Quick Commerce Startup Bananas Is Reportedly Received Seed Funding, Soon to Debut

Another online grocery platform arise. It’s called “Bananas”, this service applies the quick commerce concept with 10 minutes delievery guaranteed. The product categories ranged from meat, vegetables, drinks, and various other daily needs.

Based on the website, in the early stage, Bananas is available for users in the Kelapa Gading, Sudirman, and Senopati areas — soon to be available in Kuningan, Senayan, PIK, and surrounding areas.

Regarding funding, based on our source, the company also secured seed investment from a number of investors, including East Ventures and Arise.

In terms of purchasing, users can download the Bananas app on the Android or iOS platform. The app will confirm whether it is within the coverage area. If it is available, you can continue to order items according to the product SKUs.

After the payment is completed, the order will be shipped within 10 minutes after the packing finished. After the goods are shipped and received, the user has 10 minutes to make sure the order is correct. The delivery is carried out by Bananas trained partners.

Bananas was founded by Mario Gaw and Kristian Frits, they curently also participating in the Y Combinator (W22) program. Mario himself is quite familiar in the digital startup industry, he used to be Tiket.com’s CPO, Co-Founder of Cashbac, CEO of Dimo, General Manager of Rumah123.com and several executive positions in other digital companies.

Online groceries innovation in Indonesia

Previously, Astro came up with the same concept. The company recently announced a series A funding of IDR 387 billion. In Indonesia, the quick commerce concept is still relatively new, however, several overseas markets have already validated the business. For example in India, there is Zepto with a similar service. In Europe there is also Gorilla platform.

Quick commerce is basically one of the existing online grocery models. Previously, the Indonesian market had been introduced to the online grocery platform with Happy Fresh or Sayurbox. Although they do not guarantee fast delivery, they are able to deliver orders on the same day with an in-house logistics fleet.

Another concept is in the form of on-demand services, for example, presented by Titipku. They connect Jatiper (partners who shop for goods) scattered in various traditional markets to buy and deliver orders from consumers. Titipku currently accommodates more than 100 markets with nearly 500 thousand users.

Apart from that, unicorns also offer grocery-related sub-services by utilizing their ecosystem and platform. For example, Gojek with GoMart, Grab with GrabFresh, to Blibli with BlibliMart. Blibli seems serious enough to work on the potential of online grocery, last year they just completed a corporate action to acquire a majority stake in the parent company Ranch Market.

On the other hand, several retail companies have also begun to intensify its digital transformation by providing delivery services through applications. Indomaret did it with the KlikIndomaret application and website.

According our observation, the following are Indonesia’s online grocery platforms with the fastest user growth based on rankings in the Shopping category and the number of downloads:

App Rank Download
Klikindomaret 11 1 million+
Segari 23 100 thousand+
Sayurbox 26 1 million+
Pasarnow 30 100 thousand+
Titipku 40 100 thousand+
KitaBeli 42 100 thousand+
TaniHub 52 500 thousand+
LOTTEmart 92 50 thousand+
MyYOGYA 99 100 thousand+

The existing online grocery business models will ultimately provide flexibility for consumers. Moreover, since the pandemic, many people are considering to purchase their needs online to avoid crowds and physical contact. However, the progress of the retail business is also expected to have an impact on industry players – including MSMEs, market traders, to farmers – by including them in the supply chain.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Dikabarkan Dapat Pendanaan Awal, Startup “Quick Commerce” Bananas Segera Debut [UPDATED]

Satu lagi platform online grocery muncul. Bernama “Bananas”, layanan ini mengusung konsep quick commerce, menjanjikan proses pengiriman pesanan dalam 10 menit. Kategori produk yang disuguhkan mulai dari daging, sayur, minuman, dan berbagai kebutuhan harian lain.

Menurut informasi di situs webnya, di fase awal ini Bananas sudah bisa digunakan untuk pengguna di area Kelapa Gading, Sudirman, dan Senopati — segera menyusul di Kuningan, Senayan, PIK, dan sekitarnya.

Terkait pendanaan, dari data yang kami peroleh, saat ini mereka juga sudah mengamankan investasi awal dari sejumlah pemodal, termasuk East Ventures, SMDV, Arise, dan Y Combinator. Total pendanaan yang didapat adalah $1,5 juta sekitar 21,5 miliar rupiah.

Untuk melakukan pesanan, pengguna dapat mengunduh aplikasi Bananas yang terdapat di platform Android atau iOS. Aplikasi akan memastikan apakah area tempat tinggal sudah diakomodasi atau belum. Jika sudah, dapat melanjutkan membuat pesanan item belanja sesuai SKU produk.

Setelah pembayaran selesai, pesanan akan dikirim dalam waktu 10 menit setelah produk selesai dikemas. Setelah barang dikirim dan diterima, pengguna memiliki waktu 10 menit untuk memastikan pesanan sudah sesuai. Pengiriman barang dilakukan oleh mitra Bananas yang telah diberikan pelatihan.

Bananas didirikan oleh Mario Gaw dan Kristian Frits, saat ini mereka juga tengah mengikuti program Y Combinator (W22). Mario sendiri bukan orang baru di dunia startup digital, sebelumnya ia sempat menjadi CPO Tiket.com, Co-Founder Cashbac, CEO Dimo, General Manager Rumah123.com dan beberapa jabatan eksekutif di perusahaan digital lain.

Inovasi online grocery di Indonesia

Sebelumnya, Astro juga hadir dengan konsep yang sama. Baru-baru ini mereka umumkan pendanaan seri A senilai 387 miliar Rupiah. Di Indonesia konsep quick commerce memang relatif masih baru, namun demikian beberapa pasar di luar negeri telah terlebih dulu memvalidasi bisnis tersebut. Misanya di India, ada Zepto yang mengusung layanan serupa. Di Eropa juga ada Gorilla.

Quick commerce sendiri pada dasarnya satu dari varian model online grocery yang saat ini ada. Sebelumnya, pasar Indonesia sudah terlebih dulu dikenalkan dengan platform online grocery ala Happy Fresh atau Sayurbox. Kendati tidak menjanjikan pengiriman kiat, mereka mampu mengantarkan pesanan di hari yang sama dengan armada logistik yang juga dikelola sendiri.

Konsep lain berupa layanan on-demand, misalnya yang dihadirkan oleh aplikasi Titipku. Mereka menghubungkan Jatiper (mitra membelanjakan barang) yang tersebar di berbagai pasar tradisional untuk membelikan dan mengantar pesanan dari para konsumen. Saat ini Titipku sudah mengakomodasi lebih dari 100 pasar dengan hampir 500 ribu pengguna.

Di luar itu, para unicorn juga memiliki sub-layanan terkait grocery yang ditawarkan memanfaatkan ekosistem dan platform yang dimiliki. Misalnya Gojek dengan GoMart, Grab dengan GrabFresh, sampai Blibli dengan BlibliMart. Blibli sendiri tampak cukup serius untuk menggarap potensi online grocery, tahun lalu mereka baru menyelesaikan aksi korporasi mengakuisisi saham mayoritas perusahaan induk Ranch Market.

Di sisi lain, beberapa perusahaan ritel juga mulai menggencarkan transformasi digital mereka dengan menghadirkan layanan pesan-antar melalui aplikasi. Seperti yang dilakukan Indomaret dengan aplikasi dan situs web KlikIndomaret.

Dari data yang berhasil kami kumpulkan, berikut ini adalah platform online grocery di Indonesia dengan pertumbuhan pengguna paling pesat didasarkan pada peringkat di kategori Belanja dan jumlah unduhannya:

Aplikasi Peringkat Jumlah Unduhan
Klikindomaret 11 1 juta+
Segari 23 100 ribu+
Sayurbox 26 1 juta+
Pasarnow 30 100 ribu+
Titipku 40 100 ribu+
KitaBeli 42 100 ribu+
TaniHub 52 500 ribu+
LOTTEmart 92 50 ribu+
MyYOGYA 99 100 ribu+

Hadirnya berbagai model bisnis online grocery pada akhirnya akan memberikan keleluasaan pada konsumen. Terlebih, dari pandemi kemarin banyak orang yang kini mempertimbangkan pemenuhan kebutuhannya secara online untuk menghindari kerumunan dan kontak fisik. Namun demikian, kemajuan bisnis ritel ini juga diharapkan dapat berdampak kepada pelaku industri – termasuk UMKM, pedagang pasar, hingga petani—dengan mengikutsertakan mereka ke dalam rantai pasoknya.

Update: kami menambahkan nominal pendanaan yang didapat dan data investor. Pendanaan ini sudah dikonfirmasi dengan pengiriman rilis oleh East Ventures.

Application Information Will Show Up Here

Pandu Sjahrir Leads the Seed Funding for a Local AI Startup “Pensieve”

The artificial intelligence platform “Pensieve” announced the angel funding round from a group of individual investors with an undisclosed amount. Pandu Sjahrir led this round, followed by a number of other angels from Indonesia, Singapore and Brunei Darussalam whom identity are yet to disclose.

The Pensieve solution is an AI-based workflow engine software to help government and corporate institutions optimize business performance with better decision making. The work process starts from data integration/management, implementation of the decision-making engine, to displaying recommendation results into an application that is easy for users to read.

Pensieve plans to use the funding to accelerate product development and expand its market in Southeast Asia. In less than a year, Pensieve has grown with teams in Indonesia, Singapore and India.

This startup was founded in 2021 by Farina Situmorang (CEO). The mission is to empower large-scale organizations and enterprises to transform through AI-powered software. Farina believes that many organizations still have difficulty to optimally use its data.

“We are building an AI-based operational platform to allow better workflows and decision-making in various large-scale organizations,” Farina said.

Huge potential on the way

According to Kearney’s analysis, the application of artificial intelligence can have a significant overall impact on the operations of a business system. It is generally projected to increase 10 to 18 percent of GDP across Southeast Asia by 2030, equivalent to about $1 trillion. The data indicates that AI development and deployment is at an all-time high and Pensieve is poised to spearhead digital transformation in Southeast Asia.

“Pensieve has a very strong foundation and I feel very fortunate together with other angel investors to be able to participate in this angel round. I hope Pensieve can become a company that contributes more to the country and is able to become a large company to further expand in Southeast Asia,” Pandu Sjahrir said.

Pensieve believes that there is huge opportunity in Southeast Asia. “We believe with more support for Pensieve’s growth, we can help organizations in Southeast Asia who are facing the same problem and in need of use cases similar to the ones we have seen in Indonesia,” Farina added.

Indonesian based AI startups

A number of local founders have come up with AI-based solutions for different segments. Some of them have also received funding from investors. Take Datasaur, for example, a startup that focuses on providing data labeling services to help businesses develop more relevant and intuitive databases. This startup has been backed by Y Combinator, GDP Venture, and a number of other investors.

There is also Konvergen.ai, developing artificial intelligence technology for data capture needs – referring to the process of collecting data from paper or digital documents using optical character recognition (OCR) components. For more specific applications, there are Qlue and Nodeflux, the solutions help improve services in the public sector and present smart city-based solutions.

In a more basic level, AI technology has indeed been widely implemented to streamline a company’s business processes – especially digital. For example, fintech platforms that use AI technology in the form of machine learning to perform fraud detection. With the rise of many startups in this segment, it is expected to create a smart technology ecosystem that can provide many benefits for improving the welfare of the wider community through various efficiencies.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Astro Announces Series A Funding Worth of 387 Billion Rupiah

An online grocery start-up with the quick-commerce concept, Astro, announced $27 million Series A funding or equivalent to 387 billion Rupiah. The round was led by Accel and Sequoia Capital India. Some previous-funding venture capitalists were also invoved, including AC Ventures, Global Founders Capital, Lightspeed, and Goodwater Capital.

Some angel investors backed this company, including founders and senior executives from Traveloka, Ajaib, Meesho, OYO, Swiggy, and Udaan. Astro will immediately use the funds to expand its reach in Indonesia. In addition, it will be channeled to increase human resources up to 3 times by the end of 2022.

“Astro adheres to the mission to improve the quality of life of people in Indonesia by providing convenience shopping for daily needs. Our Astronauts [partners] are ready to deliver groceries and essentials within 15 minutes, therefore, you can spend time, energy and money on other things,” Astro’s Co-Founder & CEO, Vincent Tjendra said.

Since its launching in September 2021, Astro has established 15+ hubs throughout Jakarta with 1,500+ product SKUs, from food, vegetables, meat, and other daily necessities. The Astro app has been downloaded by hundreds of thousands of people on the Google Playstore. This hub is an important infrastructure for Astro, because their quick-commerce concept guarantees a maximum delivery process of 15 minutes after the order is completed — even for product returns if it doesn’t match.

Competition for the leading online grocery

Previously, in an interview with DailySocial.id, Vincent said, the quick commerce business model provides its own competitive advantages for Astro, including offering convenience and speed through instant delivery, a 24 hours online store with a wide variety of products to meet customer’s needs.

Astro uses the existence of ‘dark stores’ as distribution centers placed at various points to allow instant delivery services. Astro utilizes an in-house logistics fleet to accommodate all orders. The flat shipping cost per order is IDR 15 thousand with  the minimum transaction of IDR 50 thousand.

According to the data, the current retail sector in Indonesia for foodstuffs has a fairly low penetration, which is around 0.4% compared to the penetration of e-commerce that reaches 10%. However, the pandemic is widely seen as an opportunity for online grocery to build the market. According to the research, this sector is projected to grow at $6 billion in 2025.

In Indonesia alone, some players also provide similar services, here are the top list of leading applications on Google Play in the shopping category (as of 02 February 2022). This rating fluctuates, indicating the growth rate of downloads and usage of related apps.

App Rank Download
Klikindomaret 11 1 million+
Segari 23 100 thousand+
Sayurbox 26 1 million+
Pasarnow 30 100 thousand+
Titipku 40 100 thousand+
KitaBeli 42 100 thousand+
TaniHub 52 500 thousand+
LOTTEmart 92 50 thousand+
MyYOGYA 99 100 thousand+

Apart from the standalone grocery services, a number of local tech giants are getting serious to penetrate this segment. For example, Blibli with the BlibliMart. Also, the company has recently took a corporate action by acquiring a majority stake in the Ranch Market company – which is planned to be integrated to strengthen the online grocery line.

Other startups also gain significant support from investors, considering the market is still very “green” to work on. Earlier this year, KedaiSayur has received fresh funding from its parent company Triputra Group. A number of ex-Tanihubs also launched JaPang late this year to provide grocery services that focus on serving markets outside Java.

Meanwhile, last year, apart from Astro, a number of other startups received funding from investors, including Segari (Series A), Dropezy (Series A), Pasarnow (Series A), Segari (Series A), Titipku (Pre-Series A), HappyFresh (Series A). Series D), and Sayurbox (Series B).

“There are several things cannot be separate from e-commerce, one of which is that consumers always want faster delivery, more diverse choices, and appropriate pricing. The quick-commerce model answers all of these needs. With the rapid growth of the market in Indonesia, especially in the online groceries category, this certainly opens up a big market opportunity and deserves to be explored […],” Sequoia India’s VP, Aakash Kapoor said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Astro Umumkan Pendanaan Seri A 387 Miliar Rupiah

Startup online grocery berkonsep quick-commerce Astro mengumumkan telah mengumpulkan pendanaan seri A senilai $27 juta atau setara 387 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Accel dan Sequoia Capital India. Turut tergabung para pemodal ventura yang terlibat di investasi sebelumnya, termasuk AC Ventures, Global Founders Capital, Lightspeed, dan Goodwater Capital.

Sejumlah angel investor juga mendukung pendanaan ini, di antaranya founder dan eksekutif senior dari Traveloka, Ajaib, Meesho, OYO, Swiggy, dan Udaan. Dana segara akan dimanfaatkan Astro untuk memperluas jangkauan di Indonesia. Selain itu juga akan digunakan untuk meningkatkan SDM hingga 3x lipat hingga akhir tahun 2022 mendatang.

“Astro berpegang pada misi untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat di Indonesia dengan memberikan kenyamanan berbelanja kebutuhan sehari-hari. Astronauts [sebutan untuk mitra] kami siap mengirimkan bahan makanan dan kebutuhan pokok dalam waktu 15 menit sehingga Anda dapat menghabiskan waktu, energi, dan uang untuk menjalani hal-hal lainnya,” Co-Founder & CEO Astro Vincent Tjendra.

Sejak diluncurkan pada September 2021, , Astro telah mendirikan 15+ hub di seluruh Jakarta dengan 1.500+ SKU produk, mulai dari makanan, sayur, daging, dan kebutuhan harian lainnya. Aplikasi Astro sendiri telah diunduh oleh ratusan ribu orang di Google Playstore. Hub ini menjadi infrastruktur penting bagi Astro, pasalnya konsep quick-commerce mereka menjanjikan proses pengantaran maksimal 15 menit setelah pesanan selesai — pun untuk pengembalian produk jika tidak sesuai.

Berlomba menjadi online grocery terdepan

Sebelumnya dalam wawancara bersama DailySocial.id, Vincent mengatakan, model bisnis quick commerce memberikan keunggulan kompetitif tersendiri untuk Astro, antara lain menawarkan kenyamanan dan kecepatan melalui pengiriman instan, toko online yang buka selama 24 jam setiap hari, hingga variasi produk yang beragam untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.

Astro memakai memanfaatkan keberadaan ‘dark stores’ sebagai pusat distribusi yang diletakkan di berbagai titik untuk menikmati layanan instan pesan-antar. Astro memanfaatkan armada logistik in-house untuk mengakomodasi seluruh pesanan. Ongkos kirim yang ditetapkan per pesanan adalah Rp15 ribu dan minimal transaksi adalah Rp50 ribu.

Menurut data yang disampaikan, saat ini di Indonesia sektor ritel untuk bahan makanan memiliki penetrasi yang cukup rendah, yakni sekitar 0,4% dibanding dengan penetrasi e-commerce yang menapai 10%. Namun demikian, kondisi pandemi banyak dilihat sebagai kesempatan bagi online grocery untuk membentuk pasar. Menurut riset, sektor ini diproyeksi akan bertumbuh dengan nilai $6 miliar pada 2025 mendatang.

Di Indonesia sendiri sejumlah pemain juga turut memberikan layanan serupa, berikut ini beberapa di antaranya yang aplikasinya menduduki peringkat teratas di Google Play pada kategori belanja (per 02 Februari 2022). Peringkat ini fluktuatif, menunjukkan tingkat growth dari unduhan dan penggunaan aplikasi terkait.

Aplikasi Peringkat Jumlah Unduhan
Klikindomaret 11 1 juta+
Segari 23 100 ribu+
Sayurbox 26 1 juta+
Pasarnow 30 100 ribu+
Titipku 40 100 ribu+
KitaBeli 42 100 ribu+
TaniHub 52 500 ribu+
LOTTEmart 92 50 ribu+
MyYOGYA 99 100 ribu+

Di luar aplikasi yang secara standalone menghadirkan layanan grocery, sebenarnya sejumlah raksasa teknologi lokal juga mulai serius di sana. Misalnya yang dilakukan Blibli dengan menghadirkan BlibliMart. Tidak hanya itu, belum lama ini mereka melakukan aksi korporasi dengan mengakuisisi saham mayoritas perusahaan Ranch Market – yang rencananya akan diintegrasikan untuk menguatkan lini online grocery mereka.

Startup lain juga terus mendapatkan dukungan signifikan dari investor, mengingat pasar yang masih sangat “hijau” untuk digarap. Awal tahun ini KedaiSayur baru mendapatkan pendanaan segar dari induk perusahaannya Triputra Group. Sejumlah ex-Tanihub juga akhir tahun meluncurkan JaPang untuk menghadirkan layanan grocery yang fokus melayani pasar di luar Jawa.

Sementara tahun lalu, selain Astro, sejumlah startup lain menerima pendanaan dari investor, yakni Segari (Seri A), Dropezy (Seri A), Pasarnow (Seri A), Segari (Seri A), Titipku (Pra-Seri A), HappyFresh (Seri D), dan Sayurbox (Seri B).

“Ada beberapa hal yang tak terbantahkan dalam e-commerce, salah satunya bahwa konsumen selalu menginginkan pengiriman yang lebih cepat, pilihan yang lebih beragam, dan penetapan harga yang sesuai. Model quick-commerce menjawab semua kebutuhan tersebut. Dengan pesatnya pertumbuhan pasar di Indonesia, terutama di kategori online groceries, hal ini tentunya membuka peluang pasar yang besar dan layak dieksplorasi […],” jelas VP Sequoia India Aakash Kapoor.

Application Information Will Show Up Here

Ayoconnect Kantongi Pendanaan Seri B Senilai 215 Miliar Rupiah

Setelah mengantongi pendanaan pra-seri B senilai $10 juta pada akhir tahun 2021 lalu, ​​Ayoconnect kembali mengumumkan pendanaan untuk putaran seri B mereka. Kali ini nilai investasi yang didapat senilai $15 juta (setara dengan Rp215 miliar). Putaran teranyar ini dipimpin oleh Tiger Global, firma modal ventura yang juga berinvestasi di JD, Microsoft, dan Amazon.

Putaran pendanaan ini juga mendapatkan partisipasi dari perusahaan payment gateway global PayU dan firma manajemen investasi Alto Partners, serta investor individual Jerry Ng (Presiden Komisaris Bank Jago) dan William Hockey (salah satu pendiri perusahaan fintech Plaid).

Selanjutnya Ayoconnect akan menggunakan dana segar dari putaran pendanaan ini untuk mengembangkan inovasi  serta meluncurkan produk-produk baru, di antaranya API Direct Debit. API Direct Debit besutan Ayoconnect memungkinkan perusahaan ritel menghadirkan fitur pembayaran melalui pendebitan otomatis dari rekening pembeli dari enam bank ternama di Indonesia.

Fitur ini diyakini akan semakin meningkatkan kenyamanan pembeli, karena pembeli tidak perlu lagi melakukan transfer manual atau pun memasukkan informasi kartu debit atau kredit saat bertransaksi. Saat ini, Ayoconnect sedang menjalani proses diskusi untuk merangkul lebih banyak institusi finansial ke dalam ekosistemnya.

Dalam rilis yang diterima oleh DailySocial.id, Co-Founder & CEO Ayoconnect Jakob Rost mengungkapkan, pengalaman perusahaannya dalam membangun infrastruktur finansial di Indonesia selama enam tahun telah menjadikannya sebagai platform open finance kokoh dan paling dibutuhkan di Indonesia.

“Ayoconnect ingin membangun ekosistem terlengkap yang dapat mendukung pertumbuhan bisnis perusahaan berbagai skala, baik yang sudah berdiri sejak lama hingga calon tech unicorn di masa depan. Kami bangga atas kepercayaan yang telah diberikan oleh investor-investor terbesar di dunia untuk mewujudkan visi kami.”

Pertumbuhan bisnis

Sebagai platform open finance, saat ini Ayoconnect telah memiliki 500 juta API hit setiap tahunnya. Solusi API yang Ayoconnect bangun telah digunakan oleh lebih dari 200 perusahaan, termasuk di antaranya institusi finansial dan perusahaan teknologi terkemuka di Indonesia.

Kerja sama resmi dijalin dengan bank-bank besar di Indonesia juga memungkinkan Ayoconnect untuk menyediakan layanan data alternatif yang mencakup informasi keuangan pelanggan—baik yang sudah memiliki akses ke layanan perbankan (banked) maupun yang belum (unbanked)—untuk membantu perusahaan membuat keputusan yang lebih tepat serta menghadirkan layanan keuangan terpersonalisasi bagi pelanggannya.

Ayoconnect didirikan sejak tahun 2016 oleh Jacob bersama dua rekannya Chiragh Kirpalani (Co-Founder dan COO) dan Adi Vora (Co-Founder dan CTO) dengan fokus membangun solusi berbasis API untuk pembayaran tagihan dan produk digital lainnya. Kini perusahaan menyediakan layanan API untuk berbagai kebutuhan, yang mereka sebut sebagai API Full Stack (meliputi: Financial APIs, Bill APIs, Open Finance APIs, dan Insights APIs).

Platform open finance di Indonesia

Potensi yang dapat dihasilkan oleh platform open finance memang sangat besar di tengah pertumbuhan pesan bisnis fintech di Indonesia. Sederhananya, melalui platform open finance memungkinkan berbagai pengembang aplikasi digital untuk menyediakan kapabilitas fintech di dalam layanannya (embedded).

Selain Ayoconnect, saat ini terdapat beberapa pemain lain yang juga menghadirkan solusi open finance, yakni Brick, Brankas, Finantier, dan lain-lain. Brankas sendiri awal tahun ini juga mengumumkan perolehan pendanaan seri B senilai 287 miliar Rupiah yang dipimpin Insignia Ventures. Sementara Finantier telah mendapatkan dukungan dari Y Combinator, East Ventures, dan sejumlah investor lainnya.

Di sisi regulasi, ekosistem open finance juga turut didukung dengan adanya standardisasi Open API yang tahun lalu diresmikan oleh bank Indonesia. Ini menjadi tonggak penting, mengingat para pengembang platform menjajakan solusinya melalui sambungan API kepada para pelanggannya.

Pandu Sjahrir Pimpin Pendanaan Awal Startup AI Lokal “Pensieve”

Startup pengembang platform kecerdasan buatan “Pensieve” mengumumkan perolehan pendanaan angel round dari sekelompok investor individu dengan nominal dirahasiakan. Pandu Sjahrir memimpin putaran ini, diikuti sejumlah angel lain dari Indonesia, Singapura, dan Brunei Darussalam yang tidak disebutkan identitasnya.

Solusi Pensieve adalah perangkat lunak workflow engine berbasis AI untuk membantu institusi pemerintahan dan korporasi mengoptimalkan performa bisnis dengan pengambilan keputusan yang lebih baik. Proses kerjanya mulai dari integrasi/pengelolaan data, implementasi engine pengambilan keputusan, hingga menampilkan hasil rekomendasi ke dalam sebuah aplikasi yang mudah dibaca pengguna.

Pensieve berencana menggunakan pendanaan tersebut untuk mempercepat pengembangan produk dan memperluas pasarnya di Asia Tenggara. Dalam waktu kurang dari satu tahun, Pensieve telah berkembang dengan tim di Indonesia, Singapura, dan India.

Startup ini didirikan sejak 2021 oleh Farina Situmorang (CEO). Mereka memiliki misi untuk memberdayakan berbagai organisasi dan perusahaan berskala besar agar mampu bertransformasi melalui perangkat lunak yang didukung oleh AI. Farina percaya bahwa banyak organisasi yang masih belum dapat menggunakan data yang dimiliki secara optimal.

“Kami membangun platform operasional berbasis AI yang mampu menciptakan alur kerja dan pengambilan keputusan yang lebih baik dalam berbagai organisasi berskala besar,” jelas Farina.

Potensi besar yang ingin diraup

Menurut analisis Kearney, penerapan kecerdasan buatan dapat memiliki dampak keseluruhan yang signifikan dalam operasional suatu sistem bisnis. Secara umum diproyeksi dapat meningkatkan 10 hingga 18 persen dalam PDB di seluruh Asia Tenggara pada tahun 2030, setara dengan sekitar $1 triliun. Data tersebut mengindikasikan bahwa pengembangan serta penyebaran AI berada pada titik tertinggi sepanjang masa dan Pensieve siap menjadi ujung tombak transformasi digital di Asia Tenggara.

“Pensieve memiliki landasan yang sangat kuat dan saya merasa sangat beruntung bersama dengan rekan-rekan angel investor lainnya dapat berpartisipasi dalam angel round ini. Saya berharap Pensieve bisa menjadi perusahaan yang semakin banyak berkontribusi kepada negara dan mampu menjadi perusahaan besar yang bisa ekspansi di Asia Tenggara,” sambut Pandu Sjahrir.

Pensieve percaya bahwa ada peluang yang besar di Asia Tenggara. “Kami percaya bahwa dengan lebih banyak dukungan untuk pertumbuhan Pensieve, kami dapat membantu organisasi-organisasi di Asia Tenggara yang menghadapi masalah yang sama dan membutuhkan use cases yang serupa dengan yang telah kami lihat di Indonesia,” tambah Farina.

Startup AI dari Indonesia

Sejumlah startup dari founder lokal telah hadir dengan solusi berbasis AI untuk berbagai kebutuhan berbeda. Beberapa di antaranya juga sudah mendapatkan pendanaan dari investor. Misalnya Datasaur, startup yang fokus menyediakan layanan pelabelan data untuk membantu bisnis mengembangkan basis data yang lebih relevan dan intuitif. Startup ini telah didanai oleh Y Combinator, GDP Venture, dan sejumlah investor lainnya.

Ada juga Konvergen.ai, mengembangkan teknologi kecerdasan buatan untuk kebutuhan penangkapan data (data capture) – merujuk pada proses koleksi data dari dokumen kertas atau digital dengan menggunakan komponen optical character recognition (OCR). Untuk penerapan yang lebih spesifik, ada Qlue dan Nodeflux, solusinya membantu memperbaiki pelayanan di sektor publik dan menghadirkan solusi berbasis kota pintar.

Di tingkatan yang lebih mendasar, teknologi AI memang telah banyak diimplementasikan untuk mengefisiensikan proses bisnis suatu perusahaan – khususnya digital. Ambil contoh, para platform fintech yang memanfaatkan teknologi AI berupa machine learning untuk melakukan fraud detection. Dengan munculnya banyak startup di kategori ini, harapannya tentu terciptanya ekosistem teknologi cerdas yang dapat memberikan banyak manfaat untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat luas melalui berbagai efisiensi yang dihadirkan.

Dari Motor ke Mobil Bekas, CEO Moladin Jelaskan Alasan di Balik Perubahan Fokus Bisnis

Pekan lalu, Moladin secara resmi mengumumkan perolehan pendanaan seri A senilai $42 juta dipimpin Sequoia Capital India dan Northstar Group. Investasi ini akan difokuskan untuk meningkatkan bisnis transaksi mobil, dengan memperluas jaringan cabang dan model bisnis di dalamnya.

DailySocial.id berkesempatan untuk berbincang dengan Co-Founder & CEO Moladin Jovin Hoon, memaparkan tentang alasan perusahaan pivot dari produk motor ke mobil bekas, hingga strategi yang akan mereka andalkan di tengah persaingan ketat bisnis car marketplace.

Sebagai informasi, Jovin baru-baru ini diangkat menjadi CEO Moladin Indonesia. Sebelumnya ia menjabat sebagai COO.

Memutuskan untuk fokus ke mobil bekas

Didirikan tahun 2017 oleh Jovin Hoon dan Mario Tanamas, awal mulanya fokus Moladin menjembatani kebutuhan masyarakat untuk membeli motor. Namun demikian, sejak tahun 2021 lalu mereka mengalihkan fokus untuk sepenuhnya ke segmen jual-beli mobil bekas. Bahkan jika mengunjungi situs Moladin, saat ini sudah tidak ada lagi opsi “Motor” di menu yang tersedia.

“Pasar mobil bekas di Indonesia sangat terfragmentasi dan belum terorganisir, dengan banyak pemain seperti agen, diler mikro, dan juga diler besar. Selama pandemi, terjadi disrupsi di rantai pasokan yang mengakibatkan penurunan transaksi mobil, yang berimbas pada performa industri otomotif. Hal ini berdampak pada berbagai pemangku kepentingan dalam ekosistem otomotif, khususnya para agen, diler mikro, dan konsumen,” jelas Jovin.

Perubahan fokus bisnis tersebut membuahkan hasil. Jovin mengatakan selama 6 bulan terakhir Moladin mendapati pertumbuhan bisnis yang eksplosif. Ini turut memberikan keyakinan tersendiri kepada para founder untuk memfokuskan sumber daya yang dimiliki pada bisnis mobil bekas, dengan rencana jangka pendek untuk memperluas bisnis ke vertikal lain seperti pembiayaan dan layanan tambahan otomotif lainnya.

“Meskipun demikian, kami tidak menutup kemungkinan untuk masuk kembali ke segmen sepeda motor jika kami memutuskan untuk memperluas penawaran kami dalam ekosistem otomotif,” ujar Jovin.

Proposisi nilai Moladin

Tiga layanan utama Moladin

Kendati pemain digital yang mendemokratisasi pasar jual-beli mobil bekas secara kuantitas tidak banyak, namun beberapa startup yang saat ini bermain di pasar lokal telah memiliki dukungan kuat dari masing-masing investor. Sebut saja Carsome yang baru-baru ini menutup pendanaan seri E dan membawa valuasi perusahaan di angka $1,7 miliar — meskipun bukan terlahir di Indonesia, mereka memiliki kehadiran yang cukup kuat di sini. Pun demikian Carro yang tahun lalu juga baru menjadi unicorn.

Moladin sadar betul akan kondisi ini, untuk itu sejumlah model bisnis dan strategi di siapkan. Hal paling signifikan yang dirasa membedakan dengan car marketplace lainnya, Moladin fokus memberdayakan jaringan agen yang dimiliki.

“Agen kamilah yang membedakan kami. Mereka adalah kunci dan bagian integral dari bisnis kami. Dengan memberdayakan agen melalui penyediaan perangkat dan ekosistem yang tepat, kami dapat menawarkan pengalaman transaksi mobil yang sangat personal kepada pelanggan,” jelas Jovin .

Selain itu, adopsi teknologi juga akan menjadi fokus utama Moladin, guna mendigitalkan proses bisnis secara menyeluruh. Beberapa hal yang ingin ditawarkan di antaranya: (1) kecepatan transaksi dan pencairan di hari yang sama; (2) harga yang kompetitif; (3) pilihan inventaris yang baik; dan (4) aksesibilitas, dengan kehadiran yang kuat bahkan di luar kota-kota besar. Saat ini Moladin telah hadir di lebih dari 115 kota di seluruh Indonesia.

Model bisnis Moladin

Untuk tujuan jangka panjang Moladin, Jovin menjelaskan bahwa mereka ingin membangun sebuah one-stop-shop untuk semua kebutuhan otomotif, ditujukan kepada semua pemain di pasar. “Ketika orang berpikir tentang otomotif, kami ingin mereka tertuju pada Moladin. Dalam hal perjalanan pengguna secara keseluruhan, kami adalah platform omnichannel,” imbuhnya.

Untuk menggunakan layanan Moladin, setiap pelanggan (konsumen/diler) yang ingin bertransaksi mobil dapat melakukannya secara online (melalui aplikasi/situs web) atau offline (dengan menghubungi agen di lapangan). Penjual akan selalu menginginkan pencairan pembayaran yang cepat dan harga terbaik.

“Penjual biasanya menginginkan pencairan pembayaran yang cepat dan harga terbaik. Dengan layanan dipersonalisasi yang ditawarkan melalui agen kami dan kenyamanan transaksi dari aplikasi, Moladin dapat melakukan inspeksi dengan cepat, menyetujui harga layak dengan cepat, dan menawarkan kepada penjual pencairan dana pada hari yang sama setelah transaksi selesai,” jelasnya.

Sementara untuk pembeli, Moladin berupaya menyuguhkan pilihan inventaris yang lengkap. Melalui agen, pembeli dapat mendiskusikan kebutuhannya secara personal. Atau jika dibutuhkan, pembeli bisa juga datang ke warehouse terdekat untuk melihat produk yang tengah dijual.

“Setelah penutupan transaksi, kami dapat menawarkan opsi pembiayaan dan layanan tambahan lainnya kepada pelanggan kami melalui kemitraan yang kami miliki dengan perusahaan multi-financing terkemuka di Indonesia. Karena besarnya volume bisnis, melalui kami, perusahaan multi-financing dapat menawarkan kepada pelanggan kami tingkat pembiayaan yang paling kompetitif dengan persetujuan pinjaman dalam waktu yang singkat,” imbuh Jovin.

Pendekatan yang dilakukan Moladin dengan membangun semangat kewirausahaan dari jaringan agen dan diler, untuk menciptakan platform otomotif digital lengkap (full stack) dan memberikan pelatihan, bantuan, dan dukungan terbaik.

Dengan itu, Jovin mengatakan bahwa perusahaan telah melihat pertumbuhan pesat dari bisnis mobil bekas dengan volume transaksi tumbuh >20x lipat selama beberapa bulan terakhir. Platform Moladin juga dikatakan telah meningkatkan produktivitas agen dan diler hingga >2,5x lipat.

“Semua ini hanya bisa dicapai melalui pemberdayaan. Dengan menyediakan perangkat dan pelatihan yang tepat kepada agen kami, mereka dapat memanfaatkan platform digital Moladin dan menjadi wirausahawan mikro. Sebagai hasil dari peningkatan penjualan, agen-agen ini juga dapat memperoleh lebih banyak komisi, bekerja untuk meningkatkan taraf hidup mereka dan membuat kehidupan yang lebih baik untuk diri mereka sendiri,” terang Jovin.

Tantangan dalam jual-beli mobil bekas

Jovin juga menyoroti tantangan yang selama ini masih banyak dihadapi dalam transaksi jual-beli mobil bekas. Pertama, di sisi penjual, biasanya karena terdesak dan tidak mendapatkan jalur yang sesuai, mereka harus mendapati harga jual yang sangat rendah karena tidak memiliki daya tawar. Pun demikian bagi pembeli, saat harus mengunjungi dari gudang ke gudang, mereka mendapati pilihan mobil dan pembiayaan yang terbatas.

Kedua, karena fragmentasi pasar, agen dan diler  mikro juga menghadapi masalah yang sama yaitu persediaan dan seleksi persediaan yang terbatas. Banyak dari pedagang mikro ini juga tidak dapat mengakses pembiayaan. Hal ini membuat sangat menantang bagi mereka untuk menjalankan bisnis mereka dengan tepat. Semua pain points ini bahkan lebih diperparah selama pandemi, dan pasar mobil bekas mengalami pukulan besar.

“Tantangan-tantangan ini memberi Moladin kesempatan untuk masuk dan membuat perbedaan. Kami dapat mengaktifkan jaringan agen yang ada dan memberdayakan mereka dengan menyediakan perangkat dan sistem pendukung (misalnya layanan digital, kumpulan inventaris) untuk memungkinkan mereka mengembangkan bisnis mereka,” kata Jovin.

Jovin menambahkan, “Hasil dari upaya kami dapat dilihat dengan jelas melalui agen yang bertransaksi mobil melalui Moladin lebih banyak sekarang daripada sebelumnya (produktivitas telah meningkat setidaknya 2,5x). Penelitian di lapangan juga menunjukkan bahwa kami sekarang adalah satu-satunya pemasok inventaris ke sebagian besar diler mikro. Upaya kami juga telah membantu membuka akses terhadap kumpulan pasokan mobil bekas yang lebih besar.”

Fokus bisnis di tahun 2022

Jajarin tim Moladin / Moladin
Jajarin tim Moladin / Moladin

Setelah pendanaan ini, ekspansi besar-besaran akan menjadi fokus Moladin sepanjang satu tahun ke depan. Mereka menargetkan bisa hadir di 175 kota dengan 250 cabang dan warehouse. “Kami akan lebih meningkatkan proses bisnis dan mengoptimalkan layanan digital untuk meningkatkan pengalaman pengguna agen dan pelanggan kami, membuat transaksi dan pencairan pembayaran lebih aman, lebih cepat, dan jauh lebih lancar,” ujarnya.

“Keberhasilan agen-agen kami akan selalu menjadi area fokus utama, dan kami akan terus berinvestasi dalam agen kami dan pengembangan mereka. Kami percaya bahwa pengalaman agen yang lebih baik pada akhirnya akan menjadi pengalaman pelanggan yang lebih baik. Misi kami adalah menjadi katalis positif dalam mobilitas fisik dan sosial semua orang yang terlibat di dalamnya,” tutup Jovin.

Application Information Will Show Up Here

Aruna Discloses Additional Series A Funding of 431 Billion Rupiah

Aruna announced an additional funding for series A round worth of $30 million or around 431 billion Rupiah led by Vertex Ventures. Some previous investors also participated, including Prosus Ventures, AC Ventures, East Ventures (Growth Fund), Indogen Capital, SMDV, and SIG Venture Capital.

Aruna’s total funding in the latest series A investment has reached $65 million or equivalent to 934 billion Rupiah. Based on our data, Aruna’s current valuation is exceeding $200 million.

The fresh money will be used to boost expansion to various regions in Indonesia, while increasing Aruna’s market share in the global market. In addition, the company will use the funds to recruit local talent in building sustainable fisheries technology and infrastructure from upstream to downstream.

“This additional funding round has proven investors’ trust in Indonesia’s potential as the largest maritime country as well as Aruna’s role as a pioneer in this sector. Aruna is committed to continue building a wider impact for Indonesia, especially coastal communities,” Aruna’s Co-Founder & CEO, Farid Naufal Aslam.

He also said, “This is in line with the government’s agenda to encourage an inclusive and sustainable economy by encouraging the implementation of technology throughout the country. Our vision is to target Indonesia as the world’s maritime axis and we expect to achieve this by revolutionizing the fisheries supply chain, building financial inclusion and encourage the implementation of sustainable fisheries,”

In 2021, Aruna has built 100 fishery communities with over 26 thousand registered fishermen. In addition, they have also opened 5 thousand job vacancies in rural areas, especially coastal areas. Last year, they sold 44 million kilograms of fisherman’s catch to more than 8 countries. To date, Aruna has been operating in 27 provinces throughout Indonesia.

Tighten the B2B and B2C business model

Aruna’s products / Aruna

Was founded in 2016, Aruna provides a one-stop-shop and fisheries aggregator to streamline the supply chain of fishery products from fishermen to the global market. During 5 years of operation, Aruna claims to have increased up to 400x.

The company’s main features is the sales of fisherman’s fresh products. Aruna‘s system allows businesses to place orders in group (B2B) — including for export purposes overseas.

In addition, they also serve personal orders for smaller quantities (B2C). In addition to fresh fisheries, Aruna has started exploring processed products by empowering rural communities with an agenda to help improve the economy of coastal communities.

“Our mission is to make the ocean a better source of life for all with the Sea For All campaign. We are committed to building infrastructure that supports sustainable fisheries, because we believe that profit will be achieved by balancing humans and the environment,” Aruna’s Co-Founder & Chief Sustainability Officer, Utari Octavianty.

Startup in fishery sectors catch investor’s attention

As a maritime country, Indonesia holds a very big market share for fishery products. The increasingly mature digital ecosystem also build investors’ confidence to support startups with vision to democratize this sector.

Earlier this year eFishery has managed to bag 1.2 trillion Rupiah funding. On the general note, eFishery develops a number of technological tools and digital supply chain systems to help fish/shrimp farmers improve their business. JALA Tech, in November 2021, announced funding worth of IDR 85.7 billion from several impact investors. One month earlier, DELOS received seed funding from Arise and MDI Ventures.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Gajiku Snags 16 Billion Rupiah Seed Funding

The earned wage access (EWA) and HR platform, Gajiku, announced an early-stage investment worth of $1.1 million (approximately 16 billion IDR). This round was led by AC Ventures, with the participation of Agung Ventures, Monk’s Hill Ventures Scouts Program, Sampoerna, and several Indonesian angel investors.

The fresh money will be used for product, sales and business development to bring in new customers, focus on large companies, and increase the number of employees across all functions.

The startup was founded in January 2021 by several founders, including Sherman Tanuwidjaja (CEO), with expertise in developing technology focused HR solutions for large clients including Temasek; and Herry Gunawan (CTO), who was the former Head of Engineering at Ruangguru and Lead Engineer at Tokopedia.

The platform

Gajiku is a payroll and employee management solution provider that enables employees to access on-demand payroll through an employer-centric approach. Gajiku offers a complete suite of employee management processes for attendance, payroll disbursement, and KPI tracking, helping employers digitize their human capital and accounting operations.

Companies generally work with large corporations, such as large retail and manufacturing companies with over 1,500 employees per company in average. 90% of employees registered at Gajiku transact at least once a month through partnerships with conglomerates and Indonesian companies.

Gajiku is usually used by labor-intensive companies that employ thousands of blue-collar workers, most of whom are considered unbanked and may work in informal settings. Low financial literacy among Indonesian blue-collar workers has made them particularly vulnerable to moneylenders and other predatory lenders.

These workers are likely to live from paycheck to paycheck or possible to disappear from the workplace due to immense financial stress. By offering Gajiku’s on-demand payroll services, employers can provide a lifesaver for employees, helping them relieve financial stress and reduce employee turnover.

By combining access to earned wages with human resources and financial services, Gajiku is able to provide a complete range of services that increase business efficiency, reduce employee turnover, and provide financial well-being for the Indonesian working class.

“Indonesia’s blue-collar workforce has enormous potential, when assisted with the right tools and opportunities to develop. With more businesses putting Indonesia as part of a global supply chain, we are working with employers to improve employee management, while ensuring that their employees are in the best financial position to succeed,” Gajiku’s Co-founder and CEO, Sherman Tanuwidjaja said in an official statement, Thursday (27/1).

AC Ventures’ Managing Partner, Adrian Li added, considering the Indonesian workers often sign informal agreements, employee management is business’ top priority to increase efficiency and reducing turnover.

He believes that Gajiku’s company-centric approach will enable employers to positively impact the majority of employees through access to early wages (EWA) and other financial services possibilities. “We are very excited to support the Gajiku team as they change the way for managing employees in Indonesia,” Li said.

EWA’s penetration

In Indonesia, there are several startups that specifically provide EWA solutions, including GajiGesa, Gigacover, wagely, KoinGaji (from KoinWorks), and HaloGaji (from Halofina). The EWA concept is an adoption of similar solutions that have previously been present in developed countries.

Its existence most likely due to money as the main source of stress in Indonesia, citing the Health Living Index published by AIA. Household finances cause Indonesians more stress than work, relationships, or even physical health.

Another global survey by PwC in 2019 found that 67% of workers reported struggling with financial stress, resulting more than two-thirds of the working population are prone to migraines, depression and anxiety. Many studies have highlighted the effects of employee financial stress on business performance.

According to PwC, workers spend three or more hours per week focusing on financial matters rather than their work. Of the employees who reported financial stress, 12% lost their jobs because of the problem, and 31% felt their productivity was affected. One of three workers admit to being less productive at work because of financial stress.

PwC estimates for a company with 10,000 workers, all these financial stress-related problems could cost up to $3.3 million in one year.

In Indonesia alone, the lower middle class workers still dominate the working class. The World Bank noted that out of a total of 85 million income recipients which include employees, casual workers, and self-employed, only 13 million workers or 15% have enough income to support a middle class life with four family members.

Of this group, only 3.5 million or 4% of workers with middle-class income while enjoying full social benefits and having permanent employee status.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian