OCBC Ventura Berikan Venture Debt Senilai 3-5 juta USD ke Operator Gym FTL

OCBC Ventura memberikan pendanaan dalam bentuk venture debt ke Faster Than Light (FTL) senilai 3-5 juta US Dollar. Seperti diberitakan DealStreetAsia, pendanaan ini menandai langkah penting bagi FTL dalam misinya untuk merevolusi industri kebugaran (fitness) di tanah air.

Ini adalah venture debt kedua yang diumumkan lengan investasi Bank OCBC setelah sebelumnya masuk ke sektor consumer dengan menyuntik Vilo. Sejak 2023, OCBC Ventura memang tengah menjajaki potensi penyaluran venture debt ke sektor kesehatan (termasuk kebugaran) dan ritel untuk hipotesis beyond banking mereka.

Sejak didirikan pada tahun 2020 oleh CEO Erik W.S., FTL telah menjadi pelopor dalam menyediakan fasilitas mega-gym. Memberikan kenyamanan dengan tempat yang luas dinilai jadi proposisi nilai yang membuat FTL mendapati pertumbuhan pengguna yang signifikan.

Dana debt ini akan digunakan untuk memperluas jaringan FTL dengan menambah 30 gym baru di wilayah Jabodetabek serta ekspansi ke kota-kota besar lainnya seperti Bandung, Surabaya, dan Bali. Saat ini, FTL sudah mengoperasikan 20 gym yang buka selama 24 jam di sekitar Jabodetabek.

Managing Director OCBC Ventura Darryl Ratulangi menyatakan bahwa meningkatnya kesadaran akan kesehatan dan bertambahnya jumlah kelas menengah di Indonesia menjadi faktor utama investasi mereka di FTL.

“Kami sangat antusias dengan potensi di sektor healthcare konsumen ini,” ujar Darryl.

Dengan tingkat partisipasi kebugaran di Indonesia yang baru mencapai 1% dari populasi, jauh di bawah rata-rata Asia Tenggara yang sebesar 2,4%, peluang untuk pertumbuhan di sektor ini sangat besar. FTL berada di posisi yang tepat untuk memimpin transformasi ini dengan membawa solusi kebugaran yang komprehensif kepada lebih banyak orang di seluruh negeri.

Keberhasilan FTL dalam meraih pendanaan ini tidak hanya menunjukkan kepercayaan investor terhadap model bisnis mereka, tetapi juga menyoroti potensi besar pasar kebugaran di Indonesia yang masih belum tergarap sepenuhnya.

FTL terus berkomitmen untuk memberikan yang terbaik bagi para anggotanya dengan menyediakan fasilitas berkualitas tinggi dan berbagai program kebugaran yang inovatif. Dengan dukungan dari OCBC Ventura, FTL siap membawa lebih banyak orang Indonesia menuju gaya hidup sehat dan aktif.

Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

OCBC Ventura Dorong Penyaluran “Venture Debt”, Fokus di Area Kesehatan dan Ritel

OCBC NISP Ventura (ONV) melanjutkan strategi investasi beyond banking dengan memperkenalkan Vilo sebagai portofolio terbarunya. Vilo adalah perusahaan gelato Indonesia di segmen consumer retail, yang menerima pendanaan dengan nominal yang dirahasiakan dalam bentuk utang (venture debt).

Dihubungi DailySocial.id secara terpisah, Direktur Utama OCBC Ventura Darryl Ratulangi mengungkap bahwa perusahaan tengah dalam proses merampungkan kesepakatan pendanaan pada 2-3 portofolio baru menjelang akhir 2023.

“Di tahun 2023, kami memang sedang mengembangkan venture debt dengan fokus pada area consumer retail–termasuk F&B–dan healthcare. Kami melihat ada peluang di mana sektor tersebut masih underbanked, tetapi [sektor ini] tidak terlalu cocok untuk investasi dengan skema venture capital,” ujar Darryl.

Sejak beroperasi di 2020, OCBC Ventura telah mengucurkan pendanaan ke 15 startup lainnya di berbagai vertikal, termasuk agritech (EdenFarm), e-commerce enabler (Sirclo), fintech (AwanTunai, GajiGesa), online media (IDN Media, USS Networks), dan proptech (99 Group, Dekoruma, Rukita).

Ia menambahkan, OCBC Ventura memiliki metrik berbeda-beda untuk mengukur sinergi portofolio dari ragam sektor yang dimasukinya. Ia meyakini tidak ada satu metrik sama yang dapat diaplikasikan ke seluruh portofolio, tetapi perusahaan terus mendorong kemitraan untuk menciptakan produk dan solusi bagi pelanggan.

Sekilas mengenai Vilo, perusahaan gelato ini didirikan oleh Vincent Kusuma, Christian Susilo, dan Tomi Lunardi pada 2017. Pendanaan ini akan digunakan untuk mendorong ekspansi outlet secara nasional hingga mempercepat inovasi produk dengan menghasilkan serangkaian rasa gelato baru.

Vilo telah memproduksi lebih dari 21 ton gelato per bulan dan mengoperasikan lebih dari 20 outlet di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Bali. Pihaknya ingin menghadirkan gelato lokal yang mampu bersaing dengan merek internasional.

“Kolaborasi kami dengan OCBC Ventura adalah suatu pencapaian penting dalam perjalanan kami dan kemitraan finansial ini akan memperkuat posisi kami di pasar gelato. Kami harap dapat memberikan nilai yang lebih besar kepada para pelanggan dan mitra kami,” ujar CEO Vilo Vincent Kusuma dalam keterangan resminya.

Skema venture debt menjadi instrumen keuangan baru yang diperkenalkan OCBC Ventura agar startup dapat mengoptimalkan modal dan mempercepat pertumbuhan bisnisnya.

Skema tersebut kini banyak digunakan oleh bank maupun pemodal ventura di Indonesia. Bagi founder, venture debt dinilai memiliki risiko lebih rendah dan lebih nyaman untuk diambil karena tidak mengurangi porsi kepemilikan saham perusahaan. Founder tetap dapat memegang kendali perusahaan.

Bank CIMB Niaga dan Genesis Alternative Ventures adalah salah satunya yang memiliki venture debt khusus untuk pembiayaan startup di bidang fesyen, ritel, F&B, kesehatan, hingga manufaktur.

Potensi healthtech dan consumer retail

Sektor healthtech dan consumer retail menjadi sektor yang cukup banyak dilirik oleh pemodal ventura selama beberapa tahun terakhir. Pandemi Covid-19 menjadi faktor signifikan yang ikut mendorong perubahan perilaku konsumen dalam mengonsumsi layanan kesehatan maupun barang.

Laporan DS/X Ventures mengungkap nilai industri healthcare di Indonesia diproyeksi mencapai $68 miliar pada 2030. Dari data yang dihimpun selama sepuluh tahun terakhir, total pendanaan yang mengalir ke startup healthtech di Indonesia sebesar $231,7 juta.

Sementara, kemunculan startup consumer retail memanfaatkan pendekatan direct-to-consumer (D2C) untuk memperkenalkan produknya. Ekosistem marketplace, pembayaran, hingga logistik memungkinkan pemain D2C untuk menjangkau konsumen langsung dengan memotong sejumlah rantai distribusi.

Hipotesis OCBC NISP Ventura Terhadap Strategi Investasi “Beyond Banking”

OCBC NISP Ventura (ONV), lengan permodalan startup dari Bank OCBC NISP, memastikan optimismenya dengan strategi investasinya terhadap startup “embedded finance”, sebab diyakini semua vertikal bisnis (beyond banking) memiliki aspek kebutuhan finansial dalam rangka pengembangan usahanya.

Terhitung sejak pertama kali beroperasi di 2020, perusahaan telah berinvestasi ke 15 startup di berbagai vertikal, termasuk di antaranya proptech (99 Group, Dekoruma, Rukita), fintech (AwanTunai, GajiGesa), online media (IDN Media, USS Networks), agritech (EdenFarm), dan e-commerce enabler (Sirclo).

“Ada yang bilang kami tidak terukur setiap berinvestasi. Sebenarnya, kami memiliki besaran strateginya [setiap berinvestasi]. Ambil contoh, kreator konten itu adalah the next big things tapi sekarang mereka belum bisa dapat service bank yang setara. Perusahaan media mengerti dunia tersebut dan bisa kasih value pendapatan income mereka,” terang Managing Director OCBC NISP Ventura Darryl Ratulangi saat media briefing di Jakarta, (08/8).

Ia melanjutkan, “Ketika kreator konten bisa dikolaborasikan dengan bank, maka bank akan mendapat segmen market baru. Ambisi kita bisa berikan service perbankan untuk para freelance seperti ini. Tapi tidak mungkin bangun ini sendiri, sulit untuk meng-assess-nya, makanya harus kolaborasi.”

Contoh lainnya adalah investasi yang dikucurkan ONV untuk Edenfarm. Darryl menerangkan, aspirasinya adalah mempermudah proses pengajuan kredit usaha untuk pengadaan suplai barang-barang pangan untuk industri horeka. Caranya dengan membuat pre-approval kredit, lewat data historis transaksi merchant Edenfarm akan diperoleh estimasi pendapatan tanpa mereka perlu memasukkan berbagai persyaratan.

“Jadi tanpa perlu bisa apply loan, bank bisa memberikan loan sekian juta untuk per merchant-nya, kemudian tinggal kontak. Jadinya banking bisa seamless. Ini kami sebut embedded finance, produk keuangan dikemas dalam bentuk berbeda dan distribusinya dengan channel yang beda.”

OCBC NISP Ventura berinvestasi pada startup dengan tahap awal hingga seri A dengan nominal berkisar dari $1 juta sampai $3 juta (Rp15 miliar sampai Rp45 miliar). Bentuk pendanaannya bisa melalui penyertaan modal, pembelian obligasi konversi, dan lainnya. Sejauh ini seluruh startup didanai melalui penyertaan saham. ONV baru berinvestasi untuk startup asal Indonesia saja.

Nilai sinergi

Seperti mandat CVC pada umumnya yang harus selalu bersinergi dengan grup perusahaan, Darryl mengaku angkanya belum pernah diukur secara nominal. Ia memberikan contoh dari hasil investasi untuk AwanTunai. Tidak hanya investasi ekuitas, tapi juga fasilitas kredit (channeling) juga diberikan untuk startup tersebut. Disebutkan, channeling yang dikontribusikan dari AwanTunai mencapai Rp100 miliar per bulannya.

“Walau nominal ini masih kecil, tapi ini jadi permulaan yang bagus untuk sebuah startup. Harapannya nilai sinergi dari seluruh portofolio bisa lebih besar lagi.”

OCBC NISP Ventura berpartisipasi sebanyak dua kali putaran pendanaan yang digelar AwanTunai, pada seri A2 dan pra-seri B di 2021. Pada tahun sebelumnya, Bank OCBC NISP masuk sebagai salah satu lender institusi untuk AwanTunai untuk fasilitas channeling. Selain perusahaan, jajaran investor lainnya yang bergabung dalam kedua putaran tersebut, antara lain BRI Ventures, Insignia Ventures, dan Global Brains.

Pun dari segi profit yang berhasil dicapai, menurutnya, baru bisa dilihat secara paper gain karena seluruh portofolio masih bersifat aktif dan belum ada langkah exit yang dipilih OCBC NISP Ventura. Besar kemungkinan realisasi profit yang bisa dituai perusahaan baru terlihat pada 2025-2027 mendatang.

“Karena sifat investasi kita jangka panjang 5-7 tahun, jadi profit baru secara paper gain. Kita baru mulai di 2020, mulai 2025-2027 adalah saat-saat kita bisa mulai realized yang ada di portofolio [gain atau loss], sampai titik itu belum tiba, belum akan realized jadi sebuah profit.”

Iklim investasi

Dalam laporan DealStreetAsia SEA Deal Review Q1 2023, dipaparkan terdapat 195 kesepakatan pendanaan ekuitas yang diterima startup dari VC di Asia Tenggara sepanjang Q1 2023. Meskipun angka ini lebih tinggi dari kuartal sebelumnya dengan total 187, volume-nya 37% lebih rendah secara year-on-year (YoY).

Berdasarkan total modal yang terkumpul pada Q1 2023 sebesar $2,08 miliar, turun 25% dari Q4 2022 dan 52% YoY dari periode yang sama tahun lalu. Di Indonesia saja, menandatangani 36 kesepakatan dengan total $432 juta atau sekitar 20,8% dari keseluruhan pangsa nilai pendanaan ekuitas di kawasan Asia Tenggara.

Menurut Darryl, data di atas memperlihatkan bahwa Indonesia masih memiliki potensi ekonomi digital terbesar se-Asia Tenggara. Walau begitu, perusahaan tetap menerapkan prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi, tidak fear out missing out (FOMO) ikut suntik startup yang tiba-tiba mentereng.

“Kami tidak punya fokus sektor dan tidak ada target harus disbursed berapa pada tahun ini. Kami lihatnya harus tetap oportunistis, ketika ada startup dengan pertumbuhan bagus dan harga cocok, maka kita akan masuk”

Terlebih, Indonesia akan segera masuk ke tahun politik. Menurut dia, tahun politik itu biasanya terjadi peningkatan konsumsi karena perputaran uang dari partai.

Industri yang berhubungan langsung, seperti e-commerce, logistik, pangan, akan merasakan dampak dari tahun politik ini. “Kita selalu bullish dengan pertumbuhan ekonomi ke depan,” pungkasnya.

Unicorn Bukan Fokus Utama, Startup Perlu Lebih Perhatikan Fundamental

Menurut APJII, penetrasi internet di Indonesia di tahun 2023 telah mencapai 78,19% atau menembus 215.626.156 jiwa dari total populasi yang sebesar 275.773.901 jiwa. Angka ini meningkat hampir 200% dari satu dekade lalu sebesar 71,9 juta, sekitar 34,9% dari total populasi saat itu.

Sejalan dengan itu, pertumbuhan perusahaan teknologi juga semakin pesat. Hingga saat ini terdapat setidaknya 14 unicorn atau startup bervaluasi lebih dari $1 miliar di Indonesia. Angka ini meningkat pesat dibanding periode 2016-2020 yang mencetak 5 perusahaan unicorn.

Melihat potensi perkembangan industri teknologi Indonesia, bank OCBC NISP menggelar “OCBC NISP Business Forum 2023” dengan salah satu tema utamanya bertajuk “Finding the Next Unicorn”. OCBC NISP sendiri turut mendukung pertumbuhan industri teknologi melalui perpanjangan tangan dalam bentuk investasi OCBC NISP Ventura.

Beberapa figur kenamaan di ekosistem investasi Indonesia hadir sebagai panelis, termasuk Willson Cuaca (East Ventures), Alexander Rusli (Digiasia), serta Darryl Ratulangi (OCBC NISP Ventura). Ketiganya berbagi pandangan tentang unicorn dalam industri teknologi, serta rekomendasi dan strategi perusahaan rintisan di tengah isu tech winter dan resesi.

Utamakan fundamental

Adalah mutlak bagi sebuah perusahaan rintisan untuk menciptakan solusi bagi permasalahan yang ada di pasar. Membangun produk yang baik membutuhkan proposisi nilai yang dapat dipertahankan. Untuk mencapai hal ini, startup perlu menetapkan posisi produk yang kuat, menemukan kecocokan pasar produk, dan memanfaatkan teknologi untuk mendobrak model bisnis tradisional.

Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menegaskan, “Kami berinvestasi berdasarkan keyakinan, alih-alih mencari valuasi atau unicorn. Kami tidak pernah mencari unicorn, karena unicorn adalah produk sampingan saat Anda mampu menciptakan nilai. Apa yang kami cari adalah problem statement yang ingin diselesaikan, yang akan menentukan apakah solusinya adalah ‘penghilang rasa sakit’ atau hanya ‘vitamin’,”

Co-Founder & Co-CEO Digiasia Alexander Rusli mengamini hal ini. Menurutnya, perusahaan tidak seharusnya fokus pada misi untuk mencapai unicorn, melainkan mencurahkan pikiran sepenuhnya pada usaha untuk membangun bisnis yang baik. “Jika memang berjalan, valuasi akan mengikuti,” tegasnya.

Alex menilai bahwa banyak para pendiri yang memiliki mindset bahwa valuasi adalah segalanya dan berangkat dengan mimpi menjadi unicorn. Pandemi dan tech winter ini disebut sebagai pengingat serta proses pembentukan mental para pendiri. “Kita butuh orang-orang yang mengerti cara berjuang dan tidak menyerah ketika dihadapkan pada tantangan,” ujarnya.

Di samping itu, Darryl Ratulangi selaku Direktur OCBC NISP Ventura juga mengungkapkan pengaruh sentimen pasar terhadap keberlangsungan sebuah industri. “Perusahaan teknologi dengan fundamental yang baik tetapi memiliki sentimen buruk di masyarakat akan mengakibatkan valuasi tertekan,” ujarnya.

Maka dari itu dibutuhkan kerja sama dari seluruh ekosistem untuk bisa menciptakan pasar yang memiliki sentimen baik, sehingga ke depannya juga bisa membangun kepercayaan investor untuk bisa menanamkan modal di perusahaan.

Kejar profitabilitas

Dalam industri digital, atribut dari startup digital yang baik adalah disrupsi, menciptakan sesuatu yang sama sekali baru, yang membutuhkan waktu dan sumber daya. Jadi, tujuan utama sebuah startup pada awalnya bukanlah untuk menghasilkan uang, tetapi untuk membangun produk yang kuat.

“Melihat ke belakang, tidak ada yang mengira bahwa ride-hailing atau OTA (online travel agent)menjadi solusi yang tepat bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Terminologi ‘burning money’ dapat diartikan sebagai upaya membeli waktu dan membangun kepercayaan. Proses masyarakat dari tidak tahu menjadi tahu, lalu mulai menggunakan, hingga semakin bergantung pada layanan-layanan tersebut,” papar Darryl.

Dengan tingkat pertumbuhan yang pesat, ada beberapa model bisnis yang tidak bisa scale up sehingga pertumbuhannya akan mandek di satu titik. Dalam ranah aplikasi, sering disebut skalabilitas, yaitu kemampuan sistem untuk terus tumbuh menyesuaikan dengan volume data. “Di sinilah teknologi berperan dalam mengakselerasi sebuah bisnis dan meningkatkan skalabilitasnya,”ujar Alex.

Ketika sudah sampai pada tahap ini, Willson mengungkapkan, “Kami tidak mendorong startup kami untuk ‘membakar uang’ untuk mendapatkan pelanggan, sebaliknya perusahaan perlu fokus untuk mencapai profitabilitasnya; karena akuisisi pelanggan lebih murah, dan pelanggan lebih cenderung mempertahankan produk.”

Terkait profitabilitas, Alex turut menambahkan,”Saya percaya setiap transaksi, unit economics-nya harus positif, hingga sampai pada skala tertentu di mana angka tersebut bisa menutupi biaya produksi, sehingga pada akhirnya menciptakan profit.”

Pasar yang potensial

Tahun 2022 sendiri menjadi tahun yang cukup berat bagi industri teknologi maupun investasi. Mulai dari tantangan yang ditimbulkan oleh resesi global, tech winter yang terjadi di industri teknologi, dan runtuhnya Silicon Valley Bank di Amerika Serikat, semua telah memengaruhi penilaian terhadap startup.

Meskipun begitu, East Ventures mengaku tetap berkomitmen untuk berinvestasi di Indonesia – pasar terbesar di Asia Tenggara. Di tahun 2022, East Ventures telah mencatat total 105 kesepakatan, 85 di antaranya merupakan portofolio baru, dengan total dana sekitar US$211 juta yang disalurkan kepada startup di tahap awal dan lanjut.

Sementara itu OCBC NISP Ventura sebagai modal ventura yang didukung oleh bank akan tetap fokus berinvestasi di sektor yang berkaitan dengan perbankan. Namun, melihat perkembangan teknologi di industri perbangkan serta banyaknya inovasi digital yang bermunculan, Darryl memiliki keyakinan bahwa “Semua perusahaan rintisan pada akhirnya akan menjadi perusahaan fintech!”

Sebagai seorang investor dan juga pemimpin perusahaan fintech as a service pertama di Indonesia, Alex percaya bahwa investasi mengalir ketika kepercayaan sudah terbentuk. Hal ini juga berlaku pada East Ventures yang dinakhodai Willson Cuaca.

“Di East Ventures, kami biasa menilai dengan rumus “3P” – People, Product, and Potential Market. Namun, produk bagus dibangun oleh orang baik yang menangani pasar besar. Jadi yang kami fokuskan sekarang adalah “2P”: People and Potential Market. Kami tidak menganggap diri kami sebagai investor digital, melainkan investor biasa yang berinvestasi pada pendiri yang memanfaatkan teknologi digital untuk mendisrupsi industri tradisional,” ungkap Willson.

Flying Cape Akuisisi Kiddo untuk Melancarkan Ekspansi Regional

Platform edtech yang fokus menyediakan aktivitas belajar dan hiburan anak Kiddo mengumumkan telah diakuisisi Flying Cape untuk mendukung ekspansi regionalnya. Flying Cape adalah platform edtech yang menyediakan layanan pemesanan dan konsultasi  pendidikan, baik untuk kelas formal maupun nonformal. Layanan ini ditujukan bagi calon peserta didik usia dini hingga setara sekolah menengah atas.

Akuisisi ini ditempuh melalui penerbitan saham baru di Flying Cape kepada pemegang saham Kiddo, termasuk melibatkan OCBC NISP Ventura yang merupakan investor awal Kiddo. Komitmen ini menunjukkan bahwa setelah akuisisi ini, OCBC NISP Ventura dan pemegang saham lainnya akan terus mendukung Flying Cape Group dalam pertumbuhan bisnisnya.

Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO Kiddo Analia Tan mengungkapkan, Flying Cape dam Kiddo memiliki visi yang sama untuk membangun ekosistem edukasi global. Dengan bersatu dirinya optimis  dapat merealisasikan visi tersebut secara lebih cepat.

Disampaikan juga, Kiddo tetap berjalan secara independen, namun akan banyak sinergi yang akan dilakukan bersama dengan Flying Cape.

“Bersama dengan Flying Cape, kami akan menjadi jembatan bagi mitra edukasi di negara masing-masing untuk saling terhubung dan berkolaborasi, sehingga mitra kami bisa menjajaki peluang bisnis ke wilayah pasar yang lebih besar. Di sisi lain, pelajar juga bisa memiliki akses edukasi yang lebih bervariasi, baik dari dalam  maupun luar negeri.”

Meluncur tahun 2018 lalu, Kiddo menyasar kalangan orang tua yang membutuhkan pilihan baru untuk menghabiskan waktu yang berkualitas bersama anak. Varian produk Kiddo dilengkapi dengan berbagai aktivitas seperti program belajar, paket liburan, hingga kelas pelatihan.

“Kami sangat senang menyambut Kiddo sebagai anggota baru grup perusahaan. Dengan lebih dari 60 juta siswa, Indonesia memiliki sistem pendidikan terbesar di Asia Tenggara dan terbesar keempat di dunia setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat. Dengan kehadiran di Indonesia, kami ingin  menyediakan jaringan regional yang terintegrasi, memungkinkan pelajar dan penyelenggara pendidikan di Singapura dan Indonesia dapat terhubung  tanpa memandang lokasi geografis,” kata Founder & CEO Flying Cape Jamie Tan.

Pendanaan awal hingga kerja sama strategis

Sebelum diakuisisi Flying Cape, Kiddo termasuk startup edtech lokal yang cukup agresif menjalankan bisnisnya. Mereka telah mendapatkan pendanaan awal dari OCBC NISP Ventura.

Pada bulan Mei 2020 lalu, Kiddo juga telah menjalin kerja sama strategis dengan GogoKids dari Malaysia. Melalui kerja sama ini, pengguna dapat mengikuti kelas online yang berasal dari kedua negara. Penyedia layanan aktivitas anak asal Indonesia juga dapat memasarkan kelasnya lebih luas ke pelanggan di Malaysia.

Sementara itu tahun 2021 lalu, Kiddo juga menjalin kerja sama strategis dengan Kyna English yang merupakan penyedia layanan kursus berbahasa Inggris berstandar Cambridge asal Vietnam.

Kiddo juga telah meluncurkan fitur yang bernama “Milestone Tracker” yang memberikan kemudahan untuk orang tua dalam mengetahui potensi si kecil melalui tes tumbuh kembang dan potensi gratis dengan hasil real-time. Setelah mengetahui kecenderungan potensi anak, orang tua dapat mengakses ribuan panduan aktivitas yang sudah disesuaikan dengan hasil tes, untuk menstimulasi tumbuh kembang si kecil.

“Saat ini pengguna Kiddo tersebar di seluruh Indonesia dengan proporsi terbesar masih di Pulau Jawa. Kami juga mulai bekerja sama dengan sekolah dan perusahaan untuk menjangkau jutaan pelajar Indonesia untuk pemenuhan kebutuhan konten edukasi yang berkualitas,” kata Analia.

Startup Binaan OCBC NISP Ventura “Prospeku” Kantongi Pendanaan Tahap Awal

Didirikan sebagai proyek yang dikembangkan melalui program inkubasi OCBC NISP Ventura, platform proptech Prospeku meluncur secara independen dibawah naungan PT Properti Bawa Untung. Sebagai investor, OCBC NISP Ventura masuk ke pendanaan tahap awal dengan nilai investasi yang tidak disebutkan.

Dana segar tersebut akan digunakan untuk mengembangkan platform yang menghubungkan calon pembeli dengan agensi dan agen properti. Saat ini Prospeku telah memiliki sekitar lebih dari 17.000 agen properti yang telah bergabung. Tahun ini perusahaan menargetkan menambah jumlah agen properti dan menghadirkan lebih banyak fitur dalam aplikasi.

“Prospeku diharapkan lebih optimal dalam melayani kebutuhan pelaku bisnis properti. Di waktu mendatang, kami pun berharap dapat berkontribusi positif bagi upaya pemulihan bisnis di sektor properti Indonesia,” kata CEO Prospeku Yulius Elvino.

Fitur unggulan Prospeku

Layanan Prospeku berupa aplikasi mobile yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh stakeholder proses jual beli properti, termasuk apartemen, rumah, hingga tanah.

Secara khusus perusahaan ingin memudahkan agen properti yang telah bergabung untuk menikmati berbagai fitur, seperti listing, contact, deals dan financing.

Prospeku mengklaim menjamin kerahasiaan data yang dimasukkan melalui aplikasi dan tidak disebarkan tanpa adanya izin dari pemilik listing atau properti bersangkutan.

“Prospeku merupakan hassle-free platform yang memberi solusi digital ke para agen properti agar mereka bisa mengelola property listing-nya secara lebih efektif. Prospeku siap membantu agen properti dalam mengelola customer lebih baik dan memasarkan properti lebih mudah. Semua dalam satu aplikasi,” jelas CMO Prospeku Lucy Kaudin.

Prospeku menggandeng Bank OCBC NISP untuk menyediakan fasilitas KPR dan KTA. Selain itu prospeku juga telah menjalin kolaborasi dengan Rumah123,99.co dan CicilSEWA.

“Melalui sinergi dan Kerjasama antara Prosepeku dengan Bank OCBC NISP maka agen properti maupun calon pembeli dapat memperoleh penawaran terbaik dari KPR Bank OCBC NISP,” ujar Customer Solutions Retail Loan Division Head Bank OCBC NISP Rudy Sutjiawan.

Fokus OCBC NISP Ventura

Diluncurkan pada tahun 2020 lalu, secara keseluruhan hingga saat ini OCBC NISP Ventura telah memiliki 8 portofolio, termasuk Kiddo, Rukita, GajiGesa, AwanTunai, Sirclo dan Dekoruma.

Kepada DailySocial, Head of Strategy & Innovation OCBC NISP Ka Jit menjelaskan, tujuan pembentukan CVC ini adalah menciptakan ekosistem digital yang mampu menggerakkan transformasi sektor perbankan. Perusahaan menunjuk Darryl Ratulangi sebagai Managing Director yang akan bertanggung jawab mengemban visi OCBC NISP Ventura.

Dana senilai 400 miliar Rupiah disiapkan sebagai modal dasar, dengan kepemilikan 99,9% oleh Bank OCBC NISP. Selain berinvestasi, beberapa program yang akan dijalankan termasuk inkubasi startup dan kemitraan strategis. Di fase awal, perusahaan targetkan bisa membina pengembang solusi digital yang mampu meningkatkan literasi dan inklusi keuangan di Indonesia.

“Kami mendirikan OCBC NISP Ventura untuk menciptakan nilai transformatif dengan memanfaatkan potensi semangat kewirausahaan dan startup di Indonesia dengan jaringan perbankan yang luas untuk menjawab kebutuhan masyarakat yang terus berkembang,” ujar Ka Jit.

Application Information Will Show Up Here

[Video] Strategi OCBC NISP Ventura Mendukung Ekosistem Startup Teknologi

Sebagai corporate venture capital yang dimiliki oleh Bank OCBC NISP, OCBC NISP Ventura tidak hanya fokus di sektor fintech dalam prioritas pendanaannya.

DailySocial bersama Darryl Ratulangi dari OCBC NISP Ventura membahas bagaimana mereka memilih partner yang potensial dan seperti apa strategi yang dimiliki ke depan.

Untuk video menarik lainnya seputar startup dan teknologi, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV.

Metrik Startup Tahap Awal yang Dipertimbangkan Investor

Untuk mengakselerasi bisnis, founder startup tahap awal biasanya melakukan penggalangan dana ke investor, baik kalangan angel ataupun venture capital. Mempelajari pengalaman startup terdahulu, ada beberapa pendekatan yang biasa dilakukan agar sukses mengantongi dana investasi pre-seed atau seed funding. Pertama, mereka bisa “menjual” pengalaman atau visi founder disertai dengan potensi besaran pasar yang akan digarap lewat produk/layanan yang dikembangkan.

Kedua, ini pendekatan yang lebih terukur, yakni menyuguhkan capaian bisnis kepada investor. Tentu konteksnya adalah penerimaan pasar terhadap minimum viable product (MVP) yang telah diluncurkan; untuk menunjukkan bahwa apa yang dikerjakan sudah mencapai product-market fit. Di sini founder perlu menggunakan metrik yang tepat untuk menggambarkan situasi bisnis di fase early-adoption. Statistik tersebut bisa menjadi bekal bagi investor untuk melihat potensi startup di waktu mendatang saat disuntik modal untuk pertumbuhan.

DailySocial telah berbincang terhadap beberapa perwakilan venture capital untuk menanyakan metrik yang biasa mereka lihat ketika bertemu dengan startup tahap awal yang tengah mencari dana. Pertama, kami berbincang dengan Principal Indogen Capital Kevin Chandra. Ia mengatakan, bahwa metrik akan sangat bergantung pada model bisnis yang diadopsi oleh startup.

“Untuk B2B, di mana siklus penjualan cenderung bergerak jauh lebih lambat, kami cenderung melihat efisiensi penjualan berdasarkan channel di fase awal. Kemudian, untuk model bisnis yang memiliki elemen pendapatan berulang, salah satu metrik utama yang kami evaluasi adalah Net Monthly Recurring Revenue (Net MRR). Jadi tidak ada satu formula yang cocok untuk diterapkan ke semua,” ujarnya.

Net MRR adalah pendapat bersih bulanan yang didapatkan oleh startup. Perhitungannya didasarkan pada uang yang didapat kemudian dikurangi berbagai biaya-biaya yang menyertai. Misalnya di e-commerce, revenue ini baru dihitung dari total hasil penjualan barang dikurangi berbagai biaya seperti potongan untuk diskon atau pengembalian barang karena cacat.

Pincipal Indogen Capital Kevin Chandra / Dok. Pribadi Kevin
Pincipal Indogen Capital Kevin Chandra / Dok. Pribadi

Kevin melanjutkan, spesifik untuk startup tahap awal Indogen selalu melihat dua metrik utama, yakni Vanity dan KPI. Metrik Vanity digunakan untuk membantu memahami posisi startup dalam satu lanskap. Contohnya untuk startup berbasis e-commerce biasanya dengan melihat GMV (Gross Merchandise Value), yakni total nilai penjualan seluruh barang dalam periode tertentu.

“Metrik berbasis KPI dinilai dari pengguna akhir yang mendapatkan value dari produk/layanan yang dijajakan atau dikenal dengan ‘aha moment’. Contohnya, 7 teman dalam 10 hari adalah pengukuran yang dipilih perusahaan seperti Facebook untuk memahami bahwa mereka memiliki tanda awal dari product-market fit. KPI tentu akan berkembang seiring pertumbuhan bisnis. Dan ini menjadi indikator utama (yang jelas) untuk memahami bisnis yang dilakukan pada waktu tertentu,” imbuh Kevin.

Dalam hipotesis investasinya, Indogen Capital sendiri cukup sector agnostic. Mereka berinvestasi di berbagai lanskap bisnis. Beberapa portofolionya meliputi Travelio (proptech), Carsome (car marketplace), Hijup (e-commerce), GoWork (coworking space), Wahyoo (new retail), Ekrut (job marketplace), dll.

Kami juga berbincang dengan Head of OCBC NISP Ventura Darryl Ratulangi, CVC yang baru diresmikan awal tahun ini biasanya mengukur calon portofolio potensial menggunakan tiga penilaian utama. Yakni didasarkan pada customer acquisition cost, customer lifetime value, dan customer cohort.

Customer acquisition cost dipakai untuk mengukur seberapa banyak (biaya) yang mereka keluarkan untuk mendapatkan pelanggan baru, untuk mengukur (memastikan) tidak terlalu mahal dan diukur bersamaan dengan customer lifetime value,” ujarnya.

Customer lifetime value mengukur pendapatan yang diterima bisnis dari tiap pelanggannya. Jadi mengukur transaksi yang mereka lakukan secara berulang setelah pembelian pertamanya. Semakin tinggi nilainya, maka akan semakin baik bagi bisnis. Sementara customer cohort analysis merupakan metrik analisis yang digunakan untuk mempelajari perilaku pengguna dari waktu ke waktu dan memahami retensi pelanggan.

Kendati di bawah naungan perusahaan induk perbankan, OCBC NISP Ventura memiliki portofolio yang unik. Sejak debutnya, mereka telah berinvestasi di empat startup meliputi AwanTunai (fintech), Sirclo (e-commerce enabler), Dekoruma (e-commerce furnitur), dan Kiddo (marketplace aktivitas anak).

Proyeksi profitabilitas

Pada dasarnya statistik pertumbuhan awal juga menjadi variabel yang digunakan oleh investor untuk memperkirakan potensi ROI (Return of Investment), salah satunya dengan menerawang potensi profitabilitas dari model bisnis yang diaplikasikan. Hal tersebut juga diungkapkan Selina Koharjo selaku Investment Analyst Vertex Ventures. Karena setiap startup yang ia temui unik dan beroperasi di industri berbeda, mereka menggunakan dua metrik utama untuk melihat potensi pertumbuhan ke depan, yakni unit economy dan customer cohort analysis.

Unit economics digunakan untuk melihat pendapatan dan biaya yang terkait dengan satu unit produk atau layanan dan memproyeksikan profitabilitas sebuah startup,” kata Selina.

Kendati demikian, Selina juga mengatakan bahwa pihaknya memahami bahwa di fase awal sebagian besar bisnis akan mengeluarkan banyak biaya operasional — termasuk untuk akuisisi pengguna.

Namun menurutnya, unit economics adalah fondasi yang akan menopang sebuah startup saat mereka tumbuh dan berkembang. “Dengan menganalisis berbagai komponen biaya startup di industri serupa, kami dapat menilai efisiensi setiap startup dengan lebih baik,” imbuhnya.

Investment Analyst Vertex Ventures Selina Koharjo / Dok. Pribadi Selina
Investment Analyst Vertex Ventures Selina Koharjo / Dok. Pribadi

Lebih lanjut ia mencontohkan, analisis unit economics untuk startup direct-to-consumer dapat menyoroti area kekuatan atau peningkatan dalam direct costs, variable costs, outliers, dan fixed expenses. “Dalam industri startup, mungkin akan banyak tergoda mengandalkan asumsi pertumbuhan signifikan tanpa strategi monetisasi. Kenyataannya, terutama seperti yang disoroti selama pandemi ini, ketika unit ekonomi tidak diprioritaskan, kesuksesan startup akan diuji,” jelas Selina.

Sementara itu, untuk cohort analysis menurutnya diperlukan karena startup terus melakukan iterasi dan inovasi. Kelompok pelanggan terbaru idealnya akan meningkatkan retensi. Meskipun perusahaan mungkin tumbuh secara cepat, pertumbuhan ini mungkin tidak berkelanjutan jika bergantung pada pelanggan baru saja. Jadi, membandingkan cohort (kelompok pelanggan) dari setiap startup dapat menyoroti product-market fit.

“Selain itu, memahami unit economics dan cohort analysis akan memungkinkan kami memahami customer lifetime value […] Karena memperoleh pelanggan baru mungkin mahal, startup baru dapat tumbuh secara berkelanjutan jika customer lifetime value lebih besar daripada biaya akuisisi. ” ujarnya.

Vertex Ventures memiliki cakupan investasi di Asia Tenggara dan India, beberapa portofolionya di Indonesia meliputi HappyFresh (online grocery), RateS (social commerce), Aruna (aquatech), Gredu (edtech), Tanihub (agtech), Tjetak (printing marketplace), dan lain-lain.

Menemukan peluang kolaborasi

Di ekosistem startup Indonesia, juga terdapat kalangan investor yang berasal dari korporasi. Disebut Corporate Venture Capital, selain berinvestasi pada pertumbuhan startup mereka juga mencari peluang sinergi atau inovasi. Salah satu pemodal ventura korporasi yang cukup aktif di Indonesia adalah Central Capital Ventura (CCV) dari Bank Central Asia (BCA). Kami berkesempatan untuk berbincang dengan Investment Analyst CCV Anthony Adiputra Lauw untuk mendiskusikan tentang metrik yang biasa mereka gunakan ketika mempertimbangkan untuk berinvestasi ke calon portofolionya.

Di CCV, Anthony dan tim selalu memeriksa semua peluang investasi secara holistik. “Sebagai lengan inovasi dan investasi BCA, mereka selalu ingin memosisikan dirinya sebagai investor strategis pertama dan utama. Jadi satu-satunya metrik terpenting yang kami fokuskan untuk semua fintech, fintech-enabler, atau embdedded-fintech startup, adalah nilai tambah strategis yang mereka hadirkan [terkait sinergi dengan BCA],” ujarnya.

Investment Analyst Central Capital Ventura Anthony Adiputra Lauw / Dok. Pribadi Anthony
Investment Analyst Central Capital Ventura Anthony Adiputra Lauw / Dok. Pribadi

Sinergi adalah bentuk mutualisme, artinya harus memberikan keuntungan bagi pihak yang terlibat. Demikian pula prinsip di CCV, mereka tidak hanya ingin mendapatkan nilai strategis dari inovasi yang dilahirkan startup, namun juga berharap bisa memberikan nilai lebih untuk perkembangan startup itu sendiri; misalnya dengan menghubungkan mereka dengan jaringan lembaga keuangan di grup BCA di seluruh Indonesia.

“Untuk itu, cakupan investasi CCV telah berkembang di luar fintech, karena kami memiliki tujuan untuk bersinergi dengan rangkaian industri yang lebih luas yang dapat berkolaborasi dengan pertumbuhan perusahaan kami. Saat mencari founder dengan solusi inovatif untuk bermitra dengan BCA dan ekosistemnya, tidak pernah ada metrik tunggal yang cocok diterapkan ke semua [jenis startup],” jelas Anthony.

Lebih lanjut ia mencontohkan, ketika CCV berinvestasi pada startup p2p lending, mereka mengidentifikasi saluran sinergi yang kuat antara mereka dan BCA. “Akseleran dan KlikACC [portofolio CCV] sama-sama berhasil menaklukkan segmen pasar yang mungkin belum dimiliki oleh BCA. Dengan demikian, kami dapat membina kerja sama yang mulus dan saling menguntungkan; bank mendapatkan eksposur yang lebih luas, sementara startup mendapatkan likuiditas dari BCA.”

Selain dua startup yang sudah disebutkan, CCV yang sudah berdiri sejak tahun 2017 tersebut telah berinvestasi ke pemain lain meliputi Wallex (fintech), Element (biometrik), Qoala (insurtech), Pomona (loyalty), Julo (fintech), dll.

Berinvestasi pada pre/post-traction

Seperti yang diungkap pada paragraf pembuka, kadang investor juga berinvestasi pada startup yang sama sekali belum menghasilkan traction. Salah satunya Genesia Ventures, menurut penjelasan Elsha E. Kwee selaku Investment Manager, untuk startup yang masih sangat awal atau baru beberapa bulan diluncurkan tidak banyak data yang bisa didapat atau dianalisis. Sering kali yang dilakukan adalah melihat beberapa cakupan faktor seperti kondisi pasar (market size, competition, customer pipeline, dll), model bisnis, dan founder.

Sementara untuk startup yang sudah memiliki beberapa traction, biasanya Elsha menggunakan metrik berbeda untuk setiap model bisnis. Tapi sebagian besar akan bermuara pada dua hal, yakni recurring revenue dan user engagement.

“Saya percaya bahwa pendapatan adalah indikator yang baik tentang apakah perusahaan memberi solusi untuk masalah yang cukup signifikan bagi pengguna sehingga ia mau membayar. Sedangkan pengulangan dan keterlibatan menunjukkan utilitas yang berkelanjutan dan memiliki ketahanan,” ujarnya.

Untuk revenue atau pendapatan, ia mengatakan akan sangat bergantung pada apakah layanan/produk adalah sesuatu yang harus memberikan nilai sejak awal atau apakah model bisnis tersebut harus mengumpulkan jumlah pengguna yang besar terlebih dulu sebelum memberikan nilai kepada pengguna. Misalnya online marketplace, sangat bergantung pada efek jaringan dan nilainya meningkat seiring penambahan jumlah pengguna, sehingga pendapatan di awal mungkin belum terlalu penting diperhitungkan.

Investment Manager Genesia Ventures Elsha E. Kwee / Dok. Pribadi Elsha
Investment Manager Genesia Ventures Elsha E. Kwee / Dok. Pribadi

Elsha juga memberikan contoh lain. Untuk startup menyediakan SaaS seperti sistem manajemen pembelajaran untuk sekolah, penting untuk mulai menghasilkan pendapatan dari awal daripada membiarkan sekolah menggunakan platform secara gratis. Karena jika sudah diberikan secara gratis, bisanya sulit untuk mengonversinya menjadi pengguna berbayar. Untuk tipe layanan SaaS, memiliki banyak pengguna tanpa pendapatan bukan pertanda baik untuk keberlangsungan bisnis.

“Kemudian terkait keterlibatan pengguna, itu bergantung apakah perusahaan adalah marketplace, SaaS, B2C, B2B, atau lainnya. Contohnya, saya mengharapkan keterlibatan pengguna lebih tinggi (berdasar DAU dan/atau MAU) dari B2C seperti aplikasi sosial atau komunitas ketimbang SaaS untuk layanan perpajakan,” jelas Elsha.

Genesia Ventures berinvestasi pada startup tahap awal di Asia, kendati sector-agnostic mereka memiliki kecenderungan pada startup B2B dan SaaS. Beberapa portofolionya di Indonesia termasuk Bobobox (hospitality), Qoala (insurtech), Finantier (fintech), Logisly (logistic), dan lain-lain.

Partner SeedPlus Tiang Lim Foo turut memberikan pendapatnya. Memang sulit untuk mengeneralisasi metrik untuk semua startup. Namun ia selalu memiliki beberapa variabel dasar untuk analisis, meliputi jumlah pelanggan, tingkat keterlibatan pelanggan dengan produk, dan nilai pendapatan. Hal tersebut, sambungnya, dipengaruhi oleh pengalamannya berinvestasi sebagian besar di startup B2B untuk produk SaaS.

“Jumlah pelanggan memberikan saya indikasi tentang ukuran audiens yang mereka miliki saat ini dan seberapa cepat startup membangun ukuran audiens tersebut. Sementara tingkat keterlibatan memberikan saya gambaran tentang seberapa berguna produk yang dihasilkan, dan secara alami indikator nilai terbaik adalah berapa banyak pelanggan yang membayar layanan tersebut, dan seberapa besar nilainya,” ujar Tiang.

SeedPlus adalah perusahaan modal ventura bermarkas di Singapura. Mereka sudah memiliki tiga portofolio di Indonesia, meliputi Travelstop (SaaS), Qoala (insurtech), dan Logisly (logistic).

OCBC NISP Ventura Siapkan 400 Miliar Rupiah untuk Berinvestasi di Startup Fintech, Proptech hingga Edutech

Tantangan disrupsi digital menginspirasi Bank OCBC NISP meluncurkan strategi beyond banking melalui pembentukan  corporate venture capital  (CVC). Bernama “OCBC NISP Ventura”, unit investasi tersebut debut bersama dengan perolehan izin beroperasi dari OJK per Januari 2020.

Kepada DailySocial, Head of Strategy & Innovation OCBC NISP Ka Jit menjelaskan, tujuan pembentukan CVC ini adalah menciptakan ekosistem digital yang mampu menggerakkan transformasi sektor perbankan.

“Kami mendirikan OCBC NISP Ventura untuk menciptakan nilai transformatif dengan memanfaatkan potensi semangat kewirausahaan dan startup di Indonesia dengan jaringan perbankan yang luas untuk menjawab kebutuhan masyarakat yang terus berkembang,” ujar Ka Jit.

Saat ini situs ocbcnispventura.com tengah dalam persiapan, sebagai kanal informasi terpusat dari unit ventura. Sementara tim internal sudah mulai bekerja, termasuk melakukan analisis mengenai startup potensial yang akan diinvestasi.

“Rekan-rekan founder dapat mengirimkan proposal (pitch-deck) melalui email [email protected],” terangnya.

Siapkan dana 400 miliar Rupiah

Perusahaan juga telah menunjuk Darryl Ratulangi sebagai Managing Director yang akan bertanggung jawab mengemban visi OCBC NISP Ventura. Manajemen bank akan turut serta dalam fungsi pengawasan jalannya perusahaan dengan menempatkan beberapa anggota manajemen sebagai komisaris.

“Sejalan dengan komitmen untuk mengembangkan ekosistem digital di Indonesia, OCBC NISP Ventura akan fokus pada UKM dan startup teknologi yang bergerak di industri pembiayaan bisnis, fintech, properti (proptech), logistik, media, kesehatan (healthtech), pendidikan (edutech), data analisis, e-commerce dan on-demand,” jelas Ka Jit.

Dana senilai 400 miliar Rupiah juga telah disiapkan sebagai modal dasar, dengan kepemilikan 99,9% oleh Bank OCBC NISP. Selain berinvestasi, beberapa program yang akan dijalankan termasuk inkubasi startup dan kemitraan strategis. Di fase awal, perusahaan targetkan bisa membina pengembang solusi digital yang mampu meningkatkan literasi dan inklusi keuangan di Indonesia.

Perkembangan CVC di Indonesia

Terminologi disrupsi yang santer digaungkan sejak pertengahan dekade terakhir membuat pengembangan CVC di Indonesia cukup kencang. Ini menjadi strategi multi-guna. Selain memberikan peluang keuntungan melalui model bisnis ventura seperti “exit”, juga membuka peluang korporasi untuk menjalin kemitraan strategis dengan startup pengembang platform digital inovatif.

Berdasarkan catatan tim DSResearch per Desember 2019, berikut ini daftar CVC di Indonesia beserta startup binaannya:

Daftar CVC di Indonesia

Dan berikut ini daftar torehan “exit” pemodal ventura lokal sepanjang tahun 2019. CVC milik Telkom Group pimpin perolehan, melalui aksi korporasi akuisisi dan IPO: