GetGo Ingin Populerkan AI untuk Permudah Transaksi Ritel

Pengembangan teknologi kecerdasan buatan untuk konsumer ritel di Indonesia belum semasif seperti negara-negara yang lebih maju. Implementasinya sejauh ini masih diarahkan untuk kebutuhan korporasi atau pemerintah, misalnya dengan membuat chatbot atau CCTV pendeteksi. Kekosongan ini dimanfaatkan GetGo sebagai startup AI yang fokus untuk solusi transaksi konsumer ritel.

“Kita fokus ke masalah transaksi sehari-hari di ritel, padahal di sini ada banyak tantangan yang bisa diselesaikan dengan AI. AI for retail ini masih kecil [pemainnya], bahkan di regional saja masih sedikit,” ucap Co-Founder dan CEO GetGo Erdian Tomy kepada DailySocial.

Selain Erdian, ia ditemani Andika Rachman sebagai Chief AI Officer dalam merintis GetGo sejak Juli tahun lalu. Keduanya kuat di latar belakang masing-masing, misalnya Erdian yang punya pengalaman di bidang periklanan dan Andika kuat di bidang AI.

Perjalanan dimulai ketika ditemukan masalah belanja di toko offline, penjual tidak bisa mengetahui karakter dan kebiasaan pembeli untuk melakukan upselling. Pembeli pun tidak bisa merasakan pengalaman belanja yang seamless.

“Dari situ kita mulai masuk ke ranah offline dengan membuat produk GetGo Mini Cashier-less Store, bekerja sama dengan coworking space ada di tujuh lokasi pada awal tahun ini.”

Pada produk pertama ini, karyawan dari coworking space tersebut bisa berbelanja dari produk-produk yang dijual di dalam kotak dan membayarnya tanpa kasir. Proses pembayaran dilakukan secara online. Hampir tiga bulan berjalan, GetGo berhasil mendapat 761 unique user.

Pertengahan Maret ini harus terhenti karena ada kewajiban untuk karantina di rumah karena pandemi merebak di Indonesia. “Akhirnya dari Maret sampai sekarang produk pertama kita harus berhenti sementara karena semua kantor WFH, jadi tidak ada karyawan yang keluar.”

Erdian dan tim akhirnya putar otak untuk terus berinovasi, akhirnya merilis produk kedua yang menyasar konsumen online bernama GetGo Visual Search. Produk ini berupa API yang dintegrasikan ke pemilik platform e-commerce agar bisa digunakan oleh konsumennya saat mencari barang secara online.

Pada tahap awal, GetGo baru bisa mampu mendeteksi produk fesyen. Caranya konsumen cukup mengambil gambar yang mereka dapat melalui fitur kamera di dalam aplikasi e-commerce. Hasil produk akan langsung tertera berdasarkan yang mereka cari.

“Produk ini b2b. Jadi kita punya API yang bisa dipakai oleh mitra e-commerce. Konsumen jadi tidak perlu install tambahan aplikasi karena AI GetGo sudah ditanamkan di dalam aplikasi e-commerce tersebut.”

GetGo Mini Cashier-less Store di salah satu lokasi / GetGo
GetGo Mini Cashier-less Store di salah satu lokasi / GetGo

Rencana bisnis berikutnya

Berbekal ilmu yang didapat mengikuti program akselerator Gojek Xcelerate, GetGo semakin mantap untuk mematangkan produk keduanya tersebut. Erdian mengatakan saat ini pihaknya sedang dalam proses kesepakatan dengan dua platform e-commerce. Juga menambah kemampuan AI untuk mendeteksi produk furnitur.

“Nanti model monetisasinya, kita akan charge per bulan ke e-commerce-nya. Sementara untuk produk Mini Cashier-less menggunakan iklan di tiap store-nya.”

Erdian meyakini, kedua produk ini ke depannya dapat diterima secara luas dan merasakan dampaknya dalam transaksi sehari-hari. Terlebih produk ini dibangun oleh orang-orang lokal, sehingga ada nilai lebih yang ditawarkan, selain dari pricing yang jauh lebih murah.

“Teknologi itu adalah komoditas yang sebenarnya tidak bisa dipakai oleh negara tertentu saja. Di AS dan Tiongkok, AI sudah jadi bagian kehidupan, mereka biasa belanja offline tanpa kasir. Kita punya value, dari harga jauh lebih murah dan approach-nya dengan cara lokal.”

Menuju kondisi normal baru, dia berharap GetGo lebih ekspansif untuk mengembangkan bisnis, termasuk mencari pendanaan. Sejauh ini perusahaan masih memanfaatkan dana sendiri alias bootstrapping. Adapun total tim GetGo saat ini berjumlah enam orang dan mayoritas adalah engineer.

Google Meet Kedatangan Fitur Noise Cancelling Berbasis AI

Bekerja dari rumah itu tidak mudah. Saya berani bilang demikian setelah merasakannya sendiri selama lebih dari 5 tahun, dan yang paling sulit adalah ketika hendak mengikuti sesi video conference.

Anak saya ada dua, dan mengikuti sesi video conference tanpa ada suara dari mereka (teriakan dan tangisan) yang bocor nyaris mustahil, kecuali mic saya mute atau sesi berlangsung di saat mereka sedang tidur. Beruntung selama menjalani meeting, saya memang tidak perlu banyak berbicara, sehingga mikrofon bisa selalu saya mute.

Buat yang perlu banyak berbicara, ini bisa menjadi problem. Suara-suara di sekitar mereka, entah itu suara TV, suara vacuum cleaner, suara bor, atau mungkin suara kantong jajanan yang diremas-remas, semuanya akan ikut terdengar oleh seluruh partisipan meeting. Solusi yang dibutuhkan adalah fitur noise cancelling atau denoiser, dan ini yang tengah Google persiapkan untuk layanan video conference mereka, Google Meet.

Teaser fitur ini sempat Google tunjukkan di bulan April, namun sekarang, seiring dengan peluncurannya yang dilakukan secara bertahap, Google sudah siap untuk mendemonstrasikannya. Berikut adalah demonstrasi dari Serge Lachapelle selaku pimpinan tim yang mengembangkan fiturnya, saat diwawancara oleh VentureBeat.

Seperti yang bisa kita lihat, fitur berbasis AI ini sangat efektif dalam meredam berbagai macam suara yang bukan omongan. Pasca peluncurannya, fitur noise cancelling ini akan aktif secara default, akan tetapi pengguna bebas menonaktifkannya jika memang perlu.

Dalam wawancaranya, Serge lanjut menjelaskan bahwa fitur ini sebenarnya sudah mereka kembangkan sejak tahun 2017. AI yang bersangkutan mereka latih dengan segudang rekaman sesi video conference mereka sendiri, ditambah deretan video YouTube di mana terdapat banyak orang berbicara.

Tujuannya adalah supaya AI bisa membedakan mana suara yang mengganggu, mana yang berasal dari mulut manusia. Sejauh ini fiturnya terbilang sudah cukup efektif, namun beberapa jenis suara masih sulit untuk dikategorikan sebagai pengganggu, seperti misalnya teriakan seseorang. Seperti halnya fitur berbasis AI lain, fitur denoiser ini bakal semakin sempurna seiring berjalannya waktu.

Fitur ini kabarnya sekarang sudah tersedia di Google Meet versi web, tapi belum diketahui kapan bakal menyusul ke versi Android dan iOS-nya. Google bukan satu-satunya yang menerapkan fitur noise cancelling berbasis AI pada layanan video conference. Microsoft pun turut mengimplementasikan langkah yang serupa pada Microsoft Teams.

Sumber: VentureBeat.

Qlue Hadirkan Sejumlah Perangkat Deteksi untuk Bantu Bisnis Tegakkan Aturan “New Normal”

Pemerintah telah membumikan terminologi “new normal”, sebuah keadaan baru yang harus disesuaikan dengan protokol kesehatan guna menekan persebaran Covid-19. Mencoba mengoptimalkan keahlian yang dimiliki, Qlue meluncurkan beberapa solusi yang membantu bisnis hadapi new normal, di antaranya sistem pengecekan suhu tubuh dengan sensor thermal, pengecekan penggunaan masker, pengecekan jarak kerumunan, hingga pengecekan trafik berbasis CCTV.

“Solusi [baru dari Qlue] bisa [diimplementasikan] satu kesatuan atau terpisah-pisah. Memang lebih efektif kalau jadi kesatuan, karena sangat bersentuhan dengan regulasi new normal dari pemerintah; di mana menganjurkan pengukuran suhu, social distancing, dan pengenaan masker. Solusi kami mencakup itu semua secara automatic menggunakan teknologi IoT dan AI,” tegas Founder & CEO Qlue Rama Raditya.

AI di dalam solusi baru Qlue diimplementasikan di sejumlah fitur, seperti “Seamless Self-Check” menggunakan kamera yang bisa mendeteksi suhu dan penggunaan masker. Pendeteksian penggunaan masker ini diklaim cukup akurat karena bisa mendeteksi 100 jenis masker, bahkan AI masih bisa mendeteksi orang-orang (umur dan gender) yang meski masih mengenakan masker.

Rama menjelaskan, bahwa teknologi AI yang ada pada solusi terbaru Qlue disematkan pada device-nya, sehingga harga dari perangkat tersebut diklaim bisa lebih terjangkau untuk bisnis yang terkena imbas Covid-19 dan ingin segera kembali membuka bisnisnya dengan tetap menaati regulasi dari pemerintah.

People detection pada device digunakan untuk menghitung jumlah orang yang masuk, dan people detection pada CCTV memastikan orang-orang menjaga jarak. Selain itu kesatuan dari teknologi tersebut dapat membantu bisnis untuk memastikan occupancy dari mall misalnya tetap di angka yg sudah ditetapkan pemerintah yaitu 50%,” imbuh Rama.

Gambaran dasbor yang disajikan Qlue untuk solusi terkait new normal
Gambaran dasbor yang disajikan Qlue untuk solusi terkait new normal

Gerak cepat Qlue melihat peluang

Pihak Qlue menyebutkan solusi ini disiapkan untuk cocok diimplementasikan untuk kantor, mall, gedung, rumah sakit, restoran atau tempat-tempat keramaian lainnya.

“Jadi semua area sebenarnya bisa menggunakan solusi ini agar bisa tetap memenuhi regulasi emerintah dan tentunya memastikan keselamatan dari pengunjung mereka. Kantor juga menggunakan ini untuk kemudian diintegerasikan dengan sistem absensi mereka sehingga tidak perlu lagi menggunakan finger print,” jelas Rama.

Selain Thermal dan Mask Detection, Qlue juga memiliki solusi untuk isolasi mandiri. Solusi ini bisa dimanfaatkan untuk memonitoring proses karantina mandiri. Di dalamnya terdapat fitur untuk memantau kondisi mereka yang di karantina, termasuk juga tracking lokasinya.

“Untuk solusi kami terkait isolasi mandiri berguna untuk memastikan pasien Covid-19 yang diisolasi di rumah tetap melakukan self-report dan tidak ke mana-mana. Karena sekarang contohnya di Jakarta pasien yang diisolasi di rumah aja ada sekitar 2.700, bagaimana pemerintah/rumah sakit memastikan mereka stay di rumah. Dengan aplikasi QlueWork pasien harus melakukan selfchecking sehingga dapat di monitor dengan baik karena pada aplikasi tersebut sudah berbasis lokasi,” tutup Rama.

Application Information Will Show Up Here

Bonza Big Data Startup Provides Companies Analysis Based Decision Making

Bonza big data startup officially launched after announcing the seed funding from East Ventures with undisclosed value. The fresh money will be used to develop technology and products, and support the company’s expansion.

This startup was founded by Elsa Chandra and Philip Thomas. The two met while working at Traveloka. Elsa manages Traveloka’s investment, while Philip leads one of the data science teams tasked with implementing the big data model for product development and improvement.

Bonza’s Co-Founder Elsa Chandra said the startup was built out of a belief that there was a significant gap between leading-edge research of machine learning and AI and its implementation in the field. The company can be a bridge to close the gap.

“Our mission is to help companies translate the data they have from various sources, both structured and not, integrate the data, then use artificial intelligence and machine learning solutions to help them make decisions at an optimal scale,” he explained in an official statement yesterday ( 5/26).

Bonza,’s solution, he continued, can be used for everyone in the company, from data analysts who need products to simplify data processing, company leaders, and frontlines in need of data to make decisions.

In addition, the company is claimed to be able to improve data quality and integrate data from various sources into a single source of truth. This ensures there is no anticardiographic information barrier and provides management with a 360-degree view of all company data. “This solution is not provided by most data analysis companies.”

East Ventures’ Co-Founder & Managing Partner Willson Cuaca added, the team has captured Bonza because there were problems that occurred within the company. Decision making and calculating the impact based on different sources of unstructured and not sequential information is very difficult. This is a challenge in every industry sector.

“Through this investment, Bonza is expected to be able to build a platform that facilitates decision making and monitors the results of these decisions by presenting insights, which result from processing unstructured data,” he said.

Yesterday (5/26) another big data startup, Delman, has announced funding of 23.6 billion Rupiah from Intudo Ventures, Prasetia Dwidharma, and Qlue. The company offers similar service, trying to provide convenience to various groups in implementing big data.

Monitoring the spread of Covid-19

Bonza also uses big data to monitor the rate of Covid-19 infection. They introduced and adapted the Effective Production Number (Rt) model to monitor the spread of Covid-19 in each region. Rt is an epidemiological parameter used to measure the rate of growth of virus transmission.

This model shows the infection rate in each province moving with varying speed and trends. The following insights can be a reference for policymakers to plan strategies and measure the effectiveness of Covid-19 pandemic control measures such as large-scale social restrictions (PSBB).

Elsa said the number of cases and deaths, which had been reported so far, did not adequately reflect the level of actual spread of Covid-19 because it did not calculate daily fluctuations due to changes in a test capacity, differences in social policy restrictions between regions, and variations in community behavior.

Bonza updates Rt Data in every province in Indonesia on a daily basis and the dashboard is free to access.

“The government is reportedly planning to open several economic sectors by June. Indonesia needs data as a reference for the decision made on the spread rate of the Covid-19 virus in the country. It is expected that the dashboard can provide additional information and act as a comparison,” Willson said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup Big Data Bonza Bantu Perusahaan Ambil Keputusan Berbasis Analisis

Startup big data Bonza resmikan kehadirannya pasca mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal dari East Ventures dengan nominal dirahasiakan. Dana segar ini akan digunakan untuk mengembangkan teknologi dan produk, serta mendukung ekspansi perusahaan.

Startup ini didirikan oleh Elsa Chandra dan Philip Thomas. Keduanya bertemu saat bekerja di Traveloka. Elsa mengelola investasi Traveloka, sementara Philip memimpin salah satu tim data science yang bertugas mengimplementasikan model big data untuk pengembangan dan penyempurnaan produk.

Co-Founder Bonza Elsa Chandra mengatakan, startupnya berdiri karena ada keyakinan kesenjangan yang signifikan antara riset terdepan di dalam bidang machine learning dan AI dengan implementasinya di lapangan. Perusahaan dapat menjadi jembatan untuk menutup kesenjangan tersebut.

“Misi kami adalah membantu perusahaan menerjemahkan data yang mereka punya dari berbagai sumber, baik terstruktur maupun tidak, mengintegrasikan data tersebut, kemudian menggunakan solusi artificial intelligence dan machine learning untuk membantu mereka mengambil keputusan dalam skala yang optimal,” terangnya dalam keterangan resmi, kemarin (26/5).

Solusi yang dihadirkan Bonza, sambungnya, dapat digunakan untuk semua orang di perusahaan, mulai dari analis data yang membutuhkan produk untuk menyederhanakan proses pengolahan data, hingga pemimpin perusahaan dan frontline yang membutuhkan data dalam mengambil langkah yang tepat.

Selain itu, perusahaan diklaim mampu meningkatkan kualitas data dan mengintegrasikan data dari berbagai sumber menjadi single source of truth. Hal ini memastikan tidak ada sekat informasi antardivisi dan memberikan manajemen sudut pandang 360 derajat ke seluruh data perusahaan. “Solusi ini tidak disediakan oleh kebanyakan perusahaan analisis data.”

Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menambahkan, pihaknya tertarik untuk berinvestasi di Bonza, lantaran ada masalah yang terjadi di dalam perusahaan. Pengambilan keputusan dan menghitung dampak dari keputusan berdasarkan sumber informasi yang berbeda-beda, tidak terstruktur, dan tidak berurutan sangat sulit sekali. Hal ini menjadi tantangan di setiap sektor industri.

“Melalui investasi ini, Bonza diharapkan bisa membangun satu platform yang memudahkan pengambilan keputsan dan memonitor hasil keputusan tersebut dengan menyajikan insight, yang dihasilkan dari pemrosesan unstructured data,” ujarnya.

Kemarin (26/5) startup big data lain, Delman, juga baru umumkan pendanaan senilai 23,6 miliar Rupiah dari Intudo Ventures, Prasetia Dwidharma, dan Qlue. Misi layanannya serupa, mencoba memberikan kemudahan berbagai kalangan dalam mengimplementasikan big data.

Pantau laju infeksi Covid-19

Pemanfaatan big data juga dimanfaatkan Bonza untuk memantau laju infeksi Covid-19. Bonza memperkenalkan dan mengadaptasi model Effective Production Number (Rt) untuk memantau laju penyebaran Covid-19 di tiap wilayah. Rt adalah paramater epidemiologi yang digunakan untuk mengukur laju pertumbuhan penularan virus.

Model ini menunjukkan laju infeksi di tiap provinsi bergerak dengan kecepatan dan tren yang variatif. Insight yang dihasilkan dapat menjadi acuan bagi pengambil kebijakan untuk merencanakan strategi dan menakar efektivitas langkah pengendalian pandemi Covid-19 seperti pembatasan sosial skala besar (PSBB).

Elsa menuturkan jumlah kasus dan kematian, yang selama ini dilaporkan, kurang menggambarkan tingkat penyebaran Covid-19 yang aktual karena tidak memperhitungkan fluktuasi harian akibat perubahan kapasitas tes, perbedaan kebijakan pembatasan sosial antarwilayah, dan variasi perilaku masyarakat.

Bonza memperbarui Data Rt di tiap provinsi di Indonesia secara harian dan dashboard ini dapat diakses secara gratis.

“Pemerintah dikabarkan berencana membuka aktivitas beberapa sektor ekonomi pada Juni ini. Indonesia membutuhkan data yang bisa menjadi acuan dampak keputusan tersebut terhadap laju penyebaran virus Covid-19 di masyarakat. Diharapkan dashboard yang dibangun bisa menjadi informasi tambahan dan sebagai pembanding,” tutup Willson.

Sebagai Chatbot, Chatbiz Fokus Menyederhanakan Pengalaman Konsumen

Chatbot kerap digadang-gadang sebagai bagian tak terpisahkan layanan teknologi paling mutakhir. Maka tak heran jumlah bisnis yang memanfaatkan chatbot terus bertambah banyak seiring waktu. Chatbiz adalah salah satu yang mencoba peruntungan di tengah maraknya adopsi teknologi chatbot.

Chatbiz adalah startup asisten virtual yang didirikan oleh Terry Djony. Mulai diperkenalkan ke publik sejak pertengahan tahun lalu. Ide chatbot ini berawal dari keresahan Terry yang kesulitan menghubungi toko untuk membeli barang yang ia butuhkan. Ia lalu mengembangkan kegelisahan itu menjadi ide untuk menciptakan asisten virtual yang fokus pada pengalaman pengguna sekaligus efektif untuk meningkatkan angka konversi sebuah bisnis.

Chatbot harus bisa menyederhanakan user journey sehingga angka konversi (conversion rate) pelanggan bisa naik hingga 20%, bukan justru mempersulit user journey. Bila dilihat, ada banyak sekali chatbot yang malah mempersulit user journey karena desain waterfall yang bisa jadi tidak tepat,” ucap Terry.

Fokus di angka konversi

Terry yang juga berperan sebagai CEO Chatbiz beranggapan antarmuka percakapan (interface conversational) tak selalu cocok bagi kebutuhan pengguna. Baginya perlu ada fungsi cari-dan-pilih yang dipadukan untuk asisten virtual. Ini yang ia coba terapkan di Chatbiz lewat salah satu fitur andalan mereka yakni Chat & Shop.

Chatbiz membagi pasarnya menjadi UKM dan korporasi. Sejak berdiri, Chatbiz sudah melayani enam klien mulai dari UKM bidang fesyen hingga organisasi nonprofit luar negeri. Sejauh ini mereka dapat menjawab sekitar 2 ribu chat pelanggan per bulan untuk setiap pelanggan mereka.

Bagi Terry, yang membedakan Chatbiz dengan pemain chatbot lain adalah angka konversi yang bisa mereka capai. Menurutnya rata-rata angka konversi dari chatbot yang hanya mengedepankan antarmuka percakapan hanya sekitar 2 persen.

“Kita fokus di user journey dan conversion. Conversion rate kita bisa sampai 10 persen,” klaim Terry.

Model bisnis dan target

Produk Chatbiz sejauh ini tersedia secara omnichannel. Ia bisa dipasangkan di WhatsApp, LINE, Telegram, ataupun situs web klien itu sendiri. Namun sejauh ini WhatsApp masih jadi kanal terpopuler untuk mereka.

Adapun model bisnis yang mereka pakai adalah sistem berlangganan bulanan. Biaya yang mereka patok untuk jasa chatbot mereka berkisar Rp1,5 juta per bulan. Angka ini bervariasi bergantung pada kebutuhan bisnis klien mereka.

Tahun ini mereka menargetkan 50 klien, UKM maupun korporasi, bergabung dengan Chatbiz. Tak tanggung-tanggung, angka konversi yang mereka ingin capai pun dipasang hingga 15 persen tahun ini.

Target Chatbiz ini tak mustahil untuk dicapai lantaran masa pandemi ini memaksa banyak bisnis beralih membuka lapak daring. Dalam kasus Chatbiz, mereka menyebut jumlah percakapan yang mereka tangani di WhatsApp meningkat hingga 40 persen.

“Namun kita tahu bahwa pekerjaan administratif seperti merekap order, menjawab pertanyaan, cek stok barang, dan lainnya memakan sumber daya yang tidak sedikit,” ungkap Terry.

Sokongan finansial Chatbiz saat ini datang dari angel investor yang mereka peroleh tahun lalu. Terry mengaku pihaknya masih fokus mengembangkan produk dan bisnis mereka sehingga tak begitu mengejar babak pendanaan selanjutnya.

Kedatangan Chatbiz menambah daftar startup yang mencoba peruntungan lewat inovasi chatbot. Kata.ai dan Botika adalah dua nama yang bisa dianggap paling harum dalam menyediakan layanan chatbot di Indonesia.

Melihat Kontribusi Startup melalui AI, Big Data, dan Machine Learning selama Pandemi

Salah satu cara yang terus diupayakan dalam melakukan perlawanan terhadap situasi pandemi ini adalah dengan pemanfaatan teknologi seperti artificial intelligence (AI) serta machine learning untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Mulai dari kebutuhan informasi terkait pandemi hingga bantuan pelayanan kesehatan dapat dinikmati dengan lebih cepat dan mudah melalui pemanfaatan teknologi-teknologi tersebut.

Hal ini yang juga menjadi pembahasan dalam webinar “Behind The Wheel” seri keempat yang diselenggarakan pada Rabu (20/5) lalu. Memasuki seri terakhirnya, webinar ini mengambil tema “AI and Machine Learning to Fight COVID-19”. Seri keempat ini mendatangkan beberapa pembicara seperti Budi Gunadi Sadikin (Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara), Faizal Djoemadi (Chief Digital and Innovation TelkomGroup), Irzan Raditya (CEO Kata.ai), Bachtiar Rifai (CEO Volantis), Shannon Lee (Investment Director MDI SG), Kyle Kling (Head of Investment MDI US), serta dimoderatori oleh Kenneth Li (Managing Partner MDI SG). Melalui tema ini, dibahas bagaimana implementasi AI dan machine learning dalam penanganan virus covid di Indonesia sejauh ini.

Penerapan AI di Indonesia selama Pandemi

Selama masa pandemi, pemanfaatan dari AI cukup berpengaruh terhadap pelayanan kesehatan di Indonesia. Penggunaan  AI, big data, dan machine learning disebut dapat mengubah bentuk pelayanan kesehatan terhadap masyarakat melalui implementasinya pada berbagai use case di industri kesehatan.

Hal ini juga disampaikan oleh Wakil Menteri BUMN, Budi Gunadi Sadikin pada awal sesi webinar ini. Beliau mengatakan bahwa pemanfaatan AI dapat digunakan untuk early disease detection serta sebagai tindakan preventif mulai dari layanan kesehatan hingga penyediaan obat selama masa pandemi ini. Selain itu, beliau juga menyampaikan bahwa situasi krisis belakangan ini juga harus dilihat sisi lainnya sebagai kesempatan untuk mengembangkan inovasi-inovasi baru dan berkolaborasi untuk mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan.

“Many people see this as a danger, but some people should see this as an opportunity” tambahnya.

Bila dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, tingkat adopsi AI di Indonesia sudah termasuk tinggi bahkan juga disebut berada di atas Singapura. Meski begitu, penerapan AI di negara tersebut kurang lebih sama cakupannya seperti di Indonesia yaitu melalui pemanfaatan chat assistant, contact tracing, dan otomatisasi proses pekerjaan dengan menggunakan teknologi tersebut.

It’s going to limit human involvement and help push social distancing so we can perform tasks that workers otherwise can’t do at home” terang Investment Director MDI Singapore, Shannon Lee.

Melihat Potensi Implementasi di berbagai Use Case

Penggunaan AI dan machine learning yang dapat dimanfaatkan di berbagai use case juga diharapkan dapat terus mendorong hadirnya inovasi baru untuk membantu masyarakat khususnya selama masa pandemi ini. Akan tetapi, menurut Chief Digital and Innovation TelkomGroup, Faizal Djoemadi, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengetahui apa masalah atau use case yang ingin diselesaikan terlebih dahulu. Dengan begitu, inovasi yang dihadirkan dapat lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

“Problem atau use case ini bisa datang dari customer, atau datang dari orang yang membutuhkan, atau datang dari kita yang kreatif mencoba menerka-nerka kira-kira apa permasalahan yang bisa diselesaikan” ujar Faizal.

Pemanfaatan di berbagai use case ini juga dilihat oleh Head of Investment MDI US, Kyle Kling. Kyle melihat beberapa implementasi seperti population health analytics, disease management, patient monitoring, dan diagnostics solution sebagai bentuk kontribusi penggunaan AI dan dalam membantu pelayanan kesehatan yang lebih efisien selama masa pandemi ini.

The faster, cheaper, more effective tests can help doctors quickly help patients” tambah Kyle

Kontribusi Startup melalui Inovasi Produknya

Situasi pandemi ini juga dimanfaatkan oleh berbagai startup yang memiliki inovasi produk dengan menggunakan AI dan Big Data untuk memberikan dampak lebih dalam membantu memenuhi kebutuhan masyarakat. Kesempatan berkontribusi ini juga dilihat oleh dua startup yang bergabung dalam platform Indonesia Bergerak, Kata.ai dan Volantis.

Saat ini, Kata.ai tengah fokus mengembangkan platform yang memberikan informasi terkini dalam bentuk chatbot terkait virus corona di Indonesia. CEO Kata.ai, Irzan Raditya, melihat bahwa situasi pandemi ini membawa dua masalah yang harus segera diselesaikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, yaitu masalah kesehatan dan ekonomi sosial.

It’s an opportunity for everyone to collaborate, not about the economic value but the real impact for the society” tambah Irzan.

Bagi CEO Volantis, Bachtiar Rifai, situasi pandemi ini juga dapat memperlihatkan pentingnya data untuk pemberian informasi yang akurat. Sehingga, data-data tersebut dapat membantu masyarakat lebih waspada dan juga dapat membantu pemerintah daerah melakukan prediksi dalam penanganan penyebaran virus di daerahnya.

“Adanya misinformasi antar satu lembaga dengan lembaga lain atau adanya ketidakakuratan data sinkronisasi mungkin membuat masyarakat bingung” tambah Bachtiar.

Selain itu, kontribusi startup-startup ini juga dapat dilihat melalui aplikasi buatan TelkomGroup, Peduli Lindungi, yang menggunakan dashboard dari startup-startup yang tergabung di Indonesia Bergerak. Aplikasi ini memiliki fungsi tracing, tracking, dan fencing yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan pemerintah dalam menanggulangi wabah virus corona di Indonesia.

Pembahasan mengenai pemanfaatan AI ini menjadi penutup dari rangkaian seri webinar Behind The Wheel yang telah berlangsung selama empat pekan. Melalui webinar ini, MDI Ventures dan TelkomGroup membahas banyak topik seputar bagaimana peran startup dalam berkontribusi dan memberikan dampak positif dalam memenuhi kebutuhan masyarakat selama masa pandemi ini.

Disclosure: Artikel ini merupakan bagian dari publikasi seri webinar Behind The Wheel yang diselenggarakan oleh MDI Ventures.

Fineoz Tawarkan Platform Berbasis AI untuk Penilaian Risiko Kredit

Masih besarnya ketimpangan kredit masyarakat unbanked dan underbanked, membutuhkan metode penilaian kredit atau credit scoring yang menyesuaikan profil calon nasabah. Berbagai pemain penilaian kredit di Indonesia terjun menawarkan teknologi yang mereka kembangkan untuk menyelesaikan isu tersebut. Salah satunya adalah Fineoz.

Startup ini didirikan oleh Anis Radianis yang punya ketertarikan kuat di industri ini, berawal dari risetnya tentang pemanfaatan AI untuk pasar unbanked. Fineoz memulai perjalanannya ketika Anis terlibat dalam beberapa penelitian dan proyek yang berkaitan dengan kecerdasan buatan di perusahaan-perusahaan Eropa pada 2015.

Di sana pula, ia mulai pengembangan Fineoz sebelum akhirnya mantap untuk di bawa ke Indonesia pada tahun lalu. “Berdirinya Fineoz di Indonesia dapat mempermudah masyarakat unbanked maupun underbanked untuk dapat menerima pinjaman,” ujarnya kepada DailySocial.

Dia menyatakan konsumen unbanked di Indonesia sudah mencapai lebih dari 100 juta orang atau hampir mencapai 60% dari potensi calon debitur. Oleh karenanya, dia meyakini bahwa pemanfaatan teknologi AI untuk penilaian kredit mampu menjadi solusi. Tanpa teknologi, isu keterbatasan akses pada masyarakat unbanked tidak akan terselesaikan.

CEO dan Founder Fineoz Anis Radianis / Fineoz
CEO dan Founder Fineoz Anis Radianis / Fineoz

Produk dan monetisasi

Fineoz memiliki berbagai produk yang membantu penilaian risiko kredit, di antaranya AiCheck yakni layanan pemeriksaan kredit dengan memvalidasi identitas calon nasabah; AiScore yakni produk penilaian kredit Fineoz berbasis AI untuk menilai risiko kredit calon nasabah; AiCredit yakni produk untuk menentukan harga kredit yang terbaik bagi calon nasabah; dan AiCare yang menyediakan metode pembayaran kredit yang optimal bagi calon nasabah.

Inovasi teranyar yang dirilis Fineoz adalah IdAlternative Score, hasil kerja sama dengan Pefindo Biro Kredit dan telah siap diberlakukan untuk semua lembaga jasa keuangan di Indonesia. Anis bercerita Pefindo memiliki data nonkredit yang banyak, namun data tersebut belum digunakan secara optimal.

Pihak Pefindo mengaku kepada dirinya, ternyata 30% dari masyarakat yang mengajukan pinjaman di jasa keuangan tidak bisa mendapatkan hasil skor dikarenakan belum ada riwayat kredit.

Produk sinergi ini akan menggunakan data nonkredit dalam memproses penilaian risiko kredit. Informasi calon debitur akan diterima langsung melalui saluran digital dari data instansi pemerintah, institusi publik, dan data organisasi. Alhasil instansi keuangan dapat memperluas dengan mudah ruang lingkup calon debitur dan menjangkau masyarakat tanpa harus memiliki riwayat kredit sebelumnya.

“Hubungan kemitraan dengan Pefindo berlangsung dalam bentuk partnership, yang mana kami memberikan technological support (aplikasi) dan juga tenaga ahli. Kami menyediakan data-data alternatif untuk Pefindo. Sedangkan produk IdAlternative Score akan dipasarkan Pefindo yang menargetkan lembaga jasa keuangan agar mereka dapat menjangkau masyarakat unbanked.”

Kemitraan antara kedua belah pihak akan dilanjutkan dalam pengembangan berikutnya. Dalam waktu dekat, IdAlternative Score akan memanfaatkan data telekomunikasi terkemuka untuk komponen penilaian kredit. Lalu pada tahun depan, akan memanfaatkan beberapa daya pembayaran dan transaksi di platform e-commerce.

Untuk monetisasinya, seluruh produk yang dikembangkan Fineoz menggunakan konsep application as services atau pay as you go. Lembaga jasa keuangan hanya membayar sesuai dengan permintaan yang mereka butuhkan. Semakin banyak data yang ditampung Fineoz, semakin banyak kebutuhan dari penilaian kredit. “Dengan itu, proses monetisasinya akan berjalan sesuai dengan kebutuhan.”

Target berikutnya

Anis mengklaim dengan memanfaatkan teknologi AI, penilaian kredit Fineoz hanya butuh waktu kurang dari lima detik dengan tingkat akurasi hingga 85%. Penilaian yang diterima juga lebih mudah untuk dipahami karena menggunakan Algoritma White-Box.

Tidak hanya itu, nilai yang didapatkan juga disesuaikan dengan kemampuan calon nasabah dalam membayar pinjaman. Perusahaan memanfaatkan sumber data yang bervariasi karena telah bekerja sama dengan provider telekomunikasi, seperti Telkom dan Indosat, serta beberapa sumber data alternatif legal di Indonesia. Kemampuan ini diharapkan bisa membawa Fineoz lebih mencolok ketimbang pemain sejenis.

Kemitraannya dengan Pefindo, diharapkan dapat menjadi batu loncatan untuk perjalanan Fineoz di Indonesia. Anis mengatakan perusahaan akan menggaet lebih banyak kemitraan seperti, perusahaan telekomunikasi, e-commerce, dan utilities untuk memperkaya data agar hasil penilaian lebih tajam. Bahkan perusahaan sudah berancang-ancang untuk ekspansi ke Asia Tenggara.

Ia juga menyebutkan bahwa tahun ini perusahaan akan memulai penggalangan pendanaan eksternal seri A yang diharapkan dapat rampung segera. “Pendanaan Fineoz masih dengan bootstrapping, memanfaatkan dana dari teman dan keluarga. Namun, mulai tahun 2020 ini, Fineoz berencana untuk melakukan pendanaan fundraising institusi untuk seri A,” tutupnya.

Mendorong Peranan Artificial Intelligence di Sektor Kesehatan

Teknologi Artificial Intelligence (AI) di bidang kesehatan diharapkan membantu mengurangi kompleksitas penanganan penyebaran virus Covid-19. AI dinilai mampu mengolah data, menganalisis data rontgen dengan lebih cepat, mendeteksi kondisi orang melalui temperatur tubuh, atau melihat penggunaan masker wajah di tempat umum.

“Mengintegrasikan teknologi AI ke dalam industri medis memungkinkan banyak kemudahan, termasuk otomatisasi tugas-tugas dan analisis data pasien dalam jumlah besar demi perawatan kesehatan yang lebih baik, lebih cepat, dan lebih terjangkau. Contohnya medical imaging yang memanfaatkan teknologi computer vision dapat membantu mendeteksi penderita pneumonia dan kanker lebih cepat dan akurat,” kata CEO Kata.AI Irzan Raditya.

Menurut Chief Research & Product Innovation Nodeflux Dr. Adhiguna Mahendra, AI telah memainkan peran yang sangat penting dalam perawatan kesehatan dan dalam satu dekade akan secara fundamental membentuk kembali prospek perawatan kesehatan. Hal tersebut dilihat dari penerapan AI untuk diagnosis gambar medis otomatis, diagnosis prediktif, dan telemedicine.

“Pandemi Covid-19 ini memberi insentif kepada para ilmuwan untuk berlomba-lomba menemukan vaksin baru yang kemajuan di bidang ini juga akan memengaruhi penelitian pengobatan pembelajaran lebih mendalam pada umumnya,” kata Adhiguna.

Hal senada diungkapkan CEO DycodeX Andri Yadi. Menurutnya, siapa pun harus berkontribusi melawan Covid-19, termasuk startup teknologi seperti DycodeX.

Penerapan AI di sektor kesehatan Indonesia

Di Indonesia, fungsi AI masih terbatas ke deteksi dan monitoring. Belum terlalu advance, seperti di negara maju. Startup Qure.ai yang berbasis di Inggris, melalui qXR system yang dikembangkannya, mampu menyoroti kelainan paru-paru dalam pemindaian sinar-X dada dan menjelaskan logika di balik evaluasi risiko penyebaran virus Covid-19.

Ada pula startup yang berbasis di Seoul, Korea Selatan, bernama Lunit yang menghadirkan produk serupa. Produk screening paru-paru Qure.ai dan Lunit telah disertifikasi badan kesehatan dan keselamatan Uni Eropa sebelum krisis. Alat ini telah diadaptasi agar semakin bermanfaat ketika Covid-19.

Meskipun belum banyak menyentuh layanan kesehatan, penerapan teknologi AI di Indonesia paling tidak mampu mengatasi masalah mendasar terkait social distancing dan deteksi awal virus Covid-19.

Teknologi FaceMask detection Nodeflux
Teknologi FaceMask Detection Alert milik Nodeflux

Teknologi terkini yang dihadirkan Nodeflux adalah FaceMask Detection Alert. Melalui teknologi ini, aktivitas masyarakat di ruang publik mampu dikenali lebih detail. Nodeflux menggunakan AI untuk mengotomasi proses pemantauan dengan deteksi wajah tanpa atau menggunakan masker. Mekanisme ini dilengkapi alert system sebagai pemberitahuan cepat bagi petugas ketika subyek tanpa masker ditemukan berlalu-lalang.

Semua data tersebut dapat terkoneksi dan terpusat melalui layar Monitoring Dashboard & Alert System.

“Pada dasarnya AI dapat membantu kami tidak hanya dalam pengambilan keputusan, tetapi juga dalam melakukan semacam tindakan otomatis. Tentu saja ini akan mengubah lanskap penyelesaian masalah selama kondisi pandemi, di mana kita diharuskan untuk membuat keputusan cepat tentang kondisi kesehatan masyarakat, mobilitas publik, dan kepatuhan terhadap peraturan,” kata Adhiguna.

Pemanfaatan AI dan IoT di bidang kesehatan juga dikembangkan DycodeX. Perusahaan saat ini mengembangkan teknologi yang mampu melakukan proses screening suhu badan orang. Dalam waktu sekitar 2 detik, alat yang dikembangkan tersebut diklaim mampu melihat apakah orang tersebut memiliki demam atau tidak.

BodyThermal Screening System milik DycodeX
Body Thermal Screening System / DycodeX

Tim DycodeX melihat adanya potensi teknologi ini bisa diterapkan di kantor-kantor dan bandara. Untuk kisaran harga jual, DycodeX menyebutkan produk ini berharga di bawah Rp10 juta. Ada banyak fasilitas, industri, dan bangunan yang perlu tetap beroperasi selama krisis ini dan solusi yang dihadirkan diharapkan dapat berkontribusi menjaga semua orang tetap aman dan sehat.

Berbeda dengan alat deteksi yang banyak digunakan oleh kalangan umum, alat ini mampu melihat suhu badan tanpa menyentuh bagian tubuh dari orang yang diperiksa. Mereka yang tidak menggunakan masker wajah juga bisa dideteksi.

“Kami percaya bahwa solusi seperti kami akan terus bisa diadopsi ketika dunia menjadi lebih sadar akan pentingnya teknologi untuk pencegahan dan antisipasi terhadap masalah potensial terkait kesehatan. Demam adalah salah satu respon tubuh kita yang terlihat, terkait dengan masalah kesehatan. Mendeteksi potensi demam dapat mencegah banyak masalah terkait. Kami berharap teknologi semacam ini akan dapat mengantisipasi dan melindungi terhadap kemungkinan wabah di masa depan,” kata Andri.

Masa depan pemanfaatan AI

Meskipun sebelum pandemi penerapan teknologi AI sudah mulai banyak dilancarkan berbagai industri, bisa dipastikan usai pandemi penelitian dan pengaplikasian AI akan lebih banyak dilakukan.

Di bidang kesehatan, penerapan teknologi AI dapat membantu untuk diagnosis, prognosis dan pengobatan. Untuk tujuan diagnosis dan prognosis misalnya, x-ray dan CT (Computed Tomography) dari gambar paru-paru di berbagai kondisi dapat digunakan untuk meningkatkan model deep learning yang menjadi bahan diagnosis Covid-19.

“Jadi aplikasi terkait prognosis, seperti dapat memperkirakan siapa yang akan terkena dampak lebih parah dapat membantu dalam perencanaan alokasi dan pemanfaatan sumber daya medis. Ini tentunya bisa diterapkan kepada penyakit lain,” kata Adhiguna.

Irzan menambahkan, “Saat ini, pengadopsian teknologi AI dalam industri medis di Indonesia sebagai pendukung penyedia layanan medis dalam membuat keputusan akan lebih tepat dan bermanfaat. Dengan demikian, dokter tetap berperan sebagai pengambil keputusan yang final.”

Jauh sebelum pandemi, AI sudah diakui eksistensinya, karena berpotensi berkontribusi pada penemuan obat baru. Di kasus Covid-19, sejumlah pusat penelitian fokus mencari vaksin melawan Covid-19. AI dapat mempercepat proses penemuan obat dan vaksin baru dengan memprediksi dan memodelkan struktur informasi virus yang dapat berguna dalam mengembangkan obat baru.

Namun demikian, persoalan lain yang perlu dipertimbangkan adalah regulasi. Teknologi AI akan sulit dikembangkan lebih lanjut tanpa persetujuan regulator terkait.

“Kesehatan adalah area di mana peraturannya sangat ketat dan tidak fleksibel. Ini dibenarkan karena mereka berurusan dengan kehidupan manusia, tetapi pada saat yang sama, sejumlah besar pengujian, sertifikasi dan panel akan menyebabkan inovasi dalam AI untuk perawatan kesehatan lebih lama, lebih rumit dan sulit untuk dimasukkan ke dalam aplikasi dunia nyata,” kata Adhiguna.

Tantangan lain, menurut Irzan, adalah ketidakseimbangan antara jumlah riset AI dengan kebutuhan bisnis. Banyak riset AI yang sulit dikomersialisasikan, karena riset tersebut belum tepat guna.

“Menurut saya, kolaborasi yang lebih selaras antara lembaga riset atau perguruan tinggi dengan pelaku bisnis berperan penting agar riset-riset AI dapat dimanfaatkan demi kebutuhan bisnis,” kata Irzan.

Ia menambahkan, dalam jangka waktu 10-15 tahun ke depan teknologi AI akan berkembang pesat dan dapat membantu industri medis dengan lebih signifikan, terutama jika data-data rekam medis digital dan medical imaging dapat terintegrasi. Teknologi AI tidak hanya hadir sebagai fasilitas pelengkap untuk meningkatkan produktivitas tenaga medis, tetapi juga berperan sebagai fasilitas pencegahan penyakit.

“AI akan tetap hadir dengan inovasi dan kemajuan logis dari komputasi dan teknologi secara umum. Hal tersebut nantinya tidak akan terlepas dari kehidupan kita sehari-hari dan akan terus diperbaiki, terlepas dari adanya pandemi ini atau tidak,” kata Andri.

Prixa Expands Digital Health Service, Targeting B2B and B2G

A startup that provides technology for health industry, Prixa, is targeting more B2B and B2G collaborations in order to achieve its vision to democratize technology in this sector. Currently, the company has partnered up with other industries, such as Alfa Group, DAV, We+, and the latest one os Generali Insurance.

Prixa’s Co-founder & CEO, James Roring revealed, the service was build to humanize the digital health service through data and technology. Therefore, the B2B service will continue to be accessible for more people can use kinds of services on Prixa.

It is said in the insurance sector, Prixa has served more than two million policyholders through cooperation with a number of insurance companies. Furthermore, Prixa is claimed to have contributed to increasing partner efficiency by maximizing the integration of the use of the Prixa symptom check system and telecommunications features that can reduce spending by 30% -40% for outpatient claims only.

“To further improve efficiency, meet the needs of partners and users, Prixa is developing additional features for our platform to be able to serve comprehensive health services,” he told DailySocial.

Together with Generali Insurance, Prixa is the AI ​​technology partner for Doctor Leo’s features in the iClick Gen application. This technology is used by Generali who wants to run the tele-consulting and other tele-health services more efficiently. For example, checking for symptoms and detecting more than 600 types of diseases.

Generali Insurance customers can consult with live chat, voice calls, and video calls for free via smartphone devices. It is hoped that Doctor Leo can reduce the burden of medical staff in detecting early symptoms of a disease, especially related to Covid-19.

“We comply with all government regulations regarding data privacy and the use of personal information. In addition, we regularly undergo penetration testing to identify vulnerabilities that can be exploited in a cyber-attack scenario.”

Partnership with the government

Aside from B2B partners, Prixa also has a B2G partnership with the Government of West Java Province. The company is an asset and one of the early filters for the detection and countermeasures for the Covid-19 pandemic for 50 million local residents.

Further explained, the Prixa system analyzes the answers given by users based on complaints and related questions, as will be asked by doctors. Then, the Prixa system processes these answers and provides the results of possible conditions based on the information submitted.

“Ours is an evidence-based analysis system, where our team of doctors studies the results of research and research publications, utilizes the results, and combines them with guidelines set by WHO and the Ministry of Health to build a comprehensive tool for assessing symptoms and risks.”

In order to fasten the expansion plan, James revealed that his team is considering raising new funding at the end of this year. Without further details, Prixa has been supported by strategic partners in the Health and technology sector as its investors.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian