Percepat Inovasi Produk, Amartha “Acquihire” Perusahaan Piranti Lunak Asal Surabaya

Startup p2p lending Amartha mengumumkan acquihire terhadap perusahaan piranti lunak asal Surabaya Twiscode (PT Dapur Rumah Sejahtera) dengan nilai dirahasiakan. Talenta Twiscode sepenuhnya akan bergabung sebagai tim engineer Amartha untuk mempercepat rencana pengembangan produk dan teknologi.

Kepada DailySocial, Chief Commercial Officer Amartha Hadi Wenas menjelaskan, perusahaan membutuhkan talenta engineer dalam waktu cepat untuk merealisasikan seluruh rencana inovasi dan ekspansi Amartha pasca-mengantongi pendanaan. Pihaknya melihat Twiscode memenuhi seluruh kriteria yang dibutuhkan perusahaan.

Terlebih itu, keduanya memiliki relasi bisnis yang cukup baik lewat sejumlah kerja sama yang pernah dijalin sebelumnya, sehingga reputasi dan kualitas talenta Twiscode telah terbukti. “Karena kami sudah saling kenal jadi ada chemistry, mereka pun ingin jadi bagian dari Amartha untuk mewujudkan misi itu,” ucap Wenas.

Senior Vice President of Engineering Amartha William Notowidagdo menambahkan, pandemi dan tren work from home (WFH) menjadi pembuktian bahwa pemenuhan talenta digital dapat dilakukan tidak harus bergantung lagi pada suplai di Jakarta saja.

“Sekarang talenta di daerah juga punya kesempatan yang sama untuk berkontribusi di startup seperti Amartha,” ucapnya. Setelah acquihire, seluruh tim Twiscode yang berjumlah 47 orang menjadi bagian dari kantor R&D Amartha, dinamai “Amartha Development Center Surabaya”.

Rencana pengembangan teknologi

Wenas melanjutkan masih banyak ruang lingkup teknologi di Amartha yang bisa ditingkatkan jadi lebih baik. Di Amartha sendiri ada tiga segmen teknologi yang difokuskan, yakni dari sisi lender, internal, dan borrower.

Misalnya, untuk segmen lender, nantinya memungkinkan per lender dapat mendanai setiap proyek di Amartha mulai dari Rp100 ribu dari sebelumnya minimal Rp5 juta. “Lalu dari registrasi lender dan verifikasinya ada yang bisa lebih dipercepat lagi ke depannya.”

Kemudian, dari sisi internal, karena 1/3 borrower belum memiliki smartphone, maka Amartha membutuhkan kehadiran field officer untuk proses verifikasi dan pencairan dana yang dibantu lewat aplikasi tersendiri. Teknologi teranyar yang tengah disiapkan adalah proses pencairan dana pinjaman secara cashless.

“Kami ingin meningkatkan coverage field officer kami sehingga produktivitas mereka jadi lebih tinggi.”

William menyebutkan teknologi lainnya untuk membantu verifikasi dan absensi borrower adalah menghadirkan fitur face recognition, tidak lagi harus proses manual dengan tanda tangan. Solusi ini untuk mengatasi kondisi di lapangan, yang mana para borrower ini mayoritas buta aksara dan sidik jari yang tidak bisa terbaca bila memakai mesin biometrik.

Dalam menjaga TKB, selain memanfaatkan kehadiran field officer dan absensi, Amartha menerapkan empat grup dengan 92 parameter untuk skoring kredit, di antaranya parameter bisnis, demografis, kemampuan untuk bayar, dan kemauan untuk bayar. Seluruh parameter ini dibuat khusus untuk segmen underserved, sehingga berbeda dengan pemain p2p kebanyakan.

“Jadi survei kita itu bukan dia bisa bayar atau enggak, tapi dari survei dengan melihat kondisi rumahnya, misalnya pakai LPG atau minyak tanah, ada kulkas atau tidak, lantai rumahnya masih tanah atau ubin, dan sebagainya. Ke depannya pasti akan kita evolve.”

Salah satu parameter skoring yang tengah melonjak adalah awareness borrower terhadap kebutuhan smartphone. Faktor penunjangnya tak lain untuk anak-anak para peminjam untuk sekolah. Kebutuhan tersebut lambat laun membuat kesadaran borrower terhadap media sosial meningkat.

“Ketika usage media sosial naik, akan kita kawinkan dengan 92 parameter mengingat adopsi digital di desa bakal meningkat ke depannya,” pungkas Wenas.

Perusahaan merilis Amartha Plus dengan tiga fitur, yakni Warung Loan Non Mitra, Warung Loan Mitra, dan Amartha Pulsa/PPOB. Pada fitur pertama, perusahaan menjadi mitra finansial produk paylater untuk mitra warung yang masuk dalam jaringan Sampoerna Retail Community (SRC). Kerja sama ini memungkinkan mitra warung SRC dapat membayar tempo untuk setiap belanja stok.

Berikutnya untuk fitur Warung Loan Mitra, memungkinkan mitra warung di jaringan Amartha dapat melakukan pembelian stok produk FMCG secara grosir melalui Tanihub, mitra agritech yang digandeng perusahaan. Terhitung saat ini telah beroperasi di 11 poin di Jawa Timur, ada lebih dari 100 mitra yang belanja secara rutin, dan tersedia lebih dari 4 ribu SKU.

Terakhir adalah Amartha Pulsa yang layanannya lebih straight forward untuk pembelian pulsa dan PPOB. Layanan ini sudah dipakai di 93 poin dari 497 poin jaringan Amartha.

Perkembangan fintech lending

Statistik Fintech Lending Indonesia Mei 2021 / OJK

Sepanjang tahun 2021 ini, industri fintech lending masih terus memperlihatkan geliat pertumbuhan. Menurut data statistik OJK per Mei 2021, ada 118 penyelenggara fintech lending konvensional dan 9 syariah. Secara total, total aset yang dimiliki mencapai 4,1 triliun Rupiah. Para platform juga berhasil mengakomodasi sekitar 8,7 juta rekening pemberi pinjam (p2p) menyalurkan dana 13,8 triliun Rupiah.

Untuk memaksimalkan momentum tersebut, sejumlah aksi strategis telah dilakukan. Teranyar mereka menunjuk mantan Menkominfo Rudiantara sebagai Komisaris. Pada Juni 2021 lalu mereka juga baru mendapatkan investasi 107 miliar Rupiah dari Norfund yang merupakan lembaga milik pemerintah Norwegia. Ini melanjutkan perolehan sebelumnya senilai 405 miliar Rupiah dari putaran yang dipimpin WWB Capital Partners II dan MDI Ventures.

Application Information Will Show Up Here

Memitigasi Risiko, Menuai Investasi: Platform Urun Dana Budidaya dalam Sorotan

Belum reda pemberitaan negatif tentang maraknya pinjaman online, industri fintech Indonesia kembali lagi tercoreng kasus dugaan “salah pengelolaan” uang investor senilai miliaran Rupiah oleh platform urun dana berbasis digital Tanijoy. Kasus ini menambah deretan startup fintech yang tersandung kasus yang sama di sektor budidaya.

Sebelum Tanijoy, dalam dua tahun terakhir, kasus serupa menerpa Angon dan Vestifarm. Keduanya sama-sama dituntut para investor untuk mengembalikan dana. Angon dan Vestifarm menggunakan model crowdfunding atau urun dana untuk menyalurkan pembiayaan ke para petani atau peternak.

Tentu polemik ini tak dapat dibiarkan saja karena bisa berpotensi terulang kembali di masa depan. Investor dapat kehilangan kepercayaan untuk berinvestasi di sektor budidaya. Padahal, peternak dan petani di Indonesia masih sangat membutuhkan akses permodalan.

DailySocial mencoba mendalami apa yang sebetulnya terjadi dan upaya mitigasi apa yang dapat dilakukan ke depan. Ada tiga sisi yang ingin kami bahas, yaitu pelaku usaha budidaya, industrinya, dan upaya pemerintah dan sektor terkait menangani kasus ini.

Risiko investasi budidaya

Dari berbagai sumber informasi yang kami himpun, kasus ketiganya sama-sama diakibatkan faktor internal dan eksternal. Misalnya saja Angon. Startup yang berdiri pada 2016 ini dianggap lalai mengelola dana publik. Angon disinyalir banyak menggunakan dana tersebut untuk belanja operasional dan kebutuhan founder yang sifatnya tidak terlalu mendesak.

Sementara Tanijoy mengaku proyeknya sudah selesai, tetapi terhambat  penarikan dana. Menurut klarifikasinya, dana hasil proyek masih ada di tangan petani dan belum dikembalikan sepenuhnya kepada Tanijoy. PSBB dianggap menyulitkan komunikasi dengan petani dan membuat perusahaan sulit mendapatkan pemasukan karena tidak ada proyek.

Di kasus Vestifarm, kami sulit menemukan pemberitaan detail soal dugaan keterlambatan pengembalian dana. Dari unggahan sejumlah investor Vestifarm, pelaku usaha yang didanai Vestifarm mengalami gagal bayar. Pihak Vestifarm tidak merinci proyek yang gagal, tetapi mereka mengaku sudah berupaya maksimal untuk menagih pembayaran lewat pihak ketiga.

Terlepas dari situasi pandemi Covid-19 yang terjadi sejak tahun lalu, budidaya termasuk dalam sektor usaha yang memiliki risiko cukup tinggi. Risiko gagal panen dapat terjadi akibat kombinasi berbagai faktor, mulai dari cuaca, bencana alam, kurangnya perawatan, hingga kemampuan bercocok tanam.

Laporan DSResearch dan Crowde bertajuk “Driving the Growth of Agriculture-Technology Ecosystem in Indonesia” menyebutkan, pengembangan usaha di sektor budidaya terhalang sejumlah tantangan, seperti akses permodalan, literasi keuangan, serta kemampuan dan pengetahuan budidaya dari para petani.

Pemberian modal di agrikultur, kehutanan, dan perikanan / DSResearch dan Crowde

Perbankan yang memiliki akses permodalan yang kuat justru bukan menjadi pilihan utama para petani. Persyaratannya sangat sulit dipenuhi karena petani rata-rata tak punya sertifikat tanah sebagai jaminan. Belum lagi siklus produksi panen yang terkadang terhambat cuaca dan hama, membuat pemasukan mereka tak stabil. Rumitnya prosedur pengajuan mendorong petani untuk meminjam dari institusi tak resmi dengan persyaratan lebih mudah.

Status Total Petani Indonesia Petani Laki-Laki Petani Perempuan
Tidak Lulus SD 8.247.112 5.679.847 (68,9%) 2.567.265 (31,1%)
Lulus SD 13.994.725 10.638.485 (76%) 3.356.240 (24%)
Lulus SMP 5.400.834 4.255.020 (78,8%) 1.145.814 (21,2%)
Lulus SMA 4.799.070 3.992.383 (83,2%) 806.687 (16,8%)
Lulus S1 754.814 633.414% (83,9%) 121.400 (16,1%)

Tingkat pendidikan petani Indonesia / DSResearch & Crowde

Laporan ini juga menyebutkan, latar belakang pendidikan dan literasi keuangan para petani yang masih rendah menjadi salah satu faktor penghambat usaha budidaya. Demikian juga dengan penetrasi internet. Berdasarkan data BPS di 2018, hanya 4,5 juta orang yang terhubung dengan internet dari total 27 juta pelaku usaha di agrikultur.

Kembali ke persoalan di atas, paparan barusan sebetulnya menjelaskan mengapa faktor-faktor ini berkontribusi besar terhadap potensi gagal panen dan gagal bayar di sektor budidaya. Memang belum ada data yang dapat menunjukkan tingkat potensi kegagalan di platform yang memberikan pembiayaan ke sektor budidaya, tetapi potensi tersebut seharusnya dapat ditekan dengan manajemen risiko yang lebih baik.

DSResearch & Crowde

Apa yang dapat dilakukan oleh platform selaku pemberi fasilitas? Jika misinya ingin mendorong industri budidaya, seharusnya bantuan tak hanya berhenti pada akses permodalan. Platform dapat meningkatkan perannya dengan memberikan pendampingan kepada petani agar dapat memaksimalkan modal usaha mereka dengan keterbatasan yang mereka miliki.

Selain pendampingan, penting untuk menempatkan orang yang ahli atau mampu mengelola keuangan di perusahaan. Bagaimanapun juga ini adalah dana publik yang perlu dipertanggungjawabkan.

Founder sepatutnya menyiapkan skema/model cadangan apabila ada potensi proyek gagal. Jika petani gagal panen, sudah pasti gagal bayar. Apabila ini terjadi, pengembalian dana akan sulit dilakukan.

Ambil contoh TaniFund. CEO TaniHub Pamitra Eka mengungkap upaya penagihan tetap mengacu pada skema yang telah dibuat perusahaan. Skema ini juga dirancang sesuai dengan ketetapan yang diatur oleh OJK. Pada langkah pertama, TaniFund akan melakukan upaya penyelamatan kredit, seperti restrukturisasi dan negosiasi, apabila terdapat keterlambatan 60 hari pertama.

“Namun, jika sampai 90 hari tidak juga ada penyelesaian sisa keterlambatan pembayaran dari borrower, kami persiapkan proses klaim ke perusahaan asuransi yang telah menjadi partner TaniFund. Upaya ini kami lakukan agar lender mendapat pengembalian pokok hingga 80%,” ujar pria yang karib disapa Eka ini kepada DailySocial.

Adapun, lanjutnya, TaniFund telah menerapkan advanced credit scoring dengan model 100 data points untuk mengukur profil borrower, menelusuri rekam jejak penanaman komoditas, dan akses ke pasar. Dengan demikian, sistem ini dapat menghasilkan profil borrower dan proyek berkualitas serta mengurangi potensi gagal panen/gagal bayar.

“Kami juga monitoring secara berkala oleh field team atau agronomist untuk memastikan setiap proyek berjalan dengan baik dan timeline bisa sesuai dengan pengajuan RAB di awal. Pendampingan juga dijalankan terus-menerus sehingga borrower memperoleh akses informasi dan teknologi terbarukan dalam mengelola usaha dan mencapai target yang sesuai.”

Perlindungan regulator

DailySocial mencoba menghubungi perwakilan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait hal ini. Namun, belum ada respons hingga berita ini diturunkan. Terlepas dari status platform ilegal ini, OJK sebetulnya dapat memperkuat kebijakan untuk melindungi konsumen, dalam hal ini investor. Misalnya, memberikan aturan ketat kepada platform dalam hal manajemen risiko.

Faktanya, tiga startup yang “bermasalah” ini tidak memiliki status terdaftar atau berlisensi dari OJK. Meskipun demikian, mereka tetap bisa beroperasi dan mengelola dana publik tanpa pengawatan atau audit lebih lanjut.

Startup Status OJK
Angon Tidak terdaftar
Tanijoy Tidak terdaftar
Vestifarm Tidak terdaftar

Tentu tidak semua platform investasi budidaya bersifat “nakal”. Berikut ini adalah nama-nama platform investasi budidaya yang terdaftar di OJK dan informasi tentang Tingkat Keberhasilan Bayar di tiap platform (yang cenderung masih sehat).

Startup Status OJK Investor TKB90
Crowde Terdaftar Mandiri Capital Indonesia, STRIVE, Crevisse 97,12%
iGrow Terdaftar Google Launchpad Accelerator, 500 Startups, East Ventures 96,54%
iTernak Terdaftar Unknown 98,57%
TaniFund (Bagian dari TaniHub) Terdaftar MDI Ventures, Openspace Ventures, Intudo Ventures, BRI Ventures, Telkomsel Mitra Inovasi, dll. 100%

Dihubungi secara terpisah, Executive Director Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah berkomentar, isunya sangat sederhana, tetapi perkaranya perlu verifikasi secara akurat. Jika Tanijoy tetap beroperasi tanpa memperoleh tanda terdaftar, alasannya tetap tidak dapat dibenarkan.

Ia menegaskan pihaknya terus mengimbau masyarakat agar teliti memilih fintech yang sudah terdaftar dan diawasi OJK.

“Kita akui potensi platform di sektor budidaya memang sangat besar, tetapi tantangannya juga besar. Misalnya, upaya membangun rantai pasok petani, peternak, dan nelayan agar terintegrasi di ekosistem. Harapannya, informasi terkait proses produksi, panen dan pemasaran dapat terpantau. Kami yakin perlahan tapi pasti, ekosistem ini akan semakin matang dengan dukungan teknologi,” ujarnya.

Amartha Appoints Rudiantara as a Commissioner, Introducing Amartha Plus App

Amartha announced Rudiantara, the former Minister of Communication and Information for the period 2014-2019, as a President Commissioner effective per July 1, 2021. Rudiantara’s mature experience in technology is expected to contribute to the company’s ambition to accelerate MSME digitization.

In a virtual press conference the company held (19/7), Amartha’s Founder and CEO, Andi Taufan Garuda Putra said that one of Rudiantara’s important achievements was to develop policies regarding digital infrastructure in remote areas to support MSMEs.

“Amartha is honored to welcome Mr. Rudiantara to be part of Amartha’s big exit. Amartha is optimistic that his presence will provide insight and wisdom in building leadership and partnerships with company stakeholders,” he said.

Rudiantara added, he is also honored to be able to work together with Amartha in accelerating financial services for the unserved and underserved groups with no access to the banking sector. He said, not only focusing on microfinance, Amartha also focuses on the women’s segment.

“This is the reason I joined Amartha. It is based on technology, but what makes it different is that they target MSMEs with a broad social impact, MSMEs, productive women, and sustainable business. This is what makes me honored to join Amartha,” Rudiantara said.

Amarta Plus app

On the same occasion, Amartha’s Chief Commercial Officer, Hadi Wenas said the company launched the Amartha Plus application specifically for Amartha  borrowers to be more familiar with technology. This application complements the previous two platforms that are specifically designed for field agents and lenders.

The launching also in line with the realization of an investment of $28 million led by Women’s World Banking (WWB) through WWB Capital Partners II and MDI Ventures in early May 2021.7.19

“Prior to this application, the field agent was tasked with inputting the online registration process. However, partners can now apply directly through the application, our field agent will be a sampling surveyer, therefore, the funds will be disbursed faster in about 15 minutes,” Hadi said.

Amartha Plus currently has three features, Warung Loan Non Mitra, Warung Loan Mitra, and Amartha Pulsa/PPOB. In the first feature, the company becomes a financial partner for paylater products for stall partners who are included in the Sampoerna Retail Community (SRC) network. This collaboration allows SRC’s warung partners to pay the due date for each stock purchase.

“This has only been running in June, the number of partners who have joined is about hundreds for the first batch. Soon, we are targeting tens of thousands as the SRC network already has millions of stalls, but there are hundreds of thousands already online.”

Next for the Warung Loan Mitra feature, it allows stall partners in the Amartha network to purchase FMCG product stocks wholesale through Tanihub, an agritech partner that is partnered with the company. As of now, it has operated at 11 points in East Java, there are more than 100 partners who shop regularly, and there are more than 4 thousand SKUs available.

“Last, is Amartha Pulsa, which service is more straight forward for topping up balance and PPOB payment. This service has been used in 93 points out of our 497 network points.”

Wenas said this new application could deepen the smartphone penetration in Indonesia, especially in rural areas. “Next we will develop other innovations related to intensifying smartphone penetratio, therefore, it can be used for business, and helping partners to have less cash for installment payments.”

Currently, of the 719 thousand Amartha partners who have joined as borrowers, around 60% of them are engaged in trading businesses, such as food stalls, grocery, fashion, children’s toy shops, and others. The composition of food stall and grocery business owners dominates around 20%-30% in this business group.

During the first half of this year, Amartha has disbursed loans of Rp914 billion, up 35% YOY to 203 thousand partners. Interestingly, about 60% of this distribution portfolio is channeled outside Java (Sumatra and Sulawesi). This number increased by 196.62% YOY.

Taufan said that this performance would continue to be improved considering the need for micro-financing outside Java is still very broad and has not been fully explored by fintech players at this time. “We are targeting to empower up to 1 million partners by the end of this year,” he said.

Fintech lending business performance

Based on OJK’s statistical data as of May 2021, there are 118 conventional and 9 sharia fintech lending providers. In total, the total assets owned reach 4.1 trillion Rupiah. The platforms also managed to accommodate around 8.7 million lender accounts (p2p) channeling 13.8 trillion Rupiah of funds.

Indonesia’s Fintech lending statistic per May 2021 / OJK

The number of loan disbursements also continues to increase from time to time. The productive sector also tends to get a slightly larger portion than the consumptive sector.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Amartha Angkat Rudiantara sebagai Komisaris, Sekaligus Rilis Aplikasi “Amartha Plus”

Amartha mengumumkan Rudiantara, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika periode 2014-2019, kini bergabung sebagai Komisaris Utama efektif 1 Juli 2021. Pengalaman matang Rudiantara di bidang teknologi diharapkan dapat berkontribusi terhadap ambisi perusahaan yang ingin mempercepat digitalisasi UMKM.

Dalam konferensi pers virtual yang digelar perusahaan pada hari ini (19/7), Founder dan CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra menuturkan salah satu pencapaian penting dari Rudiantara adalah membangun kebijakan-kebijakan mengenai infrastruktur digital di wilayah remote untuk mendukung UMKM.

“Amartha merasa terhormat menyambut Bapak Rudiantara menjadi bagian dari keluar besar Amartha. Amartha optimis kehadiran beliau akan memberikan wawasan dan kebijaksanaan dalam membangun kepemimpinan dan kemitraan dengan para pemangku kepentingan perusahaan,” ujarnya.

Rudiantara turut menambahkan. Ia mengaku merasa terhormat karena dapat bersama-sama dengan Amartha mengakselerasi layanan keuangan untuk kelompok unserved dan underserved yang belum bisa terlayani oleh sektor perbankan. Menurutnya, tidak hanya fokus pada pembiayaan mikro, Amartha juga fokus pada segmen perempuan.

“Ini yang jadi alasan saya bergabung dengan Amartha. Ini basisnya teknologi, tapi yang buat berbeda adalah mereka sasarannya UMKM yang punya dampak sosial luas, UMKM, perempuan, produktif, dan berkelanjutan. Ini yang buat saya terhormat bergabung dengan Amartha,” kata Rudiantara.

Rilis aplikasi Amartha Plus

Dalam kesempatan yang sama, Chief Commercial Officer Amartha Hadi Wenas menuturkan perusahaan meluncurkan aplikasi Amartha Plus yang dikhususkan untuk para mitra peminjam di Amartha agar lebih tersentuh dengan teknologi. Aplikasi ini melengkapi dua platform sebelumnya yang dikhususkan untuk petugas lapangan (field agent) dan pemberi pinjaman.

Peluncuran aplikasi ini sekaligus dalam rangka realisasi dari perolehan investasi sebesar $28 juta yang dipimpin oleh Women’s World Banking (WWB) melalui WWB Capital Partners II dan MDI Ventures pada awal Mei 2021.7.19

“Sebelum ada aplikasi ini, field agent bertugas untuk input proses pendaftaran secara online. Tapi sekarang mitra bisa mengajukan langsung lewat aplikasi, field agent kami akan sebagai sampling surveyer, jadi dana akan cair lebih cepat sekitar 15 menit selesai,” terang Hadi.

Dalam Amartha Plus saat ini memiliki tiga fitur, yakni Warung Loan Non Mitra, Warung Loan Mitra, dan Amartha Pulsa/PPOB. Pada fitur pertama, perusahaan menjadi mitra finansial produk paylater untuk mitra warung yang masuk dalam jaringan Sampoerna Retail Community (SRC). Kerja sama ini memungkinkan mitra warung SRC dapat membayar tempo untuk setiap belanja stok.

“Ini baru berjalan Juni, jumlah mitra yang bergabung sudah ratusan untuk batch pertama. Soon kami targetkan bisa jadi puluhan ribu karena di SRC ini network-nya sudah jutaan warung, tapi yang sudah online itu ada sekitar ratusan ribu.”

Berikutnya untuk fitur Warung Loan Mitra, memungkinkan mitra warung di jaringan Amartha dapat melakukan pembelian stok produk FMCG secara grosir melalui Tanihub, mitra agritech yang digandeng perusahaan. Terhitung saat ini telah beroperasi di 11 poin di Jawa Timur, ada lebih dari 100 mitra yang belanja secara rutin, dan tersedia lebih dari 4 ribu SKU.

“Terakhir adalah Amartha Pulsa yang layanannya lebih straight forward untuk pembelian pulsa dan PPOB. Layanan ini sudah dipakai di 93 poin dari 497 poin jaringan kami.”

Hadi menuturkan kehadiran aplikasi baru ini dapat memperdalam penetrasi smartphone di Indonesia, terutama di pedesaan. “Berikutnya kami akan mengembangkan inovasi lain yang berkaitan dengan perdalam penetrasi smartphone lebih tinggi agar dapat dipakai untuk usaha, dan bantu mitra jadi lebih less cash untuk pembayaran angsurannya.”

Saat ini dari 719 ribu mitra Amartha yang sudah bergabung sebagai peminjam, sekitar 60% di antaranya bergerak di usaha perdagangan, seperti warung makan, kelontong, fesyen, toko mainan anak, dan lain-lain. Komposisi pemilik usaha warung makan dan kelontong mendominasi sekitar 20%-30% di kelompok usaha ini.

Sepanjang paruh pertama tahun ini, Amartha telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp914 miliar naik 35% secara YOY untuk 203 ribu mitra. Menariknya, dari portofolio penyaluran ini sekitar 60% disalurkan ke luar Pulau Jawa (Sumatera dan Sulawesi). Angka ini meningkat 196,62% secara YOY.

Taufan menyebut kinerja tersebut akan terus ditingkatkan mengingat kebutuhan pendanaan mikro di luar Jawa masih sangat luas dan belum tergarap secara maksimal oleh pemain fintech saat ini. “Kami menargetkan dapat memberdayakan hingga 1 juta mitra pada akhir tahun ini,” pungkasnya.

Performa bisnis fintech lending

Menurut data statistik OJK per Mei 2021, ada 118 penyelenggara fintech lending konvensional dan 9 syariah. Secara total, total aset yang dimiliki mencapai 4,1 triliun Rupiah. Para platform juga berhasil mengakomodasi sekitar 8,7 juta rekening pemberi pinjam (p2p) menyalurkan dana 13,8 triliun Rupiah.

Statistik Fintech Lending Indonesia Mei 2021 / OJK

Dari waktu ke waktu jumlah penyaluran pinjaman juga terus meningkat. Sektor produktif pun cenderung mendapatkan porsi sedikit lebih banyak ketimbang konsumtif.

Application Information Will Show Up Here

Masuki Tahun Ke-2, LinkAja Pertajam Solusi Keuangan untuk UMKM

LinkAja bakal menggencarkan lebih banyak solusi keuangan untuk merchant UMKM agar dapat naik kelas memasuki usianya yang ke-2. Salah satu inisiatif yang segera dilakukan adalah menyalurkan kredit modal kerja melalui iGrow, startup fintech lending yang telah diakuisisi perusahaan pada April kemarin.

CEO LinkAja Haryati Lawidjaja menuturkan, UMKM adalah sektor yang paling terdampak selama pandemi, padahal sektor ini adalah tulang punggung negara. Oleh karenanya mereka butuh bantuan modal kerja agar mereka tetap dapat bertahan. Tidak hanya bersama iGrow, LinkAja juga menggaet para pemegang sahamnya yang bergerak di industri keuangan untuk masuk menyalurkan kredit.

Terhitung saat ini LinkAja bekerja sama dengan lebih dari 1,1 juta UMKM atau naik 104% dibandingkan tahun sebelumnya. UMKM tersebut mayoritas bergerak di pasar super ultra mikro di kota lapis dua dan tiga, sesuai dengan area fokus perusahaan. Mereka juga bermitra dengan lebih dari 100 industri keuangan yang menyediakan berbagai solusi finansial digital baik untuk konsumen dan bisnis.

“Saat ini kami masih sediakan produk pembayaran, ke depan kami sasar pembiayaan,” ucapnya dalam konferensi pers virtual (30/6).

Dalam kesempatan yang sama, LinkAja juga mengungkapkan pengguna terdaftar di platformnya mencapai 71 juta orang atau naik 43%. Sementara Layanan Syariah LinkAja telah memiliki lebih dari 3,5 juta orang. Sebanyak 74% dari total pengguna berasal dari kota lapis dua dan tiga.

Sebagai aplikasi pembayaran yang bermain di jenis transaksi esensial dan produktif, LinkAja hadir di berbagai titik. Untuk keperluan belanja online, mereka telah bermitra dengan lebih dari 7.500 online marketplace, 400 ribu merchant nasional, dan 750 pasar tradisional. Kemudian, menyediakan lebih dari 1 juta akses cash in dan cash out kepada masyarakat, baik berupa kanal bank, ritel modern, hingga layanan keuangan digital.

Di bidang transportasi, LinkAja dapat digunakan di lebih dari 240 moda transportasi, seperti KRL, Taxi Bluebird, Grab, Gojek, hingga transportasi lokal di berbagai daerah. Baik Grab dan Gojek telah resmi menjadi pemegang saham LinkAja, sehingga untuk pembayaran transportasi dan memesan makanan dapat menggunakan saldo LinkAja.

Perusahaan juga mengungkap telah memproses 1,4 miliar transaksi sepanjang satu tahun terakhir. Sayangnya tidak disebutkan lebih lanjut kontribusinya datang dari jenis pembayaran di sektor mana. Perusahaan justru memakai hasil survei yang dilakukan Kadence International pada Mei 2021 mengenai fitur-fitur apa saja yang paling banyak digunakan UMKM.

Responden mengatakan LinkAja paling banyak mereka gunakan untuk membeli pulsa dan kuota internet (masing-masing persentasenya 82%), transfer saldo ke rekening bank (76%), tarik saldo ke rekening bank (57%), dan pembayaran PLN (34%).

“Ini memperlihatkan fungsi LinkAja yang tepat sebagai aplikasi untuk pembayaran kebutuhan esensial dalam keseharian pengguna.”

Haryati melanjutkan, LinkAja tidak hanya fokus dengan aplikasi konsumer dan UMKM untuk solusi keuangan digital saja, namun juga bermain di ranah enterprise untuk berbagai solusi.

Seperti, cash collection (cash handling risk, real-time reporting, dan pembayaran non tunai); incentive disbursement (pencairan real-time, pelaporan terintegrasi, dan flexible use case); dan cross sell & advertisement (memaksimalkan jangkauan produk menggunakan platform yang sesuai). Mitra enterprise yang sudah memanfaatkan solusi dari LinkAja adalah Gudang Garam, SRC (Sampoerna Retail Community), dan Kospin Jasa.

Application Information Will Show Up Here

Investree Mulai Debut Produk Paylater B2B, Gaet Andalin

Startup fintech lending Investree memperkenalkan produk paylater B2B untuk membiayai UKM yang membutuhkan pembayaran di awal. Startup digital freight forwarder Andalin menjadi startup pertama yang digandeng Investree untuk peluncuran produk ini.

Dalam kerja sama ini, pada tahap awal, Investree menawarkan akses pembiayaan bea cukai dan pajak bagi para UKM di Andalin. Baik Investree dan Andalin termasuk dalam portofolio BRI Ventures.

Dalam wawancara bersama DailySocial, Co-Founder & CEO Investree Adrian A. Gunadi menjelaskan dalam dua tahun terakhir perusahaan fokus pada pembiayaan produktif untuk ekosistem digital yang memiliki banyak jaringan UKM dengan kebutuhan kredit yang tidak sedikit.

Posisi Investree sebagai perusahaan fintech lending, membuka kesempatan bagi ekosistem digital tersebut untuk melengkapi kebutuhan para UKM-nya terutama dari sisi kredit modal kerja. “Paylater ini untuk melengkapi produk pembiayaan mata rantai yang dimiliki Investree,” ucapnya.

Penggunaan terminologi paylater dirasa kini semakin familiar di telinga orang Indonesia sebagai pengganti kartu kredit. Dengan demikian, diharapkan akan semakin diterima bila dibawa untuk sektor B2B, ketimbang memakai istilah buyer financing untuk konsep yang sama.

Andalin, sambungnya, termasuk perusahaan yang menarik karena mereka adalah perusahaan 4PL logistik yang tidak hanya menangani urusan ekspor dan impor untuk UKM, namun juga membantu pengurusan administrasinya. Dengan demikian, para UKM dapat diringankan, tidak perlu mengeluarkan biaya besar di awal, sehingga arus kas perusahaan dapat dioptimalkan. Mereka dapat mengalokasikan dana tersebut untuk kebutuhan yang lebih mendesak.

“Apa yang kita finance saat ini adalah uang yang diperlukan UKM untuk membiayai cukai dan segala perizinan terkait barang yang mereka jual ke luar negeri. Sebab, kendala di lapangan, biasanya UKM punya barang bagus tapi kesulitan urus izin ekspor karena butuh dana di depan untuk pembayarannya.”

Dari data yang dikutip, diperkirakan potensi dari pembiayaan bea cukai dan pajak ini mencapai $6 juta (Rp86 miliar), ditambah lagi kesempatan tersebut belum banyak digarap oleh pemain fintech yang bermain di pembiayaan mata rantai.

Dengan masuk ke ekosistem Andalin, Investree berkesempatan untuk menganalisis kinerja UKM berdasarkan data historis, seperti berapa kali melakukan ekspor, rata-rata perdagangannya, dan nilai transaksinya. Data alternatif ini dipakai sebelum menentukan risiko dan tingkat bunganya.

“Kita lihat pembiayaan di sektor produktif ini banyak tantangan, oleh karenanya kita perlu bekerja sama dengan ekosistemnya karena merekalah yang punya data historis terkait terkait kinerja UKM di platform tersebut.”

Secara terpisah, dalam keterangan resmi yang disampaikan pada hari ini (29/6), CEO Andalin Rifki Pratomo menuturkan, kemitraan dengan Investree dapat mendorong perusahaan untuk meracik produk finansial yang menarik dan kompetitif, sekaligus menerapkan risiko yang kuat. “Kami percaya, kolaborasi dengan Investree, yang dimulai dari pembiayaan bea cukai dan pajak, bisa menjadi tahap penting untuk membuat perubahan di bidang pendanaan perdagangan supply chain global.”

Terkait produk paylater ini punya tenor mulai dari dua sampai tiga bulan, dengan tingkat bunga mulai dari 10%-20% untuk setahun efektif. Sumber dana yang dipakai Investree untuk produk ini dari para lender institusi yang sudah bermitra dengan perusahaan, seperti Bank Mandiri, BRI Group, dan Bank Danamon.

“Kami sudah bermitra dengan puluhan lender institusi, mayoritas dari bank lokal dan institusi internasional. Bagi bank segmen ekspor-impor ini sesuai dengan appetite mereka karena ada kaitannya juga dengan membantu UKM naik level.”

Ke depannya, Investree akan terus menggencarkan persebaran produk paylater untuk ekosistem digital lainnya. Ada sejumlah potensi kerja sama yang akan dilakukan, di antaranya dengan perusahaan fesyen dan FMCG yang UKM di dalamnya butuh modal kerja.

Adrian menargetkan produk paylater B2B ini dapat berkontribusi sekitar 15%-20% dari total penyaluran perusahaan senilai Rp5 triliun. Selama ini produk pembiayaan dengan kontribusi terbesar adalah PO financing dan invoice financing dengan kontribusi sebesar 80%.

Perusahaan juga akan memboyong paylater B2B ini untuk unit usahanya yang ada di Thailand dan Filipina karena juga dibutuhkan oleh UKM di sana. “Kami juga berencana untuk meningkatkan fitur paylater B2B ini ke versi ke-2, rencananya akan dirilis pada semester II ini. Nantinya semua proses full host-to-host dengan API jadi automated, kalau versi pertama ini UKM harus registrasi dulu ke situs Investree,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Bank CTBC Indonesia Masuk ke Segmen Pinjaman Online Lewat “Dana Cinta”

PT Bank CTBC Indonesia (Bank CTBC) resmi meluncurkan platform Kredit Tanpa Agunan (KTA) Instan Dana Cinta. Melalui platform berbasis web ini, pelanggan dapat mengajukan pinjaman secara digital dengan proses persetujuan dalam 60 detik.

Dalam keterangan pers, Presiden Direktur Bank CTBC Indonesia Iwan Satawidinata mengatakan, peluncuran KTA digital ini menandai tonggak baru perusahaan dalam menghadapi disrupsi ekonomi digital di industri keuangan dan perbankan Indonesia.

“Langkah ini menjadi komitmen kami untuk mendukung program pemerintah dalam meningkatkan inklusi keuangan ke masyarakat yang tidak punya akses layanan perbankan,” ungkap Iwan.

Selain itu, peluang pinjaman online dinilai masih besar di Indonesia, terlebih dengan semakin teredukasinya masyarakat dengan produk ini. Hal ini semakin diperkuat juga dengan perubahan gaya hidup masyarakat yang mulai memprioritaskan kegiatan nonfisik selama masa pandemi Covid-19.

Sebelumnya beberapa bank lain juga rilis platform KTA Online serupa, misalnya Amar Bank dengan aplikasi Tunaiku, atau BRI dengan Pinang yang kini tengah disiapkan menjadi bank digital. Sementara di pasar saat ini layanan serupa lebih banyak disajikan oleh startup fintech lending.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pencairan pinjaman melalui fintech lending di 2020 tercatat sebesar Rp74,4 triliun atau naik 24% dari pencapaian di 2019, yaitu Rp58,84 triliun.

Sementara, Executive Director of Retail Banking PT Bank CTBC Indonesia Bambang Simon Simarno meyakini bahwa pertumbuhan bisnis KTA di Indonesia dapat mencapai 24% di 2021. Pihaknya menyebut CTBC Indonesia sebagai satu-satunya bank yang menawarkan persetujuan prinsipal secara instan untuk pinjaman pribadi tanpa jaminan dengan limit mencapai Rp200 juta.

Sejak tahap awal dari proses uji coba, Bank CTBC Indonesia mencatat telah menerima sebanyak 20 ribu pengajuan pinjaman online dalam kurun waktu kurang dari empat bulan. Pihaknya menargetkan pinjaman online KTA Instan Dana Cinta dapat mengantongi 50% pangsa pasar dalam lima tahun ke depan.

Sebagai informasi, Bank CTBC Indonesia bekerja sama dengan Dukcapil dan PEFINDO untuk mendukung proses pengajuan pinjaman online, mulai dari verifikasi eKYC hingga credit scoring. Pengguna dapat memperoleh persetujuan pinjaman dalam 60 detik saja, di mana pinjaman memiliki opsi tenor 6-36 bulan dengan bunga flat 0,85% per bulan.

Sekadar informasi, PT Bank CTBC Indonesia sebelumnya bernama PT Bank Chinatrust Indonesia. Saat ini saham Bank CTBC Indonesia dikuasai oleh CTBC Bank Co. Ltd sebesar 99% dan sisanya 1% oleh PT Bank Danamon Indonesia Tbk.

OJK Batalkan Tanda Terdaftar untuk DANAdidik, EmpatKali, dan 4 Pemain Fintech Lending Lainnya

Menurut data statistik terbaru yang diterbitkan OJK pada 17 Juni 2021, saat ini ada 125 perusahaan fintech lending yang berstatus “terdaftar”. Sebanyak 65 di antaranya sudah mendapatkan status berizin, dengan 5 di antaranya menyajikan usaha pinjaman berjenis syariah. Dibandingkan statistik sebelumnya, ada penambahan 8 pemain yang mendapatkan status berizin dari otoritas.

Selain itu OJK turut mengumumkan bahwa terdapat 6 pembatalan tanda terbukti terdaftar fintech lending. PT Mikro Kapital Indonesia (Mikro Kapital), PT Pasar Dana Teknologi (DANAdidik), PT Teknologi Finansial Asia (PiNBee), dan PT Artha Simo Indonesia (Cankul) dibatalkan karena belum menyampaikan pemenuhan persyaratan perizinan sehingga penyelenggara tidak memenuhi ketentuan Pasal 10 POJK nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Serta pembatalan tanda terdaftar PT Empat Kali Indonesia (EmpatKali) dan PT Indo Fintek Digital (ModalUsaha.id) dikarenakan ketidakmampuan penyelenggara meneruskan kegiatan operasional.

Menurut Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2B OJK Bambang W. Budiawan, para pemain di atas memang memiliki kinerja yang kurang memuaskan. “Pengembalian tanda daftar tersebut juga tidak dilakukan secara tiba-tiba, melainkan melalui proses yang OJK juga turut melakukan analisis dan penilaian,” ujarnya seperti dikutip Kontan.

Seperti diketahui, sebelumnya regulasi pemain fintech lending memang sebatas harus terdaftar di OJK. Seiring dengan perkembangannya, para platform terdaftar harus meningkatkan statusnya menjadi berizin dengan memenuhi beberapa syarat. Peralihan status itu diberikan tenggat waktu hingga satu untuk semua pemain.

Menurut Bambang apa yang disyaratkan POJK terkait aturan berizin fintech lending dinilai memberatkan. Terbukti dengan banyaknya pemain yang berhasil lolos. Beberapa aspek memang dinilai untuk kelayakan, meliputi model bisnis, sistem elektronik, skoring kredit, kepatuhan, dan aspek mekanisme perlindungan konsumen.

Kami mencoba menghubungi founder dari salah satu startup yang disebutkan di atas, namun mereka masih enggan memberikan respons terkait hal tersebut. Dari pantauan kami beberapa situs juga masih bisa diakses normal setelah pengumuman tersebut. Hanya DANAdidik menginformasikan di situsnya bahwa saat ini operasional mereka terbatas dan sementara tidak dapat menyalurkan pembiayaan baru.

DANAdidik sendiri adalah salah satu fintech lending yang fokus di sektor pendidikan. Untuk bisnisnya, mereka didukung sejumlah pemodal ventura di pendanaan tahap awal, termasuk oleh Garden Impact Investments dan GK-Plug and Play. Tahun 2018 The Vanderes Foundation juga bergabung menjadi lender institusi mereka untuk meningkatkan partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia. Sejak ini mereka telah menyalurkan 781 pinjaman senilai 9,4 miliar Rupiah.

Sementara pemain lainnya EmpatKali merupakan fintech lokal yang diakuisisi Afterpay asal Australia. Konsep layanannya memberikan pembiayaan paylater dengan empat kali cicilan. Kemungkinan konsep ini kurang diterima di kultur Indonesia. Model pembayaran empat kali cicilan efektif di Australia karena sebagian besar di sana gaji diberikan per minggu, sementara di Indonesia per bulan.

Sebelumnya juga diketahui, bahwa OJK sedang menggodok beleid baru untuk menggantikan POJK 77/2016. Akan ada sejumlah penyesuaian, mulai peningkatan persyaratan ekuitas hingga fit & proper test.  Dengan dominasi [ditinjau dari jumlah dana disalurkan] hanya beberapa pemain saja, berbagai pihak menilai bahwa ini menjadi salah satu langkah untuk mendorong konsolidasi antarpemain.

Fintech lending yang menjadi pemimpin pasar saat ini gencar membuka skema lender institusi. Tidak hanya melibatkan perusahaan lokal, mereka juga mendapat dukungan institusi finansial global dengan nilai ratusan miliar hingga triliunan Rupiah. Untuk tahun ini, hingga Juni 2021 sudah ada 4 pemain yang mendapatkan fasilitas debt funding, meliputi:

Perusahaan Institusi Pendukung Nilai Investasi (Debt Funding)
Kredivo Rp1,4 triliun Victory Park Capital
Amartha Rp808 miliar Lendable, Norfund
Alami Rp283 miliar AC Ventures, Golden Gate Ventures, Quona Capital [sebagian berbentuk ekuitas]
Pintek Rp298 miliar Accial Capital

Gambar Header: Depositphotos.com

Amartha Kantongi Pendanaan 107 Miliar Rupiah, Perdalam Akses Permodalan untuk Pengusaha Perempuan

Startup p2p lending Amartha mengumumkan perolehan pendanaan senilai $7,5 juta (setara 107 miliar Rupiah) dari Norfund, dana investasi dari pemerintah Norwegia untuk negara berkembang. Dana ini akan disalurkan kembali dalam bentuk modal usaha untuk memberdayakan lebih banyak perempuan pengusaha mikro di pedesaan dan mendorong kegiatan usaha yang ramah lingkungan.

Kolaborasi ini ditandai dengan penandatanganan kerja sama antara Duta Besar Norwegia Vegard Kaale dan Founder & CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra di Kedutaan Norwegia di Jakarta, hari ini (04/6).

Investment Director Norfund & Head of Asia Regional Office Fay Chetnakarnkul menyampaikan, Norfund bekerja sama dan mendanai di institusi keuangan untuk mendukung mereka agar lebih kuat lagi dalam menyediakan akses permodalan dan layanan keuangan kepada ekonomi mikro dan segmen unbankable. “Kami sangat menghargai kerja sama ini dengan Amartha dan upaya yang mereka lakukan untuk memberdayakan perempuan pengusaha mikro di Indonesia.”

Duta Besar Norwegia Vegard Kaale menambahkan, meskipun pertumbuhan ekonomi di Indonesia sangat baik, namun inklusi keuangan masih menjadi isu yang besar di segmen masyarakat prasejahtera, terutama bagi perempuan pengusaha mikro.

“Norfund menjadi alat penting bagi Pemerintah Norwegia untuk menguatkan lembaga swasta di negara-negara berkembang, serta menurunkan angka kemiskinan. Pendanaan ini merupakan investasi pertama Norfund di institusi finansial di Indonesia dan saya harap upaya ini akan membantu pertumbuhan serta keberhasilan untuk Amartha.”

Chetnakarnkul pun sependapat dengan pernyataan Kaale. Ia menyampaikan bahwa diharapkan kerja sama dengan Amartha akan menjadi permulaan baik untuk komitmen jangka panjang Norfund di Indonesia.

Sementara Taufan menyampaikan, dukungan Norfund menandai kepercayaan mereka kepada usaha Amartha untuk kembali pulih di masa sulit selama pandemi ini. “Dengan bimbingan dari negara Norwegia sebagai pemimpin dunia dalam sektor energi terbarukan, Amartha berharap mendapatkan ilmu dan pengalaman dari yang terbaik.”

Masuknya Norfund, sebenarnya sejalan dengan inisiasi yang dimulai oleh Amartha sejak 2018 yang mulai aktif berpartisipasi dalam kegiatan ramah lingkungan dengan mempromosikan manajemen lingkungan, sosial dan korporat atau ESG dengan meluncurkan laporan tahunan dampak dan keberlanjutan. Akibatnya pada setahun berikutnya, Amartha meraih penghargaan GIIRS (Global Impact Investing Rating System) dari B-Corp dengan peringkat Platinum.

Kemudian, pada tahun lalu, perusahaan menginisiasi program Plastic Waste Womenpreneur (PWW) dengan memberikan pembiayaan kepada perempuan pengusaha mikro yang bergerak dibidang pengurangan limbah plastik di desa.

Hingga kini Amartha berhasil menyalurkan pembiayaan lebih dari Rp3,7 triliun untuk 678.502 perempuan di lebih 18.900 desa yang tersebar di pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.

Sebagai perusahaan teknologi, Amartha meluncurkan layanan keuangan dan produk-produk inovatif seperti tabungan, asuransi mikro, serta belanja borongan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat ekonomi informal. Dengan pendekatan ini, Amartha ingin menjadi pemain terdepan untuk platform keuangan digital bagi segmen desa.

Sebelumnnya pada awal bulan lalu, Amartha juga mengumumkan perolehan pendanaan sebesar $28 juta atau sekitar 450 miliar Rupiah yang dipimpin oleh Women’s World Banking (WWB) melalui WWB Capital Partners II dan MDI Ventures, serta dua investor sebelumnya, yaitu Mandiri Capital Indonesia (MCI) dan YOB Venture Management.

Application Information Will Show Up Here

Melihat Besarnya Potensi Industri Halal, Investree Syariah Incar Tambahan Lender Institusi

Masih besarnya potensi bisnis syariah yang belum tergarap, membuat Investree Syariah, unit usaha lending milik Investree, akan fokus memperluas produk pembiayaan dan segmen usaha yang bidik pada tahun ini. Mencari lender institusi juga menjadi rangkaian strategi perusahaan untuk mencapainya.

Berdasarkan data Investree, sepanjang tahun lalu Investree Syariah mencatatkan penyaluran sebesar Rp229,8 miliar dengan pertumbuhan 107% dari tahun sebelumnya. Pembiayaan tersebut untuk 163 peminjam dengan kontribusi 3.228 lender. Angka kontribusinya sebesar 7,2% dari total portofolio Investree, memiliki pangsa pasar sebesar 13% dari seluruh pemain fintech lending syariah di Indonesia.

VP Sharia Investree Arief Mediadianto mengatakan, sektor perdagangan diprediksi masih akan mendominasi portofolio pembiayaan syariah tahun ini. Namun, sektor lain seperti jasa IT berpotensi kembali tumbuh baik dipicu oleh kinerja tahun lalu.

“Target pembiayaan Investree Syariah di akhir tahun ini sebesar Rp320 miliar, naik 50% dari tahun lalu sekitar Rp220 miliar. Jadi sesuai dengan target kita, kontribusinya bisa lebih dari 7% dari portofolio pembiayaan Investree,” ucapnya dalam konferensi pers virtual, kemarin (6/5).

Adapun pada Q1 2021 ini Investree Syariah telah menyalurkan pembiayaan sebesar Rp10 miliar. Ditargetkan pada kuartal berikutnya dapat tembus ke angka Rp50 miliar. Menurut Co-Founder & CEO Investree Adrian Gunadi, banyak potensi dan momentum dalam kuartal tersebut, seperti Lebaran dan Ramadan yang memungkinkan bisnis dapat lebih menggeliat.

Adrian melanjutkan, setidaknya ada empat fokus yang akan dijalankan perusahaan untuk menggenjot pembiayaan syariah di tahun ini. Pertama, memperbanyak sumber pendanaan dari lender institusi. Untuk itu, pihaknya sedang aktif membangun kolaborasi dengan bank umum syariah, BPR/BPD syariah. Komposisi antara lender institusi dengan ritel di Investree Syariah adalah 60:40.

Sebelumnya, BRI Syariah (kini menjadi Bank Syariah Indonesia) adalah salah satu lender institusi di Investree Syariah. Menurut Adrian, finalisasi kolaborasi dengan BSI sedang dalam penjajakan. “Sudah ada beberapa sedang diskusi dalam tahap advance, semoga Q2 ini sudah bisa direalisasikan,” kata dia.

Kedua, membangun kolaborasi yang lebih erat dengan industri halal, termasuk pariwisata dan kesehatan. Ketiga, membangun ekosistem kerja sama halal, seperti yang sudah dilakukan perusahaan dengan Dompet Dhuafa untuk pembiayaan hewan kurban. Terakhir, memperkaya produk syariah untuk rantai pasokan.

Saat ini, produk syariah yang tersedia di Investree Syariah, antara lain Invoice Financing, Pre-Invoice Financing Syariah, Working Capital Term Loan Syariah, dan Retail Seller Financing Syariah. Kontribusi terbesar datang dari Invoice Financing sebesar 89%, sisanya dari produk yang lain.

“Kami akan menambah variasi produk agar lebih kaya dan masyarakat bisa punya banyak opsi pembiayaan yang sesuai dengan bisnis modelnya,” pungkasnya.

Besarnya populasi muslim di Indonesia dinilai menjadi peluang besar bagi layanan berbasis syariah untuk bertumbuh. Di lanskap fintech lending, selain Investree, ada beberapa pemain yang juga fokus pada pembiayaan syariah, di antaranya Alami, Amanna, dan SyarQ. Platform fintech lainnya seperti LinkAja (pembayaran) dan Tamasia (investasi) juga mulai suguhkan opsi syariah kepada penggunanya.

Application Information Will Show Up Here