Grab Berinvestasi ke Putaran Seri C Bareksa

Hari ini (25/11), platform investasi Bareksa, Grab, dan OVO mengumumkan komitmennya untuk melakukan kolaborasi lebih dalam. Dalam kesempatan ini turut diumumkan, Grab telah masuk ke putaran pendanaan seri C Bareksa. Kendati demikian, tidak disebutkan lebih detail mengenai nominal dan investor lain yang terlibat. Adapun putaran ini dikatakan telah ditutup sejak Oktober 2021 lalu.

Disampaikan juga, bahwa putaran investasi ini menjadi kelanjutan dari pendanaan seri B sebelumnya yang diraih Bareksa 2 tahun lalu. Kala itu OVO juga turut menjadi salah satu investor, dengan dukungan sejumlah angel investor.

Country Managing Director Grab Indonesia Neneng Goenadi mengatakan, “Investasi kami di Bareksa memperkuat bisnis jasa keuangan di Indonesia dan mempertegas komitmen Grab Indonesia dalam mendorong perkembangan ekosistem startup. Dengan sinergi ini, kami juga berencana menawarkan peluang kepada mitra dan pengguna kami untuk berpartisipasi di pasar modal melalui platform Bareksa.”

Melalui sinergi ini, Bareksa akan mendapatkan akses ke pengguna dan mitra Grab, menawarkan mereka peluang investasi dengan pembayaran yang ditangani oleh OVO, sehingga diharapkan dapat membantu meningkatkan inklusi dan literasi keuangan di Indonesia.

“Pendanaan Grab ke Bareksa ini akan semakin mengukuhkan keberadaan Bareksa sebagai marketplace reksa dana online terintegrasi pertama di Indonesia yang berhasil menjadi platform e-investasi pilihan masyarakat melalui penawaran produk dan layanan investasi yang berkualitas, aman dan beragam,” sambut Co-Founder & CEO Bareksa Karaniya Dharmasaputra.

“Sinergi OVO-Bareksa telah membuktikan bahwa kolaborasi dan inovasi antara platform pembayaran digital dan wealthtech memiliki dampak positif yang riil dalam perluasan layanan pasar modal. Fitur OVO | Invest yang pertama kali diluncurkan di awal tahun 2021 dengan didukung Bareksa, kini telah berkembang dalam menawarkan produk reksa dana baik yang berbasis konvensional maupun syariah, telah berhasil menggaet ratusan ribu nasabah baru,” lanjut CEO OVO Jaygan Fu Ponnudurai.

Inisiatif Grab, Bareksa, OVO, dan BenihBaik

Dalam kesempatan yang sama, diumumkan juga inisiatif #ThREEforGood yang dijalankan bersama platform crowdfunding BenihBaik. Melalui program ini Grab, OVO, dan Bareksa akan mendonasikan 0,5% dari nilai transaksi dari setiap pembelian produk investasinya untuk disalurkan ke anak yatim piatu akibat Covid-19.

Di kesempatan tersebut Neneng juga mengonfirmasi adanya investasi dari Grab untuk BenihBaik. Dinakhodai oleh Andy F. Noya, BenihBaik menjadi platform penggalangan dana yang fokus untuk misi sosial. Dikabarkan BenihBaik juga telah mendapatkan pendanaan tahap awal dari Alpha JWC Ventures.

Jika ditelisik lebih dalam, keempat perusahaan saat ini memang memiliki ikatan strategis melalui investasi Grab. Bahkan untuk Bareksa-OVO lebih dalam lagi, mengingat saat ini Karaniya juga menjabat sebagai President OVO.

Application Information Will Show Up Here

Lakuuu Hadirkan Layanan Terpadu untuk Bantu UMKM Masuk ke Pasar Online

Menargetkan pelaku UMKM, Lakuuu menawarkan solusi all-in-one untuk pembuatan website bisnis dan pemasaran digital. Didirikan oleh Cynthia Tulus Makmud (CEO) bersama dengan dua rekannya yaitu Andry Tjiajadi dan Hendrawan Harjanto, mereka memiliki misi ingin mempermudah proses perpindahan UMKM ke platform digital dengan membangun situs promosi dan penjualan sendiri.

Setelah tahun 2020 perusahaan fokus untuk mengembangkan fitur hingga mengumpulkan pengguna tahap awal, bulan ini ini Lakuuu resmi melakukan grand launching kepada publik. Sejak meluncur, sudah ada lebih dari 4000 mitra UMKM dari seluruh Indonesia yang bergabung.

“Lakuuu didirikan di tengah pandemi. Selama ini efek pandemi yang kami rasakan adalah banyaknya bisnis UMKM offline yang ingin go-digital, sehingga target pasar kami juga meluas. Dari hanya menargetkan UMKM online, menjadi UMKM online dan offline. 30% dari seluruh pengguna kami berbasis offline dan belum pernah memiliki platform online sebelumnya,” kata Cynthia.

Meskipun saat ini sudah banyak platform yang menawarkan layanan serupa seperti Lakuuu, namun secara khusus mereka mengklaim memiliki perbedaan yang signifikan. Dengan menyediakan platform all-in-one, yang artinya pengguna tidak perlu melakukan integrasi atau menambahkan plugin lagi ke dalam situs mereka, karena semua layanan sudah disediakan secara holistik.

Plugin yang dimaksud di sini adalah untuk pengaturan produk, pengaturan konten, pembayaran, perhitungan ongkos kirim, bahkan layanan jemput paket. Platform lainnya biasanya menambahkan biaya/proses lanjutan yang memakan waktu apabila pengguna ingin memiliki fitur-fitur tersebut di dalam situs web mereka.

Melihat makin banyaknya pelaku UMKM yang menggunakan kanal marketplace seperti official store, Lakuuu juga menyediakan layanan konsultasi pemasaran digital untuk berbagai kanal penjualan.

“Kami percaya bahwa marketplace, media sosial, dan situs web memiliki fungsi dan nilai tambah yang berbeda bagi pengguna. Ketiganya perlu dikelola dengan maksimal untuk membantu perkembangan bisnis. Lakuuu selalu memberikan pemahaman ini kepada calon pengguna, agar manajemen semua platform dilakukan sesuai dengan fungsinya,” kata Cynthia.

Rencana Lakuuu tahun 2022

Setelah meresmikan kehadirannya, Lakuuu menghadirkan banyak fitur baru untuk menambah kualitas layanan dan memberi kemudahan para merchant. Di antaranya adalah desain dasbor baru yang lebih sederhana dan memudahkan operasional.

“Lakuuu memberikan masa coba gratis selama 2 bulan kepada setiap pengguna, kemudian diikuti dengan periode berlangganan apabila pengguna ingin terus mengaktifkan website mereka. Masa coba gratis selama 2 bulan kami rasa lebih dari cukup untuk pengguna dapat mengisi situs web mereka dan mencoba mengoperasikan atau berjualan lewat web,” kata Cynthia.

Tercatat pertumbuhan jumlah pengguna Lakuuu mencapai lebih dari 200% dalam 3 bulan terakhir. Tahun ini, mereka juga mencatat GMV hampir Rp1 miliar. Ke depannya, Lakuuu berencana untuk melakukan kerja sama dengan beberapa pihak yang memiliki misi yang sama untuk mendigitalisasi UMKM Indonesia untuk mencapai peningkatan GMV sebesar 8-10x lipat di tahun depan.

Perusahaan juga memiliki rencana untuk melakukan penggalangan dana tahapan seri A tahun 2022 mendatang. Sebelumnya Lakuuu telah menerima pendanaan tahap awal dari sejumlah angel investor dan dana milik para pendirinya.

“Di tahun 2022 Lakuuu ingin memperkaya produk dan jasa yang ditawarkan, khususnya di bagian digital marketing. Lakuuu akan membentuk ekosistem dengan layanan fintech dan industri kreatif di Indonesia, sehingga para pengguna kami dapat terhubung dengan koneksi-koneksi yang tepat untuk mengembangkan bisnis mereka dari berbagai aspek, mulai dari finansial, pengadaan barang, sales, hingga pemasaran produk,” kata Cynthia.

Pertumbuhan e-commerce enabler di Indonesia

Startup e-commerce enabler menyediakan layanan strategi digital A-Z (end-to-end) ke unit bisnis lain yang ingin menjual produknya secara online. Ragam layanan yang ditawarkan meliputi produksi konten, pembuatan halaman di marketplace, pembuatan situs web, eksekusi pemasaran, integrasi kanal penjualan online, hingga pengiriman produk ke pelanggan.

Menurut data dari KemenkopUKM, jumlah UMKM yang ‘go digital’ di Indonesia mengalami kenaikan sebesar 99% dibanding masa sebelum pandemi. UMKM yang beradaptasi secara digital naik mencapai 15,9 juta atau 24,9% dari total pelaku UMKM yang sekitar 65 juta. Sebelumnya, di Indonesia hanya terdapat sekitar 8 juta UMKM yang terhubung secara digital.

Untuk membantu pebisnis go-digital, saat ini sudah ada beberapa paltform yang terseida untuk pasar lokal, seperti aCommerce, SIRCLO, 8Commerce, JetCommerce dan Anchanto.

Permasalahan utama yang dihadapi pelaku UMKM / DSInnovate

Menurut laporan DSInnovate bertajuk “MSME Empowerment Report 2021“, dari hasil survei yang dilakukan, salah satu permasalahan paling signifikan ialah memasarkan dan menjual produknya. Kondisi ini menjadi relevan bagi para pemain e-commerce enabler, karena tujuan utama solusinya memecahkan pain point tersebut. Hadir ke ranah online juga akan memberikan perluasan pasar bagi pelaku UMKM itu sendiri.

Pintek Secures Nearly 100 Billion Rupiah Series A Funding to Enhance SME Financing for Educational Purposes

Education focused fintech lending startup, Pintek, announced the Series A funding of $7 million (nearly 100 billion Rupiah) through its parent company, Socap Holding Pte. Ltd. Therefore, Pintek has raised a total funding of more than $35 million.

There are new investors involved in this round, including Kaizenvest, Heritas Capital, Blue7, and Earlsfield Capital. The previous investors, such as Finch Capital, Global Founder Capital (GFC), Accion Venture Lab, Strive, and Fox Ventures, also participated.

Ioann Fainsilber as the CEO of Socap Holding Pte. Ltd. and Pintek’s Co-Founder said, Pintek aims to maximize its role in supporting the education sector in Indonesia. The company’s proposition is claimed to be validated with the increasing volume of funding, over five times in the first half of 2021, compared to the same period last year.

Throughout the Covid-19 situation, he and his team focused on maintaining capacity to operate in effective ways, such as adapting its product portfolio, launching new solutions for the education ecosystem, strengthening the capital structure, and expanding reach across Indonesia.

“We want to be one of the drivers to accelerate technology penetration of inclusive and high-quality educational and financial service products in Indonesia,” Fainsilber said in an official statement, Tuesday (23/11).

Pintek’s Co-Founder and President Director, Tommy Yuwono said that the company will use the fresh funding to focus on business development in order to reach more users, improve services, develop products and provide easier access for all students/parents, teachers, schools, and educational based SMEs.

“We discover an increasing demand in the education sector and intend to accelerate the accessibility of financial services in Indonesia by serving the whole ecosystem.”

Kaizenvest’s Principal, Gaurav Jain said, “As an education-focused investment backer, we are very impressed with what Pintek has built in Indonesia in the last three years, combining social impact and innovative financial services for their users. Kaizenvest expects to support the rapid digitization of Indonesia’s education sector by ensuring high-quality learning opportunities are available to a wider community.”

“We are very pleased to welcome our collaboration with Pintek because we believe the company is developing a comprehensive solution that will have a multiplier effect in improving the quality of access to the entire education ecosystem,” he said.

The ongoing pandemic has affected the educational infrastructure and resulting in highly limited access to education in Indonesia. More than 68 million students have to study from home, and more than 642,000 educational institutions’ operations are affected.

The difficulty of transforming educational institutions to online learning and the lack of digitalization have become significant challenges that affect teaching and learning activities, and the urgent need for education encourages Pintek to present innovation to solve these problems.

Was founded in 2018, Pintek and its affiliates have supported more than 2,750 educational institutions and 100 educational SMEs to reach more than 650 thousand students, and provide financial education content for public with 1.3 million unique monthly visitors. This series of achievements has encouraged Pintek to target 10 million customers in the ecosystem within the next five years.

Focus on educational vendor

Previously, Tommy revealed that the company has started to focus on channeling fund for educational based SMEs/vendors since last year by providing business capital loans to fulfill the procurement of school facilities and infrastructure in Indonesia.

Based on Pintek‘s analytical research in July 2021 on more than 80 educational based SMEs/vendors, most of them still rely on private funding for their company’s capital and operations. Around 90% of self-financing SMEs/vendors required Rp. 200 million cash flow in average for its operations, especially for providers of books and learning support tools. As many as 57% have experienced funding difficulties at least twice in the last two years.

“From Pintek’s research, we also found that SMEs/Vendors are still not familiar with funding from financial technology. This is certainly a challenge for us to be able to educate the audience more massively and thoroughly. Vendors/SMEs don’t need to worry because we already have a license and all services and operational activities are under the supervision of the OJK,” Tommy continued.

Pintek is targeting a disbursement of up to Rp700 billion this year, with optimal funding readiness to meet demands from educational based SMEs/vendors. Since 2019, Pintek has distributed funding to more than 3 thousand students and more than 100 educational institutions. Its realization in the first semester of 2021 is claimed to increase fourfold year-on-year with a value of hundreds of billions of Rupiah.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pintek Raih Pendanaan Seri A Hampir 100 Miliar Rupiah, Perkuat Pembiayaan UMKM Khusus Pendidikan

Startup fintech lending untuk edukasi Pintek mengumumkan perolehan pendanaan Seri A senilai $7 juta (hampir 100 miliar Rupiah) melalui perusahaan induknya, Socap Holding Pte. Ltd. Dengan demikian, total pendanaan yang terkumpul Pintek sejauh ini sudah lebih dari $35 juta.

Investor baru yang masuk pada putaran ini adalah Kaizenvest, Heritas Capital, Blue7, dan Earlsfield Capital. Investor terdahulu, seperti Finch Capital, Global Founder Capital (GFC), Accion Venture Lab, Strive, dan Fox Ventures, turut berpartisipasi dalam putaran ini.

CEO Socap Holding Pte. Ltd. & Co-Founder Pintek Ioann Fainsilber mengatakan, keinginan yang besar dari Pintek untuk memaksimalkan perannya dalam mendukung sektor pendidikan di Indonesia. Proposisi perusahaan diklaim tervalidasi dengan meningkatnya volume pendanaan naik lebih dari lima kali lipat pada semester pertama 2021 dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu.

Sepanjang Covid-19, ia dan tim fokus untuk mempertahankan kemampuan kami untuk beroperasi dengan berbagai cara yang efektif, termasuk mengadaptasi portofolio produk, meluncurkan solusi baru untuk ekosistem pendidikan, memperkuat struktur permodalan, dan memperluas jangkauan di seluruh Indonesia.

“Kami ingin menjadi salah satu pendorong untuk mempercepat penetrasi teknologi pendidikan dan produk layanan keuangan yang inklusif dan berkualitas tinggi di Indonesia,” ucap Fainsilber dalam keterangan resmi, Selasa (23/11).

Co-Founder dan Direktur Utama Pintek Tommy Yuwono menambahkan, fokus dana segar akan dimanfaatkan Pintek untuk pengembangan bisnis agar dapat menjangkau lebih banyak pengguna, meningkatkan layanan, mengembangkan produk sehingga lebih mudah digunakan untuk semua siswa/orang tua, guru, sekolah, dan UKM pemasok pendidikan.

“Kami melihat adanya peningkatan perminaan di sektor pendidikan dan ingin mendorong aksesibilitas layanan keuangan di Indonesia dengan melayani seluruh ekosistem.”

Principal Kaizenvest Gaurav Jain mengatakan, sebagai pemberi investasi yang berfokus pada pendidikan, pihaknya sangat terkesan dengan apa yang telah dibangun oleh Pintek di Indonesia dalam tiga tahun terakhir, menggabungkan dampak sosial dan layanan keuangan inovatif bagi pengguna mereka. Kaizenvest ingin mendukung digitalisasi yang cepat dari sektor pendidikan Indonesia dengan memastikan bahwa kesempatan belajar berkualitas tinggi tersedia untuk segmen masyarakat yang lebih luas.

“Kami sangat senang dengan kolaborasi kami dengan Pintek karena kami percaya bahwa Pintek sedang mengembangkan solusi komprehensif yang akan memiliki efek berganda dalam meningkatkan kualitas akses ke seluruh ekosistem pendidikan,” ujarnya.

Pandemi yang berlangsung selama ini telah memengaruhi infrastruktur pendidikan dan sangat membatasi akses pendidikan di Indonesia. Lebih dari 68 juta siswa harus belajar dari rumah, dan lebih dari 642 ribu institusi pendidikan terkena dampak operasionalnya.

Sulitnya transisi lembaga pendidikan ke pembelajaran online dan kurangnya digitalisasi telah menjadi tantangan signifikan yang memengaruhi kegiatan belajar mengajar, serta kebutuhan mendesak untuk pendidikan membuat Pintek hadir dalam memberikan inovasi kepada permasalahan tersebut.

Sejak didirikan pada 2018, Pintek dan afiliasinya telah mendukung lebih dari 2.750 institusi pendidikan dan 100 UKM pendidikan untuk menjangkau lebih dari 650 ribu siswa, serta menyediakan konten edukasi keuangan kepada masyarakat dengan 1,3 juta pengunjung unik setiap bulan. Pencapaian tersebut, membuat Pintek optimis menargetkan 10 juta pelanggan di ekosistem dalam lima tahun ke depan.

Fokus pembiayaan untuk vendor pendidikan

Sebelumnya, Tommy mengungkapkan sejak tahun lalu, perusahaan mulai memfokuskan pendanaan untuk UKM/vendor pendidikan dengan menyediakan pinjaman modal usaha untuk pemenuhan pengadaan sarana dan prasasarana sekolah di Indonesia.

Berdasarkan riset analitik Pintek di bulan Juli 2021 pada lebih dari 80 UKM/Vendor pendidikan, mayoritas masih mengandalkan pendanaan pribadi untuk modal dan operasional perusahaannya. Sebesar 90% dari UKM/vendor swadana membutuhkan arus kas di kisaran Rp200 juta untuk operasional mereka, khususnya pada penyedia buku dan alat penunjang pembelajaran. Sebanyak 57% di antaranya mengalami kesulitan pendanaan setidaknya hingga dua kali dalam dua tahun terakhir.

“Dari riset Pintek, kami juga menemukan bahwa UKM/Vendor masih belum familiar dengan pendanaan oleh financial technology. Hal Ini tentu menjadi tantangan bagi kami untuk bisa mengedukasi khalayak secara lebih masif dan menyeluruh. Vendor/UKM tidak perlu khawatir karena kami sudah mengantongi izin dan seluruh layanan serta kegiatan operasional di bawah pengawasan oleh OJK,” lanjut Tommy.

Tahun ini Pintek menargetkan penyaluran hingga Rp700 miliar dengan kesiapan dana yang optimal untuk memenuhi permintaan dari UKM/vendor pendidikan. Sejak 2019, Pintek sudah menyalurkan pendanaan ke lebih dari 3 ribu siswa dan lebih dari 100 institusi pendidikan. Realisasinya pada semester I 2021 diklaim naik empat kali lipat secara year-on-year dengan nilai ratusan miliar Rupiah.

Alpha JWC Participates in the Funding for “Pace” Paylater Startup

Pace paylater aka BNPL (buy now pay later) startup announced $40 million (over 569 billion Rupiah) funding in series A round. Several investors joining the round, including UOB Venture Management, Marubeni Ventures, Atinum Partners, AppWorks, and a series of family business from Japan and Indonesia.

Previous investors, such as Vertex Ventures Southeast Asia, Alpha JWC Ventures, and Genesis Alternative Ventures also participated. All three chipped in a seven-figure value for the early-stage funding this year.

In an official statement, Pace’s Founder & CEO, Turochas ‘T’ Fuad explained, this round of investments came from some of the most successful and established investors which signifies their belief that Pace is the leading BNPL player in Asia.

“This area is expected to be the fastest growing BNPL market in the world. This funding will support Pace in achieving its mission to democratize financial services for all, and help us expand into Japan, Korea and Taiwan,” said T.

UOB Venture Management’s Executive Director, Paul Ng added, “We are impressed by Pace’s founders’ clear vision, rapid growth and experience not only in BNPL payments, but in its progress in creating financial inclusion, and remain confident in their ability to revolutionize financial services.”

After this investment round, Pace is said to be the fastest growing multi-region BNPL player from Singapore. The company will use its fresh funding to expand technology, operations and business development, to achieve a $1 billion Gross Merchandise Value by 2022 and grow its user base by 25 times over the next 12 months.

To date, Pace has more than 3 thousand points of sale throughout the region, engaged in various types of businesses, from fashion, fitness, F&B, education, jewelry, hobbies, services, electronics, and others. The company leveraged its technology to increase overall sales by up to 25% by leveraging local customer insights, while driving repeat purchases from a rapidly growing user base.

T launched Pace earlier this year. It has successfully expanded its overseas operations in collaboration with regulators and adapting ultra-local approaches, such as integrating payment methods in frequently used markets to build resonance with merchants and buyers. This strategy will continue to replicate the hyperlocal framework as it rolls out in new countries.

Pace enables consumers to split their purchase bill into three interest-free payments over 60 days, through an omnichannel experience that helps consumers for sustainable shopping.

Pace aims to create financial inclusion for consumers in the region, by helping them control and shop at their own pace, while helping merchants meet growing consumer demand and increase sales efficiency. Currently, Pace operates in Singapore, Malaysia, Hong Kong and Thailand.

Yet to enter the Indonesian market

Pace is yet to plan expansion to Indonesian market. However, this market segment is already crowded with players from both local and overseas. Its implementation appears in many applications, from digital wallets, ticket bookings, to the most popular on e-commerce platforms and/or online marketplaces.

BNPL is one of the promising fintech segments in Southeast Asia. According to research conducted by Google, Temasek Holdings and Bain & Co., about half of Southeast Asia’s nearly 400 million adults are unbanked.

Over 90 million people are “underbanked”: They have bank accounts but do not have adequate access to investment, insurance or credit products. Millions of small and medium-sized businesses also face significant funding gaps, according to the study. This problem is getting spiky in Indonesia, where more than 70% of adults—about 140 million people—are unbanked or unbanked.

Data rewritten by Nikkei Asia


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Alpha JWC Ventures Kembali Berpartisipasi dalam Pendanaan Startup Paylater “Pace”

Startup paylater alias BNPL (buy now pay later) Pace mengumumkan telah mengumpulkan $40 juta (lebih dari 569 miliar Rupiah) dalam putaran pendanaan seri A. Investor yang bergabung dalam putaran tersebut adalah UOB Venture Management, Marubeni Ventures, Atinum Partners, AppWorks, dan serangkaian kantor keluarga dari Jepang dan Indonesia.

Investor sebelumnya, Vertex Ventures Southeast Asia, Alpha JWC Ventures, dan Genesis Alternative Ventures juga berpartisipasi. Ketiganya menyuntik Pace dalam pendanaan tahap awal dengan nilai tujuh digit pada awal tahun ini.

Dalam keterangan resmi, Founder & CEO Pace Turochas ‘T’ Fuad menerangkan, putaran investasi ini datang dari beberapa investor paling sukses dan mapan yang menandakan keyakinan mereka bahwa Pace adalah pemain BNPL terkemuka di Asia.

“Kawasan ini diharapkan menjadi pasar BNPL dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Pendanaan ini akan mendukung Pace dalam mencapai misinya untuk mendemokratisasi layanan keuangan untuk semua, dan membantu kami ekspansi ke Jepang, Korea, dan Taiwan,” ujar T.

Direktur Eksekutif UOB Venture Management Paul Ng menambahkan, “Kami terkesan dengan visi yang jelas dari pendiri Pace, pertumbuhan yang cepat, dan pengalaman tidak hanya dalam pembayaran BNPL, tetapi dalam kemajuannya dalam menciptakan inklusi keuangan, dan tetap percaya diri dengan kemampuan mereka untuk merevolusi layanan keuangan.”

Setelah putaran investasi ini, diklaim Pace menjadi pemain BNPL multi-wilayah dengan pertumbuhan tercepat dari Singapura. Pendanaan baru ini akan digunakan perusahaan untuk memperluas teknologi, operasi, pengembangan bisnis, untuk mencapai nilai Gross Merchandise Value sebesar $1 miliar pada 2022 dan menumbuhkan basis penggunanya sebesar 25 kali pada 12 bulan ke depan.

Hingga saat ini, Pace memiliki lebih dari 3 ribu titik penjualan di seluruh wilayah, bergerak dari berbagai jenis usaha, mulai dari fesyen, fitness, F&B, edukasi, perhiasan, hobi, jasa, elektronik, dan lainnya. Perusahaan memanfaatkan teknologinya untuk meningkatkan penjualan secara keseluruhan hingga 25% dengan memanfaatkan wawasan pelanggan lokal, sambil mendorong pembelian berulang (repeat purchase) dari basis pengguna yang berkembang pesat.

Pace diluncurkan oleh pada awal tahun ini oleh T. Ia berhasil mengembangkan operasinya di luar negeri bekerja sama dengan regulator dan mengadaptasi pendekatan ultra-lokal, seperti mengintegrasikan metode pembayaran dalam pasar yang sering digunakan untuk membangun resonansi dengan pedagang dan pembeli. Strategi ini akan terus mereplikasi kerangka kerja hiperlokal saat diluncurkan di negara-negara baru.

Pace memungkinkan konsumen untuk membagi tagihan pembelian mereka menjadi tiga kali pembayaran bebas bunga selama 60 hari, melalui pengalaman omnichannel yang membantu konsumen berbelanja secara berkelanjutan.

Pace bertujuan untuk menciptakan inklusi keuangan bagi konsumen di wilayah tersebut, dengan membantu mereka mengendalikan dan berbelanja sesuai keinginan mereka, sambil membantu pedagang memenuhi permintaan konsumen yang meningkat dan meningkatkan efisiensi penjualan. Saat ini, Pace beroperasi di Singapura, Malaysia, Hong Kong, dan Thailand.

Belum ada rencana masuk Indonesia

Belum dipaparkan kapan rencana Pace untuk hadir di Indonesia. Namun, segmen pasar ini sudah ramai diisi oleh banyak pemain baik dari lokal maupun luar negeri. Implementasinya muncul di banyak aplikasi, mulai dari dompet digital, pemesanan tiket, sampai yang paling populer di platform e-commerce dan/atau online marketplace.

BNPL adalah salah satu segmen fintech yang menjanjikan potensinya di Asia Tenggara. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Google, Temasek Holdings dan Bain & Co., sekitar setengah dari hampir 400 juta orang dewasa di Asia Tenggara tidak memiliki rekening bank.

Lebih dari 90 juta lebih “underbanked”: Mereka memiliki rekening bank tetapi tidak memiliki akses yang memadai ke produk investasi, asuransi, atau kredit. Jutaan usaha kecil dan menengah juga menghadapi kesenjangan pendanaan yang signifikan, menurut penelitian tersebut. Masalah ini lebih pelik di Indonesia, di mana lebih dari 70% orang dewasa—sekitar 140 juta orang—tidak memiliki rekening bank atau unbanked.

Grafik dioleh kembali oleh Nikkei Asia
Application Information Will Show Up Here

Trihill Capital Suntik Pendanaan “Hey! Kafe”, Percepat Ekspansi dan Segera Rilis Aplikasi

Startup new economy Hey! Kafe mengumumkan perolehan investasi tahap awal dengan nominal dirahasiakan dari Trihill Capital. Dana segar ini akan dimanfaatkan untuk mempercepat ekspansi 300 gerai sampai akhir tahun depan dan merilis aplikasi guna dorong transaksi dari kanal digital.

Hey! Kafe dirintis pada Juni 2020 oleh Edwin Djaja. Ia merupakan pendiri Seven Retail, sebuah perusahaan multi-brand yang menaungi berbagai merek — salah satunya Golden Lamian, chinese fast-casual chain terkemuka di Indonesia, yang saat ini memiliki lebih dari 70 gerai sejak didirikan pada 2017.

Hey! Kafe didesain sedemikian rupa agar dapat bergerak lincah di tengah persaingan yang ketat di industri ritel F&B dengan memanfaatkan kehadiran teknologi. Dalam keterangan resmi, Edward mengatakan Hey Kafe menggunakan strategi Same Store Sales Growth, yang fokus menaikkan penjualan rata-rata per cabang, bukan hanya menaikkan penjualan dengan menambah total jumlah cabang.

Strategi ini membuat tiap cabang mampu memperoleh pengembalian investasi di bawah 12 bulan. “Tentunya ini menjadi faktor penting bagi bisnis untuk terus berkembang pesat secara sustainable di tahun-tahun berikutnya,” ujar Edward.

Untuk ekspansi gerai, perusahaan menawarkan kemitraan waralaba, seperti yang dilakukan oleh banyak usaha ritel F&B lainnya. Di samping itu, perusahaan menggunakan strategi bisnis model beraset ringan untuk mendukung fasilitas layanan pengiriman grab & go. Sebagian besar gerai didesain mungil dan compact, sehingga membutuhkan modal yang minimal.

Langkah ini diambil karena sekitar 70% aktivitas penjualan Hey! Kafe dilakukan secara online, dengan bekerja sama dengan berbagai platform pesan antar makanan, seperti GoFood, GrabFood, ShopeeFood, dan Traveloka Eats.

Inovasi produk juga menjadi bagian penting. Edward menuturkan, dalam strategi branding dan pengembangan produk baru, perusahaan rutin menguji lebih dari 20 konsep produk tiap bulannya. Strategi tersebut berhasil membuahkan berbagai menu dan produk unik dan menjadi best-seller, seperti seri minuman Hey-Shake!, Strawberry Heaven Hey-Shake, dan Choco-Cashew Hey-Shake.

Target pengguna Hey Kafe adalah generasi muda yang merupakan populasi terbesar di Indonesia. Oleh karenanya, kualitas produk yang baik dan harga yang dibanderol cukup terjangkau menjadi kekuatan yang diusung Hey Kafe. Disebutkan saat ini Hey Kafe mampu menjual 12 ribu gelas setiap harinya atau 350 ribu gelas setiap bulan dari 60 gerai yang beroperasi saat ini di Jabodetabek dan Surabaya.

Edward berharap dengan dukungan VC, seperti Trihill Capital, dapat menjadi amunisi perusahaan untuk menjadi pemain jaringan grab & go terdepan di Asia Tenggara. Ia menargetkan dana tersebut akan digunakan untuk memperkuat strategi branding dan investasi di teknologi.

“Di awal 2022 mendatang, Hey Kafe akan meluncurkan in-house mobile application yang memudahkan seluruh konsumen untuk bertransaksi, sehingga diharapkan mampu meningkatkan penjualan yang saat ini sudah mencapai 350 ribu gelas setiap bulannya,” tutup dia.

Antusiasme tinggi dari pemodal ventura

Layanan food tech secara umum memang tengah naik daun. Perusahaan jenis ini memanfaatkan teknologi secara menyeluruh, mulai dari supply chain bahan baku, efisiensi operasional, pencatatan keuangan, pembayaran, hingga distribusi.

Covid-19 nyata-nyata memberikan dampak bagi industri F&B, namun sekaligus menguji mentalitas bisnis para founder-nya. Beberapa yang memilih terus mengakselerasi bisnis, lakukan transformasi memanfaatkan ragam layanan yang ada.

Untuk menjaga tren pertumbuhan, para pemain industri memulai memanfaatkan kanal digital. Strategi tersebut dilakukan beriringan dengan peningkatan jumlah gerai. Konsep grab & go sendiri memang sangat bergantung dengan keberadaan gerai, kendati tidak sedikit yang hanya dijadikan tempat produksi (tanpa memiliki ruang untuk dine-in).

Aplikasi didesain untuk menghubungkan konsumen dengan outlet, membawa dari online menuju offline – atau sebaliknya. Model ini cukup efisien, karena perusahaan pun bisa memanfaatkan data yang didapat dari kebiasaan konsumen yang tercatat di aplikasi, sehingga dapat menyuguhkan produk dan layanan yang lebih sesuai dengan pangsa pasarnya. Dari sisi konsumen, adanya kemudahan dan value added menjadikan mereka mau untuk memanfaatkan aplikasi.

Antusiasme pemodal ventura pun semakin meningkat untuk masuk ke segmen ini. Berikut daftarnya:

Pemodal Ventura Portofolio
Alpha JWC Ventures Hangry, Kopi Kenangan, Lemonilo, Mangkokku
East Ventures Fore Coffee, Greenly, Legit Group, SaladStop!, Mohjo
AC Ventures Coffee Meets Bagel, Fore Coffee
Vertex Ventures Dailybox
Openspace Ventures JIWA Group
SALT Ventures Hangry
ANGIN Burgreens

Peroleh Investasi Tambahan, Rey Assurance Rilis Kartu Klaim “Cashless”

Startup insurtech Rey Assurance mengumumkan perolehan tambahan pendanaan tahap pra-awal dengan nominal dan investor yang dirahasiakan. Seebelumnya, pada pertengahan September, perusahaan mengumumkan pendanaan tahap pra-awal sebesar $1 juta dari Trans-Pacific Technology Fund. Di Indonesia, portofolio TPTF lainnya adalah Prixa, dan Kata.ai.

Bersamaan kabar teranyar ini, perusahaan mengumumkan kemitraan baru dengan Xendit, reasuransi global terkemuka AXA Life & Health Reinsurance Solutions (ALHRS), dan pemimpin industri lainnya. Kemitraan ini merupakan bagian dari peluncuran produk baru Rey, yakni klaim tanpa uang tunai (cashless) yang menjadi pembeda utama ekosistem terintegrasi asuransi yang diusung Perusahaan. Kartu klaim tanpa uang tunai ini sedang memasuki tahap integrasi ke dalam rangkaian lengkap penawaran produk Rey.

Model klaim tanpa uang tunai dari Rey memungkinkan para anggotanya untuk mengakses layanan kesehatan di penyedia offline pilihan mereka. Selain itu, platform klaim ini menghilangkan proses administrasi yang memakan waktu yang sebelumnya berlaku di semua penyedia layanan kesehatan. Kini pengguna cukup menggesek Kartu Rey.

Dalam keterangan resmi, Co-founder dan CEO Rey Evan Tanotogono menjelaskan, dalam waktu singkat perusahaan telah memanfaatkan pendanaan dan perluasan pendanaan untuk menarik mitra kelas dunia dalam mematangkan kualitas ekosistem Rey. “Pengumuman hari ini adalah tonggak utama dalam tujuan kami menciptakan jenis asuransi baru di Indonesia dengan produk dan layanan digital pertama, membuat cakupan kesehatan, jiwa dan penyakit kritis lebih mudah diakses. terjangkau, dan menyenangkan bagi masyarakat,” ujarnya.

Kemitraan dengan Xendit

Dia melanjutkan, kemitraan dengan Xendit memungkinkan platform teknologi masing-masing saling terintegrasi untuk menangani proses penanganan klaim dan membuat proses pembayaran yang lancar bagi anggota Rey dan penyedia layanan kesehatan. Rey akan memanfaatkan keahlian mendalam ALHRS dalam risiko kesehatan, kehidupan, dan penyakit kritis untuk bersama-sama mengembangkan produk eksklusif yang ditawarkan melalui keanggotaan asuransi berbasis langganan Rey, serta proses dan pendekatan berbasis data yang mendukungnya.

Kombinasi ALHRS dan Xendit memungkinkan Rey membangun proses klaim tanpa uang tunai yang didukung oleh analitik canggih dan proses otomatis. Sistem klaim tanpa uang tunai yang baru akan diimplementasikan sebagai bagian integral dari platform perawatan terkelola yang fleksibel dan cerdas milik Rey yang terdiri dari telemedis, pengiriman farmasi, dan kesehatan.

Apabila Anggota Rey baru mendaftar, mereka akan menerima kartu Rey setelah lolos verifikasi dari Bank Sahabat Sampoerna selaku penerbit kartu. Setelah diaktifkan, kartu siap digunakan untuk perawatan tertentu setelah klaim kesehatan yang memenuhi syarat telah diproses melalui proses ajudikasi Rey. Administrasi dan ajudikasi klaim akan dikelola oleh Rey dan terus ditingkatkan dengan memanfaatkan keahlian operasional ALHRS.

Rey juga berencana untuk membuat kartu Rey dan ekosistem tersedia sebagai layanan bagi perusahaan asuransi dan perusahaan lain. Dengan menggunakan klaim baru tanpa uang tunai dari Rey, perusahaan asuransi dan perusahaan akan memiliki pengalaman tanpa uang tunai di penyedia layanan kesehatan mana pun, yang awalnya berfokus di Indonesia, sambil juga menikmati layanan yang jauh lebih baik dan risiko klaim yang dioptimalkan.

Model klaim sebagai tanpa uang tunai ini merupakan sumber revenue baru bagi Rey. Rencananya akan diperluas secara internasional setelah diluncurkan di Indonesia, dengan memanfaatkan jaringan ALHRS yang memiliki lebih dari 1 juta penyedia di seluruh dunia.

Ambil pendekatan baru

Evan menjelaskan, Rey mengambil model berlangganan sebagai pendekatan yang diambil dalam memasarkan produk asuransi. Menurutnya, industri asuransi memiliki isu yang begitu pelik, lantaran penetrasinya yang masih rendah sehingga sulit untuk tumbuh signifikan.

Oleh karenanya, model berlangganan diyakini dapat mengubah mindset masyarakat dalam membeli produk asuransi. Mindset yang ingin diciptakan adalah membeli sebuah produk sebagai bagian dari ekosistem besar di mana Rey memiliki akses ke ekosistem tersebut.

“Yang kami lakukan sebetulnya mengubah konsep dari ‘product that is just a policy’ menjadi ‘product that takes care of you’. Kami pikir perlu melakukan pendekatan berbeda, dan orang tidak mungkin memiliki ekspektasi hasil berbeda kalau hanya melakukan hal yang sama,” ujar Evan kepada DailySocial.id.

Saat ini, Rey baru menawarkan tiga opsi langganan, yaitu di harga Rp69 ribu/bulan, Rp89 ribu/bulan, dan Rp99 ribu/bulan yang di dalamnya sudah termasuk bundle layanan rawat jalan, telekonsultasi, pengecekan gejala, dan asuransi.

Menurut data OJK, penetrasi asuransi di Indonesia pada semester I 2021 memang masih relatif stagnan, akan tetapi meningkat dalam tiga tahun terakhir. Pada 2019, penetrasi asuransi tercatat hanya 2,81%, lalu naik menjadi 2,92% di 2020. Kemudian, angka tersebut tumbuh menjadi 3,11% pada Juni 2021 yang menunjukkan sinyal pertumbuhan positif bagi industri asuransi Indonesia.

Berdasarkan “Insurtech Ecosystem in Indonesia Report” oleh DSInnovate, penetrasi asuransi dinilai masih sangat rendah akibat kurangnya pemahaman masyarakat Indonesia terhadap produk asuransi beserta manfaatnya. Maka itu, kolaborasi asuransi dan teknologi dinilai dapat meningkatkan awareness dan membuka akses produk di kalangan masyarakat.

DSInnovate

Ula Adds Up Additional Series B Funding of 328 Billion Rupiah

Ula announced an additional $23.1 million (over 328 billion Rupiah) of its Series B round around one month ago. This follow-on funding was led by Tiger Global and Flipkart’s Co-founder, Binny Bansal, bringing a total $110 million for this series B.

Previously, they had announced a series B funding of $87 billion led by Prosus Ventures, Tencent, and B Capital. Also participated in this round, Bezos Expeditions, VC created by Amazon founder Jeff Bezos; along with other leading investors, Northstar Group, AC Ventures, and Citius.

This additional fund has brought a total $140 million (more than 1.99 trillion Rupiah) in accumulation since the company’s establishment.

In the company’s official statement, this fresh fund is said to be the company’s ammo to develop buy now, pay later features and utilize AI to better serve MSME consumers. In addition, the company will continue to expand to new locations and recruit more special talents.

“This follow on funding in the Series B round signifies the interest of investors and their confidence in Ula’s vision and mission. We are grateful and excited for the opportunity to build a platform that doesn’t only empower traditional retailers, but also reorganize the traditional retail industry. As we move forward, we will continue to take a customer-first approach to addressing fundamental issues with technology,” said Ula Co-founder & CEO Nipun Mehra, Tuesday (16/11).

Previously conveyed by Ula’s Co-founder & CCO, Derry Sakti, this BNPL solution was initiated since Ula already has 70 thousand stalls that transact through its platform, the database is a provision for credit scoring before disbursing loans.

It is said that the company has grown 230 times, offering more than 6 thousand products. The majority of Ula users come from tier two to four cities that still lack access to resources and logistics infrastructure.

In a general note, traditional retailers have limitations in accessing banking products, even though they are very dependent on daily income, it makes the paylater for supplier service has tremendous benefits for stalls.

“Using Ula, they no longer have to worry about purchasing goods, product availability, or even payment, which will give them more time to focus on other more important things. Seeing firsthand the impact that Ula has had on customers’ lives certainly moves our team to move forward,” he said.

The Ula app allows shop owners to order a wide variety of products and have them delivered directly to their stores. With a simple concept, Ula tries to focus on customer needs rather than adding unnecessary features, to ensure the best experience. This app is claimed to be lighter, suitable for low connection environments and the most basic devices, and ensures it doesn’t take up too much space on their phones.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Klinik Pintar Secures 58 Billion Rupiah Series A Funding

Healthtech startup Klinik Pintar announced the series A funding of $4.15 million or around 58 billion Rupiah. Golden Gate Ventures led the funding, with the participation of Bundamedik Healthcare System (BMHS), Skystar Ventures, and Sequis Life.

Golden Gate Ventures previously invested in Klinik Pintar in a pre-series A funding round in November 2020, along with two other investors, Venturra Discovery and Kenangan Kapital, an angel fund owned by Kopi Kenangan’s Co-founder, Edward Tirtanata.

In his official statement, Golden Gate Ventures’ representative, Justin Hall expressed optimism about the Indonesian health industry. Hall said, Indonesia has a great potential growth and Klinik Pintar is taking part in this growth by building an integrated health ecosystem. “The previously mentioned convinces us to support Klinik Pintar in advancing the health system through this funding support,” he explained.

Meanwhile, the BMHS’ representative, dr. Ivan Sini said that his participation in Klinik Pintar funding signifies the company’s commitment to developing an integrated health service ecosystem with Smart Clinics in Indonesia. “This synergy can be started from the referral system, laboratory, and supply chain,” he said.

For information, the Smart Clinic under the auspices of PT Medigo Teknologi Kesehatan (Medigo) offers a solution through a profit sharing system with the clinic owner. This collaboration is in the form of providing technology solutions to digitize business processes and services, standardization, and investment that can help clinic owners develop their businesses and increase value-based care.

In order to realize this integrated health ecosystem, Klinik Pintar continues to develop the Klinik OS (Operating System) digital platform that digitizes operations and empowers clinics through digital. It includes online and offline end-to-end services, comprehensive standardization of SOPs, inventory and managerial management, and digitally connecting between clinics in the network and other supporting partners.

Service development in 2022

DailySocial.id had a chance to interview Medigo’s Co-founder & CEO, Harya Bimo regarding the future business plan using this new funding. On this occasion, the man who is familiarly called Bimo emphasized that from now on, Medigo will use Klinik Pintar as the branding of its services in the future.

In accordance with its mission to become a clinic supply chain provider in Indonesia, this new funding will be used to expand the Klinik Pintar network and services. Currently, Klinik Pintar already has 120 clinics available in 60 cities throughout Indonesia.

“We have proven that the framework [through the clinical supply chain model] is successful. Therefore, in the next two years, we want to strengthen existing services by increasing the value of the Smart network through service interoperability,” he said.

One of which is service synergy with the ecosystem owned by BMHS. To strengthen this synergy, BMHS has invested in series A shares totaling 2339 shares which were issued and issued in Klinik Pintar Technologies Pte Ltd, with a direct share investment of $1.5 million or equivalent to Rp21 billion on 8 November. BMHS is part of the clinic’s operational partner through the Smart Clinic digital network.

This synergy will be performed by the Bundamedik Healthcare System, which is an integrated health service ecosystem belonging to PT Bundamedik Tbk, and consists of a network of hospitals, clinics, laboratories, to medical evacuation.

His team will implement a digital-based referral system, both to hospitals and laboratories, by utilizing the ecosystem owned by BMHS. According to Bimo, so far the referral system in Indonesia is still paper-based, which is considered inefficient for patients and health workers.

Klinik Pintar
Klinik Pintar

With digital referrals, doctors and health workers can see the patient’s previous track record. In another example, a patient who is referred for laboratory tests can collect the results at the Klinik Pintar.

“We are trying to empower existing clinics. Considering that not all clinics have laboratories, we take an approach with a network strategy. Now, BMHS has a similar idea to what we are looking for. Our main synergy is to address the needs in areas that so far do not have access to laboratories. We “We will develop this network synergy with BMHS. Our target next year is to build 400 clinics,” he explained.

In another use case, Klinik Pintar will also improve interoperability in the supply chain by connecting clinics and suppliers (principals). Thus, clinics can order various medical equipment and health products, such as pharmaceuticals, vaccines, syringes, and gloves.

“We want to go national now. Currently, we supply gradually in Jabodetabek. Our next target is Java and outside Java. At the very least, our target is to be able to penetrate new cities every quarter. We are also collaborating with big pharmaceutical players because our permits are not distributors,” Bimo said.

In addition, his team will open new access for maternal and child services. Bimo assessed that this segment was still underserved in Indonesia, especially during the Covid-19 pandemic. Klinik Pintar will provide a number of services, including home care and telemedicine through video calls.

Finally, his team is also developing a number of health programs as a preventive measure for serious diseases (diabetes, hypertension, heart) through a health plan. Currently, the program is only marketed to B2B consumers.

“Many internal diseases can’t actually be handled via chat and one meeting. An offline and online approach is required, not only teleconsultation, but also monitoring. This is one of the challenges we see in hospitals and clinics, not in handling severe symptoms,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here