

Pada bulan Apri 2022, Dagangan mendapatkan pra-seri B senilai 95 miliar Rupiah dari BTPN Syariah Ventura beserta Monk’s Hill Ventures dan Hendra Kwik yang turut serta melakukan penggalangan dana.

Dusdusan

Dusdusan adalah pemasok produk rumah tangga eksklusif yang memiliki komunitas reseller terbesar di Indonesia, lengkap dengan dukungan pelatihan dan materi promosi online dan offline. Visi dari dusdusan adalah menjadi komunitas reseller produk rumah tangga terbesar di Asia Tenggara.

Startup social commerce yang satu ini didirikan oleh Christian Kustedi dan Ellies Kiswoto pada tahun 2014.

Evermos

Evermos adalah sebuah platform social commerce reseller yang menjual berbagai macam produk-produk Muslim Indonesia. Startup social commerce Indonesia ini didirikan oleh Ghufron Mustaqim dan sejumlah rekannya pada tahun 2018.

Evermos ini menawarkan fitur yang menarik bagi pelaku ukm bisnis kecil yang belum memiliki modal, Bisa menggunakan platform yang satu ini.

Pada awal september 2021, Evermos mendapatkan pendanaan seri B dengan perolehan 427 miliar rupiah yang dilibatkan oleh UOB Venture Management dengan MDI Ventures, Telkomsel Mitra Inovasi, Future Shape, Jungle Ventures dan Shunwei Capital.

Grupin

Grupin merupakan startup social commerce Indonesia yang didirikan oleh Kevin dan rekannya Ricky Christie pada 2021. Layaknya aplikasi social commerce yang sudah ada, Grupin menawarkan pengalaman belanja berbasis komunitas kepada konsumen secara kolektif, tujuannya untuk mendapatkan penawaran harga yang lebih baik. 

Barang yang disediakan seputar kebutuhan sehari-hari seperti sembako, perlengkapan dapur, produk bayi, sampai elektronik. Untuk saat ini layanan tersebut baru tersedia untuk area Jabodetabek dan Bandung.

Dipimpin oleh Surge, Grupin mendapatkan pendanaan 42 miliar Rupiah untuk mengekspansi bisnis dan meningkatkan penjualannya.

Ibusibuk

IbuSibuk merupakan program pemberdayaan ekonomi masyarakat ibu dengan membuka peluang bagi ibu-ibu untuk menambah penghasilan sebagai brand ambassador, KOL/Influencer (Momfluencer) untuk berbagai brand. Ini merupakan bagian dari Orami yang kini ada di bawah Sirclo Group.

Startup social commerce yang satu ini didirikan oleh Ferry Tenka pada tahun 2022. Investor saat ini digelontorkan oleh Sirclo.

Kitabeli

KitaBeli didirikan oleh Prateek Chaturvedi, Ivana Tjandra, Subhash Bishnoi, dan Gopal Singh Rathore pada Maret 2020. Platform tersebut memfasilitasi pembelian barang kebutuhan pokok, FMCG, dan produk kebutuhan rumah tangga lain secara berkelompok (team buying). Pengguna aplikasi KitaBeli mengundang kenalannya untuk membentuk grup, kemudian membeli produk bersama dengan potongan harga.

Pada tahun 2021 silam, Kitabeli mendapatkan seri A sebesar 144 miliar Rupiah, Hal tersebut ditunjukan untuk melakukan ekspansi bisnis beserta menggunakan program tersebut untuk mengeksplorasi persaingan bisnis social commerce di Indonesia.

Mapan

Startup social commerce ini awalnya adalah salah satu pionir agen layanan pulsadan PPOB (payment point online bank) yang beroperasi di pulau Jawa dan Bali. Setelah diakuisisi oleh Gojek pada tahun 2017, Founder Mapan yaitu Aldi Haroyopratomo mengaskan Mapan akan menjadi salah satu social commerce Indonesia yang mensejahterahkan masyarakat Indonesia dengan Go-Mapan.

Go-Mapan sendiri dinilai sangat efektif untuk masyarakat di Indonesia terutama pada kalangan keluarga driver dari Gojek dan sebagainya.

Otozilla

Otozilla Bertujuan untuk memperluas edukasi dan kesadaran masyarakat umum akan pentingnya perawatan kendaraan pribadi yang digunakan sehari-hari, platform social commerce yang fokus kepada otomotif Otozilla diluncurkan. Salah satu fokusnya ialah mefasilitasi komunitas.

Startup social commerce yang satu ini didirikan pada tahun 2020 oleh Kenny Joseph. Sampai saat ini otozilla mendapatkan pendanaan pree-seed dari Angel Investor.

RateS

Rate adalah startup social commerce, meluncurkan aplikasi mobile terbaru mereka yang bernama RateS. Aplikasi yang berbasis social commerce ini memberikan kesempatan bagi penggunanya untuk memulai bisnis online mereka dan menjual berbagai barang tanpa memerlukan modal awal.

RateS ini didirikan pada tahun 2018. RateS ini berbentuk social commerce yang memudahkan penggunaannya melakukan bisnis tanpa modal awal. Pada awal Januari 2022, RateS ini menutup pendanaannya yang dipimpin oleh KVision dari Kasikon Bank menjadi investor baru di putaran ini; turut andil juga investor sebelumnya yakni Vertex Ventures, Insignia Ventures Partners, dan Genesis Ventures senilai 85,8 miliar Rupiah. 

Selleri

Selleri adalah sebuah social commerce yang dimana untuk reseller ataupun dropshiper tanpa modal untuk berjualan.  Didirikan oleh Jayant Kumar (CEO), Najmudin Husein (COO), dan Firman Hasan (CCO). Selleri ingin memberdayakan masyarakat Indonesia dengan sistem reseller dan dropshipper agar mudah untuk berjualan tanpa ada modal sepersenpun,

Tahun lalu, Selleri berhasil mengantongi pre-seed sebesar $610.000 dari investor, atau setara dengan 8,7 miliar Rupiah. Venture Capital yang terlibat adalah Orbit Kejora-SBI.

Shox

Shox didirikan pada tahun 2013 oleh Sonat Yalcinkaya dan Rayi Pasca Febriani. Shox adalah platform berbasis komunitas untuk memenuhi kebutuhan rumah secara online yang dapat diakses hanya dari rumah dan dilengkapi dengan sistem pembayaran.

Selain memudahkan berbelanja kebutuhan rumah tangga, Shox telah membantu ratusan ibu untuk meningkatkan pendapatan hanya dari rumah dengan membuka peluang berwirausaha melalui komunitas Mitra Shox.

Shox sendiri mendapatkan pendanaan untuk pengembangan yang dipimpin oleh AC Ventures, Teja Ventures, dan sejumlah investor lainnya senilai 79 miliar Rupiah.

Super

Startup social commerce Indonesia yang satu ini mendapatkan pendanaan seri C senilai 1,5 triliun Rupiah pendanaan ini dipimpin New Enterprise Associates. Super merupakan platform social commerce pertama di Indonesia. Ini juga merupakan perusahaan teknologi konsumen Indonesia pertama yang didukung oleh Y Combinator, yang membawahi fitur utama, Superagent, Fitur tersebut adalah perdagangan yang dipimpin oleh agen yang memungkinkan para pemimpin komunitas menjadi pengecer di dalam komunitas mereka.

Super dirintis sejak 2018 oleh Steven Wongsoredjo, membawa diferensiasi yang memanfaatkan platform logistik hyperlocal untuk mengirimkan barang-barang konsumen ke ribuan agen dalam waktu 24 jam dari waktu pemesanan. Super bermitra dengan ribuan agen komunitas seperti individu dan warung untuk mengumpulkan dan mendistribusikan barang bernilai jutaan dolar AS ke komunitas mereka setiap bulan.

Woobiz

Woobiz adalah social commerce yang mampu untuk memberdayakan perempuan di Indonesia untuk tertarik berbisnis atau usaha mikro. Woobiz sendiri didirikan pada tahun 2018 oleh  Putri Noor Shaqina, Rorian Pratyaksa, Josua Sloane, dan Hendy Wijaya pada bulan Desember 2018.

Startup social commerce Indonesia yang satu ini memiliki fitur yang memudahkan para penggunanya untuk melacak atau mendukung bermitra lebih terjangkau melalui channel social neighbourhood community dan social sharing secara online.

Dagangan Berdayakan Ekonomi Digital Pedesaan Lewat Berdagang

Semestinya pertumbuhan digital harus merata dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Hanya saja fakta ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Setidaknya kondisi seperti itulah yang dirasakan Ryan Manafe bersama dua temannya, Willy Chandra dan Adi Wismaya, sebelum mantap merintis startup social commerce Dagangan.

Awalnya, Ryan sempat bercita-cita ingin menjadi seorang abdi negara, impian yang sama seperti teman-temannya dan kebanyakan orang Magelang. Di kota tersebut ada sekolah polisi yang selalu banjir peminat dari seluruh Indonesia. Akhirnya, impian tersebut hanya sebatas angan-angan. Ia justru mengawali kariernya bekerja di perusahaan energi terbarukan, masuk ke desa-desa yang belum dialiri listrik. Di sanalah ia bertemu Willy dan Wismaya.

“Saya lihat rupanya ketika listrik sudah nyala di desa, bukan artinya listrik jadi game changer, ekonomi di desa tersebut langsung meningkat. Ada faktor lain, yang sekalipun di daerah yang sudah berlistrik belum tentu langsung maju [ekonominya]. Ternyata masalahnya pada akses dan bentuk aksesnya itu macam-macam,” ucap Ryan kepada DailySocial.id.

Ryan melanjutkan, salah satu akses yang paling mendasar sebelum masuk ke kesehatan dan pendidikan adalah kebutuhan pokok. Mereka harus menempuh waktu yang tidak sebentar untuk belanja ke pasar yang rata-rata terletak di kota. Pun ketika ingin dijual kembali di lingkungannya, harga jualnya jadi mahal sehingga jadi sulit bersaing. Isu inilah yang akhirnya menjadi cikal bakal lahirnya Dagangan pada 2019.

“Idenya simpel saja, karena di kota besar banyak startup yang lahir, namun saya merasa masalah yang tidak terlalu painful bahkan sampai dibuat app-nya. Sementara di desa tidak ada yang memerhatikan. Kami pun bersemangat untuk merintis Dagangan. Dari kami bertiga, bertambah Estrada [Andhika Estrada] dan Willy [Willy Chandra] untuk team up.”

Masing-masing co-founder memiliki latar belakang yang saling mendukung satu sama lain di Dagangan. Ryan (CEO) sebelumnya bekerja di Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP-PPP/UKP4), kemudian ikut mendirikan salah satu perusahaan tenaga surya SUN Energy. Wilson Yanaprasetya (President) pernah bekerja di perusahaan firma ekuitas swasta dan turut menjadi salah satu pendiri di Qerja.

Sementara, Willy Chandra (COO) sebelumnya bekerja di perusahaan FMCG P&G, hingga akhirnya meneruskan ke SUN Energy dan bertemu dengan Ryan. Lalu, Andhika Estrada (CTO) pernah bergabung di Agate sebagai co-founder dan Adi Wismaya (VP of Business Development) memulai kariernya di perusahaan konsultan, kemudian melanjutkan ke SUN Energy.

Solusi Dagangan

Sumber: Dagangan

Sedari awal Dagangan konsisten dengan misinya yang ingin memberdayakan ekonomi desa dengan solusi digital. Pergerakan ekonomi di daerah luar biasa besar, tapi kehidupan masyarakatnya masih sangat konvensional. Dagangan menganut konsep social commerce yang menyediakan berbagai kebutuhan rumah tangga dengan layanan pengantaran di hari yang sama dan esok hari.

Yang membuat Dagangan berbeda dari platform sejenis adalah memanfaatkan model hub-and-spoke. Maksudnya ialah, Dagangan membangun pusat pengadaan kebutuhan pokok atau micro fulfillment center (hub) di kota lapis dua, tiga, dan pedesaan. Tujuannya untuk meringankan biaya logistik. Konsumen bisa memperoleh akses barang lebih mudah, produsen juga mampu menjangkau area yang sebelumnya sulit diraih akibat keterbatasan logistik.

“Dalam ilmu rantai supply chain, hub-and-spoke itu konsep distribusi yang ideal. Tapi untuk mengerjakannya dari teori tidak mudah. Masalahnya konsep distribusi di Indonesia itu eksklusif. Misal, Unilever, untuk distribusi ke jaringannya tidak bisa bawa merek lain.”

Ryan melanjutkan, karena eksklusif, distributor dari merek tersebut langsung menyalurkannya ke grosir, warung, bekerja secara sporadis. Hasilnya pun amburadul karena tidak tersistem, penetrasi produk dari merek tersebut akhirnya tidak sampai ke warung kelontong di pedesaan. Dagangan berusaha mengisi kekosongan tersebut, justru membuat sistem distribusi jadi lebih rapi dan tertata.

Dari gudang Dagangan yang terletak di pedalaman akan jadi hub untuk distribusi produk-produk yang dipesan pemilik warung, agen, atau reseller. Baik di mata pemegang merek ataupun Dagangan sendiri, model bisnis seperti ini bisa dikatakan lebih nyaman bagi kedua belah pihak. Beda halnya, kalau Dagangan bermain di kota besar yang lebih rawan konflik, dikhawatirkan terjadi kanibalisasi.

“Dagangan hanya cover tier 3 dan 4 di area yang belum di-cover oleh distributor. Makanya, positioning kami lebih nyaman buat produsen lebih terbuka kepada kita.”

Adapun, untuk pengirimannya karena harus ke desa, tak banyak pihak ketiga yang masuk ke area tersebut. Alhasil, Dagangan pun bangun jaringannya secara perlahan-lahan dengan merekrut tim lokal dan terus menerus dilatih agar siap. Meski terbilang lambat, Ryan meyakini membangun bisnis berkelanjutan itu lebih penting dan tidak ada jalan pintasnya.

Konsep ini pertama kali diperkenalkan di kampung halaman Ryan, di Magelang. Ia memilih lokasi ini karena ia punya pemahaman mendalam terkait budaya dan kebiasaan masyarakat setempat. Kemudian, masuk ke Sleman, Grabag, Temanggung, Salatiga, Ambarawa. “Tapi pertumbuhan di Sleman paling cepat, makanya kami taruh kantor pusatnya di sini. Untuk area Jawa Barat, baru kita cover di Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis, kalau Jawa Timur baru di Madiun.”

Strategi yang diambil Dagangan untuk keseluruhan bisnisnya, berbeda dengan kebanyakan startup lainnya yang berfokus pada digitalisasi baru. Salah satu solusi yang ramai ditawarkan oleh startup adalah pencatatan keuangan (bookkeping). Mengenai hal tersebut, Ryan berpendapat bahwa di daerah solusi yang paling dibutuhkan saat ini adalah suplai barang kebutuhan dengan harga murah dan bervariasi, tidak melulu soal akses logistik yang sulit saja.

“Pilihan yang bervariasi, itu juga jadi isunya, selama ini pilihan belanja mereka itu-itu saja. Misal, untuk rasa mie instan saja, mereka susah mendapatkannya. Kalau di kota mungkin isunya sudah beda, barang-barang sudah terpenuhi makanya yang lain masuk ke tahap berikutnya, yakni bookkeping. Jadi mungkin ada kebutuhan itu.”

Disebutkan, Dagangan memiliki lebih dari 40 hub yang tersebar di berbagai area di Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Produk dan layanan Dagangan telah menjangkau hampir 15 ribu desa di 40 kota/kabupaten. Lalu, terdapat lebih dari 4 ribu SKU dan lebih dari 17 ribu pengguna aktif dari total 100 ribu pengguna terdaftar yang memanfaatkan solusi Dagangan.

Relasi dengan BTPN Syariah

Hal menarik lainnya dari Dagangan adalah relasi yang sudah dibangun sejak awal 2020 antara perusahaan dengan BTPN Syariah, sampai akhirnya menjadi investor strategis di Dagangan melalui arm CVC-nya BTPN Syariah Ventura. Ryan menuturkan, saat itu Dagangan melakukan pilot project untuk mendukung para debitur BTPN Syariah untuk mengembangkan bisnis melalui pinjaman yang mereka terima.

Dagangan menyediakan stok barang kelontong dalam bentuk paket-paket hemat yang bisa dibeli untuk nantinya dijual kembali oleh para mitra di lingkungan rumahnya. Karena berjualan barang kelontong, maka perputaran uangnya jauh lebih cepat hanya sekitar satu hingga dua hari saja. “Sebab enggak semua mitra BTPN Syariah ini punya bisnis untuk mutar uangnya. Di daerah itu bisnis yang paling gampang untuk memutar uang adalah berdagang.”

Kemitraan kedua perusahaan berlanjut ke integrasi API, aplikasi Dagangan terhubung dengan aplikasi Warung Tepat, yang ditujukan untuk agen Laku Pandai (disebut Agen Tepat). Dalam salah satu fiturnya, aplikasi ini memungkinkan agen bisa belanja produk satuan dengan harga grosir, baik untuk kebutuhan pribadi ataupun untuk dijual kembali.

“Ketika sudah masuk integrasi API artinya dua-duanya saling buka dapur. Yang menariknya, ini yang dibicarakan bukan peluang tapi yang sudah terjadi dan sedang terjadi [karena integrasi API], jadi investasi inni hanya sekadar menegaskan sekaligus mengonfirmasi saja.”

Ke depannya, bersama dengan BTPN Syariah, Dagangan akan mengeskalasi bisnis yang sudah terbukti berhasil sejak pilot project dan melipatgandakan jumlah lokasi baru ke area di mana BTPN Syariah beroperasi. Sebagai catatan, BTPN Syariah memiliki basis 6 juta nasabah yang terlayani dan 4,1 juta di antaranya adalah nasabah aktif. Nasabah kredit perbankan yang digarap ini berada di kelompok pra-sejahtera.

Application Information Will Show Up Here

Tokocrypto Dorong Edukasi Aset Kripto Melalui Inisiatif “TokoScholars”

Pemanfaatan teknologi blockchain yang semakin familiar tak ayal menciptakan pasar yang semakin besar. Namun, pemahaman terkait teknologi ini serta turunannya masih terbilang rendah di kalangan masyarakat Indonesia. Tokocrypto, sebuah platform marketplace aset kripto, menelurkan inisiatif baru dalam memberikan edukasi terkait ekosistem blockchain yang diberi nama “TokoScholars”.

Inisiatif tersebut berawal dari sebuah proyek yang memberikan benefit pada mahasiswa yang berhasil mengajak mahasiswa lain untuk bergabung dalam sebuah kegiatan referral. Seiring perkembangan ekosistem Tokocrypto, inisiatif ini dirasakan perlu untuk diangkat sebagai sebuah program tersendiri untuk edukasi murni yang memberikan konten yang terstruktur dan tepat guna di luar hype harga koin di pasar.

Minat investasi aset kripto di Indonesia juga terbukti semakin meningkat. Berdasarkan data dari Bappebti, jumlah investor kripto per Februari 2022 telah menembus angka 12,4 juta investor. Sejak Januari hingga Februari 2022, total nilai transaksi aset kripto sudah mencapai Rp 83,88 triliun.

Lead of TokoScholars by Tokocrypto Dimas Surya Al-Faruq mengungkapkan bahwa teknologi blockchain sebenarnya telah digunakan di Indonesia sejak generasi awal perkembangannya. Namun, masih terfokus pada aplikasi transaksi finansial.

“Padahal, potensinya bisa untuk membantu sektor lain di Indonesia yang masih tertinggal, seperti pertanian dan kesehatan. Butuh riset yang mendalam untuk mengembangkan blockchain dan aset kripto di Indonesia,” ujar Dimas.

Edukasi aset kripto yang inklusif

TokoScholars mulai menjadi induk dari setiap inisiatif Tokocrypto terkait edukasi sejak akhir tahun 2021. Mulai dari kolaborasi dengan berbagai pihak untuk mendukung edukasi aset kripto, aplikasi Kriptoversity, hingga TokoVerse, kehadiran TokoScholars diharapkan bisa menjadi kanal utama masyarakat untuk belajar secara utuh tentang blockchain dan aset kripto.

Belum lama ini, Tokocrypto melalui TokoScholars meluncurkan program pendanaan riset aset kripto dan blockchain di Indonesia yang dinamakan “Tokocrypto Researcher Grants”. Program pendanaan riset ini terbuka untuk masyarakat Indonesia dengan minimal pendidikan sedang menjalankan program magister S2.

Dalam wawancara singkat bersama DailySocial.id, Dimas juga mengungkapkan salah satu alasan diadakannya program Tokocrypto Researcher Grants adalah karena pengembangan riset di Indonesia sendiri masih rendah, terutama dalam bidang kripto. Tokocrypto sebagai penggerak industri ingin mendorong pengembangan ini.

“Salah satu tujuan utama TokoScholars adalah membawa riset dan inovasi aset kripto dan blockchain pada level yang bisa dijangkau oleh semua lapisan masyarakat atau inklusif. Oleh karena itu, tentunya peran dan kolaborasi sangat diperlukan dengan berbagai pihak untuk peningkatan dan optimalisasi bidang riset di Indonesia,” tambah Dimas.

Untuk proposal riset yang didaftarkan, diharuskan bisa memberi benefit untuk ekosistem kripto di Indonesia dan Tokocrypto. Beberapa topik yang diusulkan termasuk di bawah ini:

  1. Strength and weakness of Indonesian crypto exchanges: a comparison study of Indonesian crypto exchanges.
  2. What kind of crypto products that Indonesians need from Tokocrypto.
  3. Tax and Regulation study of crypto assets in Indonesia: The impact of new tax law and strengthened regulation on the crypto market in Tokocrypto exchanges.

“Saya melihat Indonesia sebagai pasar yang luar biasa untuk pengembangan aset kripto. Namun kenyataannya di pasar banyak orang yang masih kurang memahami fundamental dari teknologi ini. Di sinilah Tokocrypto ingin menjembatani mereka yang tertarik dengan industri ini melalui edukasi murni dan menyeluruh terkait blockchain dan aset kripto,” ujar Dimas.

Dalam program perdana ini, Tokocrypto menyediakan dana sebesar Rp100 juta untuk dua penelitian terbaik yang dipilih. Tentunya Tokocrypto akan memfasilitasi kebutuhan terkait data atau diskusi dengan para ahli dalam ekosistem mereka. Terkait dana yang disalurkan, pihaknya tidak memberikan informasi lebih lanjut tentang siapa saja yang terlibat.

Dimas juga mengungkapkan, salah satu alasan mengapa banyak orang yang memiliki pandangan yang salah bahkan hingga terjerumus karena aset kripto adalah banyaknya informasi yang viral yang berfokus pada keuntungan instan tanpa didasari pemahaman tentang dasar dari aset ini. Maka dari itu, melalui TokoScholars, ia berharap ini bisa menjadi program edukasi yang inklusif terkait dunia blockchain dan aset kripto.

Dari sisi bisnis, Dimas belum bisa membagikan banyak hal, namun timnya saat ini tengah bekerja keras untuk bisa mengembangkan setiap inisiatif. Kita sudah melihat tren ke depan bahwa aset kripto akan banyak dipakai sebagai alternatif aset. Menurut data Kementerian Perdagangan RI, teknologi blockchain bersamaan dengan 5G, Internet of Things (IoT), kecerdasan buatan, dan cloud computing bisa mendorong ekonomi digital Indonesia melesat hingga Rp4.531 triliun pada tahun 2030.

Selain mengadakan pendanaan riset, untuk tujuan meningkatkan pertumbuhan market dan literasi kripto di Indonesia, TokoScholars juga telah bekerja sama dengan program Kampus Merdeka untuk mengakomodasi inisiatif peningkatan kapasitas dan pelatihan di tempat kerja bagi mahasiswa Indonesia.

TokoScholars juga menjalin kerja sama dengan berbagai perguruan tinggi di Indonesia, seperti Telkom University dan Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk mendirikan pusat inovasi blockchain dan aset kripto, serta yang baru saja dihelat, penandatanganan MoU kerja sama dengan Fakultas Vokasi Universitas Kristen Indonesia untuk membangun ekosistem blockchain di lingkungan kampus dengan menghadirkan Pojok Kripto.

Application Information Will Show Up Here

Startup Blockchain “Ekta” Terima Pendanaan 891 Miliar Rupiah dari Global Emerging Markets

Startup pengembang teknologi blockchain Ekta mengumumkan perolehan pendanaan sebesar $60 juta (lebih dari 891 miliar Rupiah) dari Global Emerging Markets, grup investasi aset alternatif berbasis di New York. Suntikan dana tersebut akan dimanfaatkan untuk mempersiapkan rangkaian produk bertenaga blockchain seperti marketplace NFT, platform pertukaran crypto hybrid, game berbasis blockchain, dan investasi real estat.

“Dana tersebut akan digunakan untuk pengembangan ekosistem Ekta, likuiditas untuk NFT marketplace dan hybrid exchage, pengembangan game plant-to-earn MetaTrees, pemasaran, dan bangun tim teknologi,” kata Tanco.

Diluncurkan pada Agustus 2021, Ekta berdiri sebagai salah satu protokol terdesentralisasi yang paling fokus untuk menyelaraskan blockchain dengan dunia fisik. Berkantor pusat di Bali, Indonesia, perusahaan ini didirikan oleh Berwin Tanco (CEO), Yog Shrusti (CSO), dan Jason Zheng (CMO), dan kini memiliki total tim 75 orang di seluruh dunia.

Dalam blognya disampaikan, para pendiri Ekta memiliki visi untuk memberdayakan blockchain dalam memberi setiap orang kesempatan untuk menjalani kehidupan yang lebih baik. Untuk itu, Ekta memanfaatkan kekuatan blockchain untuk menciptakan ekosistem baru dan transparan, memungkinkan semua orang dari berbagai latar belakang dapat berpartisipasi.

Mainnet yang dikembangkan Ekta dinamakan EktaChain, mentokenisasi aset dunia nyata, seperti properti, musik, seni, dan emas. Pemegang token Ekta akan dapat bertransaksi dan berinteraksi dengan produk keuangan untuk menumbuhkan kekayaan mereka, mendapatkan uang dengan bermain game, jual-beli aset digital dan berwujud. Seluruh produk tersebut nantinya akan digabungkan dalam satu super-app.

“Aplikasi ini akan menjadi pengamalan Web2 dengan tulang punggung Web3, sehingga orang akan dengan mudah terlibat dan tidak perlu tahu bahwa ada kripto atau blockchain di belakangnya,” tambah CIO Ekta Sven Milder.

Produk Ekta

Sumber: Ekta

Seperti diketahui belakangan ini pasar kripto sedang bearish, memberikan dampak kepada perusahaan Web3 kebanyakan. Akan tetapi Tanco tetap optimistis, karena perusahaan memiliki proposisi unik yang pada akhirnya akan memberikan manfaat yang baik setelah pasar pulih. “Kami berada dalam posisi yang sangat baik selama periode penurunan ini karena kami percaya tren berikutnya adalah blockchain yang menjembatani ke dunia fisik dan Ekta telah melakukannya sejak 2021.”

Ekta akan menciptakan platform NFT lintas rantai untuk perdagangan, staking, dan pertukaran aset fisik dengan representasi aset digital. Pasar Ekta NFT akan berfungsi sebagai jembatan di mana pengembang NFT dan pemilik aset fisik berinteraksi dengan merek dan individu lain melalui koleksi virtual mereka.

Dibandingkan pemain sejenis, Ekta memiliki kaitan erat dengan kasus penggunaan di dunia nyata, memiliki nilai dan utilitas, dan didukung aset. NFT marketplace misalnya, akan menjual token yang menghubungkan aset dan nilai dunia nyata dengan proyek yang ditawarkan di platformnya.

MetaTrees, game berbasis blockchain yang memungkinkan pemain memperoleh kripto sambil memainkan peran aktif dalam melestarikan sumber alam dunia nyata. Sementara itu, Ekta Island, tanah seluas 16 hektar yang terletak di dekat Bali dan dimiliki oleh time Ekta, akan menjadi ruang fisik berbahan bakar blockchain dan akan menawarkan investasi fraksional token dan akses ke orang biasa.

Salah satu produk unggulan Ekta adalah Ekta Portal, menurut perusahaan ini adalah node titik akhir pertama di dunia yang memberi penghargaan kepada operator dengan kripto. Dengan mengaktifkan perangkat melalui NFT Portal Ekta, operator dapat mulai menghasilkan hadiah harian 10 ribu token Ekta yang akan dibagi dengan jumlah operator aktif. Memiliki NFT Portal Ekta secara otomatis memasukkan pemegang daftar putih untuk semua penawaran Ekta, seperti Ekta Island dan MetaTrees.

Dengan membawa solusi blockchain ke industri tradisional, bisnis, dan aset fisik, perusahaan berharap dapat menarik lebih banyak orang ke dunia kripto. “Sementara 10% orang di internet memegang kripto, kami menargetkan 10% berikutnya dengan membangun utilitas dan nilai sejati bagi mereka,” kata Tanco.