Gelombang Inisiatif Startup Demi Redam Dampak Pandemi Covid-19 di Indonesia

Tak ada yang mudah di masa pandemi seperti sekarang. Tanpa mengesampingkan pentingnya keselamatan dan kesehatan, kemerosotan pun memukul telak berbagai sendi kehidupan masyarakat. Wabah corona virus disease 2019 (Covid-19) ini selain menyerang organ pernapasan manusia, tapi juga secara tidak langsung melumpuhkan perekonomian dari yang skalanya besar hingga yang terkecil.

Dampak Covid-19 terhadap perekonomian ini memang tak kenal pandang bulu. Perusahaan dan individu sama-sama menanggung dampaknya. Kegiatan kantor terbatas secara virtual, bandara hampir kosong, hotel dan penginapan nyaris tak berpenghuni, rumah makan sepi pengunjung, pun jalan raya tak banyak yang melewati.

Namun hal tersebut justru mendorong sejumlah pihak untuk bergerak bahu-membahu membantu orang-orang yang membutuhkan, termasuk dari para startup. Inisiatif berupa bantuan finansial, pengetahuan, dan teknologi mereka berikan untuk melewati masa-masa sulit ini. Kami merangkum inisiatif-inisiatif yang terbungkus dalam berbagai cara dalam tulisan berikut ini.

DANA

Fintech dompet digital ini baru saja mengumumkan inisiatifnya beberapa hari lalu. Inisiatif yang mereka lakukan untuk meringankan beban mereka yang terdampak dari Covid-19 ini seluruhnya berada di aplikasi mereka.

Program ini mereka namakan “Siap Siaga Covid-19”. Program ini termasuk sejumlah fitur baru di aplikasi DANA yang meliputi update kasus Covid-19 di Indonesia, kontak layanan hotline Covid-19, hingga opsi donasi yang terhubung dengan platform Kitabisa. DANA yang mereka kumpulkan akan dipakai untuk menyediakan alat pelindung diri bagi tenaga kesehatan.

“Kami mengajak para pengguna DANA untuk bersinergi, berbagi, dan bergotong-royong secara digital dalam turut menanggulangi penyebaran virus Corona COVID-19. Melalui cara yang praktis, aman, dan efisien kita sudah turut berpartisipasi melindungi mereka yang sedang berjuang menyelamatkan jiwa dengan resiko terpapar virus saat bertugas ,” ucap CEO Dana Vincent Iswara dalam keterangan tertulis.

Gojek

Sejak wabah virus korona ini makin meluas dan kampanye #dirumahaja kian gencar, pengemudi ojek online mungkin yang paling mudah terlacak kena imbasnya. Mereka yang sedianya bergantung pada mobilitas warga untuk memperoleh pemasukan harian harus rela menepi atau setidaknya mengurangi intensitas pekerjaannya.

Merespons hal itu, Gojek meluncurkan program dana bantuan untuk ratusan ribu pengemudi dan merchant yang tergabung di platform mereka. Dana bantuan akan dikelola oleh yayasan mereka sendiri bernama Yayasan Anak Bangsa Bisa. Adapun sumber pendanaan di program ini berasal dari:

1. potongan 25% dari gaji setahun pimpinan dan manajemen senior,
2. realokasi anggaran kenaikan gaji tahunan seluruh karyawan Gojek,
3. kumpulan donasi dari perusahaan rekan bisnis Gojek.

Wahyoo

#RantangHati merupakan nama inisiatif dari Wahyoo untuk memerangi dampak Covid-19. Melalui inisiatif ini Wahyoo menghubungkan mitra warung makan yang diperkirakan omzetnya turun hingga 50% dengan orang-orang yang membutuhkan.

Wahyoo merinci cara kerja inisiatif mereka dengan mengumpulkan donasi berjumlah Rp350 juta via Kitabisa. Uang ini kemudian akan disebar ke sejumlah warung makan dengan target menyediakan makanan untuk 700 orang selama dua pekan. Anggaran di atas dibuat berdasarkan hitungan dua kali makan sehari dengan biaya makan Rp15.000 per porsi. Untuk menggelar inisiatif ini Wahyoo menggandeng influencer Edho Zell, pengemudi Gojek, serta kelompok relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT).

“Penerapan physical distancing yang berimbas pada imbauan kerja dari rumah, membuat warung makan di Jadetabek sepi pengunjung. Ironisnya, sebenarnya banyak orang yang tidak sanggup membeli makanan di warung,” ucap CEO & Founder Wahyoo Peter Shearer.

East Ventures dan Nusantics

East Ventures memulai inisiatifnya dengan membuka urun dana terbuka. Inisiatif bertajuk Indonesia Pasti Bisa ini menargetkan nominal Rp10 miliar. Hingga artikel ditulis jumlah yang sudah diperoleh sudah 45% dari target. Selain East Ventures sendiri, tercatat banyak startup dan korporasi lain yang ikut dalam urun dana ini. Sebut saja Tokopedia, Sociolla, Traveloka, Agaeti Convergence Ventures, hingga Warung Pintar.

“Ini pertama kalinya East Ventures memimpin fundraising non-profit. East Ventures mendapatkan berita keterlibatan salah satu portofolio East Ventures yaitu Nusantics di dalam task force BPPT pada Minggu (22/3). Ini membuat kami terdorong untuk berpartipasi lebih jauh dan berinisiatif untuk mengajak segenap ekosistem digital untuk berkontribusi,” kata Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Program inisiatif East Ventures ini menempatkan Nusantics, startup deep-tech, sebagai ujung tombak. Dari nominal target di atas, Rp9 miliar di antaranya akan diberikan ke Nusantics untuk mengembangkan test kit qPCR, menjalankan proyek pemetaan mutasi Covid-19 di Indonesia atau biasa disebut whole game sequencing.

Nusantics berencana menciptakan 100 test kit qPCR berupa prototipe dan dilanjutkan produksi massal berjumlah 100.000 test kit. Nusantics yang juga masuk dalam Task Force Riset dan Inovasi Teknologi untuk Covid-19 (TFRIC19) pun berpacu dengan waktu mengingat penyebaran virus corona di Indonesia terus meluas dan jumlah kasus yang meningkat.

Prixa, Halodoc, Alodokter

Persoalan sektor kesehatan membutuhkan solusi kesehatan. Kesadaran tersebut mendorong sejumlah startup bidang kesehatan seperti Halodoc, Alodokter, dan Prixa untuk menciptakan fitur baru dalam membantu masyarakat menghadapi wabah Covid-19.

Prixa, startup bidang kesehatan yang berada di naungan Kata.ai, menyediakan fitur baru untuk memerika gejala dan risiko terhadap Covid-19. Diluncurkan sejak 18 Maret lalu, fitur ini memungkinkan pengguna memahami keluhan kesehatan untuk antisipasi sedini mungkin terhadap gejala Covid-19. Fitur Prixa ini juga membantu tenaga kesehatan di luar sana agar masyarakat yang hendak memeriksakan diri tak perlu datang ke rumah sakit.

Prixa juga terlibat dalam pengembangan aplikasi pemeriksaan kesehatan mandiri Pikobar milik Pemprov Jawa Barat. Sistem kecerdasan buatan Prixa menjadi salah satu andalan Pikobar untuk mengenal gejala penyakit pernapasan untuk warga Jawa Barat.

Sementara Halodoc dan Alodokter menyediakan inisiatif yang identik dalam membantu masyarakat menghadapi virus corona. Keduanya menambahkan fitur pemeriksaan mandiri berupa chatbot. Fitur ini meski sederhana jelas akan membantu warga yang khawatir akan kemungkinan terpapar Covid-19. Halodoc mengalokasikan 1.000 dokter dari total 22.000 dokter yang tergabung untuk konsultasi mengenai Covid-19.

MDI Ventures 

MDI Ventures menginisiasi perlawanan mereka terhadap wabah Covid-19 dengan menciptakan program Indonesia Bergerak. Serupa dengan East Ventures, MDI Ventures melibatkan startup-startup yang berada di portofolionya, yaitu Qlue, Kata.ai, Qiscus, dan Volantis.

Melalui Qlue, mereka mengandalkan ekosistem smart city mereka sebagai wadah warga dalam memantau dan melaporkan perkembangan Covid-19. Data yang dihimpun akan disajikan menjadi visualisasi di laman Indonesia Bergerak.

Selain itu, Qlue juga membuat QlueWork yang ditujukan untuk petugas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Fitur tersebut nantinya dapat dimanfaatkan BNPB sebagai manajemen tenaga kerja di lapangan.

Ruangguru dan Zenius

Kegiatan belajar mengajar di segala tingkatan praktis terganggu sejak Covid-19 merebak. Kementerian Pendidikan pun sudah menghentikan sementara segala kegiatan di sekolah. Ruangguru dan Zenius mengisi kekosongan ruang kelas tersebut dengan menggratiskan layanan edukasi mereka.

Ruangguru misalnya, sejak dua pekan lalu resmi membuka program Sekolah Online Ruangguru Gratis. Program ini membantu para siswa untuk mengikuti berbagai macam kelas dengan jam belajar selayaknya di sekolah untuk kelas 1 SD hingga 12 SMA. Guru pun turut mendapat perhatian dengan program Program Guru Online di mana mereka dapat mengakses modul pelatihan guru secara gratis.

Tak hanya itu, Ruangguru juga membuka layanan Skill Academy mereka secara gratis secara terbatas. Berlaku sejak 23 Maret, siapa pun kini bisa mengikuti bermacam kelas pelatihan online dengan beragam topik secara gratis selama dua pekan.

Zenius pun menyediakan hal serupa. Edutech ini membuka lebar-lebar konten edukasinya yang lebih dari 80 juta secara cuma-cuma. Agar memudahkan proses belajar, Zenius memodifikasi videonya berlatar putih agar menghemat kuota pengakses. Selain itu mereka juga menyediakan fitur Live Teaching yang memungkinkan interaksi antara pengajar dan murid selayaknya di sekolah.

“Dengan proses pengajaran yang disiarkan langsung dan dilengkapi dengan Live Chat, kami berharap para siswa lebih semangat belajar dari rumah karena pengalaman yang berbeda,” ucap CEO Zenius, Rohan Monga seperti dikutip dari CNN Indonesia.

GoPlay dan Hooq Optimis dengan Perkembangan “Video on Demand” di Indonesia

Meskipun sudah banyak aplikasi Video on Demand (VOD) di Indonesia, namun belum ada yang mampu menjadi pemain utama atau key player. Sifatnya yang kerap berubah, menjadikan layanan VOD tidak bisa dijalankan mengacu kepada formula yang stabil.

Melihat persoalan tersebut, DailySocial melalui sesi #Selasastartup mencoba untuk mengupas tuntas persoalan hingga tantangan yang hingga saat ini masih banyak ditemui pemain layanan VOD lokal hingga asing. Narasumber yang dihadirkan adalah CEO GoPlay Edy Sulistyo dan Country Head Hooq Indonesia Guntur S. Siboro.

Kebiasaan unik masyarakat Indonesia

Selama menjalankan bisnis di Indonesia sejak 4 tahun terakhir, Hooq mencatat kebiasaan unik masyarakat Indonesia. Mulai dari penggunaan kuota data internet di smartphone yang sangat diperhatikan hingga penggunaan wifi untuk mengakses berbagai kebutuhan di internet. Hal tersebut menurut Hooq menyulitkan mereka untuk bisa menghadirkan layanan yang hanya mengandalkan aplikasi.

Dengan alasan itulah Hooq kemudian menjalin kerja sama strategis dengan operator telekomunikasi, layanan broadband, hingga platform super apps. Tujuannya sederhana, agar Hooq bisa diakses di mana saja dan kapan saja.

“Perbedaan yang kami rasakan dulu (2016) sejak Hooq meluncur hingga saat ini adalah, pilihan pembayaran yang masih sangat terbatas jumlahnya. Hanya memanfaatkan kartu kredit saja seperti yang dilancarkan oleh Netflix. Namun kini dengan hadirnya GoPay, Ovo hingga dompet digital lainnya memudahkan pengguna untuk melakukan pembelian,” kata Guntur.

Dari sisi GoPlay yang semua bisnisnya didukung oleh ekosistem Gojek, hal tersebut justru yang menjadi kekuatan mereka. Dengan konsep bundling yang dikemas dalam bentuk voucher, GoPlay mencoba memanfaatkan akses luas hingga distribusi kanal yang lengkap milik Gojek.

Kekuatan tersebut yang kemudian menjadi penawaran menarik kepada konten kreator hingga sineas Indonesia, untuk fokus kepada konten dan mempercayakan aspek lainnya kepada GoPlay.

“Untuk GoPlay sendiri masuk dalam ekosistem di Gojek dan mendukung ekosistem yang ada. Salah satunya adalah penawaran voucher layanan terkait, bundling dengan GoFood hingga GoSend dengan tujuan untuk mengajak lebih banyak orang mengakses konten lokal sekaligus mempromosikan konten ke pengguna yang lebih banyak,” kata Edy.

Meskipun hingga saat ini masih banyak pengguna di Indonesia yang lebih menyukai konten secara gratis, namun mulai banyak pengguna yang memilih untuk berlangganan dan rela membayar, demi mendapatkan konten yang berkualitas.

Konten original dan pengolahan big data

Penerapan data anlytics untuk meningkatkan layanan
Penerapan data anlytics untuk meningkatkan layanan

Satu hal yang kemudian menjadi tujuan yang serupa dari kedua layanan VOD tersebut adalah, untuk mendorong karya-karya terbaik para konten kreator dan sineas Indonesia. Dalam hal ini masing-masing sengaja menjalin kemitraan strategis dengan studio hingga rumah produksi Indonesia, demi menciptakan konten original menarik untuk pengguna.

GoPlay mengklaim kondisi pasar yang demikian melatarbelakangi tujuan mereka sebagai jembatan penonton agar lebih mudah mengakses film-film produksi dalam negeri.

“Paling tidak dengan hadirnya GoPlay bisa memberikan opsi kepada sineas di Indonesia untuk menampilkan karya mereka memanfaatkan layanan digital yang dimiliki oleh GoPlay. Sesuai dengan komitmen dari Gojek untuk menghilangkan friction in daily life,” kata Edy.

Hooq sendiri akhir tahun 2019 lalu telah memperkenalkan produksi 19 konten orisinal baru yang terdiri dari serial dan film di empat negara tempat mereka beroperasi. Dari 19 judul baru, produksi konten orisinal Hooq terbanyak ada di Indonesia dengan 14 judul yang terdiri dari serial, film, dan acara stand up comedy.

Banyaknya slot konten baru di Indonesia tak mengherankan lantaran pasar Hooq di Asia Tenggara mayoritas berasal dari Indonesia. Hal itu dibenarkan Guntur.

Sebagai platform yang sepenuhnya memanfaatkan smartphone untuk pengguna mengakses konten, GoPlay mengklaim berhasil mengumpulkan big data yang kemudian diolah dan bisa dimanfaatkan oleh mitra hingga sineas. Dengan memanfaatkan data tersebut, para sineas bisa melihat konten seperti apa yang menjadi favorit, durasi yang ideal hingga genre atau kategori film seperti apa yang diminati oleh berbagai kalangan. Teknologi dan pengolahan data analytics menjadi kekuatan GoPlay.

Sementara itu, Hooq yang saat ini bukan hanya bisa dinikmati di smartphone namun juga di layanan broadband dan home cable yang tersebar di Indonesia, mengklaim justru engagement lebih banyak terjadi melalui kanal tersebut. Namun untuk jumlah unduhan dan pengguna, Hooq mencatat lebih banyak terjadi di aplikasi.

Disinggung apakah nantinya Hooq juga bakal menerapkan big data hingga data analytics untuk meningkatkan layanan, Guntur menyebutkan rencana tersebut sudah masuk dalam roadmap perusahaan. Setelah mengajukan opsi likuidasi akhir bulan lalu, saat ini Hooq Indonesia masih menunggu keputusan perusahaan untuk meneruskan atau menghentikan layanan mereka di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

[Weekly Updates] Gojek Secures New Funding; Traveloka May Have $1 Billion Fintech Business; and More

Gojek just announced it has secured another $2 billion for its Series F round. Also, in the news the week on how Traveloka may have $1 billion fintech business, payment startup Cashlez is to go public, a better understanding about Indogen Capital’s funding strategy, and a Y Combinator alumni Jamiphy is targeting Indonesia’s market with app dubbed as “Tiktok for musician”.

Gojek Secures New Funding Worth of 18 Trillion Rupiah

Gojek is reportedly secure new funding in the Series F round, it is said to reach US$1.2 billion or 18 trillion Rupiah. According to a source by Bloomberg, based on the memo from Gojek’s Co-CEO, Andre Soelistyo and Kevin Aluwi, this round was closed per last week. There’s no further details on the participant investors.

This has become the biggest fund of a tech player in the first quarter of 2020. Amidst the pessimistic for the digital business ecosystem due to some cases, including the COVID-19 pandemic that captures global attention, including Indonesia.

Gojek has performed market penetration in several countries in Southeast Asia, including Thailand, Vietnam, and Singapore.

Analyzing Traveloka’s Potential as a Fintech Company

Traveloka Group President Henry Hendrawan, in an interview with Reuters at the end of 2019, stated, “Financial services as a whole started from almost zero in early last year and we hope that it will easily become a $1 billion business next year.”

Hendrawan’s statement indicated high optimism in his fintech business, there was even news that the company was raising special funding for this product line. It is not impossible, with a unique proposition that can make Traveloka’s fintech business (read: Caturnusa) bears the status of a unicorn, following its parent entity.

Caturnusa, with its core business as a finance company, facilitates Traveloka’s movement to find sources of funds as it should’ve come from institutions. When using license as a lending company, there are limitations in finding sources of loans, which come from individual borrowers.

Behind Cashlez Optimism to IPO Soon

Cashlez, a fintech startup for payment gateway and mPOS, has performed corporate action to be listed in the stock exchange. According to the plan, the company aims for Rp90 billion to Rp100 billion by releasing 300 million shares or 20.29% from modal to be placed and fully channeled after IPO. The price ranging for Rp298-Rp358 per share.

Cashlez’s President Director, Teddy Tee Setiawan said, the fund raised will be channeled to acquire similar organizations engaged in payment gateway named Softorb Technology Indonesia. The rest will be for operational matters.

Amidst the global economic slowdown due to the COVID-19 virus pandemic, Setiawan said he was optimistic that Cashlez shares could be well absorbed by the public. According to him, the IPO is a long-term plan that has been prepared long before the outbreak of the virus.

Indogen Capital is an Industry-Agnostic, Bridging Investors to Indonesian Market

Indogen Capital, as a VC with family-business background experiences and powerful network, aims to be a value-adding partner for overseas VCs looking to grow in expand into the Southeast Asia market, particularly Indonesia. That is supposedly what makes them different from other VCs.

In terms of stage, Firmanto said the VC is specialized in pre-Series and Series A. They only target post-seed, not the seed level due to high-risk. However, he admits that the company has exceptions, particularly on the organizations that involved professionals or serial entrepreneurs.

Indogen Capital began operation in late 2016, it’s when the Managing Partner, Chandra Firmanto, has graduated from his family business and initiated something new with some friends. They started to invest in organizations since 2017 and managed to invest in 18 portfolios today, including the leading car trading platform in Southeast Asia, Carsome, and the online marketplace of local Islamic fashion designers’ products in Indonesia, Hijup. The latest one is a short-term rental and property management platform, Travelio.

Regarding ticket size, they set around $200,000-500,000 at the first fund.

Jamiphy Aims to be a “Tiktok for Musician”, Focusing on the Indonesian Market

Jamiphy has been launched in Indonesia in early March 2020. A San Fransisco based platform, it is targeting the Indonesian market because many of its followers on social media come from Indonesia. Jamiphy is one of the participants of the W20 batch Y Combinator acceleration program.

Jamiphy’s CEO, Owen Carey, said, “Jamiphy is made specifically for musicians and music lovers. Everyone knows and many are using TikTok, except for musicians. We have made the platform easier for musicians to make great videos, and for users to find and find the music they like.”

After obtaining seed funding from Y Combinator, the company is targeting to have 100,000 active users in Indonesia and then expand to India and the United States. To date, Jamiphy is said to have around 3000 active users and is experiencing a 50% growth every week.

7 Highlights for the “Work From Home” Strategy by Gojek

The COVID-19 pandemic in Indonesia encouraged a number of companies in Jakarta to begin the “Work From Home” or WFH policy from Monday, 15 March 2020. This policy was no exception for unicorn startups, including Gojek.

This decision was inevitably taken by company officials to reduce the spread of the COVID-19 virus which was increasingly unstoppable, especially in the Jakarta area as the economic center in Indonesia.

Meanwhile, Gojek is one that captures the attention regarding WFH’s policies. It is not stated whether this policy applies to all employees or not. The management of Gojek said the work-from-home trial will last for a short period.

“Compared to a combination of employees working from the office and home, or from home for 1-2 days, it feels like working full time from home has its own unique challenges. Having a team that is spread out in various locations means it requires a number of different ways to communicate with each other, make decisions and connect with each other, “Gojek management stated.

For this reason, DailySocial summarizes a number of important notes from Gojek for managers and staff. This note can be guidance for new startups.

Set limits when working at home

Prepare your own workspace in one of your home spots. This is important to create a comfortable, focused work atmosphere and avoid distractions. Don’t forget, for those who are married and have children, you need to give a “signal” that this is your time to start working.

However, don’t hesitate or worry, if your child makes a sound or suddenly appears on the screen while you are having a conference call with the team. They certainly understand.

Prepare a channel for communication

Communication is the most important element in work. And now Slack is the “virtual workspace” most used by professionals. Now, make sure your status remains “online” so the manager knows that you are always active to be contacted.

It should also be understood that the response in the office will certainly be different from at home. To manage your expectations in communication, make sure the entire team and manager prepare an alternative communication channel if the internet connection is unstable. Email and WhatsApp for example.

Over-communicating doesn’t matter

Because it is not under one office roof, of course, there will be adjustments when communicating between teams. For example, coordinating work problems. In some cases, don’t assume that your team knows everything.

So, there’s nothing wrong to say it back – if necessary over and over – about what you are doing. This is to reduce the potential for ambiguity/miscommunication/misinformation from your team.

Managing daily productivity

As a manager, one of the other challenges of WFH is managing and measuring the productivity of each person on your team. To make it easier for you to get started, you can set a work schedule, if necessary, set time on Google Calendar to your team.

Then, manage your expectations of team productivity. First, set and share everything to your team. For example, telling what will be done today or how to deal with a crisis in a situation. The more clear and concise the daily process and plan on your team, the less likely your team will be confused and ask questions.

Next, ensure to your team that time is worth the effort. One of the advantages of working in the same room is a fast response from your team. Since working from a different location, encourage your team to work on an easy task intelligently, not linger.

Manage your focus on work

When you work from home, one day will just run out just to check Slack and email. As the head of the team, you need to arrange a time with your team about when you will receive a report. If you need to make provisions, such as reports in the morning and evening.

On the other hand, you also have a load of work that needs to be completed. Decide on a priority job and temporarily turn off Slack or e-mail so that you are more focused. This can be done while waiting for your team to finish their work and report back to you.

Break the ice with emojis

In situations like this, we will be more sensitive. Thus, this becomes a reminder for the head level and staff to always be careful in speaking and gesturing, both oral and written. To reduce tension, you can use softer tones by saying “Help” and “Thank you”. If you need to include emojis like this 🙏.

Don’t forget to take a break

Working from home is indeed very challenging considering the house is a place to rest, not work. Now, in this case, there are times when you will be very focused on doing something. Do not forget to take about 1-2 hours to rest from the computer.

Occasionally you can do small exercises by stretching your body. Or you can do other relaxing things, like cooking or watering plants, before returning to your computer.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

7 Poin Penting Strategi “Work From Home” dari Gojek

Pandemi COVID-19 di Indonesia mendorong sejumlah perusahaan di Jakarta untuk mulai melakukan uji coba kebijakan “Work From Home” atau WFH sejak Senin, 15 Maret 2020. Kebijakan ini tak terkecuali diterapkan startup unicorn, termasuk Gojek.

Keputusan ini mau tak mau harus diambil para petinggi perusahaan untuk meredam penyebaran virus COVID-19 yang semakin tak terbendung, terutama di wilayah DKI Jakarta sebagai pusat perekonomian di Indonesia.

Adapun, Gojek menjadi salah satu yang mengambil perhatian lebih terkait kebijakan WFH. Memang tidak disebutkan apakah kebijakan ini berlaku untuk seluruh karyawannya atau tidak. Pihak manajemen Gojek menyebut pihaknya sedang menguji coba bekerja dari rumah untuk periode pendek.

“Dibandingkan kombinasi karyawan bekerja dari kantor dan rumah, atau dari rumah selama 1-2 hari, rasanya bekerja full time dari rumah memiliki tantangan unik tersendiri. Memiliki tim yang tersebar di berbagai lokasi berarti membutuhkan sejumlah cara berbeda untuk saling berkomunikasi, membuat keputusan, dan saling terhubung,” demikian disampaikan manajemen Gojek.

Untuk itu, berikut ini DailySocial merangkum sejumlah catatan penting dari Gojek bagi para manager dan staf. Catatan ini sekiranya dapat menjadi guidance bagi startup-startup baru.

Menetapkan batasan saat bekerja di rumah

Siapkan workspace tersendiri di salah satu spot rumah Anda. Hal ini penting untuk menciptakan suasana kerja yang nyaman, fokus, dan terhindar dari distraksi. Jangan lupa, bagi yang sudah berkeluarga dan memiliki anak, Anda perlu memberikan sebuah “sinyal” bahwa ini adalah waktu Anda untuk memulai kerja.

Tapi, tidak usah sungkan atau khawatir, apabila anak Anda bersuara atau tiba-tiba muncul di layar saat Anda sedang melakukan conference call dengan tim. Mereka pasti memahami.

Persiapkan channel untuk berkomunikasi

Komunikasi adalah elemen paling penting dalam pekerjaan. Dan saat ini Slack menjadi “virtual workspace” yang paling banyak digunakan oleh profesional. Nah, pastikan status Anda untuk tetap “online” agar manager tahu bahwa Anda selalu aktif untuk dihubungi.

Perlu dipahami juga bahwa respons di kantor tentu akan berbeda dengan di rumah. Untuk mengelola ekspetasi Anda dalam berkomunkasi, pastikan kepada seluruh tim dan manager untuk menyiapkan channel komunikasi alternatif apabila koneksi internet tidak stabil. Email dan WhatsApp misalnya.

Over-communicate tidak masalah

Karena tidak berada dalam satu atap kantor, tentu akan ada penyesuaian saat berkomunikasi antar-tim. Misalnya berkoordinasi masalah pekerjaan. Dalam beberapa hal, jangan berasumsi bahwa tim Anda tahu semuanya.

Jadi, tak ada salahnya untuk menyampaikannya kembali–kalau perlu berulang–mengenai apa yang sedang Anda dikerjakan. Hal ini untuk mengurangi potensi adanya ambigu/miskomunikasi/misinformasi dari tim Anda.

Mengatur produktivitas harian

Sebagai manager, salah satu tantangan lain dari WFH adalah mengelola dan mengukur produktivitas dari masing-masing orang di tim Anda. Agar memudahkan Anda untuk memulai, Anda dapat mengatur jadwal kerja, kalau perlu buat di Google Calendar ke tim Anda.

Kemudian, mengelola ekspetasi Anda terhadap produktivitas tim. Pertama, set and share segalanya kepada tim Anda. Misalnya, mengabarkan apa yang akan dikerjakan hari ini atau bagaimana cara menghadapi krisis dalam sebuah situasi. Semakin jelas dan ringkas proses dan rencana harian di tim Anda, semakin sedikit kemungkinan tim Anda bingung dan bertanya-tanya.

Selanjutnya, memastikan kepada tim Anda bahwa waktu setara dengan usaha. Salah satu keuntungan bekerja dalam satu ruangan yang sama adalah respons yang cepat dari tim Anda. Berhubung bekerja dari lokasi berbeda, dorong tim Anda untuk mengerjakannya sebuah task mudah secara cerdas, bukan berlama-lama.

Mengelola fokus pada pekerjaan

Ketika Anda bekerja dari rumah, satu hari akan habis begitu saja hanya untuk mengecek Slack dan email. Sebagai kepala tim, Anda perlu mengatur waktu dengan tim Anda tentang kapan Anda akan menerima report. Kalau perlu buat ketentuan, seperti report di pagi dan sore hari.

Di sisi lain, Anda juga memiliki load pekerjaan yang perlu diselesaikan. Tentukan pekerjaan yang menjadi prioritas dan matikan Slack atau email untuk sementara agar Anda lebih fokus. Ini dapat dilakukan sembari menunggu tim Anda menyelesaikan pekerjaannya dan report kembali ke Anda.

Cairkan suasana dengan emoji

Di situasi seperti ini, kita akan menjadi lebih sensitif. Maka itu, ini menjadi reminder bagi head level dan stafnya untuk selalu berhati-hati dalam berbicara dan bergestur, baik lisan maupun tertulis. Untuk mengurangi ketegangan, Anda dapat menggunakan tone yang lebih halus dengan mengucapkan “Tolong” dan “Terima kasih”. Jika perlu sertakan emoji seperti ini 🙏.

Jangan lupa rehat sebentar

Bekerja dari rumah memang sangat menantang mengingat rumah adalah tempat beristirahat, bukan bekerja. Nah, pada kasus ini, ada kalanya Anda akan sangat fokus mengerjakan sesuatu. Jangan lupa meluangkan waktu sekitar 1-2 jam untuk beristirahat dari komputer.

Sesekali Anda dapat melakukan olahraga kecil dengan merenggangkan tubuh Anda. Atau Anda dapat melakukan hal-hal santai lain, seperti memasak atau menyiram tanaman, sebelum kembali ke komputer Anda.

Gojek Secures New Funding Worth of 18 Trillion Rupiah

Gojek is reportedly secure new funding in the Series F round, it is said to reach US$1.2 billion or 18 trillion Rupiah. According to a source by Bloomberg, based on the memo from Gojek’s C0-CEO, Andre Soelistyo and Kevin Aluwi, this round was closed per last week. There’s no further details on the participant investors. The latest news said the giant retail Amazon to join by initiating a strategic partnership.

This round targets funds of up to US$ 3 billion or equivalent to 42.2 trillion Rupiah. It has been ongoing since October 2018, with a closing target in early 2020. Therefore, the latest fund is likely to be the closing at this stage.

Unfortunately, the amount of every fundraising announcement weren’t always off to the public as the one from AIA Indonesia in last September. However, a reliable source says the total amount obtained is currently below the target of US$ 3 billion.

Consistent with the same mission, the series F fund will be focused on expansion while tightening competition with the main rival in Southeast Asia, Grab Holdings. Visa, Mitsubishi, Astra, Google, JD.com, Tencent Holdings are the ranks of investors who were previously involved in this round.

This has become the biggest fund of a tech player in the first quarter of 2020. Amidst the pessimistic for the digital business ecosystem due to some cases, including the Covid-19 pandemic that captures global attention, including Indonesia.

In addition, analyzes have predicted a slowdown in investment flows in the technology business the previous year. It includes the SoftBank portfolio issues, WeWork and Oyo; it makes investors turn vigilant in conducting business technology assessments.

Rumors about the Gojek and Grab mergers also arise, after the meeting between Grab’s President Ming Maa and Gojek’s Co-CEO Andre Soelistyo. A merger can be happened partially, involving only business in certain countries. In fact, reportedly there has been no silver lining of the two companies valuations and who will be the dominant one.

Also, there is a signal of rejection, particularly from regulators in Indonesia and Singapore, which are important market places for both companies. Moreover, if there is a market monopoly, consumers will be theones who lose the most due to their dependence on services from both companies.

Get team, Gojek's expansion business in Thailand
Get team, Gojek’s expansion business in Thailand

Aside from transportation, competition between Gojek and Grab has covered a variety of other on-demand aspects. The most obvious is currently the food delivery service and digital payments. Both continue to “burn money” in order to achieve the most optimized growth, therefore the investment cycle continues to climb.

Grab alone has begun to open the series I round. The latest is Mitsubishi UFJ Financial Group, the investor involved in Gojek funding, also involved in the US$ 856 million funding.

Gojek has performed market penetration in several countries in Southeast Asia, including Thailand, Vietnam and Singapore; in Malaysia and the Philippines are in the maturity stage. Meanwhile, besides Indonesia, Grab has already been established in Singapore, Cambodia, Malaysia, Myanmar, the Philippines, Thailand, Vietnam, and Japan.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

 

 

Gojek Terima Pendanaan 18 Triliun Rupiah

Gojek dikabarkan kembali membukukan pendanaan baru di putaran seri F, kali ini nilainya mencapai US$1,2 miliar atau setara 18 triliun Rupiah. Menurut sumber Bloomberg, berdasarkan memo dari Co-CEO Gojek Andre Soelistyo dan Kevin Aluwi, transaksi baru diselesaikan minggu lalu. Tidak disebutkan detail investor yang terlibat. Terakhir yang dirumorkan akan bergabung adalah raksasa ritel Amazon yang dimulai dengan jalinan kemitraan strategis.

Putaran ini menargetkan dana hingga US$3 miliar atau setara 42,2 triliun Rupiah. Telah berlangsung sejak Oktober 2018, dengan target penutupan di awal tahun 2020. Sehingga besar kemungkinan dana baru yang didapat memang menjadi penutup di tahap ini.

Sayangnya tidak semua pengumuman perolehan dana nilainya diumumkan ke publik, seperti yang didapat September lalu dari AIA Indonesia. Namun sumber mengatakan nilai total yang telah didapat sejauh ini di bawah target US$3 miliar.

Masih menggenggam misi yang sama, seri F yang digalang akan difokuskan untuk melakukan ekspansi, sekaligus meningkatkan persaingan dengan rival utama di Asia Tenggara, yakni Grab Holdings. Visa, Mitsubishi, Astra, Google, JD.com, Tencent Holdings merupakan jajaran investor yang sebelumnya turut terlibat di putaran ini.

Pendanaan ini menjadi yang terbesar didapat pebisnis teknologi dalam kuartal pertama 2020. Di tengah pesimisme ekosistem bisnis digital akibat beberapa kasus, termasuk pandemi Covid-19 yang sedang menjadi perhatian di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Selain itu tahun sebelumnya banyak analisis yang memprediksi bahwa ada kemungkinan terjadi perlambatan arus investasi di bisnis teknologi. Termasuk disebabkan karena kasus portofolio SoftBank yakni WeWork dan Oyo; membuat investor semakin waspada dalam melakukan penilaian bisnis teknologi.

Rumor mengenai meger Gojek dan Grab juga sempat kembali mengemuka, pasca kabar pertemuan antara President Grab Ming Maa dan Co-CEO Gojek Andre Soelistyo. Merger yang dilakukan bisa saja terjadi secara parsial, misalnya hanya melibatkan bisnis di negara tertentu. Namun sejauh ini dikabarkan belum ada titik temu antara valuasi kedua perusahaan dan siapa yang bakal menjadi pihak yang dominan.

Selain itu ada sinyal penolakan, khususnya dari regulator di Indonesia dan Singapura yang merupakan tempat pangsa pasar penting bagi kedua perusahaan. Pasalnya jika terjadi monopoli pasar, kemungkinan konsumen yang paling banyak dirugikan akibat ketergantungannya dengan layanan dari kedua perusahaan.

Get Gojek
Tim Get, sebagai bisnis ekspansi Gojek di Thailand / Gojek

Tidak hanya di transportasi, persaingan Gojek dan Grab telah meliputi beragam aspek on-demand lainnya. Yang kini paling kentara adalah pesan antar makanan dan pembayaran digital. Keduanya terus “membakar uang” demi mencapai pertumbuhan paling optimal, sehingga putaran investasi pun terus digalang.

Grab sendiri sudah mulai membuka putaran seri I. Terakhir Mitsubishi UFJ Financial Group, investor yang juga terlibat dalam pendanaan Gojek, terlibat dalam pendanaan US$856 juta.

Gojek sudah memasuki pasar di beberapa negara di Asia Tenggara, meliputi Thailand, Vietnam dan Singapura; di Malaysia dan Filipina tengah dalam tahap pematangan. Sementara selain di Indonesia, Grab sudah melenggang di Singapura, Kamboja, Malaysia, Myanmar, Filipina, Thailand, Vietnam dan Jepang.

Application Information Will Show Up Here

What Happens If Gojek to Merge with Grab

The rumor of potential merger between the two Southeast Asia’s giant on-demand players Grab and Gojek backs on air. After The Ken (paywall) and Tech InAsia (paywall), now The Information (paywall) also informed the “first talk” of the issue.

It was said that the management of the two companies had met over the past two years and had intensified in recent months, including news of a meeting between Grab’s President Ming Maa with Gojek’s Co-CEO Andre Soelistyo.

Furthermore, reportedly there has been no silver lining of the two companies valuations and who will be the dominant one.

The basic question is why. Aren’t they both want to win the Southeast Asian market? The answer is clear. The key to domination is a monopoly and this is not one unique case.

“Burn Money” and profitable plans

In the last 4-5 years, the battle between players in this industry has been characterized by the “burning money” strategy for the sake of a very fast market acquisition. Despite having a very large market in Southeast Asia, both have not yet reached the point of a profitable business. With investor funds wearing down, by 2020 promos have been decreased, both companies have to “change the game”. They must reach the level of profitability and satisfy the investors.

Uber has made it in China, Russia, and Southeast Asia. The sense of being unable to compete created a win-win solution through acquisition – with significant value of shareholder as one condition. Didi in China was formed as a result of the merger of two big local players.

The rule of monopoly is to create one winner. As for the investors that back the company.

Monopolize Southeast Asian market has been quite delish
Monopolizing Southeast Asian market has been quite delish

Monopolizing the Southeast Asian market, the potential merger between Gojek and Grab has been quite delish. Both have dominated the on-demand transportation market, food delivery, and online payments (GoPay and Ovo). The value may be greater than the two companies combined (more than $ 20 billion).

Imagine if both of them monopolized the market. There is no longer a price war. There is only one cost that must be paid by consumers and it will not be cheap in order to achieve economic value. There are not many choices left (except taxis, but Blue Bird and Gojek have just agreed on a strategic alliance).

Competition is good for consumers, but not for the players in it. What happens if the position is reversed. No more competition?

A concrete case is when Didi acquired the Uber business in China in 2016. After the acquisition, Didi controlled 90% of the market. In 2018, a complaint often comes from the driver’s partner as their incentive declining.

On the other hand, consumers find it difficult to quickly get a vehicle and it comes with a higher price. The survey in 2017 stated that 81.7% of respondents believed that it was more difficult to get a vehicle than the previous year (when Uber was still operating), while 86.6% considered the price more expensive.

The challenges

There are three main challenges. First, is about ego. As fellow leading players, it’s not easy to combine both companies in one direction. There must be one dominant party. Solving this issue will be a crucial key.

The second is regulatory issues. Market monopoly in Indonesia is listed in the KPPU domain. Usually, this issue is not likely to escape the KPPU examination, but reflecting from other countries’ experience and other cases, as for example Grab acquisition of Uber business in Southeast Asian countries, it all leads to fines. There are no more severe sanctions than this.

The last challenge is on the stakeholders. This is related to driver-partners and consumers. The risk to occurs when there is no longer a competition is a decreasing number of driver-partners (imagine there is only one company on the road) and the service costs in line with the economic unit (read: more expensive as without subsidies).

The bigger question is not about whether Grab and Gojek can merge. The must-asked question is, are we ready to have our various needs of services monopolized by just one company. What would your answer be?


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Seandainya Gojek dan Grab Merger

Rumor potensi merger antara dua pemain terbesar on-demand Asia Tenggara Grab dan Gojek kembali mengemuka. Setelah The Ken (paywall) dan Tech In Asia (paywall), kini The Information (paywall) juga menginformasikan adanya “pembicaraan awal” tentang potensi ini.

Disebutkan bahwa manajemen kedua perusahaan telah bertemu selama dua tahun terakhir dan semakin intensif dalam beberapa bulan terakhir, termasuk kabar pertemuan antara President Grab Ming Maa dan Co-CEO Gojek Andre Soelistyo.

Sejauh ini dikabarkan belum ada titik temu antara valuasi kedua perusahaan dan siapa yang bakal menjadi pihak yang dominan.

Pertanyaan mendasar adalah kenapa. Bukannya keduanya sama-sama ingin memenangi pasar Asia Tenggara? Jawabannya jelas. Kunci dominasi adalah monopoli dan kasus ini tidak unik.

“Bakar uang” dan rencana menuju keuntungan

Dalam 4-5 tahun terakhir, pertarungan antara pemain di industri ini diwarnai dengan strategi jor-joran “bakar uang” demi akuisisi pasar yang sangat cepat. Meski memiliki pasar yang sangat besar di Asia Tenggara, keduanya belum mencapai titik mencapai profit. Dengan dana investor yang semakin terbatas, tahun 2020 ini promo-promonya sudah semakin sedikit, keduanya harus “mengganti permainan”. Mereka harus mencapai level profitabilitas dan menyenangkan para investor.

Uber sudah melakukannya di Tiongkok. Rusia, dan Asia Tenggara. Merasa tidak mampu bersaing, win win solution-nya adalah diakuisisi–dengan syarat nilai kepemilikan saham yang signifikan. Pun bagaimana Didi di Tiongkok dibentuk sebagai hasil merger dua pemain besar lokal.

Dengan adanya monopoli, satu pemain yang tersisa adalah pemenang, bersama semua investor di belakangnya.

Memonopoli pasar Asia Tenggara menjadi sajian yang begitu lezat
Memonopoli pasar Asia Tenggara menjadi sajian yang begitu lezat

Memonopoli pasar Asia Tenggara, potensi merger antara Gojek dan Grab menjadi sajian yang sangat lezat. Keduanya secara bersama sudah mendominasi pasar transportasi on-demand, pengantaran makanan (food delivery), dan pembayaran online (GoPay dan Ovo). Nilainya mungkin lebih besar dari kombinasi valuasi kedua perusahaan (lebih dari $20 miliar).

Bayangkan kalau keduanya memonopoli pasar. Tidak ada lagi namanya perang harga. Hanya ada satu biaya yang harus dibayar konsumen dan itu tidak akan lagi murah demi mencapai nilai keekonomian. Tidak ada lagi pilihan yang tersisa (kecuali mungkin taksi, tapi Blue Bird dan Gojek pun baru melakukan aliansi strategis).

Kompetisi bagus untuk konsumen, tapi tidak untuk para pemain di dalamnya. Apa yang terjadi jika posisinya dibalik. Tidak ada lagi kompetisi?

Contoh nyata bisa dilihat ketika Didi mengakuisisi bisnis Uber di Tiongkok tahun 2016. Setelah akuisisi, Didi menguasai 90% pasar. Di tahun 2018, keluhan yang sering muncul adalah semakin rendahnya insentif yang diterima mitra pengemudi.

Di sisi lain, konsumen merasa kesulitan untuk mendapatkan kendaraan dengan cepat dan harganya dirasa semakin tinggi. Survei tahun 2017 menyebutkan 81,7% responden percaya mereka semakin sulit mendapatkan kendaraan dibanding tahun sebelumnya (ketika Uber masih beroperasi), sedangkan 86,6% menganggap harganya lebih mahal dibanding sebelumnya.

Tantangan

Tantangan utama adalah tiga hal. Pertama adalah soal ego. Sebagai sesama pemimpin pasar, tidak mudah menyatukan kedua perusahaan dengan satu arahan. Pasti ada yang ingin menjadi pihak yang dominan. Menyelesaikan hal ini bakal menjadi kunci sukses krusial.

Kedua adalah urusan regulasi. Urusan monopoli pasar di Indonesia ada di domain KPPU. Biasanya hal seperti ini pasti tidak luput dari pemeriksaan KPPU, tapi berkaca dari pengalaman di negara lain dan kasus lain, misalnya akuisisi Grab terhadap Uber di negara-negara Asia Tenggara, ujung-ujungnya semua hanya berakhir di denda. Tidak ada sanksi yang lebih keras dari hal ini.

Tantangan terakhir ada di sisi stakeholder. Ini terkait dengan mitra pengemudi dan konsumen. Risiko yang terjadi jika tidak ada persaingan adalah pengurangan jumlah mitra pengemudi (bayangkan yang ada di jalanan hanya berasal dari satu perusahaan) dan biaya layanan yang lebih sesuai dengan unit ekonominya (baca: lebih mahal karena tanpa subsidi).

Pertanyaan yang lebih besar bukan soal apakah Grab dan Gojek bisa melakukan merger. Pertanyaan yang harus ditanyakan adalah apakah kita siap jika kebutuhan berbagai layanan dimonopoli satu perusahaan saja. Dapatkah kita menjawabnya?

JD.id Confirmed as the New Unicorn

The e-commerce platform JD.id confirmed to DailySocial that the company’s valuation has exceeded US$ 1 billion. Therefore, JD.id has added to the list as Indonesia’s 6th unicorn. Involved in this “elite” list are Gojek, Tokopedia, Traveloka, Bukalapak, and Ovo. Three startups listed are leading the e-commerce business vertical.

JD.id avoids elaborating further on the total funds obtained and the current valuation. They also did not confirm the rumor that Gojek has poured an investment to the company, which was widely rumored last year. According to our source, there are some parties involved in the latest funding.

Earlier last year, Gojek announced a joint venture with JD.id.

The e-commerce site, with the jargon “selling goods with authentic guarantees”, came to Indonesia as a result of strategic cooperation between Chinese e-commerce giant JD.com and private equity Provident Capital. Provident itself is a Gojek investor and together with JD.com also built a JD joint venture in Thailand.

According to the SEA e-Conomy report, the e-commerce market share in Indonesia has reached US$ 21 billion in 2019 and is projected to grow rapidly to US$ 82 billion in 2025. It’s no surprise the e-commerce giants continue to strengthen the business strategy.

The competitive landscape in the business vertical is very tight because JD.id is dealing with other unicorns such as Shopee, Tokopedia, Bukalapak, and Lazada.

In 2019, Tokopedia has reached Gross Merchandise Value (GMV) at 222 trillion Rupiah. While in the first half of 2019, Bukalapak announced GMV reaching 70 trillion Rupiah, while for the same period Shopee reached 20.1 trillion Rupiah GMV.

Meanwhile, observed from the statistic of the platform’s visit in the Q3 2019, iPrice research showed the following result.

Indonesia's business competitive map of e-commerce based on platform's traffic / iPrice
Indonesia’s business competitive map of e-commerce based on platform’s traffic / iPrice

There are lots of approaches used by e-commerce players to win the market. With platforms like Bukalapak and Tokopedia intensified partnerships, JD.id always stated on several occasions its focus to strengthen logistics, particularly the same-day delivery feature.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here