Famous Allstars: Bentuk “Creator Venture” hingga Rencana Penggalangan Dana (Bagian II)

Ini adalah bagian II dari dua tulisan. Tulisan Bagian I menyajikan pandangan Co-CEO Famous Allstars Alex Wijaya dan Arief Rakhmadani tentang lanskap creator economy, monetisasi, hingga regulasi di Indonesia.  

Bagaimana perjalanan transisi ketika Famous dan Allstars merger?

Arief (Ar): Pasca-merger, Famous Allstars (FAS) punya tiga pilar bisnis, yaitu (1) agency yang menghubungkan brand dan kreator, (2) talent yang kini menjadi bagian dari ekosistem creator economy, dan (3) teknologi melalui platform Allstars.id. Bagi kami, tiga pilar ini menjadi landasan kuat untuk bergerak ke area yang berpotensi berkembang, baik ketika masuk ke Web2 maupun Web3.

Alex (Al): Biasanya saat merger, [bisnis] terpotong kanan-kiri karena ada duplikasi. Interestingly, ketika GoViral, Avenu, Indovidgram, dan KokikuTV bergabung menjadi Allstars, dan Allstars bergabung dengan Famous, seluruh model bisnisnya tidak saling menduplikasi.

Indovidgram bergerak di media yang berfokus pada pengembangan kreator di komunitas. Modelnya similar dengan KokikuTV dan Avenu, tapi masing-masing bergerak di bidang F&B dan beauty-fashion. Sementara, GoViral bergerak di community and buzzer. Ketika bergabung menjadi Allstars, seluruh pilar bisnis kami saling melengkapi satu sama lain. Meski bergerak di industri berbeda, tetapi tujuannya tetap sama.

Pada saat itu, Famous adalah conventional agency yang bekerja sama dengan brand untuk menciptakan influencer campaign marketing, project, atau strategy. Seluruh model bisnisnya saling bersinergi di mana Allstars jadi memiliki agency, menghubungkan dengan brand. Famous justru mendapatkan inventory yang bisa dibawa ke brand.

Bagaimana platform Allstars.id memenuhi ekspektasi para kreator dan brand?

Ar: Feedback dari kreator dan brand menjadi faktor mengapa bisnis FAS terus berkembang. Salah satu yang diinginkan brand pada influencer tech platform adalah kapabilitas untuk melihat kinerja secara demografi. Di Allstars.id, brand bisa melakukan pencarian berdasarkan delapan kategori demografi. Misalnya, sebuah brand ingin mencari kreator dari Surabaya dengan jumlah follower berkisar 1.000-10.000 dengan budget sekian. Justru banyak brand yang bekerja sama dengan influencer atau kreator skala kecil.

Tampilan cara kerja platform Allstars.id / Sumber: Famous Allstars

Dari sisi kreator, mereka ingin tahu berapa rate card untuk karyanya. Kami lalu bikin fitur kalkulator, semacam simulasi, untuk menghitung itu. Misalnya, biaya engagement rate 3% itu sekian harga yang pantas. Jadi, kami mengembangkan tools berdasarkan feedback dari mereka. Tim produk kami juga berikan masukan, seperti aspek keamanan dan pembayaran. Contoh lain, kami minta pertimbangan dari kreator, kapan idealnya withdraw saat proyek selesai.

Dalam waktu dekat, kami akan meluncurkan fitur measurement di platform Allstars.id untuk mengetahui performance dari kreator dan brand. Kapabilitas ini kemungkinan juga akan jadi platform independen (terpisah) karena banyak kreator dan brand yang ingin tahu kinerja mereka. Selain itu, kami juga sedang sesuatu yang menarik juga, yakni live streaming.

Dalam mengukur metrik sebuah campaign, bagaimana mengembangkan tools untuk akomodasi kebutuhan dari berbagai kategori brand?

Ar: Secara garis besar, kami mengembangkan tools dari pre-planning, campaign, hingga post-campaign. Misalnya, brand ingin menggunakan sebanyak 50 influencer untuk sebuah campaign. Brand ingin tahu berapa engagement rate atau konten yang dikerjakan kreator, sesuai kesepakatan atau tidak.

Sebetulnya, untuk metrik ini, kreator bisa saja lihat dari social media asset mereka. Tapi fitur kami kan langsung dalam satu platform. 

Untuk mengukur metrik berdasarkan kategori brand berbeda, sebetulnya ada banyak. Misal, Return of Investment (ROI), atau engagement rate dan cost per view sebagai standar metrik. Untuk saat ini, kami belum sedalam itu [mengembangkan tools] untuk metrik yang lebih kompleks, seperti jumlah penjualan yang dihasilkan dari sebuah campaign atau dari mana datangnya penjualan,

Al: Alasan kami bentuk Allstars.id sejak awal karena ingin mengakomodasi kebutuhan UMKM. Selama ini kebanyakan yang pakai agency adalah brand-brand besar. Tapi creator economy kan tidak cuma dibutuhkan oleh big brand, tetapi UMKM. Biaya agency itu mahal dan UMKM tidak mungkin pakai itu. Mereka butuh job, dengan jumlah follower yang kecil, bagaimana cara mereka monetisasi jasa atau karya. Apabila UMKM mendapat job, mereka dapat meningkatkan popularitas, skillset, dan audiens.

Bicara soal pengembangan inovasi, platform kami memampukan brand untuk filter kreator atau influencer yang mereka cari. Begitu juga sebaliknya, influencer juga bisa mencari brand. Selain itu, we take it further [kapabilitasnya] di mana brand dapat mencari kreator berdasarkan demografi follower-nya. Ini bisa menjadi starting point yang baik karena kami kembangkan kapabilitas dari sisi discoverability dan analitik yang lebih dalam.

Sumber: Famous Allstars

Dulu brand bikin campaign menggunakan jasa agency, mereka bertemu untuk diskusi, lalu buat laporan dalam bentuk power point. Di platform ini, aktivitas campaign dapat dimonitor di dashboard. Brand bisa pakai kapabilitas yang kami sediakan, misalnya tracking campaign secara real time, tidak perlu lagi agency kirim laporan dalam bentuk Power Point. Brand bisa memonitor kinerja influencer yang mereka pakai, seperti jumlah post, like, comment, atau berapa ROI yang diperoleh dengan budget sekian.

Seluruh kapabilitas ini akan membawa Famous Allstars ke next levelThat’s what we aim, kami push dari sisi teknologi, bukan cuma [mendigitalisasi] cara konvensional dari cara sebuah agency bekerja.

Apa saja rencana yang tengah disiapkan FAS tahun ini?

Al: Di luar pengembangan fitur, kami percaya ada future plan yang menarik dan akan menjadi fokus kami selanjutnya, yakni creator venture.

Creator venture adalah sebuah kolaborasi antara FAS dan kreator untuk mendirikan sebuah bisnis. Ini bukan sesuatu yang baru, hanya istilahnya saja. Model bisnisnya pun lama. Contohnya, Geprek Bensu merupakan sebuah usaha yang didirikan oleh kreator/influencer. Contoh lain, Kylie Jenner mendirikan usaha skincare dan kosmetik.

Sebelumnya, kami sudah membentuk joint venture bersama RANS Entertainment untuk mendirikan media baru Bund Lifetainment, lalu investasi dari EMTEK untuk mendirikan 1ID Entertainment. Kedua, kami berkolaborasi secara individu dengan Bayu Skak, salah satu talent kami, untuk memproduksi film “Youwis Ben”.

Kami melihat creator venture akan menjadi the next wave to go. Ini menjadi salah satu cara kami melangkah ke level selanjutnya. Kami tak cuma menjadi stakeholder, mengelola talent, atau menghubungkan brand, tetapi juga memperat hubungan dengan memperdalam bisnis bersama kreator. Saya yakin setiap kreator punya passion, tetapi mungkin belum tentu bisa dijalankan atau dimodali sendiri. Di sini, mereka akan punya kepemilikan dari bisnis yang mereka bangun.

Apakah [cara ini] make sense untuk menjadi sustainable business? Selama ini kami kerja sama hanya sebatas commercial atau transactional deal. Tapi, kami ingin selanjutnya ingin menjadi partner, bukan agency atau managementCreator venture akan menjadi bagian penting untuk mengidentifikasi kreator mana yang bisa jalan bersama FAS.

Bagaimana model bisnis creator venture?

Al: Kami mengidentifikasi dua pilar menarik, yakni F&B dan beauty. Kami melihat kedua bisnis ini sustainable dan cukup everlasting, punya high growth margin, profit proven, dan industrinya tidak akan mati–bukannya tidak berdampak ya. Selain itu, ada banyak kreator atau influencer di dua sektor ini.

Kami eksplorasi sektor beauty di Indonesia, karena pemain lokal dan potensi pasarnya sangat besar di Indonesia. Kami lihat acceptance terhadap brand lokal sangat tinggi. Begitu juga dengan appetite pasar, mereka punya daya eksplorasi besar.

Esensi dari creator venture adalah kreator punya kepemilikan dari bisnisnya. Modelnya ada dua, (1) membentuk joint venture (JV) dan (2) memberikan investasi ke bisnis yang sudah dimiliki kreator. Variasi kepemilikan [saham] sesuatu kesepakatan, tetapi intinya bisa saling co-own.

Apakah FAS berencana untuk fundraising di 2022?

Al: Semua yang kami sampaikan di atas, mulai dari mencari talent, mengembangkan inovasi, dan membuat venture baru, that takes funding. Sejak bulan lalu, kami berbicara ke lebih dari sepuluh venture capital (VC). Goal kami, bukan soal funding semata dan neglect VC yang sudah pernah berinvestasi di FAS, tetapi mencari sinergi. Creator economy luas sekali, makanya VC yang dapat memenuhi goal kami menjadi penting karena mereka akan membawa dan menghubungkan FAS ke network yang lebih luas.

Dalam konteks creator venture, apabila salah satu VC yang kami jajaki punya expertise atau portofolio di F&B dan beauty, ini bisa memudahkan kami untuk mengembangkan bisnis tersebut. Jika ada talent hebat di F&B, kami bisa hubungkan ke jaringan yang dimiliki VC. Jadi, kami mencari expertise, network, dan portofolio agar kami dapat mengakselerasi bisnis yang akan kami bangun.

Terkait investasi dari EMTEK, tentu ada sinergi besar karena EMTEK adalah media mogul. Fokus kami tetap di media entertainment dan sinergi EMTEK akan memudahkan kami mengembangkan talent. EMTEK punya ekosistem, kami bisa berperan sebagai sourcing talent buat mereka juga. Itulah pilar kerja sama kami dengan EMTEK. It’s beyond than funding.

Lagipula, kami jadi lebih mudah membangun creator venture ini karena memanfaatkan ekosistem besar milik EMTEK untuk akselerasi pertumbuhan bisnisnya.

Vidio Miliki 62 Juta Pengguna, Perbanyak Hak Siar Olahraga untuk Tingkatkan Pelanggan Berbayar

Vidio makin percaya diri menjadi penantang lokal untuk platform over-the-top (OTT), khususnya di layanan video on-demand (VOD). Berbagai upaya dilakukan, mengingat saat ini potensi penonton VOD semakin besar di Indonesia. Menurut hasil riset terbaru The Trade Desk dan Kantar, 1 dari 3 orang Indonesia menonton OTT dengan tingkat pertumbuhan 25% yoy.

Melalui grup perusahaannya, EMTEK, Vidio akan segera menyiarkan perhelatan olahraga yang cukup signifikan peminatnya, yakni Piala Dunia dan Liga Inggris, untuk melengkapi konten-konten olahraga yang sebelumnya ada. Dinilai ini akan menjadi langkah penting dalam meningkatkan jumlah pengguna, khususnya pelanggan berbayar. Karena untuk mengakses tayangan olahraga premium tersebut pengguna harus berlangganan di paket khusus yang disediakan.

“Vidio juga terus berusaha untuk semakin memantapkan posisinya sebagai platform OTT ‘home of sports’ yang selalu menyajikan tayangan olahraga dan hiburan terbaik serta terlengkap. Vidio pun menargetkan akan terjadinya pertumbuhan eksponensial di tahun 2022 ini” ujar Managing Director Vidio Monika Rudijono kepada DailySocial.id.

Saat ini, Vidio berbagai pertandingan sepakbola dari liga-liga terbaik dunia dan lokal seperti: BRI Liga 1, Liga 2, Liga 3, LaLiga, UEFA Europa League, UEFA Champions League, hingga puncaknya World Cup Qatar 2022. Tak ketinggalan ada juga cabang olahraga basket seperti NBA dan IBL, serta tenis dalam ajang WTA (Women’s Tennis Association), hingga balap Formula 1 yang tengah berlangsung pada bulan Maret ini hingga November 2022 mendatang.

Statistik pertumbuhan bisnis

Turut disampaikan oleh Monika, hingga penutupan Q4 2021 Vidio telah mengalami peningkatan jumlah monthly active users (MAU) mencapai 62 juta pelanggan. Di antara basis penggunanya, 2,3 juta di antaranya adalah pengguna berbayar.

“Vidio menutup Q1 2022 dengan pertumbuhan pelanggan berbayar 1,9x dibandingkan Q1 2021,” imbuhnya.

Mengutip laporan Media Partner Asia Q4 2021, Vidio mendapatkan peringkat #1 untuk OTT di Indonesia, didasarkan pada MAU dan durasi tonton para penggunanya. Sementara itu untuk jumlah pelanggan berbayar, Vidio ada di peringkat #3 setelah Netflix dan Viu.

Vidio sendiri memiliki posisi yang unik, selain dengan konten berseri dan film seperti yang dimiliki Netflix, mereka juga menayangkan program live – termasuk siaran dari televisi lokal. Makin relevan lagi di saat penetrasi smart TV semakin meningkat.

Masih dari hasil riset The Trade Desk, saat ini penonton OTT dengan smartphone masih mendominasi, namun demikian penggunaan smart TV juga semakin meningkat di angka 29%. Bahkan dari survei yang dilakukan, 27% pengguna OTT berencana membeli smart TV baru dalam 6 bulan mendatang.

Strategi penguatan bisnis

Dengan varian konten yang dimiliki, Vidio tidak bergantung sepenuhnya kepada model bisnis berlangganan. Karena bagi penonton yang menikmati konten gratis, mereka juga akan disuguhkan dengan iklan layaknya di televisi tradisional. Iklan ini juga menjadi salah satu sumber pemasukan yang signifikan untuk penyelenggara OTT.

Hal ini dikarenakan preferensi pengguna OTT di Indonesia masih sangat divergen. Sebagian besar menikmati platform yang memberikan opsi gratis dengan iklan dan berbayar.

Preferensi pengguna OTT di Indonesia / The Trade Desk, Kantar

Selain meningkatkan kuantitas konten olahraga, disampaikan oleh VP Marketing Vidio Rezki Yanuar dalam sebuah wawancara, strategi yang tengah digenjot adalah melahirkan konten-konten orisinal. Di tahun 2021 sudah mulai agresif, ada 7 serial yang diproduksi dan ditayangkan.

“Persaingan OTT yang paling signifikan adalah konten. Pemasaran dan produk bagus pun percuma kalau tanpa konten yang bisa memenuhi kebutuhan pengguna. Untuk itu kami punya tiga pilar terkait konten, yakni live streaming, sports, dan serial/film orisinal,” imbuh Rezki.

Di luar konten, beberapa strategi bisnis juga digencarkan, termasuk kerja sama dengan operator telekomunikasi. Vidio ditempatkan sebagai layanan add-on untuk pelanggan. Hal ini dianggap jadi langkah efektif karena berpotensi untuk mendapatkan early adaptor lebih banyak.

Application Information Will Show Up Here

East Ventures Suntik Platform Kreator Konten “TipTip” Sebesar 143 Miliar Rupiah

TipTip, platform untuk kreator konten di Asia Tenggara, mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal sebesar $10 juta (sekitar 143 miliar Rupiah). Angka tersebut diklaim sebagai salah satu pendanaan tahap awal terbesar yang pernah ada. Putaran ini dipimpin oleh East Ventures, dengan partisipasi dari Vertex, EMTEK, SMDV, dan beberapa family offices terkemuka.

TipTip didirikan oleh Albert Lucius, eks pendiri di Kudo yang berhasil diakuisisi oleh Grab pada 2017. Saat ini, TipTip beroperasi di Indonesia dan Singapura, memiliki tim lebih dari 70 karyawan.

Mudahkan kreator lakukan monetitsasi

TipTip hadir sebagai platform pilihan bagi kreator konten untuk memonetisasi dari hobi mereka melalui sesi video yang personal, penjualan konten digital premium, dan peluang untuk berinteraksi langsung dengan pengikut (followers) mereka. TipTip turut hadir untuk mengisi kesenjangan akan beberapa fitur penting yang dihadapi oleh kreator konten di negara berkembang di Asia Tenggara, seperti kurangnya peluang monetisasi, pembayaran lokal dan integrasi KYC yang terbatas, serta tantangan terkait pembuatan dan distribusi konten melalui perangkat smartphone.

“Kami sangat menghargai dukungan dan kepercayaan yang kami terima di putaran pendanaan ini sebelum peluncuran TipTip ke publik. Keyakinan mereka semakin memperkuat visi kami akan potensi ekonomi kreator, dan bagaimana solusi yang ditawarkan TipTip dapat menjadi one-stop solution untuk semua content creator di kawasan Asia Tenggara,” ucap Founder TipTip Albert Lucius dalam keterangan resmi, Selasa (29/3).

Menurut Albert, dana segar akan dimanfaatkan perusahaan untuk mengakselerasi pertumbuhan TipTip dalam menjangkau dan memberdayakan ekonomi kreator di kawasan ini. Juga, memperluas tim dan mempercepat adopsi platform. Aplikasi TipTip sendiri belum diresmikan secara publik, peluncuran eksklusif (khusus undangan) rencananya akan dilaksanakan pada April mendatang. Lalu diikuti peluncuran publik untuk pasar Indonesia pada bulan berikutnya.

Co-founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan, “Kami percaya pada potensi ekonomi kreator di kawasan ini, terutama setelah melihat pertumbuhan pesat potensi pasar selama pandemi COVID-19. Jelas bagi kita bahwa beberapa perilaku konsumen yang terbentuk selama pandemi akan terus berlangsung setelah pandemi. TipTip berada di posisi yang tepat untuk menangkap hal tersebut. TipTip adalah produk untuk dunia pasca pandemi yang dirancang selama pandemi.”

Pertemukan brand dan influencer

Tercatat saat ini besarnya permintaan untuk kegiatan digital marketing terutama yang memanfaatkan influencer tumbuh secara signifikan jumlahnya. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Influencer Marketing Hub, pandemi telah mempercepat pertumbuhan influencer marketing pada tahun 2020, dan jumlah ini diperkirakan akan berlanjut pada tahun 2021.

Dari hanya $1,7 miliar pada tahun 2016, influencer marketing diperkirakan telah tumbuh menjadi ukuran pasar sebesar $9,7 miliar pada tahun 2020 dan diperkirakan akan melonjak lebih jauh ke $13,8 miliar pada tahun 2021.

Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa platform yang menyediakan wadah untuk content creator, influencer, dan brand untuk memanfaatkan kegiatan pemasaran dengan konsep tersebut. Mulai dari platform seperti Partipost, AnyMind Group, Hiip, Indonesia Creators Economy besutan IDN Media, hingga Lynk.id yang bertujuan memberikan tools terpadu kepada kreator.

Perusahaan teknologi Gojek pun mengumumkan kerja sama dengan platform marketing influencer Allstars untuk permudah mitra UMKM Gojek terhubung dengan influencer melakukan kegiatan pemasaran. Allstars hadir menyediakan platform untuk menghubungkan brand dengan influencer untuk keperluan promosi di media sosial. Tidak hanya menguntungkan brand, influencer pun sebetulnya juga perlu dijembatani, terlebih bagi mereka yang baru beralih profesi.

Grup Sinar Mas Kucurkan 2,8 Triliun Rupiah, Siap jadi Pemegang Saham Pengendali di DANA

Salah satu grup konglomerat Indonesia, Sinar Mas, melalui anak usahanya PT Dian Swastika Sentosa Tbk resmi mengumumkan rencana investasi senilai $200 juta atau lebih dari 2,8 triliun Rupiah ke PT Elang Andalan Nusantara, perusahaan induk startup DANA. Hal ini disampaikan dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI) pada hari Selasa (1/3).

Rencana investasi ini disebut sebagai bagian dari kolaborasi pengembangan bisnis digital kedua perusahaan. Kolaborasi strategis ini diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi pengembangan ekosistem digital yang dimiliki oleh Perseroan dan berbagai pemangku kepentingan.

Penandatanganan perjanjian investasi telah dilakukan pada 28 Februari.  Sementara penyelesaiannya akan bergantung pada pemenuhan syarat-syarat pendahuluan sebagaimana diatur dalam perjanjian penyertaan modal, termasuk persetujuan dari otoritas berwenang yang terkait.

Rumor terkait akuisisi Sinar Mas terhadap DANA sudah santer diberitakan sejak akhir tahun 2021. Setelah penyelesaian atas aksi korporasi ini, DSST akan menjadi salah satu pemegang saham terbesar di DANA.

Saat ini, DANA masih dimiliki oleh PT Elang Andalan Nusantara (EAN), dengan Emtek masih sebagai investor utama dengan kepemilikan 49 persen saham. Sementara 45 persen sisanya dimiliki Ant Financial melalui API Investment Ltd. Seperti diketahui, pada bulan April 2021, Emtek Group (Emtek) mengungkapkan sudah tidak lagi menjadi pemegang saham pengendali untuk EAN.

Rencana investasi ini memperkuat komitmen Grup Sinar Mas untuk terjun ke industri digital. Belum lama ini perusahaan juga mengucurkan investasi ke startup pengembang teknologi pengolahan dokumen berbasis AI asal Singapura, 6Estates.

Perjalanan DANA

Sejak mulai beroperasi di akhir tahun 2018, aplikasi dompet digital atau payment Dana mengklaim berhasil mencatat pertumbuhan jumlah pengguna hingga 90 persen mencapai 100 juta pengguna di seluruh Indonesia. Tercatat ada lebih dari 350 juta total transaksi dengan menggunakan fitur Kirim Uang dengan rata-rata 30 juta transaksi per bulan.

Pada dukungan terhadap UMKM, Dana juga secara akumulatif menggerakan lebih dari 400.000 UMKM yang makin percaya diri untuk berbisnis secara digital berkat verifikasi yang mudah. Di awal tahun ini, Dana juga telah menjalin kerja sama dengan Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Pontianak, Kalimantan Barat untuk membantu digitalisasi dan pengembangan UMKM di daerah tersebut.

Saat ini, perusahaan masih mencoba memperluas jangkauan kolaborasi dengan menambah sejumlah mitra baru seperti BPJS Ketenagakerjaan, Secure Parking, dan WeTV. Hal ini dilakukan guna mengembangkan fitur-fitur yang semakin bisa memenuhi beragam kebutuhan masyarakat, mulai dari kebutuhan finansial hingga hiburan.

Application Information Will Show Up Here

East Venture Leads Series A Funding for the Healthtech Startup “Smarter Health”

Smarter Health announced a series A funding worth of S$ 5.15 million (approximately 54 billion Rupiah) led by East Ventures. The fresh moeny will be used for product development and market expansion in Southeast Asia. Also participated in this round some strategic investors, such as Orbit Malaysia, Citrine Capital, HMI Group, and EMTEK.

The Smarter Health platform facilitates secure exchange of data between insurance companies, healthcare providers and patients. This enables the use of data to guide patient decision making, and increases the accuracy and speed of claims. Future developments will drive greater operational efficiency, effectiveness, and enhance customer security.

After the promising traction in Singapore, Malaysia, Indonesia, Smarter Health is looking to further enhance and expand its market and series of solutions.

“We are excited to partner with East Ventures and other strategic investors to realize our vision of being an ‘Easy to Access, Affordable and Accountable’ healthcare service. We look forward to collaborating with more insurance companies, healthcare providers, and doctors to achieve this vision,” Smarter Health’s CEO Liaw Yit Ming said in an official statement, Monday (3/1).

East Ventures’ Co-Founder & Managing Partner, Willson Cuaca added, “The Covid-19 pandemic has forced insurance companies and healthcare providers to reconsider and restructure their operations strategies by accelerating digital transformation. Smarter Health is here to make healthcare more accessible, affordable and accountable by providing an AI-operable platform.

“We are excited to support Smarter Health in resolving inefficiencies in the health care process between stakeholders in the health ecosystem,” Willson added.

One of Smarter Health’s solutions in Indonesia is the Second Medical Opinion service, which allows patients to get a complete overview of their medical condition from a collaborative network of specialist doctors carefully curated by Smarther Health.

These specialist doctors come from Singapore and have different medical specialties and disciplines. They practice in major private hospitals such as Elizabeth Novena Hospital, Mount Elizabeth Hospital, Gleneagles Hospital and others for a flat rate of S$250.

Indonesian patients will be scheduled for a 20-minute teleconsultation session and receive a written medical report from the selected specialist within five working days after the consultation session.

Digital transformation for health industry is currently on the spot

The Ministry of Health publishes a roadmap contained in the blueprint of the Indonesian health sector transformation and digitization for 2021-2024. There are three priority agendas for the Ministry, integration and development of data systems, service applications, and ecosystems in the field of health technology (healthtech).

Apart from the right momentum due to the Covid-19 pandemic, the roadmapis haunted by a number of big challenges. It includes the data system and the unbalanced ratio of the number of health workers and room capacity to the total population.

Currently, there are hundreds of applications which data management still based on individual information. In the government, there are more than 400 applications in the health sector, and this number does not include the regional level. This is yet to mention the medical records of 270 million Indonesians, which are yet to be fully digital.

Meanwhile, the current Ministry of Health noted that the ratio of doctors reached 03.8 per 1,000 population, while the ratio of hospital beds was around 1.2 per 1,000 population in Indonesia.

“We have seen how the Covid-19 pandemic has had a significant impact on various things, including changing the way people consult. We must start this transformation and focus on developing platforms and implementing collaborative initiatives with stakeholders. We expect to create a healthy Indonesia and create integrated health platforms,” the Chief Digital Transformation Office of the Ministry of Health, Setiaji said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

East Ventures Pimpin Pendanaan Seri A Startup Healthtech “Smarter Health”

Smarter Health mengumumkan telah memperoleh pendanaan seri A senilai S$ 5,15 juta (sekitar 54 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh East Ventures. Dana segar akan dimanfaatkan untuk pengembangan produk dan perluasan pasar di Asia Tenggara. Putaran ini turut diikuti oleh jajaran investor strategis lainnya, seperti Orbit Malaysia, Citrine Capital, HMI Group, dan EMTEK.

Platform Smarter Health memfasilitasi pertukaran data yang aman antara perusahaan asuransi, penyedia layanan kesehatan, dan pasien. Hal ini memungkinkan penggunaan data untuk memandu pengambilan keputusan bagi pasien, serta meningkatkan akurasi dan kecepatan pemrosesan klaim. Perkembangan masa depan akan mendorong efisiensi operasional yang lebih besar, efektif, dan meningkatkan pengamanan pelanggan.

Setelah mencapai traksi yang menjanjikan di Singapura, Malaysia, Indonesia, Smarter Health ingin lebih meningkatkan dan memperluas pasar dan rangkaian solusi.

“Kami sangat senang dapat bermitra dengan East Ventures dan investor strategis lainnya untuk mewujudkan visi kami menjadi layanan kesehatan ‘Mudah diakses, Terjangkau, dan Akuntabel’. Kami berharap dapat berkolaborasi dengan lebih banyak perusahaan asuransi, penyedia layanan kesehatan, dan dokter untuk mencapai visi ini,” kata CEO Smarter Health Liaw Yit Ming dalam keterangan resmi, Senin (3/1).

Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menambahkan, pandemi Covid-19 telah memaksa perusahaan asuransi dan penyedia layanan kesehatan untuk mempertimbangkan dan menyusun ulang strategi operasi mereka dengan mempercepat transformasi digital. Smarter Health hadir untuk membuat kesehatan dapat diakses, terjangkau, dan akuntabel dengan menyediakan platform yang dapat dioperasikan dengan AI.

“Kami sangat antusias untuk mendukung Smarter Health dalam menyelesaikan inefisiensi proses pelayanan kesehatan antara pemangku kepentingan di ekosistem kesehatan,” ucap Willson.

Salah satu solusi Smarter Health yang bisa diakses di Indonesia adalah layanan Pendapat Medis Kedua (Second Medical Opinion), yang memungkinkan pasien mendapatkan tinjauan lengkap tentang kondisi medis mereka dari jaringan kolaboratif dokter spesialis yang dikuratori oleh Smarther Health dengan cermat.

Para dokter spesialis ini berasal dari Singapura dan memiliki spesialisasi dan disiplin ilmu medis berbeda-beda. Mereka berpraktik di rumah sakit swasta utama seperti Rumah Sakit Elizabeth Novena, Rumah Sakit Mount Elizabeth, Rumah Sakit Gleneagles, dan lainnya dengan biaya tetap sebesar S$250.

Pasien Indonesia akan dijadwalkan untuk sesi telekonsultasi selama 20 menit dan menerima laporan medis tertulis dari dokter spesialis terpilih dalam waktu lima hari kerja setelah sesi konsultasi.

Transformasi digital industri kesehatan tengah jadi perhatian

Kementerian Kesehatan menerbitkan peta jalan yang tertuang dalam cetak biru (blueprint) transformasi dan digitalisasi sektor kesehatan Indonesia pada periode 2021-2024. Ada tiga agenda utama yang menjadi prioritas Kementerian, yaitu integrasi dan pengembangan pada sistem data, aplikasi pelayanan, dan ekosistem di bidang teknologi kesehatan (healthtech).

Alasan peluncuran roadmap ini, selain mendapat momentum yang tepat karena pandemi Covid-19, dihantui oleh sejumlah tantangan besar. Di antaranya, tantangan pada sistem data serta tidak seimbangnya rasio jumlah tenaga kesehatan dan kapasitas kamar dengan jumlah penduduk.

Saat ini, terdapat ratusan aplikasi Saat ini, terdapat ratusan aplikasi yang pengelolaan datanya masih berbasis informasi individu. Di pemerintahan, ada lebih dari 400 aplikasi di bidang kesehatan, dan jumlah ini belum termasuk di tingkat daerah. Ini belum lagi bicara rekam medis milik 270 juta penduduk Indonesia yang belum sepenuhnya berbasis digital.

Sementara itu, Kementerian Kesehatan 2020 mencatat rasio dokter mencapai 03,8 per 1.000 populasi, sedangkan rasio tempat tidur RS berkisar 1,2 per 1.000 populasi di Indonesia.

“Kita telah melihat bagaimana pandemi Covid-19 berdampak signifikan pada berbagai hal, termasuk mengubah cara masyarakat berkonsultasi. Kami harus mulai transformasi ini dan fokus pada pengembangan platform serta pelaksanaan insiatif yang kolaboratif dengan para pemangku kepentingan. Kami harap bisa wujudkan Indonesia sehat dan membuat platform kesehatan terintegrasi,” papar Chief Digital Transformation Office Kementerian Kesehatan Setiaji.

Grab, Emtek dan Bukalapak Satukan Kekuatan Untuk Kawal Solo Jadi Smart City Melalui Program Kota Masa Depan

Tantangan mendorong pertumbuhan industri UMKM di tengah pandemi menjadi “pekerjaan rumah” bagi banyak pihak. Sebagai salah satu sektor yang memiliki peran esensial dalam pertumbuhan ekonomi tanah air, industri UMKM perlu persiapan matang untuk menyongsong tantangan di masa depan. Langkah strategis yang mampu diadaptasi yakni melalui transformasi digital.

Meski begitu, industri UMKM perlu didukung, seperti yang baru-baru ini dilakukan oleh 3 (tiga) pemain besar teknologi yang saling berkolaborasi untuk menciptakan ribuan UMKM yang “melek” teknologi. Ketiga entitas itu adalah Grab, Bukalapak, dan Emtek. Setelah sukses meluncurkan program akselerator ‘Kota Masa Depan’ (Kolaborasi Nyata Untuk Masa Depan) di kota Kupang, kini inisiatif tersebut berlanjut di kota Solo dengan target mendigitalisasi lebih dari 1.500 UMKM, sekaligus menjadikan Solo sebagai kota berlabel “Smart City”. Seperti apa?

Sejak diluncurkan pada kuartal tiga 2021 lalu, inisiatif Kota Masa Depan merupakan sebuah program akselerator ekstensif yang menargetkan 10.000 UMKM, diselenggarakan secara bertahap hingga kuartal kedua 2022 di Kupang, Solo, Gowa, Malang, Pekanbaru. Dalam rilis yang kami terima, program akselerasi ini berfokus pada prioritas menumbuhkan industri UMKM secara menyeluruh. Disebutkan prioritas yang dimaksud berupa program bantuan vaksinasi, pengadopsian platform digital, hingga pemberdayaan UMKM melalui pelatihan dan pendampingan untuk pengembangan usaha melalui teknologi digital. Para pebisnis UMKM juga turut disiapkan untuk mampu “onboarding” bisnisnya di dalam ekosistem Grab dan Bukalapak.

Dalam keterangannya, Ridzki Kramadibrata selaku President of Grab Indonesia mengatakan, program ini [Kota Masa Depan] merupakan kolaborasinya dengan pemerintah kota Surakarta yang bercita-cita ingin menjadikan perekonomian kota Solo memiliki daya saing yang optimal berkat teknologi.

“Grab bersama Emtek dan Bukalapak siap bekerja sama dengan Pemerintah Surakarta untuk mengawal Solo menjadi Smart City melalui program #KotaMasaDepan. Program ini memberikan pendampingan dan pelatihan agar UMKM menjadi lebih kompetitif serta menciptakan lapangan pekerjaan baru. Semoga upaya kami membantu UMKM khususnya yang berada di kota-kota kecil ini dapat membantu pemerintah mencapai target digitalisasi 30 juta UMKM pada tahun 2024, serta mempercepat upaya pemulihan ekonomi bangsa,” tutur Ridzki.

Untuk memuluskan inisiatif tersebut, program Kota Masa Depan menghadirkan sejumlah program yang bisa dimanfaatkan oleh lebih dari 1.500 pelaku UMKM untuk mengembangkan bisnisnya secara maksimal. Selain dukungan berupa aktivasi bisnis ke dalam platform Grab dan Bukalapak, 54 pengusaha UMKM yang terpilih bakal memperoleh kesempatan mengikuti program akselerator dalam mengelola bisnis yang dimentori oleh Bukalapak dan Grab. Tidak hanya sampai situ, 3 UMKM terbaik juga akan mendapat dukungan berupa kesempatan publikasi yang disediakan oleh jaringan media Emtek.

Kolaborasi-Grab-Emtek-dan-Bukalapak-Luncurkan-Festival-Kota-Masa-Depan-di-Kota-Solo.-Targetkan-Digitalisasi-Ribuan-UMKM-dan-Wujudkan-Upaya-Smart-City-
Program Kota Masa Depan

“EMTEK berkomitmen dalam mendukung pengembangan sektor UMKM di Indonesia. Berkolaborasi dengan Grab dan Bukalapak, program ini diharapkan dapat memberikan peluang dan daya saing bagi UMKM lokal di era digitalisasi yang berkembang begitu cepat. Dengan tekad yang sama untuk membuat kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia menjadi lebih baik melalui teknologi, kami yakin kita bisa membangkitkan roda perekonomian lokal yang nantinya akan memberikan kontribusi bagi perekonomian Indonesia,” ujar Sutanto Hartono Managing Director, PT Elang Mahkota Teknologi, Tbk.

Perihal mengaktivasi kota Solo menjadi ‘Smart City’, program Kota Masa Depan pun telah menyiapkan sejumlah agenda strategis. Agenda yang dimaksud dikatakan bakal mengimplementasi sejumlah rencana seperti meluncurkan fasilitas “GrabKitchen” yang berlokasi di Pasar Gede, serta menyerahkan 400 unit motor listrik untuk mitra pengemudi yang berbasis di kota Solo. GrabKitchen sendiri merupakan fasilitas cloud kitchen yang mampu memanfaatkan data, untuk mengidentifikasi dan memetakan kesenjangan permintaan pelanggan dengan menjangkau lebih banyak konsumen melalui platform GrabFood. Fasilitas ini nantinya diharapkan mampu membuka peluang penjualan secara maksimal bagi para pelaku UMKM kuliner.

Implementasi Smart City diyakini mampu memberikan dampak pertumbuhan yang berkelanjutan bagi masyarakat. Imbasnya tentu peningkatan dari segi ekonomi diharapkan tentu ikut terdongkrak dengan inovasi teknologi yang membuka akses dan peluang bagi seluruh masyarakat.

“Kami sangat bangga dapat kembali membantu pemerintah kota Surakarta untuk mengembangkan Solo Smart City dengan memanfaatkan teknologi Grab yang inklusif melalui kendaraan listrik untuk mengurangi emisi karbon. Tak hanya itu, kami juga memperkenalkan GrabKitchen Pasar Gede untuk mendukung kemajuan bisnis pelaku UMKM di bidang kuliner di Kota Solo. Inovasi kendaraan listrik dan konsep cloud kitchen ini selaras dengan misi GrabForGood yang turut serta dalam pengembangan daerah di Indonesia dan menggunakan teknologi untuk menciptakan dampak berkelanjutan bagi masyarakat,” tambah Ridzki.

Di saat yang sama, Walikota Solo, Gibran Rakabumi menyampaikan digitalisasi yang menyeluruh di kota Solo baik bagi industri UMKM maupun rencana inisiasi Smart City diharapkan mampu menjawab tantangan dunia usaha dan membuka akses yang seluas-luasnya bagi produk lokal kota Solo ke pasar yang lebih luas.

“Saya mengapresiasi inisiatif Grab, Emtek dan Bukalapak dalam menghadirkan program Kota Masa Depan. Hadirnya program ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan kualitas para pelaku UMKM Solo dalam memanfaatkan teknologi untuk menghadapi tantangan saat ini. Percepatan digitalisasi ini turut membantu pemerintah daerah dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi daerah. Saya mengajak para pelaku UMKM Solo yang belum tergabung dalam ekosistem digital, ayo segera manfaatkan fasilitas ini agar bersama kita dapat maju dalam memperkenalkan dan memasarkan produk lokal Solo,” tutupnya.

***

Advertorial ini didukung oleh Grab Indonesia.

Fuse Closes Series B+ Round, Expanding to the Regional Market

Fuse Insurtech (12/13) announced additional series B+ funding of over $25 million (approximately 363 billion Rupiah). This round was led by an undisclosed global investor with specialization in raising funds for fintech, with the participation from previous investors such as East Ventures (Growth Fund), GGV Capital, eWTP, and EMTEK.

Over the past six months, Fuse had closed three Series B funding rounds of over $50 million (approximately 725 billion Rupiah) in total. In other words, strengthening Fuse’s position in the centaur list. The fresh funds will be used to expand to more countries in Southeast Asia. The company currently has more than 460 employees, with branch offices in Indonesia, Vietnam and China.

Fuse’s Founder & CEO, Andy Yeung expressed his delight that Fuse has been recognized by global-scale fintech investors amidst the rapid competition in Southeast Asia’s insurtech market. We are excited to gain access and insight from other fintech and insurtech portfolio companies in this global network.

“The strong interest from global investors, along with our recent achievement by entering the World’s Top 100 Insurtechs 2021 list published by Sønr Global and Ernst & Young, reaffirms our current ecosystem approach. The technology platform developed by Fuse makes insurance more accessible to people in Southeast Asia,” Yeung said in an official statement.

He continued, based on a report, Southeast Asia’s middle class is predicted to grow to 350 million consumers with $300 billion income and increasing digital literacy. He said, Fuse is well positioned to enter this large, under-penetrated insurance market through its unique technology platform, which provides a variety of distribution channels adjusting to consumer needs.

“With the investor’s trust, insurance companies, business partners and end-customers, Fuse will continue to do its best to develop the most affordable insurance products and meet their needs. We strongly believe that the transformation of digital insurance can help more people get insurance protection, and hopefully insurance penetration rates can increase substantially in the years to come in Indonesia and Southeast Asia.”

Since its debut in 2017, Fuse has taken an application approach to enable insurance sales with a B2A (Business to Agent/Broker) business model. The company has a comprehensive business model, B2A, B2C comparison, B2B2C (micro insurance and financial institute), which allows it to help partners distribute insurance products with affordable operating costs to end-customers.

There are more than 60 thousand marketers/partners are using the Fuse Pro application to market insurance products. The company also collaborates with more than 40 insurance companies, ranging from general insurance companies to life insurance companies, which supports Fuse to provide more than 300 insurance products for end-customers.

Since the third quarter of 2021, Fuse has been officially appointed by Tokopedia as a strategic insurtech partner to provide all general insurance products for Tokopedia users. As of last September, Fuse’s gross premium income (Gross Written Premium/GWP) has exceeded IDR 1 trillion, making Fuse the largest insurtech company in Indonesia.

In a previous interview with DailySocial.id, Yeung explained that agents/brokers play an important role in the insurance sales chain and they will not be disrupted by technology in the near future. Finally it was decided to build a Fuse Pro application to enable and support agents/brokers in digitization. At the same time, helping them turn their offline business into online.

“In other words, we are ‘shifting existing insurance’ online, rather than trying to ‘create’ new insurance markets like microinsurance. That’s why we focus on this agent/broker business model, especially from day one,” he said.

The agent’s essential role

Actually, insurtech startups currently also have agency services to boost sales of insurance products through agents (B2B) in addition to retail channels (B2C). PasarPolis has PasarPolis Partners and Qoala with Qoala Plus Partners. However, both of them focus from retail first to business, while Fuse is the opposite. There is nothing wrong with these two business segments as it has the same objective, to increase the penetration of insurance products in Indonesia.

Agents are at the forefront of insurance companies in driving its business. According to Indonesian Life Insurance Association (AAJI), this channel contributed to 36.1% of the total life insurance premium income until the third quarter of 2020. Moreover, followed by the bancassurance line 46.95% and the telemarketing line 1.88%, and others 15 0.06%. In total, the number of licensed insurance agents rose 2.1% to 635,326 people during the period.

AAJI’s Executive Director, Togar Pasaribu said, for life insurance companies, agents are like fresh blood. If you don’t do recruitment, it will endanger the company that adopts the agency strategy. “Please note that not all life insurance companies use agencies as their distribution channel. Therefore, this only applies to life insurance companies that use agents as salespeople,” he said as quoted from Kontan.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Fuse Kantongi Tambahan Dana Seri B+, Perkuat Ambisi ke Pasar Regional

Startup insurtech Fuse hari ini (13/12) mengumumkan tambahan pendanaan dalam putaran seri B+ dengan total nilai lebih dari $25 juta (sekitar 363 miliar Rupiah). Putaran ini dipimpin oleh investor global spesialis penggelontor dana untuk fintech dengan identitas dirahasiakan, serta dukungan dari investor sebelumnya seperti East Ventures (Growth Fund), GGV Capital, eWTP, dan EMTEK.

Selama enam bulan ini, Fuse telah menutup tiga putaran pendanaan Seri B dengan total perolehan lebih dari $50 juta (sekitar 725 miliar Rupiah). Dengan kata lain, mengokohkan posisi Fuse ke dalam jajaran startup centaur. Dana segar yang didapat perusahaan akan digunakan untuk membawa platform Fuse ke lebih banyak negara di Asia Tenggara. Perusahaan saat ini memiliki lebih dari 460 pegawai, dengan kantor cabang di Indonesia, Vietnam, dan Tiongkok.

Founder & CEO Fuse Andy Yeung menuturkan, rasa senangnya karena Fuse mendapat pengakuan dari investor fintech skala global di tengah pesatnya persaingan insurtech di Asia Tenggara. Pihaknya bersemangat untuk mendapatkan akses dan wawasan dari perusahaan portofolio fintech dan insurtech lainnya di jaringan global ini.

“Minat yang kuat dari investor global, bersama dengan prestasi terbaru kami masuk daftar World’s Top 100 Insurtechs 2021 yang diterbitkan oleh Sønr Global dan Ernst & Young, menegaskan kembali pendekatan ekosistem kami saat ini. Platform teknologi yang dikembangkan Fuse membuat asuransi lebih mudah diakses oleh masyarakat di Asia Tenggara,” ucap Yeung dalam keterangan resmi.

Dia melanjutkan, menurut laporan yang ia kutip, pada tahun ini kelas menengah Asia Tenggara diprediksi akan tumbuh menjadi 350 juta konsumen dengan pendapatan $300 miliar dan semakin melek digital. Menurutnya, Fuse berada di posisi yang tepat untuk memasuki pasar asuransi besar yang kurang terpenetrasi ini melalui platform teknologi uniknya, yang menghadirkan kanal-kanal distribusi yang bervariasi sesuai dengan kebutuhan konsumen.

“Dengan kepercayaan dari investor, perusahaan asuransi, partner bisnis dan end-customer, Fuse akan terus berusaha sebaik mungkin untuk mengembangkan produk asuransi yang paling terjangkau dan sesuai kebutuhan. Kami sangat percaya bahwa transformasi asuransi digital dapat membantu lebih banyak orang mendapatkan proteksi asuransi, dan semoga tingkat penetrasi asuransi dapat meningkat secara substansial di tahun-tahun mendatang di Indonesia maupun Asia Tenggara.”

Sejak beroperasi di 2017, Fuse mengambil pendekatan aplikasi untuk memungkinkan penjualan asuransi dengan model bisnis B2A (Business to Agent/Broker). Perusahaan memiliki bisnis model yang komprehensif, yakni B2A, B2C comparison, B2B2C (asuransi mikro dan financial institute), yang memungkinkan untuk membantu partner mendistribusikan produk asuransi dengan biaya operasional yang terjangkau kepada end-customer.

Terdapat lebih dari 60 ribu tenaga pemasar/partner yang menggunakan aplikasi Fuse Pro untuk memasarkan produk asuransi. Fuse juga bekerja sama dengan lebih dari 40 perusahaan asuransi, mulai dari perusahaan asuransi umum hingga perusahaan asuransi jiwa, yang mendukung Fuse untuk menyediakan lebih dari 300 produk asuransi bagi end-customer.

Sejak kuartal ketiga 2021, Fuse telah resmi ditunjuk oleh Tokopedia sebagai mitra insurtech strategis untuk menyediakan semua produk asuransi umum bagi user Tokopedia. Pada September lalu, pendapatan premi bruto (Gross Written Premium/ GWP) Fuse telah melampaui Rp1 triliun, yang menjadikan Fuse sebagai perusahaan insurtech terbesar di Indonesia.

Sebelumnya dalam wawancara bersama DailySocial.id, Yeung memaparkan bahwa agen/broker memainkan peran penting dalam rantai penjualan asuransi dan mereka tidak akan terganggu teknologi dalam waktu dekat. Akhirnya diputuskan untuk membangun aplikasi Fuse Pro untuk mengaktifkan dan mendukung agen/broker dalam digitalisasi. Sekaligus, membantu mereka mengubah bisnis offline menjadi online.

“Dengan kata lain, kami ‘menggeser asuransi yang ada’ ke online, daripada mencoba ‘menciptakan’ pasar asuransi baru seperti asuransi mikro. Itu sebabnya kami fokus pada model bisnis agen/broker ini terutama sejak hari pertama,” ujarnya.

Peran vital keagenan

Sebenarnya, startup insurtech saat ini juga memiliki layanan keagenan untuk mendongkrak penjualan produk asuransi lewat agen (B2B) selain kanal ritel (B2C). PasarPolis punya PasarPolis Mitra dan Qoala dengan Mitra Qoala Plus. Hanya saja, keduanya fokus dari ritel dulu baru ke bisnis, sementara Fuse sebaliknya. Tidak ada yang salah dengan kedua segmen bisnis ini karena semangat sama, yakni ingin meningkatkan penetrasi produk asuransi di Indonesia.

Agen adalah garda terdepan perusahaan asuransi dalam memacu bisnis. Menurut data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), jalur ini memberikan kontribusi terhadap 36,1% dari total pendapatan premi asuransi jiwa hingga kuartal III 2020. Kemudian, disusul jalur bancassurance 46,95% dan jalur telemarketing 1,88%, dan lainnya 15,06%. Secara total, jumlah agen asuransi berlisensi naik 2,1% menjadi 635.326 orang dalam periode tersebut.

Direktur Eksekutif AAJI Togar Pasaribu mengatakan, bagi perusahaan asuransi jiwa, agen itu ibarat darah segar. Bila tidak melakukan rekrutmen, akan membahayakan perusahaan yang mengadopsi strategi agency. “Harap dicatat bahwa tidak semua perusahaan asuransi jiwa menggunakan agency sebagai kanal distribusinya. Jadi hal ini hanya berlaku bagi perusahaan asuransi jiwa yang menggunakan agen sebagai tenaga penjual,” ucapnya seperti dikutip dari Kontan.

Application Information Will Show Up Here

Grup Konglomerasi Media EMTEK Caplok 93% Saham Bank Fama

Teka-teki kabar pendirian bank digital oleh EMTEK dan Grab mulai muncul satu-persatu. Perusahaan konglomerasi media dan teknologi PT Elang Mahkota Teknologi (IDX: EMTK) akan mengakuisisi PT Bank Fama International. Melalui anak usahanya PT Elang Media Visitama (EMV), EMTEK akan mengambil alih sebanyak 93% atau setara 9.089.503.800 lembar saham milik Bank Fama.

Rencana tersebut disampaikan dalam prospektus akuisisi yang diterbitkan Bank Fama pada surat kabar. Bank Fama mencari investor baru demi memenuhi kewajiban modal inti minimum Rp2 triliun per akhir 2021 sebagaimana diatur dalam POJK Nomor 12.

Dalam pernyataannya, aksi korporasi ini menjadi jalan masuk taipan milik Sariaatmadja tersebut untuk meningkatkan literasi keuangan dan perbankan ke sektor UMKM. Selain itu, Bank Fama juga dapat memanfaatkan kekuatan finansial, jaringan bisnis, produk, dan keahlian sektoral EMV.

“EMV juga berencana mempertahankan tim manajemen Bank Fama yang ada saat ini. EMV berencana mendukung dan meningkatkan kegiatan pengembangan karyawan untuk membangun keahlian dan kemampuan karyawan dalam mendukung kegiatan utama Bank Fama,” demikian pernyataan manajemen Bank Fama.

Untuk merampungkan proses akuisisi, Bank Fama akan melaksanakan RUPSLB pada 5 September 2021, sedangkan EMV pada 6 Desember 2021. Adapun pengajuan permohonan pengambilalihan ke OJK akan dilakukan pada 8 Desember. Pihaknya memperkirakan akuisisi ini rampung pada 28 Desember usai mengantongi restu dari OJK dan Kemenkumham.

Sedikit informasi, Bank Fama berkantor pusat di Bandung dan berdiri sejak 1993 sebagai bank umum dengan modal awal disetor Rp10 miliar. Bank Fama memiliki beberapa jaringan kantor secara online di Bandung, Jakarta, dan Tangerang dengan fokus pasar pada segmen ritel, khususnya UKM. Saat ini, Bank Fama memiliki modal inti utama senilai Rp1,001 triliun per Desember 2020.

Eks petinggi CIMB Niaga pimpin Bank Fama

Sebelum berita ini diturunkan, EMTEK dikabarkan akan mendirikan bank digital bersama platform super app Grab. Menyusul setelahnya, Tigor M Siahaan diberitakan resmi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden Direktur dan CEO PT Bank CIMB Niaga Tbk.

Menurut pemberitaan Katadata, Tigor akan memimpin bank digital hasil patungan (joint venture) EMTEK dan Grab tersebut. Bank ini dikabarkan akan terintegrasi dengan berbagai ekosistem digital, mulai dari commerce, online-to-offline (O2O), dan pembayaran digital.

Bertambahnya jumlah bank yang bertransisi ke digital dan kolaborasinya dengan platform digital akan semakin memperkuat prospek dan peta persaingannya di tahun depan. Terlebih, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah merilis aturan baru yang memberikan batasan yang jelas terkait pendirian bank.

Berdasarkan catatan kami, Bank Jago bersinergi dengan Gojek, Bank Neo Commerce dengan Akulaku, BCA Digital dengan Blibli, hingga Seabank oleh Sea Group. Jumlah ini diproyeksi akan bertambah seiring dengan meningkatkan akselerasi digital di Indonesia.

Menyoroti hal ini, Advisor Pengembangan Bisnis Bursa Efek Indonesia Poltak Hotradero sempat mengungkap bahwa sektor keuangan begitu besar di Indonesia. Maka itu, jangan sampai perannya diberikan kepada sektor perbankan saja. Selain potensi bisnisnya besar, ia meyakini masih ada segmen pasar yang belum tergarap dengan baik di Indonesia dan hanya bisa terlayani lewat kanal digital

“Platform digital akan memudahkan sinergi dengan layanan keuangan digital lainnya, misalnya layanan investasi dan asuransi. Namun perlu dicatat, biaya dan risiko terbesar dari transisi digital adalah kegagalan mempertahankan pangsa dan segmen pasar. Faktor tersebut dapat membuat bank menjadi tidak relevan,” tambahnya.