Eten Technologies Fokus Hadirkan Platform Manajemen Bisnis F&B Skala Kecil-Menengah

Industri F&B di Indonesia sedang mengalami pertumbuhan yang luar biasa, didorong oleh kombinasi berbagai faktor seperti kelas menengah yang berkembang pesat, perubahan preferensi konsumen, dan budaya kuliner yang makin hidup.

Salah satu platform yang ingin memberikan solusi kepada bisnis F&B di Indonesia adalah Eten Technologies. Startup ini didirikan dengan tujuan mengatasi permasalahan yang dialami oleh para pengusaha F&B, terutama UMKM. Platform digital ini mencoba merevolusi cara bisnis F&B beroperasi, menghubungkan konsumen, pemasok, dan pengusaha dalam ekosistem yang seamless.

Kepada DailySocial.id, Co-founder & CEO Eten Technologies Debbie Winardi mengungkapkan alasan diluncurkannya startup tersebut bersama Co-founder Fakhri Guniar.

Perluas kesadaran tentang pengelolaan inventori

Tercatat saat ini sekitar 80% usaha F&B gagal dalam jangka waktu kurang dari 5 tahun karena masalah profitabilitas. Salah satu penyebab utamanya adalah kurangnya efisiensi dan pengetahuan tentang pengelolaan inventori. Banyak orang melihat keuntungan usaha F&B sangat besar, karena mereka berasumsi jika mereka menjual nasi goreng, maka mereka hanya perlu membeli nasi, daging ayam, dan bumbu dapur.

Menurut pantauan Eten Technologies, masih banyak komponen lainnya yang harus dipertimbangkan. Misalkan modal mereka Rp10.000 dan mereka jual dengan harga Rp20.000, maka mereka akan untung Rp10.000 atau 50%. Yang seringkali dilupakan adalah biaya lain-lain seperti gas, listrik, tenaga kerja, pemasaran, biaya jasa pengantaran online dan lainnya.

“Keuntungan bersih rata-rata usaha F&B sebenarnya hanya 5%-15%. Dengan kurangnya efisiensi, keuntungan bersih ini bisa berkurang sehingga usaha F&B mengalami kerugian. Ada beberapa usaha F&B yang bahkan mengalami lebih banyak kerugian walaupun penjualannya bertambah,” kata Debbie.

Melihat fakta tersebut, Eten Technologies meyakini bahwa efisiensi pengaturan inventori adalah kunci untuk profitabilitas dan bertujuan untuk menyediakan solusi supply chain management untuk bisnis F&B skala kecil dan menengah. Perusahaan mengklaim mampu menangani 60% dari Profit and Loss (P&L) bisnis F&B dan bertujuan untuk meningkatkan keuntungan hingga 2-3x lipat.

“Kami membantu bisnis F&B untuk memonitor status, perpindahan, dan penggunaan ratusan inventori bahan baku yang dimiliki oleh bisnis F&B sehingga mereka dapat mengetahui area-area yang kurang efisien,” kata Debbie.

Ditambahkan olehnya, saat ini kebanyakan bisnis F&B hanya menggunakan spreadsheet, kertas catatan, dan aplikasi chat untuk mengatur inventori mereka. Akibatnya, sulit bagi mereka untuk mengetahui status inventori secara real time dan juga kebutuhan inventori mereka.

Persoalan lain yang juga kerap terjadi adalah, seringkali terjadi staf kelupaan untuk memesan bahan baku sehingga terjadi out of stock. Akibatnya mereka tidak dapat menjual menu yang menggunakan bahan tersebut.

Dengan memanfaatkan teknologi Eten, mereka akan mengetahui bahan-bahan yang sudah hampir habis dan mendapatkan rekomendasi jumlah yang harus mereka pesan secara otomatis tanpa perlu menghitung secara manual lagi. Eten juga dapat membantu untuk memonitor perpindahan dan penggunaan bahan baku.

Misalnya saja untuk bisnis F&B yang memiliki beberapa outlet, Eten akan membantu mereka untuk memonitor apakah bahan baku sudah dikirim dari pusat ke outlet dan status inventori akan diperbarui secara otomatis.

“Pelaku bisnis F&B juga dapat mengetahui nilai inventori yang mereka miliki dengan mudah sehingga mereka dapat melakukan analisa untuk mengoptimalkan High Pressure Processing,” kata Debbie.

Fokus mendapatkan product-market fit

Secara khusus Eten Technologies memiliki filosofi produk yaitu sederhana dan spesifik. Sederhana karena Eten dibuat dengan mempertimbangkan pekerja lapangan sehingga siapa saja harus dapat menggunakan platform tersebut dengan mudah. Spesifik karena industri F&B memiliki kebutuhan berbeda dengan industri barang jadi lainnya, sehingga solusinya juga harus spesifik.

“Misalnya, jika kita menjual sampo 1 botol, stok di gudang akan berkurang 1 botol. Namun di F&B, menjual 1 porsi ayam geprek tidak selalu berarti hanya 1 porsi daging ayam mentah yang berkurang di dapur. Jika ayamnya hangus, maka menjual 1 porsi ayam geprek sama dengan mengurangi 2 porsi daging ayam mentah di dapur. Oleh sebab itu, platform general tidak selalu dapat menjawab permasalahan di F&B,” kata Debbie.

Dalam jangka waktu singkat, Eten Technologies sudah berhasil mendapatkan Letters of Intent dari 40 lebih brand dengan lebih dari 500 lokasi. Saat ini Eten Technologies juga telah didukung oleh dua program akselerator yaitu Antler dan Iterative, serta mendapatkan dukungan pendanaan pre-seed di akhir 2022 dan awal 2023.

“Kami sudah menyelesaikan Minimum Usable Product dan saat ini kami sedang fokus untuk mendapatkan Product-Market Fit sembari mendapatkan lebih banyak early adopters,” kata Debbie.

Pemain yang menawarkan solusi untuk industri F&B saat ini, kebanyakan masih fokus di front-end atau order management, namun Eten Technologies akan fokus ke back-end atau supply chain untuk saat ini. Platfom Eten Technologies sudah bisa diakses oleh pengguna yang sudah terdaftar melalui situs. Eten dapat digunakan di seluruh Indonesia dan akan segera tersedia di Google Play Store.

Industri F&B menyumbang lebih dari sepertiga GDP non-migas Indonesia dan diprediksi untuk terus berkembang di tahun-tahun mendatang. Untuk lanskap F&B tech sendiri, Indonesia masih berada di tahap awal karena kebanyakan bisnis F&B masih melakukan operasional secara manual.

Platform yang menawarkan layanan serupa di antaranya adalah startup SaaS Malaysia Food Market Hub (FMH) penyedia platform yang menyederhanakan dan mengautomatisasi operasi back-end untuk bisnis makanan dan minuman (F&B). Platform lainnya yaitu Esensi Solusi Buana (ESB) yaitu penyedia operasional bisnis end-to-end di industri F&B yang terdepan.

Antler Akan Berinvestasi ke 30 Startup Indonesia Tahun Ini

Startup builder sekaligus VC tahap awal Antler mengungkapkan komitmennya untuk meningkatkan investasi di Indonesia hingga 30 perusahaan sepanjang tahun ini. Adapun sejak kehadirannya di Indonesia pada 2021, berdasarkan data di situs web mereka telah mendanai 25 startup, mayoritas berasal dari e-commerce, fintech, dan edutech, serta menariknya seperempat dari startup tersebut dipimpin oleh pendiri perempuan.

Berikut portofolio startup Indonesia yang telah didanai Antler, mengutip dari situs Antler:

Academix (edtech) Geekzwolf (web3) Refundway (fintech)
Akar (agritech) Habaku (SaaS) Secha (proptech)
Bling (e-commerce) Healthpro (healthtech) Sesama Care (healthtech)
Blink (fintech) Lister (edtech) Solutiv (fintech)
Car Clicks (e-commerce) Paireds (security) Teroka (e-commerce)
CareNow+ (healthtech) Pin’J (fintech) Truclimate (cleantech)
Eduku (edtech) Qalboo (healthtech) Ziwa (healthtech)
Envio (e-logisctic) Rassa (e-commerce) Eten (SaaS)
Reach! Finance (fintech)

Dalam situs juga dipaparkan pendanaan untuk startup yang memiliki bisnis di Indonesia, namun tercatat di Antler Singapura. Beberapa namanya adalah Base (ritel), Brick (fintech), Cove (proptech), Sampingan (rebrand jadi Staffinc), dan Ituloh! (consumer-tech).

Lebih lanjut dalam laporan tahunan global Antler berjudul “A Window into Progress”, diungkapkan bahwa Antler telah menerima lebih dari 2.910 pendiri startup yang mengajukan aplikasi pada 2022. Angka tersebut melonjak lebih dari 2.500 aplikasi pada 2021. Jumlah ini mencerminkan Indonesia sebagai pasar digital yang berkembang cepat dan tempat berkembang biaknya inovasi dan kewirausahaan.

“Sebagai investor yang mendukung para pendiri startup paling bersemangat di dunia dari hari pertama hingga sukses, kami mendukung para pendiri startup untuk meluncurkan dan menskalakan generasi berikutnya dari perusahaan yang hebat untuk menangani beberapa masalah yang paling mendesak di zaman kita. Dengan melakukan itu, kami memajukan masyarakat dan membuat kemajuan tak terelakan,” ujar Co-founder dan Managing Partner Asia Antler Jussi Salovaara dalam keterangan resmi, Rabu (24/5).

Dalam cakupan regional, Antler menerima lebih dari 9 ribu aplikasi yang dikirimkan oleh para founder ke program pendiri. Angka tersebut naik dari sebelumnya sebanyak 7 ribu aplikasi di 2021. Menurut Salovaara, pertumbuhan ini mencerminkan Asia Tenggara sebagai pasar digital yang berkembang pesat dan peluang untuk berinovasi, sekaligus menempatkan Antler sebagai tujuan pilihan bagi para founder untuk meluncurkan startup mereka.

Dari aplikasi tersebut, Antler mendanai 72 perusahaan, mulai dari e-commerce, SaaS, fintech, dan logistik, yang tersebar di Singapura, Indonesia, dan Vietnam. Startup tersebut akan mendapatkan keunggulan kompetitif untuk berkembang di kawasan ini dan sekitarnya, memanfaatkan kehadiran global Antler di 25 kota di seluruh dunia.

Sebagai platform global untuk penskalaan dan modal, Antler telah membuka akses ke putaran penggalangan dana berikutnya oleh perusahaan VC tingkat satu seperti Sequoia, Target Global, Golden Gate Ventures, Y Combinator, 500 Global, East Ventures, dan lainnya. Hasilnya, para pendiri Antler terus mengumpulkan lebih dari $400 juta setelah mendirikan startup mereka bersama Antler.

Dalam program inkubasinya, Antler membaginya menjadi dua fase. Fase 1 didedikasikan untuk menemukan co-founder, memvalidasi ide, dan mengembangkan bisnis. Fase 2 adalah jalur akselerasi, para founder akan menggunakan pendanaan Antler untuk mengeksekusi ide, memasukkan pelanggan, dan mendapatkan daya tarik untuk akhirnya meningkatkan putaran awal.

Sepanjang program yang berlangsung selama enam bulan ini, Antler menawarkan ruang kantor, mentor pribadi, presentasi dengan pembicara eksternal, dan koneksi ke jaringan mentor global. Jika dalam Fase 2 startup memperoleh pendanaan dari Antler, mereka akan mendapat dana mulai dari $125 ribu untuk 10% saham di perusahaan.

Apabila dalam perkembangan startup terus berkembang pesat, Antler juga membuka opsi untuk terus mendukung hingga putaran seri C. Cohort terbaru untuk Indonesia akan segera di buka pada awal Juni 2023 ini.

Base Mendapat Pendanaan Seri A 94 Miliar Rupiah Dipimpin Rakuten Ventures

Startup DTC untuk produk perawatan dan wellness “Base” mendapat pendanaan seri A sebesar $6 juta atau sekitar 94,3 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Rakuten Ventures, diikuti investor terdahulu termasuk Antler, East Ventures, Skystar Capital, dan Pegasus Tech Ventures.

Sebelumnya, Base memperoleh pendanaan pra-seri A yang dipimpin oleh Skystar Capital dengan partisipasi East Ventures, Antler, iSeed Southeast Asia, Pegasus Tech Ventures, XA Network, dan angel investor. 

Dalam keterangan resminya, Associate Rakuten Ventures Regina Ho mengatakan, selama ini industri produk perawatan kecantikan di Asia Tenggara masih didominasi oleh merek-merek asing. Selain itu, produknya dijual dengan harga di atas pendapatan rata-rata konsumen.

“Hal ini membuat kami bersemangat dengan kemampuan Base untuk membalikkan ekspektasi konsumen tradisional bahwa produk berkualitas tinggi tidak harus mahal. Kami harap bisa mendukung perjalanan Base untuk mengisi ruang kosong perawatan pribadi yang berkembang di Asia Tenggara,” ucap Regina dalam keterangan resminya,

Base didirikan oleh Yaumi Fauziah Sugiharta dan Ratih Permata Sari pada 2019 dengan operasi awal melalui strategi Direct-to-Consumer (D2C). Kemudian, Base memperluas distribusi ke online dan offline (O2O) untuk menjangkau kota-kota regional. Kini, Base telah melayani pengiriman produk ke 34 provinsi di Indonesia.

Salah satu misi Base adalah memperjuangkan keragaman dan inklusivitas kebutuhan kecantikan masyarakat Indonesia dengan menawarkan perawatan kulit berbahan vegan dan menghadirkan fitur “Smart Skin Test”.

Partner di East Ventures Melisa Irene menambahkan, “Sejak awal kami percaya dengan inovasi Base. Keahlian dan pendekatan lokalnya menghasikan produk perawatan kulit berkualitas tinggi dan berkelanjutan dalam memenuhipermintaan pasar. Kami menantikan lebih banyak inovasi dan pertumbuhan yang akan dihadirkan oleh Yaumi, Ratih, dan tim Base.”

Produk berbasis bioteknologi

Co-founder & CEO Base Yaumi Fauziah Sugiharta mengungkap bahwa pendanaan ini akan digunakan untuk mengembangkan lini produk baru, di antaranya kosmetik, perawatan tubuh dan rambut, edible wellness, dan fragrance. Selain itu, Base berencana berinvestasi lebih lanjut pada inovasi dan pengembangan produk. Salah satunya menggabungkan bioteknologi (biotech) ke dalam metode pengembangan lini produk vegan secara kreatif.

Hal ini sejalan dengan profil konsumen Base yang teridentifikasi sebagai gen Z dan milenial; segmen yang memprioritaskan produk sadar lingkungan, mudah diakses, dan berkelanjutan. Melalui pengembangan produk yang mendalam, pihaknya dapat memperluas pertumbuhan pelanggan.

Mengacu studi Euromonitor, industri kecantikan mengalami pertumbuhan signifikan dibandingkan industri lain selama masa pandemi. Adapun, nilai pasarnya diproyeksikan mencapai $10 miliar pada 2025 yang didorong oleh produk kategori perawatan rambut, tubuh, dan kulit, dengan pertumbuhan tahunan sekitar 6%. Dengan potensi pasar ini, Base memiliki posisi tepat untuk menjadi pemain terkemuka. Base mengklaim telah mengalami pertumbuhan pendapatan 10x lipat dalam satu tahun terakhir.

Dalam kesempatan ini, Base juga mengumumkan Muhammad Cipta Suhada yang akan mengisi posisi Direktur People & Culture. Sebelumnya, Cipta sempat berkarier di sejumlah perusahaan teknologi terkemuka, seperti Gojek dan LinkAja. Pihaknya berupaya mendefinisikan kembali bagaimana dunia memandang standar kecantikan sehingga setiap orang dapat merasa berdaya dan bangga dengan keunikan yang dimiliki.

“Ini berlaku juga di Base di mana kami mengantisipasi orang-orang untuk mengeluarkan potensi mereka dan melakukan yang mereka sukai. Seiring pertumbuhan perusahaan, kami senang menyambut lebih banyak anggota kepemimpinan senior untuk meningkatkan jalan base sebagai organisasi kelas dunia yang dapat dibanggakan generasi kami.” Tutupnya.

Upaya Monetisasi Karya Dalam Negeri di Platform “Creator Economy”

Terhitung hampir lima miliar orang atau setara 62,5 persen dari total populasi di dunia mengakses internet per Januari 2022. Dari jumlah tersebut, sebanyak 92,1 persen di antaranya online dengan perangkat mobile. Rata-rata masyarakat global menghabiskan waktu hingga tujuh jam setiap harinya untuk online.

Tak terbayang berapa banyak konten yang telah kita baca, tonton, atau lihat di perangkat mobile selama dua tahun belakangan. Situasi Covid-19 yang belum juga usai memaksa orang untuk menghabiskan banyak waktu di rumah, membatasi mobilitas kerja dan sekolah. Alhasil, kesempatan untuk mengakses internet semakin besar.

Di Indonesia, ledakan konten juga terjadi. Orang-orang membuat konten, mengeksplorasi ide, dan semakin kreatif untuk memonetisasi karyanya. Bahkan ladang subur industri creator economy memicu banyak kelahiran platform apresiasi karya dalam negeri, membidik pasar ekonomi kreatif yang selama ini belum tergarap dengan maksimal.

Saat ini belum ada laporan komprehensif mengenai creator economy di Indonesia. Kendati begitu, pertumbuhan ekosistem dan infrastruktur digital di Tanah Air mengindikasikan potensi pasar creator economy yang belum tergarap dengan optimal. Pemerintah pun tengah mendorong industri ekonomi kreatif sebgai salah satu penggerak ekonomi di masa depan.

DataReportal per Januari 2022 mencatat jumlah pengguna internet Indonesia telah menyentuh angka 204,7 juta orang atau setara 73,7 persen dari total populasi. Kemudian, jumlah pengguna media sosial mencapai 191,4 juta atau 68,9 persen dari total populasi.

Untuk mendapatkan gambaran mengenai lanskap industri creator economy, model monetisasi, dan proyeksi bisnis, DailySocial berbincang dengan Founder KaryaKarsa Ario Tamat, Founder Storial Brilliant Yotenega, serta Founder Famous All Stars Arief Rakhmadani dan Co-CEO Famous All Stars Alex Wijaya.

Mengenal creator economy

Creator economy didefinisikan sebagai sebuah aktivitas yang dilakukan kreator untuk memperoleh penghasilan dengan bantuan teknologi. Sementara melansir laporan CBInsight, creator economy merujuk pada berbagai kegiatan bisnis oleh kreator independen, dari vlogger, influencer, hingga writer, untuk memonetisasi karya dan kemampuannya.

Keberadaan platform creator economy memungkinkan mereka untuk berkreasi dengan dukungan tools atau fitur analitik yang tersedia di dalamnya. Dengan tools, kreator manapun, termasuk yang punya jumlah follower kecil, bukan akun bercentang biru (verified), atau yang baru berdiri dapat memonetisasi karya mereka sendiri secara langsung.

Saat ini, industri creator economy global telah menyentuh angka $104,2 miliar. Pertumbuhan ini tak lepas dari keterlibat investor yang mengucurkan investasi terhadap bisnis creator economy. Di sepanjang 2021, investor di dunia telah menyuntik sebesar $1,3 miliar ke platform creator economy.

Di Indonesia, creator economy masuk dalam ekonomi kreatif yang di dalamnya juga membawa banyak subsektor. Menurut data Kemenparekraf, subsektor ini terdiri dari game developer, seni kriya, desain interior, musik, seni rupa, desain produk, fashion, kuliner, film, animasi, video, fotografi, desain komunikasi visual, televisi, radio, arsitektur, periklanan, seni pertunjukan, penerbitan, dan aplikasi.

Tantangan dan model monetisasi

Siapa saja dapat menjadi kreator. Namun, tidak semua mampu bertahan untuk tetap berkarya dan menghasilkan. Berbeda dengan situasi sekarang, satu dekade lalu–meski sudah ada internet–harga smartphone dan paket data masih mahal. Cakupan internet masih terbatas dan belum sampai ke wilayah pedesaan.

Jika Anda hobi menulis fiksi, menggambar, atau bermain game, belum tentu semua itu dapat menghasilkan uang. Kreator-kreator yang sudah punya nama pun mengalami kesulitan untuk produktif dan tak bisa sepenuhnya mengandalkan penghasilan dari karya.

Ario Tamat dan Brilliant Yotenega atau Ega menilai upaya monetisasi karya dan kestabilan pendapatan memang menjadi isu usang yang kerap dialami oleh para kreator, misalnya komikus, penulis, musisi, atau pelukis. Jauh sebelum ada teknologi, ada jalan panjang yang harus dilakukan kreator untuk memasarkan karyanya.

Ario melihat banyak kasus di mana kreator tidak bisa produktif berkarya karena tidak punya pemasukan tetap. Dari sini, ia melihat ada disconnect antara kreator dan pembeli konten karena tidak ada jalur diskusi, dan model pemasaran dulu masih tradisional. Meski sudah masuk era digital pun, belum ada platform yang menyasar kreator langsung  di Indonesia. Bisa jadi karena kategori kreator masih sangat luas, dan belum ada definisi mutlak tentang apa yang mereka lakukan dan cara monetisasinya.

Yotenega atau karib disapa Ega juga merasakan kegelisahan yang sama. Pria yang berkecimpung di industri penerbitan ini mencontohkan proses panjang penulis yang ingin menerbitkan bukunya. Asumsinya ada naskah lolos seleksi, penulis perlu waktu enam bulan hingga satu tahun bagi penerbit untuk melakukan penyuntingan, produksi, dan distribusi. Royalti yang diterima pun umumnya berkisar 10%-15%, itu belum termasuk potongan pajak.

Ini belum lagi bicara kreator di segmen lain yang punya isu serupa, seperti musisi atau pelukis. Faktor-faktor tersebut membuat kreator sulit berkarya karena tidak ada kestabilan pendapatan.

Teknologi memang membantu memotong rantai panjang ini. Kita sudah merasakan bagaimana media sosial menghubungkan kreator dengan penggemarnya, menjadi wadah untuk mempromosikan karyanya. YouTube, Instagram, dan Twitter memampukan siapapun untuk terpapar dengan kreator atau karya yang belum pernah ditemui pengguna sebelumnya. Sampai akhirnya YouTube memberlakukan adsense, Instagram dengan influencer tools, dan TikTok lewat marketplace. Namun, sejatinya platform-platform ini sejak awal dirancang sebagai media sosial, bukan platform monetisasi karya.

Sebelum ada model Direct-to-Consumer (DTC), kreator mengandalkan sponsorship dan iklan dari pemilik brand sebagai salah satu revenue stream kreator. Namun, seiring berkembangnya teknologi dan ekosistem digital, pelaku startup mengembangkan platform DTC yang membantu kreator memonetisasi langsung dari fans/audiens/follower. Bentuknya bisa dalam bentuk penjualan karya atau donasi.

Dalam konteks pasar Indonesia, platform-platform apresiasi konten lokal memang baru muncul beberapa tahun belakangan untuk mengisi pasar ekonomi kreatif yang belum tergarap optimal. Ini menandakan sebuah sinyal manis bahwa pasar Indonesia mengapresiasi peran platform lokal sekaligus karya-karya yang layak untuk dibeli.

Dari berbagai sumber yang kami rangkum, ada beberapa platform apresiasi karya yang cukup mendapat perhatian penikmat konten di Indonesia, di antaranya ada Storial, KaryaKarsa, Saweria, GoPlay, Noice, dan Trakteer. Format karya yang dipasarkan beragam, mulai dari gambar, cerita fiksi, lukisan, hingga konten livestreaming. Ini baru model berbasis DTC.

Ada pula platform Allstars yangmenghubungkan pemilik brand, baik dari skala kecil sampai skala besar dengan influencer untuk mempromosikan produk/jasa sebuah brand melalui kreasinya.

Diolah dari berbagai sumber / DailySocial

Untuk konten yang bersifat live streaming, Saweria memungkinkan kita untuk memberikan dukungan finansial dalam bentuk tip. GoPlay juga salah satunya, kreator dapat menerima dukungan finansial dengan konsep virtual gift, yang juga dapat dicairkan secara instan ke rekening bank atau dompet digital.

Adapun, Storial memakai skema penjualan karya satuan (ecer) agar bisa lebih terjangkau bagi pembaca dan pembaca hanya membeli bab cerita yang diinginkan. Per bab (chapter) dapat dibeli minimal Rp2.000 hingga Rp10.000. Harga juga ditentukan sesuai kesepakatan dengan penulis. “Skema ini menguntungkan kreator atau penulis karena mereka akan mendapat pemasukan sebanyak 35%-50% dari bab yang terjual. Porsi ini terbilang jauh lebih besar dibandingkan yang diterima dari penjualan buku fisik,” jelas Ega.

Sementara, Karyakarsa memberikan 90% pembelian karya ke kantong kreator, di mana 10% diambil untuk biaya platform. KaryaKarsa juga menampilkan fitur Simulasi Pendapatan di mana kreator dapat memperhitungkan harga, jumlah follower, berapa persen [audiens] yang akan dikonversi, hingga seberapa produktif dalam sebulan.

Ario mencontohkan, sekitar 1% dari 10.000 follower yang dimiliki kreator, dapat dikonversi untuk menjadi pembeli konten, yakni 100 yang dikalikan dengan Rp10ribu (asumsi harga per bab). Artinya, kreator bisa meraup Rp1 juta untuk satu karya. Apabila ingin meningkatkan pendapatan, kreator harus produktif menelurkan karya.

“Di sini, kreator bebas pakai sesuai kebutuhan, ini menjadi keunggulan karena mereka bisa mengatur pola kreasi, tanpa ada deadline dari publisher. Jadi kami tidak terlibat di situ. HAKI 100% dimiliki kreator. Proses kreatif sepenuhnya oleh kreator. Kami berupaya edukasi, jika ingin monetisasi karya, harus pikirkan metrik di atas. Masalah bagus atau tidak, itu relatif tergantung audiens,” tutur Ario.

Sebagai perbandingan pada platform luar, YouTube menjadi salah satu platform yang menjadi kiblat kreator untuk momentisasi karya. Kebijakannya ketat, kreator harus memiliki lebih dari 4.000 jam tonton publik yang valid dalam 12 bulan terakhir dan memiliki lebih dari 1.000 pelanggan.

Webtoon memasang ad revenue sharing bagi kreator dengan sejumlah ketentuan. Di awal mungkin yang diterima belum seberapa, tetapi kreator punya kesempatan meningkatkan pemasukan sejalan dengan meningkatnya fanbase. Sumber pendapatan lain dapat diterima lewat merch, buku (apabila diterbitkan secara fisik), dan lewat dukungan Patreon.

Sementara, Patreon memakai sistem keanggotan (membership) yang memampukan kreator untuk menghasilkan uang dari fans maupun supporter. Beberapa contoh model bisnis Patreon di antaranya fan relationship model (video chat atau personalized message), community model, dan gated content model.

Monetisasi dari sudut pandang pengguna

Selain bicara soal isu dan tantangan, pada tulisan ini, DailySocial menyertakan survei kecil-kecilan yang diikuti 32 responden terkait pola konsumsi konten di berbagai platform. Sebagai disclaimer, hasil riset ini tidak menggambarkan atau mewakili pendapat mayoritas penikmat konten di Indonesia. Tujuan kami semata ingin mendapat sudut pandang pengguna menghargai sebuah konten.

Terlepas dari popularitas platform asing, DailySocial menemukan beberapa responden mengakses konten (berbayar maupun gratis) dari platform lokal, seperti KaryaKarsa, Storial, dan Saweria. Kendati begitu, pengguna juga banyak yang mengakses konten dari platform Wattpad, Webtoon, Kakaopage, OpenSea, Patreon, dan YouTube.

Cerita bergambar (komik, manga, manhwa) merupakan konten (berbayar maupun gratis) yang paling banyak diakses oleh responden (46,4%), diikuti cerita fiksi/novel online (35,7%), video (28,6%), game dan musik (masing-masing 25%), ilustrasi/lukisan/desain (14,3%), dan NFT (3,6%).

Kehadiran metode pembayaran digital tampaknya mempermudah responden untuk membeli konten favoritnya, karena sebesar 75 persen responden menggunakan platform, seperti OVO, GoPay, dan DANA untuk membeli konten. Selebihnya menggunakan metode transfer bank (39,3%) dan kartu kredit (28,6%). Adapun, sebanyak 51,7 persen memilih skema bayar per konten, 31 persen memilih berlangganan.

Responden bicara soal konten gratis versus berbayar

Apabila karya kreator menarik, patut untuk dibayar. Tetapi saya tetap menikmati konten gratis jika ada. Free contents are good, but supporting the brain behind ’em is better
Gratis in exchange of ads tidak apa, selama harga berlangganan masih oke. Untuk game, saya memilih berbayar supaya tidak ada insentif buat developer yang memaksa kita menonton iklan terus-menerus.  Saya bersedia membayar konten dari kreator yang saya suka dan percaya. Jika belum saya kenal, kemungkinan saya butuh melihat karya gratisnya dulu
Konten gratis banyak yang sama bagus dengan konten berbayar. Biasanya [mau bayar] di konten Webtoon soalnya saya penasaran dengan chapter selanjutnya. Mau tidak mau beli.
Tidak punya waktu untuk refreshing dengan membaca, jadi tidak efektif jika harus bayar konten digital. Saya menikmati kedua-duanya. Beberapa author perlu start bagus untuk tahu apakah karyanya layak dijual atau tidak. Dengan cara ini, saya tertarik untuk menikmati konten gratis. 

Menurut 72,4% responden, harga yang ditetapkan kreator untuk karyanya sudah sesuai dengan ekspektasi mereka. Namun, beberapa menilai bahwa ada karya gratis yang tingkat pengerjaannya sulit, tetapi kreator mematok harga terlalu murah. Sebaliknya, ada pula yang menilai sebuah karya yang tidak sebaik itu kualitasnya, tetapi terlalu mahal.

Responden juga menyampaikan aspirasinya agar Indonesia dapat memiliki platform-platform apresiasi kreator yang tak kalah saing dengan Webtoon dan TikTok di masa depan. Selain itu, mereja berharap platform fasilitator dapat meningkatkan fungsinya agar harga dapat lebih ekonomis bagi penikmat karya.

True fans hingga fitur penemuan

Monetisasi adalah satu hal, tetapi bagaimana memastikan keberlangsungan kreator dalam jangka panjang? Bagaimana mendukung upaya monetisasi kreator yang belum punya fanbase? Bagaimana jika kreator tidak percaya diri dengan karyanya sehingga memberi harga murah pada karya-karyanya?

Ega sempat menyingung bahwa ledakan creator economy ini akan membawa kita pada natural selection. Orang akan semakin kewalahan (overwhelmed) dengan banyaknya konten. Maka, kualitas lah yang akan mengikat orang yang punya value yang sama, atau istilahnya law of attraction.

Dari sudut pandang Ario, ketidakyakinan ini dinilai dapat memengaruhi potensi pemasukan kreator di masa depan. Maka itu, platform memang harus mengambil peran lebih untuk memberi dukungan kepada para kreator yang baru membangun fanbase. Selama ini audiens tahu informasi mengenai suatu kreator karena mengikuti karya-karyanya sejak awal. Namun, bagi kreator yang baru merintis, ini tentu sulit.

“Fokus kami adalah kreator. Karya mereka bernilai sehingga bisa dihargai, ini jadi afirmasi kalau mereka beli konten. Yang dibutuhkan dalam siklus perjalanan kreator adalah apa yang dapat ditawarkan oleh platform selanjutnya. Apa yang dapat dicapai pada titik kreator bisa dapat pemasukan bulanan di platform kami? Bagaimana supaya mereka bisa punya fanbase? Ini juga menjadi tanggung jawab kami sebagai penyedia platform untuk menemukan [kreator] lalu kami ekspos,” jelas Ario.

Sementara, menurut CEO GoPlay Edy Sulistyo, alih-alih terpaku pada metrik jumlah follower atau subscriber dan view, kreator dapat lebih fokus membangun hubungan dengan penggemar loyal (disebut sebagai true fans). Semakin erat engagement dengan true fans, kreator dapat tetap mempertahankan relevansinya, membuat konten apa adanya tanpa perlu kehilangan jati diri.

True fans menjadi indikator penting karena mereka memiliki tingkat retensi tinggi. Artinya, ada kemungkinan besar mereka akan kembali menonton tayangan baru dari kreator. Ini menjadi kunci utama bagi kreator karena mereka bisa lebih sustainable tanpa perlu punya jutaan view atau follower,” ujar Edi beberapa waktu lalu.

Indonesia di antara era Web2 dan Web3

Dalam laporan The New Creator Economy Report yang diterbitkan Antler bersama Speedinvest, era Web3 akan membawa generasi kreator berikutnya terhadap kemampuan monetisasi yang lebih besar. Komunitas memainkan peran besar dalam mendukung upaya kreator meningkatkan sumber monetisasi konten lewat tools. Konten di era Web3 juga semakin eksploratif dengan blockchain, seperti NFT dan Metaverse.

Sumber: The New Creator Report by Antler

Laporan ini sedikit menyentil suatu platform yang mengambil bagian lebih banyak dari yang dihasilkan kreator. Masih ada platform yang tidak menyediakan algoritma atau tools yang memampukan konten suatu kreator ditemukan lewat algoritma.

Overall, stronger loyalty. Para kreator dapat memberikan reward kepada penggemar loyal lewat engagement berkelanjutan yang tidak terlalu terikat dengan $$$. Saya menantikan tools yang dapat menjembatani engagement Web2 dengan Web3. Misalnya, menentukan fans terbesar dari kehadiran di konser, biaya yang dihabiskan untuk merchandise dan interaksi langsung, yang dapat menjadi kickstart tiered loyalty di platform Web3. Dengan begitu, kreator tidak perlu mulai dari nol membangun fanbase, dan memberikan reward ke penggemar yang mengikutinya sejak awal,” tutur Investor Lerer Hippeau Meagan Loyst dalam laporan tersebut.

Baik Alex Wijaya dan Arief Rakhmadani melihat era Web3 datang lebih cepat di Indonesia. Padahal industri creator economy Tanah Air baru berada di fase Web2, di mana supply dan demand belum mencapai puncak pertumbuhannya (peak growth). Situasi ini membuat seolah-olah industri creator economy di Tanah Air mengalami overlap dari Web2 ke Web3.

“Namun, saya melihat situasi saat ini sebagai exciting period karena ada banyak faktor pendukung [mengoptimalkan pertumbuhan di Web2], yakni pertumbuhan jumlah populasi, penetrasi internet, dan penetrasi smartphone di Indonesia,” tutur Alex.

Ia memproyeksi era Web3 bakal melahirkan istilah kreator baru. Dalam 2-3 tahun ke depan, jika tadinya disebut seniman atau pelaku seni, istilah ini akan berubah menjadi NFT artist. Perkembangan teknologi dan industri akan membentuk terminologi, identitas, dan lapangan kerja baru. Apalagi Web3 berbasis desentralisasi sehingga kreator tak hanya dapat membuat dan menjual karya, tetapi juga memiliki Intellectual Property (IP) atas karyanya.

Arief menambahkan, creator economy di era Web3 akan menjadi bisnis independen di mana mereka dapat momentisasi langsung karyanya. Di fase selanjutnya, creator economy akan berevolusi kembali di mana kreator dan fans/audiens bisa berkolaborasi menciptakan sesuatu bersama.

Terlepas dari independensi monetisasi karya di era Web3, Arief menilai pemilik brand tidak akan kehilangan posisinya. Malahan, brand akan tetap melihat kreator sebagai salah marketing channel yang menarik untuk mengejar target secara organik.

“Jadi brand deal dan model monetisasi D2C bisa saling berpengangan tangan interpendensi bagi kreator karena Web3 tidak serta merta menghilangkan model monetisasi dari brand,” tuturnya.

Catatan penutup penulis, lima tahun lagi satu miliar orang akan mengidentifikasi dirinya sebagai kreator. Kreator tak lagi akan dipandang sebagai sebuah kegiatan iseng belaka untuk mengisi waktu luang, melainkan sebagai pilihan karier.

Apakah Anda tertarik menjelajahi pengalaman baru sebagai kreator independen?

Antler: Era Web3 Buka Kesempatan Kreator untuk Tingkatkan Sumber Monetisasi

VC tahap awal Antler baru saja merilis “The New Creator Economy Report” bersama Speedinvest. Laporan ini menyoroti tentang era teknologi Web3 dan dampaknya terhadap pertumbuhan industri creator economy dunia di sepanjang 2021.

Saat ini, industri creator economy global telah menyentuh angka $104,2 miliar. Pertumbuhan ini turut sejalan dengan meningkatnya keterlibatan investor terhadap creator economy. Antler mencatat investor global telah mengucurkan total sekitar $1,3 miliar ke platform creator economy di sepanjang 2021.

Dengan melihat angka pertumbuhan ini, Antler memperkirakan sebanyak 1 miliar orang akan mengidentifikasi dirinya sebagai kreator dalam lima tahun ke depan. Selain itu, pertumbuhannya di masa depan tak lepas dari era baru teknologi Web3 yang mengubah definisi dan kekuatan kreator, dari asas kreator itu sendiri menjadi berbasis komunitas. Artinya, komunitas akan punya peran besar untuk mendukung upaya monetisasi kreator.

Menurut laporan ini, kreator di era Web3 tak lagi dilihat sebatas memberikan nilai ke platform, tetapi juga membentuk cara baru lewat hubungan interaktif antara kreator dan penggemar. Ada peluang bagi kreator untuk menawarkan lebih banyak, tak hanya kepada penggemar, tetapi juga untuk kreator sendiri dan komunitas.

Di era Web3, Antler memproyeksi generasi kreator berikutnya akan punya kesempatan untuk meningkatkan sumber monetisasi konten atau karyanya. Tentu ini menjadi perubahan signifikan mengingat sebelumnya kreator banyak mengandalkan iklan dan sponsor merek untuk mendapatkan pemasukan.

Sumber: The New Creator Report by Antler

Teknologi Web3 memungkinkan lebih banyak orang untuk menjadi kreator di masa depan. Ruang eksplorasi konten juga semakin berkembang dengan kemunculan kripto, NFT, dan metaverse. Saat ini bahkan banyak kreator bermigrasi ke metaverse di mana mereka dapat memonetisasi karyanya, seperti digital art dan game.

Founder dan CEO Antler Magnus Grimeland mengatakan, kreator menjadi lebih menarik secara finansial karena platform yang ada saat ini memungkinkan mereka untuk memonetisasi karya berbasis komunitas. “Creator economy tidak hanya akan mengubah cara produksi konten, tetapi juga membuka dunia teknologi baru dan peluang monetisasi yang tidak mungkin dilakukan dengan di era Web2,” tambahnya.

Ia menyebutkan masih banyak potensi yang belum dimanfaatkan oleh platform Web3, terutama tools yang berkaitan dengan konten dan komunitas. Menurutnya, cara untuk menghubungkan kreator ke penggemar atau komunitas menjadi salah satu peluang investasi yang paling menarik.

Sementara Partner di Floodgate Ventures Ann Miura-Ko menilai perkembangan teknologi saat ini memberikan nilai positif terhadap para kreator karena mereka dapat terlibat langsung dengan audiensnya tanpa harus terus-menerus merasa seperti hamster yang berlari di roda putar.

“Seiring bertambahnya audiens, kreator akan merasa dituntut untuk memenuhi selera mereka yang tidak akan ada habiskan, dan saya pikir ini akan menghabiskan banyak waktu. Platform yang memungkinkan kreator ‘memonetisasi saat mereka tidur’ adalah sesuatu yang ingin saya lihat,” tutupnya.

Creator economy di Indonesia

Indonesia juga ikut mengecap pertumbuhan industri creator economy selama beberapa tahun terakhir. Pelaku startup semakin banyak mengeksplorasi cara inovatif untuk membantu kreator memonetisasi karyanya.

Sebagai contoh, KaryaKarsa dan Storial menghubungkan kreator dengan pengguna langsung untuk menikmati konten, seperti cerita fiksi, komik, foto, hingga ilustrasi dengan skema beli karya satuan dan sistem tipping. Per bab (chapter) dapat dibeli mulai dari Rp2.000-Rp10.000. Ada juga Saweria yang menggunakan model donasi atau tip bagi kreator yang melakukan livestreaming di platform pihak ketiga.

Seluruh upaya ini juga tak lepas dari semakin lengkap ekosistem pembayaran digital sehingga memudahkan penggemar untuk memberikan dukungan finansial dengan nominal beragam.

Di samping itu, VC, konglomerasi media, hingga publik figur juga menunjukkan minat besarnya untuk mengambil kue di pasar creator economy. Di antaranya adalah platform konten on-demand Noice yang memperoleh pendanaan strategis dari RANS Entertainment, dan Famous All Stars (FAS) yang didukung oleh Elang Mahkota Teknologi (EMTEK) Group.

Brick Announces 122 Billion Rupiah Funding Led by Flourish Ventures and Antler

Open finance startup Brick announced seed funding of $8.5 million or around 122 billion Rupiah, led by Flourish Ventures and Antler. This fundraising aims to support the vision of empowering the next generation of fintech companies with an easy-to-implement, cost-effective and inclusive infrastructure. This includes regional expansion plans to Singapore and the Philippines, after its first focusing on Indonesia.

Other investors are participated in this round, including Trihill Capital, and the previous investors, Better Tomorrow Ventures and Rally Cap Ventures. There are also some well-known fintech operators, including Sima Gandhi (Plaid, Creative Juice), Yan Wu (Bond), Brian Ma (Divvy Homes) , Ooi Hsu Ken (Iterative), Amrish Rau (Pine Labs) and Andrea Baronchelli (Aspire).

Brick was founded in 2020 by Gavin Tan (CEO) and Deepak Malhotra (CTO). Gavin was an early employee at Aspire. Deepak built India’s first unicorn neobank for millennials as the co-founder and CTO of Slice.

In an official statement, Gavin said, Brick is building a fintech rail for Southeast Asian technology companies. This funding will enable Brick to accelerate growth, scale technology platforms to expand product offerings, and support more developers in the region to build financially inclusive services.

“This funding also allows us to recruit senior local talent in every country where we operate such as Indonesia, to localize our product and ensure that it is in line with best practices and the highest standards of good corporate governance and consumer protection, especially in the sphere of integrity and data protection. Compliance, consumer protection and consumer trust are our top priorities at Brick,” Tan said.

Global Investments Advisors of Flourish Ventures, Smita Aggarwal said, “Brick is ideally positioned for growth, with a great team and a leading competitive position in the market with strong regulatory support for open finance. He continued, to catalyze the growth of financial services across customer segments, Southeast Asia needs infrastructure that enables secure and fast integration of identity verification, credit assurance and financial planning for customers.

“We believe that widespread adoption of open financial tools can accelerate financial inclusion across the region and provide a significant boost to economic growth. We look forward to working with Brick as it supports the revival of embedded finance in this very unbanked region,” Aggarwal said.

Antler’s Partner, Teddy Himler added, “We believe in an open financial model and vision for Southeast Asia. With Brick, Antler believes the region will have a more transparent, competitive and innovative fintech ecosystem. While Europe is taking a regulation-driven approach, he felt the market attraction from fintech apps (and their customers) to build on top of a basic API infrastructure.

“We believe that ASEAN’s most innovative banks, governments and consumer services will embrace open finance as a way to leapfrog traditional payments and data infrastructure,” Himler said.

In addition to Brick, open finance startups that have operations in Indonesia include Finantier, Brankas, and Ayoconnect.

Brick API Solution

Brick builds Application Programming Interfaces (APIs) for fintech and consumer technology companies. This API makes it easy for popular fintech platforms to offer payment, credit, investment, and insurance products to their consumers by linking these platforms to hyperlocal data sources. For example, if a user wants to take out a loan, Brick technology can immediately link the platform with the user’s financial account, or collect mobile wallet or job data to help process loan applications.

This technology automates and integrates the time-consuming process of collecting data from multiple sources to facilitate financial transactions. That means fintech platforms can quickly offer their users a variety of customized financial products and improve access to finance while accelerating digital adoption across Indonesia and Southeast Asia.

Brick now serves more than 50 paying clients, including some of Indonesia’s fastest growing fintech and conglomerates such as Sinarmas Group and Astra Financial. The company supports more than 13 million API calls and nearly 1 million consumers every month.

Over the past six months, Brick has expanded its API suite to better serve technology companies in Indonesia. In addition to the Brick Data API, the company now offers Brick Verification and Brick Payments. This allows the Brick API suite to cover deeper use cases and allows developers to launch world-class products with a single API integration.

For example, the end-to-end user journey from onboarding, underwriting and disbursing for users looking to take out loans, can now be automated with Brick Verification, Brick Data, and Brick Payments. While the company is currently focused on Indonesia, Southeast Asia’s largest economy, Brick plans to cover the entire region, starting with expansion to Singapore and the Philippines later this year.

Brick serves a dynamic and rapidly growing technology ecosystem in Indonesia, with more than 5,000 technology companies increasingly leveraging fintech in their product offerings. Indonesian fintech companies managed to attract more than $1 billion in investment throughout 2021, up from $282 million in 2020.

The high demand was accompanied by strong regulatory support. Bank account penetration in Indonesia is still below 50% and, to meet the government’s target of 90% financial inclusion by 2024, the central bank issued a comprehensive open banking API standard in 2020. Brick is collaborating with Bank Indonesia and the Indonesian Financial Services Authority ( OJK).

Research shows that open banking can have a strong economic impact in emerging markets, where it can significantly increase financial inclusion. Research conducted by Flourish Ventures and McKinsey & Company shows that widespread adoption of an open data ecosystem in India could result in a four to five percent increase in GDP by 2030.

Flourish believes that the potential for improvement in Southeast Asia could be even greater since the region ranks ahead of India in terms of digital adoption but lags behind in access to traditional bank-provided financial services.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Brick Umumkan Pendanaan 122 Miliar Rupiah Dipimpin Flourish Ventures dan Antler

Startup open finance Brick mengumumkan perolehan dana tahap awal sebesar $8,5 juta atau sekitar 122 miliar Rupiah yang dipimpin oleh Flourish Ventures dan Antler. Penggalangan dana ini untuk mendukung visi memberdayakan perusahaan fintech generasi berikutnya dengan infrastruktur yang mudah diterapkan, hemat biaya, dan inklusif. Termasuk di antaranya rencana ekspansi regional, seperti Singapura dan Filipina, setelah fokus di Indonesia sejak pertama kali berdiri.

Investor lain yang turut serta dalam putaran ini, termasuk Trihill Capital, investor sebelumnya seperti Better Tomorrow Ventures dan Rally Cap Ventures, dan operator fintech terkenal termasuk Sima Gandhi (Plaid, Creative Juice), Yan Wu (Bond), Brian Ma (Divvy Homes), Ooi Hsu Ken (Iteratif), Amrish Rau (Pine Labs) dan Andrea Baronchelli (Aspire) juga berpartisipasi.

Brick didirikan pada tahun 2020 oleh Gavin Tan (CEO) dan Deepak Malhotra (CTO). Gavin adalah karyawan awal di Aspire. Deepak membangun neobank unicorn pertama untuk milenium di India sebagai salah satu pendiri dan CTO Slice.

Dalam keterangan resmi, Gavin mengatakan, Brick sedang membangun rel fintech untuk perusahaan teknologi Asia Tenggara. Pendanaan ini memungkinkan Brick untuk mempercepat pertumbuhan, menskalakan platform teknologi untuk memperluas penawaran produk, dan mendukung lebih banyak pengembang di kawasan ini untuk membangun layanan keuangan inklusif.

“Pendanaan ini juga memungkinkan kami untuk merekrut talenta lokal senior di setiap negara tempat kami beroperasi seperti Indonesia, untuk melokalisasi produk kami dan memastikan bahwa itu sejalan dengan praktik terbaik dan standar tertinggi tata kelola perusahaan yang baik dan perlindungan konsumen, terutama dalam lingkup integritas dan perlindungan data. Kepatuhan, perlindungan konsumen, dan kepercayaan konsumen adalah prioritas utama kami di Brick,” ucap Tan.

Global Investments Advisors Flourish Ventures Smita Aggarwal menyampaikan, Brick berada dalam posisi yang ideal untuk pertumbuhan, dengan tim yang hebat dan posisi kompetitif terkemuka di pasar dengan dukungan regulasi yang kuat untuk keuangan terbuka. Dia melanjutkan, untuk mengkatalisasi pertumbuhan layanan keuangan di seluruh segmen pelanggan, Asia Tenggara membutuhkan infrastruktur yang memungkinkan integrasi yang aman dan cepat untuk verifikasi identitas, penjaminan kredit, dan perencanaan keuangan bagi pelanggan.

“Kami percaya bahwa adopsi yang luas dari alat keuangan terbuka dapat mempercepat inklusi keuangan di seluruh wilayah dan memberikan dorongan yang signifikan untuk pertumbuhan ekonomi. Kami berharap dapat bekerja sama dengan Brick karena ini mendukung kebangkitan keuangan tertanam di wilayah yang sangat tidak memiliki rekening bank ini,” kata Aggarwal.

Partner Antler Teddy Himler menambahkan, pihaknya percaya pada model dan visi keuangan terbuka untuk Asia Tenggara. Dengan Brick, Antler yakin kawasan ini akan memiliki ekosistem fintech yang lebih transparan, kompetitif, dan inovatif. Sementara Eropa mengambil pendekatan yang didorong oleh peraturan, ia merasakan tarikan pasar dari fintech apps (dan pelanggannya) untuk membangun di atas infrastruktur API dasar.

“Kami percaya bahwa bank, pemerintah, dan layanan konsumen ASEAN yang paling inovatif akan merangkul keuangan terbuka sebagai cara untuk melompati pembayaran tradisional dan infrastruktur data,” kata Himler.

Selain Brick, startup open finance yang memiliki operasional di Indonesia, di antaranya Finantier, Brankas, dan Ayoconnect.

Solusi API Brick

Brick membangun Antarmuka Pemrograman Aplikasi (API) untuk fintech dan perusahaan teknologi konsumen. API ini memudahkan platform fintech populer untuk menawarkan pembayaran, kredit, investasi, dan produk asuransi kepada konsumen mereka dengan menghubungkan platform tersebut dengan sumber data hyperlocal. Misalnya, jika pengguna ingin mengambil pinjaman, teknologi Brick dapat segera menghubungkan platform dengan akun keuangan pengguna, atau mengumpulkan dompet seluler atau data pekerjaan untuk membantu memproses aplikasi pinjaman.

Teknologi ini mengotomatiskan dan mengintegrasikan proses pengumpulan data yang memakan waktu dari berbagai sumber untuk memfasilitasi transaksi keuangan. Itu berarti platform fintech dapat dengan cepat menawarkan kepada penggunanya berbagai produk keuangan yang disesuaikan dan meningkatkan akses ke keuangan pada saat mempercepat adopsi digital di seluruh Indonesia dan Asia Tenggara.

Brick kini telah melayani lebih dari 50 klien yang membayar, termasuk beberapa fintech dan konglomerat Indonesia yang tumbuh paling cepat di Indonesia seperti Sinarmas Group dan Astra Financial. Perusahaan telah mendukung lebih dari 13 juta panggilan API dan hampir 1 juta konsumen setiap bulan.

Selama enam bulan terakhir, Brick telah memperluas rangkaian API-nya untuk melayani perusahaan teknologi di Indonesia dengan lebih baik. Selain Brick Data API, perusahaan sekarang menawarkan Brick Verification dan Brick Payments. Hal ini memungkinkan rangkaian Brick API dapat mencakup kasus penggunaan yang lebih dalam dan memungkinkan pengembang untuk meluncurkan produk kelas dunia dengan satu integrasi API.

Misalnya, perjalanan pengguna end-to-end dari orientasi, penjaminan dan pencairan untuk pengguna yang ingin mengambil pinjaman, sekarang dapat diotomatisasi dengan Brick Verification, Brick Data, dan Brick Payments. Meski perusahaan saat ini fokus pada Indonesia, ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Brick berencana untuk mencakup seluruh wilayah regional, dimulai dengan ekspansi ke Singapura dan Filipina pada akhir tahun ini.

Brick melayani ekosistem teknologi yang dinamis dan berkembang pesat di Indonesia, dengan lebih dari 5.000 perusahaan teknologi yang semakin memanfaatkan fintech dalam penawaran produk mereka. Perusahaan fintech Indonesia berhasil menarik lebih dari $1 miliar penanaman investasi sepanjang 2021, naik dari $282 juta pada 2020.

Tingginya permintaan dibarengi dengan dukungan regulasi yang kuat. Penetrasi rekening bank di Indonesia masih di bawah 50% dan, untuk memenuhi target pemerintah sebesar 90% inklusi keuangan pada tahun 2024, bank sentral menerbitkan standar API perbankan terbuka yang komprehensif pada tahun 2020. Brick bekerja sama dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan Indonesia (OJK).

Penelitian menunjukkan bahwa perbankan terbuka dapat memiliki dampak ekonomi yang kuat di pasar negara berkembang, di mana hal itu dapat secara signifikan meningkatkan inklusi keuangan. Penelitian yang dilakukan oleh Flourish Ventures dan McKinsey & Company menunjukkan bahwa adopsi luas ekosistem data terbuka di India dapat menghasilkan peningkatan PDB sebesar empat hingga lima persen pada 2030.

Flourish percaya bahwa potensi peningkatan di Asia Tenggara dapat lebih besar lagi sejak peringkat wilayah di depan India dalam hal adopsi digital tetapi tertinggal dalam akses ke layanan keuangan tradisional yang disediakan bank.

Kolaborasi Pemerintah dan Swasta Dukung Lahirnya Startup Berkualitas

Indonesia telah menjadi startup hub terbesar di Asia Tenggara. Bukan hanya terkait banyaknya pendanaan yang masuk, namun juga jumlah startup yang terus muncul setiap tahunnya. Meskipun sudah banyak di antara startup tersebut yang menuai sukses, namun masih ada yang belum memiliki dampak nyata.

Dalam sesi #SelasaStartup kali ini, DailySocial.id mengulas topik seputar kolaborasi regulator dan swasta dalam mewujudkan perekonomian digital di Indonesia. Bersama dengan Program Director Antler Indonesia Kanta Nandana dan Koordinator Startup Digital Kementerian Kominfo Sonny Sudaryana.

Kolaborasi pemerintah dan pihak terkait

Salah satu keberhasilan startup untuk mempercepat pertumbuhan bisnis adalah dengan menjalin kolaborasi antara startup, korporasi, dan pemerintah. Cara tersebut ternyata juga dinilai paling efektif. Bukan hanya menyediakan infrastruktur yang bisa dimanfaatkan pelaku industri, tapi juga untuk menjangkau lebih banyak pengguna di pelosok daerah yang belum tersentuh dengan teknologi.

Melalui Gerakan 1000 Startups dan Sekolah Beta yang memberikan literasi dasar mengenai startup, diharapkan bisa menjadi wadah yang bisa membantu pendiri startup mendapatkan informasi yang relevan, akses pendanaan, hingga jaringan dengan investor. Di sisi lain, Kominfo juga ingin mengatasi adanya permasalahan ketimpangan sumber daya manusia yang saat ini masih terfokus di kota-kota besar saja.

“Salah satu kolaborasi yang terlihat jelas saat ini adalah Pedulilindungi yang bisa diakses di berbagai platform. Bukan hanya aplikasi milik pemerintah saja, tapi juga startup dan perusahaan teknologi lainnya. Diharapkan kolaborasi seperti ini bisa diperluas menjadi bentuk yang berbeda,” kata Sonny.

Sementara sebagai program akselerasi startup, Antler Indonesia melihat perlu adanya dukungan dan pemahaman yang jelas antara pemain konvensional dan mereka startup digital yang ingin mendisrupsi. Sehingga adanya kolaborasi yang menguntungkan antara mereka.

Transformasi digital

Pemerintah melalui Kominfo saat ini sedang mengupayakan untuk bisa menyukseskan transformasi digital. Dalam hal ini bukan hanya fokus kepada startup saja, namun juga sektor lainnya. Pemerintah, bisnis hingga masyarakat, harus bekerja sama untuk mewujudkan transformasi digital yang merata.

Dari sisi pemerintah harus paham kebijakan apa yang akan diatur, program apa yang ingin dilancarkan dan bagaimana pemerintah bisa mencetak lebih banyak perusahaan rintisan yang berkualitas. Untuk itu penting juga bagi pemerintah untuk memberikan literasi digital, agar semua pihak baik swasta hingga pelaku UMKM bisa menjadi bagian dari transformasi digital tersebut.

“Dalam hal ini pemerintah akan memberikan resource yang relevan dan tentunya dibutuhkan oleh mereka penggiat startup. Selain itu kami juga bisa mempertemukan mereka kepada investor yang tepat dan akses langsung ke pasar, khususnya untuk wilayah yang baru terkoneksi ke digital,” kata Sonny.

Bukan hanya pendanaan yang dibutuhkan oleh pendiri startup, namun juga mentorship hingga konsultasi dengan pakar terkait untuk bisa menjadikan startup yang berkualitas. Dalam hal ini Antler Indonesia yang mulai fokus kepada startup di tanah air, berupaya untuk mempertemukan para co-founder yang relevan, demi menciptakan tim startup yang solid.

Antler Indonesia yang juga telah hadir di 17 negara dan memiliki jaringan dengan 300 perusahaan secara global, memiliki bekal pakar yang bisa menjadi mentor dan membantu pendiri startup untuk memahami lebih lanjut ide bisnis mereka, agar bisa memberikan impact dan tentunya profitable.

“Sejak awal kita berupaya untuk mengajarkan para pendiri startup masalah apa yang ingin dipecahkan. Bukan fokus kepada produk atau aplikasi, namun bagaimana ide bisnis tersebut tervalidasi dan bisa menjadi solusi terbaik untuk orang banyak,” kata Kanta.

Meskipun saat ini sudah mulai banyak modal yang masuk dari venture capital lokal hingga asing dan mulai banyaknya startup yang lahir, namun belum banyak pendiri yang memiliki kualitas yang baik. Dalam hal ini Sonny menegaskan kolaborasi pemerintah dengan pihak terkait seperti program akselerasi Antler Indonesia, bisa menjadi cara yang tepat untuk mencetak pendiri startup yang berkualitas.

“Tantangan saat ini adalah bagaimana mencari founder material yang cocok dan berkualitas. Dengan banyaknya program saat ini menurut saya bisa membantu menemukan founder yang ideal. Menjadi penting untuk mendapatkan akses ke mentor untuk membantu psikologi founder, bukan hanya pendanaan saja,” kata Sonny.

[Video] Mengenal Antler Indonesia dan Dukungannya terhadap Ekosistem Startup Tanah Air

DailySocial bersama Kanta Nandana dari Antler Indonesia berbincang tentang bagaimana Antler melirik Indonesia sebagai salah satu fokus mendukung ekosistem startup. Ia menyebut Antler memiliki kiat tersendiri dalam menciptakan lulusan bertalenta yang siap menghadapi tantangan bisnis melalui program akselerasinya.

Untuk video menarik lainnya seputar program akselerasi dan ekosistem pendukung startup Indonesia, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV dalam sesi Let’s Accelerate.

Jaramba Kembangkan Solusi “Mobility as a Service”, Dukung Digitalisasi Transportasi Umum

Kebijakan transportasi di kota-kota besar di Indonesia umumnya mendukung inisiatif pembangunan jalan. Hal ini didasari oleh keyakinan bahwa membangun lebih banyak jalan dapat mengurangi kemacetan lalu lintas. Padahal, ada isu yang lebih mendasar yaitu transportasi publik. Layanan yang kurang andal dan memadai menyebabkan meningkatnya penggunaan kendaraan pribadi, pada akhirnya menimbulkan kemacetan dan polusi.

Salah satu transportasi umum yang banyak digunakan untuk kebutuhan mobilitas sehari-hari masyarakat di kota-kota di Indonesia adalah “angkot”. Angkot merupakan respons sosial dan informal terhadap masalah transportasi di Indonesia. Mereka tidak hanya menyediakan layanan transportasi di daerah padat penduduk, tetapi juga merupakan sumber mata pencaharian utama bagi pengemudi lokal dan keluarga mereka. Pemerintah kota menghadapi kesulitan dalam mengelola angkot karena tingginya tingkat informalitas dalam rute dan struktur tarif.

Jaramba hadirkan solusi untuk bisnis angkot

Salah satu pasar terbesar angkot adalah anak sekolah. Penerapan school from home (SFH) otomatis berdampak pada penghasilan yang menurun serta jumlah armada yang semakin berkurang. Namun, rencana pemerintah yang akan mulai menerapkan pembelajaran tatap muka (PTM) penuh di awal tahun 2022 dapat menjadi peluang bagi sektor angkutan umun (angkot) untuk kembali bangkit.

Dalam keterangan resmi, Founder & CEO Jaramba Anugrah Nurrawa mengungkapkan, “Kami menawarkan solusi mobilitas yang menyediakan semua informasi yang diperlukan, memungkinkan transportasi antarmoda, dan membayar di muka untuk semua tiket yang dibutuhkan. Kami bertekad menjadi penyedia layanan mobilitas unggul di Indonesia, dimulai dengan digitalisasi angkot.”

Terinspirasi dari negara-negara maju yang sudah memiliki sistem transportasi umum yang baik, Jaramba ingin menghadirkan layanan yang bisa menjadikan perjalanan dengan transportasi umum (utamanya angkot) lebih mudah dan andal. Jaramba memberdayakan angkot melalui kerja sama kelembagaan dengan koperasi-koperasi angkot. Layanan ini hadir untuk memungkinkan distribusi penghasilan yang lebih adil antara sopir, juragan, dan koperasi.

Tantangan datang dari lingkungan yang masih sangat informal dan membutuhkan edukasi mendalam terkait solusi digital. Jaramba dengan rutin melakukan sosialisasi dan edukasi mendasar pada pihak-pihak terkait di lapangan. Perusahaan juga menggelar “Jaramba Week”, selama sepekan mereka membagikan voucher yang bisa digunakan untuk membayar angkot dengan cara memindai QR Code yang sudah disematkan pada angkot tertentu.

Jaramba week, yang kemudian diperpanjang menjadi 2 minggu menunjukkan adanya demand dari masyarakat setempat. Aksi ini menghasilkan total 307 registrasi serta 888 total voucher yang berhasil di redeem dengan 105 armada yang beroperasi di 3 jurusan. Saat ini Jaramba sudah bekerja sama dengan Dinas Perhubungan Kota Bandung serta Kopamas, sebuah koperasi angkot yang menaungi 3 trayek di antaranya: Sederhana – Cimindi, St.Hall – Gunung Batu, dan St.Hall – Sarijadi.

QR Code untuk redeem voucher trip gratis dari Jaramba selama periode Jarambah Week

Melihat animo masyarakat serta aktivitas yang mulai kembali normal, Jaramba optimis bisa mendapat momentum di tahun 2022. Pada tanggal 7 Januari 2022, Jaramba berencana menggelar soft launching aplikasi mereka, mencakup empat trayek untuk angkot serta 1 trayek untuk Damri. Saat ini, perusahaan juga telah menandatangani MoU dengan Dishub Jawa Barat untuk pengembangan solusi digitalisasi angkot.

Untuk saat ini, monetisasi yang dilakukan Jaramba adalah dengan mengambil fee sebesar 8% dari total tarif pada setiap perjalanan yang terjadi di atas platformNamun, timnya juga mengungkapkan akan segera mengembangkan sumber revenue mereka melalui iklan setelah mendapat cukup traksi dalam aplikasinya.

Jaramba telah memulai penelitian serta pengembangan intensif untuk solusi ini sejak awal tahun 2021. Pada bulan Agustus lalu, perusahaan berhasil mendapatkan pendanaan pre-seed senilai $100 ribu atau setara 1,4 miliar Rupiah dari Antler, sebuah VC tahap awal sekaligus startup enabler. Jaramba menjadi satu-satunya startup Indonesia yang menerima pendanaan dalam kohort SG8 (Singapura).

Dalam diskusi singkat bersama tim DailySocial.id, Anugrah atau akbra disapa Aso juga mengungkapkan rencananya untuk menggalang dana di tahun 2022. “Setelah soft launching, rencananya akan mempersiapkan untuk seed round. Targetnya sekitar $1 juta untuk ekspansi ke 24 kota di pulau Jawa dalam waktu 18 bulan,” ujarnya. Penggalangan ini ditargetkan untuk rampung sebelum bulan April 2022.

Solusi mobility as a service

Konsep mobility as a service (MaaS) sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Gojek atau Grab. Solusi ini menawarkan layanan dengan kebutuhan transportasi pelanggan/pengguna/wisatawan sebagai fokus utamanya. Namun, MaaS melibatkan lebih dari sekadar berbagi tumpangan berbasis aplikasi. Solusi ini mewakili cara berpikir yang benar-benar baru tentang mobilitas dan transportasi, selaras dengan definisi smart city yang modern.

Pemerintah Indonesia sendiri saat ini begitu berkomitmen untuk menyadarkan masyarakat dan mengedukasi bahwa penggunaan kendaraan umum adalah jauh lebih baik dari kendaraan pribadi. Salah satunya melalui penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) dengan Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia mengenai pengurangan emisi melalui integrasi dan optimasi dalam transportasi umum di Indonesia. Hal ini terkait mereduksi penggunaan BBM dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk penggunaan kendaraan umum yang sejalan dengan kebijakan Pemerintah.

Pandemi COVID-19 berdampak negatif pada mobilitas sebagai pasar jasa. Dengan diterapkannya aturan penguncian dan jarak sosial, di seluruh dunia, kebutuhan akan mobilitas telah berkurang kecuali untuk keperluan darurat. Selain itu, norma jarak sosial di berbagai negara memaksa orang untuk memilih transportasi pribadi daripada layanan ride-hailing biasa.

Mengutip laporan ResearchandMarket.com, pasar mobilitas sebagai layanan siap untuk tumbuh sebesar $ 235,00 miliar selama 2021-2025 berkembang pada CAGR 34% selama periode perkiraan. Hal ini didorong oleh peningkatan penggunaan perangkat terhubung pintar, peningkatan permintaan untuk efisiensi dalam operasi, dan pergeseran adopsi dari model CAPEX ke model OPEX.

Sektor transportasi disebut masih berada di awal periode disrupsi yang signifikan, dengan teknologi, produk, dan layanan baru yang secara fundamental mengubah harapan dan peluang pelanggan. Sebelumnya merupakan ranah yang didominasi oleh kendaraan pribadi yang disandingkan dengan angkutan umum, saat ini transportasi menjadi topik yang jauh lebih kompleks dengan berbagai tantangan baru namun juga peluang yang luas.