Fajrin Rasyid: Telkom Pertimbangkan “Spin-off” Unit Bisnis Digital di 2023

Sosok M. Fajrin Rasyid telah lama dikenal sebagai Co-founder Bukalapak, salah satu marketplace terbesar dan perusahaan teknologi yang telah melantai di bursa saham Indonesia. Pada 2020, ia diangkat menjadi Direktur Digital Business Telkom untuk memperkuat posisi perusahaan sebagai digital-telco (digico).

Telkom Group telah mencetak jejak cukup panjang dalam melahirkan berbagai inisiatif digital, seperti Blanja.com (marketplace hasil kemitraan dengan eBay) dan LinkAja. Telkom juga memiliki kendaraan investasi MDI Ventures dan incubator Indigo agar dapat berkontribusi terhadap industri kreatif digital.

Dalam perbincangan dengan DailySocial.id, Fajrin bilang unit Digital Business yang dipimpinnya sejauh ini membawa pencapaian pesat. Bahkan, tak menutup kemungkinan unit bisnis digital di dalamnya akan dieskpos ke jaringan investor atau mitra strategis yang lebih luas.

Apa agenda transformasi yang Anda bawa ke Telkom?

Jawab: Semakin ke depan, industri telekomunikasi semakin mendapat tekanan, semakin commoditized, capex semakin tinggi. Sama seperti perusahaan telekomunikasi di dunia, mereka ingin go digital.

Ada banyak yang perlu dipelajari karena telekomunikasi sedikit berbeda meski beririsan dengan digital. Saya pelajari dan beri masukan, lalu saya usulkan untuk ubah atau improve apabila kurang bagus. Ini termasuk kapabilitas hingga kultur [organisasi].

Ada dua agenda Digital Business, yakni menciptakan model bisnis baru yang dapat memberikan pendapatan dan valuasi, termasuk pada bisnis existing. Agenda kedua, kami bantu di sisi internal. Contohnya, kami membuat aplikasi myIndiHome untuk dorong business process dan customer experience. IndiHome sendiri berada di Direktorat Consumer. 

Apa saja yang perlu ditransformasi?

J: Ada dua sisi ekstrem di sini, yakni ekstrem rigid dan ekstrem agile. Startup sangat agile, sedangkan perusahaan BUMN atau publik sangat rigid dan birokratik. Bukan berarti keduanya punya sisi lebih baik dari yang lain.

Startup yang awalnya agile, pasti akan butuh good corporate governance. Di perusahaan saya sebelumnya, [laporan] tidak diaudit di tahun pertama dan kedua karena saat itu masih kecil. Namun, lama-lama investor meminta audit.

Sebaliknya, perusahaan telekomunikasi yang ingin go digital harus ke arah yang lebih agile. Saat hiring orang, startup biasanya lebih cepat. Di [Telkom] harus buat proposal dulu untuk justifikasi kebutuhan. Langkah ini sebetulnya masuk akal bagi perusahaan besar [untuk hindari risiko] seperti KKN.

Buat proposal bisa lama, begitu jadi, baru mulai hiring. Realitanya, mencari orang butuh waktu. Saya usul lakukan secara paralel. Jangan tunggu proposal jadi, kita bisa sambil cari orangnya. Ini salah satu aspek yang kami tingkatkan.

Lalu, saya memperkenalkan metode Objective Key Result (OKR) ke organisasi daripada memakai metrik pencapaian (achievement). Di e-commerce, OKR-nya berbasis Gross Merchandise Value (GMV), atau daily active user untuk video.

Ketika bikin aplikasi, lalu undang acara launching. Apakah bulan depan masih ada yang pakai aplikasinya? Kalau belum ada, berarti belum sesuai target. Bagi saya oke saja tidak buat acara [peluncuran] selama GMV naik terus.

Apa ada pertentangan dengan metrik yang Anda perkenalkan?

J: Pasti ada dinamika di dalamnya, banyak yang bertanya. Jika bicara digital, yang terpenting adalah customer. OKR itu merupakan terjemahan dari [kebutuhan] customer.

Saya memberi contoh ini ke diri sendiri. Saya jarang minta tim untuk mengembangkan fitur di aplikasi A, misalnya. Belum tentu fitur itu dibutuhkan customer atau sama dengan saya. Dengan mengacu pada data, kita tahu apa yang dibutuhkan. Ini saya coba tularkan ke organisasi, baik direktorat maupun grup.

Bagaimana struktur organisasi hingga pengembangan Digital Business ke depan?

J: Mengubah unit bisnis di Telkom butuh prosedur. Namun, kami kelola secara agile. Kami bentuk tribe yang dedicated membuat suatu produk. Chapter itu functional, semacam horizontalnya, terdapat manager, engineer, atau designer. Masing-masing punya tribe. Saat ini, ada 20 tribe, mulai dari logistik, agrikultur, health, dan education.

Pengembangan produknya dibagi dalam dua kategori, yakni internal dan eksternal. Di internal, tujuannya untuk dorong customer experience atau business process. Di eksternal, pengembangan produk bertujuan pada growth sehingga tribe bisa capai pendapatan dan valuasi. Ini menjadi justifikasi investasi yang telah dikelarkan. Perusahaan besar umumnya menghitung pendapatan per karyawan, EBITDA per karyawan.

Bagi tribe yang belum menghasilkan pendapatan karena masih di growth stage atau EBITDA masih negatif, kami ukur valuasi per karyawan. Jadi, kami tahu valuasi untuk tribe dengan 100 orang sekian atau tribe 50 orang sekian. Telkom punya Digital Investment Committee (DIC) untuk mengevaluasi kinerja dan metrik ini. Kalau tidak bagus, opsinya bisa tutup atau garap peluang baru. Jadi, tidak perlu ubah organisasi, geraknya lebih cepat.

Untuk mengukur keberhasilan bisnis digital, kami pakai metrik RBV atau revenue, benefit, dan valuation. Hasilnya bisa berupa pendapatan, efisiensi, atau peningkatan customer experience. Biasanya, produk startup-based belum ada pendapatan, tetapi baru GMV. Ini menghasilkan valuasi. Nah, untuk mencapai OKR, parameter ini tidak harus terpenuhi ketiganya.

Sejak tahun lalu, Digital Business mengalami pertumbuhan pesat. Kami telah mengembangkan Logee (logistik), Agree (Agrikultur), dan Pasar Digital (UMKM). GMV Logee dan PaDi sudah capai triliunan Rupiah per tahun, sedangkan Agree sudah ratusan miliar Rupiah per tahun. Agree kini tak hanya bermain di pertanian saja, tetapi juga ke perikanan.

Saya melihat ketiga sektor di atas punya potensi besar ke depannya. Secara umum, biaya logistik Indonesia masih tinggi, banyak ruang untuk digitalisasi. Industrinya juga sangat besar, mulai dari first mile, middle, dan last mile. Ada pandemi atau tidak, orang tetap butuh logistik. Sejumlah riset juga menyebut logistik sebagai sektor dengan pertumbuhan tercepat beberapa tahun terakhir.

Di agrikultur, setiap orang butuh makan, itu kebutuhan dasar meski ada pandemi atau resesi. Potensi UMKM juga masih besar. Untuk jump start, PaDi masuk ke segmen BUMN, tetapi kami perluas juga nanti untuk enterprise.

Bagaimana strategi eksekusinya?

J: Essentially, kami menerapkan strategi buy, build, and borrow. Kami bangun kapabilitas internal, misalnya melalui training. Namun, bangun kapabilitas itu butuh waktu, apalagi untuk level senior. Dalam hal ini, kami coba model borrow dan buy. Bisa lewat kerja sama atau membeli perusahaan yang punya keahlian. SDM juga dikombinasikan antara internal dan prohire.

Strategi ini untuk mengkomplemen kapabilitas sebagaimana yang saya jelaskan di awal. Bagaimana ke depannya? Ketiga cara tersebut akan terus kami lakukan untuk memastikan kapabilitas tercapai. Tentu ini tergantung pada justifikasi investasi, karena tidak bisa bakar uang terus kalau tidak menghasilkan.

Apakah ada rencana untuk spin off unit bisnis digital?

J: Sebagai bagian dari BUMN, membentuk anak usaha harus melalui justifikasi menyeluruh. Kami sedang menganalisis karena ada kemungkinan ke sana. Opsi ini makes sense karena spin-off dapat membuka kolaborasi dengan partner, baik melalui investasi maupun kerja sama mendalam.

Technically, saat ini sulit kalau ada yang mau berinvestasi [ke unit bisnis] karena berarti investasinya masuk ke Telkom dong. Jika di-spin off, investor bisa menjadi pemegang saham di perusahaan. Unit mana yang akan dilepas duluan? Tentu saja yang paling siap. Namun, jika lihat skala atau ukuran [bisnisnya], yang sudah triliunan itu Logee dan PaDi UMKM. Apalagi, PaDi sedang dipersiapkan untuk ekspansi ke luar segmen BUMN saja.

Sebagai perusahaan digital-telco, kami tak hanya menawarkan produk digital saja, tetapi juga platform dan infrastruktur. Ini menjadi kelebihan kami jika bicara kebutuhan yang sifatnya terintegrasi. Satu hal yang kami lakukan di Digital Business dan Direktorat Strategic Portfolio adalah mengorkestrasi portofolio digital di Telkom Group untuk memastikan terciptanya kolaborasi.

Bagaimana rencana spin-off IndiHome ke  Telkomsel?

J: IndiHome sebetulnya berada di Direktorat Consumer, tetapi the digital strategy  will follow the business. Kami belum tahu rencana detail pengembangan dari sisi digital [setelah bergabung dengan Telkomsel].

Bisa saja namanya nanti bukan IndiHome lagi. Ini belum diputuskan, masih didiskusikan. Yang pasti, salah satu premisnya adalah kolaborasi produk IndiHome dan Telkomsel akan lebih baik dengan penggabungan ini.

Apa sektor lain yang ingin Anda eksplorasi selanjutnya?

J: Telkom banyak terekspos dengan tren di green economy. Personally, saya memang tertarik untuk mengeksplorasi. Ini sesuatu yang sedang kami pelajari. How can we play, apa yang dapat Telkom bantu untuk digitalisasi.

Kami mulai ngobrol dengan Gesists, anak usaha BUMN di bidang motor listrik. Mereka memproduksi motor listrik, tapi barangkali ada kebutuhan aplikasi untuk enhance layanannya. Kami sedang analisis posisi Telkom dengan melihat tren-tren besar ini. Kami tak mau masuk ke bisnis kalau tidak punya kapabilitas.

Who knows ke depannya Telkom akan menyasar bisnis lain yang adjacent atau berdampingan.

Startup Agritech B2B “Elevarm” Dikabarkan Bukukan Pendanaan Pra-Awal Dipimpin Insignia Ventures

Startup agritech B2B Elevarm dikabarkan membukukan pendanaan tahap pra-awal yang dipimpin Insignia Ventures. Berdasarkan data yang dimasukkan ke regulator, nominal yang diterima dalam putaran ini telah mencapai $1,39 juta (sekitar 21,6 miliar Rupiah).

Selain Insignia, terdapat 500 Southeast Asia (dulu bernama 500 Durians) serta jajaran angel investor, yakni Fajrin Rasyid (Telkom), Gibran Huzaifah (eFishery), dan Arip Tirta (Evermos), yang berpartisipasi dalam putaran tersebut.

DailySocial.id telah meminta konfirmasi dari founder Elevarm terkait informasi ini.

Dalam keterangan yang dihimpun, Elevarm adalah startup agritech yang berfokus di sisi hulu, memberikan solusi pasokan kepada pelanggan bisnis dengan menggabungkan dan mengangkat petani kecil dengan teknologi. Startup ini masih dalam “stealth mode” alias belum beroperasi, situsnya belum bisa diakses.

Elevarm didirikan pada Februari 2022 di Bandung, Jawa Barat oleh Bayu Syerli. Dalam rekam jejaknya, Bayu pernah bekerja di Mamikos sebagai Co-founder & COO dan di Bukalapak sebagai VP of Marketing.

Insignia sendiri, dalam wawancara bersama DailySocial.id sebelumnya, menyampaikan bahwa mereka memang mengincar untuk lebih agresif berinvestasi pada sektor potensial berikutnya, seperti web3, teknologi iklim, perawatan kesehatan, dan pertanian. Langkah tersebut diambil pasca membukukan dana kelolaan ketiga sebesar $516 juta yang telah diumumkan pada awal Agustus 2022.

Founding Managing Partner Yinglan Tan mengatakan, dampak yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan terbesar di luar Asia Tenggara dalam dekade terakhir akan menjadi permulaan baru dibandingkan dengan dampak yang akan dibuat ooleh pembuat pasar pada dekade berikutnya.

Pendanaan startup agritech mulai dominasi

Menurut catatan DailySocial.id, sepanjang kuartal III 2022 ini, sektor fintech memimpin di urutan pertama berdasarkan jumlah dan nilai transaksi. Sektor berikutnya yang menarik adalah logistik dan agritech. Minat investor terhadap kedua sektor tersebut meningkat dibandingkan periode sebelumnya.

Pada kuartal tersebut, terjadi penurunan dari jumlah transaksi dan nominal yang dibukukan dibandingkan periode sebelumnya. Pada kuartal III 2022, terdapat 62 transaksi dengan nilai yang diumumkan sebesar $983 juta. Angka tersebut sebenarnya tidak jauh berbeda dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya, yakni 68 transaksi senilai $974 juta.

Sementara itu, pada kuartal II 2022, terdapat 71 transaksi pendanaan bernilai lebih dari $1,4 miliar. Adapun pada kuartal I 2022, terdapat 50 putaran pendanaan bernilai lebih dari $1,22 miliar. Tahapan pendanaan yang dikucurkan pada kuartal III 2022 ini didominasi oleh pendanaan tahap awal (pre-seed sampai seri A).

Privy Kantongi Pendanaan Seri B 240 Miliar Rupiah Dipimpin GGV Capital

Startup penyedia layanan tanda tangan digital dan identitas digital Privy mengumumkan pendanaan seri B sebesar $17,5 juta atau sekitar 240 miliar Rupiah. Pendanaan tersebut dipimpin oleh GGV Capital, diikuti Endeavor Catalyst, Buana Sejahtera Group, dan sebagian besar investor sebelumnya yaitu MDI Ventures, Telkomsel Mitra Inovasi, Mandiri Capital, dan Gunung Sewu Group.

Dana segar akan dimanfaatkan untuk memperluas cakupan infrastruktur TI dan keamanannya. Privy memproyeksikan transaksi harian akan meningkat drastis dari 100.000 per hari menjadi 800.000 per hari hanya dalam dua tahun. Sejak 2017, pelanggan korporasi Privy tumbuh 17,5x, pengguna individu tumbuh 30x lipat, dan jumlah dokumen yang ditandatangani tumbuh 58x.

“Kami sangat berterima kasih atas dukungan tanpa henti dari investor, karyawan, dan klien kami yang ada, kami tidak akan sampai sejauh ini tanpa mereka. Saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada GGV Capital dan Endeavour karena mempercayai kami, selamat datang di keluarga Privy. Mulai hari ini, kami memiliki mitra baru yang luar biasa untuk membawa Privy ke panggung global,” kata Co-Founder & CEO Privy Marshall Pribadi.

Sebagai pionir tanda tangan digital di Indonesia dan menjadi satu-satunya yang lolos program Regulatory Sandbox Bank Indonesia (BI), Privy telah bermitra dengan bank-bank besar, seperti BRI, Mandiri, CIMB Niaga, BNI, Danamon, Nobu Bank, dan Panin Bank . Dari jumlah transaksi yang ditangani dan profil pelanggannya, menunjukkan bahwa Privy telah lulus uji kualitas, keandalan, dan keamanan layanan yang paling ketat.

“Kemitraan kami dengan Privy didukung oleh komitmen kami untuk bekerja sama dengan pendiri lokal yang menunjukkan semangat nyata dalam memecahkan tantangan besar di era ini – salah satunya adalah meningkatkan akses masyarakat luas ke berbagai layanan digital,” kata Managing Partner di GGV Capital, VC global Jenny Lee.

Fajrin Rasyid, Direktur Digital Business Telkom dan Presiden Komisaris MDI Ventures mengatakan, “Telkom Group sangat percaya pada Privy sejak awal perjalanannya. Kami berkomitmen untuk memberikan dukungan kami kepada Privy untuk membantu mereka memungkinkan masyarakat Indonesia melakukan tanda tangan digital dengan aman dan nyaman, seperti misi kami untuk mendigitalkan Indonesia.”

Akhir tahun 2019 lalu Privy telah mengantongi investasi tahapan seri A2 dari Telkomsel Mitra Inovasi (TMI). Tidak disebutkan berapa nominal investasi yang digelontorkan, namun bentuk kerja sama dan integrasi nantinya juga akan dihadirkan oleh kedua belah pihak. Sebelumnya PrivyID telah mengantongi pendanaan Pra-Seri A yang dipimpin oleh MDI Ventures dan Mandiri Capital Indonesia pada pertengahan tahun 2017 lalu. Gunung Sewu dan Mahanusa Capital juga terlibat dalam pendanaan ini.

Pertumbuhan bisnis Privy

Sebagai bagian dari strategi ekspansi globalnya, bertepatan dengan ulang tahun ke-lima, Privy juga mengubah nama dari PrivyID menjadi Privy. Tahun ini, Privy juga memperluas bisnis tanda tangan digitalnya ke negara-negara Uni Eropa dengan bermitra dengan Zettabyte, penyedia SaaS pendidikan tinggi.

Hingga saat ini jumlah tanda tangan yang telah ditandatangani melalui layanan Privy juga meningkat pesat menjadi lebih dari 69 juta tanda tangan per Oktober 2021. Perkembangan ini banyak dipengaruhi oleh kebijakan work-from-home yang diterapkan berbagai perusahaan selama masa Covid- 19 pandemi. Pada tahun 2021, Privy juga mendapatkan pengakuan tertinggi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia sebagai Penyedia Sertifikat Elektronik (PSrE) Berinduk, sehingga meningkatkan kepercayaan dari berbagai perusahaan besar di Indonesia.

Menurut data dari Statista, total potensi pasar dari solusi identitas digital secara global diproyeksikan tumbuh dari $23,3 miliar pada 2020 menjadi $49,5 miliar pada 2026. Pertumbuhan pasar yang sangat cepat ini didorong oleh meningkatnya kasus penipuan identitas, pelanggaran data, dan peraturan pemerintah baru.

Privy telah membantu jutaan pengguna untuk membuka rekening tabungan bank, pembukaan rekening sekuritas, pengajuan kartu kredit, polis asuransi, pembelian kendaraan bermotor, penandatanganan invoice, mengajukan pinjaman dari fintech, menandatangani kontrak sewa, dan melakukan banyak pekerjaan serta transaksi lainnya tanpa perlu bepergian dan menandatangani berkas dokumen secara fisik.

Selain Privy, saat ini juga muncul startup dengan layanan serupa, misalnya TekenAja, Verihub, dan Vida.

Application Information Will Show Up Here

Bukalapak Reportedly Aims for IPO, Enhancing Business Diversification

The news about a local unicorn planning for an IPO has spread, it’s coming to Bukalapak. According to a Bloomberg source, it started to explore the potential to go public on the IDX (at low shares), then continue to take it on the US stock exchange through the SPAC scheme. The company is said to be in discussion with several blank check companies and has started working with investment banks to explore.

Through SPAC, Bukalapak’s valuation is to reach $4-5 billion from the current value at $3.5 billion. Apart from Ant Group, GIC, and EMTEK Group, Bukalapak is supported by a number of investors and corporations including GIC, Naver Corp, Microsoft, and Standard Chartered. In Indonesia itself, according to research findings, Bukalapak is in third place after Shopee and Tokopedia – with an online marketplace high-tension competition with fast business dynamics.

In order to confirm, DailySocial is in contact with Bukapalak’s President, Teddy Oetomo. However, he avoids commenting on this matter. Meanwhile, the company representative said that after 11 years of operation, they are now focused on building a sustainable business to create a long-term impact on MSMEs and the Indonesian people through reliable online and online-to-offline platforms.

The news surfaced after Bukalapak’s CEO, Rachmat Kaimuddin said on an occasion, “We still want to be independent and run Bukalapak as a standalone company. IPO is an option to be able to obtain funds and technology companies will eventually want to IPO. We are open to that option and are now preparing the infrastructure.”

In his writing, Bukapak’s founder and former President Fajrin Rasyid signaled his support for Indonesian startups for an IPO. One thing he emphasized was that the net benefit for this country would be better if the IPO was conducted domestically, or at least a dual listing at home and abroad.

Business Diversification

Bukalapak is still on track to pursue profitability by exploring various sectors outside its core business as an e-commerce service. For example, through a subsidiary called Buka Investasi Bersama, it’s to deepen the mutual fund investment business, especially targeting the underserved. On a general note, this investment instrument is getting its momentum along with the increase in financial literacy of various circles of society.

Through the LinkedIn post, Bukalapak’s COO, Willix Halim published that his team was recruiting various strategic positions for a new business unit. He wrote that the ability to speak Tagalog (the native language of the Philippines) will be prioritized. Rumor has it that Bukalapak is trying to explore the Philippine market with a new business. We tried to confirm with Bukalapak regarding this issue, however, they avoid making further comments.

Business diversification is an important strategy in Bukalapak. Related to e-commerce supporting businesses, the stall partnership program “Mitra Bukalapak” has found quite strong performance – it is considered to be one of the most significant innovations. Throughout 2020, Rachmat said, the growth of this line will reach 50%. The business unit under the legal name “Buka Mitra Indonesia” has its own CEO, Howard Gani. Currently, Bukalapak has 100 million users with 7 million partners.

Bukalapak is the fourth unicorn that is reportedly taking the floor on the stock exchange. Previously, Gojek, Tokopedia, and Traveloka had been widely discussed regarding their plans for an IPO through SPAC. In addition to the rapidly growing business, currently, it is considered to be the right momentum to take this corporate action – considering market conditions and readiness.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Bukalapak Dikabarkan Mulai Pertimbangkan IPO, Terus Upayakan Diversifikasi Bisnis

Kabar mengenai unicorn lokal yang berencana melakukan IPO kembali mencuat, kali ini giliran Bukalapak. Menurut sumber Bloomberg, mereka sudah mulai menjajaki potensi go-public di BEI (dengan sebagian kecil saham), lalu akan dilanjutkan melantai di bursa Amerika Serikat lewat mekanisme SPAC. Perusahaan dikatakan tengah dalam pembicaraan awal dengan beberapa perusahaan cek kosong dan sudah mulai menjalin kerja sama dengan investment bank untuk mengeksplorasi.

Lewat SPAC, diperkirakan valuasi Bukalapak akan terdongkrak menjadi $4-5 miliar dari posisi saat ini sekitar $3,5 miliar. Selain Ant Group, GIC, dan EMTEK Group, Bukalapak didukung sejumlah investor dan korporasi termasuk GIC, Naver Corp, Microsoft, dan Standard Chartered. Di Indonesia sendiri, menurut beberapa temuan riset, Bukalapak berada di posisi ketiga setelah Shopee dan Tokopedia — persaingan di lanskap online marketplace bertensi tinggi dengan dinamika bisnis yang kencang.

Untuk mengonfirmasi rencana tersebut, DailySocial sempat menghubungi Presiden Bukapalak Teddy Oetomo. Namun ia masih enggan memberikan komentar. Sementara perwakilan perusahaan mengatakan, setelah beroperasi selama 11 tahun kini fokusnya adalah membangun bisnis yang berkelanjutan untuk menciptakan dampak jangka panjang kepada UMKM dan masyarakat Indonesia melalui platform online dan online-to-offline yang dapat diandalkan.

Kabar ini mencuat setelah sebelumnya CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin dalam sebuah kesempatan mengatakan, “Kami masih ingin berdikari dan menjalankan Bukalapak sebagai standalone company. IPO adalah salah satu opsi untuk bisa mendapatkan dana dan memang perusahaan teknologi di masa tertentu ingin IPO. Kami terbuka dengan opsi itu dan sekarang sedang siapkan infrastrukturnya.”

Dalam tulisannya, pendiri sekaligus mantan Presiden Bukapak Fajrin Rasyid mengisyaratkan dukungannya bagi startup Indonesia untuk IPO. Satu hal yang ia tekankan, bahwa net benefit bagi negara ini akan lebih baik apabila IPO tersebut dilakukan di dalam negeri, atau setidaknya dual listing di dalam dan di luar negeri.

Upayakan diversifikasi bisnis

Bukalapak masih berusaha terus mengejar profitabilitas dengan mengeksplorasi berbagai sektor di luar bisnis intinya sebagai layanan e-commerce. Misalnya lewat anak usaha yang dinamai Buka Investasi Bersama, mereka hendak mendalami bisnis investasi reksa dana, khususnya menyasar kalangan undeserved. Seperti diketahui, instrumen investasi tersebut kini lambat laun mulai populer seiring peningkatan literasi finansial berbagai kalangan masyarakat.

Dalam sebuah unggahan di LinkedIn, COO Bukalapak Willix Halim mempublikasikan bahwa pihaknya tengah melakukan perekrutan untuk berbagai posisi strategis untuk sebuah unit bisnis baru. Dalam kalimatnya, ia menuliskan kemampuan berbahasa Tagalog (bahasa asli Filipina) akan diprioritaskan. Spekulasi yang beredar, Bukalapak tengah coba mengeksplorasi pasar Filipina dengan sebuah bisnis baru. Terkait ini, kami juga sudah mencoba mengonfirmasi ke pihak Bukalapak, namun mereka memilih tidak berkomentar.

Diversifikasi bisnis menjadi strategi penting bagi Bukalapak. Kaitannya dengan bisnis pendukung e-commerce, program kemitraan warung “Mitra Bukalapak” yang dimiliki mendapati performa cukup kuat – bahkan bisa dikatakan menjadi salah satu yang paling signifikan. Sepanjang tahun 2020, disampaikan Rachmat, pertumbuhan lini ini mencapai 50%. Unit bisnis dengan nama legal “Buka Mitra Indonesia” tersebut juga sudah memiliki CEO sendiri, yakni Howard Gani. Saat ini, Bukalapak telah mengantongi 100 juta pengguna dengan 7 juta Mitra.

Bukalapak menjadi unicorn keempat yang dikabarkan segera melantai di bursa. Sebelumnya Gojek, Tokopedia, dan Traveloka telah terlebih dulu santer diperbincangkan terkait rencananya untuk IPO lewat SPAC. Selain bisnis yang memang sudah berkembang pesat, saat ini dinilai menjadi momentum tepat untuk melakukan aksi korporasi tersebut – ditinjau dari kondisi dan kesiapan pasar.

Application Information Will Show Up Here

Analysing the B2B Commerce Concept, Telkom’s New Strategy After Blanja’s Shutdown

Blanja informed its users on its platform that starting September 1, 2020, all purchasing activities will be stopped. In its official statement, Telkom said that this is part of the e-commerce business transformation in the company, in an effort to strengthen the company’s profitability. As of October 1, 2020, Telkom will only focus on e-commerce in the business segment, targeting both corporates and SMEs.

Regarding the next moves, Telkom told DailySocial, “In accordance with Telkom’s strategic plan, which leads to B2B Commerce, it can develop from its own resources (build), partner with other parties (borrow), or develop external competencies (buy) including startups. . ”

Blanja is part of Telkom’s digital business, under the leadership of Fajrin Rasyid. The appointment of Bukalapak’s co-founder is to support the agenda of increasing business opportunities and the company’s potential profits from digital business.

Blanja was not alone, Telkom took eBay as a strategic partner. For the continuation of their cooperation, Telkom is still unable to comment, “The continuation will be announced later”. While we have also tried to request an official statement from eBay Indonesia, as of this writing no comments have yet been made.

Towards the end of 2019, we had an interview with Blanja’s CEO, Jemy Confido. He claimed, the amount of revenue obtained has increased by 84% compared to 2018. There was an 11% increase in EBITDA and about 4% of Net Income. He also emphasized that the company’s main metric is no longer GMV, but revenue.

Hard to catch up

As an e-commerce platform that focuses on B2C / C2C, Blanja’s position has been less attractive lately. One of them is proven by the results of research conducted by iPrice, as of the second quarter of 2020, Blanja’s position is in the 16th rank – one rank just below Elevenia (PT XL Planet), which was previously also managed by the telco company XL Axiata but has been fully released to the Salim Group. .

In its research, iPrice uses several variables, two of which are site visit statistics and app ranking.

Riset iPrice tentang perkembangan e-commerce di Indonesia per Q2 2020

With experience in establishing and raising Bukalapak, Fajrin’s business intuition has clearly been honed. Although the details are not given, there is certainly a strong argument that underlies Blanja’s chances of leading the local e-commerce market are very small, not proportional to the efforts put in.

The market leader is filled with unicorns who continue to compete and innovate to be at the forefront. The scope of its business is also very broad, not only as a place for online buying and selling, but includes aspects of fintech (payments and loans), logistics, online-to-offline (partnerships with shops), and others.

Even though Blanja in 2020 has a target to sharpen its digital products, including payment of various bills, insurance, investment, even digital products for education. The strategy is by cooperating with other players, for insurance they choose Invisee as a partner; for payments and paylater there is LinkAja and Finpay.

But the plan is just the plan, now all focus will be shifted to B2B Commerce. Then what about the market share and business opportunities that Telkom will explore?

Potential B2B commerce

B2B Commerce refers to the exchange of goods and services between companies through digital medium. Most of the business models adopted are marketplace or direct-to-consumer. According to a report released by ecommerceDB.com entitled “In-depth: B2B e-Commerce 2019”, the market value of B2B Commerce in 2019 was $ 12.2 trillion, 6x larger than the B2C market.

Interestingly, Asia Pacific leads the market with a contribution of nearly 80%, making global players step on the gas to work on their B2B units here. So far there are two players that stand out the most, namely Alibaba and Amazon Business. There is a possibility that it will be even more hectic, because the competition landscape has begun to be enlivened by Rakuten, Mercateo, Global Sources, IndiaMART, to Walmart.

In Indonesia, so far there are Bhinneka, Mbiz, Bizzy, AXIQoe, Monotaro, and Ralali. There aren’t many B2C players who have played there either – one that has jumped in is Bukalapak through the BukaPengadaan service. While Bizzy is also a pivot, instead of providing e-commerce for businesses, they are now prioritizing logistics and distribution services.

Chief of Commercial & Omni Channel Bhinneka Vensia Tjhin, through his latest interview with DailySocial, explained that the business contribution from B2B Commerce has reached 90%, compared to B2C last year. Apart from B2B.id, several other supporting features have been rolled out, including Bhinneka Smart Procurement, developing O2O omnichannel, and having selected merchants.

Frost & Sullivan projects a CAGR of 59% in 2017-2022 for B2B Commerce growth in Indonesia, about double the growth rate of B2C Commerce during the same period. MSMEs have the potential to be the main driver in this landscape – according to BPS, MSMEs contribute to 60.3% of national GDP.

DSResearch once released a report “Indonesia B2B Commerce 2018”, in which it discusses developments in terms of platforms and public perceptions. As is known, one of the uniqueness of B2B Commerce is that it allows businesses to get an e-procurement system, integration with ERP, e-invoicing, taxation, and others – adapting to the procurement system in offices. On average, B2B platforms also target government institutions, so players often define their business as B2B2G.

The B2B market for e-commerce may be in its infancy, trying to democratize the existing procurement system. The potential is clear, as people become more familiar with e-commerce. In addition, there are many benefits that can be obtained by businesses, including convenience, transparency, and flexibility.

Telkom in B2B Commerce

Delivered by Telkom, efforts to build B2B Commerce have actually started before. One of them is through the UMKM Digital Market (PaDi), in collaboration with 8 other BUMNs. It consists of a data center for UMKM and BUMN shopping (Control Tower Dashboard), a digital UMKM market for BUMN (PaDi UMKM B2B), and a marketplace feature with centralized access for MSMEs (PaDi UMKM B2C).

Telkom also supports Kemendibud in the online procurement of school goods and services through the School Procurement Information System (SIPLah). SIPLah is designed to take advantage of a marketplace that has certain features to realize school budget work plans and meet the needs of the Ministry of Education and Culture in supervising the use of BOS (School Operational Assistance) funds in accordance with applicable regulations.

It is likely that more products will be initiated. With its infrastructure and business position, Telkom has the potential to maximize its potential to help business consumers. Especially through its many units, the company continues to intensify digital transformation, including through MDI Ventures by investing in digital startups.

There were also rumors about Telkom’s acquisition of the Bhinneka platform to strengthen the B2B Commerce business, but when asked again Telkom was reluctant to comment.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mengulik B2B Commerce, Strategi Baru Telkom Setelah Penutupan Blanja

Di situsnya, Blanja mengumumkan kepada para penggunanya, terhitung mulai 1 September 2020 seluruh kegiatan pembelian akan dihentikan. Dalam pernyataan resminya, pihak Telkom berdalih bahwa ini merupakan bagian dari transformasi bisnis e-commerce di perseroan, dalam upaya memperkuat profitabilitas perusahaan. Per 1 Oktober 2020, Telkom hanya akan fokus padae-commerce di segmen bisnis, baik menyasar korporasi maupun UKM.

Terkait rencana selanjutnya, kepada DailySocial pihak Telkom mengatakan, “Sesuai dengan rencana strategis Telkom, yang mengarah pada B2B Commerce bisa mengembangkan dari resource sendiri (build), bermitra dengan pihak lain (borrow), atau mengembangkan kompetensi eksternal (buy) termasuk dengan para startup.”

Blanja adalah bagian dari bisnis digital Telkom, berada di bawah kepemimpinan Fajrin Rasyid. Ditunjuknya co-founder Bukalapak tersebut untuk mendukung agenda peningkatan peluang bisnis dan potensi keuntungan perseroan dari bisnis digital.

Blanja tidak dikerjakan sendiri, Telkom menggandeng eBay sebagai mitra strategis. Untuk kelanjutan kerja sama mereka, pihak Telkom masih belum bisa berkomentar, “Nanti akan disampaikan kelanjutannya ya”. Sementara kami juga sudah mencoba meminta pernyataan resmi dari eBay Indonesia, namun sampai tulisan ini diterbitkan belum ada komentar apa pun yang disampaikan.

Menjelang akhir tahun 2019, kami sempat mewawancara CEO Blanja Jemy Confido. Ia mengklaim, dibanding tahun 2018 jumlah revenue yang didapat meningkat hingga 84%. Terjadi peningkatan EBITDA 11% dan Net Income sekitar 4%. Turut ditegaskan metrik utama perusahaan tidak lagi GMV, tetapi revenue.

Blanja sulit mengejar ketertinggalan

Sebagai platform e-commerce yang fokus pada B2C/C2C, posisi Blanja memang kurang menawan akhir-akhir ini. Salah satunya dibuktikan dari hasil riset yang dilakukan iPrice, per kuartal kedua tahun 2020, posisi Blanja ada di peringkat 16 – satu ranking persis di bawah elevenia (PT XL Planet), yang sebelumnya turut dikelola perusahaan telco XL Axiata namun telah dilepas sepenuhnya ke Salim Group.

Dalam penelitiannya, iPrice menggunakan beberapa variabel, dua di antaranya statistik kunjungan situs dan peringkat aplikasi.

Riset iPrice tentang perkembangan e-commerce di Indonesia per Q2 2020
Riset iPrice tentang perkembangan e-commerce di Indonesia per Q2 2020

Dengan pengalaman mendirikan dan membesarkan Bukalapak, intuisi bisnis Fajrin jelas sudah terasah. Kendati tidak disampaikan detail, pastinya ada argumen kuat yang melandasi bahwa kemungkinan Blanja untuk memimpin pasar e-commerce lokal sangat kecil, tidak berbanding dengan effort yang dikeluarkan.

Pemimpin pasar diisi oleh para unicorn yang terus bersaing dan berinovasi menjadi yang terdepan. Cakupan bisnisnya pun sudah sangat luas, tidak sekadar sebagai tempat jual-beli online, melainkan meliputi aspek fintech (pembayaran dan pinjaman), logistik, online-to-offline (kemitraan dengan warung), dan lain-lain.

Padahal Blanja di tahun 2020 ini punya target untuk mempertajam produk digitalnya, termasuk pembayaran berbagai tagihan, asuransi, investasi, bahkan sampai produk digital untuk pendidikan. Strateginya dengan menggandeng pemain lain, untuk asuransi mereka memilih Invisee sebagai mitra; untuk pembayaran dan paylater ada LinkAja dan Finpay.

Tapi rencana tinggal rencana, sekarang semua akan diubah fokus ke B2B Commerce. Lalu bagaimana pangsa pasar dan peluang bisnis yang akan dijelajah Telkom tersebut?

Potensi B2B Commerce

B2B Commerce mengacu pada pertukaran barang dan jasa antarperusahaan melalui medium digital. Kebanyakan model bisnis yang diadopsi adalah marketplace atau direct-to-consumer.  Menurut laporan yang dirilis ecommerceDB.com bertajuk “In-depth: B2B e-Commerce 2019”, nilai pasar B2B Commerce di tahun 2019 mencapai $12,2 triliun, 6x lebih besar dari pasar B2C.

Menariknya, Asia Pasifik memimpin pasar dengan kontribusi hampir 80%, membuat para pemain global menginjakkan gas untuk menggarap unit B2B-nya di sini. Sejauh ini ada dua pemain yang paling menonjol, yakni Alibaba dan Amazon Business. Tak penutup kemungkinan akan lebih riuh lagi, karena lanskap kompetisinya mulai diramaikan Rakuten, Mercateo, Global Sources, IndiaMART, hingga Walmart.

Di Indonesia, sejauh ini ada Bhinneka, Mbiz, Bizzy, AXIQoe, Monotaro, dan Ralali. Untuk pemain B2C juga belum banyak yang bermain ke sana —  salah satu yang sudah terjun adalah Bukalapak melalui layanan BukaPengadaan. Sementara Bizzy pun pivot, alih-alih menyediakan e-commerce untuk bisnis, mereka kini mengutamakan layanan logistik dan distribusi.

Chief of Commercial & Omni Channel Bhinneka Vensia Tjhin, melalui wawancara terbarunya dengan DailySocial  menjelaskan, kontribusi bisnis dari B2B Commerce tembus 90%, ketimbang B2C pada tahun lalu. Selain B2B.id, beberapa fitur pendukung lainnya sudah digulirkan, termasuk Bhinneka Smart Procurement, mengembangkan omnichannel O2O, dan memiliki selected merchant.

Frost & Sullivan memproyeksikan capaian CAGR 59% di 2017-2022 untuk pertumbuhan B2B Commerce di Indonesia, sekitar dua kali lipat dari tingkat pertumbuhan B2C Commerce selama periode yang sama. UMKM berpotensi menjadi pendorong utama di lanskap ini – menurut BPS bisnis UMKM berkontribusi terhadap 60,3% PDB nasional.

DSResearch pernah merilis laporan “Indonesia B2B Commerce 2018”, di dalamnya membahas tentang perkembangan di sisi platform dan persepsi masyarakat. Seperti diketahui, salah satu keunikan dari B2B Commerce adalah memungkinkan bisnis mendapatkan sistem e-procurement, integrasi dengan ERP, e-invoicing, perpajakan, dan lain-lain – menyesuaikan dengan sistem pengadaan di perkantoran. Rata-rata platform B2B juga menyasar institusi pemerintahan, sehingga seringkali pemain mendefinisikan bisnisnya sebagai B2B2G.

Pasar B2B untuk e-commerce mungkin sedang masa pertumbuhan, mencoba mendemokratisasi sistem pengadaan yang sebelumnya ada. Potensinya jelas ada, seiring dengan makin akrabnya masyarakat dengan e-commerce. Di samping itu, memang banyak keuntungan yang bisa didapatkan oleh bisnis, termasuk kemudahan, transparansi, dan fleksibilitas.

Telkom di B2B Commerce

Disampaikan oleh pihak Telkom, upaya untuk membangun B2B Commerce sebenarnya sudah dimulai sebelumnya. Salah satunya melalui Pasar Digital (PaDi) UMKM, bekerja sama dengan 8 BUMN lainnya. Terdiri dari pusat data UMKM dan belanja BUMN (Control Tower Dashboard), pasar digital UMKM untuk BUMN (PaDi UMKM B2B), dan fitur pasar marketplace dengan akses terpusat bagi UMKM (PaDi UMKM B2C).

Telkom juga mendukung Kemendibud dalam pengadaan barang dan jasa sekolah yang dilakukan secara online melalui Sistem Informasi Pengadaan Sekolah (SIPLah). SIPLah dirancang untuk memanfaatkan marketplace yang memiliki fitur tertentu untuk merealisasikan rencana kerja anggaran sekolah dan memenuhi kebutuhan Kemendikbud dalam mengawasi penggunaan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Kemungkinan akan lebih banyak lagi produk yang diinisiasi. Dengan infrastruktur dan posisi bisnisnya, Telkom berkemungkinan besar memaksimalkan potensi untuk membantu konsumen dari kalangan bisnis. Terlebih melalui banyak unitnya, transformasi digital terus digencarkan perusahaan, termasuk lewat MDI Ventures dengan berinvestasi ke startup digital.

Sempat beredar juga rumor rencana akuisisi Telkom terhadap platform Bhinneka untuk memperkokoh bisnis B2B Commerce, namun saat ditanya lagi pihak Telkom enggan memberikan komentar.

MDI Ventures Terus Diperkuat, Strategi CVC Semakin Relevan untuk Transformasi Digital

Pekan lalu, tepatnya di hari Jumat (14/8), Direktur Utama Telkom Group Ririek Adriansyah mengumumkan penunjukan Fajrin Rasyid sebagai Komisaris Utama MDI Ventures. Fajrin juga akan menjadi penasihat Centauri Fund. Sebelumnya diketahui, mantan Presiden Bukalapak tersebut telah menduduki jabatan Direktur Digital Business perseroan per Juni 2020 lalu.

Penunjukan Fajrin didasari pengalamannya berkecimpung di ekosistem startup Indonesia. Sekaligus diharapkan menjadi upaya strategis perusahaan mencapai transformasi digital secara menyeluruh, dalam rangka memperluas potensi pendapatan digital.

“Telkom memproyeksikan peningkatan yang signifikan di pendapatan digitalnya di beberapa tahun mendatang. Namun hingga saat ini, baru sekitar 10 persen pendapatan perusahaan tersebut yang berasal dari bisnis digital. Dengan bantuan MDI Ventures, misi saya adalah membangun sinergi yang nyata dan membuat kontribusi pendapatan meningkat dengan tajam,” sambut Fajrin

Suksesi kepemimpinan corporate venture capital milik Telkom tersebut sebenarnya juga belum lama terjadi. Bulan Mei 2020 lalu Donald Wihardja masuk menduduki jabatan CEO, menggantikan Nicko Widjaja yang telah berpindah menggarap BRI Ventures.

Selain Fajrin, Yusuf Wibisono juga ditunjuk sebagai Komisioner MDI Ventures. Saat ini ia menjabat sebagai VP  Strategic Investment Department Telkom Group.

Genjot investasi, tingkatkan aset

Di waktu yang sama, MDI Ventures turut mengumumkan perolehan dana investasi baru senilai $500 juta atau setara 7,3 triliun Rupiah. Sehingga total aset kelolaan yang telah dibukukan mencapai $790 juta atau setara 11,6 triliun Rupiah.

Dana tersebut akan diinvestasikan ke startup teknologi yang memiliki fokus khusus pada pasar Indonesia. Termasuk untuk dikolaborasikan dengan BUMN yang ada di Indonesia.

“Untuk mempertahankan pijakan yang kuat di pasar hingga ke depannya, BUMN Indonesia memahami bahwa mereka harus mengadopsi model bisnis digital dengan lebih mendalam dibandingkan sebelumnya. Dengan mengalokasikan dana ini sesuai dengan misi transformasi digital dari pemerintah, dan dengan bermitra langsung dengan inovator teknologi lokal, BUMN Indonesia menempatkan diri mereka untuk terus berkembang,” ungkap CEO MDI Ventures, Donald Wihardja.

Tercatat, sejak tahun 2016 beroperasi, MDI telah berinvestasi di 44 startup dari 12 negara. Di tahun 2019, mereka berhasil catatkan “exit” lima kali melalui M&A dan IPO oleh portofolionya.

Daftar exit pemodal ventura lokal sepanjang tahun 2019 / DSResearch
Daftar exit pemodal ventura lokal sepanjang tahun 2019 / DSResearch

Strategi CVC makin relevan

Dalam laporan DSResearch bertajuk “Transformasi Digital Korporasi 2020” dikemukakan mengenai berbagai strategi yang diadopsi perusahaan-perusahaan di Indonesia dalam membina kultur inovasi di lingkungannya. Dipaparkan juga bagaimana Telkom Group mengorkestrasi inovasi internal dan eksternal untuk menjalankan proses ideation, incubation, dan value creation guna menghasilkan produk/layanan yang terus relevan dengan pangsa pasar.

 

Kendaraan transformasi digital Telkom Group / Telkom
Kendaraan transformasi digital Telkom Group / Telkom

Dalam kerangka tersebut, jelas MDI memiliki peran penting untuk menjembatani apa yang ada di luar dengan apa yang dibutuhkan di internal bisnis. Sebagai CVC ia juga berperan menangkap peluang sinergi strategis yang ada di luar, baik dari dalam atau luar negeri. Karena walau bagaimanapun jika mengandalkan di sisi internal saja, banyak aspek yang membatasi ruang gerak. Hal tersebut seperti diungkapkan EVP Digital and Next Business Telkom Joddy Hernady.

Ia mengatakan, “Sekarang R&D saja tidak cukup karena inovasi dan produk baru lebih banyak, itu juga multi-disiplin. Makanya startup perlu memiliki tiga kapabilitas, yaitu orang yang paham teknis, desain, dan bisnis. Makin ke sini, kami harus open innovation, kami juga harus mengundang ide dari luar, tidak cukup dari dalam.”

Joddy juga menyebutkan, perjalanan inovasi seperti yang terlihat di bagan tidak dirumuskan secara instan. Perjalanannya sejak tahun 2013 dan terus berkembang dengan tesis-tesis baru yang sesuai dengan kebutuhan perseroan.

Tidak hanya Telkom, keberhasilan CVC sebagai kendaraan menuju transformasi digital juga diharapkan oleh berbagai perusahaan lain di Indonesia. Melalui unit ventura masing-masing, para perusahaan berharap dapat membuka peluang sinergi dengan startup-startup yang mampu mendemokratisasi lanskap bisnis yang ada.

Unit CVC yang dioperasikan perusahaan di Indonesia / DSResearch
Unit CVC yang dioperasikan perusahaan di Indonesia / DSResearch

Ketika Penggiat Startup Berkiprah di Pemerintahan dan Korporasi

Pertengahan bulan Juni lalu, dunia startup diwarnai masuknya Co-Founder Bukalapak Fajrin Rasyid menjadi salah satu Direksi Telkom Group. Ia meninggalkan posisi President Bukalapak dan menjadi Direktur Digital Business menggantikan Faizal R. Djoemadi.

Selain Fajrin, Co-Founder Gojek Nadiem Makarim juga sudah menanggalkan titelnya di startup dan menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

DailySocial mencoba menelaah lebih dalam, apa yang menyebabkan penggiat startup menjadi pilihan sebagai pejabat di posisi strategis pemerintahan dan korporasi besar — dan bagaimana dampak yang diharapkan dihadirkan oleh mereka.

Bertahan dan relevan

Terbiasa dengan kultur yang sarat inovasi, agile, dan minim birokrasi, perpindahan penggiat startup ke korporasi dan pemerintahan membutuhkan adaptasi yang cukup menantang. Mereka harus menyesuaikan diri dengan berbagai unggah-ungguh dan compliance terhadap segi-segi pemerintahan.

Menurut Johnny Widodo, CEO OLX Autos yang sebelumnya pernah bekerja di korporasi, persoalan birokrasi di sebuah korporasi merupakan hal yang sulit dihindari.

Mereka tidak mungkin langsung melakukan perubahan secara drastis. Ada proses yang harus dilalui. Idealnya get buy in, fokus kepada quick wins dan coba memperoleh kepercayaan dari stakeholders lainnya.

“Jadi fokus kepada high impact less effort terlebih dahulu. Jika sudah terbukti track record [keberhasilannya], akan menjadi jadi lebih mudah dan didukung untuk implementasi yang lebih radikal. Dalam hal ini saya melihat, baik Nadiem maupun Fajrin, sudah mature karena startup mereka sebelumnya pun sekarang sudah seperti korporasi ukurannya,” kata Johnny.

Sementara itu, menurut CTO Dana Norman Sasono, yang sempat bekerja selama 7 tahun di Microsoft Indonesia, BUMN dan korporasi yang ingin tetap relevan perlu menempatkan orang-orang yang telah memiliki pengalaman, inisiatif, dan kultur yang agile untuk membantu perusahaan.

Pemilihan pelaku startup menjadi langkah strategis untuk mewujudkan rencana jangka panjang tersebut.

Big corporate mayoritas adalah non-digital native. Untuk bisa survive dan stay relevant in today’s world, they need to do digital transformations. Apakah untuk hal sederhana seperti automating/digitizing business process, build a delivery channel of existing non-digital products/services, atau menciptakan model bisnis baru yang digital,” kata Norman.

Di sisi lain, menurut Norman, kebanyakan pendiri startup adalah digital native. Korporasi membutuhkan tidak hanya masukan dan nasihat, tetapi juga cara yang tepat untuk mengeksekusi visi demi mewujudkan transformasi digital.

Penggabungan kultur

Meskipun akan menjadi tantangan tersendiri untuk menerapkan kultur startup, menurut Johnny pada akhirnya keberhasilan akulturasi ini akan memberi angin segar. Perubahan ini tidak dilakukan secara sendirian. Harus ada dukungan yang solid dari pemangku kepentingan lainnya.

“Di sinilah kunci keberhasilan untuk bisa membuat high impact melalui buy-in untuk implementasi dari stakeholders yang ada. Perubahan secara birokratis dan policy harus bisa dilakukan sesudah mempelajari situasi dan alasan kenapa hal tersebut ada. Jadi tidak bisa main copas ilmu lama dan main dobrak saja karena setiap masalah pasti unik situasinya,” kata Johnny.

CEO Telunjuk Hanindia Narendrata, yang sebelumnya bekerja di Indosat Ooredoo, melihat pengalaman yang dimiliki pendiri startup teknologi bisa membantu dan memberikan impact ke korporasi dan pemerintahan.

“Gojek dan Bukalapak tentunya memiliki keunggulan dan pengalaman dari sisi disrupsi dan agility. Kemampuan Nadiem dan Fajrin untuk mensinergikan keunggulan-keunggulan ini yang menjadi kunci. Sehingga keunggulan tersebut bisa membuat Telkom dan Kementrian Pendidikan memberi impact yang lebih besar lagi buat masyarakat,” kata Hanindia.

Selain menyesuaikan keunggulan dan kemampuan masing-masing, penting bagi pelaku startup yang beralih ke korporasi untuk menjalin kolaborasi yang positif dengan rekan kerja. Menurut Norman, hal ini menjadi keuntungan tersendiri, karena sebelumnya pelaku startup sudah terbiasa menjalin interaksi langsung dengan berbagai level dan tidak segan untuk berbincang dengan semua.

“Tujuan akhir adalah meraih kesuksesan di dunia digital lebih cepat. Namun untuk bisa mencapai proses tersebut, pelaku startup yang kemudian masuk ke korporasi dan pemerintahan harus dibekali dengan kewenangan dan ruang untuk berkembang serta dukungan dari berbagai pihak di tempat baru untuk bisa menciptakan dan mengeksekusi inovasi baru,” kata Norman.

Berikan kepercayaan dan keyakinan yang lebih agar mereka bisa membuktikan kemampuannya untuk meningkatkan dan memperbaiki sistem yang ada menjadi lebih baik lagi.

“Saya rasa [Pemerintah] menghadirkan Nadiem dan Fajrin untuk meng-install value agility dan mengawal digital transformation. Kembali lagi menurut pendapat saya, kemampuan Nadiem dan Fajrin dalam beradaptasi dan bersinergi menjadi hal yang menarik untuk kita tunggu,” kata Hanindia.

Bukalapak’s Co-Founder, Fajrin Rasyid Joins as Telkom Group’s New Digital Business Director

Bukalapak’s Co-Founder, Fajrin Rasyid is soon wearing a new title as Telkom Group’s Digital Business Director at the AGM held this afternoon (6/19). According to some media sources, Fajrin, who currently serves as President of Bukalapak, will replace Faizal R. Djoemadi as the Digital Business Director.

Fajrin, who’s turning 34 this year, is a “millennial” director whose identity was revealed by SOE Minister Erick Thohir a few days ago.

The arrival of Fajrin into Telkom Group will be a sign of the end of an era in Bukalapak. Bukalapak became Indonesia’s first unicorn startup runs without a single co-founder in the management boards.

Previously, this unicorn-titled marketplace and one of the biggest in Indonesia had been left by two of its co-founders, Achmad Zaky and Nugroho Herucahyono, who resigned from the company earlier this year and together built the Init-6 venture capital company.

Fajrin, according to our source, became the chosen one among four startup candidates who were said to have taken part in the fit and proper test. He has an information technology education background and worked at BCG, a well-known business consultant. His profile somehow fits into Telkom’s DNA to remain relevant in the future in the digital industry.

Telkom Group currently has a variety of digital units, including the marketplace business Blanja (as a result of a partnership with eBay) and the LinkAja digital payment platform. Fajrin’s arrival in Telkom Group is expected to encourage the implementation of fresh-better innovative ideas.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian