Investree Mulai Debut Produk Paylater B2B, Gaet Andalin

Startup fintech lending Investree memperkenalkan produk paylater B2B untuk membiayai UKM yang membutuhkan pembayaran di awal. Startup digital freight forwarder Andalin menjadi startup pertama yang digandeng Investree untuk peluncuran produk ini.

Dalam kerja sama ini, pada tahap awal, Investree menawarkan akses pembiayaan bea cukai dan pajak bagi para UKM di Andalin. Baik Investree dan Andalin termasuk dalam portofolio BRI Ventures.

Dalam wawancara bersama DailySocial, Co-Founder & CEO Investree Adrian A. Gunadi menjelaskan dalam dua tahun terakhir perusahaan fokus pada pembiayaan produktif untuk ekosistem digital yang memiliki banyak jaringan UKM dengan kebutuhan kredit yang tidak sedikit.

Posisi Investree sebagai perusahaan fintech lending, membuka kesempatan bagi ekosistem digital tersebut untuk melengkapi kebutuhan para UKM-nya terutama dari sisi kredit modal kerja. “Paylater ini untuk melengkapi produk pembiayaan mata rantai yang dimiliki Investree,” ucapnya.

Penggunaan terminologi paylater dirasa kini semakin familiar di telinga orang Indonesia sebagai pengganti kartu kredit. Dengan demikian, diharapkan akan semakin diterima bila dibawa untuk sektor B2B, ketimbang memakai istilah buyer financing untuk konsep yang sama.

Andalin, sambungnya, termasuk perusahaan yang menarik karena mereka adalah perusahaan 4PL logistik yang tidak hanya menangani urusan ekspor dan impor untuk UKM, namun juga membantu pengurusan administrasinya. Dengan demikian, para UKM dapat diringankan, tidak perlu mengeluarkan biaya besar di awal, sehingga arus kas perusahaan dapat dioptimalkan. Mereka dapat mengalokasikan dana tersebut untuk kebutuhan yang lebih mendesak.

“Apa yang kita finance saat ini adalah uang yang diperlukan UKM untuk membiayai cukai dan segala perizinan terkait barang yang mereka jual ke luar negeri. Sebab, kendala di lapangan, biasanya UKM punya barang bagus tapi kesulitan urus izin ekspor karena butuh dana di depan untuk pembayarannya.”

Dari data yang dikutip, diperkirakan potensi dari pembiayaan bea cukai dan pajak ini mencapai $6 juta (Rp86 miliar), ditambah lagi kesempatan tersebut belum banyak digarap oleh pemain fintech yang bermain di pembiayaan mata rantai.

Dengan masuk ke ekosistem Andalin, Investree berkesempatan untuk menganalisis kinerja UKM berdasarkan data historis, seperti berapa kali melakukan ekspor, rata-rata perdagangannya, dan nilai transaksinya. Data alternatif ini dipakai sebelum menentukan risiko dan tingkat bunganya.

“Kita lihat pembiayaan di sektor produktif ini banyak tantangan, oleh karenanya kita perlu bekerja sama dengan ekosistemnya karena merekalah yang punya data historis terkait terkait kinerja UKM di platform tersebut.”

Secara terpisah, dalam keterangan resmi yang disampaikan pada hari ini (29/6), CEO Andalin Rifki Pratomo menuturkan, kemitraan dengan Investree dapat mendorong perusahaan untuk meracik produk finansial yang menarik dan kompetitif, sekaligus menerapkan risiko yang kuat. “Kami percaya, kolaborasi dengan Investree, yang dimulai dari pembiayaan bea cukai dan pajak, bisa menjadi tahap penting untuk membuat perubahan di bidang pendanaan perdagangan supply chain global.”

Terkait produk paylater ini punya tenor mulai dari dua sampai tiga bulan, dengan tingkat bunga mulai dari 10%-20% untuk setahun efektif. Sumber dana yang dipakai Investree untuk produk ini dari para lender institusi yang sudah bermitra dengan perusahaan, seperti Bank Mandiri, BRI Group, dan Bank Danamon.

“Kami sudah bermitra dengan puluhan lender institusi, mayoritas dari bank lokal dan institusi internasional. Bagi bank segmen ekspor-impor ini sesuai dengan appetite mereka karena ada kaitannya juga dengan membantu UKM naik level.”

Ke depannya, Investree akan terus menggencarkan persebaran produk paylater untuk ekosistem digital lainnya. Ada sejumlah potensi kerja sama yang akan dilakukan, di antaranya dengan perusahaan fesyen dan FMCG yang UKM di dalamnya butuh modal kerja.

Adrian menargetkan produk paylater B2B ini dapat berkontribusi sekitar 15%-20% dari total penyaluran perusahaan senilai Rp5 triliun. Selama ini produk pembiayaan dengan kontribusi terbesar adalah PO financing dan invoice financing dengan kontribusi sebesar 80%.

Perusahaan juga akan memboyong paylater B2B ini untuk unit usahanya yang ada di Thailand dan Filipina karena juga dibutuhkan oleh UKM di sana. “Kami juga berencana untuk meningkatkan fitur paylater B2B ini ke versi ke-2, rencananya akan dirilis pada semester II ini. Nantinya semua proses full host-to-host dengan API jadi automated, kalau versi pertama ini UKM harus registrasi dulu ke situs Investree,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Melihat Besarnya Potensi Industri Halal, Investree Syariah Incar Tambahan Lender Institusi

Masih besarnya potensi bisnis syariah yang belum tergarap, membuat Investree Syariah, unit usaha lending milik Investree, akan fokus memperluas produk pembiayaan dan segmen usaha yang bidik pada tahun ini. Mencari lender institusi juga menjadi rangkaian strategi perusahaan untuk mencapainya.

Berdasarkan data Investree, sepanjang tahun lalu Investree Syariah mencatatkan penyaluran sebesar Rp229,8 miliar dengan pertumbuhan 107% dari tahun sebelumnya. Pembiayaan tersebut untuk 163 peminjam dengan kontribusi 3.228 lender. Angka kontribusinya sebesar 7,2% dari total portofolio Investree, memiliki pangsa pasar sebesar 13% dari seluruh pemain fintech lending syariah di Indonesia.

VP Sharia Investree Arief Mediadianto mengatakan, sektor perdagangan diprediksi masih akan mendominasi portofolio pembiayaan syariah tahun ini. Namun, sektor lain seperti jasa IT berpotensi kembali tumbuh baik dipicu oleh kinerja tahun lalu.

“Target pembiayaan Investree Syariah di akhir tahun ini sebesar Rp320 miliar, naik 50% dari tahun lalu sekitar Rp220 miliar. Jadi sesuai dengan target kita, kontribusinya bisa lebih dari 7% dari portofolio pembiayaan Investree,” ucapnya dalam konferensi pers virtual, kemarin (6/5).

Adapun pada Q1 2021 ini Investree Syariah telah menyalurkan pembiayaan sebesar Rp10 miliar. Ditargetkan pada kuartal berikutnya dapat tembus ke angka Rp50 miliar. Menurut Co-Founder & CEO Investree Adrian Gunadi, banyak potensi dan momentum dalam kuartal tersebut, seperti Lebaran dan Ramadan yang memungkinkan bisnis dapat lebih menggeliat.

Adrian melanjutkan, setidaknya ada empat fokus yang akan dijalankan perusahaan untuk menggenjot pembiayaan syariah di tahun ini. Pertama, memperbanyak sumber pendanaan dari lender institusi. Untuk itu, pihaknya sedang aktif membangun kolaborasi dengan bank umum syariah, BPR/BPD syariah. Komposisi antara lender institusi dengan ritel di Investree Syariah adalah 60:40.

Sebelumnya, BRI Syariah (kini menjadi Bank Syariah Indonesia) adalah salah satu lender institusi di Investree Syariah. Menurut Adrian, finalisasi kolaborasi dengan BSI sedang dalam penjajakan. “Sudah ada beberapa sedang diskusi dalam tahap advance, semoga Q2 ini sudah bisa direalisasikan,” kata dia.

Kedua, membangun kolaborasi yang lebih erat dengan industri halal, termasuk pariwisata dan kesehatan. Ketiga, membangun ekosistem kerja sama halal, seperti yang sudah dilakukan perusahaan dengan Dompet Dhuafa untuk pembiayaan hewan kurban. Terakhir, memperkaya produk syariah untuk rantai pasokan.

Saat ini, produk syariah yang tersedia di Investree Syariah, antara lain Invoice Financing, Pre-Invoice Financing Syariah, Working Capital Term Loan Syariah, dan Retail Seller Financing Syariah. Kontribusi terbesar datang dari Invoice Financing sebesar 89%, sisanya dari produk yang lain.

“Kami akan menambah variasi produk agar lebih kaya dan masyarakat bisa punya banyak opsi pembiayaan yang sesuai dengan bisnis modelnya,” pungkasnya.

Besarnya populasi muslim di Indonesia dinilai menjadi peluang besar bagi layanan berbasis syariah untuk bertumbuh. Di lanskap fintech lending, selain Investree, ada beberapa pemain yang juga fokus pada pembiayaan syariah, di antaranya Alami, Amanna, dan SyarQ. Platform fintech lainnya seperti LinkAja (pembayaran) dan Tamasia (investasi) juga mulai suguhkan opsi syariah kepada penggunanya.

Application Information Will Show Up Here

Investree Thailand Obtains License, Optimizing SME’s Market Growth in Southeast Asia

The p2p lending startup Investree announced its expansion to Thailand after successfully obtaining a license from the Securities and Exchange Commission of Thailand (SEC) as of February 23, 2021. Investree Thailand will focus on providing more SMEs (underserved) with institutional financing access by connecting them with investors through the marketplace platform.

Investree Thailand’s Co-Founder Worakorn Sirijinda said, “We are very grateful for the approval and support from the SEC. This is the first step for Investree to provide innovative financing and service solutions for Thai SMEs that we hope will be able to contribute to the country’s economic recovery in a challenging situation like today.”

In Thailand and the Philippines, regulation is a bigger challenge due to distance constraints and limited knowledge and relations with the current regulators. In addition to the presence of a pandemic that has slowed down movement around the world, the crowdfunding permit process has been delayed for a while.

In addition, different situations and cultures in each country are quite a challenge in introducing new ideas of crowdfunding to the public. Therefore, to accelerate knowledge about the market and ecosystem, Investree focuses on collaborating with local partners.

Several well-known companies have collaborated, including Pantavanij, Thailand’s leading e-procurement platform, and B2B marketplace, 2C2P payment gateway provider, and FlowAccount, a provider of online billing and accounting solution software for small businesses, entrepreneurs, and freelancers.

Through this collaboration, Investree Thailand created several innovations. Together with Pantavanij, Investree provides supply chain financing to sellers and suppliers registered in the e-procurement system. Together with 2C2P, Investree utilizes technology and data to provide working capital financing facilities for 2C2P merchants. Still in line, Investree is also collaborating with FlowAccount to provide financing solutions for MSMEs on its platform.

Investree Thailand presents 2 (two) products, Bullet Payment Security and Installment Payment Security which have similarities with Invoice Financing and Working Capital Term Loan (WCTL) offered in Indonesia and the Philippines. For these two financing products, Investree offers various benefits for SMEs: interest rates based on a modern credit scoring model, fast funding, and transparent terms and fees.

“In our opinion, this partnership really helps Investree in channeling loans that focus more with measurable risks, therefore, they can maintain the stability of the Investree lending and borrowing business while exploring more collaboration opportunities with actors in other ecosystems,” Adrian said.

SME Market in Southeast Asia

Based on a study by the Asian Development Bank entitled “Asia Small and Medium-Sized Enterprise Monitor 2020”, MSMEs account for an average of 97% of all types/scales of enterprises, 69% of the total workforce, and 41% of the country’s gross domestic product (GDP) during 2010-2019. The Covid-19 pandemic in 2020 exacerbates the increasing global trade tension and economic uncertainty in the region. In many ways, MSMEs are the key to economic recovery in developing Asian countries.

Indonesia is a country in Southeast Asia with the largest number of MSMEs in the region with 64 million, followed by Thailand with 3.5 million and the Philippines with 1.2 million MSME units.

MSMEs are a major and important force to drive the Southeast Asian economy. This is 97 percent of the business world and absorbs 97 percent of the national workforce in the 2010 to 2019 period. MSMEs also contributed an average of 41 percent of the GDP of each country in the same period.

However, there are many business players still having difficulty with financial access. Many of them are deemed ineligible to borrow from a bank and do not have a credit history.

Fintech can make it easier for MSMEs to optimize the effectiveness and efficiency of business operations, also for MSMEs without sufficient requirements to access bank financing for working capital financing. Some of the players that offer similar solutions include KoinWorks, Modalku, and Amartha.

Previously, in 2019, Investree is available in Vietnam under the name eLoan, after which it continued to expand to the Philippines by partnering with the conglomerate company Filinvest Development Corporation (FDC) earlier this year. To date, Investree has successfully obtained a license to operate in 4 countries including Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Investree Thailand Peroleh Izin Regulator, Maksimalkan Momentum Pertumbuhan UMKM di Asia Tenggara

Startup p2p lending Investree mengumumkan peresmian ekspansi ke Thailand setelah berhasil mengantongi lisensi dari Komisi Sekuritas dan Bursa Thailand (SEC) per tanggal 23 Februari 2021. Investree Thailand akan fokus melayani lebih banyak UKM yang tidak terjangkau akses pembiayaan lembaga konvensional (underserved) dengan menghubungkan mereka dengan para investor melalui platform marketplace.

Co-Founder Investree Thailand Worakorn Sirijinda mengungkapkan, “Kami sangat bersyukur atas persetujuan dan dukungan dari SEC. Ini adalah langkah pertama bagi Investree untuk menyediakan solusi pembiayaan dan layanan yang inovatif bagi UKM Thailand yang kami harapkan mampu berkontribusi dalam pemulihan ekonomi Negara di situasi penuh tantangan seperti sekarang ini.”

Di Thailand dan Filipina, regulasi menjadi tantangan yang lebih besar akibat terhambat jarak dan keterbatasan akan pengetahuan serta relasi dengan regulator di sana. Ditambah lagi kehadiran pandemi yang memperlambat pergerakan di seluruh dunia, proses perizinan crowdfunding pun tertunda untuk beberapa saat.

Selain itu, perbedaan situasi dan budaya di setiap negara juga merupakan tantangan tersendiri untuk mengenalkan ide baru crowdfunding kepada masyarakat. Oleh sebab itu, untuk mengakselerasi pengetahuan tentang pasar dan ekosistem di sana, Investree fokus melangsungkan kolaborasi dengan rekanan lokal.

Beberapa perusahaan ternama yang sudah bekerja sama seperti Pantavanij, platform e-procurement dan B2B marketplace terdepan di Thailand, 2C2P penyedia payment gateway, dan FlowAccount penyedia software solusi penagihan dan akuntansi online untuk bisnis kecil, wirausaha, dan pekerja lepas.

Melalui kolaborasi tersebut, Investree Thailand menciptakan beberapa inovasi. Bersama Pantavanij, Investree menyediakan pembiayaan rantai pasokan kepada penjual dan pemasok yang terdaftar di sistem e-procurement. Bersama 2C2P, Investree mamanfaatkan teknologi dan data untuk menyediakan fasilitas pembiayaan modal kerja (working capital financing) untuk para merchant 2C2P. Masih sejalan, Investree juga berkolaborasi dengan FlowAccount untuk menyediakan solusi pembiayaan bagi UMKM yang ada di platformnya.

Investree Thailand menghadirkan 2 (dua) produk yaitu Bullet Payment Security dan Installment Payment Security yang memiliki kesamaan dengan Invoice Financing dan Working Capital Term Loan (WCTL) yang ditawarkan di Indonesia dan Filipina. Untuk kedua produk pembiayaan ini, Investree menawarkan berbagai manfaat untuk UKM: suku bunga berdasarkan model credit scoring yang modern, pendanaan cepat, serta ketentuan dan biaya yang transparan.

“Menurut kami, kemitraan ini sangat membantu Investree dalam menyalurkan pinjaman secara lebih tepat sasaran dengan risiko yang terukur sehingga dapat menjaga kestabilan bisnis pinjam meminjam Investree seraya mengeksplorasi lebih banyak peluang kolaborasi dengan pelaku di ekosistem lainnya,” ujar Adrian.

Pasar UMKM di Asia Tenggara

Berdasarkan studi oleh Asian Development Bank bertajuk “Asia Small and Medium Sized Enterprise Monitor 2020”, UMKM menyumbang rata-rata 97% dari semua jenis/skala perusahaan, 69% dari total tenaga kerja, dan 41% dari produk domestik bruto (PDB) negara selama 2010-2019. Pandemi Covid-19 pada tahun 2020 memperburuk tensi perdagangan global yang sudah meningkat dan ketidakpastian ekonomi di wilayah regional. Dalam banyak hal, UMKM memegang kunci pemulihan ekonomi di negara berkembang Asia.

Indonesia menjadi negara di Asia Tenggara yang mempunyai jumlah UMKM terbesar di kawasan sebanyak 64 juta disusul oleh Thailand dengan 3,5 juta dan Filipina dengan 1,2 juta unit UMKM.

UMKM merupakan kekuatan utama dan penting untuk mendorong perekonomian Asia Tenggara. Jumlahnya 97 persen dari dunia usaha dan menyerap 97 persen angkatan kerja nasional dalam periode 2010 hingga 2019.UMKM juga menyumbang rata-rata 41 persen dari PDB tiap negara dalam periode yang sama.

Namun, masih ada banyak pelaku usaha yang belum memiliki akses terhadap pembiayaan. Banyak dari mereka dianggap tidak memenuhi syarat meminjam di bank dan tidak memiliki histori kredit.

Fintech dapat memudahkan UMKM untuk mengoptimalkan efektivitas dan efisiensi operasional usaha, serta memudahkan UMKM yang tidak memiliki persyaratan cukup untuk mengakses pembiayaan perbankan, dalam mengakses pembiayaan modal kerja. Beberapa pemain yang juga menawarkan solusi serupa termasuk KoinWorksModalku, dan Amartha.

Sebelumnya, di tahun 2019, Investree telah hadir di Vietnam dengan nama eLoan, setelah itu melanjutkan ekspansi ke Filipina dengan menggandeng perusahaan konglomerat Filinvest Development Corporation (FDC) di awal tahun ini. Hingga saat ini, Investree berhasil mendapat lisensi untuk beroperasi di 4 negara termasuk Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Investree Berambisi Jadi Solusi Fintech Menyeluruh, Berinvestasi ke OY! dan Buat Perusahaan Patungan

Investree mengungkapkan pada tahun kelima operasionalnya telah bertransformasi menjadi perusahaan penyedia ekosistem fintech untuk UKM, tak lagi sekedar perusahaan p2p lending saja. Transformasi telah dilakukan sejak tahun lalu dengan membentuk satu persatu produk yang dibangun sendiri atau melalui investasi.

Dalam konferensi pers yang digelar secara virtual pada hari ini (3/2), Co-Founder & CEO Investree Adrian A. Gunadi menjelaskan, tahun lalu terjadi banyak tantangan yang mengubah strategi akibat dari pandemi yang tidak diantisipasi sejak awal tahun. Usia perusahaan yang sudah memasuki tahun ke-5 ini membuka kesempatan untuk memberikan solusi yang lebih relevan kepada usaha mikro, tak hanya UKM dalam kemudahan mencari pendanaan.

“Kami mulai diversifikasi produk untuk meningkatkan penetrasi, mulai masuk ke segmen mikro bersama para mitra yang sudah membangun ekosistem dan kami yang memberikan produk lending-nya,” terang Adrian.

Beberapa kemitraan Investree dengan perusahaan yang menaungi usaha mikro, di antaranya adalah Gramindo dan eFishery. Dengan Gramindo, Investree terjun membiayai usaha mikro para perempuan di Yogyakarta dengan pola tanggung renteng. Sebanyak Rp3 miliar pinjaman telah tersalurkan untuk 550 peminjam. Mereka dapat mengajukan pinjaman mulai dari Rp2 juta sampai Rp20 juta.

Selain lending, sejumlah solusi fintech untuk UKM yang dibangun perusahaan adalah skoring kredit alternatif buat UKM (ai.foresee); e-procurement (Mbiz, Garuda Financial, dan Pengadaan.com); e-invoicing (billtree); payment (OY!), dan solusi SaaS yang masih dipersiapkan.

Seluruh solusi ini ada yang dibangun sendiri oleh perusahaan, berinvestasi langsung, atau membuat perusahaan patungan bersama mitra yang ahli dibidangnya. Adrian merinci hanya ai.foresee yang dibangun sendiri oleh perusahaan pada tahun lalu, berbekal pengalaman Investree selama lima tahun membaca rekam jejak merchant UKM.

Selama ini, data historis dan profil UKM masih terbatas ketersediaannya. Dengan konektivitas dan menggabungkan alternatif sumber data lainnya, menjadi padanan yang bagus untuk pemain jasa keuangan atau institusi lainnya yang ingin mengetahui lebih dalam profil UKM yang mereka sasar. “Saat ini ai.foresee sudah dalam proses pendaftaran di OJK sebagai IKD.”

Layanan lainnya yang dibangun secara patungan adalah Garuda Financial bersama Ideosource Venture Capital dan billtree bersama Billte Swiss. Billtree menargetkan pemrosesan pinjaman yang lebih ringkas dengan memaksimalkan fitur e-invoicing.

Terakhir, adalah berinvestasi untuk OY!, melalui perusahaan induk Investree Singapore Pte. Ltd., untuk permudah proses repayment dan disbursement untuk merchant di Investree. Tidak disebutkan lebih lanjut mengenai transaksi ini dilakukan.

“Seluruh anak usaha ini di bawah holding karena POJK tidak memperbolehkan p2p lending memiliki anak usaha di luar kegiatan p2p lending. Jadi perusahaan patungan, termasuk Investree Philippines melalui holding, holding itulah yang melakukan berbagai strategic partnership termasuk investasi ke OY!.”

Perkembangan bisnis Investree Group

Pada tahun lalu secara kumulatif, Investree menyalurkan pinjaman sebesar Rp5,73 triliun, berkontribusi sebesar 10,5% terhadap industri p2p lending yang mencapai Rp54,52 triliun. Adapun TKB90 berada di angka 98,5%, lebih tinggi dari rata-rata industri sebesar 95,22%.

Dari total penyaluran pinjaman, 87% di antaranya datang dari produk invoice financing. Lalu, ada lebih dari 31 ribu pemberi pinjaman yang terdaftar di perusahaan, sebanyak 70% adalah generasi milenial.

Selain Indonesia, saat ini Investree sudah beroperasi di dua negara, yakni Thailand dan Filipina. Baru di Filipina, Investree dapat beroperasi penuh pasca mengantongi izin dari regulator setempat, sementara Thailand diharapkan segera menyusul karena dari pantauan yang Adrian dapatkan sudah mencapai tahap akhir.

“Mudah-mudahan bisa segera dapat [izin operasional di Thailand]. Bila digabung, ini sudah 2/3 ekonomi dari Asia Tenggara. Kami bekerja sama dengan mitra strategis lokal untuk masuk ke sana, dengan mengacu pada playbook yang sudah kami lakukan di Indonesia.”

Dalam kesempatan yang sama, turut hadir Co-Founder dan CEO Investree Philippines Kok Chuan Lim. Ia menyampaikan di sana perusahaan beroperasi seperti Investree pada empat tahun lalu, sebab kondisi ekosistemnya belum sematang Indonesia.

Menyesuaikan dengan kondisi tersebut, maka perusahaan baru menyediakan produk invoice financing dan purchase order financing. Dari segi monetisasi juga mengandalkan sistem komisi dan mencari pemberi pinjaman dari kalangan institusi, belum ke ritel.

“Tantangannya adalah bagaimana kita bisa bangun kepercayaan, bisa menjadi alternatif selain perbankan dan kami bisa kompetitif. Selain itu dari membangun infrastruktur digital, seperti terhubung dengan biro kredit dan asuransi, juga masih menjadi tantangan untuk bantu kami menyalurkan pembiayaan.”

Di Filipina, lanskap industri keuangan masih dikuasai oleh pemain tradisional. Dengan rincian, jumlah pemain kredit konsumtif mencapai 19 perusahaan dan 17 perbankan yang mengincar penyaluran untuk bisnis skala besar. Sementara, baru ada dua lembaga keuangan tradisional yang menyasar kredit UMKM.

“Sama seperti di Indonesia, kami akan menyasar gap kredit sebesar $221,79 miliar kredit UMKM Filipina yang masih didominasi unbankable, tidak terlayani oleh lembaga keuangan konvensional,” tutup Lim.

Application Information Will Show Up Here

Investree Philippines Obtains SEC Approval to Continue Operation

Investree Philippines, a joint venture between Filinvest Development Corp and Investree, has officially secured a license agreement to operate the crowdfunding platform from the Philippine Securities and Exchange Commission (SEC). This news also marks the issuance of the first Philippines’ company licensing, after the SEC released new rules and regulations in 2019.

Quoting from the Philippine Information Agency, the license obtained by Investree Philippines as a crowdfunding broker and this funding portal is valid for one year and is required to comply with certain rules. Approaching one year, to be precise in the 11th month of operation, the SEC will examine for an extension.

Investree works with a Singapore legal entity, Investree Singapore Pte. Ltd., in the establishment of this joint venture.

Similar to Investree Indonesia, Investree Philippines has an ambition to address a credit gap of more than $200 billion for SMEs with difficulty accessing funding in the Philippines. In order to make this happen, by connecting SMEs and startups with institutional investors through a crowdfunding marketplace.

“FDC is proud to be able to present the first official and licensed platform in the Philippines and contribute to the development of SMEs through Investree Philippines. [..] We believe that Investree can be the best solution for SMEs who want to rebuild and develop their businesses, while at the same time supporting the country’s economic recovery and growth,” FDC’s President and CEO Josephine Gotianun-Yap said in an official statement, Friday (15/1 ).

Investree’s Regional Co-Founder & CEO Adrian Gunadi added that the strong FDC ecosystem, including EastWest Bank and its understanding of the local market, will seamlessly connect lenders and SMEs. “In synergy with FDC, we now have a solid operating and business model to ensure optimal service in order to support the growth of SMEs in the Philippines region.”

In Southeast Asia, SMEs in general still have much greater financial needs, even though they are considered businesses with microfinance needs. Yet, too small to be served effectively by the general banking model. This is because SMEs are often constrained by problems such as lack of collateral and credit history which are usually required by banks, thus creating a financial credit gap for this middle segment.

Especially in the Philippines, this segment is underserved. In fact, SMEs contribute 35% of the country’s GDP, employing more than 60% of the local workforce.

“With the support of FDC, Investree Philippines will leverage the power of technology and data to develop and use a robust risk assessment model that will help and accelerate the credit assessment process in banks and lending institutions in general,” said f (dev) Managing Director Xavier Marzan. f (dev) is FDC’s subsidiary which is engaged in venture and innovation.

Investree Philippines is the second Investree expansion, after Thailand, which started in early 2019. In Thailand, Investree uses the eLoan brand and cooperates with local partners who understand the conditions in the field.

As of November 2020, Investree has booked a total loan facility of Rp7.7 trillion and a disbursed loan value of Rp.5.5 trillion. The average rate of return is 16.8% per year and the average TKB90 is 99%.

About overseas expansion from Indonesia

Indonesia is a ready ecosystem to plant a service until it “blooms”. When it is considered successful, it has a significant position here, it means that there is a sure guarantee that the service can be carried outside Indonesia, especially to Southeast Asia with more or less the same family, culture, and behavior.

Supported by sufficient capital, a handful of local startups are confident to be free of the cage. Investree and DanaCita are two companies born from fintech lending. Most companies arrived from overseas, mostly from Singapore, entering Indonesia by localizing their brand.

The rest is still just a plan, which may be delayed due to the Covid-19 pandemic. Apart from that, successful startup verticals have entered a number of countries in Southeast Asia, including Gojek, Ruangguru, Traveloka, Sociolla, PasarPolis, and Xendit.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Perusahaan Patungan Investree di Filipina Dapatkan Izin dari Otoritas Setempat

Investree Philippines, perusahaan patungan antara Filinvest Development Corp dengan Investree, resmi mengantongi persetujuan izin mengoperasikan platform crowdfunding dari Komisi Sekuritas dan Bursa Filipina (SEC). Kabar ini sekaligus menandai penerbitan perizinan pertama bagi perusahaan di Filipina, sejak SEC merilis aturan dan regulasi pelaksanaan baru pada tahun 2019.

Mengutip dari Philippine Information Agency, izin yang dikantongi Investree Philipines sebagai perantara crowdfunding dan portal pendanaan ini berlaku selama satu tahun dan diharuskan tunduk pada aturan tertentu. Menjelang satu tahun, tepatnya pada bulan ke-11 operasional, SEC akan mempertimbangkan perpanjangan izin.

Investree menggunakan perusahaan berbadan hukum Singapura, Investree Singapore Pte. Ltd., dalam pendirian perusahaan patungan ini.

Sama seperti Investree Indonesia, Investree Philippines berambisi untuk mengatasi kesenjangan kredit sebesar lebih dari $200 miliar bagi UKM yang sulit mendapat akses pendanaan di Filipina. Untuk mewujudkan hal tersebut, dengan menghubungkan UKM dan startup dengan investor institusi melalui marketplace crowdfunding.

“FDC bangga bisa menghadirkan platform resmi dan berizin pertama di Filipina, serta berkontribusi terhadap pengembangan UKM melalui Investree Philippines. [..] Kami percaya bahwa Investree dapat menjadi solusi terbaik bagi UKM yang ingin membangun kembali dan mengembangkan usaha mereka, sekaligus mendukung pemulihan dan pertumbuhan ekonomi negara,” ujar Presiden dan CEO FDC Josephine Gotianun-Yap dalam keterangan resmi, Jumat (15/1).

Co-Founder & CEO Regional Investree Adrian Gunadi menambahkan, ekosistem FDC yang kuat, termasuk EastWest Bank dan pemahamannya tentang pasar lokal akan menghubungkan pemberi pinjaman dan UKM secara lancar. “Bersinergi dengan FDC, sekarang kami memiliki model operasi dan bisnis yang solid untuk memastikan layanan optimal dalam rangka mendukung pertumbuhan UKM di kawasan Filipina.”

Di Asia Tenggara, pada umumnya UKM masih memiliki kebutuhan keuangan yang lebih besar, meskipun dianggap sebagai bisnis dengan kebutuhan keuangan mikro. Tetapi terlalu kecil untuk dilayani secara efektif oleh model perbankan umum. Hal ini dikarenakan UKM seringkali terkendala permasalahan seperti kurangnya agunan dan riwayat kredit yang biasanya dibutuhkan perbankan, sehingga menciptakan kesenjangan kredit keuangan untuk segmen menengah ini.

Khusus di Filipina, segmen ini kurang terlayani. Padahal, UKM menyumbang 35% terhadap PDB negara, mempekerjakan lebih dari 60% tenaga kerja lokal.

“Dengan dukungan FDC, Investree Philippines akan memanfaatkan kekuatan teknologi dan data untuk berkembang dan menggunakan model penilaian risiko mumpuni yang akan membantu dan mempercepat proses penilaian kredit di perbankan maupun institusi pinjaman pada umumnya,” kata Managing Director f(dev) Xavier Marzan. f(dev) adalah anak usaha FDC yang bergerak di bidang venture dan innovation.

Investree Philippines adalah ekspansi Investree kedua, setelah Thailand yang sudah dimulai sejak awal 2019. Di Thailand, Investree menggunakan brand eLoan dan menggandeng mitra lokal yang paham dengan kondisi di lapangan.

Hingga November 2020, Investree membukukan total fasilitas pinjaman sebesar Rp7,7 triliun dan nilai pinjaman tersalurkan Rp5,5 triliun. Rata-rata tingkat pengembaliannya adalah 16,8% per tahun dan rata-rata TKB90 99%.

Mereka yang ekspansi ke luar Indonesia

Indonesia menjadi tempat yang empuk untuk menggodok suatu layanan hingga “jadi”. Ketika dianggap berhasil punya posisi yang signifikan di sini, artinya ada jaminan pasti layanan tersebut dapat dibawa ke luar Indonesia, apalagi ke Asia Tenggara dengan rumpun, budaya, dan perilaku yang kurang lebih sama.

Didukung kapital yang cukup, segelintir startup lokal pede untuk keluar dari kandang. Investree dan DanaCita adalah dua perusahaan yang datang dari fintech lending. Sebagian besar perusahaan datang dari luar Indonesia, mayoritas dari Singapura, lalu masuk ke Indonesia dengan melokalisasi nama brand-nya.

Sisanya masih sekadar rencana, yang kemungkinan tertunda karena pandemi Covid-19. Di luar itu, vertikal startup yang sukses masuk ke sejumlah negara di Asia Tenggara, di antaranya ada Gojek, Ruangguru, Traveloka, Sociolla, PasarPolis, dan Xendit.

Laporan DSResearch: Fintech Report 2020

Sektor teknologi finansial (fintech) di Indonesia masih layak mendapatkan perhatian, terlebih tahun ini ekosistem bisnis secara umum dihadapkan tantangan akibat pandemi. Dinamika industri menjadi lebih kencang, di tengah perubahan kebiasaan pengguna dan resesi ekonomi. Tentu membuat para founder dan pemimpin bisnis harus memikirkan ulang strategi mereka. Namun, menariknya berbagai hasil riset dan pakar banyak menyampaikan, adanya pembatasan fisik dan sosial justru menjadi pendorong adopsi layanan digital.

Beberapa jenis layanan fintech sifatnya mendukung bisnis digital lain – misalnya memfasilitasi layanan pembayaran di aplikasi food delivery lewat dompet digital, memberikan opsi kredit di situs online marketplace melalui paylater, sampai mendukung UMKM melalui pembiayaan bahan baku via supply chain financing dari fintech lending. Artinya, ketika dikatakan layanan digital menjadi semakin masif digunakan, secara tidak langsung juga mempengaruhi penggunaan berbagai layanan fintech tersebut.

Untuk memvalidasinya, DSResearch bersama Bank CIMB Niaga merilis “Fintech Report 2020”. Kegiatan riset ini turut didukung Ayoconnect dan Investree. Di dalamnya mengulas mengenai kondisi dan perkembangan industri fintech di Indonesia dalam setahun terakhir. Adapun cakupan bahasan yang disajikan terdiri dari lima bahasan utama, meliputi:

  1. Fintech Overview; membahas tentang perkembangan model bisnis dan teknologi yang banyak diaplikasikan oleh startup fintech. Terkait model bisnis, dipetakan berdasarkan regulasi terkait yang dirilis oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.
  2. Fintech Ecosystem in Indonesia; membahas tentang perkembangan berbagai bisnis fintech di Indonesia. Termasuk beberapa sub-sektor potensial yang dinilai akan memiliki peminat yang besar di tahun-tahun mendatang. Di dalamnya juga memasukkan perspektif dari regulator.
  3. Business Perspective of Fintech; mewawancara founder startup fintech di berbagai kategori, investor, dan perbankan untuk mendapatkan perspektifnya tentang kondisi industri. Termasuk hal-hal strategis dan inovatif yang dilakukan dalam menghadapi Covid-19.
  4. Consumer Perspective of Fintech; mewawancara konsumen untuk mendapatkan persepsi publik tentang fintech dan berbagai layanan yang saat ini ada di Indonesia. Di dalamnya turut menyajikan berbagai aplikasi favorit dari setiap sub-segmen bisnis.
  5. Strategic Collaboration; membahas tentang berbagai inisiatif dan kolaborasi yang dilakukan antarstakehoder, mulai dari regulator, startup, dan korporasi.

Tema besar Fintech Report di tahun ini adalah “Maintaining Growth during Pandemic”, menggambarkan bisnis yang secara umum bisa bertahan bahkan tetap dalam lajur pertumbuhan melalui berbagai inovasi produk dan layanan yang digulirkan.

Laporan tersebut dapat diunduh secara gratis di sini: Fintech Report 2020.


Disclosure: DSResearch bekerja sama dengan Bank CIMB Niaga dalam riset ini. Sebuah perbankan nasional dengan berbagai produk inovatif, termasuk layanan API yang bisa dimanfaatkan oleh bisnis digital untuk menunjang  berbagai kebutuhan transaksi. Ayoconnect dan Investree turut mendukung pengembangan laporan ini.

Pegadaian Perkuat Peran di Ekosistem Keuangan, Salurkan Pinjaman Usaha Melalui Akseleran

Pegadaian kembali menambah portofolio barunya sebagai institutional lender. Kali ini, perusahaan menggandeng Akseleran untuk menyalurkan pinjaman usaha ke segmen pelaku UKM sebesar Rp30 miliar.

AVP Digital Lending Product Pegadaian Indri Wijayanti mengungkap bahwa ini menjadi portofolio kedua Pegadaian. Sebelumnya, perusahaan memulai debutnya sebagai institutional lender di Investree dengan nilai yang tidak dapat disebutkan.

“Akseleran adalah P2P lending kedua yang bekerja sama dengan Pegadaian. Sinergi lanjutan dengan Akseleran belum ada, saat ini baru sebatas sebagai lender,” ungkapnya dihubungi DailySocial. Lebih lanjut, Indri belum dapat mengomentari mengenai sinergi selanjutnya yang sedang dijajaki.

Sementara itu, dalam keterangan resminya, Co-founder sekaligus Chief Credit Officer Akseleran Christopher Gultom mengungkap bahwa perjanjian kerja sama ini sebetulnya sudah dilakukan sejak 2 November 2020. Realisasi penyaluran pinjaman ditargetkan pada Desember ini.

“Pegadaian tak hanya menambah jumlah institutional lender kami yang kini sudah mencapai 10 perusahaan, tetapi juga melengkapi mitra kami dari sektor jasa keuangan. Semuanya telah berkontribusi sebesar 20 persen terhadap total penyaluran pinjaman di Akseleran,” jelasnya.

Per akhir November, Akseleran telah menyalurkan total pinjaman produktif sebesar Rp1,7 triliun terhadap 2.500 pinjaman dengan lebih dari 150 ribu pemberi pinjaman. Adapun, Akseleran mencatat rekor pinjaman tertinggi sejak tiga tahun terakhir pada November ini sebesar Rp120 miliar.

Akseleran juga mencatat pertumbuhan penyaluran pinjaman hingga 32 persen pada periode Januari-November 2020. Total NPL Akseleran saat ini berada di angka 0,2 persen dari total pinjaman usaha yang telah disalurkan.

Mengutip informasi Kontan beberapa waktu lalu, Direktur Teknologi dan Digital Pegadaian Teguh Wahyono sempat mengatakan bahwa pihaknya menyiapkan pinjaman berbasis digital dengan besaran pinjaman Rp50 juta-Rp2 miliar.

Pinjaman ini akan menggunakan dua sumber pendanaan, yakni (1) direct lending atau langsung dari Pegadaian yang membidik kalangan BUMN lewat skema invoice financing dan (2) sumber tidak langsung (indirect lending) melalui platform penyedia P2P lending. 

Transformasi untuk memperkuat posisi di industri keuangan

Strategi menjadi institutional lender adalah upaya Pegadaian untuk bertransformasi di ekosistem keuangan digital. Ke depannya, Pegadaian ingin menawarkan jasa keuangan lain ke pasar yang lebih luas, tak terbatas pada layanan gadai. Pegadaian bahkan telah bersinergi dengan Tokopedia untuk layanan emas dan meluncurkan Pegadaian Digital Service (PDS).

Saat ini, Pegadaian memiliki tiga bisnis utama, yaitu gadai, pembiayaan, dan investasi emas. Berdasarkan data perusahaan, 90 persen pendapatan Pegadaian disumbang dari layanan gadai, sedangkan 2 juta nasabah dari total 13,86 juta nasabah di 2019 telah bertransaksi melalui aplikasi PDS.

Bicara tentang institutional lender, Pegadaian bukanlah yang pertama dan satu-satunya perusahaan yang menjalankan strategi ini. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah pelaku di industri keuangan, terutama perbankan, mulai “menanamkan” modalnya melalui platform P2P lending.

Bukan tanpa alasan, besarnya segmen UMKM dan masyarakat yang belum terjangkau bank (unbankable & underbanked) menjadi salah satu pemicu meningkatnya bisnis P2P di Indonesia.

Institution(s) Portfolio(s)
BCA Akseleran
BRI Modal Rakyat, Investree
Mandiri Akseleran
PermataBank Kredivo
Pegadaian Investree, Akseleran

Berdasarkan laporan terbaru yang diterbitkan DSResearch, sektor perbankan dan pembiayaan masih menjadi kontributor lender terbesar pada platform P2P. Adapun, sebanyak 44,7 persen platform fintech memiliki 1 institutional lender dan 34,2 persen memiliki 2-5 institutional lender, diikuti 5-10 (6,6%) dan lebih dari 10 (1,3%).

Total Banking Multifinance
1 institution  5,9% 2,9%
2-5 institution  15,4% 19,2%
5-10 institution  40% 0%
>10 institution  100% 100%

Laporan ini mengungkap bahwa langkah korporasi masuk sebagai institutional lender menjadi salah satu pendekatan untuk meningkatkan cakupan layanan mereka ke segmen yang selama ini belum pernah dijangkau. Langkah tersebut dinilai dapat mendorong inklusi keuangan bagi masyarakat Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

BRI Ventures Scores 150 Billion Rupiah in the First Close of Sembrani Nusantara

BRI Ventures today (25/11) announced the first closing of the Sembrani Nusantara Venture Fund. The value that was successfully booked reached 150 billion Rupiah; reached half of the total funds targeted at its launch in June 2020. Apart from BRI as a general partner, several investors are involved in this funding including Celebes Capital, Grab Holding, Fazz Financial Group, Investree, and Pandu Sjahrir.

He said his investment thesis is “beyond fintech”, which is targeting business areas outside the financial technology sector – adjusting the pillars of the “EARTH” sector (education, agro-maritime, retail, transportation/logistics, health). Sembrani will also focus on empowering SMEs; which will have an impact on strengthening BRI as the largest microfinance institution in the world.

To date, there have been two startups that have listed on Sembrani’s portfolio, but it’s still undisclosed.

“We are very pleased with the positive response generated from the investors of the Sembrani Nusantara Venture Fund in this first funding period. All of these investors are those who have experience investing in start-up companies and those who believe in the digital ecosystem in Indonesia. They believe in our goal to build sustainable future and startup companies,” BRI Ventures’s CEO Nicko Widjaja said.

The Sembrani Nusantara Venture Fund is also registered and supervised by the OJK. A venture fund is an investment contract scheme between the PMV (Venture Capital Company) itself and a custodian bank, which was created by OJK so that the venture capital company industry will be more willing to invest in shares. So far, the majority of local PMVs have played in profit-sharing financing, which is not much different from what financing companies do.

Nicko said in an interview that the launch of Sembrani was aimed at building an ecosystem that had been dominated by foreign PMVs. In the past, he thought the local PMV was not ready, but now is the right moment to show off on the national and regional levels.

It is undeniable that so far venture capital has tended to choose to take shelter under the regulations of neighboring countries. The issue of high taxation in Indonesia is the main reason. Capital gain tax application for PMV reaches 25% of the increase in equity value, while for individual investors it is 30%. Meanwhile, the capital gains tax in Singapore is only 5%.

The majority of local PMVs that fund digital startups and are registered with the OJK are part of the bank’s subsidiaries, including Central Capital Ventura (CVC chose BCA), BRI Ventures, Mandiri Capital Indonesia, and OCBC NISP Ventura.

Sustainable startups through IPO

Sembrani is a term used by BRI Ventures to describe sustainable local startups post the unicorn era. Sembrani is also known as Batara Wisnu’s riding horse in the puppet stories – it is said to represent the unicorn with local wisdom.

One of the steps to realizing this vision is to ensure that all aspects of the investment cycle runs well, through an initial public offering (IPO) as a first step towards becoming more sustainable. This was carried out by signing an MoU between BRI Ventures and the Indonesia Stock Exchange on November 11, 2020, with the intention of helping more startups to IPO on local exchanges.

BRI Ventures hopes that through Sembrani, stakeholders will open discussions to explore new business models so that in the future investors can participate in building venture funds in Indonesia. The structure of Sembrani is a Joint Investment Contract (KIB) which is similar to a Collective Investment Contract (KIK) in mutual funds which are generally known and supervised by OJK.

“Given our goal of supporting the local digital ecosystem and building IPO-worthy startups, we realize that the Sembrani Nusantara Fund can play a more active role in the local funding landscape in the future and build a venture capital industry that is competitive with Singapore,” said Nicko.

The investor composition, most of whom come from Indonesia, is interpreted as a big step to bring the local startup ecosystem to be more competitive in the global arena. Nicko explained that each investor will have a big contribution to the realization of this vision.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian