Meneropong Relasi Fintech dan UKM di Masa Pandemi

Teori dan pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa UKM kerap menjadi pelindung perekonomian Indonesia ketika musim paceklik menyergap. Contoh yang sering disertakan adalah krisis moneter pada 1998 dan resesi global pada 2008. Selama dua kejadian besar itu, UKM selalu disebut menjadi kekuatan ekonomi Indonesia yang bertahan ketika sektor lain ambruk.

Namun pandemi Covid-19 memberi pukulan yang berbeda. UKM tak bisa kebal menghadapi risiko-risiko ekonomi yang dibawa oleh wabah ini. Ketersediaan modal adalah salah satu faktor terpenting bagi bisnis UKM. Jika riwayat penjualan, arus kas, dan catatan pinjaman merupakan syarat kelayakan yang lazim berlaku bagi fintech lending sebelum menyalurkan kredit, maka itu semua mungkin tak lagi sepenuhnya berarti.

Co-founder & COO Modalku Iwan Kurniawan menjabarkan bagaimana peran fintech memperkuat eksistensi UKM dan apa saja yang terjadi pada industri ini selama pandemi berlangsung. Simak pandangan Iwan selengkapnya di edisi #SelasaStartup terbaru.

Sistem validasi anyar di masa pandemi

Situasi yang tidak pasti mengharuskan lembaga penyalur kredit termasuk fintech lebih cermat melakukan penilaian. Hal ini tak terkecuali bagi Modalku. Iwan menyebut ada perbedaan mencolok dalam mekanisme penyaluran kredit antara sebelum dan setelah Covid-19 merebak. Menurut Iwan umumnya stabilitas omzet jadi ukuran sebelum mereka memutuskan memberi kredit kepada UKM. Arus kas, aktivitas penjualan, dan riwayat kredit merupakan indikator yang mereka pegang teguh. Namun hal itu bergeser saat ini.

Ketidakpastian selama wabah menambah unsur kehati-hatian dalam melakukan scoring. Namun indikator yang dipakai pun bergeser banyak. Menurut Iwan pihaknya kini lebih mengedepankan prospek suatu bisnis terutama terkait dengan masa depan suatu sektor.

History itu jadi tidak penting, justru kita lebih ke future, apakah kami yakin di indisutri ini, prodok apa yang mereka jual, dan destinasi jualan mereka,” ucap Iwan.

Seperti yang kita ketahui sebelumnya, pandemi Covid-19 memukul banyak bisnis yang tersebar di sejumlah sektor. Manufaktur, perbankan, minyak dan gas, transportasi, serta pariwisata adalah contoh sektor-sektor yang dibuat hampir tak berdaya oleh Covid-19.

“Jadi cara penilaiannya ada pre-Covid-19 yang normal yang mana lebih fokus di cash flow daripada collateral. Tapi dengan adanya Covid-19 harus lebih hati-hati, forward looking dan sesuai dengan kondisi sekarang,” imbuhnya.

Memaksimalkan peluang yang ada

Meski ada banyak sektor yang tumbang sebagai dampak dari Covid-19, ada pula sektor yang terus tumbuh beberapa bulan terakhir. Sektor kesehatan dan e-commerce adalah dua contoh industri yang performanya meningkat. Ini juga terjadi pada Modalku.

Untuk sektor kesehatan, Modalku mengumumkan kerja sama mereka dengan BPJS Kesehatan. Menurut Iwan, kerja sama itu untuk menjembatani lebih banyak akses masyarakat ke layanan tersebut. Sementara di sektor e-commerce, mereka menggandeng dengan nama-nama besar seperti Bukalapak, Tokopedia, Lazada, hingga Zilingo.

Dengan langkah-langkah itu, Iwan mengklaim pihaknya mengalami lonjakan permintaan Modalku. “Ada kenaikan sekitar 10 kali lipat jumlah aplikasi untuk meminjam modal kerja atau personal,” tukas Iwan.

Kendati lonjakan permintaan akan modal naik tajam, Modalku tidak lantas lebih mudah memberi persetujuannya. Iwan mengakui persetujuan untuk permintaan pinjaman itu sangat sedikit yang mereka penuhi karena ada lebih banyak tolok ukur yang dipakai.

Di saat bersamaan, Modalku punya pekerjaan rumah agar kondisi ideal bagi mereka dapat tercapai. Pertama adalah soal edukasi. Edukasi menjadi penting karena menurut Iwan masyarakat kerap salah paham dalam menilai pinjaman modal kerja. Misalnya saja ada anggapan bahwa bunga fintech lebih mahal ketimbang bunga dari bank. Padahal bunga itu menurut Iwan relatif kecil dibandingkan untung yang bisa diperoleh UKM.

Persoalan kedua adalah keterjangkauan akses. UKM di Indonesia umumnya masih banyak yang belum menyentuh transaksi online. Beban yang harus ditanggung fintech untuk menjangkau UKM yang tradisional ini biasanya lebih mahal dan memakan waktu. Namun sedikit keberuntungan bagi mereka, kondisi wabah saat ini mengharuskan banyak usaha tetap berjalan dan artinya akan lebih banyak usaha yang berjalan secara online tanpa perlu mereka dorong.

“Saya lihat selama Covid-19 ini tantangan itu makin terpecahkan. Kita bisa lebih efisien menyentuh atau support mereka [UKM].”

Kondisi ideal setelah pandemi

Modalku saat ini masih salah satu fintech lending terbesar di Indonesia. Total kredit yang sudah mereka salurkan sejauh ini mencapai Rp14 triliun. Belum lama mereka juga mengumumkan penggalangan dana seri C senilai US$40 juta atau sekitar Rp625 miliar.

Dengan segala bentuk adaptasi yang terjadi selama wabah Covid-19 berlangsung, Iwan menuturkan pihaknya sedang bersiap segala bentuk normal baru yang akan terjadi. Ini meliputi menyaring sektor-sektor mana saja yang akan menguat di masa depan dan mencari mitigasi risiko yang paling tepat.

Industri kesehatan, online commerce, serta supply chain tampak akan menjadi sektor yang menjadi fokus Modalku mulai saat ini. Iwan menegaskan Modalku harus bersiap sejak sekarang untuk memenuhi kebutuhan modal UKM di sektor-sektor tersebut. Sementara dari manajemen risiko, mereka melakukan perombakan peran di tubuh perusahaan. Contoh perombakan peran itu adalah memindahkan sejumlah anggota tim sales dan marketing untuk membantu tim manajemen risiko untuk melayani kebutuhan layanan-layanan seperti memperpanjang tenor pinjaman ataupun mempercepat masa pelunasan.

“Kita sudah ada SOP yang jelas dengan UKM ketika di masa depan ada kebutuhan untuk bantu adjustment, kita bisa siap manajemen risikonya,” pungkas Iwan.

Practicing the New Normal for Fintech Lending Business

The pandemic effect on most business sectors also lies in the fintech lending industry, which must prepare a number of initiatives to prevent default on its borrowers. Fintech players are required to prepare themselves for “the new normal”.

To discuss this topic, DailySocial invited CMO KoinWorks Jonathan Bryan as the speaker for the #SelasaStartup first week edition of May 2020.

KoinWorks is one of the pioneers of fintech p2p lending startups in Indonesia. In February 2020, the company announced new funding in two schemes, loans and equity with a total value of $20 million or equivalent to 316 billion Rupiah.

Here’s the summary:

Credit restructuring

Following the regulator instruction, KoinWorks also applied credit restructuring for borrowers affected by the pandemic. However, the relaxation cannot be used equally for all borrowers. Indeed, platform players cannot act like banks.

They’re positioned between borrowers and lenders. Platform players position themselves to help businesses run still and not to cause a loss for lenders.

The Borrower must present data to demonstrate the validity that the business is really affected by Covid-19. Whether it’s from a bank book report, if they are in the form of an offline business, it can show the closing store.

“The business must not end, what we build is adjusting the schedule to the borrowers by extending the tenor. It aims to ensure that the business can pay and survive,” he explained.

More selective and exploring other business potential

Jonathan continued that one of the products available at KoinWorks is loans for online sellers. This line still shows a positive trend as in the previous year.

The trend of increasing loan demand usually occurs at the beginning of the year, both when one e-commerce celebrates its anniversary, the Eid moment, and as we enter the year-end moment and national online shopping day (harbolnas).

Towards that moment, there will be a significant increase in loans about two to three months before. The seller needed loans to stock up when there’s a massive purchase.

“The increase [in loans] can be 1-2 times [year-on-year] in high season, especially during Eid. This year, we are tightening up, as giving to the most affected segments of Covid-19 such as tourism. We’ve done some mapping.”

Prepare for the new normal in fintech

When restructuring and scoring are tightened, the final step is to anticipate the second wave of the pandemic impact. From the results of the company’s internal research, Jonathan said there are many findings that can be drawn from the investment climate in various developed countries.

“In our opinion, this pandemic is to end after Eid. However, it is the second wave we feared because of its easy spread. After entering the recovery phase, there are strategies on how to be defensive and aggressive. Therefore, you have to pick the right battle for each business.”

When the recovery time is done, it’s time to return to the initial mission, which is to help SME businesses grow more aggressively. “All businesses that make it past the post-pandemic, can be sure to get up and jump for multiple times for it has passed the worst part. That is what we want to provide, it might be until the end of this year the recovery will take time,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mempersiapkan “The New Normal” untuk Bisnis Fintech Lending

Efek pandemi mendera sebagian besar sektor bisnis, turut dirasakan oleh industri fintech lending yang harus mempersiapkan sejumlah langkah preventif demi mencegah gagal bayar oleh para peminjamnya. Pemain fintech dituntut untuk bersiap diri menuju “the new normal”.

Untuk membahas topik ini, DailySocial mengundang CMO KoinWorks Jonathan Bryan sebagai pembicara untuk #SelasaStartup edisi pekan pertama Mei 2020.

KoinWorks termasuk salah satu pionir startup fintech p2p lending di Indonesia.
Pada Februari 2020, perusahaan mengumumkan pendanaan baru dalam dua skema, yakni pinjaman dan ekuitas dengan total nilai $20 juta atau setara 316 miliar Rupiah.

Berikut ringkasannya:

Melakukan restrukturisasi kredit

Mengikuti anjuran regulator, KoinWorks juga menerapkan restrukturisasi kredit untuk bisnis peminjam yang terkena dampak pandemi. Namun, relaksasi ini tidak bisa dimanfaatkan secara merata buat semua peminjam. Dikarenakan, pemain platform tidak bisa bertindak seperti bank.

Posisi mereka ada di tengah-tengah, di antara peminjam dan pemberi pinjaman. Pemain platform memosisikan diri untuk membantu bisnis agar tetap bisa berjalan dan tidak merugikan pemberi pinjaman.

Peminjam harus menunjukkan data untuk memperlihatkan keabsahan bahwa bisnisnya benar-benar terdampak Covid-19. Entah itu dari laporan buku bank, jika mereka berupa bisnis offline bisa menunjukkan penutupan tokonya.

“Jangan sampai bisnisnya benar-benar mati, maka yang kita bangun adalah penyesuaian jadwal kepada para peminjam dengan perpanjang tenor. Itu tujuannya untuk memastikan bisnis tersebut bisa bayar dan tetap survive,” terangnya.

Lebih selektif dan cari potensi bisnis lain

Jonathan melanjutkan salah satu produk pinjaman yang tersedia di KoinWorks adalah pinjaman untuk penjual online. Lini ini masih menunjukkan tren positif seperti yang terjadi di tahun sebelumnya.

Tren kenaikan permintaan pinjaman biasanya terjadi saat awal tahun, baik itu saat salah satu e-commerce merayakan hari jadinya, momen lebaran, dan pada akhir tahun masuk ke momen akhir tahun dan harbolnas.

Menjelang momen tersebut tiba, sekitar dua sampai tiga bulan sebelumnya kenaikan pinjaman akan banyak bermunculan. Penjual pada saat itu butuh dana pinjaman untuk menyetok barang dagangannya agar aman ketika pembelian membludak.

“Kenaikannya [pinjaman] bisa 1-2 kali lipat secara yoy saat high season, terutama saat lebaran. Tahun ini kita lakukan pengetatan, misalnya tidak memberikan ke segmen yang paling terdampak Covid-19 seperti pariwisata. Ada pemetaan yang kita buat.”

Bersiap menuju “the new normal” fintech

Ketika restrukturisasi dan pengetatan scoring dilakukan, maka langkah terakhirnya adalah mengantisipasi terjadinya second wave dari dampak pandemi. Jonathan bertutur dari hasil riset internal perusahaan, banyak temuan yang bisa ditarik dari iklim investasi di berbagai negara maju.

“Menurut kita, pandemi ini selesai setelah lebaran. Tapi yang ditakutkan adalah second wave karena penyebarannya yang begitu mudah. Setelah itu baru masuk ke fase recovery, ada strategi bagaimana untuk defensif dan agresif. Jadi harus pick the right battle untuk masing-masing bisnis.”

Ketika kondisi pemulihan berhasil dilewati, maka saatnya untuk kembali ke misi awal, yakni membantu bisnis UKM tumbuh lebih agresif. “Semua bisnis yang berhasil melewati pasca pandemi, bisa dipastikan dia bisa terbang dan jump berkali-kali lipat karena sudah melewati bagian terburuknya. Itu yang mau kita bawa, mungkin sampai akhir tahun ini baru benar-benar recover,” pungkasnya.

Menyimak Kinerja Platform P2P Lending di Tengah Pandemi

Pandemi yang masih terjadi hingga saat ini ternyata sudah mulai mengganggu jalannya bisnis layanan p2p lending. Makin minimnya pendanaan yang dikeluarkan hingga masa depan yang masih belum jelas menjadi isu yang disorot vertikal bisnis tersebut saat ini. Dalam sesi #Selasastartup kali ini, DailySocial mengundang Direktur Asetku Andrisyah Tauladan, untuk berbagi informasi dan beberapa kendala yang masih kerap ditemui saat ini.

Menekan risiko gagal bayar

Salah satu fokus utama yang dicoba untuk dipertahankan oleh Asetku sebagai platform p2p lending adalah mempertahankan risiko gagal bayar hingga 0%. Dengan demikian perusahaan bisa meyakinkan kepada pemberi pinjaman (lender) bahwa investasi yang sudah digelontorkan terjamin dan pasti akan kembali.

Di sisi peminjam (borrower), Asetku mencoba untuk mendisplinkan mereka untuk selalu mematuhi perjanjian, terkait dengan pembayaran yang wajib dilakukan. Dengan demikian perusahaan bisa melihat dan melakukan kurasi organik, siapa saja peminjam yang memiliki rekam jejak positif.

“Karena kebanyakan lender kita adalah kalangan ritel yang memberikan pendanaan kepada mereka peminjam yang kebanyakan adalah mitra dari layanan e-commerce, kami menyadari benar kebutuhan dan kebiasaan dari para lender kami. Untuk itu meskipun pandemik berlangsung, kami mencoba untuk mempertahankan risiko gagal bayar tetap di nol persen,” kata Andrisyah.

Disinggung seperti apa demografi dari lender yang telah bergabung di Asetku, secara umum dari kalangan berusia sekitar 37 tahun. Sementara untuk borrower kebanyakan berasal dari kalangan milenial yang berusia sekitar 25 tahun.

“Itu semua sesuai dengan target kami mulai dari usia, pekerjaan hingga kebutuhan mereka untuk melakukan pinjaman hingga memberikan pendanaan melalui platform Asetku,” kata Andrisyah.

Besarnya pasar layanan p2p lending

Meskipun saat ini makin banyak bermunculan layanan p2p lending di Indonesia, tidak menjadikan platform seperti Asetku kehilangan target pengguna. Dengan kebijakan dan pemahaman yang benar di antara masing-masing pemain, masih banyak segmentasi pengguna yang bisa dirangkul. Untuk itu masing-masing penyedia harus menentukan dengan tepat, layanan seperti apa yang ingin dihadirkan dan siapa target pengguna yang ingin diincar.

“Saat ini baru sekitar 3,4% pendanaan yang digelontorkan kepada UKM oleh layanan p2p lending, artinya masih besar peluang untuk masing-masing pemain bermain di layanan tersebut yang bisa menguntungkan target pengguna,” kata Andrisyah.

Selama penyebaran virus Covid-19 ini menurut Andrisyah akan makin terlihat, siapa saja pemain yang akan unggul dan siapa di antara mereka yang bakal tergerus dan terpaksa tutup layanan. Makin ketatnya masyarakat umum menyimpan uang mereka dan menahan keperluan untuk berinvestasi, menjadikan pemain yang masih baru dan belum menjadi top of mind masyarakat akan kehilangan peluang.

“Ke depannya saya lihat konsolidasi pun mungkin akan terjadi di antara pemain-pemain baru yang masih kecil tersebut. Di sisi lain untuk pemain yang sudah besar dan cukup populer, akan makin cerdas lagi mengatur model bisnis mereka,” kata Andrisyah.

Di Asetku sendiri sejak bulan Januari 2020 ketika Covid-19 sudah mulai menyebar di Wuhan, Tiongkok, perusahaan telah menyiapkan modeling risiko. Tujuannya untuk memastikan lender dan borrower bahwa pinjaman dan investasi yang telah diberikan bisa berjalan secara normal. Modeling tersebut yang diklaim mampu untuk mempertahankan posisi risiko gagal bayar Asetku berada dalam posisi 0%.

“Kami telah menerapkan beberapa tahap modeling, di antaranya adalah memberikan potensi dan probabilitas terbaik bagaimana proses disburse loan yang tepat, memanfaatkan data, demografi dan histori para calon peminjam,” kata Andrisyah.

Cara lain adalah Asetku menunda pemberian pendanaan kepada peminjam yang sudah mendaftarkan untuk sementara dan hanya fokus kepada peminjam dan pemberi pinjaman yang sudah berjalan saat ini. Secara langsung cara tersebut mempengaruhi kepada penjualan dari perusahaan. Namun sesuai dengan misi perusahaan agar bisnis bisa berjalan secara stabil, sikap hati-hati dalam mengambil keputusan patut untuk diterapkan.

Masa depan layanan p2p lending

Masih diwarnai dengan berita miring soal pinjaman online ilegal, namun dengan menerapkan proses yang benar dan tidak asal memilih, dipastikan semua layanan p2p lending ilegal tersebut bisa diminamilisr jumlahnya. Ada perbedaan yang cukup signifikan antara pinjaman online ilegal dan layanan p2p lending yang terdaftar oleh OJK. Kebanyakan mereka yang ilegal tidak memiliki kantor di Indonesia dan hanya memanfaatkan aplikasi yang kemudian diunggah di Play Store untuk menyebar luaskan layanan mereka.

“Yang bisa dilakukan oleh masyarakat umum adalah melihat apakah layanan p2p tersebut sudah terdaftar di OJK. Langkah tersebut bisa digunakan untuk memverifikasi layanan yang resmi dan terdaftar di Indonesia,” kata Andrisyah.

Meskipun baru muncul tahun 2016 lalu, saat ini layanan p2p lending telah muncul sebagai platform pilihan kalangan unbanked dan underserved, untuk mencari alternatif pinjaman atau tambahan modal. Kolaborasi dengan berbagai pihak terkait pun makin agresif dilancarkan, seperti perbankan, layanan e-commerce, penyedia layanan digital untuk verifikasi hingga tanda tangan digital. Semua kolaborasi tersebut wajib diperluas untuk mengembangkan ekosistem layanan p2p di Indonesia.

Modalku’s Parent Company to Proceed with Series C Funding Worth Over 625 Billion Rupiah

Modalku’s parent company, Funding Societies, is said to raise series C funding worth of $40 million (over 625 billion Rupiah). It was first published by TechInAsia.

Further details are yet to announce since the process is still ongoing. Modalku’s Co-Founder & CEO, Reynold Wijaya, confirmed the news to DailySocial. “Close soon” he said.

In general, he said the fresh money will be distributed to support all aspects of the company’s strategies, including to empower Indonesia’s SMEs. “We’ll keep monitoring the global economic situation in order for this funding can be optimized.”

The current wave of the Covid-19 pandemic forced Modalku to make various internal and external anticipatory measures. From the external side, the company prepared consideration steps to restructure credit according to the regulator’s recommendations. Reynold claimed his team is currently in discussion with the affected borrowers.

In terms of business, the company has now supported health facilities registered as BPJS Health partners to get early payment from Modalku for the BPJS Health bill until payment is completed. They also provide loan facilities to support the health sector, both suppliers of medical devices and health facilities that require medical devices.

Internally, the company also conducts streamline operations to improve efficiency to simplify the operational process. As Reynold said, in these conditions, it is important for companies to stabilize the company’s pace and continue to grow in a healthy manner. Therefore, he avoids calling the initiative as layoff.

“It is not actually a layoff. In Indonesia, we held streamline operations to be more efficient. Macroeconomic condition due to this pandemic has affected SMEs who happened to be Modalku’s borrowers, hence affected our business operation,” he concluded.

Funding Societies announced Series B funding in 2018 of $25 million. It was led by Softbank Ventures Korea, with participation of  Sequoia India, Alpha JWC Ventures, Golden Gate Ventures, Qualgro, and Line Ventures.

Last year, the company received debt funding with an undisclosed value from Triodos Microfinance Fund and Triodos Fair Share Fund. The company also invested in Paper.id in the Series A stage, along with Golden Gate Ventures.

Modalku’s parent company operates in three countries, Singapore, Malaysia, and Indonesia. Cumulatively, the company has disbursed loans up to Rp14.07 trillion in April 2020. In Indonesia alone, Modalku has channeled Rp3.09 trillion as of March 2020. The total borrowers reached 33,700, consisting of 10,783 institutions and 22,917 individuals.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Induk Modalku Proses Pendanaan Seri C Lebih dari 625 Miliar Rupiah

Induk Modalku, Funding Societies, dikabarkan sedang menggalang pendanaan seri C senilai $40 juta (lebih dari 625 miliar Rupiah). Kabar ini pertama kali diwartakan oleh TechInAsia.

Detail pendanaan belum bisa disebutkan secara rinci karena proses masih berlangsung. Co-Founder & CEO Modalku Reynold Wijaya mengonfirmasi kebenaran informasi tersebut kepada DailySocial. “Close soon,” ujarnya.

Secara umum, dia mengatakan dana segar ini akan digunakan untuk mendukung strategi perusahaan dalam berbagai aspek, termasuk mendukung perkembangan usaha kecil dan mikro di Indonesia. “Kami akan terus memantau kondisi ekonomi secara global agar pendanaan ini bisa dimanfaatkan secara maksimal.”

Gelombang pandemi Covid-19 yang terjadi memaksa Modalku membuat berbagai langkah antisipasi internal dan eksternal. Dari sisi eksternal, perusahaan mempersiapkan sejumlah langkah untuk merestrukturisasi kredit sesuai anjuran regulator. Reynold mengaku pihaknya sedang berdiskusi dengan peminjam yang mengajukan permohonan tersebut.

Di samping itu, dari segi bisnis perusahaan kini mendukung fasilitas kesehatan (faskes) yang merupakan mitra BPJS Kesehatan untuk mendapatkan pembayaran lebih awal dari Modalku atas tagihannya ke BPJS Kesehatan sampai adanya penyelesaian pembayaran. Mereka juga menyediakan fasilitas pinjaman untuk mendukung sektor kesehatan, baik penyuplai alat kesehatan dan faskes yang membutuhkan alat kesehatan.

Dari sisi internal, perusahaan juga melakukan streamline operations untuk meningkatkan efisiensi agar proses operasional lebih sederhana. Menurut Reynold, pada kondisi seperti ini, penting bagi perusahaan untuk menstabilkan laju perusahaan dan tetap tumbuh secara sehat. Maka dari itu, ia enggan menyebutnya ini sebagai layoff.

“Sebenarnya bukan layoff. Di Indonesia, kita streamline operations agar lebih efisien. Kondisi ekonomi makro dengan pandemi ini berdampak pada bisnis UMKM yang menjadi peminjam di Modalku, tentunya berdampak terhadap jalannya bisnis kami,” pungkasnya.

Funding Societies mengumumkan pendanaan Seri B pada 2018 sebesar $25 juta. Pendanaan tersebut dipimpin oleh Softbank Ventures Korea, diikuti oleh Sequoia India, Alpha JWC Ventures, Golden Gate Ventures, Qualgro, dan Line Ventures.

Tahun lalu, perusahaan mendapat pendanaan debt dengan nilai dirahasiakan dari Triodos Microfinance Fund dan Triodos Fair Share Fund. Perusahaan juga berinvestasi untuk Paper.id pada tahap Seri A, bersama Golden Gate Ventures.

Induk Modalku beroperasi di tiga negara, Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Secara kumulatif, perusahaan telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp14,07 triliun pada April 2020. Di Indonesia saja, Modalku telah menyalurkan Rp3,09 triliun per Maret 2020. Total peminjamnya mencapai 33.700, terdiri dari 10.783 institusi dan 22.917 individu.

Application Information Will Show Up Here

Survei AFPI: P2P Lending Catat Penurunan Bisnis 5% Akibat Pandemi

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) melaporkan industri p2p lending mengalami penurunan penyaluran pinjaman sebesar 5% dari Maret 2020 dibandingkan bulan sebelumnya akibat pandemi Covid-19. Disebutkan juga penurunan bisnis belum memberi dampak terhadap tingkat kredit bermasalah.

Dalam survei singkat yang diselenggara asosiasi pada 6 April 2020, responden menyatakan TKB90 (Tingkat Keberhasilan Bayar 90 Hari) tercatat stabil. Asosiasi belum mendapat data teranyar untuk melihat kondisi terkini. Bila melihat dari data OJK, TKB90 industri berada di angka 96,08% atau NPL 3,92% per Februari 2020. Angka tersebut tergolong sehat untuk industri.

Survei ini diikuti oleh 130 anggota AFPI sebagai responden. Dijelaskan, sebanyak 52% di antaranya atau 68 pemain mengaku sudah mendapat permohonan restrukturisasi dari peminjam.

“Survei ini baru secara industri. Kita akan lakukan survei ketika melihat pandemi ini sudah berlangsung panjang, bagaimana penurunan dari masing-masing platform baik dari nominal maupun debiturnya,” terang Ketua Harian AFPI Kuseryansyah dalam video conference bersama media, Senin (20/4).

Pria yang kerap disapa Kus ini menambahkan, gelombang dampak pandemi diprediksi akan ada di posisi puncak antara bulan depan sampai Juni 2020. Pada saat itu, diprediksi tingkat TKB90 dan NPL akan mengalami koreksi. Perusahaan dianjurkan untuk terus aktif melakukan pemantauan secara harian dan stress test untuk mengurangi dampak.

“Covid-19 sedikit banyak berpengaruh terhadap rencana bisnis perusahaan, termasuk target seluruh anggota penyelenggara. Pandemi juga dikhawatirkan membuat risiko kegagalan pembayaran berpotensi meningkat, sehingga akan semakin memperketat mitigasi risiko atas pengajuan pinjaman-pinjaman baru.”

Bila di dalami lebih jauh, dari semua segmen p2p lending ada yang justru mengalami berkah. Salah satunya Tokomodal yang bergerak pada pinjaman produktif untuk pemilik warung. CEO & Co-Founder Tokomodal Chris Antonius menerangkan, bisnisnya justru menunjukkan tanda peningkatan drastis karena transaksi warung yang meningkat.

“Ketika mal dan pusat belanja ditutup, masyarakat kembali belanja di warung buat beli kebutuhan pokok. Makanya pinjaman di Tokomodal justru naik. Terlebih itu, tenor kami hanya tujuh hari jadi turn over-nya cepat,” ujarnya.

Dari analisis perusahaan sejak dua bulan lalu hingga sekarang, Tokomodal tidak memiliki pengajuan restrukturisasi kredit. Untuk dukung operasional warung, kini perusahaan membuat program dukungan dengan membebaskan biaya admin setiap pengajuan pinjaman.

Kondisi sedikit berbeda dihadapi oleh Investree. Mereka mencatat dari total outstanding kredit sekitar 15% pinjaman yang berpotensi terkena dampak pandemi. Rata-rata industri tersebut bergerak di bidang ritel, seperti restoran dan kedai kopi.

Kurang dari 1% di antaranya adalah realisasi dari pinjaman yang pembayarannya terlambat. Sisanya, sekitar 2%-3% bersikap proaktif dengan meminta pengajuan restrukturisasi. Namun persetujuan ini tergantung dari keputusan pemberi pinjaman. Bentuk keringanan yang diberikan Investree yakni perpanjangan tenor dan payment holiday atau libur pembayaran.

“Kita enggak bisa langsung restrukturisasi karena p2p itu bukan on balance sheet, tapi off balance sheet. Jadi harus ada persetujuan dari lender, apakah setuju untuk restrukturisasi atau ada payment holiday,” tambah Chief Risk Officer Investree Amalia Safitri.

Hal yang sama juga dilakukan Crowdo. Perusahaan menganalisis bisnis peminjam yang terdampak pandemi sejak Maret lalu. Di antaranya consumer goods yang mengalami pengajuan keringanan tertinggi, ada juga sektor lainnya.

“Kami analisis peminjam mana yang kira-kira akan terdampak Covid-19. Pada April, sudah ada yang minta. Saat ini baru 3% peminjam yang mengajukan restrukturisasi. Kami berkomunikasi intensif dengan para peminjam yang meminta keringanan kredit untuk kontrol hariannya,” ujar COO Crowdo Indonesia Nur Fitriani.

Chris melanjutkan, dampak yang terasa setiap pemain p2p akan sangat tergantung pada segmen industri yang dilayani. Ambil contoh, bila ada warung makan yang mengajukan pinjaman produktif, tapi lokasi usahanya di lokasi wisata, otomatis bisnisnya akan ikut terdampak.

“Saya melihat pinjaman yang sifatnya justru lebih mendekati kebutuhan dasar akan meningkat bisnisnya. Logistik, alat kesehatan, e-commerce juga menunjukkan tren naik jumlah pinjamannya,” sambung Chris.

Ketua Bidang Humas dan Kelembagaan AFPI Tumbur Pardede menerangkan p2p lending berbeda dengan bank. Mereka hanya bertindak sebagai platform penyelenggara yang mempertemukan peminjam dan pemberi pinjaman. Jadi, platform tidak berwenang untuk memberikan persetujuan restrukturisasi tanpa persetujuan dari pemberi pinjaman.

“Namun penyelenggara dapat memfasilitasi permintaan pengajuan restrukturisasi bagi peminjam UMKM yang terdampak Covid-19 kepada pihak pemberi pinjaman,” tambahnya.

Hingga akhir Februari 2020, OJK mencatat penyaluran pinjaman p2p lending senilai Rp95,39 triliun naik 225,58% secara year on year. Dari sisi pemberi pinjaman ada 630 ribu entitas dan peminjam 22,32 juta entitas. Total penyelenggara p2p lending yang terdaftar di OJK ada 161 perusahaan, dengan 25 di antaranya sudah berizin.

Terus merekrut karyawan

Dampak Covid-19, bagi sebagian startup justru menjadi kesempatan untuk merekrut lebih banyak talenta baru. Tumbur yang juga CEO Tunaikita menerangkan, perusahaan merekrut lebih banyak tenaga customer service karena ada kebutuhan yang tinggi dalam hal komunikasi dengan para peminjam.

Selain itu, tenaga di bidang penilaian kini semakin dibutuhkan untuk melihat potensi di daerah baru yang tidak terdampak Covid-19 atau mencari peminjam baru. “Pengurangan karyawan belum berdampak, di industri justru makin dicari karyawan yang memang spesifik melakukan tugas-tugas dan fungsinya meningkat.”

Bisnis p2p lending, sambungnya, memperoleh pendapatan dari fee atas transaksi pinjam meminjam. Sementara, pendapatan bunga dan denda atas pinjaman adalah milik pihak pemberi pinjaman. Oleh karenanya, pendapatan mereka bergantung pada jumlah nilai penyaluran, sedangkan penyaluran ini tergantung pada kepercayaan pihak pemberi pinjaman terhadap kinerja platform.

“Momen ini sekaligus memperlihatkan fondasi bisnis yang kuat. Menurut efisien saya, momen-momen ini justru bisa menjadi pembuktian bahwa kita sudah melakukan yang benar [punya fondasi bisnis yang kuat],” tutup Chris.

KoinWorks Receives 316 Billion Rupiah Funding from European Financial Institution and Venture Capital

A fintech lending, KoinWorks, today (2/13) just announced new funding in two terms, equity and loan. The amount reaches US$20 million or around 316 billion Rupiah. Regarding investors, Quona Capital, EV Growth, and Saison Capital with participation of some others are involved in the equity. In terms of the loan, the company only reveals the two financial institutions that come from Europe.

This round has added up to the company’s capital after previously announced series B and B2 funding on November 2019 worth of SG$18.5 million (around 190 billion Rupiah) from Saison Capital. EV Growth and Quona Capital had first pour US$16.5 million (around 170 billion Rupiah). The flowing cash from investors has tightened its vision to be a “Super Financial App” in Indonesia.

“We are proud to announce funding from various sources amidst the challenging business situations. KoinWorks also stands along with some of the large financial institutions and hundreds of thousands retail investors to support digital SMEs during the Covid-19 outbreak,” KoinWorks’ Executive Chairman & Co-founder, Willy Arifin said.

In addition, KoinWorks also plans to use the fresh money for financial loans through the fintech lending platform. The new credit feature is provided by an international institution, namely Triodos Bank, global banking from the Netherlands.

In December 2019, the team has announced a new row of institutional lenders from abroad. Previously, there were only local financial institutions, including Sampoerna and Bank CIMB Niaga.

Investors are pouring money for Indonesian startups

The pandemic occurs in Indonesia and around the world has created difficulty for various life aspects, including the economy. Some startups had no other option than to downsizing business – including layoffs. While some others seem to be on-track in growth.

In addition to KoinWorks, several startups who have recently announced funding include Kargo Technologies (logistics), Investree (financial), WebTrace (logistics), BukuWarung (SaaS), and others.

DSResearch’s report has noted that during the first quarter of 2020, funding trends remained relatively normal. At least 20 funding transactions were announced to the public during the period. It includes Gojek’s Series F funding that reaches 21 trillion Rupiah.

Koinworks’s founder agreed, trusts from investors during these difficult times – especially from the outside – show a good indication for the digital ecosystem in Indonesia. At the same time providing slick business validation, bringing startups to sustainable growth.

“Investment from Triodos, especially during the current turbulence, shows extraordinary confidence in our ability as the best loan provider in the Indonesian fintech industry. We are pleased to have a leading international institution joining our ranks of investors while continuing to move forward,” KoinWorks CEO & Co-Founder, Benedicto Haryono said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

KoinWorks Dapat Pendanaan 316 Miliar Rupiah dari Institusi Finansial Eropa dan Pemodal Ventura

Startup fintech lending Koinworks hari ini (13/2) mengumumkan perolehan pendanaan baru dalam dua skema, yakni pinjaman dan ekuitasi. Nilainya mencapai US$20 juta atau setara 316 miliar Rupiah. Terkait investor, Quona Capital, EV Growth, dan Saison Capital dan beberapa lainnya terlibat di sisi ekuitas. Sementara untuk pemberi pinjaman, perusahaan hanya memberikan informasi bahwa berasal dari dua institusi finansial asal Eropa.

Pendanaan ini menambah pundi-pundi modal perusahaan setelah sebelumnya pada November 2019 mereka mengumumkan seri B dan B2 senilai SG$18,5 juta (setara 190 miliar Rupiah) dari Saison Capital. EV Growth dan Quona Capital terlebih dulu menggelontorkan dana US16,5 juta (sekitar 170 miliar Rupiah). Mulusnya dana dari investor akan semakin mengokohkan visinya menjadi “Super Financial App” di Indonesia.

“Kami dengan bangga mengumumkan penerimaan pendanaan dari berbagai sumber di tengah situasi bisnis yang menantang. KoinWorks juga tetap berdiri beriringan dengan berbagai institusi keuangan besar dan ratusan ribu pendana retail untuk mendukung UKM digital selama Covid-19 mewabah,” Executive Chairman & Co-Founder KoinWorks Willy Arifin.

Selain itu, KoinWorks juga mengumumkan penerimaan pendanaan yang akan dimanfaatkan untuk pembiayaan pinjaman melalui platform fintech lending. Fasilitas kredit baru tersebut salah satunya diberikan oleh sebuah institusi internasional, yaitu Triodos Bank, perbankan global asal Belanda.

Pada Desember 2019 lalu pihaknya memang sudah mengumumkan bahwa segera menambah deretan lender institusi dari luar negeri. Sebelumnya baru ada institusi finansial lokal, termasuk Sampoerna dan Bank CIMB Niaga.

Dana investor mengalir untuk startup Indonesia

Serangan pandemi di Indonesia dan dunia memang terbukti menyulitkan berbagai aspek kehidupan, tak terkecuali perekonomian. Sebagai dampak, beberapa startup memilih melakukan perampingan – termasuk dengan melakukan layoff. Sementara beberapa lain terlihat terus on-track dalam pertumbuhan.

Selain KoinWorks, beberapa startup yang baru-baru ini mengumumkan pendanaan termasuk Kargo Technologies (logistik), Investree (finansial), WebTrace (logistik), BukuWarung (SaaS), dan lain-lain.

Catatan DSResearch bahkan mengemukakan bahwa sepanjang kuartal pertama 2020, tren pendanaan masih relatif normal. Sekurangnya ada 20 transaksi pendanaan yang diumumkan ke publik di periode tersebut. Termasuk pendanaan Seri F yang kembali didapat Gojek mencapai 21 triliun Rupiah.

Senada dengan yang diyakini founder Koinworks, masih adanya kepercayaan dari investor di masa sulit seperti saat ini – terlebih dari luar—menjadi indikasi baik bagi ekosistem digital di Indonesia. Sekaligus memberikan validasi bisnis yang apik, membawa startup menuju pertumbuhan berkelanjutan.

“Investasi dari Triodos, terutama saat masa bergejolak seperti sekarang, menunjukkan kepercayaan diri yang luar biasa atas kemampuan kami sebagai penyedia pinjaman terbaik di kelas fintech Indonesia. Kami dengan senang memiliki institusi internasional terkemuka yang bergabung bersama jajaran investor kami seraya terus bergerak maju,” ujar CEO & Co-Founder KoinWorks Benedicto Haryono.

Application Information Will Show Up Here

Investree Raises 382 Billion Rupiah Funding of Series C’s First Round

The p2p lending startup, Investree announced the first round of Series C funding worth of $23.5 million (more than 382 billion Rupiah) led by MUIP, subsidiary of Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG), and BRI Ventures. Other investors participated are SBI Holdings and 9F Fintech Holding Group, both are the existing investors in Series B round.

In the online pers conference, Investree’s Co-founder & CEO, Adrian Gunadi explained, the fresh money will be channeled to tighten the company’s position as the leading p2p lending for SMEs and to support business in Thailand and the Philippines.

“The funding has closed since March 2020. In terms of close round, we’re still discussing in parallel with other potential investors. Whether there’s an adjustment of the total [funding], it’s still an ongoing process. It’s not because we’re currently well-capitalized,” he said on Wed (4/8).

Adrian also mentioned the funding received in the midst of this pandemic is proving investors’ strong confidence in the company’s strategy and management team. “A solid financial platform and conditions enable companies to tackle the current climate with confidence.”

The MUFG and BRI entrance through each of its ventures to Investree allows the company to deepen the partnership. MUFG is a shareholder of Bank Danamon. Synergy with the two banks, he added, is not new. Previously, Investree had begun to establish since 2016 with Bank Danamon and 2018 with BRI.

MUIP’s President and CEO’s Nobutake Suzuki said that he believes to invest in Investree because the company had good fundamentals in terms of performance, legality, and a mature background in the financial world. In addition, he saw the industry, Investree has a great opportunity to lead the lending market for SMEs.

CEO Nicko Widjaja added on his team’s interest is due to the success in serving underserved business segments, such as the creative industries. For conventional financial institutions, this segment tends to be full of risk. “We believe the collaboration between the BRI group and Investree, established since 2018, can contribute significantly to Indonesian economic growth.”

Investree secured  series B funding with an undisclosed value in mid-2018. At that time, the round was led by SBI Holdings Inc., then followed by MCI, Persada Capital, Endeavor Catalyst, 9F Fintech Holdings Group, and Kejora Ventures.

Investree’s next target

Adrian saw opportunity amidst the ongoing pandemic, the company is to enter the growing industry sector, health and telecommunications. These two sectors are considered to have significant opportunities and can be helped through financing, especially now that the health industry is at the forefront in fighting a pandemic.

In addition, to reduce the rate of bad loans, the company has established a series of risk mitigations, such as using credit insurance, restructuring and rescheduling, which are seen on a case-by-case basis. How the borrowers are performing and how far Covid-19 is impacting their business.

“To date, we are discussing with several borrowers from hospitality and retail. We see case by case what we can do. Whether the impact is short-term, needs to be restructured. We have prepared the template and are ready to submit it to lenders because we are not the financiers. ”

Regarding the company’s expansion into Thailand and the Philippines, it is still in the stage of processing business licenses. If nothing gets in the way, it is estimated no later than the third quarter of this year, license can be issued. “Currently, the licensing process is still according to our plan and there has been no change.”

“We enter these two countries by partnering with locals who know the business and regulation in the area.”

Until the beginning of April 2020, the company recorded a total loan of IDR 5.11 trillion and a disbursed loan value of IDR 3.83 trillion. The average rate of return starts at 16% and TKB90 90%. There are 1297 borrowers consisting of individuals and institutions.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here