Creative Gorilla Capital Umumkan Dana Kelolaan 300 Miliar Rupiah untuk Investasi ke Startup D2C

Creative Gorilla Capital (CGC) mengumumkan debut dana kelolaan Gorilla Silverback Fund sebesar 300 miliar Rupiah. Dana ini akan dialokasikan untuk investasi startup di sektor Direct-to-Consumer (D2C) atau consumer-focused di Indonesia.

CGC merupakan platform modal ventura baru hasil kolaborasi dari Future Creative Network (FCN), Vynn Capital, dan startup pengembang omnichannel Pomona. CGC berfokus mendukung startup potensial kreatif dan pemasaran dalam mencapai hypergrowth.

Founding dan Managing Partner CGC Benz Julio Budiman menyebut bahwa pihaknya memiliki posisi berbeda dibandingkan Venture Capital (VC) pada umumnya, yakni sebagai mitra pada pemasaran dan jaringan bisnis konsumen. Pihaknya akan membuka akses startup terpilih ke ekosistem kreatif yang diklaim terbesar di Indonesia.

Tak hanya memberikan pendanaan dan pendampingan dari para mitra, CGC juga akan mengekspos mereka ke jaringan profesional pemasaran kelas dunia dan solusi berbasis data sehingga dapat meningkatkan peluang startup untuk berkembang dan berhasil.

“Startup dapat mengakses semua sumber daya yang diperlukan untuk menciptakan winning brand sejak hari pertama. Kami akan membantu startup pemula menerapkan consumer insight dan pemikiran yang brand-led untuk mendorong pertumbuhannya. Keahlian yang biasanya diberikan kepada pemegang jabatan/brand yang sudah mapan, akan tersedia untuk semua portofolio kami,” tuturnya dalam keterangan resmi.

Sebagai informasi, Future Creative Network (FCN) adalah pakar ekosistem pemasaran yang menaungi lebih dari 42 perusahaan dan agensi. Dalam kolaborasi ini, FCN akan menyediakan akses terhadap keahlian terintegrasi serta solusi kreatif branding dan layanan digital untuk mengembangkan D2C.

Sementara, Vynn Capital akan memanfaatkan pengalaman investasinya yang disebut telah teruji hingga level regional. Beberapa portofolio Vynn Capital, yakni car marketplace Carsome, dan platform manajemen properti Travelio. Pomona yang juga terlibat dalam kolaborasi CGC ini juga disuntik pendanaan oleh Vynn Capital pada 2019 lalu.

Adapun, Pomona akan berperan sebagai data-core untuk mengakomodasi kebutuhan internal dan portofolio CGC, baik dalam bentuk riset data maupun insight untuk mengidentifikasi tren produk selanjutnya yang berpotensi berkembang di skala nasional hingga global.

Hipotesis D2C

Dalam laporan whitepaper Accenture, pasar barang dan jasa tumbuh enam kali lipat menjadi $7,9 miliar pada periode 2015-2020. Nilai ini diperkirakan terus tumbuh yang akan dipengaruhi oleh populasi penduduk, pesatnya urbanisasi, dan peningkatan pendapatan per kapita masyarakat Indonesia. 

Bagi CGC, faktor-faktor di atas akan mendorong bisnis D2C berbasis teknologi dan digital di Indonesia. Terlebih, sektor e-commerce di Indonesia telah memasuki fase matang sehingga membuat rantai pasok menjadi lebih efisien dan mengandalkan solusi berbasis teknologi. 

Kendati begitu, perlu diketahui bahwa sektor D2C masih terbilang baru di Indonesia. Butuh pendekatan berbasis omnichannel agar para pemainnya tidak melulu bergantung pada kanal e-commerce, melainkan mengkombinasikannya dengan kanal tradisional/modern.

Dalam berinvestasi, CGC akan mengandalkan indikator utama pada proses seleksinya, mulai dari jalur profitabilitas yang jelas, product market-fit, dan kecakapan distribusi. Peserta juga diharuskan memiliki visi keberlanjutan, kesetaraan sosial, dan konsumerisme yang bertanggung jawab.

“Sejah ini, CGC telah berinvestasi di sejumlah startup di antaranya Offmeat, Ringkas, Kynd, dan Allura. Terlepas dari fase ‘winter‘ yang sedang terjadi, kami meyakini dapat melihat keberlangsungan startup selama mungkin. Dalam tiga tahun ke depan, kami ingin bekerja secara selektif dan erat dengan pemimpin masa depan untuk membangun winning brand yang dapat bertahan lama.”

Meski tergolong baru, startup di sektor D2C Indonesia cukup berkembang pesat dan menghasilkan produk di beragam kategori di antaranya Filmore (femcare), Saturday (lifestyle), dr. Soap (personal dan household care), dan mohjo (F&B).

Startup D2C “Evo Commerce” Tutup Pendanaan Pra-Seri A Senilai 31 Miliar Rupiah

Startup direct-to-consumer (D2C) asal Singapura Evo Commerce mengumumkan telah menyelesaikan putaran pendanaan pra-seri A sebesar $2 juta (lebih dari 31,2 miliar Rupiah). Dalam putaran ini dipimpin oleh GSR Ventures, diikuti investor utama lainnya, termasuk 33 Capital, JJ Chai (Rainforest), Hiro Kiga (Wallex), Emile Etienne (BrideStory), dan investor pada putaran sebelumnya, East Ventures.

Dana segar tersebut nantinya akan digunakan untuk eksekusi rencana ekspansi global, memperkuat lini e-commerce dan kanal online, serta meningkatkan kapabilitas manufaktur dan R&D dari berbagai kategori produk baru.

Putaran teranyar ini merupakan lanjutan keberhasilan perusahaan pada putaran awal yang diperoleh sebesar $600 ribu yang dipimpin East Ventures pada Oktober 2022. Pada saat itu, sejumlah angel investor dari petinggi startup turut berpartisipasi, salah satunya ialah Aaron Tan (Carro).

Dalam keterangan resmi yang disampaikan perusahaan pada hari ini (05/1), Partner GSR Ventures David Yin menyampaikan, sektor kesehatan dan kebugaran telah tumbuh secara eksponensial selama pandemi. Diprediksi nilainya akan mencapai $675 triliun pada 2030 mendatang.

Menurutnya, produk-produk yang didukung dengan penelitian, seperti yang dilakukan Evo Commerce ini, akan membantu mentransformasikan industri kesehatan dan kebugaran dengan memenuhi kebutuhan pelanggan yang terus berkembang.

“Seperti yang ditunjukkan oleh pertumbuhan dan ketahanan mereka yang kuat selama pandemi, mereka menangani konsumen yang menginginkan produk yang transparan, mudah dipahami, berkualitas tinggi, dan mudah diakses,” ucap Yin.

Perkembangan Evo Commerce

Sebelum memakai merek Evo Commerce, startup ini dikenal dengan nama Evolut Holdings, merupakan perusahaan D2C yang fokus menghadirkan berbagai produk berkualitas yang didukung oleh penelitian untuk konsumen. Evo Commerce menjual produk kesehatan, kecantikan, dan kebugaran.

Perusahaan bekerja sama dengan pabrik berkualitas yang memproduksi untuk merek-merek besar, dan menjual produk tersebut langsung ke konsumen akhir dengan biaya yang lebih murah. Saat ini ada lebih dari delapan produk yang sudah dijual, salah satu andalannya adalah Bounceback, solusi anti hangover yang kini tersedia di 10 pasar secara global. Selain itu, terdapat merek MANTOU, yakni solusi rambut anti rontok alami, dan Stryv, yakni produk kecantikan dan perawatan rambut.

Co-founder & CEO Evo Commerce Roy Ang mengatakan, perusahaan akan terus meningkatkan upayanya dalam menghadirkan produk berkualitas terbaik dengan harga terjangkau ke pasar dengan pengalaman pelanggan yang semakin baik. Dana segar ini akan digunakan untuk memperluas kemampuan R&D dan manufaktur, memperluas jangkauan produk kesehatan dan kebugaran, dan menskalakan bisnis lokal ke kancah global.

“Kami berharap untuk terus tumbuh sebesar 10 kali lipat pada tahun 2023, dan pada saat yang bersamaan mempertahankan profitabilitas dengan ekspektasi untuk meluncurkan beberapa produk di tahun mendatang,” imbuhnya.

Diklaim sepanjang tahun lalu, perusahaan mencatat peningkatan pendapatan topline sebesar 12 kali lipat dan telah mengumpulkan pendanaan eksternal sebesar $2,5 juta hingga saat ini. Didirikan oleh dua orang, kini Evo Commerce telah memiliki 20 karyawan yang mampu melayani lebih dari 20 ribu pelanggan di 10 pasar global.

Label Rekaman Trinity Bentuk CVC, Jajaki Peluang Investasi Ekonomi Kreatif

Pada 2019, Trinity Optima Production (TOP) terlibat dalam konsorsium pengembangan produk digital. Konsorsiumnya bersama tiga perusahaan label rekaman lain, yakni Musica, Aquarius, dan My Music, menghasilkan kesepakatan joint venture bersama PT Mahaka Radio Integra Tbk (MARI) untuk menggarap platform audio on-demand Noice.

Kini, perusahaan menyatakan komitmen penuh untuk membuka peluang investasi dan pengembangan bisnis rintisan atau proyek yang sejatinya dapat memberikan nilai tambah terhadap ekosistem grup. TOP mengumumkan pendirian Corporate Venture Capital (CVC) dengan nama Trinity Ventures (TV) untuk memuluskan transisinya sebagai grup usaha (holding company).

Dalam keterangan resminya, perusahaan menyebut telah memiliki tim manajemen dengan bekal ilmu dan pengalaman solid untuk menuju skala korporasi lebih besar di industri hiburan. Adapun, Trinity Ventures menggaet Jagartha Advisors sebagai penasihat investasi yang berperan dalam melakukan assesment dan due diligence terhadap calon investee.

Berdasarkan wawancara terpisah dengan DailySocial.id, CEO Trinity Optima Production Yonathan Nugroho mengatakan mengambil peran ganda untuk memimpin TV. “Terkait entitas legal, PT sudah ada. Namun, berhubung ini CVC dan baru menggunakan dana internal, kami belum mengajukan izin sebagai perusahaan modal ventura,” tutur Yonathan.

Sekilas informasi, Trinity Optima Production didirikan oleh Adi Nugroho, Handi Santoso, Effendy Widjaja, dan Yonathan Nugroho pada 2003. Perusahaan memiliki rekam jejak kuat di industri hiburan; menaungi sejumlah artis kawakan, termasuk Armand Maulana, Sherina, dan Afgan.

Di luar label rekaman, TOP memperluas skala bisnisnya dengan masuk ke music publishing dan talent marketing melalui Trinity Artist Management (TAM), serta Trinity Creative Technology (Dignitiy) untuk digital content marketing.

Hipotesis investasi

Di awal, peluang investasi pada usaha rintisan sering diukur dari visi/value para founder, competitive advantage sebuah produk/layanan, dan valuasi. Namun, dengan melihat perkembangan industri dan pasar saat ini, TV lebih berfokus pada bisnis yang memiliki keberlanjutan jangka panjang dan fokus terhadap permasalahan di sektor yang digeluti, tak lagi cuma mengejar pertumbuhan.

Yonathan berujar, tidak ada sektor tertentu yang diincar, TV membuka diri seluas-luasnya pada peluang investasi di startup maupun proyek yang memberikan nilai tambah pada ekosistem Trinity Entertainment Group (TEG). Selain itu, pihaknya sudah menyiapkan sejumlah rencana mitigasi risiko dengan memperhitungkan situasi makro saat ini.

“Pada tahap awal, kami fokus di sektor ekonomi kreatif yang berkaitan dengan industri film, musik, dan direct-to-consumer (D2C). Saat ini, posisi kami sedang mengeksplorasi peluang pada virtual influencer atau meta human. Kami tidak berfokus untuk mendigitalisasi suatu sektor usaha. Kami serahkan [pengembangan] model bisnis dan produk pada pemilik,” jelasnya.

Portofolio Investasi Trinity Ventures/ Sumber: Trinity Optima Production

Diungkapkan, TV dibentuk untuk memperluas jangkauan jaringan dan peluang kolaborasi selama itu visioner dan inovasinya disruptif. Artinya, model bisnis atau produk/layanan memiliki pain point, positioning, peluang untuk scale up yang jelas.

Pihaknya berupaya untuk mengkolaborasikan proyek/solusi yang dimiliki startup ke lintas sektor, dan tidak rigid pada idealisme tertentu. Kolaborasi ini dapat dilakukan antar-talent atau pada proyek/portofolio di mana TV berinvestasi.

“Bagaimanapun, kami punya bisnis inti di industri hiburan yang punya spirit mengelola talenta atau orang. Kami terbiasa pada fleksibilitas mengolah program kerja. Karena itu, dalam konteks calon investee, kami harap pemilik bisnis juga terbuka untuk mengkolaborasikan bisnis ke industri hiburan,” tambahnya.

Sumber pendanaan

TV akan menggunakan dua model pendanaan, yakni (1) pemberian modal bagi bisnis yang sudah well-established dan sedang fundraise, serta (2) pendanaan, pendampingan manajerial, dan dukungan dari sisi operasional, campaign, hingga sponsorship. Khusus pada model kedua, TV berfokus pada investasi di sektor riil, seperti brand, komunitas, atau startup dengan proyek spesifik.

“Proses transfer knowledge dan advisory pada pengelolaan bisnis ini adalah pilihan yang kami rasa sangat penting untuk teman-teman pebisnis yang masih merintis,” tutur Yonathan.

Menurut Yonathan, TV tidak memetakan model pendanaan berdasarkan tahapan (stage) startup, melainkan pada kebutuhan dari pemilik bisnis. Adapun, perusahaan induk dapat terlibat dalam pengelolaan manajemen, SDM, atau produk yang dimiliki agar dapat memberikan kontribusi positif bagi perusahaan.

“Kami tidak bisa menyebut nilai investasi yang disiapkan. Namun, untuk tahap awal, kami masih menggunakan sumber pendanaan internal dari Trinity Entertainment Group. Kami tidak menutup kemungkinan bakal menggandeng Limited Partner (LP) yang tertarik [berinvestasi] di sektor ekonomi kreatif dan turunannya di masa depan,” ungkapnya.

Pihaknya mengaku tak hanya mengincar sumber pendapatan baru, tetapi juga membuka berbagai pilihan terhadap investasi usaha atau proyek yang dapat menghasilkan nilai tambah strategis.

Ekonomi kreatif

Tren investasi pada perusahaan rintisan turut diminati sektor hiburan Indonesia. Hal ini salah satunya didorong oleh perkembangan teknologi Web3 yang membuka ruang eksplorasi menarik bagi konten kreator, baik musik, film, video, ilustrator hingga karya fiksi.

Famous Allstars adalah salah satunya yang meminati pengembangan konten kreator di era Web2 dan Web3. Salah satunya adalah rencana mendirikan creator venture dengan mengidentifikasi dua pilar menarik di sektor F&B dan beauty. Famous Allstars merupakan entitas yang menaungi channel-channel konten kreatif popular dan platform yang menghubungkan brand dengan influencer.

Kemenparekraf mencatat nilai ekspor ekonomi kreatif di Indonesia mencapai $23,9 miliar pada 2021, naik dari tahun sebelumnya $18,8 miliar. Pemerintah membidik nilai tersebut dapat mencapai $25,14 miliar di 2022.

Startup “Coffee Chain” Jago Umumkan Pendanaan Pra-Seri A 34 Miliar Rupiah

Startup coffee chain Jago mengumumkan penyelesaian pendanaan pra-seri A senilai $2,2 juta (sekitar 34,2 miliar Rupiah) yang dipimpin Intudo Ventures dan BEENEXT, dengan partisipasi CyberAgent Capital dan Arkblu Capital. BEENEXT adalah investor sebelumnya, memimpin pendanaan tahap awal yang diperoleh Jago pada November 2021.

Lewat penggalangan ini, Jago akan memanfaatkan dana untuk perluas armada mobile cafe hingga 200 unit yang mampu menjangkau 20 area di Jakarta. Selanjutnya, memperkuat tim inti di lini operasional dan teknologi.

Jago memosisikan diri bukan sebagai bisnis ritel yang mendukung operasionalnya dengan teknologi, melainkan sebaliknya, memungkinkan siapa saja dan di mana saja memiliki akses ke kopi berkualitas dengan harga terjangkau.

Dalam keterangan resmi yang disampaikan hari ini (27/10), Founding Partner Intudo Ventures Patrick Yip menyampaikan, ada beberapa hal yang khas Indonesia daripada kopi. Jago merupakan model baru bagi masyarakat Indonesia untuk menikmati kopi, mengungguli kafe tradisional dalam hal kenyamanan dan mengalahkan kopi instan dan pre-made dalam hal kualitas.

“Kami yakin dengan tim gabungan pengusaha kopi dan teknologi Jago dan menantikan momentum lanjutan mereka di pasar kopi Indonesia yang sedang booming,” kata Yip.

Partner BEENEXT Faiz Rahman menambahkan, Jago menyeduh sesuatu yang berbeda dari secangkir kopi rata-rata, memberikan pengalaman dan layanan unik kepada konsumen melalui kopi. Perusahaan ini memanfaatkan teknologi sebagai produk intinya dan memanfaatkan infrastrukturnya untuk mendefinisikan ulang ritel last-mile.

“Oleh karena itu, kami sangat bersemangat untuk melanjutkan kemitraan jangka panjang kami dengan Jago seiring dengan percepatan ekspansi perusahaan di seluruh Jakarta dan sekitarnya,” ucap Faiz.

Model bisnis Jago

Diluncurkan pada Juni 2020, Jago adalah kafe berjalan yang memberdayakan micro mobile  retail (gerobak elektrik)—menemui pelanggan kapan pun mereka mau—di mana pun mereka mau. Dengan armada kafe keliling yang bertenaga elektrik, Jago beroperasi di lokasi-lokasi utama di Jakarta.

Perusahaan menawarkan pendekatan hiperlokal ke konsumer akhir dengan melayani lingkungan sekitar dalam radius 1-2 km untuk menyiapkan dan mengantarkan minuman segar dengan cepat dalam hitungan menit. Gerobak beroperasi di area dengan kepadatan tinggi, dengan permintaan dari area perumahan dan bisnis, dengan populasi kedai kopi yang kurang melimpah meskipun permintaan kopi kuat.

Jago menyediakan minuman kafe berkualitas yang disajikan oleh barista yang dilengkapi dengan semua alat dan bahan yang dibutuhkan untuk menyiapkan minuman segar di tempat, termasuk panas & dingin, kopi & teh, dan minuman khusus lainnya.

Jago Coffee juga menawarkan pemesanan langsung dan pesan-antar, menawarkan layanan penjemputan dan pengiriman untuk kopi segar tingkat kafe langsung ke konsumen dengan harga yang dibanderol mulai dari Rp8 ribu per cangkir. Konsumen dapat menikmati alternatif kopi kualitas yang lebih tinggi untuk kopi instan, tanpa mengurangi kenyamanan dan efektivitas biaya.

Pengguna cukup mengunduh aplikasi Jago di iOS dan Android untuk memesan minuman yang baru diseduh untuk pengambilan dan pengiriman, sehingga tidak perlu pergi ke kafe untuk menyegarkan diri.

Jago dipimpin oleh tim pengusaha Indonesia yang berpengalaman di bidang kopi dan teknologi, termasuk Yoshua Tanu (CEO) dan Christopher Oentojo (CTO). Selain Jago, Yoshua juga merupakan salah satu pendiri Common Grounds, jaringan kafe premium di Indonesia. Sementara, Christopher sebelumnya adalah Vice President of Product di Gojek, ia pernah memimpin peluncuran GoCar dan inisiatif pemetaan internal perusahaan.

Selain itu, Daniel Sidik baru-baru ini bergabung dengan Jago sebagai COO & CMO. Daniel membawa pengalaman di bisnis makanan & minuman yang luas, bergabung dengan perusahaan setelah mendirikan dan memimpin Reddog, rantai hotdog bergaya Korea yang populer di Indonesia dengan lebih dari 40 gerai ritel setelah dua tahun diluncurkan.

“Model bisnis inovatif kami, menggabungkan kafe seluler dengan aplikasi Jago kami, menciptakan akses kopi yang tak tertandingi kapan saja, di mana saja tanpa harus mengorbankan kualitas, harga, atau kenyamanan. Kami sedang membangun kemungkinan baru untuk ritel last-mile yang berkelanjutan dan memuaskan bagi konsumen Indonesia untuk memenuhi kebutuhan kopi dan penyegaran harian mereka,” kata Co-founder & CEO Jago Yoshua Tanu.

Application Information Will Show Up Here

Fokus “Diri Care” Mendemokratisasi Akses Layanan Perawatan Diri

Besarnya peluang pangsa pasar produk perawatan diri ternyata belum dibarengi oleh layanan yang relevan dengan harga yang terjangkau. Dari kesempatan tersebut, Diri Care hadir menawarkan solusi perawatan kesehatan pribadi sesuai permintaan (on-demand) serta terjangkau kepada para pelanggan di seluruh Indonesia. Sasarannya untuk konsumen perempuan dan laki-laki sekaligus.

Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO Diri Care Christian Suwarna mengungkapkan, sesuai dengan misi dan visi mereka sejak awal, dengan menggabungkan medical science dan teknologi, Diri Care ingin membuka akses layanan perawatan yang terjangkau untuk semua.

“Sejak kami meluncur, ada beberapa pelanggan dari Papua hingga Medan yang masuk dalam kategori blank spot dalam hal penyediaan klinik untuk perawatan diri. Melalui Diri Care berbagai produk dan layanan perawatan bisa dinikmati oleh semua.”

Layanan yang ditawarkan

Secara khusus Diri Care menawarkan layanan konsultasi dan produk yang sudah dikurasi dan disesuaikan untuk kebutuhan pelanggan oleh tim. Melalui konsultasi secara gratis kepada dokter langsung, nantinya akan diberikan rekomendasi obat atau produk apa yang sesuai. Untuk pengiriman obat pun dikirimkan langsung oleh mitra supplier yang sebagian besar adalah mitra yang sudah memiliki lisensi sebagai Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

“Dengan pengalaman Co-founder kami yaitu Dr. Deviana Himawan, rekomendasi produk kemudian diformulasikan oleh tim. Dipastikan semua sudah mendapatkan arahan dari dokter dan farmasi demi memberikan solusi yang tepat dan semua tentunya bisa dipertanggung jawabkan,” kata Christian.

Pelanggan yang memiliki keluhan seputar kulit, rambut, dan kondisi kesehatan pribadi seperti jerawat, bintik hitam, penuaan kulit, rambut rontok, kecemasan performa pria, dan lain-lainnya, sekarang dapat terhubung ke dukungan virtual 24/7 Diri Care, untuk mendapatkan perawatan efektif dengan harga terjangkau.

Diri Care tidak mengenakan biaya untuk layanan konsultasi kepada dokter. Harapannya dengan pilihan ini bisa memberikan akses lebih luas kepada pengguna yang membutuhkan layanan konsultasi.

“Kita memiliki bisnis model yang inovatif, yaitu terintegrasi secara vertikal, end-to-end dengan pelanggan. Berkaca dari pengalaman pelanggan yang masih kurang seamless, kita mencoba untuk menggabungkan aspek layanannya yaitu konsultasi medis dengan dokter dan produk perawatan itu menjadi satu kesatuan, sesuai dengan misi kami untuk membuat high quality access self care untuk menjadi lebih mudah dan terjangkau,” kata COO Diri Care Armand Amadeus.

Untuk memberikan layanan yang menyeluruh, Diri Care juga menghadirkan On Going Care bagi pelanggan. Dengan demikian semua keluhan dan pertanyaan bisa diakses kapan pun oleh pelanggan terkait dengan perawatan diri mereka. On Going Care ini diklaim sebagai desain inovatif awal dari perusahaan.

“Diri Care menjadi platform pertama menawarkan affordable access untuk self care. Kita tidak merasa layanan dan produk ini hanya untuk perempuan atau laki-laki saja. Seperti halnya Bank Jago yang mendigitalkan bank offline dan Ruangguru mendigitalkan tempat les, Diri Care ingin mendigitalkan klinik perawatan diri offline, sekarang semua bisa menikmati layanan secara online,” kata Christian.

Selain Diri Care platform yang menawarkan layanan serupa di antaranya adalah Base, SYCA, Callista, dan beberapa lainnya.

Rencana bisnis usai pendanaan

(ki-ka)Christian Suwarna (CEO), Dr. Deviana Himawan (Chief Clinical Officer), Armand Amadeus (COO)

Saat ini Diri Care telah mengantongi pendanaan awal sekitar 63,8 miliar Rupiah, dipimpin oleh East Ventures dan Sequoia Capital India dan Southeast Asia’s Surge, dengan partisipasi lanjutan dari angel investor Henry Hendrawan.

Dana segar tersebut akan digunakan untuk memperluas akses penawaran Diri Care kepada jutaan pelanggan dan untuk terus meningkatkan kemampuan teknologi platform guna terus memperkuat layanan.

“Pendanaan ini menjadi pembuktian bahwa para investor tersebut telah memberikan kepercayaan kepada tim untuk bisa mengeksekusi visi, yaitu mendemokratisasi akses ke self care,” kata Armand.

Diri Care meluncurkan platform versi beta pada Maret 2022, dan sejak itu mereka telah mencatat lebih dari 13.000 konsultasi dan mengalami pertumbuhan pendapatan sebesar 600%. Diri Care terus meningkatkan platform digital-nya dengan meluncurkan aplikasinya di iOS dan Android dalam waktu dekat.

Technically saat ini platform kami masih dalam versi beta, ke depannya kita akan fokus kepada pengembangan platform agar bisa diakses oleh lebih banyak target pengguna. Kita juga akan fokus kepada kegiatan pemasaran,” kata Christian.

Startup Perawatan “Diri Care” Umumkan Pendanaan 64 Miliar Rupiah

Diri Care adalah sebuah klinik digital on-demand yang membantu masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan kulit, rambut, dan area intim. Selain konsultasi dengan dokter profesional, mereka turut menyajikan produk perawatan dan aneka obat yang telah teruji klinis.

Guna meningkatkan akselerasi bisnisnya, Diri Care mengumumkan telah menutup putaran pendanaan awal senilai $4,3 juta atau setara 64 miliar Rupiah dipimpin East Ventures, Sequoia Capital India, dan Surge; dengan partisipasi lanjutan dari angel investor Henry Hendrawan.

Dana segar akan dialokasikan untuk memperluas akses penawaran Diri Care kepada jutaan pelanggan dan meningkatkan kemampuan teknologi.

“Investasi ini menjadi bukti kuat terhadap misi Diri Care dalam merevolusi solusi perawatan kesehatan konsumen. Diri Care menggabungkan teknologi dan ilmu kedokteran untuk mendorong kesejahteraan dan kepercayaan diri otentik bagi konsumen modern,” ujar Co-Founder & CEO Diri Care Christian Suwarna.

Diri Care didirikan oleh Christian Suwarna (CEO), Armand Amadeus (COO), dan Deviana Himawan (Chief Clinical Officer). Sebelumnya, Chris adalah CMO Traveloka Group dan CEO Traveloka Experience. Armand adalah Project Leader di Boston Consulting Group (BCG) di New York. Sementara Devi adalah dokter kecantikan dan kesehatan di Jakarta.

Gabungkan konsep telemedis dan D2C

Saat ini pengguna bisa mengakses situs diricare.com untuk menikmati layanan yang disajikan. Pelanggan yang memiliki keluhan seputar kulit, rambut, dan kondisi kesehatan pribadi seperti jerawat, bintik hitam, penuaan kulit, rambut rontok, hingga kecemasan performa pria dapat terhubung ke layanan virtual Diri Care 24/7.

Selain layanan telemedis, mereka juga menggunakan model direct-to-consumer (D2C) untuk menjual rangkaian produk yang dikembangkan secara in-house setelah mendapatkan rekomendasi dari dokter terkait. Perusahaan mengklaim, pengiriman ke alamat tujuan bisa dilakukan dalam waktu 2 jam saja.

“Indonesia memiliki pasar kesehatan konsumen yang terus berkembang, dengan 270+ juta penduduk yang mencari solusi kesehatan dan kesejahteraan yang berkualitas dan terjangkau. Transformasi digital adalah pendorong utama hadirnya peluang besar bagi Indonesia untuk meningkatkan kualitas sektor pelayanan kesehatan bangsa,” ujar Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Peluang pasar layanan kesehatan digital

Menurut data yang dihimpun Statista, nilai pasar untuk layanan kecantikan dan perawatan pribadi di Indonesia akan berkembang pesat hingga $9,6 miliar pada tahun 2025 mendatang. Model layanan telemedis memiliki peluang pertumbuhan besar, mengingat saat ini diperkirakan hanya terdapat 0.4 dokter per 1.000 orang. Sehingga waktu tunggu menjadi lama — berdampak pada harga produk/layanan yang menjadi lebih mahal.

Diri Care cukup optimis bisa menangkap peluang tersebut. Sejak meluncurkan platform versi beta pada Maret 2022, mereka telah mencatat lebih dari 13.000 konsultasi dan mengalami pertumbuhan pendapatan sebesar 600%. Untuk menunjang pertumbuhan, dalam waktu dekat mereka segera luncurkan aplikasi untuk platform Android dan iOS.

Beautytech terus mendapatkan dukungan

Sejumlah startup bidang beautytech beberapa terakhir,  termasuk salah satunya Base yang juga turut didukung East Ventures dalam pendanaan pra-seri A mereka. Selain itu sejumlah startup juga telah mendapatkan dukungan pendanaan, seperti SYCA (Salt Ventures dll), Callista (SKALA dll), dan beberapa lainnya.

Industri ini sebenarnya juga telah ramai pemain. Per tahun 2019, pemerintah mencatat ada 797 pelaku usaha kosmetik besar dan skala kecil-menengah. Sebanyak 294 brand telah terdaftar di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Yang jelas, teknologi terus dioptimalkan para pengembang produk untuk memberikan pelayanan yang lebih relevan — baik di sisi distribusi maupun dalam rangka memberikan pengalaman pelanggan yang lebih baik.

Dengan peran teknologi dalam mengefisiensikan rantai bisnis, dinilai konsumsi produk kecantikan akan terus meningkat, dari rata-rata saat ini berkisar  $20 per kapita. Angka tersebut lebih kecil dibandingkan Thailand ($56 per kapita) dan Malaysia ($75 per kapita).

East Ventures Pimpin Pendanaan Awal Startup D2C Asal Singapura “Evo”

Startup direct-to-consumer (D2C) Evo mengumumkan telah menyelesaikan putaran pendanaan awal senilai $600 ribu (senilai 8,9 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh East Ventures. Sejumlah angel investor dari petinggi startup, seperti Aaron Tan (Carro), Joel Leong (ShopBack), Mohandass (Spenmo), dan Jonathan Tan (Prism+) turut berpartisipasi dalam putaran ini.

Putaran ini sekaligus menambah jajaran investor yang telah mendukung Evo sejak berdiri. Mereka adalah Bonjour Holding, SparkLab Ventures, Paragon Capital, Farquhar Ventures, dan super angels yang mencakup pendiri dan tim manajemen dari berbagai startup ternama.

Dana yang terkumpul akan digunakan perusahaan untuk memperluas penawaran produk Evo dan menggandakan anggaran untuk R&D kategori produk baru untuk mengeksplorasi saluran distribusi baru di sektor D2C.

“Kami percaya bahwa Covid-19 telah mempercepat pola pembelian e-commerce global secara drastis. Kami ingin menjadi generasi baru digital native brand yang melayani pelanggan dalam kategori kesehatan dan kebugaran, dengan brand dan konten produk yang lebih baik, serta harga yang lebih terjangkau dengan menghilangkan perantara,” ujar Co-founder dan CEO Evo Roy Ang dalam keterangan resmi, Rabu (3/8).

Evo didirikan pada 2020 oleh Roy Ang (CEO) dan Teoh Ming Hao (COO). Keduanya merupakan bagian dari anggota tim awal Grab Financial Group, yang membangun GrabPay dan produk pembayaran lainnya secara regional. Sebelum bergabung di decacorn tersebut, mereka berdua memegang posisi manajemen di startup media online e27 dan Tech in Asia.

“Kami telah melihat kemahiran dan ketangkasan Evo dalam memenuhi kebutuhan pelanggan yang terus berkembang pada sektor kesehatan dan kecantikan. Kami percaya bahwa pendanaan ini akan membantu Evo untuk memperluas kehadirannya di pasar regional dan menyediakan produk terbaik yang memenuhi kebutuhan pelanggan,” tambah Principal East Ventures Devina Halim

Produk Evo

Evo memosisikan diri sebagai house of brands yang berfokus pada produk kesehatan dan kecantikan. Perusahaan membuat produk suplemen dan perawatan rambut berkualitas tinggi yang dibuat dari pabrik yang sama dengan brand besar global.

Evo memiliki lebih dari delapan produk berbeda, termasuk produk andalannya, BounceBack, sebuah suplemen perawatan hati dan anti gejala hangover. Diklaim produk unggulan ini disukai oleh banyak pekerja dari berbagai pengalaman berkat tingkat kemanjurannya yang tinggi terhadap gejala hangover setelah mabuk.

Selain produk unggulannya, Bounceback, tim Evo juga menawarkan Mantou, produk anti-rambut rontok, dan meluncurkan kategori suplemen lain untuk mengatasi susah tidur, kesehatan rambut, dan kekebalan tubuh melalui brand Stryv.

Beralih dari live commerce software ke D2C, Evo telah mencatat pertumbuhan 700% dalam lima bulan terakhir dan kini beroperasi di 10 pasar secara global. Evo telah mencapai titik impas pada bulan Juni tahun ini, dan bertujuan untuk mencapai 8 digit pendapatan tahunan pada akhir tahun. Selain itu, Evo ingin mengumpulkan tambahan pendanaan sebesar $500 ribu pada kuartal ketiga tahun ini.

Dijelaskan lebih jauh berkat konsep D2C yang diadopsi, konsumen Evo dapat membeli langsung melalui etalase digital native, tanpa harus melewati distributor, grosir, dan pengecer. Dengan proses perdagangan dan persebaran informasi lebih efisien, implikasinya bagi pelanggan akhir adalah kenaikan kualitas produk dan penurunan harga barang secara drastis.

“Kami ingin menjadi katalis untuk perubahan paradigma ini dalam industri kesehatan dan kecantikan,” kata Ang.

Disampaikan pula, perusahaan saat ini beroperasi di 10 pasar dan anggota tim tersebar di Singapura, Indonesia, dan Korea.

Di Indonesia saat ini startup D2C dengan konsep brand aggregator yang sudah hadir di antaranya adalah Una Brands, Hypefast, Tjufoo, OpenLabs, dan USS Networks. Masing-masing juga telah mendapatkan dukungan pendanaan dari VC.

Wawancara dengan Marsela Limesa, Mengulik Ekosistem Bisnis BeautyTech Somethinc

Indonesia merupakan pasar yang berkembang untuk produk kosmetik dan perawatan kulit dan wajah (skincare). Fakta ini telah mendorong pelaku pasar global dan lokal untuk semakin berinovasi. Di antara gempuran merek-merek global di pasar, ada satu merek lokal yang berhasil mencuri perhatian para beauty enthusiast di Indonesia.

Belum genap tiga tahun berdiri, Somethinc sudah merajai berbagai situs-situs belanja dalam kategori kosmetik atau skincare. Di usia yang terbilang dini dengan popularitas yang kian menanjak, perjalanan bisnis Somethinc cukup panjang dan menantang.

DailySocial berkesempatan mewawancara Co-Founder dan President Somethinc Marsela Limesa untuk menggali lebih dalam kisahnya membangun perusahaan ini.

Usaha ini sudah dirintis dari tahun 2014, kala itu e-commerce masih di tahap early, ungkap Marsela. Ia membangun Beautyhaul, sebuah marketplace brand kecantikan dan perawatan yang terkurasi. Platform ini menyediakan berbagai brand kosmetik, baik global maupun lokal.

Selama menjalankan bisnis marketplace, mereka juga melakukan riset terhadap pengguna serta produk-produk yang ditawarkan di platform-nya.

“Kita belajar bahwa orang Indonesia mau dan mampu untuk membeli produk-produk kecantikan, bahkan produk luar yang harganya relatif tinggi. Lalu kita mulai mempertimbangkan untuk membuat brand sendiri,” ujar Marsela.

Namun, menciptakan sebuah brand juga tidak mudah. Ia mengaku beberapa kali gagal karena terlalu terburu-buru sehingga tidak memiliki positioning dan nilai tambah yang kuat untuk bersaing di pasar. Sampai pada pertengahan tahun 2019 terbentuklah Somethinc.

Somethinc debut dengan produk perawatan wajah (skincare), lebih tepatnya serum. Ketika itu produk seperti ini masih tergolong niche. Tidak hanya menawarkan produk, perusahaan mengambil peran sebagai pionir serta mengedukasi pasar hingga kategori ini semakin besar. Kini perusahaan sudah mengembangkan lini produk kosmetik Somethinc menjadi lebih dari 170 jenis serta mengembangkan brand baru bernama Glowinc.

“Somethinc sendiri hadir karena ingin mencoba menyelesaikan masalah di mana kita sebagai konsumen Indonesia harus memilih antara kepercayaan (trust), personalisasi, dan kemampuan (affordability). Kita coba menyeimbangkan semuanya melalui produk-produk Somethinc,” tambah Marsela.

Selain Beautyhaul dengan produknya Somethinc, industri beautytech di Indonesia turut diramaikan beberapa pemain lain. Sebut saja Female Daily yang berbasis komunitas sejak 2005 dan Sociolla (Social Bella) yang mulai beroperasi di tahun 2015.

Ekosistem produk kecantikan yang tech-enabled

Di mata sebagian orang, menjalankan bisnis di industri kecantikan seringkali dinilai hanya dari sudut pandang konvensional. Demikian pula Beautyhaul yang lebih populer dengan label produknya, Somethinc. Namun, dibalik angka penjualan yang terus melambung, terdapat ekosistem terpadu yang menyokong pertumbuhan bisnis perusahaan.

Marsela mengaku, banyak orang beranggapan bahwa perusahaan yang bergerak di industri kecantikan tidak perlu mengimplementasikan teknologi.

Pada kenyataannya, perusahaan berinvestasi banyak dalam teknologi, mulai dari riset dan data yang digunakan dalam pengembangan produk, lalu channel penjualan yang beragam, salah satunya melalui marketplace yang mereka kelola sendiri, Beautyhaul. Selain itu, perusahaan juga telah mengumpulkan komunitas yang kuat dalam membantu pemasaran produknya.

Disinggung mengenai proposisi nilai, Marsela mengungkap secara model bisnis, untuk brand dan O2O commerce memiliki posisi dan porsinya masing-masing, maka dari itu tidak bisa dibandingkan atau disamaratakan. Namun, pihaknya mengaku sangat mengutamakan pengalaman pengguna dalam setiap inovasi yang diciptakan.

“Kita tidak pernah mengandalkan penjualan berbasis diskon tetapi kita coba membangun customer love. Dari sisi inovasi, kita bergerak cepat untuk mengembangkan produk yang belum pernah dipikirkan orang lalu menciptakan trend. Beauty business kuncinya adalah trust, lalu kita berinovasi lewat produk dan model bisnis,” tambah Marsela

Sebagai brand yang terbilang masih lebih muda dibandingkan produk kecantikan lainnya, Marsela mengaku mengalami tantangan beragam dari tiap lini. Mulai dari mencari product-market fit, membangun distribusi dan go to market-nya. Dalam mengembangkan produknya, perusahaan juga memiliki laboratorium serta mengelola warehouse secara mandiri.

Meskipun begitu, fasilitas ini dijalankan oleh tim R&D dan teknis yang solid. Jumlah tim juga berkembang pesat dari hanya 70 orang di masa awal hingga lebih dari 600 karyawan di tahun ini.

Challenge-nya sekarang, kita sudah profitable, secara cashflow juga sehat. namun kita tetap harus bertumbuh layaknya startup, tanpa menghancurkan bagian yang sudah profitable,” ungkap Marsela.

Secara bisnis, Somethinc tidak hanya menerapkan satu model bisnis. Marsela sendiri mengungkapkan, perusahaannya merupakan creative business, yang berarti ada penciptaan di mana “content is king and distribution is God“. Perusahaan memproduksi konten internal, lalu menjalankan supply chain dan warehouse sendiri. Selain itu mereka juga fokus untuk omnichannel dan distribusi, termasuk langsung ke konsumer (D2C).

Marsela berharap Somethinc bisa menjadi perusahaan yang bergerak di industri retail namun juga memiliki roh startup. Saat ini perusahaan juga sedang banyak menjangkau talenta untuk tim produk dan teknologi. Hal ini semata-mata untuk bisa membangun sebuah ekosistem produk kecantikan yang tech-enabled.

Rencana ke depan

Menurut data Statista, permintaan konsumen Indonesia akan produk kecantikan internasional dan lokal terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini tercermin dari tren kenaikan pendapatan pasar kecantikan dan perawatan tubuh di Tanah Air sejak tahun 2017.

Marsela juga mengungkapkan untuk brand perawatan wajah atau skin care saja nilainya bisa mencapai $2 miliar. Riset Inventure-Alvara Januari 2022, mencatat konsumen mencari produk kecantikan yang memberikan efek glowing (39,6 persen), whitening (21,7 persen), anti acne (19,6 persen), dan anti aging (19,1 persen).

Disinggung mengenai bisnis produk dan marketplace-nya, Marsela mengungkapkan bahwa keduanya harus bisa berjalan beriringan. Perihal mana yang harus dikembangkan lebih intensif, tergantung kapital juga ambisinya.

“Ketika ingin membesarkan sebuah brand, kita harus punya strategi go to market. Keuntungannya, kita menjalankan bisnis direct to consumer, jadi kita punya data konsumer. Dengan begitu, kita bisa lebih tau sifat dan keinginan pengguna seperti apa. Semuanya berkesinambungan,” pungkas Marsela.

Dari sisi pendanaan, Somethinc sudah memiliki dukungan kuat Sequoia Capital. Marsela sendiri pernah menjadi bagian perusahaan investasi ternama Silicon Valley ini.

Selain Marsela, Somethinc juga didirikan dua alumni Universitas Pelita Harapan yaitu Irene Ursula dan Benny Yahya. Saat ini, perusahaan mengaku sudah mendulang profit secara organik. Ambisi selanjutnya adalah ekspansi secara global serta menambah model bisnis baru.

Meskipun sudah beroperasi sejak lama, Marsela mengaku baru mulai intensif mengimplementasikan teknologi sejak dua tahun terakhir. Perusahaan juga masih gencar mencari talenta yang bisa mendukung pertumbuhan bisnis, terutama dari sisi produk dan teknologi.

“Ke depannya kita juga mau end-to end, kalau memungkinkan bisa punya supply sendiri. Pada akhirnya, startup menyediakan solusi untuk menyelesaikann masalah. Demikian pula dengan apa yang jadi tujuan kami melalui Beautyhaul dan Somethinc,” tambah Marsela.

East Ventures Leads RPG Commerce’s Series B Funding

East Ventures is leading a $29 million or approximately 431 billion Rupiah series B funding round for RPG Commerce. In addition, this round was also led by UOB Venture Management, Vertex Ventures SEA & India (VVSEAI), and RHL Ventures.

In his official statement, East Ventures’ Co-founder and Managing Partner, Willson Cuaca said, RPG Commerce has a unique position as it takes an approach by serving various categories, brands, and roll-up models in e-commerce sector.

He said this is an important strategy for D2C businesses to attract international interest in ensuring its success in the market. “RPG Commerce is capable to grow a loyal customer base in the United States, Canada, and Europe, through quality products and innovation in the supply chain,” Willson said.

RPG Commerce’s Co-founder & CEO, Melvin Chee said he would use the additional funding to add to the brand portfolio and the team numbers, encourage R&D innovation, also M&A. “We wanted to quickly add to our talent and leverage technology capabilities to expand our consumer landscape,” Melvin said.

On a general note, RPG Commerce is a D2C-based social commerce startup from Malaysia. The platform offers in-house brand products in the categories of daily necessities, clothing to basic household. Currently, RPG partners with more than ten brands, including Thousand Miles, Bottom Labs, Eubi, Montigo, and Cosmic Cookware.

RPG manages various brands from product launch, operations, and optimization supported by end-to-end production and delivery. According to the company’s data, RPG is supported by state-of-the-art back-end technology and a visionary creative team that has been able to rapidly expand its brand portfolio and grow its customers by 300% over the past year.

With the spirit of supporting independent businesses with on-demand products, he aims to empower small business owners through incubation and acquisition programs to serve consumers in various verticals.

Investment climate and social commerce potential

In a recent interview with DailySocial.id, Willson Cuaca mentioned some interesting notes regarding the investment climate. Despite the negative sentiment in the Indonesian startup ecosystem, he believes that this has not changed his position in finding potential startups.

He said, there are still many startups with good fundamentals. “Remain calm and alert in dealing with this situation. Seek support from your investors, be more prudent in spending, and don’t do fundraising when your company needs money,” Willson advises the founders.

In the context of social commerce in Indonesia, this model shows the potential for great growth in the future. Bain & Co data recorded that transactions from social commerce contributed $12 billion to the total GMV of e-commerce in the country which amounted to $47 billion in 2020.

In addition, social commerce trends continue to develop considering that rural communities still have limited access to fulfill their needs through online platforms compared to people living in urban areas.

By empowering the distribution network model or reseller, social commerce can open access to products and wider job opportunities.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

East Ventures Pimpin Pendanaan Seri B di RPG Commerce

East Ventures memimpin putaran pendanaan seri B senilai $29 juta atau sekitar 431 miliar Rupiah kepada RPG Commerce. Selain East Ventures, putaran ini juga dipimpin oleh UOB Venture Management, Vertex Ventures SEA & India (VVSEAI), dan RHL Ventures.

Dalam keterangan resminya, Co-founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan, RPG Commerce memiliki posisi unik karena mengambil pendekatan dengan melayani berbagai kategori, merek, dan model roll-up di sektor e-commerce.

Menurutnya, ini menjadi strategi penting bagi bisnis D2C untuk memiliki daya tarik internasional demi memastikan kesuksesannya di pasar. “RPG Commerce mampu menumbuhkan basis pelanggan loyal di Amerika Serikat, Kanada, hingga Eropa, melalui produk berkualitas dan inovasi di supply chain,” tutur Willson.

Co-founder & CEO RPG Commerce Melvin CHee menyebutkan akan menambah portofolio merek dan jumlah SDM, mendorong inovasi R&D, hingga M&A dengan tambahan pendanaan ini. “Kami ingin menambah talenta kami dengan cepat dan meningkatkan kemampuan teknologi untuk memperluas lanskap konsumen kami,” ujar Melvin.

Sebagai informasi, RPG Commerce merupakan startup social commerce berbasis D2C asal Malaysia. RPG menawarkan produk merek in-house pada kategori kebutuhan sehari-hari, pakaian hingga rumah tangga. Saat ini, RPG bermitra dengan lebih dari sepuluh merek, termasuk Thousand Miles, Bottom Labs, Eubi, Montigo, dan Cosmic Cookware.

RPG mengelola berbagai merek mulai dari peluncuran produk, operasional, hingga optimalisasi yang didukung oleh produksi dan pengiriman secara end-to-end. Menurut perusahaan, RPG didukung teknologi back-end canggih dan tim kreatif yang visioner sehingga mampu melakukan ekspansi portofolio merek dengan cepat dan pertumbuhan pelanggan hingga 300% selama satu tahun terakhir.

Dengan semangat mendukung bisnis secara independen dengan produk sesuai permintaan, pihaknya berharap dapat memberdayakan pemilik bisnis kecil melalui program inkubasi dan akuisisi demi melayani konsumen di berbagai vertikal.

Iklim investasi dan potensi social commerce

Dalam wawancara dengan DailySocial.id baru-baru ini, Willson Cuaca memberikan beberapa catatan menarik terkait iklim investasi. Terlepas dengan adanya sentimen negatif di ekosistem startup Indonesia, ia menilai hal tersebut tidak mengubah posisinya dalam mencari startup yang potensial.

Menurutnya, masih banyak startup-startup yang memiliki fundamental yang baik. “Tetap bersifat tenang dan sigap dalam menghadapi situasi ini. Mencari dukungan dari para investor Anda, be more prudent in spending, dan jangan melakukan fundraising di saat perusahaan Anda memerlukan uang,” saran Willson untuk para founder.

Dalam konteks social commerce di Indonesia, model ini termasuk yang menunjukkan potensi pertumbuhan besar di masa depan. Data Bain & Co mencatat transaksi dari social commerce menyumbang $12 miliar terhadap total GMV e-commerce di tanah Air yang sebesar $47 miliar di 2020.

Di samping itu, tren social commerce terus berkembang mengingat masyarakat pedesaan masih memiliki keterbatasan akses dalam memenuhi kebutuhannya melalui platform online dibanding masyarakat yang tinggal di perkotaan.

Dengan memberdayakan model jaringan distribusi atau reseller, social commerce dapat membuka akses terhadap produk dan kesempatan kerja lebih luas.