CZ: Daripada Berspekulasi, Mari Berdiskusi Penerapan dan Regulasi Kripto

Wakil Ketua Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) Aldi Haryopratomo bertatap muka dan berbincang dengan Founder & CEO Binance Changpeng Zhao (CZ), pada forum dialog resmi B20 yang juga bagian dari perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, Rabu (16/11).

Dalam perbincangannya, CZ menyinggung banyak hal terkait industri kripto, dari topik dasar mengenai use case, masa depan, hingga situasi panas yang muncul pasca-pengajuan kebangkrutan bursa kripto global FTX baru-baru ini.

Aldi merangkum beberapa sari penting dari dialognya bersama CZ sebagaimana disampaikan dalam laman Medium pribadinya.

Internet dulu adalah teknologi baru untuk transfer informasi, kripto saat ini adalah teknologi baru untuk transfer nilai

Menurut CZ, sebagian besar masih mengasosiasikan kripto sebagai produk spekulatif yang sekalinya bisa terbang tinggi atau justru runtuh. Namun, [kripto] adalah cara berbeda dan baru untuk mentransfer sebuah nilai.

“Internet hanya lah sebuah teknologi baru untuk mentransfer informasi. Itu saja, hanya layanan data yang berjalan melalui kabel atau udara. Namun, berkat itu, kita dapat membangun seluruh industri. Ekonomi baru. Dunia virtual.”

Kripto punya banyak use case dan peluang model bisnis baru

Jika teknologi [dulu] berkaitan dengan informasi, teknologi baru yang ada saat ini [kripto] berkaitan dengan uang. Dampaknya akan sangat besar. Teknologi, dalam menciptakan bentuk lebih baik dari uang, akan menghasilkan bentuk lebih baik dari industri fintech dan keuangan, yang mana akan menjadi pilar dari setiap sektor lainnya.

[Kripto] menjadi bentuk investasi asing paling direct. Setiap pemimpin yang ia ajak bicara, mau berinvestasi langsung. Namun, kenapa tidak membiarkan pengusaha menggalang dana menggunakan blockchain, seperti ICO dan model lainnya? Ada banyak use case kripto. Saat Covid-19 Delta menyerang tahun lalu, penggalangan dana global berjalan efektif, koin dapat dipindahkan secara instan. Hak cipta pada aset digital NFT juga sudah ada.

“Kita dapat membangun model bisnis baru yang akan mengubah cara melakukan penggalangan dana, pembayaran, dan berinvestasi. Sekarang kita bisa lakukan micropayment, kirim uang lintas negara, NFT, Metaverse. Semua itu akan terjadi, bahkan sudah, seperti penggalangan dana global lewat ICO.”

Namun, pada kasus seperti penggalangan dana untuk tujuan keamanan—meski teknologinya memungkinkan—diregulasi dan diawasi terlalu ketat. Di Amerika Serikat (AS), pemerintahnya menjalankan duck test untuk menentukan suatu hal berjalan aman atau tidak. Umpamanya pada security, jika bersuara atau berjalan seperti bebek, ya berarti aman.

Maka itu, perlu edukasi dan awareness terkait pemanfaatan kripto terlepas dari spekulasi yang disiarkan oleh media arus utama. Dengan begitu, publik dan regulator dapat mempertimbangkan aspek keuntungan dan kerugian.

Pelaku industri dan regulator perlu kerja sama melindungi konsumen

Secara kolektif, CZ menilai industri berperan melindungi konsumen sehingga dapat memproteksi semua orang. Jangan hanya meregulasi pihak yang punya peran saja, tetapi juga yang tidak sepenuhnya tanggung jawab mereka.

Sebagian besar regulator yang telah diajak bicara bilang kekhawatiran terbesar mereka adalah orang akan kehilangan minat karena berspekulasi dengan koin kripto. Robohnya FTX justru malah memvalidasi ketakutan tersebut. Ini menjadi “wake-up call” bagi regulator dan pelaku industri.

Melihat situasi yang terjadi akhir-akhir ini, pihaknya berupaya untuk mengumpulkan para pelaku industri untuk membentuk asosiasi di skala global. “Kita berada di industri baru. Kita melihat beberapa minggu terakhir, banyak hal gila terjadi. Butuh regulasi untuk menjalankan ini dengan cara stabil dan benar.”

Kripto tak berbatas tapi regulasinya terbatas, membuatnya sulit diatur

“Ada semacam kekuatan penyeimbang antara teknologi dan inovasi versus konsep tradisional tentang country border. Jika kamu berpikir tentang perbatasan negara, sebetulnya itu adalah konsep buatan manusia, bukan? Artinya, secara alamiah, perbatasan negara itu tidak pernah ada. Ibaratnya, sekelompok orang setuju bahwa ini batas yang menjadi perbatasan.”

Pada kasus FTX, mereka beroperasi di luar Bahama, tetapi mengambil deposit dari Singapura, AS, Eropa, dll. Artinya, orang dapat memindahkan uangnya ke luar perbatasan negara mereka. Sekarang, [crypto] exchange telah runtuh, pemerintah pasti bakal mencari cari untuk melindungi warganya dari kehancuran di masa depan.

Ia menilai, sebuah framework untuk mengatur cara kripto pada negara-negara G20 diperlukan. Pelaku industri perlu bertanggung jawab dan harus menghadapi upaya regulator dalam menuntut kejelasan.

Memungut pajak kripto rumit, tapi perlu. Pertanyaannya, bagaimana caranya?

“Dalam dunia kripto, hanya sedikit konsep tentang perbatasan negara. Jika Anda memungut pajak pada perusahaan, transaksi, kantor pusat, tren di negara terkait, ini akan memengaruhi transaksi setempat. Seluruh transaksi akan bergeser ke platform global di mana pajak yang akan dipungut sangat kecil.”

Dengan kata lain, pemerintah harus memberikan lisensi dengan mudah agar dapat memungut pajak pendapatan dengan layak. Ketika memberikan lisensi, pemerintah dapat meminta data. Jika tidak memberikan lisensi, platform bakal mencari cara lain, seperti beroperasi offshore. Sebaiknya, jangan kenakan pajak pada transaksi pengguna, melainkan pada perusahaannya.

CZ juga menyentil tentang keputusan pemerintah Indonesia untuk memungut pajak pada transaksi kripto. Menurutnya, aturan ini akan menambah gesekan baru yang berpotensi mendorong orang melarikan uangnya ke luar dari Indonesia. Justru itu hal yang ditakuti oleh Central Bank.

Namun di sisi lain, memungut pajak pendapatan membutuhkan kapabilitas yang justru belum dimiliki oleh sebagian besar otoritas pajak. IRS menerapkan rezim pajak global. Warga negara AS membayar pajak penghasilan di mana pun mereka tinggal. Pemerintah telah membangun infrastruktur, kapabilitas, dan alat untuk memantau warganya.

Masalahnya, banyak negara belum memiliki hal tersebut. Ini adalah pilihan sulit bagi regulator pajak.

Uang dan bakat mengalir ke negara yang paling banyak berinovasi

“Ketika kamu melakukan pencarian di Google, mengklik iklan di Twitter, itu dijalankan oleh perusahaan di AS. Tanpa batas. Ketika kamu mengklik iklan, pendapatan itu masuk ke AS atau negara lain, atau bisa jadi, perusahaan lokal tetapi melayani pengguna di seluruh dunia.”

Berbeda dengan dunia blockchain. Di era post-internet, skalanya jauh lebih global. Setiap orang di negaranya perlu mengembangkan talenta, disebut juga sebagai ekonomi Web3. Dengan begitu, mereka dapat melayani skala dunia. Semakin baik suatu negara, semakin baik [warga] negara menjalankannya, dan semakin banyak yang dapat mereka hasilkan.

Sama seperti teknologi baru lain, suatu negara bakal mengadopsi lebih cepat daripada yang lain. Hari ini bisa saja Dubai, tahun depan bisa yang lain. Dengan kata lain, regulasi pada akhirnya akan mengejar inovasi. Memang begitu.

Pertanyaannya, negara mana yang paling cepat beradaptasi untuk memanfaatkan perubahan teknologi secara ‘tektonik’ ini dalam bagaimana kita menggerakkan uang?

AFTECH Paparkan Lanskap Pasar, Tantangan, dan Tren Investasi Fintech

Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) kembali merilis Laporan Survei Anggota Tahunan 2021 yang memaparkan lanskap layanan fintech di Indonesia, pencapaian pertumbuhan, hingga tren investasi di masa depan.

Sebagai informasi, saat ini AFTECH menaungi pelaku fintech yang terbagi dalam enam model bisnis atau klaster antara lain sistem pembayaran, pinjaman online, neobank, securities crowdfunding, wealth management, dan Inovasi Keuangan Digital atau IKD (terdiri dari 16 sub kluster). Per akhir 2021, jumlah anggota AFTECH tercatat sebesar 352, naik dari periode sama di 2020 dan 2019 masing-masing 302 dan 219 anggota.

Berikut sejumlah pencapaian dan temuan penting dari laporan tahunan AFTECH sebagaimana dirangkum DailySocial.id berikut ini.

Pembayaran digital dan pinjaman online

Survei menunjukkan pembayaran digital dan pinjaman online menjadi dua model bisnis fintech yang sudah memasuki fase matang di Indonesia, turut didorong oleh faktor konsolidasi antar-pelaku pemimpin pasar dan melandainya pertumbuhan.

Ketua Umum AFTECH Pandu Sjahrir mengungkap kategori neobank, IKD, wealth management, dan securities crowdfunding masih dalam fase pertumbuhan, yang dikarenakan oleh sejumlah faktor, seperti regulasi baru bank, terutama terkait bank digital, hingga belum optimalnya penggarapan pasar dari sisi penawaran produk dan layanan. Kendati begitu, ia menilai layanan fintech tersebut mulai menggalang daya tarik di pasar.

Secara keseluruhan, adopsi layanan fintech di Indonesia meningkat signifikan di sepanjang 2021. Peningkatan ini tercermin dari sejumlah pencapaian antara lain:

  • Nilai transaksi uang elektronik naik sebesar 58,5 persen (YoY) menjadi Rp35 triliun.
  • Adopsi Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS) melampau target 12 juta merchant sebelum akhir 2021.
  • Penyaluran pinjaman melalui platform fintech pendanaan bersama ke lebih dari 13,47 juta rekening peminjam mencapai Rp13,6 triliun per Desember 2021
  • Adopsi fintech untuk berinvestasi di pasar modal dan aset digital ikut meningkat.

Dari kategori pembayaran digital, 28 persen responden telah mengantongi nilai transaksi tahunan sebesar Rp5 miliar-Rp500 miliar, sedangkan 28 persen lainnya mengumpulkan total transaksi tahunan sebesar Rp500 miliar-5 triliun. Mengacu statistik Bank Indonesia per Desember 2021, total transaksi pembayaran digital mencapai Rp35,1 triliun atau naik 60 persen dibanding periode sama tahun lalu. Transaksi ini didominasi oleh pelaku fintech bukan bank.

Dari kategori pinjaman online, data OJK mencatat pertumbuhan sebesar 70 persen menjadi Rp13,6 triliun pada Desember 2021. Fokus penyaluran pinjaman masih terpusat di pulau Jawa di mana hampir 70 persen dari total transaksi berasal dari wilayah tersebut, diikuti luar negeri (28%) dan luar Jawa (1,9%). Kota di luar pulau Jawa masing-masing menyumbang tak sampai 1 persen dari total transaksi, kecuali Sumatera Utara (1,8%) dan Bengkulu (1%).

Saat ini, jumlah lender dan borrower di platform fintech masing-masing sebesar 809.494 dan 73,2 juta per Desember 2021. Sementara, per Desember 2020, jumlah lender dan jumlah borrower masing-masing sekitar 716.913 dan 43,6 juta.

Tantangan pelaku fintech

Data OJK mencatat indeks literasi keuangan di Indonesia naik 8,3 persen dari 29,7 persen di 2016 menjadi 38 persen di 2019. Dengan pertumbuhan indeks ini, fintech menyadari pentingnya perluasan layanan fintech hingga ke pedesaan. Adapun, 69 persen pelaku fintech sudah melayani area tersebut.

Namun, pelaku fintech di Indonesia masih menemui tantangan besar untuk melakukan ekspansi bisnis ke luar Jakarta, di mana 23 persen dan 19 persen responden mengaku sulit ekspansi ke luar Jawa dan pedesaan karena faktor literasi keuangan (55%), infrastruktur (44%), dan budaya (20%).

Terlepas dari kendala di atas, 45 persen pelaku fintech mengaku optimistis dapat melanjutkan ekspansinya lebih banyak ke area luar Jabodetabek sehingga dapat mencapai target inklusi keuangan nasional.

“Terkait infrastruktur, meski teknologi memengaruhi ekspansi layanan fintech di daerah, sebanyak 53 responden memiliki responden positif terhadap pertumbuhan dan perbaikan infrastruktur di masa depan,” tutur Pandu.

Pangsa pasar dan ekspansi

Berdasarkan hasil survei, area Jabodetabek masih menjadi pasar utama fintech, di mana 99 persen dan 75 persen responden masing-masing menjawab Jakarta dan Bodetabek sebagai target utama penggunanya, diikuti oleh Bandung (45%) dan Surabaya (36%).

Sebanyak 69 persen responden mengaku telah melayani daerah pedesaan di Indonesia. Ini mengindikasikan bahwa sebagian besar fintech tak hanya fokus pada wilayah perkotaan saja.

Selain itu, pelaku fintech juga masih mendorong penetrasi pengguna di segmen UMKM, terutama bagi pengusaha perempuan. Sebanyak 42 persen responden mencatat nilai transaksi pengguna UMKM sebesar lebih dari Rp80 miliar. Adapun 12 persen di antaranya memperoleh kurang dari Rp500 juta dari UMKM.

Dari 33 persen responden, 25-50 persen pengguna UMKM dijalankan oleh perempuan, memperkuat anggapan bahwa perempuan memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap industri fintech.

“Maka itu, literasi keuangan dan digital bagi perempuan menjadi semakin penting agar pelaku UMKM dapat memaksimalkan produk dan layanan yang tersedia di industri jasa keuangan untuk mengembangkan usahanya,” papar laporan ini.

Dari sisi pengembangan usaha, responden mengungkap sejumlah poin penting dalam menentukan strategi bisnis untuk mendongkrak pendapatan di masa depan. Di antaranya adalah pelaku fintech ingin fokus pada produk berpenghasilan tinggi (59%), masuk ke pasar baru termasuk luar negeri dan daerah pedesaan (34%), menjajaki lini bisnis baru (52%), dan tidak ada rencana untuk memperluas atau fokus ke produk tertentu (7%).

Selain itu, sebanyak 75 persen pelaku fintech di Indonesia berencana memperluas jangkauan pasarnya ke pedesaan. Temuan ini menunjukkan sinyal positif industri fintech untuk meningkatkan pemerataan layanan keuangan di seluruh Indonesia.

Investasi fintech

Investasi di sektor fintech Indonesia mencatatkan pertumbuhan 13 kali lipat sejak 2017 yang hanya $64 juta menjadi $904 juta di Q3 2021. Jumlah tersebut dua hingga tiga kali lebih tinggi dari investasi yang diperoleh pelaku fintech di negara tetangga.

Apabila dibandingkan dengan total investasi ke sektor lain, baik dari investor domestik maupun asing, investasi fintech di Indonesia dari kuartal I sampai III 2021 lebih tinggi 58 persen di sektor mesin dan elektronik, dan 157 persen lebih tinggi dari sektor tekstil.

Peningkatan iklim investasi ke sektor fintech tak lepas dari meningkatnya jumlah populasi muda yang akrab dengan layanan digital, penetrasi seluler, dan kelas menengah di kawasan Asia Tenggara. Pertumbuhan fintech semakin terakselerasi karena pandemi Covid-19.

Dari sudut pandang kebutuhan investasi, saat ini satu dari tiga klaster pembayaran digital, pinjaman online, dan IKD masih membutuhkan lebih dari Rp150 miliar dalam 1-2 tahun ke depan. Di sisi lain, 17 persen responden dari pemain pembayaran digital meyakini hanya membutuhkan investasi kurang dari Rp500 juta dalam 1-2 tahun ke depan.

“Ini menunjukkan bahwa klaster pembayaran digital telah memasuki tahap lebih matang dibandingkan dengan kategori fintech di klaster lain,” ungkap Pandu.

Survei AFTECH: Pandemi Berdampak Besar pada Perubahan Strategi Bisnis Fintech

Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) mengungkapkan sebanyak 69% anggotanya terkena dampak akibat pandemi Covid-19 yang masih berlangsung hingga kini. Dalam survei yang diselenggarakan secara tahunan ini, responden menyatakan setidaknya ada lima dampak yang begitu terasa.

Mulai dari penurunan jumlah pengguna di beberapa model bisnis fintech; penurunan penjualan untuk beberapa model bisnis; tantangan operasional, termasuk produktivitas dan efisiensi yang lebih rendah; kesulitan dalam penggalangan dana; dan penundaan ekspansi bisnis.

Kemudian sebanyak 9% responden, termasuk beberapa perusahaan pinjaman online dan pembayaran digital, mengaku mendapatkan pengguna dan peluang bisnis baru selama pandemi. Sisanya, sebanyak 22% responden menyatakan saat ini bisnis tidak beroperasi penuh.

Survei ini diikuti oleh 52 responden yang merupakan anggota AFTECH yang diselenggarakan pada akhir Maret (awal PSBB diberlakukan) dan Juni (di tengah periode pandemi). Adapun, survei ini merupakan bagian dari Annual Member Survey 2019/2020 yang dilakukan secara rutin oleh AFTECH dan diikuti oleh 154 responden.

Lebih jauh hasil survei dipaparkan oleh Ketua Umum AFTECH Niki Luhur dalam konferensi pers secara virtual, dijabarkan bahwa untuk perluasan model bisnis, responden menyatakan sebelum pandemi terjadi telah merencanakan untuk perluas model bisnis (87%). Akan tetapi, pada pandemi memutuskan untuk menundanya (59%) dan ada yang menjawab tetap melanjutkan (41%).

Berikutnya, untuk penurunan bisnis dikatakan ada gap yang tinggi. Sebanyak 33% responden mengaku memiliki total nilai transaksi lebih dari Rp80 miliar, sedangkan 24% sisanya memiliki total transaksi di bawah Rp500 juta. “Selama pandemi, total nilai transaksi telah menurun dikarenakan adanya penurunan jumlah pengguna di beberapa model bisnis tekfin dan berkurangnya aktivitas ekonomi,” kata dia, Kamis (10/9).

Rencana penggalangan investasi juga terjadi penundaan. Dalam survei dikatakan sebelum pandemi, 46% responden mencoba meningkatkan investasi, sedangkan 25% telah meningkatkan investasi sebanyak yang dibutuhkan, dan 2% telah menghimpun lebih dari yang dibutuhkan.

Sumber dana investasi yang mereka incar adalah PE (28%), bootstrapping (23%), angel investor (19%), venture capital (13%), dan sisanya menjawab teman & keluarga, pemerintah, dan IPO. Adapun rata-rata total investasi yang dihimpun oleh para startup ini berkisar antara Rp500 juta hingga Rp35 miliar. “Oleh karenanya, mayoritas responden tekfin tergolong series A dan kategori di atasnya.”

Dalam menyikapi perubahan strategi di atas, para responden ini telah melakukan sejumlah langkah mitigasi. Jawaban yang paling banyak dipilih adalah penguatan pengelolaan kas (43%); perubahan model bisnis (9%); pemutusan hubungan kerja (9%); penundaan ekspansi bisnis dan pemberlakuan cuti yang tidak dibayar dan pemotongan gaji (masing-masing 2%).

Meski bisnis mereka menurun, namun dikatakan pandemi ini telah mendorong adopsi layanan fintech di beberapa model bisnis, termasuk pembayaran digital dan pinjaman online. Menurut data BI, jumlah instrumen e-money yang digunakan mengalami peningkatan.

Pada April 2020, jumlahnya mencapai 412 juta transaksi atau tertinggi sepanjang masa. Sementara jumlah pinjaman online yang disalurkan pada Juni 2020 mencapai Rp113,46 triliun, naik 152,23% dibandingkan bulan yang sama tahun lalu.

Survei AFTECH mencatat ada 55 inisiatif untuk pemulihan ekonomi nasional. Untuk UKM, inisiatif tersebut difokuskan pada pengurangan biaya operasional, melalui penerapan suku bunga lebih rendah, penyediaan fasilitas transfer gratis, tanda tangan digital gratis, diskon tagihan bulanan, dan merchant discount rate 0%. Berikutnya, program konsultasi keuangan gratis, relaksasi pinjaman, dan bebas biaya layanan untuk berbagai proyek (terutama di sektor kesehatan).

Sementara untuk masyarakat umum inisiatif tersebut, di antaranya fleksibilitas pada penyediaan jasa keuangan, pemberian dukungan APD, dan pemberian nasihat keuangan pribadi secara cuma-cuma.

Survei lanjutan

Dalam paparannya, Niki mengatakan sejak AFTECH diresmikan pada 2016 hingga sekarang jumlah anggotanya tumbuh drastis. Menjadi 362 perusahaan pada kuartal dua tahun ini dari awalnya 24 perusahaan di 2016. Anggota ini mayoritas diisi oleh pinjaman online (44%), IKD (24%), pembayaran digital (17%), dan layanan urun dana (1%).

Terdapat lebih dari 23 jenis solusi fintech yang tersedia di pasar, dari awalnya hanya pembayaran digital dan pinjaman online kini mencakup agregator, innovative credit scoring, perencana keuangan, layanan urun dana, dan project financing. AFTECH sendiri kini sekaligus menaungi IKD, data OJK teranyar mengatakan ada 86 IKD yang berstatus terdaftar dan terbagi menjadi 18 klaster regulatory sandbox.

Niki juga menuturkan bahwa pembayaran digital telah mencapai tahap “mature” dibandingkan jenis bisnis lainnya. Sementara pinjaman online baru memasuki tahap “mature” pada 2019. Sisanya, layanan fintech yang masuk ke dalam klaster IKD dan ECF (layanan urun dana) masih dalam tahap “growth”.

Menurut survei, fintech paling banyak melayani segmen masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Sebanyak 32% responden menyebutkan penggunanya adalah individu dengan pendapatan bulanan berkisar Rp5 juta-Rp15 juta (32%) dan di bawah Rp5 juta (22%). Kalangan usianya adalah 25-34 tahun (39%), 35-50 tahun (30%), dan 18-24 tahun (20%).

Wilayah operasional Jabodetabek tetap menjadi pangsa pasar utama para pemain tekfin (41%), kemudian diikuti oleh Bandung, Surabaya, dan Medan. Meski masih terkonsentrasi di kota besar, pasar telah menjangkau di wilayah luar Jawa (23%).

Salah satu hasil survei yang cukup menarik untuk disimak adalah terkait infrastruktur dan teknologi. Dikatakan bahwa ada lima infrastruktur terbesar di sektor fintech, yakni e-KYC (20,26%), infrastruktur cloud (17,37%), open banking API (16,05%), payment gateway (14,21%), dan fraud database (11,84%).

Akan tetapi, responden menyatakan dalam pengadaan infrastruktur tersebut masih terdapat tantangan. Tiga tantangan utamanya adalah biaya yang mahal (31%), hambatan regulasi (27%), dan infrastruktur dasar yang belum memadai (15%).

Berikutnya, dari sisi kesenjangan talenta yang sesuai kebutuhan, terutama untuk pekerjaan bidang data and analytics (23%), pemrograman (20%), dan manajemen risiko (15%). Terlepas dari kesenjangan tersebut, 67% responden menyatakan tidak memperkerjakan talenta asing.

Mereka justru menjawab tantangan tersebut dengan melakukan in-house training (27%), merekrut talenta dari lembaga keuangan (19%), dan merekrut dari perusahaan serupa (18%).

Dorong Industri Lebih Kondusif, Tiga Asosiasi Fintech Teken Kode Etik Bersama

Tiga asosiasi fintech yakni Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), dan Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI), menandatangani kode etik bersama atau joint code of conduct untuk perkuat aspek perlindungan konsumen dan iklim industri p2p lending yang jauh lebih sehat.

Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi menjelaskan, masing-masing asosiasi sebenarnya sudah memiliki kode etik, namun dengan penyatuan ini diharapkan bisa saling menguatkan satu sama lain. Sebab semangat akhir yang ingin dituju adalah pelayanan masyarakat yang lebih baik, untuk proteksi data mereka dan perlindungan konsumen itu sendiri.

“Ada yang kami bagian yang kami tambahkan agar kode etik ini saling melengkapi satu sama lain dan bisa diimplementasi oleh tiga asosiasi fintech,” katanya, Selasa (24/9).

Ketua Umum AFSI Ronald Yusuf Wijaya menambahkan, “Asosiasi sepakat bahwa kita harus payungi inovasi yang bergerak sangat cepat sekali ini dengan norma-norma dan etika dalam berbisnis fintech.”

Lewat kode etik bersama ini, ada sejumlah penyempurnaan, misalnya terkait privasi data dan perlindungan konsumen. Keseluruhan poin yang terangkum dalam kode etik ini berisi semua prinsip, proses, dan panduan yang mengikat semua anggota fintech dan penyelenggara pendukungnya.

Bila terbukti ada melanggar, ada hukuman yang siap diberikan. Terparah adalah dikeluarkan dari keanggotaan asosiasi.

Payung sementara sebelum regulasi resmi terbit

Kehadiran kode etik ini sebenarnya sangat dibutuhkan oleh industri untuk menekan praktik ilegal, mengingat UU perlindungan data pribadi yang belum disahkan oleh pemerintah. Itu di luar kuasa OJK maupun asosiasi.

Maka, tindakan preventif yang perlu dilakukan adalah membuat kode etik. Dari sisi OJK, hanya mensyaratkan para pemain fintech lending yang terdaftar boleh akses kamera, lokasi, dan mikrofon dari perangkat konsumen. Di luar ketiga itu, akan ada tindak tegas oleh regulator.

Pada intinya, kode etik ini punya empat prinsip dasar yang meliputi: perlindungan konsumen termasuk transparansi produk dan harga, penawaran layanan atau metode produk yang bertanggung jawab, penyebaran informasi terkait risiko, penanganan keluhan dan standar sistem manajemen, dan lain-lain; mitigasi dan manajemen risiko; tata kelola perusahaan yang baik; anti pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menjelaskan, keberadaan UU perlindungan data pribadi tidak hanya dibutuhkan oleh fintech saja, tapi juga seluruh perusahaan teknologi.

Pasalnya, ada era teknologi 4.0 ini seluruh transaksi sudah dilakukan tanpa tatap muka. Alhasil data pribadi akan terekam dan ini yang dikhawatirkan bisa terjadi kebocoran. Lantaran belum ada payung hukum yang jelas, bisa mengakibatkan tidak ada hukuman buat pelaku yang setimpal.

“UU PDP saat ini belum gol. Jadi jangan heran kebocoran airline [Lion Group] terjadi karena ini sulit ditangani. Kami khawatir ke depannya [hal-hal sejenis] bisa ada lagi di kemudian hari, jadinya kontradiktif dan tidak ada pertanggungjawaban dari pelakunya,” pungkas dia.

Catatan tentang Industri Fintech Indonesia di Paruh Pertama 2019

Teknologi finansial (fintech) menjadi salah satu lanskap yang paling atraktif di Indonesia. Mulai dari unicorn sampai pemain baru, silih berganti menghadirkan inovasi produk keuangan digital. Di paruh pertama tahun 2019, DailySocial mencatat berbagai informasi mengenai dinamika industri tersebut. Di antaranya berita mengenai pemain baru (30), produk/fitur baru (24), kolaborasi antar perusahaan (13) hingga pendanaan ke startup fintech (8).

Mengenai pemain baru yang hadir cakupannya cukup beragam. Ada yang bermain di sub-sektor p2p lending seperti Amalan, e-money seperti Zipay, agregator seperti Aiqqon, hingga pemodal ventura seperti BRI Ventures yang akan fokus berinvestasi ke fintech.

Slide1

Untuk pendanaan startup fintech, hingga Juli 2019 ada 13 transaksi. Kendati sebagian besar tidak menyebutkan nilainya, dari 4 startup yang membeberkan nominal didapat total dana $22,3 juta. Sebanyak 7 transaksi merupakan putaran tahap awal, sisanya merupakan Seri A dan Seri B.

Jika dibandingkan dengan tahun lalu, seperti yang diulas dalam Fintech Report 2018, jumlah transaksi memang meningkat kendati secara total nilai justru jauh di bawahnya. Di periode yang sama, Modalku (seri B), CekAja (seri C), Investree (seri B), dan Kredivo (seri B) berhasil membukukan lebih dari $80 juta.

Sorotan lain ialah mengenai kolaborasi yang kian intensif, baik sesama pemain digital maupun bersama institusi konvensional. Sebagai contoh, GoPay berkolaborasi dengan Google untuk menghadirkan opsi pembayaran di Google Play. LinkAja bantu Pemkot Banyuwangi untuk tingkatkan efisiensi pembayaran pajak. Ovo kerja sama dengan sejumlah fintech lending untuk hadirkan fitur cicilan tanpa kartu kredit.

Kolaborasi ini, selain meningkatkan kapabilitas layanan, dinilai efektif untuk menjaring segmentasi pelanggan yang lebih luas.

Fintech lending berizin OJK

Per 7 Agustus 2019, ada 127 pemain fintech lending yang berstatus terdaftar di OJK –sebanyak 9 di antaranya sajikan jenis layanan berbasis syariah. Yang baru, tahun ini OJK juga mulai memberikan jalan bagi para pemain untuk mendapatkan status “izin usaha”, sebagai level berikutnya setelah menggaet status “terdaftar dan diawasi”.

Hingga tulisan ini diterbitkan, ada 7 pemain yang sudah mendapatkan izin usaha yakni Danamas, Investree, Amartha, Dompet Kilat, Kimo, Tokomodal dan UangTeman.

Secara keseluruhan untuk lini bisnis p2p lending OJK mencatat terjadi pertumbuhan transaksi. Setidaknya hingga Juli 2019 nilai pinjaman yang digelontorkan sudah mendekati 50 triliun Rupiah dengan tingkat TKB90 yang cukup apik. Partisipan, baik dari sisi peminjam dan pemberi pinjaman, juga terus bertambah.

Slide2

Sebagai informasi, TKB90 adalah ukuran tingkat keberhasilan penyelenggara p2p lending terkait penyelesaian transaksi dalam jangka waktu maksimal 90 hari sejak jatuh tempo. Sementara TKW90 adalah ukuran dari non performing loan atau gagal bayar, yakni wanprestasi dalam penyelesaian kewajiban di atas 90 hari sejak tanggal jatuh tempo. OJK meminta setiap penyelenggara untuk menginformasikan TKB90 tersebut sebagai bagian dari transparansi.

Standardisasi pembayaran QR Code

Awal Mei 2019 lalu, Bank Indonesia meresmikan QR Code Indonesia Standard (QRIS) sebagai langkah awal transformasi digital di Sistem Pembayaran Indonesia (SPI) dalam membantu percepatan pengembangan ekonomi dan keuangan digital. Sederhananya, dengan QRIS nantinya satu QR Code dapat diakses oleh berbagai layanan pembayaran – misalnya di sebuah kedai hanya cukup punya satu kode, pengguna Ovo, LinkAja atau GoPay bisa membayar dengan memindai kode yang sama.

Inisiatif ini salah satunya untuk memudahkan masyarakat sebagai pengguna, di tengah pertumbuhan layanan pembayaran digital berbasis server. Setiap tahun selalu ada platform baru, kendati lebih sedikit dibanding tahun lalu, sepanjang Juli 2019 sudah ada 3 perusahaan yang sudah mengantongi lisensi e-money, yakni OttoCash, LinkAja dan Zipay.

Slide3

Penguatan peran asosiasi

Awali tahun 2019, OJK menerbitkan surat penunjukan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sebagai badan resmi yang mewadahi penyelenggara layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi (p2p lending) di Indonesia. Berdasarkan POJK No. 77/POJK.01/2016 Bab XIII Pasal 48, maka seluruh p2p lending di Indonesia wajib mendaftarkan diri sebagai anggota AFPI.

AFPI akan menjadi mitra strategis OJK dalam menjalankan fungsi pengaturan dan pengawasan para penyelenggara yang menjadi anggotanya dan berperan dalam mendukung berbagai kegiatan edukasi dan perlindungan konsumen perusahaan fintech di Indonesia.

Otoritas juga turut menunjuk Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) sebagai Asosiasi Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital (IKD), bertujuan untuk membangun sistem pengawasan yang efektif. IKD di sini terkait segmen fintech yang selama ini belum diregulasi oleh OJK. Ini adalah istilah dari OJK yang menyebutnya sebagai inovasi, bukan sebagai industri. Sejauh ini baru dua industri fintech yang sudah diregulasi, yakni p2p lending dan equity crowdfunding.

“Tahun ini industri fintech, khususnya pembayaran dan pembiayaan, semakin matang, baik dari segi regulasi maupun segi ekosistem. Kita akan melihat lebih banyak kolaborasi untuk mendukung usaha menjadi pemimpin pasar,” ujar Editor-in Chief DailySocial Amir Karimuddin mengomentari perkembangan dan proyeksi industri keuangan digital Indonesia.


Tulisan ini menjadi pengantar Fintech Report 2019 yang akan diterbitkan DailySocial dalam beberapa waktu mendatang yang mengulas secara komprehensif data dan informasi industri fintech tanah air. Agar tidak ketinggalan updatenya, silakan daftarkan email Anda untuk berlangganan di newsletter resmi DSPatch.

OJK Tunjuk Aftech Sebagai “Asosiasi Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital”

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjuk Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) sebagai Asosiasi Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital (IKD) sesuai dengan amanat POJK No.13 Tahun 2018 mengenai IKD di sektor jasa keuangan. Penunjukan bertujuan untuk membangun sistem pengawasan penyelenggara IKD yang efektif.

IKD di sini terkait segmen fintech yang selama ini belum diregulasi oleh OJK. Ini adalah istilah dari OJK yang menyebutnya sebagai inovasi, bukan sebagai industri. Sejauh ini baru dua industri fintech yang sudah diregulasi, yakni P2P lending dan equity crowdfunding.

Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida menjelaskan, IKD punya banyak manfaat positif, seperti meningkatkan inklusi dan literasi keuangan, dan memenuhi kesenjangan pembiayaan untuk UMKM.

Di sisi lain risikonya juga banyak. Untuk itu perlu diterapkan balanced regulatory framework agar hubungan dengan lembaga jasa keuangan dapat bersinergi secara optimal. Perlindungan konsumen pun tetap terjaga.

Menurutnya, penunjukan asosiasi ini akan mempermudah mekanisme koordinasi dan pengawasan IKD, serta diharapkan akan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang ada dan membangun sinergi antar penyelenggara IKD.

“Melalui pembentukan asosiasi, para penyelenggara IKD akan mudah membentuk ekosistem keuangan digital karena terdiri dari anggota dengan berbagai model bisnis. Mereka bisa saling berinteraksi dan mendukung dalam menciptakan sektor keuangan digital yang sehat,” terangnya, Jumat (9/8).

Mekanisme pembentukan asosiasi ini, menganut prinsip pengaturan. Artinya OJK hanya membuat garis besar pengaturan, sementara teknis dari pengaturan ini dibuat oleh para pelaku industri.

Aftech akan mengambil peranan penting untuk merumuskan standar industri dan mengembangkan operasional Asosiasi Penyelenggara IKD, termasuk pedoman perilaku model bisnis (market conduct) masing-masing anggota.

“Pengawasan fintech itu beda dengan bank dan non bank karena model bisnisnya beda, risikonya juga beda. Makanya perlu tempuh dengan market conduct, artinya kita harus membuat industri ini bisa bertanggung jawab dalam menjalankan inovasinya, tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat tapi juga melindungi kepentingan konsumen,” tambah Deputi Komisioner OJK Institute dan Keuangan Digital Sukarela Batunanggar.

Lebih lanjut, tugas dan wewenang Aftech sebagai Asosiasi Penyelenggara IKD diatur dalam SEOJK Penunjukan Asosiasi Penyelenggara IKD yang akan diterbitkan dan disampaikan ke publik dalam waktu dekat.

Tunggu SEOJK terbit

Ketua Aftech Niki Luhur menjelaskan, pihaknya akan membentuk market conduct dan komite etik pasca ditunjukkan sebagai Asosiasi Penyelenggara IKD, setelah mendapatkan arahan dan batasan-batasan yang jelas dari OJK (SEOJK).

“Kita akan memulai ini sesuai dengan arahan OJK. Dari sana kita bentuk komite etik yang independen berisikan para pengacara yang akan mengkaji bila ada isu-isu ke depannya,” ujar Niki.

Dia melanjutkan, “Bila standar dari OJK sudah jelas, baru sanksi dan bagaimana implementasinya akan kita rumuskan. Apakah melibatkan satgas waspada investigasi atau lainnya. Kita perlu koordinasi lebih jauh terkait ini.”

Hingga Juli 2019, OJK telah memberikan status tercatat kepada 48 penyelenggara IKD. Keseluruhannya akan diawasi secara market conduct oleh Aftech. Dari total ini, 34 penyelenggara di antaranya terpilih menjadi prototype regulatory sandbox.

OJK membagi 34 penyelenggara ini ke dalam 15 klaster berdasarkan segmen bisnisnya. Yang terbanyak di antaranya aggregator (15), credit scoring (4), financial planner (6), financial agent (4), dan project financing (5).

Setelah masuk regulatory sandbox, OJK akan memantau mereka selama setahun atau enam bulan apabila ada tambahan setelahnya. Nanti akan ada hasil akhir sebagai landasan untuk menyusun regulasi, setelah sebelumnya mempertimbangkan dampaknya secara ekonomi dan masyarakat.

Keseluruhan IKD ini sebelumnya harus sudah terdaftar sebagai anggota dari salah satu asosiasi fintech di Indonesia, bisa ke Aftech, AFSI, atau AFPI. Aftech sendiri punya 250 anggota, namun hanya 231 perusahaan yang sudah masuk dalam daftar OJK. Sementara dalam daftar OJK, sudah ada 113 penyelenggara P2P lending yang terdaftar dan tujuh sudah menerima izin usaha.

OJK Resmikan Kehadiran AFPI, Asosiasi Khusus Fintech Lending

OJK meresmikan kehadiran Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Asosiasi dihadirkan khusus menangani isu seputar fintech lending yang diprediksi akan membesar seiring jumlah pemain yang terus bertambah. Asosiasi ini akan berjalan beriringan dengan Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) dan OJK.

“Mengawal industri lending ini sangat berat karena harus melindungi dua jenis konsumen, lender dan borrower. Kami lihat industri ini akan membesar dan masalahnya pun akan ikut besar. Untuk itu kami tidak ingin industri ini berakhir seperti di Tiongkok, kami ingin industri baru ini tumbuh sehat, kuat, dan berkontribusi pada inklusi keuangan,” terang Direktur DP3F OJK, Hendrikus Passagi, dalam Fintech Days di Bali, Jumat (26/10).

Menurut Hendrikus, dalam program kerjanya AFPI akan fokus pada isu seputar p2p lending yang selama ini belum terurus saat masih di dalam naungan AFTECH. Pasalnya, dalam keanggotaan AFTECH tidak hanya diisi oleh pemain fintech lending saja, tapi ada juga fintech lain seperti pembayaran, agregator, e-commerce dan lainnya. Keseluruhannya bergerak di bawah payung regulasi yang berbeda.

“Malah dalam bayangan kami nanti AFTECH akan jadi sokoguru untuk fintech secara umum, menjadi payung untuk semua asosiasi fintech yang bakal lebih spesifik di bawahnya.”

Bagi regulator, kehadiran asosiasi yang spesifik ini tentunya sangat bermanfaat dalam mengawasi industri lending. OJK berkeinginan industri bergerak secara tangkas, sesuai dengan semangat startup.

Dalam praktiknya, regulator mengawasi industri dengan memanfaatkan empat lapisan. Pertama, dari publik untuk mengawasi dan melaporkan apabila ada yang berbeda dengan sosialisasi POJK 77/2016. Kedua, pengendalian dari internal penyelenggara untuk pelaksanaan sesuai GCG. Ketiga, pengawasan dari asosiasi yang ikut mengawal industri. OJK ada di lapis terakhir.

“Jadi OJK ada di lapis terakhir karena kami ingin industri fintech lending ini bisa bergerak lebih agile.”

Berdasarkan data terbaru OJK, ada 73 penyelenggara fintech lending yang sudah mengantongi surat tanda terdaftar, dua di antaranya bergerak di lending syariah. Domisilinya terpusat di Jabodetabek ada 71 perusahaan, satu perusahaan berada di Bandung.

Di internal OJK, ada 47 penyelenggara yang masih dalam proses pendaftaran, 59 penyelenggara dikembalikan permohonannya untuk dilengkapi kembali, dan 38 penyelenggara yang berminat mendaftar. Sehingga bila ditotal ada 217 penambahan penyelenggara yang akan masuk sebagai anggota AFPI dan AFTECH.

Sampai September 2018, industri lending telah menyalurkan Rp13,83 triliun. Jumlah lender sebesar 161.297 entitas dan borrower 2,3 juta entitas. Rasio NPL di saat yang sama tercapai 1,2% meningkat dari posisi akhir 2017 sebesar 0,99%.

Program kerja AFPI

Hendrikus melanjutkan dalam program kerjanya AFPI memiliki sekitar delapan kompartemen yang keseluruhannya mendukung jalannya industri fintech lending agar lebih kuat. Beberapa kompartemen tersebut di antaranya menangani soal isu pembiayaan multiguna, produktif, fintech pendukung, infrastruktur, dan syariah.

Masing-masing menangani isu spesifik yang selama ini belum pernah sempat dilakukan saat masih di bawah AFTECH, seperti digital signature, pajak, artificial intelligence, kode etik, dan lainnya.

“Menariknya ada isu besar dalam pendanaan, ada yang dalam bentuk konvensional dan syariah. Dari 73 total penyelenggara yang sudah dapat tanda terdaftar, hanya dua yang berbentuk syariah. Ini mungkin jadi penyebab mengapa lending syariah kurang berkembang, karena AFTECH kurang fokus ke sana. Kita harapkan dari AFPI bisa memulainya.”

AFPI diketuai oleh Adrian A Gunadi (Investree) dan Sunu Widyatmoko (Dompet Kilat) sebagai wakil ketua. Beberapa nama penggiat fintech lending juga turut menangani AFPI, di antaranya Cally Alexandra (Crowdo), Sendy Filemon (Futureready), Lutfi Adhiansyah (Ammana), dan lainnya.

FintechSPACE is Ready to Support Indonesia’s Fintech Startups

After launching its service in early 2018, UnionSpace coworking operator (previously Cre8) marked its presence by establishing FintechSPACE at Satrio Tower, Jakarta.

Consistent with the main mission, to provide a place for idea exchange on fintech policies and to implement new innovations and concept in fintech industry, FintechSPACE partners with fintech startups also financial institutions, such as DBS Bank, Midtrans, and Kejora VC, Gan Kapital, and Fenox.

The rapid growth of digital financial services along with massive interest from related parties leading fintech startups to have a unique landscape in Indonesia. Albert Goh, UnionSPACE’s CEO, mentioned that fintech startup has become an aggressive digital economy energy of Indonesia which capable to make a faster and easier transaction.

“The contribution is high, in addition, fintech has various innovations and technologies. Starts with peer-to-peer lending, payment system, cashless, Software as a Service (SaaS) and many more. This is a moment to continue acceleration and expansion of fintech business.”

Connecting startups with related parties

Aside from the coworking space in Satrio Tower, UnionSPACE has four other branches in Jakarta, includes the space in PIK Avenue, Metropolitan Tower, Barito Pacific Guesthouse, and also Harton Tower, with some other places in Bangkok, Manila, and Kuala Lumpur.

Some of the facilities are providing comprehensive business services, such as coworking space, private office, virtual office, corporate establishing, and many more. Currently, FintechSPACE occupies 3 floors and 55 suits that soon to be increased to 200 suites.

In supporting the startup community which targets are fintech services, FintechSPACE will hold some activities to support startup and fintech key players to develop, by connecting them with official partners as FintechSPACE commitment to make a contribution for Indonesia’s fintech development.

“FintechSPACE’s focus is to invite and serve some financial-based companies in Indonesia, to gather and facilitate the collaboration, also supporting Indonesia’s economy,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

FintechSPACE Siap Bantu Startup Fintech Indonesia

Setelah mengumumkan kehadirannya awal tahun 2018, operator coworking space UnionSpace (sebelumnya bernama Cre8) meresmikan kehadirannya di Indonesia dengan mendirikan FintechSPACE di Satrio Tower, Jakarta.

Masih konsisten dengan misi utamanya, yaitu menyediakan wadah untuk bertukar pikiran merumuskan kebijakan-kebijakan fintech serta menerapkan gagasan dan konsep baru di bidang fintech, FintechSPACE menjalin kemitraan dengan startup layanan fintech hingga institusi keuangan seperti DBS Bank, Midtrans, serta venture capital Kejora VC, Gan Kapital dan Fenox.

Besarnya pertumbuhan layanan finansial keuangan digital serta minat yang cukup masif dari pihak terkait, menjadikan startup fintech memiliki lanskap yang terbilang unik di Indonesia. Menurut CEO UnionSPACE Albert Goh, perusahaan startup fintech disebut menjadi penggerak ekonomi digital Indonesia yang cukup agresif karena dapat mempercepat dan mempermudah transaksi.

“Kontribusinya tinggi, ditambah lagi, fintech itu punya inovasi dan teknologi yang beragam. Mulai dari peer-to-peer lending, payment system, cashless, Software as a Service (SaaS) dan masih banyak lagi. Ini jadi momentum untuk bisa terus mengakselerasi dan memperluas bisnis fintech.”

Menghubungkan startup dan pihak terkait

Selain coworking space yang terletak di Satrio Tower, UnionSPACE juga memiliki empat cabang lain di Jakarta, seperti di PIK Avenue, Metropolitan Tower, Wisma Barito Pacific, dan juga Harton Tower serta beberapa lokasi lain di Bangkok, Manila dan Kuala Lumpur.

Fasilitas yang disediakan di antaranya adalah, memberikan layanan bisnis menyeluruh seperti coworking space, ruang kantor pribadi, virtual office, pendirian PT dan masih banyak lagi. Saat ini total space yang dimiliki FintechSPACE sebesar 3 lantai dan tersedia 55 ruangan suites yang akan bertambah lagi menjadi 200 ruangan suites.

Untuk mendukung komunitas startup yang menyasar layanan fintech, nantinya FintechSPACE juga akan menggelar kegiatan-kegiatan yang mendukung para pelaku startup dan fintech key players untuk berkembang, dengan mendekatkan mereka bersama mitra resmi, sesuai dengan komitmen FintechSPACE memberikan kontribusi untuk kemajuan fintech di Indonesia.

“Fokus FintechSPACE ingin terus mengajak dan melayani beberapa pelopor perusahaan berbasis keuangan di Indonesia, agar bersama dapat membantu mempermudah kolaborasi dan turut membangun perekonomian Indonesia,” kata Albert.

Asosiasi Fintech Resmikan Pedoman Perilaku, Muat Tiga Pilar Perlindungan Konsumen

Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) akhirnya merilis Pedoman Perilaku Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI) yang Bertanggung Jawab (Code of Conduct for Responsible Lending). Pedoman ini sekaligus menegaskan komitmen pelaku usaha dalam menerapkan standar praktik bisnis yang bertanggung jawab untuk melindungi nasabah.

Ada tiga acuan yang menjadi prinsip dasar dalam mengembangkan pedoman tersebut. Pertama, transparansi produk dan metode penawaran. Penyelenggara wajib mencantumkan seluruh biaya yang timbul dari hutang, termasuk biaya yang timbuk di muka, bunga, biaya keterlambatan, dan lainnya.

Metode ini terbukti mampu memberdayakan konsumen untuk menerima hutang secara bertanggung jawab dan dapat meminialisasi risiko penipuan dan praktik tidak etis. Transparansi juga berarti keterbukaan informasi oleh penyelenggara sehingga pelaku usaha juga diwajibkan untuk mencantumkan alamat, email, dan nomor telepon pengaduan nasabah.

Kedua, pencegahan pinjaman berlebih. Penawaran hutang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan ketahanan ekonomi konsumen dan bukan untuk menjerumuskan ke jeratan hutang. Penyelenggara dilarang memberikan hutang secara langsung kepada peminjam tanpa persetujuan terlebih dahulu, melakukan penelitian dan verifikasi yang memadai, dan dilarang melakukan manipulasi data konsumen.

Ketiga, prinsip itikad baik terkait praktik penawaran, pemberian, dan penagihan hutan yang manusiawi tanpa kekerasan fisik dan non fisik, termasuk cyber bullying. Penyelenggara dilarang menggunakan pihak ketiga pelaksana penagihan yang memiliki reputasi buruk berdasarkan informasi dari otoritas maupun asosiasi.

LPMUBTI merupakan hasil kerja sama dari Kelompok Kerja Inklusi Keuangan Aftech yang berisi seperangkat prinsip dan proses yang disepakati bersama dan secara sukarela oleh para perusahaan anggota Aftech yang memberikan layanan pinjam meminjam online.

Tergabung pula sebagai anggota kelompok kerja yang berasal dari penyelenggara atau platform jual beli barang dengan layanan cicilan, gadai, platform komparasi, serta multifinance dan bank.

“Merupakan kebanggaan bagi Aftech bahwa hari ini semakin banyak pemimpin industri fintech secara proaktif mengambil langkah tegas dan nyata dalam membangun industri secara lebih baik dan berkelanjutan. Pedoman ini dapat mengikat seluruh pelaku usaha anggota yang menawarkan dan/atau memberikan pinjaman online untuk patuh dan bermain sesuai aturan,” ujar Wakil Ketua Umum Aftech Adrian Gunadi, Kamis (23/8).

Menurut Adrian, pedoman tersebut telah ditandatangi lebih dari 43 anggota Aftech. Diharapkan 64 perusahaan fintech yang telah terdaftar di OJK dapat turut menandatangani LPMUBTI pada bulan ini. Sebelum diumumkan ke publik, pedomen perilaku ini sudah mendapatkan dukungan penuh OJK.

Muat lima larangan saat menagih

Tidak hanya menganut tiga pilar perlindungan konsumen, pedoman tersebut juga memuat lima larangan saat menagih utang yang harus dipatuhi oleh penyelenggara. Pertama, penyelenggara dilarang menagih dengan kata-kata tidak sopan. Kedua, menagih secara provokatif, agresif, menghina, intimidasi, dan sejenisnya terhadap peminjam dan pihak terkait.

Ketiga, menyebarkan informasi terkait data pribadi peminjam. Keempat, mengaku sebagai orang lain atau pihak penegak hukum. Terakhir, pengembalian penagihan pinjaman di luar perjanjian awal.

“Dari lima larangan ini bisa diturunkan lebih detil secara teknis. Sedang kami diskusikan,” terang Ketua Bidang Pinjaman Cash Loan Aftech Sunu Widyatmoko, dikutip dari Katadata.

Untuk semakin menekan kemungkinan negatif, Aftech juga sedang mengkaji kebijakan sertifikasi bagi para debt collector. Hal ini bertujuan supaya penagih hutang memahami kode perilaku yang berlaku dan menagih sesuai ketentuan.

“Jangan sampai ada pemain yang menyalahkan oknum dan benar-benar bisa dicari tahu siapa yang bertanggung jawab.”

Dalam kesempatan yang sama, Aftech sekaligus mengumumkan penunjukan resmi tiga anggota Komite Etika Independen, yaitu Andre Rahadian, Maria Sagrado, dan Abadi Tinsnadisastra sebagai pengawas yang mengawal penerapan inisiatif Aftech.

Turut bergabung Rachmat Waluyanto (mantan Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK) sebagai Dewan Penasihat Aftech bersama M Chatib Basri, Mahendra Siregar, dan Budi Rahardjo.