Upaya Transformasi Pegadaian di Era Disrupsi Jasa Keuangan

Sebagai salah satu bisnis tertua di Indonesia, layanan gadai telah membantu perekonomian masyarakat kalangan menengah ke bawah dalam mendapatkan pinjaman dengan cepat tanpa bergantung pada pinjaman berbunga tinggi.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, peran pelaku industri keuangan di Indonesia mulai bergeser oleh kehadiran fintech. Tak hanya perbankan, fintech turut mendisrupsi bisnis gadai karena akses terhadap pinjaman kini bisa didapatkan dengan mudah dan cepat.

Situasi ini mendorong Pegadaian untuk mulai menginisiasikan pemanfaatan digital dalam meningkatkan perannya di ekosistem keuangan digital. Apalagi, Pegadaian merupakan perusahaan top of mind di sektor gadai yang menguasai 90 persen pangsa dengan lebih dari 4.000 total outlet di Indonesia.

Transformasi bisnis Pegadaian

Inisiasi Pegadaian diawali dengan upaya mendigitalisasi layanannya melalui platform Pegadaian Digital Service (PDS) pada April 2018. Saat itu Pegadaian belum memiliki digital roadmap dan divisi khusus yang bertugas untuk mengeksekusi pengembangan inovasi perusahaan.

Pada perjalanannya, Pegadaian kemudian menetapkan menetapkan Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) periode 2019-2023 sebagai fondasi transformasi yang berfokus pada empat hal antara lain (1) model bisnis, (2) operasional, (3) channel marketing, dan (4) segmen pasar.

Singkatnya, perusahaan pelat merah ini ingin mentransformasikan posisinya di pasar, tak lagi sebagai perusahaan gadai saja, tetapi juga perusahaan yang menawarkan layanan keuangan lainnya. Terbukti dari ekspansi layanan Pegadaian ke emas.

Dari sisi operasional, Pegadaian memanfaatkan teknologi digital untuk menganalisis profil calon pelanggan. Tak hanya itu, perusahaan juga mentransformasikan channel penjualan ke digital dan bermain ke segmen pasar yang lebih luas, yakni segmen menengah ke atas.

Untuk menjalankan rencana tersebut, Pegadaian membentuk divisi Transformation Office (TO) pada 2019. VP Digital Business Development & Partnership Pegadaian Herdi Sularko menyebutkan, ada tiga peran yang dijalankan TO, yaitu mengeksplorasi model bisnis baru, memperbarui proses bisnis, dan memperbarui budaya kerja di lingkup organisasi agar lebih agile dalam mengembangkan produk/layanan.

“Digital itu evolving dan kita harus mulai melatih [beradaptasi] karena setiap harinya selalu ada yang baru. Problem di korporasi itu komunikasi cuma antar-departemen atau divisi. Makanya, kita harus nimble dan agile. Fokus kami bukan jadi startup, tetapi membentuk budaya ‘pekerjaan kita dan orang lain bisa align’,” ungkap Herdi seperti dikutip dari Corporate Digital Transformation Report 2020.

Pengembangan produk digital

Sebagaimana disebutkan di awal, Pegadaian berupaya menjangkau pasar yang lebih luas. Strategi ini kemudian dijawab dengan mengembangkan Pegadaian Digital Service (PDS) yang menawarkan sejumlah layanan, seperti Gadai Online dan Jual-Beli Emas.

Saat ini, Pegadaian memiliki tiga bisnis utama, yakni gadai, pembiayaan, dan investasi emas. Sebanyak 90 persen pendapatan Pegadaian disumbang dari layanan gadai. Berdasarkan data perusahaan, sebanyak 2 juta nasabah dari total 13,86 juta nasabah di 2019 kini telah melakukan transaksi digital melalui PDS.

Untuk mendongkrak jumlah nasabah, Pegadaian baru saja mengomersialisasi fitur Pickup & Delivery Service untuk layanan Gadai Online di wilayah Jakarta. Pegadaian menggandeng Gojek sebagai mitra logistik Gadai Online melalui layanan GoSend.

Sebelumnya, Pegadaian telah memperkenalkan layanan ini—awalnya bernama Gadai on Demand—pada April tahun lalu. Saat itu, Gadai on Demand baru sebatas uji coba di beberapa titik di Jakarta.

Dihubungi DailySocial baru-baru ini, Herdi mengungkap bahwa ketersediaan layanan antar-jemput untuk Gadai Online ini nantinya mengikuti kesiapan outlet Pegadaian dan cakupan layanan mitra logistik di wilayah lain di Indonesia. “Kerja sama ini untuk last mile logistic. Jadi, kami jemput bola dengan menggandeng Gojek melalui layanan GoSend,” ungkapnya.

Layanan Gadai Online di aplikasi PDS memungkinkan nasabah untuk mengirim barang gadai dengan GoSend. Customer dapat menggadaikan barang tanpa perlu datang ke outlet dan mengirimnya ke outlet Pegadaian terdekat (radius 7km) dari lokasi mereka.

Sama seperti proses pemesanan GoSend pada umumnya, kurir akan menjemput barang jaminan ke lokasi konsumen. Mereka juga tetap dapat memantau (tracking) perjalanan kurir ke lokasi tujuan. Selain itu, customer tetap bisa berkomunikasi dengan kurir dan staf PDS melalui chat.

Lebih lanjut, pihaknya juga berencana menghadirkan layanan GoPay sebagai opsi pembayaran layanan Pickup & Delivery Service. Selain itu, Pegadaian juga berencana melakukan uji coba pemanfaatan platform Dropbox untuk melalukan penaksiran harga barang jaminan berbasis foto yang dikirimkan customer.

“Saat ini belum bisa ke GoPay, tetapi ini sudah masuk roadmap development kami ke depan. GoPay dibutuhkan untuk pembayaran trip ke outlet. Ke depannya, kami ingin sentralisasi produk digital di aplikasi PDS,” jelasnya.

Kolaborasi dan transformasi outlet

Selain digitalisasi layanan, Pegadaian juga melakukan gebrakan dengan membangun infrastruktur Open API untuk masuk ke ekosistem keuangan di Indonesia. Menurut Herdi, kolaborasi dengan banyak mitra berpeluang untuk menciptakan ekosistem dan lini pendapatan baru.

“Di luar sana sudah terjadi disrupsi. Semua bank mulai ke arah open banking platform. Masalahnya, industri pegadaian tidak punya benchmark karena posisi kami berada di antara banking dan industri keuangan lain. Memang, bisnis ini tidak terdampak tetapi kami bisa melihat model bisnis yang dapat di-scale up,” paparnya.

Salah satu kolaborasi besar Pegadaian adalah menggaet Tokopedia dalam menyediakan layanan Jual-Beli Emas Online yang meluncur pada Januari 2019. Kolaborasi ini diklaim sukses oleh perusahaan mengingat proses integrasinya hanya memakan waktu dua bulan dan mengantongi traction positif dari pengguna Tokopedia. 

Tak hanya itu, Pegadaian juga mulai memodifikasi sejumlah outlet-nya agar relevan terhadap kebutuhan pasar saat ini. Pegadaian telah mentransformasikan 31 outlet-nya menjadi The Gade Coffee & Gold terhadap lebih dari 4.000 outlet di Indonesia.

Menurut Herdi, sejak awal perusahaan menerapkan konsep agile organization dan CI/CD framework (Continuous Integration/Continuous Development), setiap produk akan terus dikembangkan dengan user experience sebagai prioritas utama. “Kami ingin memberikan customer experience yang sama seperti di offline. Hadir di mana pun dengan layanan yang mudah dan tangkas bagi semua kalangan,” jelasnya.

Sementara dari sisi back-end dan ground level operation, Pegadaian juga mengimplementasikan solusi teknologi, seperti IoT-based RFID network dan Robotic Process Automation (RPA) untuk meningkatkan pengamanan barang jaminan dan efisiensi operasional.

Application Information Will Show Up Here

Gamers Indonesia Siap Berlaga di Gopay Arena Championship 2020

Pada tanggal 15 Juni 2020 yang lalu, GoPay Arena Championship (GAC) secara resmi dibuka oleh Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia, Zainudin Amali. Festival mobile esports terbesar di Indonesia sudah bergulir sekitar 1 bulan dan menembus angka partisipasi pendaftar yang spektakuler.

Timothius Martin, Senior Vice President, Product Marketing, GoPay dalam rilisnya menjelaskan, “masa pandemi hingga new normal menjadikan kita lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, salah satunya mengisi waktu dengan game.”

Adapun jumlah peserta yang dicatatkan mencapai 7.631 tim pendaftar atau kurang lebih ada sekitar 30.000 gamers yang berpartisipasi. Tidak hanya terbuka untuk kalangan umum saja, di kesempatan yang sama berlangsung juga babak kualifikasi terpisah untuk tim profesional.

Tercatat ada 64 tim profesional berhasil dikumpulkan untuk menambah keseruan dan tingkat kompetitif gelaran turnamen GAC. Nantinya di babak utama akan mempertemukan secara bersamaan pemain profesional dan pemain amatir. Kesempatan ini juga memungkinkan bersinarnya talenta esports baru Indonesia. Total hadiah yang disediakan mencapai 1 miliar Rupiah. Tagar #SeriusMain membawa antusiasme yang luar biasa besarnya terhadap gelaran GAC.

Lewat inovasi GoPay di Google Play, gamer dapat dengan mudah melakukan top up diamond, skin, atau game credit cukup dengan 1-tap-buy. Faktor keamanan dan kemudahan untuk top up adalah hal penting yang menunjang kegiatan gaming dan esports.

Adapun gelaran turnamen GoPay Arena Championship 2020 akan mempertandingkan beberapa cabang esports antara lain: Free Fire, Mobile Legends, dan PUBG Mobile. Babak utama GoPay Arena Championship masih terus berlangsung dan mencapai puncaknya di tanggal 1 dan 2 Agustus 2020 mendatang.

via: Instagram mineskiesports.id
via: Instagram mineskiesports.id

Tidak sampai di situ saja, sepanjang gelaran GoPay Arena Championship 2020 akan dimeriahkan oleh All Star Celebrity Fun Match. Sejumlah influencer dan esports personalities akan beradu skill dan saling menunjukkan kebolehannya bermain. Kapten Liong, Elhayaminbooy, Listy Chan, Larissa Rochefort, dan Pevita Pearce sebagai GoPay Gaming & Entertainment Brand Ambassador adalah beberapa nama yang akan berpartisipasi dalam All Star Celebrity Fun Match. Tidak ketinggalan Aldi Haryopratomo selaku CEO GoPay akan turut bertanding.

Seiring berjalannya turnamen Anda juga berkesempatan unutk memenangkan 9 smartphone Android hanya dengan melakukan top up GoPay selama gelaran GoPay Arena Championship 2020 berlangsung. Pemenangnya nanti akan diumumkan di puncak acara GoPay Arena Championship 2020. Di babak final nanti, jangan lupa saksikan juga penampilan dari JKT 48 sebagai guest star.

Mengulik Medium Pembayaran: Menuju Babak baru Sektor Fintech di Indonesia

Dua dompet digital besar di Indonesia, Ovo dan Dana, dilaporkan tengah dalam proses finalisasi merger, yang telah berlangsung sejak September 2019 dan mungkin memberi mereka kesempatan untuk bersaing dengan kompetitor utama Ovo, GoPay oleh Gojek.

Konsolidasi ini masuk akal. Mengingat Ovo, yang didukung oleh Lippo Group dan Grab, telah bersaing ketat dengan GoPay. Berbagai laporan menunjukkan bahwa kedua platform ini mendominasi lanskap pembayaran digital Indonesia dalam hal jumlah pengguna, sementara Dana dan LinkAja milik BUMN masing-masing menempati peringkat ketiga dan keempat. Maka, ketika Ovo dan Dana menggabungkan basis pengguna mereka, bisa jadi entitas baru ini akan membentuk pangsa pasar yang jauh lebih besar.

Michael Hijanto, analis riset senior dari perusahaan konsultan M2Insights yang berbasis di Singapura, percaya bahwa melalui merger, Ovo dan Dana dapat mengarahkan sumber daya mereka dan mengembangkan strategi bisnis bersama untuk bersaing dengan GoPay. “Dalam hal pangsa pasar, Ovo adalah e-wallet pilihan Grab dan Tokopedia, dan Dana adalah e-wallet pilihan Lazada dan Bukalapak. Baik Ovo dan Dana memiliki basis konsumen yang signifikan yang tidak mungkin untuk segera beralih ke GoPay atau Shopee Pay,“ katanya kepada KrASIA.

Tentang Ovo

Ovo didirikan pada tahun 2017 oleh konglomerat Indonesia Lippo Group, yang bisnisnya meliputi pengembangan real estat, media dan komunikasi, perawatan kesehatan, dan pendidikan. Sebagai bagian dari Lippo Group, Ovo memiliki keunggulan akses langsung ke bisnis ritel yang berafiliasi dengan Lippo, yang kemudian menghasilkan traksi instan di tahun pertama operasinya. Pada rapor tahun 2018, Ovo mengklaim telah melakukan 1 miliar transaksi.

Ovo tidak pernah blak-blakan mengenai pendanaan. Satu-satunya putaran pendanaan yang dibagikan kepada publik adalah investasi 116 juta dolar AS dari Tokyo Century Corporation pada Desember 2017, ketika investor Jepang mengakuisisi 20% saham. Pada bulan November berikutnya, super-app Asia Tenggara, Grab, dilaporkan berinvestasi di Ovo serta membuka jalan menuju babak baru fintech yang tengah berkembang di Indonesia.

Awalnya, Grab berencana untuk membawa GrabPay ke Indonesia, tetapi mereka gagal mendapatkan lisensi dari bank sentral, Bank Indonesia. Kemitraan antara Ovo dan Grab ini merupakan jalan keluar bagi perusahaan yang berbasis di Singapura ini untuk mengatasi hambatan itu, dengan menunjuk mantan kepala GrabPay, Jason Thompson, sebagai CEO Ovo pada bulan April 2018. Sebelum memulai peran ini, tugas utama Thompson di GrabPay adalah untuk “Mengawasi perkembangan teknologi pembayaran baru dan meningkatkan akses ke layanan pembayaran seluler di seluruh wilayah.”

Berkolaborasi dengan Ovo juga menjadi solusi untuk platform besar lainnya. Ketika TokoCash, e-wallet dari platform e-commerce terbesar di Indonesia Tokopedia, ditangguhkan oleh Bank Indonesia pada tahun 2017, Tokopedia tidak memiliki pilihan selain mencari kemitraan dengan penyedia pembayaran eksternal. Perusahaan ini dilaporkan melakukan investasi yang dirahasiakan di Ovo pada Maret 2019, lalu kedua perusahaan mengumumkan kemitraan resmi beberapa bulan kemudian.

Berhasil menyandang gelar unicorn tahun lalu, Ovo menunjukkan pertumbuhan yang cepat dan perkembangan positif dalam dua tahun beroperasi. Dalam sebuah wawancara dengan KrASIA, CEO Ovo Jason Thompson mengatakan pengguna aktif bulanan perusahaan tumbuh 400% per tahun pada tahun 2019.

Namun, ada tanda-tanda bahwa tidak semuanya berjalan lancar di Ovo. Pada bulan November, pendiri Lippo Group Mochtar Riady mengatakan perusahaannya menjual 70% sahamnya di Ovo karena pengeluaran yang cukup besar.

Bakar uang menjadi strategi yang umum bagi startup teknologi untuk memperoleh sebanyak mungkin pelanggan. Dalam beberapa kasus, hal ini bahkan diperlukan. Namun, jika rapor perusahaan tetap merah, strategi ini bisa menjadi beban berat bagi investor. Tech in Asia melaporkan bahwa Lippo Group menghabiskan USD 50 juta setiap bulan untuk mempertahankan Ovo, meskipun klaim itu kemudian dibantah oleh perusahaan.

Menurut data perusahaan yang diperoleh M2Insights pada bulan Desember 2019, Grab memegang saham terbanyak di Ovo, diikuti oleh Tokopedia, Tokyo Century Corporation, dan kemudian Lippo Group. Sementara itu, Dana didukung oleh unit investasi Alibaba, Ant Financial, dan konglomerat Indonesia Emtek. Ovo dan Dana telah lama berbagi DNA; Alibaba juga berinvestasi di Tokopedia, sementara Grab, Tokopedia, serta Alibaba didukung oleh SoftBank.

Designed by Shermin Shu

Laporan Bloomberg mengatakan syarat dan waktu merger antara Ovo dan Dana mungkin berubah, dan kesepakatan bisa saja gagal. Hal ini adalah konsekuensi dari kerumitan konsolidasi.

”Ovo saat ini memiliki pangsa pasar yang lebih besar daripada Dana di Indonesia, tetapi sulit untuk mengatakan siapa yang akan menjadi pemegang saham mayoritas. Pemegang saham mayoritas yang baru mungkin juga bergantung pada siapa yang akan menginvestasikan lebih banyak uang ke dalam entitas gabungan. Kami percaya bahwa merger antara kedua e-wallet ini tidak akan sederhana,” pungkas Hijanto dari M2Insights.

Karena kedua perusahaan memproses pembayaran untuk raksasa e-commerce negara, merger ini akan berdampak pada mitra mereka. Sementara Ovo memiliki hubungan dekat dengan Tokopedia, Dana adalah e-wallet yang terintegrasi ke dalam sistem Bukalapak dan Lazada, dan sebagian besar nilai transaksi bruto Dana berasal dari dua platform ini.

“Kami tidak tahu apakah Bukalapak dan Lazada akan merasa nyaman bekerja dengan Ovo-Dana yang baru digabung jika pesaing terbesar mereka, Tokopedia, adalah pemegang saham utama dari e-wallet,” kata Hijanto.

Bisnis e-commerce kini telah, dan mungkin akan terus menyumbang, sebagian besar dari ekonomi digital Indonesia. Oleh karena itu, masuk akal untuk berharap bahwa baik Ovo dan Dana ingin mempertahankan kemitraan erat di arena ini.

Babak panjang

Indonesia memiliki populasi lebih dari 270 juta, tetapi lebih dari separuh penduduk negara ini tidak memiliki rekening bank. Sementara itu, ada sekitar 175,4 juta pengguna internet di Indonesia per Januari 2020, yang menunjukkan 64% penetrasi internet, menurut sebuah laporan oleh perusahaan pemasaran media sosial global, We Are Social and Hootsuite. Meskipun orang Indonesia suka menghabiskan waktu online, laporan itu menunjukkan bahwa hanya 3,1% dari populasi negara itu menggunakan dompet digital, yang berarti ada potensi pertumbuhan besar-besaran di segmen ini.

Sumber: laporan Digital in 2020 oleh We Are Social dan Hootsuite

Mudah untuk menyarankan Ovo dan Dana untuk bergabung dan menantang GoPay, tetapi melihat dompet digital yang masih memiliki jejak terbatas di Indonesia, industri ini masih punya banyak ruang untuk pemain baru. Namun, pasar ini cukup sulit untuk ditembus; semua bergantung pada kemitraan yang tepat dan mengembangkan model bisnis berkelanjutan.

Mantan menteri IT Rudiantara mengamini pandangan itu. Dia percaya bahwa merger adalah langkah yang tepat, mengingat bagaimana platform pembayaran fintech perlu memiliki “skala ekonomi” untuk mengimbangi pasar konsumen negara.

“Pesaing [Ovo dan Dana] tidak hanya platform pembayaran lokal, tetapi juga platform pesan singkat dengan adopsi massal seperti WhatsApp yang memiliki basis pengguna yang sangat besar di sini,” katanya kepada KrASIA. WhatsApp telah meluncurkan fitur pembayaran di India dan Brasil. Rumor mengatakan bahwa raksasa teknologi juga akan membawa fitur ke Indonesia segera. “Jumlah pengguna WhatsApp di Indonesia jauh lebih besar dari jumlah pengguna dompet seluler yang digabungkan. WhatsApp Pay bisa menjadi ancaman bagi platform pembayaran digital lokal, terutama karena pengguna WhatsApp dapat memilih untuk membayar menggunakan aplikasi pesan untuk kenyamanan,” tambah Rudiantara.

Tampilan aplikasi Ovo dari website

Untuk berkembang, platform pembayaran harus memberikan layanan yang komprehensif, memberi pelanggan lebih banyak alasan untuk menghabiskan waktu di aplikasi. Itu berarti dompet digital perlu melakukan lebih dari sekadar memfasilitasi transaksi, dan Ovo sepenuhnya menyadari hal itu. Sejak awal 2019, perusahaan telah membawa layanan keuangan tambahan ke aplikasinya.

Pada bulan Maret tahun lalu, platform meluncurkan fitur investasi reksa dana bekerja sama dengan Bareksa, pelopor dalam sektornya di Indonesia. Kemudian, Ovo memperkenalkan fitur paylater di bulan Mei, dijalankan oleh kredit online dan layanan pinjaman Taralite, yang diakuisisi Ovo di awal tahun. Menurut Fintech Report 2019 yang dirilis DailySocial, pay-later adalah produk fintech paling populer ketiga di Indonesia, dan Ovo adalah aplikasi yang paling banyak digunakan untuk layanan pay-later.

Belum lama, Ovo meluncurkan asuransi kecelakaan kematian dan COVID-19 bersama Prudential. Perusahaan akan terus fokus pada pinjaman, investasi elektronik, dan produk asuransi digital tahun ini, CEO Ovo mengatakan dalam sebuah wawancara beberapa waktu lalu.

Sementara itu, Dana baru saja meresmikan kemitraan dengan startup Polri insurtech Pasar Polis untuk menawarkan layanan asuransi mikro melalui e-wallet. Tahun lalu, Dana juga dikabarkan sedang mengerjakan produk paylater bekerja sama dengan Akulaku, walaupun fitur tersebut belum resmi beroperasi. Semua mengacu pada saat Ovo dan Dana akhirnya bergabung, entitas yang baru akan dapat memperluas penawaran mereka dan menyediakan paket beragam produk keuangan. Ini akan memberikan kesempatan yang lebih baik untuk terus maju sebagai dompet digital pilihan dalam jangka panjang.

Seperti Ovo, GoPay juga memiliki daftar mitra dan investor yang tak kalah menjulang, meliputi Google, JD.com, Djarum, Facebook, dan PayPal. Dengan investasi dari Djarum dan JD, GoPay terintegrasi dengan Blibli dan JD.id, yang merupakan platform e-commerce paling populer kelima dan keenam di Indonesia pada kuartal pertama tahun 2020, menurut data yang dikumpulkan oleh iPrice.

Kemitraan dengan Facebook dan PayPal akan memungkinkan Gojek dan GoPay untuk memasuki basis pengguna perusahaan-perusahaan Amerika di Indonesia bersama dengan jaringan pedagang mereka. Namun, para analis meragukan bahwa GoPay akan menjadi mitra eksklusif untuk Facebook di Indonesia, karena jejaring sosial tersebut dilaporkan dalam pembicaraan dengan tiga perusahaan fintech lokal untuk persetujuan pembayaran mobile di negara ini. Reuters melaporkan bahwa perusahaan yang dimaksud adalah GoPay, Ovo, dan LinkAja, meskipun belum ada konfirmasi resmi.

“Memang benar bahwa Gojek telah mendapatkan dana dari Facebook dan PayPal, yang akan menambah amunisi GoPay. Namun, pada dasarnya, sebagian besar dari nilai transaksi bruto Ovo berasal dari Grab dan Tokopedia, yang keduanya tidak mungkin menerima GoPay sebagai opsi pembayaran,” bantah Hijanto.

Pemain lainnya

Ovo, Dana, dan GoPay adalah perusahaan terkemuka pada sektornya, tetapi ada platform lain yang juga mengumpulkan pengikut, seperti LinkAja dan ShopeePay.

LinkAja berafiliasi dengan setidaknya sepuluh perusahaan milik pemerintah, termasuk operator terbesar Telkomsel di negara itu, pemberi pinjaman Bank Mandiri, BRI, BNI, serta perusahaan minyak dan gas Pertamina. Kemitraan ini memberi LinkAja banyak pelanggan potensial.

LinkAja mengklaim memiliki setidaknya 40 juta pengguna terdaftar pada tahun 2019, dan platform ini telah mengembangkan kolaborasi baru dengan berbagai perusahaan. Secara khusus, ini adalah penyedia dompet ponsel besar pertama yang menawarkan layanan yang sesuai dengan syariah. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, fintech syariah memiliki daya tarik tersendiri di Indonesia selama dua tahun terakhir, ditandai dengan munculnya pemain baru di segmen ini, seperti pemberi pinjaman P2P Alami Shariah dan Investree. Sejauh ini, hal tersebut menjadi keunggulan tersendiri bagi LinkAja, terutama jika pihaknya mwmutuskan untuk menawarkan pinjaman, fitur paylater, atau produk investasi yang dirancang khusus untuk pengguna Muslim.

Dibandingkan dengan operator besar lainnya, LinkAja memiliki pendekatan asimetris untuk beroperasi di fintech. Alih-alih bersaing secara langsung dengan pemain seperti Ovo dan GoPay, LinkAja telah bernegosiasi untuk menjadi bagian dari kedua ekosistem mereka melalui Grab dan Gojek. November lalu, LinkAja menjadi opsi pembayaran untuk Gojek dan Grab. Dan itu adalah satu-satunya dompet digital yang dapat digunakan di Tokopedia dan Bukalapak.

Aplikasi LinkAja Sharia / LinkAja

Dalam sebuah wawancara dengan KrASIA tahun lalu, CEO LinkAja saat itu Danu Wicaksana mengatakan platform tersebut memiliki target pasar yang biasanya tidak diperhitungkan oleh platform fintech. Tidak hanya menargetkan kelas menengah; namun juga melayani kelompok berpenghasilan menengah ke bawah yang belum menikmati layanan keuangan digital. Perusahaan melakukan ini dengan menghubungkan bank-bank dan perusahaan-perusahaan milik negara. Pengguna LinkAja dapat menarik uang dari ATM BTN, BNI, BRI, dan Mandiri, dan memiliki basis pengguna yang cukup besar di kota-kota tingkat ketiga. Ini juga bekerja dengan transportasi umum dan operator jalan tol. Selain itu, pekerja Indonesia di Singapura dapat mengirimkan uang ke akun LinkAja di negara asal mereka hanya dengan SGD 2,50 dari Singtel Dash. Dengan ceruk pasarnya, akan lebih baik bagi Ovo dan GoPay untuk mempertahankan hubungan dekat dengan LinkAja milik negara daripada bersaing melawannya.

Sementara itu, sebagai pemain yang lebih baru, ShopeePay telah mengejar ketinggalan setelah mendapatkan lisensi BI pada November 2018. Awalnya, layanan ini hanya bisa digunakan pada platform e-commerce Shopee, yang telah berhasil melampaui Tokopedia sebagai platform e-commerce dengan sebagian besar orang Indonesia. pengguna bulanan aktif pada kuartal pertama 2020.

Menurut laporan triwulan Sea Group, Shopee Indonesia mendaftarkan lebih dari 185 juta pesanan dalam tiga bulan pertama tahun ini, atau rata-rata harian lebih dari 2 juta pesanan, dan lebih dari 40% pesanan kotor Shopee di Indonesia dibayar melalui ShopeePay . Itu berarti ShopeePay telah mendapatkan traksi tinggi melalui transaksi e-commerce saja.

Namun, seperti semua platform lainnya, ShopeePay juga bertujuan untuk memperluas rangkaian kasus penggunaan dan kemitraan pihak ketiga secara online dan offline. Hari ini, Anda dapat dengan mudah menemukan spanduk promosi ShopeePay di pusat perbelanjaan di seluruh Jakarta, berdampingan dengan bahan GoPay dan Ovo sendiri. Baru-baru ini juga dipasangkan dengan platform fintech “merchant-centric” yang disebut Youtap. ShopeePay mengatakan Youtap telah melipatgandakan transaksinya dengan memberinya akses ke jaringan mitra dagang yang luas, termasuk McDonalds.

Hijanto dari M2Insights percaya bahwa ShopeePay akan terus tumbuh, terutama dengan QRIS (standar kode QR Indonesia), yang dirancang untuk meningkatkan konektivitas dalam sistem pembayaran dengan menerbitkan kode tunggal ke pedagang untuk semua platform e-wallet. ShopeePay sekarang dapat digunakan untuk membayar pedagang batu bata dan mortir yang sebelumnya hanya menggunakan Ovo atau GoPay. ShopeePay juga memiliki layanan paylater yang telah terdaftar dalam tiga produk paling populer dari jenisnya pada tahun 2019, menurut Fintech Report 2019 dari DailySocial.

Masa depan fintech pembayaran di Indonesia

Pandemi COVID-19 berperan penting dalam mendorong adopsi pembayaran tanpa uang tunai tahun ini. Ovo melihat jumlah pengguna barunya tumbuh 267% setelah PSBB berlaku. Sementara itu, Gojek dan GoPay telah mengamati pertumbuhan dua digit dalam transaksi digital, termasuk untuk fitur pay-later mereka, hanya dalam sebulan setelah dimulainya wabah. Pandemi telah menjadi anugerah tak disengaja bagi startup fintech Indonesia, terutama yang memfasilitasi pembayaran mobile.

Layanan pembayaran Facebook juga dapat mengguncang lanskap bisnis fintech di Indonesia dan menjadi game-changer bagi konsumen Indonesia. Lantaran Facebook memiliki 136 juta pengguna di negara ini, sementara WhatsApp ada di lebih dari 180 juta ponsel, produk pembayaran mereka akan memacu perdagangan sosial dan penetrasi pembayaran digital.

Berbicara kepada media lokal Katadata, CEO BRI Ventures, Nicko Widjaja percaya bahwa ekosistem fintech Indonesia memiliki potensi untuk meniru lanskap pembayaran fintech di China, yang dipimpin oleh dua pemain, WeChat Pay dan Alipay. Perusahaan yang memiliki pangsa pasar yang lebih kecil akan memilih untuk bekerja dengan mitra khusus atau bergabung dengan platform yang lebih besar. Konsolidasi dua pemain kuat adalah cara yang baik untuk memperkuat ekosistem fintech dan mempercepat pertumbuhan inklusi keuangan.

Salah satu contoh yang baik adalah platform mPOS Moka, yang baru saja diakuisisi oleh Gojek. Akuisisi ini mengintegrasikan 40.000 mitra bisnis Moka dan 500.000 pedagang Gojek. Kesepakatan ini diharapkan dapat mempercepat digitalisasi usaha kecil di Indonesia.

Dompet elektronik menghasilkan uang dalam beberapa cara — komisi dari transaksi, biaya dari pedagang dan penyedia layanan, serta biaya pengguna. Tetapi dengan tingkat adopsi yang relatif sederhana, platform dompet ponsel masih berusaha meningkatkan sebelum berfokus pada profitabilitas. Itu berarti merayu pelanggan dengan menawarkan cash back dan promosi lainnya, serta berintegrasi dengan platform e-commerce dan ride-hailing yang paling banyak.

Platform ini juga perlu memastikan pelanggan tetap setia. Mereka melakukan ini dengan membangun kemitraan yang relevan bagi pengguna mereka, atau mengakuisisi perusahaan fintech lainnya secara langsung untuk menambahkan layanan baru seperti pinjaman modal dan kendaraan investasi. Kolaborasi dengan bank konvensional dan perusahaan besar juga sangat penting, terutama di kota dan daerah non-metro.

Bank Indonesia telah mengeluarkan lisensi pembayaran kepada 50 operator e-money pada Mei 2020. Mengingat banyaknya pemegang lisensi e-money dan semakin ketatnya persaingan di antara mereka, kemungkinan kita akan melihat lebih banyak lagi dompet digital yang muncul menjadi penantang.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

GoPay Arena Championship Adu 3 Game, Total Hadiah Rp1 Miliar

Semakin banyak merek non-endemik yang tertarik mendukung esports seiring dengan berkembangnya ekosistem competitive gaming. Salah satunya adalah GoPay. Dalam konferensi pers pada Senin, 15 Juni 2020, Timothius Martin, Senior Vice President Product Marketing GoPay, mengatakan bahwa GoPay telah ikut serta mendukung esports sejak 2018. Salah satu dukungan mereka berupa kerja sama dengan organisasi esports, seperi RRQ, Aura, dan Bigetron. Selain itu, mereka juga menjadi sponsor sejumlah turnamen esports seperti IDBYTE 2019. Sekarang, GoPay ingin mengadakan turnamen esports sendiri, yang dinamai GoPay Arena Championship (GAC).

Pria yang akrab dengan panggilan Timo ini menjelaskan, di masa pandemi dan transisi ke normal baru, semakin banyak orang yang tertarik untuk bermain game. Jadi GoPay menganggap, sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengadakan turnamen esports online. Dia mengklaim GAC sebagai “festival esports online terbesar di Indonesia”. Pasalnya, dalam GAC, ada 3 game populer yang diadu, yaitu Mobile Legends, Free Fire, dan PUBG Mobile.

Kompetisi esports di GAC bisa diikuti baik oleh tim profesional maupun tim amatir. Tim-tim profesional yang berlaga dalam GAC akan ditentukan berdasarkan undangan. Sementara tim amatir harus melalui babak kualifikasi terbuka. Pendaftaran untuk tim amatir dibuka mulai hari ini, Selasa, 16 Juni 2020 sampai 29 Juni 2020. Jika tertarik, Anda bisa mengunjungi gopayarena.id.

Babak kualifikasi untuk tim profesional akan dimulai pada 27 Juni sampai 19 Juli 2020. Sementara babak kualifikasi untuk tim amatir akan diadakan pada 6 Juli sampai 26 Juli 2020. Para tim profesional dan amatir yang berhasil lolos dari babak kualifikasi akan bertemu di babak Grand Final. Sayangnya, belum diketahui tanggal pasti dari babak Grand Final. Timo memperkirakan, Grand Final akan diadakan pada minggu ke-4 bulan Juli atau pada awal bulan Agustus. Total hadiah yang ditawarkan dalam GAC mencapai Rp1 miliar.

GoPay Arena Championship
Jadwal GoPay Arena Championship.

Untuk game Free Fire, babak Grand Final akan mempertemukan 8 tim profesional dan 4 tim amatir yang lolos babak kualifikasi. Dua belas tim tersebut akan bertanding dalam 8 ronde untuk menentukan pemenang GAC. Pada game Mobile Legends, babak final akan mengadu 6 tim profesional yang diundang dan 2 tim amatir. Terakhir, dalam game PUBG Mobile, babak Grand Final akan mengadu 12 tim profesional dengan 4 tim amatir.

“Kami sangat senang dengan GAC karena turnamen ini adalah sebuah terobosan,” kata Aswin Atonie, Brand Director, Moonton Indonesia. “Biasanya, kami sebagai publisher sibuk dengan event kami sendiri. Sekarang, kami dikumpulkan menjadi satu.” Dia menjelaskan, selama masa pandemi, semakin banyak orang yang menghabiskan waktu untuk bermain game. Alhasil, permainan para pemain amatir menjadi semakin baik. Dia yakin, tim-tim amatir yang berlaga di GAC juga akan menyuguhkan pertandingan yang menarik.

Agung Chaniago, Esports Manager, Tencent Games Indonesia mengatakan, pandemi memang membuat bermain game menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat. “Kalau dulu kan kita janji untuk nongkrong, sekarang, janji untuk mabar,” ujarnya. “Semakin banyak juga influencer dan artis yang membuat siaran langsung di channel mereka sendiri. Sebelumnya tidak pernah.”

Sementara itu, Wijaya Nugroho, Business Development, Esports Manager, Garena Indonesia mengungkap, sejak pemerintah menunjukkan dukungan pada industri esports, perkembangan esports memang semakin pesat. “Setelah ada esports di SEA Games, Asian Games, dan Piala Presiden, pertumbuhan esports menjadi semakin luar biasa. Dan adanya event seperti GAC bisa menjadi wadah agar esports di Indonesia bisa semakin maju.”

GoPay dan Pluang Buat Fitur GoInvestasi, Mudahkan Investasi Emas Online

GoPay dan Pluang meresmikan fitur GoInvestasi untuk memudahkan para pengguna mulai berinvestasi emas online melalui platform Gojek. Sejatinya fitur ini sudah diperkenalkan sejak Maret 2020.

Co-Founder Pluang Claudia Kolonas menjelaskan pihaknya melihat ada kesadaran dan minat masyarakat untuk mulai berinvestasi buat masa depannya. Emas tergolong punya profil risiko yang minim dan masih menjadi pilihan favorit investasi masyarakat.

“Melalui GoInvestasi, kami memberikan solusi finansial yang mudah, terpercaya, dan menguntungkan untuk semua masyarakat Indonesia [..] Kemitraan dengan GoPay membuka peluang semua orang dapat berinvestasi dan menabung,” katanya dalam keterangan resmi, Selasa (9/6).

Managing Director GoPay Budi Gandasoebrata menambahkan, dalam data perusahaan, investasi adalah salah satu tren penggunaan yang meningkat saat ini. “Oleh karena itu, kami yakin fitur investasi yang transparan dapat dilakukan kapan saja, di mana saja akan memenuhi kebutuhan pengguna,” tutur dia.

Dijelaskan lebih jauh, pengguna dapat membeli emas di Pluang mulai dari 0,01 gram atau setara Rp8 ribu saat ini, tanpa biaya tambahan. Kapan pun dibutuhkan, pengguna dapat mencairkan emas dalam bentuk uang tunai ditransfer ke akun GoPay mereka. Emas dapat dicetak menjadi logam emas bersertifikat ANTAM 99,99%.

Selain fitur beli, GoInvestasi juga menyediakan fitur jual dengan selisih harga jual dan beli 3% jika transaksi dilakukan pada hari yang sama.

Dari segi keamanan, kedua perusahaan berkomitmen memastikan semua transaksi di GoInvestasi diawasi oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) dan emas yang ditabung dijamin oleh PT Kliring Berjangka Indonesia (KBI).

Pluang itu sendiri masuk sebagai salah satu portofolio dari GoVentures. Startup yang sebelumnya bernama EmasDigi ini disuntik dana Seri A senilai Rp42 miliar pada September 2019. Selain Gojek, Pluang juga bekerja sama dengan Bukalapak untuk fitur Cicil Emas.

Paling banyak pemain

Emas merupakan salah satu komoditas tertua di dunia dan investasi safe haven. Sejumlah kelebihan ini akhirnya membuat pamor investasi emas tergolong tinggi dan familiar di telinga orang Indonesia. Oleh karenanya, investasi emas sering kali menjadi gerbang awal untuk menjaring investor baru terjun ke instrument investasi lainnya.

Strategi ini akhirnya diimplementasikan oleh berbagai pemain di Tanah Air. Dalam rangkuman laporan DailySocialFintech Report 2019”, sejumlah pemain investasi online tersohor seperti Bareksa, Tanamduit, Tokopedia, Bukalapak, kini mendiversifikasi layanannya tidak hanya investasi reksa dana saja, dengan fitur jual beli emas di dalam aplikasinya.

Adapun, aplikasi yang sejauh ini hanya menyediakan investasi emas selain Pluang, ada Tamasia, E-mas, Lakuemas, IndoGold, Treasury, dan Pegadaian. Semua pemain ini menawarkan kemudahan membeli dan menjual emas secara digital.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Menimbang Rencana Kolaborasi Facebook dan Pemain Fintech Lokal untuk Sistem Pembayaran

Berdasarkan data yang dirangkum oleh WeAreSocial per awal tahun 2020 ini, Indonesia memiliki sekitar 160 juta pengguna media sosial aktif. Sebanyak 84% dari total tersebut menggunakan WhatsApp, 82% menggunakan Facebook, 79% menggunakan Instagram, dan 50% menggunakan Messenger.

Pada November 2019, Facebook Pay diluncurkan diperkenalkan sebagai layanan pembayaran yang memungkinkan pengguna untuk mengirim dan menerima uang melalui empat aplikasi di atas. Di versi awalnya untuk penggunaan di negara asalnya, pengguna dapat memanfaatkan kartu kredit untuk diintegrasikan ke dalamnya.

Sebenarnya inisiatif ini bukan hal baru, beberapa raksasa digital lain juga meluncurkan inisiatif serupa, misalnya Google Wallet dan Apple Pay. Yang membuat jadi menarik, santer terdengar rumor bahwa layanan pembayaran perusahaan yang diinisiasi Mark Zuckerburg tersebut akan dibawa ke Indonesia. Alih-alih bekerja sama dengan bank untuk transaksi via kartu kredit, mereka menggandeng pemain fintech lokal yang bergerak di bidang pembayaran.

Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Filianingsih Hendarta kepada Reuters mengatakan, tiga pemain fintech lokal telah mulai membincangkan rencana tersebut kepada BI sekaligus memohon persetujuan. Belakangan diketahui, perusahaan yang dirangkul Facebook adalah tiga platform terbesar saat ini, yaitu GoPay, LinkAja, dan Ovo.

Ditegaskan kembali hal ini masih dalam diskusi. Belum ada proses pengajuan resmi yang dilakukan perusahaan tersebut.

Facebook Pay
Layanan Facebook Pay yang diluncurkan pada November 2019 lalu / Facebook

Konsolidasi dengan pemain fintech lebih masuk akal

Pagi ini kami mencoba menghubungi tim Facebook di Indonesia. Mereka masih enggan untuk memberikan keterangan terkait rencana tersebut. Pun demikian dengan pihak fintech lokal.

Namun demikian, menurut sumber lain yang dikutip Reuters, Facebook Inc sedang bersiap untuk mengajukan diri sebagai mobile payment yang beroperasi di Indonesia, bermitra strategis dengan tiga perusahaan fintech di atas.

Berdasarkan data Bank Indonesia, jumlah kartu kredit beredar per Februari 2020 tercatat 17,61 juta. Rasionya masih sangat kecil dibandingkan dengan total penduduk atau bahkan populasi pengguna internet di Indonesia. Sementara penetrasi digital wallet jauh melampaui pertumbuhan pengguna kartu kredit. Ambil contoh pada Desember 2019, LinkAja catatkan lebih dari 40 juta pengguna. Cukup masuk akal jika di Indonesia Facebook lebih memilih pemain fintech ketimbang bank untuk debutnya.

Jika integrasi ini berhasil dilakukan, nantinya pengguna Facebook, Instagram, Messenger, dan WhatsApp bisa berkirim uang menggunakan nominal saldo yang tersimpan di akun GoPay, LinkAja, atau Ovo yang dihubungkan dengan layanan Facebook Pay.

Apa jadi ancaman?

Sebanyak 59% dari total penduduk di Indonesia adalah pengguna media sosial. Jika diakumulasi, pengguna aplikasi dari “keluarga Facebook” akan mendominasi. Jelas ini bukan angka yang kecil untuk sebuah statistik pengguna platform digital – bahkan bisa dibilang yang terbesar, bagaikan sebuah ekosistem tersendiri yang dapat dikembangkan potensi bisnisnya.

Bagi pemain fintech lokal yang menjadi mitra, jelas ini kesempatan baik untuk meningkatkan sebaran pengguna layanan mereka. Facebook sendiri memiliki beberapa layanan bisnis yang berpotensi dapat turut melibatkan sistem pembayaran, misalnya untuk mendukung sistem marketplace, kegiatan donasi, atau pembayaran iklan.

Mengintip Bisnis Perusahaan Voucher Game Digital di Indonesia

Dalam 10 tahun belakangan, industri game telah banyak berubah. Tidak hanya dari segi teknologi, tapi juga model bisnis. Jika dulu Anda harus membeli game dalam bentuk fisik — cartridge atau kepingan CD — sekarang, Anda bisa membeli game di toko digital, seperti Steam. Setelah game dibeli, Anda cukup mengunduhnya ke komputer atau konsol.

Sementara itu, dari segi model bisnis, kreator game sekarang tidak hanya mendapatkan pemasukan dari penjualan game. Terkadang, game bisa dimainkan secara gratis, tapi ada microtransaction dalam game. Item yang dijual dalam game memiliki fungsi yang berbeda. Ada yang memang berfungsi sebagai powerup, ada juga yang hanya menjadi item kosmetik. Dota 2 dan PUBG Mobile adalah contoh game yang bisa dimainkan gratis tapi menawarkan pembelian dalam game. Selain itu, publisher game sekarang juga bisa menggunakan sistem berlangganan, sehingga sebuah game masih bisa terus menghasilkan pendapatan walau telah diluncurkan beberapa tahun lalu.

Segala sesuatu yang serba digital memang memudahkan gamer untuk membeli game atau item dalam game. Masalahnya, kartu kredit adalah salah satu metode pembayaran utama. Sementara, di Indonesia, pengguna kartu kredit masih sangat sedikit. Menurut Asosiasi Kartu Kredit Indonesia, per 2019, jumlah pengguna kartu kredit Indonesia hanya mencapai 17,48 juta orang. Sementara populasi di Indonesia mencapai 267 juta orang. Itu artinya, jumlah pengguna kartu kredit di Indonesia hanya mencapai 6,55 persen dari total populasi. Untungnya, seiring dengan berkembangnya teknologi, opsi pembayaran untuk membeli game atau item game di Indonesia juga bertambah.

Pada awalnya…

Pada awal tahun 2000-an, ketika game-game MMORPG sedang populer, voucher game masih berupa voucher fisik. Anda bisa membelinya langsung di warnet tempat Anda bermain. Setelah itu, mulai muncul berbagai situs yang menjual voucher game, seperti GudangVoucher, Indomog, dan UniPin. Kemudian, perusahaan telekomunikasi mulai menawarkan metode pembayaran dengan potong pulsa. Sekarang, metode pembayaran untuk membeli game atau item dalam game sudah semakin beragam, mulai dari voucher fisik (ya, ini masih ada), pembayaran di Indomaret/Alfamart, internet/SMS banking, sampai berbagai layanan pembayaran digital, seperti GoPay dan OVO.

Kali ini, kami akan mengintip dari 3 pelaku industri payment gateway yang menjual voucher game sebagai produk layanan mereka.

Pada awalnya, UniPin hanya menjual voucher fisik untuk game. Sekarang, bisnis utama UniPin masih tetap menjual voucher game, hanya saja, dalam bentuk digital. Dengan kata lain, UniPin adalah salah satu tempat untuk top up game. Saat mengobrol dengan Poeti Fatima Arsyad, Senior VP Marketing, UniPin di kantor tempatnya bekerja, dia menjelaskan, UniPin adalah agregator, mempertemukan para publisher game dengan payment channel. Ini memudahkan para gamer untuk membeli item dalam game menggunakan metode pembayaran apapun mereka mau. Selain top up game, Anda juga bisa melakukan pembayaran untuk berlangganan produk digital lain di UniPin, seperti Netflix dan Spotify.

UniPin menjadi situs aggregator. | Sumber: UniPin
UniPin menjadi situs aggregator. | Sumber: UniPin

Perempuan yang akrab dengan panggilan Poeti ini menjelaskan, untuk dapat menjadi agregator, UniPin harus menggandeng berbagai perusahaan penyedia layanan pembayaran. Namun, mereka tidak mau sembarangan menerima metode pembayaran baru yang ada. “Ngomongin soal payment channel, kita nggak serta merta semua dimasukin. Kalau misalnya, ada yang tidak lulus OJK (Otoritas Jasa Keuangan), kita nggak mau. Kita nggak sembarangan,” katanya. Walau sudah pilih-pilih sekalipun, dia mengaku, metode pembayaran di Indonesia memang sangat banyak, lebih dari lima puluh metode pembayaran. “Kita kan negara dengan populasi terbesar ke-4 di dunia, jadi sangat normal kalau metode pembayarannya banyak.”

Selain pengakuan OJK, ada beberapa hal lain yang UniPin perhatikan sebelum mereka menerima metode pembayaran. Dua di antaranya adalah traction dan model bisnis dari sebuah payment channel yang hendak bekerja sama. Meskipun begitu, Poeti mengatakan bahwa mereka tidak memiliki persyaratan tertentu terkait jumlah transaksi atau jumlah pengguna sebuah ewallet.

“Kita nggak punya persyaratan jumlah pengguna. Itu tergantung dari proses negosiasi untuk commercial term-nya bagaimana. Karena, bagi kami, mereka adalah strategic partner kami. Tanpa mereka, kami juga tidak bisa jalan,” katanya.

GoPay mengumumkan ketersediaan sebagai opsi pembayaran terbaru di Google Play Store
GoPay mengumumkan ketersediaan sebagai opsi pembayaran terbaru di Google Play Store.

Dari semua metode pembayaran yang ada di Indonesia, Poeti bercerita bahwa OVO dan GoPay adalah metode pembayaran yang paling sering dipakai. Alasannya karena dua metode pembayaran sangat simpel. Anda bisa melakukan pembayaran via smartphone Anda. Sementara untuk bank, BCA adalah bank yang paling sering digunakan di kalangan pengguna UniPin. Dia menjelaskan, “Di sini, bank paling besar itu apa? BCA. Ya itu juga paling sering dipakai.” Rata-rata jumlah top up pengguna UniPin adalah Rp50 ribu sampai Rp100 ribu. Sementara umur pengguna UniPin biasanya ada di rentang 18 tahun sampai 40 tahun.

Poeti juga mengungkap, jika ada sebuah publisher asing hendak masuk ke Indonesia, maka mereka akan harus menjalin kerja sama dengan semua payment channel yang ada, mulai dari bank, convenient store, ecommerce, dan ewallet. “Sementara fokus mereka itu ya mengembangkan dan merilis game,” katanya. Dengan bekerja sama dengan UniPin, pihak publisher tak lagi perlu repot-repot untuk menghubungi setiap payment channel.”Kami ingin mempertemukan publisher dengan payment channel,” ujarnya.

UniPin dan Bisnis Esports

Setelah sukses menjadi aggregator, UniPin mulai masuk ke dunia esports. Awalnya, Poeti bercerita, UniPin hanya mengadakan turnamen skala kecil dan menengah. “Sebelum esports diakui di Asian Games dan SEA Games, kami sudah membuat turnamen esports yang kecil-kecil,” ungkap Poeti. Menurutnya, UniPin beruntung karena bekerja sama dengan Indomaret. “Mereka kan bisnisnya sudah seperti real estate. Di mana ada perumahan atau gedung baru, di sana ada Indomaret,” katanya. Tak hanya Indomaret, UniPin juga bekerja sama dengan sejumlah warung internet seperti High Ground dan juga restoran seperti Upnormal. Selain mengadakan turnamen, UniPin juga mulai melakukan roadshow secara gerilya dengan tujuan untuk memperkuat komunitas esports.

Pada 2018, UniPin mulai membuat turnamen dalam skala yang lebih besar. Di tahun itu, mereka menyelenggarakan SEACA (South East Asia Cyber Arena), dengan hadiah mencapai Rp1,4 miliar. Pada tahun 2019, UniPin kembali mengadakan SEACA. Kali ini, total hadiah dari turnamen tersebut naik menjadi Rp2,4 miliar. Ketika ditanya tentang alasan UniPin masuk ke esports, Poeti menjelaskan bahwa mereka mengadakan turnamen esports sebagai cara untuk mendukung ekosistem game dan esports.

Sumber: Hybrid - Akbar Priono
SEACA 2019. Sumber: Hybrid – Akbar Priono

“Kenapa kita adain turnamen esports? Karena kalau kita dukung ekosistem, kalau ekosistem terbentuk dengan baik dan stabil, bisnis kita jalan,” jawab Poeti saat ditanya alasan UniPin untuk ikut masuk ke dunia esports. Dia mengaku, mengadakan turnamen esports memberikan dampak langsung pada bisnis mereka sebagai aggregator. “Impact dari esports ke bisnis, aku bisa bilang lebih dari 100 persen, lebih dari dua kali lipat jika dibandingkan dengan ketika tidak ada event,” ujarnya.

Poeti menjelaskan, jika ekosistem esports tumbuh, ini akan mendorong orang untuk semakin sering bermain atau bermain dengan lebih kompetitif, yang pada akhirnya akan meningkatkan jumlah uang yang dihabiskan oleh para gamer dalam game. “Esports mengajarkan para penontonnya untuk berkompetisi dengan sehat. Karena ada perlombaan, jadi para gamer mau mengasah skill mereka. Dengan adanya esports, spending juga jadi lebih besar,” aku Poeti.

GoPay

Walau pada awalnya GoPay tersedia hanya untuk melakukan pembayaran dari berbagai layanan GoJek, sekarang GoPay bisa digunakan untuk membeli berbagai hal, termasuk top up game. Senior Marketing Manager GoPay, Reza Putranta menjelaskan, industri game memiliki potensi besar di Indonesia. Tidak heran, mengingat jumlah gamer di Tanah Air yang memang tidak sedikit. “Jumlah gamers di Indonesia diperkirakan mencapai 60 juta pada 2019, meningkat menjadi 100 juta gamer pada tahun 2020 ini,” kata Reza dalam pernyataan resmi pada Hybrid. “Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat satu di Asia Tenggara dan peringkat enam di Asia.”

GoGames jadi fitur terbaru GoJek. | Sumber: YouTube Gojek
GoJek targetkan gamer dengan GoGames. | Sumber: YouTube Gojek

Selain UniPin, GoPay juga berkolaborasi dengan sejumlah pihak dalam rencananya untuk menyasar gamer, seperti Codashop, GOC, dan, uPoint. “Sejak Agustus 2019 lalu, pengguna juga sudah bisa top up game dan membayar beragam aplikasi pakai GoPay di Google Play,” ujar Reza. “Ke depan, kami terbuka untuk berkolaborasi dengan semua pihak yang memiliki kesamaan visi.” Reza mengatakan, sejak itu, transaksi GoPay terkait game terus naik. “Jumlah transaksi GoPay di Google Play naik hingga tiga kali lipat dari Agustus hingga Desember 2019. Sebanyak 60 persen transaksi didominasi oleh game, 40 persen sisanya untuk pembayaran aplikasi streaming dan webtoon,” dia mengaku.

Sementara itu, game yang paling populer di kalangan pengguna GoPay adalah Free Fire, Mobile Legends, PUBG Mobile, Game of Sultan, Gardenscape, Homescape, dan Hago. Selain menjadi channel pembayaran, Reza mengatakan, GoPay juga tertarik untuk mendukung industri esports. Salah satu caranya dengan menjadi title sponsor dari GoPay Mobile Legend Campus Championship 2020. Tahun lalu, GoPay juga mensponsori salah satu tim esports terbesar Indonesia, RRQ.

Razer

Sejak awal, UniPin memang perusahaan yang menjual voucher game dan GoPay adalah payment channel yang kemudian memutuskan untuk melayani para gamer. Sementara itu, Razer adalah perusahaan peripheral gaming yang kemudian mencoba untuk menyediakan layanan finansial, salah satunya metode pembayaran. Razer pertama kali meluncurkan zGold dan zSilver pada 2017. Ketika itu, Razer zGold adalah mata uang digital yang dapat digunakan untuk membeli item dalam game, sementara zSilver adalah platform untuk reward ssytem. Pada Desember 2018, Razer mengubah nama kedua produknya menjadi Razer Gold dan Razer Silver, walau fungsi keduanya masih sama.

Selain itu, Razer juga menyediakan Razer Pay, sebuah ewallet. Razer pay pertama kali diluncurkan di Malaysia pada 2018. Menurut laporan The Drum, per 30 Juni 2019, jumlah pengguna Razer Pay telah mencapai satu juta orang. Sayangnya, saat ini, Razer Pay hanya tersedia di Malaysia dan Singapura.

Razer Gold merupakan mata uang digital untuk membeli item dalam game. | Sumber: Razer
Razer Gold merupakan mata uang digital untuk membeli item dalam game. | Sumber: Razer

“Beberapa tahun belakangan, kami terus menciptakan produk baru untuk menjadi bagian dari generasi muda dan milenial di dunia. Ini memberikan kami kesempatan untuk mencoba masuk ke berbagai industri baru,” kata Lee Li Meng, Chief Strategic Officer Razer dan CEO Razer Fintech, dikutip dari The Drum. Salah satu industri baru yang diminati Razer adalah finansial. Sekarang, mereka bahkan memiliki Razer Fintech, divisi yang khusus mengembangkan layanan finansial.

Pada awal tahun ini, Razer mengungkap rencananya untuk membuat bank digital. Di bawah Razer Fintech, mereka meminta lisensi bank digital pada Monetary Authority of Singapore (MAS). Tujuannya adalah untuk menyediakan produk finansial yang transparan untuk generasi muda. Selain itu, dengan menyediakan berbagai layanan finansial, Razer juga berharap, generasi muda akan semakin melek akan literasi keuangan. Memang, Razer mengklaim bahwa 80 persen dari total pengguna mereka — yang mencapai 80 juta orang di dunia — berumur kurang dari 35 tahun.

“Razer Fintech akan fokus pada segmen generasi muda dan milenial yang masih kesulitan mendapatkan layanan finansial. Kami percaya, membuat Razer Youth Bank adalah keputusan yang masuk akal untuk memperluas bisnis pembayaran digital kami,” kata Lee Li Meng.

Kesimpulan

Seiring dengan perkembangan teknologi, maka model bisnis developer game juga terus berubah. Kini, semakin banyak game yang menggunakan model berlangganan atau free-to-play dengan microtransaction di dalamnya. Ada pihak yang diuntungkan dengan model ini, walau tentu saja, juga ada pihak dirugikan (tapi topik itu akan dibahas dalam artikel lain).

Kartu kredit menjadi metode pembayaran utama yang disediakan oleh publisher game. Sayangnya, di Indonesia, tak banyak orang yang punya kartu kredit. Jadi, mulai bermunculan alternatif metode pembayaran mulai dari mobile banking, ewallet, sampai penjualan voucher di convenient store. Ada banyak perusahaan yang tertarik untuk menyediakan payment channel adalah kabar baik bagi konsumen. Ini memberikan Anda kebebasan untuk memilih metode yang memang paling nyaman untuk Anda.

Sumber header: Flickr/Hloom Template

Fokus Raih Profit dan Bisnis Berkelanjutan, GoPay Mulai Kurangi Kegiatan “Bakar Uang”

Konsisten dengan tujuan utama untuk meraih profit dan bisnis berkelanjutan, GoPay secara perlahan mulai mengurangi kegiatan “bakar uang” dengan jumlah promo semakin kecil. Padahal, menurut Managing Director GoPay Budi Gandasoebrata, strategi bakar uang relatif lumrah dilakukan platform dompet digital saat ini.

Secara umum pemberian promo memang sangat efektif untuk mengakuisisi pengguna baru, tapi jika terus dibiarkan bisa menjadi masalah yang akan berpengaruh kepada bisnis perusahaan. Tidak dimungkiri kegiatan promo sulit untuk langsung dihentikan, namun dengan cara yang tepat didukung dengan produk yang relevan, paling tidak bisa membantu kegiatan ini lebih kecil volumenya.

“Kalau misalnya kita lihat saat ini, justru dari semua platform dompet digital yang ada, yang promonya paling kecil adalah GoPay. Tapi pengguna kita justru month-to-month jumlahnya tetap naik, hal tersebut menjadi validasi terhadap strategi yang kita terapkan bahwa promo memang tidak bisa ditinggalkan, tapi pada akhirnya produk yang menentukan,” kata Budi.

Disinggung apakah kegiatan ini mempengaruhi jumlah pengguna yang loyal dan retention, menurut Budi sejauh ini tidak terlalu berpengaruh. Selama kegiatan tersebut dilancarkan, masih banyak pengguna yang kemudian menggunakan kembali semua fitur yang ada dalam ekosistem Gojek, meskipun promo mulai berkurang jumlahnya.

“Kuncinya adalah inovasi dan juga program yang kami lakukan, yaitu promo yang lebih efisien dan targeted. Karena jika kita lihat industri perbankan misalnya seperti kartu kredit, mereka juga masih memberikan promo, tapi lebih targeted sifatnya,” kata Budi.

Persaingan positif platform dompet digital

Hasil survei tentang awareness layanan digital wallet di Indonesia dalam Fintech Report 2019
Hasil survei tentang awareness layanan digital wallet di Indonesia dalam Fintech Report 2019

Salah satu alasan mengapa kegiatan bakar uang makin sering dilakukan adalah persaingan dan pilihan yang makin banyak dari pemain serupa untuk menjangkau lebih banyak pengguna. Menurut Budi, persaingan justru disambut baik. Dengan demikian masing-masing platform berlomba-lomba untuk memberikan produk yang bisa lebih baik lagi.

Di Gojek sendiri fokus utama adalah bagaimana fitur yang ada bisa terus membantu semua pengguna memanfaatkan GoPay untuk bertransaksi di dalam ekosistem hingga di luar ekosistem.

Meskipun saat ini GoPay masih banyak digunakan untuk transaksi dengan nominal kecil dan kebanyakan bersifat mikro, tidak berarti platform ini tidak memiliki peluang mendapatkan pendapatan tambahan. Memanfaatkan kolaborasi dengan bank, merchant dan ekosistem unggulan di Gojek yaitu GoFood, GoPay mengklaim bisa memperoleh pendapatan tambahan yang lebih stabil.

Mulai banyak diterapkannya QR Code dan peluncuran QRIS dari Bank Indonesia juga dilihat oleh GoPay sebagai peluang yang makin menguntungkan untuk perusahaan, dengan demikian kesempatan untuk menjalin kemitraan dengan enterprise makin besar peluangnya yang akan memberikan dampak lebih baik kepada pemasukan bisnis.

GoFood dan GoPay kini dikenal sebagai dua bisnis utama Gojek yang paling cepat pertumbuhannya ketimbang layanan lain. Tahun lalu disebutkan GoFood mencetak revenue $2 miliar, 50 juta transaksi per bulan, dan pertumbuhan naik 2,5 kali lipat. Sementara GoPay berkontribusi $6,3 miliar, meski pertumbuhannya tidak disebutkan.

“Kami juga bersyukur memiliki investor yang banyak dari kalangan blue chip company yang sejak awal mendorong kita untuk fokus kepada profit. Apa yang sudah kami lakukan sejauh ini telah dihargai oleh mereka, karena memang dari awal fokus kita tidak pernah berubah yaitu profit dan sustainability,” kata Budi.

Application Information Will Show Up Here

GoFood and GoPay Optimism for Gojek to be a Profitable Company

GoFood and GoPay are known as Gojek’s two main businesses with the most significant growth of all services. Last year, GoFood is said to gain $2 billion revenue, 50 million transactions per month and grow by 2.5 times. While GoPay contributes for $6.3 billion, not to mention the growth rate.

In one of the sessions by PE-VC Summit 2020 last week (1/15), inviting Gojek’s Chief Food Officer, Catherine Hindra and Gopay’s CEO Aldi Haryopratomo to dig more insights on how the two services play role in Gojek’s business.

Aldi said, 2019 is a good year for business growth, also the beginning of efficiency strategy. How to make the most of every penny from investor’s pocket, engineer’s time management has finally paid off. “This is one of the benefits of being a low capitalized player in this industry,” he said.

The urge of efficiency actually comes from the investors and most are private equity, among those are Northstar and Warburg Pincus. Both are encouraging founders to run Gojek’s business as prudent.

Catherine also said, all the initiatives from investors have directed Gojek to the right business model into profitability. By the time, the benchmark of Gofood’s achievement grows in terms of the transaction number, into gross transaction value (GTV), and now revenue.

We’re now on the right track, the progress is in line with our plan. That’s [the information] it,” he said.

Gofood’s significant growth is actually not in comparison to a similar industry in China. Food delivery in China has reached 13%-15% of the total consumption, while Indonesia is still a long way to go. Therefore, some of China’s innovations often become a role model.

He also highlighted the achievement of Gofood and Gopay is not simply due to its features, but also each other’s bound in one ecosystem.

“we’re not working individual, but as a company that gives the holistic solution. This is what makes us different from others.”

In fact, the company’s DNA has given the whole solution to consumers. Therefore, not only about digital payment and food delivery but the whole daily aspect.

To compare with Grab, Gojek’s funding has a big gap. Since it was founded in 2010, Gojek has secured $3 billion funding in 12 rounds. While Grab reached $9 billion in 12 rounds. Therefore, Gojek has enough cash for a tech company in ASEAN.

In order to build the regional existential, Grab performs expansion in an organic and inorganic way. In a way to make Uber an acquisition in the ASEAN market. While Gojek is just begun the expansion in late 2018.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Keyakinan GoFood dan GoPay Bawa Gojek Jadi Perusahaan “Profitable”

GoFood dan GoPay kini dikenal sebagai dua bisnis utama Gojek yang paling cepat pertumbuhannya ketimbang layanan lain. Pada tahun lalu, disebutkan GoFood mencetak revenue $2 miliar, 50 juta transaksi per bulan dan pertumbuhan naik 2,5 kali lipat. Sementara Gopay berkontribusi $6,3 miliar, meski pertumbuhannya tidak disebutkan.

Dalam salah satu sesi yang diangkat Indonesia PE-VC Summit 2020 pekan lalu (15/1), mengundang Chief Food Officer Gojek Catherine Hindra dan CEO GoPay Aldi Haryopratomo untuk membahas lebih dalam bagaimana kedua layanan ini berperan dalam bisnis Gojek.

Aldi menerangkan, 2019 adalah tahun yang baik dalam hal pertumbuhan bisnis, sekaligus dimulainya strategi efisiensi. Bagaimana memaksimalkan setiap dolar uang investor yang keluar, pembagian waktu engineer, sudah terbayar penuh. “Inilah salah satu keuntungan menjadi pemain berkapitalisasi rendah di industri ini,” ucapnya.

Dorongan efisiensi ini sebenarnya datang tak lain dari para investor yang kebanyakan adalah private equity, di antaranya Northstar dan Warburg Pincus. Keduanya mendorong para founder untuk menjalankan Gojek dengan cara yang prudent.

Catherine menambahkan, seluruh dorongan para investor membuahkan GoFood dalam model bisnis yang sesuai dengan arah profitabilitas. Dari waktu ke waktu, benchmark pencapaian GoFood berkembang dari awalnya angka transaksi, menjadi gross transaction value (GTV), dan sekarang revenue.

“Sekarang kita ada track yang benar, progresnya sesuai dengan yang kita rencanakan dari awal. Baru itu (informasi) yang bisa saya bagikan,” katanya.

Pencapaian GoFood yang pesat, sebenarnya belum seberapa dibandingkan industri serupa di Tiongkok. Industri food delivery di sana penetrasinya sudah mencapai 13%-15% dari total konsumsi, sedangkan di Indonesia masih jauh di bawah itu. Alhasil, berbagai inovasi yang diterapkan di negeri tirai bambu tersebut seringkali menjadi acuan para pemain food delivery.

Dia juga menekankan pencapaian GoFood dan GoPay sebenarnya bukan karena fitur-fitur layanan yang disediakan oleh masing-masing, melainkan keterikatannya satu sama lain di dalam satu ekosistem yang sama.

“Kami tidak bekerja secara individu, tapi sebagai grup perusahaan yang memberikan solusi secara holistik. Mungkin ini yang membedakan kami dengan yang lainnya.”

Pasalnya, DNA yang ditanamkan dalam perusahaan adalah memberikan solusi kepada konsumen secara keseluruhan. Sehingga tidak hanya menyentuh soal pembayaran digital dan food delivery saja, tapi seluruh aspek kehidupan sehari-hari.

Dibandingkan Grab, perolehan dana yang diperoleh Gojek bisa dikatakan cukup terpaut jauh. Sejak didirikan di 2010, Gojek mengantongi pendanaan $3 miliar dalam 12 putaran. Sedangkan Grab mencapai $9 miliar dalam 12 putaran. Meski demikian, nominal yang didapat Gojek tergolong cukup besar untuk perusahaan teknologi yang beroperasi di ASEAN.

Dalam memperkuat eksistensinya di regional, Grab melakukan ekspansi baik secara organik maupun anorganik. Salah satunya melalui akuisisi Uber khusus untuk operasionalnya di ASEAN. Sementara Gojek sendiri baru mulai keluar kandang menjelang akhir 2018.

Application Information Will Show Up Here