SPAC Melejit: Unicorn Asia Tenggara Enggan Melirik IPO Tradisional

Ketika ekonomi digital China semakin matang, perusahaan teknologi telah memiliki sumber penawaran umum perdana (IPO) yang stabil di bursa AS dan bursa domestik di Hong Kong, Shanghai, dan Shenzhen.

Di Asia Tenggara, IPO Sea Group 2017 di Bursa Efek New York menjadi contoh bagi perusahaan teknologi di kawasan sekitarnya yang bercita-cita menjadi perusahaan publik, termasuk unicorn bernilai tinggi seperti aplikasi perjalanan Indonesia Traveloka, platform e-commerce Bukalapak, dan Tokopedia, bersama dengan raksasa layanan digital yang berbasis di Singapura, Grab.

Namun, sampai perusahaan-perusahaan ini beranjak dewasa dan mempertimbangkan untuk melakukan penawaran umum, IPO konvensional telah kehilangan pamornya. Sekarang, akuisisi perusahaan dengan tujuan khusus, atau SPAC, menjadi solusi. Juga dikenal sebagai perusahaan cek kosong, SPAC adalah perusahaan cangkang yang mengumpulkan dana melalui penawaran umum untuk mengakuisisi perusahaan yang tidak ditentukan. Jenis perusahaan ini tidak memiliki model bisnis independen selain transaksi keuangan ini.

Dengan karakter tersebut, ketua Komisi Sekuritas dan Bursa AS, Jay Clayton, menyarankan investor untuk mengukur motivasi sponsor SPAC. Sering kali merupakan perusahaan ekuitas swasta (PE) terkemuka yang menggunakan SPAC untuk melewati bank investasi dan biaya emisi mereka untuk membawa perusahaan swasta ke pasar publik.

Proses IPO konvensional itu rumit, mahal, dan memakan waktu. Untuk startup teknologi di Asia, SPAC adalah opsi penggalangan dana yang lebih murah dan lebih efisien.

SPAC telah mendapatkan momentum besar di AS pada tahun 2020. Lebih dari 200 SPAC mengumpulkan sekitar USD 70 miliar, memberikan referensi pada pasar Asia untuk tahun 2021.

Unicorn di Asia Tenggara

Tokopedia menjadi salah satu target Bridgetown Holdings, yang didukung oleh Peter Thiel dan Richard Li, untuk penggabungan cek kosong pada Desember 2020. Jika kesepakatan berlanjut, hal ini bisa menjadi trendsetter di regional.

Grab, yang menjadikan SoftBank, Uber, dan Didi Chuxing sebagai investornya bernilai sekitar USD 14 miliar.
Grab, dimana SoftBank, Uber, dan Didi Chuxing berperan sebagai investornya bernilai sekitar USD 14 miliar.

“Sebagai gambaran, SPAC telah hadir selama beberapa dekade. Mereka sangat populer di pertengahan hingga akhir tahun sembilan puluhan, tetapi menjadi ketinggalan zaman ketika investor kehilangan uang,” ungkap Joel Shen, pengacara perusahaan di firma hukum global Withers kepada KrASIA. Dia percaya bahwa kebangkitan popularitas SPAC dapat dikaitkan dengan suku bunga rendah, likuiditas yang melimpah di pasar karena stimulus dari sistem bank sentral AS, dan peningkatan jumlah target akuisisi, terutama di bidang teknologi.

SoftBank, salah satu investor Tokopedia, mengajukan IPO SPAC pada bulan Desember dengan tujuan untuk mengumpulkan USD 525 juta. SoftBank telah berinvestasi di lebih dari 100 perusahaan tahap pertumbuhan di seluruh dunia, dan beberapa di antaranya mungkin menjadi target yang menarik untuk SPAC-nya, SVF Investment Corp.

Dengan SoftBank — raksasa dalam investasi teknologi — memasuki ruang SPAC, perusahaan portofolionya seperti Grab dapat menemukan rute cepat ke simbol saham New York. “SPAC memungkinkan target mereka untuk mendaftar tanpa terlebih dahulu melalui proses IPO yang mahal dan memakan waktu, dan berpotensi menawarkan pemegang saham target, termasuk investor institusional seperti VC, jalan keluar yang lebih cepat daripada IPO tradisional,” kata Shen .

Jika unicorn Indonesia bisa melalui model ini, maka hal ini akan menjadi barometer yang baik untuk menjawab pertanyaan apakah perusahaan Asia Tenggara dengan fokus pasar lokal akan diterima di bursa asing.

Namun demikian, SPAC memiliki kelemahan. Karena mereka adalah perusahaan cek kosong, investor bertaruh pada sponsor SPAC daripada kualitas bisnis, kata Shen.

Selain itu, merger SPAC harus dilakukan dalam jangka waktu tertentu — biasanya antara 18 dan 24 bulan. Jika tidak ada akuisisi yang dilakukan sebelum akhir jangka waktu, sponsor dapat mempertimbangkan kualitas aset dan daya tawar.

Sementara pasar modal China di Shanghai dan Shenzhen menawarkan rute alternatif ke perusahaan teknologi dalam negeri untuk penggalangan dana yang signifikan, perusahaan rintisan teknologi Asia Tenggara tidak memiliki opsi yang sama di dalam negeri, hal ini mendorong mereka ke arah merger SPAC di valuta asing.

Menurut seorang analis yang akrab dengan subjek tersebut, ledakan SPAC pada tahun 2020 menandai awal dari era baru di mana investor institusional teratas, biasanya perusahaan PE swasta terkemuka, menjadi kekuatan pasar yang lebih berperan dalam penetapan harga IPO. “Secara tradisional, harga IPO ditentukan oleh bankir investasi yang membangun pembukuan melalui serangkaian pembicaraan tertutup dan berturut-turut dengan perusahaan PE. Namun, dengan SPAC di tangan, manajer PE bisa menanggalkan peran bankir ini dan mencapai kesepakatan langsung dengan pemilik aset,” ujar analis.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Sea Group Rekrut Tim di Indonesia untuk Dorong Kehadiran Bank Digital

Di awal bulan Desember lalu, Sea Group, perusahaan induk Shopee, diberi lisensi perbankan digital penuh di Singapura, bersama dengan konsorsium Grab-Singtel, dalam sebuah langkah yang diharapkan dapat membuka lebar jalan industri keuangan di negara tersebut.

Selain Singapura, Indonesia — ekonomi terbesar di Asia Tenggara — juga menjadi pasar seksi bagi fintech dan bank digital. KrASIA menemukan bahwa Sea Group kemungkinan besar mengakuisisi pemberi pinjaman lokal di negara tersebut untuk membangun bisnis perbankannya sendiri. Menurut situs karier Shopee (sudah ditutup ketika diakses saat ini), perusahaan saat ini tengah merekrut tim lokal untuk ditempatkan di “SeaMoney Bank” di Jakarta dan Bandung, yang mencakup peran manajemen talenta, pajak, dan manajemen pendanaan.

Ketika disinggung mengenai hal ini, Sea Group menolak berkomentar. Perusahaan juga tidak berkomentar tentang peningkatan perekrutan di Jakarta dan Bandung. Laman karir tersebut menunjukkan bahwa tim baru akan ditempatkan di “SeaMoney – Bank BKE (bagian dari Sea Group), berlokasi di Menteng, Jakarta Pusat”. Artinya, perusahaan yang dimaksud bisa jadi adalah Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE) yang berkantor pusat di Menteng.

Menurut situsnya, Bank BKE didirikan pada tahun 1992 dan hampir 95% sahamnya dimiliki perusahaan bernama Danadipa Artha Indonesia. Informasi publik mengenai pemegang saham memang masih minim, namun salah satu direktur Danadipa Artha Indonesia bernama Intan Apriadi juga menjabat sebagai komisaris di Lentera Dana Nusantara, menurut profil LinkedIn-nya. Lentera Dana Nusantara adalah perusahaan fintech yang mengoperasikan ShopeePay Later. Maka dari itu, besar kemungkinan Sea memiliki hubungan langsung ke Bank BKE melalui Danadipa Artha Indonesia.

Menurut seorang analis yang mengetahui hal tersebut, perkembangan perbankan digital di Indonesia berbeda dengan di Singapura. “Di Singapura, pemain fintech baru akan mengajukan izin pembukaan bank, sementara di Indonesia, calon bank digital mengakuisisi bank lokal yang sudah memiliki izin,” ujarnya.

Bank digital menjadi sektor yang makin dilirik

Saat ini belum jelas produk apa yang akan ditawarkan oleh bank digital Sea di Indonesia. Situs karier Shopee hanya menyebutkan bahwa SeaMoney “memungkinkan dan mendorong inovasi dengan menyediakan berbagai macam produk dan layanan keuangan untuk individu dan UKM di seluruh wilayah”.

Analis yang berdiskusi dengan KrASIA mengatakan bahwa bank baru tersebut kemungkinan akan menawarkan pinjaman untuk penjual di ekosistem Shopee. “Untuk perusahaan teknologi seperti Shopee dan Gojek, saya berharap layanan perbankan dapat membantu masyarakat yang sudah berada di dalam ekosistem,” ucapnya. “Misalnya, pengemudi Gojek mencari kredit mobil atau motor, atau bahkan kredit perumahan. Begitu pula bank Sea kemungkinan besar akan menawarkan produk untuk penjual Shopee ke depannya.”

Ketika sektor fintech semakin matang, perbankan digital akan menjadi sektor yang sangat menarik perhatian di Indonesia. Perusahaan teknologi lain sudah memposisikan diri mereka di pasar. Gojek baru-baru ini berinvestasi di Bank Jago melalui unit pembayaran dan layanan keuangannya, yang memiliki sekitar 22% pemberi pinjaman. Pada 2019, perusahaan fintech Akulaku mengakuisisi Bank Yudha Bhakti, yang berganti nama menjadi Bank Neo Commerce tahun lalu.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Bagaimana Merger Gojek Tokopedia Memberi Dampak Positif terhadap Konsumen dan Industri

Berita teranyar yang dibicarakan semua orang di minggu pertama tahun 2021 adalah merger antara Gojek dan Tokopedia yang tampaknya akan segera terjadi, dua startup teknologi paling menjulang di Indonesia. Berbeda dengan rumor dangkal dengan Grab, diskusi yang saya lakukan di berbagai jejaring tentang potensi integrasi antara Gojek dan Tokopedia dari banyak sudut pandang yang berbeda sangatlah menarik. Berikut analisis saya mengenai dampak dari merger ini.

Dampak kepada konsumen

Dari sisi konsumen, kawin silang produk yang saling melengkapi ini akan menjadi sangat fantastis. Infrastruktur transportasi, e-commerce, dan keuangan semuanya dalam satu produk terintegrasi? Hal ini merupakan impian setiap konsumen, niaga hiperlokal! Sekarang, kita sudah memiliki sistem pengiriman di hari yang sama yang tengah berlangsung. Integrasi antara Gojek dan Tokopedia dapat menghasilkan sesuatu yang mungkin lebih menggugah, pengiriman instan ala Amazon Prime dalam hitungan jam, membantu mendorong transaksi e-commerce dan kepuasan pelanggan sekaligus meningkatkan utilisasi pengemudi sehingga lebih ekonomis sebagai bisnis.

Pada dasarnya, Gojek telah melakukan model perdagangan hiperlokal ini melalui platform GoFood, di mana pelanggan bisa mendapatkan makanan yang mereka pesan dalam sekejap, bahkan kurang dari 30 menit. Integrasi dengan Tokopedia akan menghubungkan infrastruktur logistik ini dengan merchant Tokopedia, yang merupakan keunggulan utama Tokopedia di tengah persaingan ketat dengan Shopee SEA.

Hal itu membawa kita melihat pasar lain yang secara praktis menjadi fokus semua unicorn: industri UKM. Baik Gojek dan Tokopedia memiliki basis pengguna UKM yang besar di bawah platform mereka, meskipun dengan jenis kebutuhan yang berbeda. Tanpa tumpang tindih, hanya saling melengkapi. Gojek adalah UKM(restoran, toko, warung) berbasis layanan yang berpedoman pada waktu dan Tokopedia lebih seperti UKM berbasis kerajinan tangan. Kedua unicorn tersebut juga telah melakukan upaya besar dalam digitalisasi UKM melalui Point-of-Sales, aplikasi pemasaran pedagang, bahkan menyediakan modal demi pertumbuhan.

Selain bisnis inti mereka, kedua unicorn juga menjelajahi ruang teknologi keuangan (fintech). Tokopedia dengan investasi strategis di Ovo, yang tertanam dengan baik dan merupakan metode pembayaran default di pasarnya, dan Gojek dengan platform GoPay dan GoPay Paylater. Keduanya juga telah menghadapi persaingan besar oleh ShopeePay, salah satu produk fintech dengan pertumbuhan tercepat di pasar terutama selama pandemi di mana Shopee semakin mendorong akuisisi pelanggan ShopeePay seperti kebakaran hutan dengan menggunakan anggaran pemasaran yang tampaknya tak ada habisnya.

Dampak terhadap industri

Jika disandingkan, kedua perusahaan itu akan mencapai valuasi sekitar $18 miliar. Tentunya, sudah bukan rahasia bahwa IPO menjadi salah satu alasan utama di balik merger ini, investor di kedua perusahaan membutuhkan likuiditas dan pengembalian, lagipula tidak ada salahnya untuk kedua perusahaan mendapatkan modal di masa yang tidak pasti ini. Perusahaan gabungan kemungkinan besar akan mencoba dual-listing jika mereka memilih untuk go public di tahun ini, BEI dan kemungkinan Nasdaq (bisa jadi pasar paling ramah untuk IPO teknologi tahun ini).

IPO akan berdampak pada pasar global dan Indonesia. Baik Gojek dan Tokopedia adalah perusahaan yang ternama yang jika digabungkan, akan menjadikannya sangat besar dan unik. Seperti yang dicetuskan Bloomberg, “sebuah persatuan lokal dari Uber, PayPal, Amazon.com, dan DoorDash.” dan mereka menyampaikannya dengan sangat baik. Meskipun sangat menarik bagi beberapa investor, ini adalah wilayah baru yang unik dan asing bagi sebagian orang, dan akan terjadi penyesuaian dalam memahami bisnis dan fundamentalnya dalam perspektif utuh. Namun demikian, IPO tersebut akan menempatkan Indonesia dalam peta seperti saat Yahoo! mengakuisisi aplikasi media sosial buatan Indonesia, Koprol pada tahun 2010, sebuah peristiwa yang memicu pertumbuhan startup.

Bagi Indonesia sendiri, atau lebih tepatnya investor yang telah berinvestasi di startup teknologi Indonesia, IPO kali ini menjadi cahaya ilahi di ujung jalan. Kemungkinan IPO teknologi raksasa itu ada, tetapi yang lebih penting, pertautan unicorn akan langsung menjadi tujuan utama bagi startup yang ingin diakuisisi, seperti Apple dan Google bagi Silicon Valley.

Tentu saja, saya berasumsi bahwa perusahaan gabungan tersebut akan secara aktif mengakuisisi startup Indonesia yang bisa diandalkan dalam industri ini. Ini juga dapat memulai siklus karyawan-ke-pendiri dan pendiri-ke-investor yang sangat dibutuhkan negara ini.

Meski sangat menarik perhatian, merger juga memiliki beberapa poin yang harus diperhatikan. Privasi data konsumen adalah salah satu yang terpenting. Produk gabungan juga merupakan garis depan profil konsumen. Platform akan mengetahui di mana Anda berada, ke mana Anda pergi, apa yang Anda beli, dan pada dasarnya profil keuangan Anda. Itu baru permukaannya saja. Integrasi ke depan akan meraup lebih banyak data dari konsumen yang akan menjadi sangat berharga bagi perusahaan gabungan. Lihat Amazon sebagai sepotong gambaran di masa depan.

Konsolidasi tidak pernah mudah, restrukturisasi, pengurangan biaya, optimalisasi, dll. Tetapi jika dilakukan dengan benar, hasilnya bisa tak terduga. Potensi luar biasa sudah menanti pasca-merger Gojek dan Tokopedia, keduanya menarik sekaligus menakutkan. Namun sejujurnya, saya sangat bersemangat menantikannya.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Gojek Tokopedia Merger Will Positively Impact Consumer and Industry

Major news, the thing everybody was talking about in the first week of 2021, is the seemingly imminent merger of Gojek and Tokopedia, Indonesia’s two most valuable tech startups. Unlike the weakly rumor of a merger with Grab, the discussion I’ve had in different channels about the potential integration between Gojek and Tokopedia is super exciting from a lot of different angles. Here’s my analysis of how the merger can impact.

Consumer Impact

From a consumer point of view, this marriage of complementary products will be tremendously magical. Transportation infrastructure, e-commerce, and finance all under one integrated product? That’s every consumer’s dream, hyperlocal commerce! Today, we have same-day delivery which works most of the time. The integration between Gojek and Tokopedia can produce something even better, Amazon Prime-style instant same-hour delivery, helping push e-commerce transaction and customer satisfaction even more while increasing driver utilization rate making it more economical as a business.

Gojek has basically done this hyperlocal commerce model through their GoFood platform, where customers can get the food they order in an instant, sometimes less than 30 mins. The integration with Tokopedia will connect this logistical infrastructure with Tokopedia’s merchants, which is a major advantage for Tokopedia amidst the neck on neck competition with SEA’s Shopee.

And that brings us to another market that practically all the unicorns have been focusing on: the SME industry. Both Gojek and Tokopedia has a big user base of SMEs under their platform, albeit with a different type of needs. Minimum overlap, mostly complimentary. Gojek is a time-sensitive service-based SME (restaurants, stores, warungs) and Tokopedia is more like a craft, product-based SME. Both unicorns have also been doing a major effort in SME digitalization through Point-of-Sales, merchant marketing apps, even providing growth capital.

Aside from their core businesses, both unicorns also ventured around the financial technology (fintech) space. Tokopedia with its strategic investment in Ovo, which is well embedded and is the default payment method in its marketplace, and Gojek with its GoPay and GoPay Paylater platform. Both also have been facing major competition by ShopeePay, one of the fastest-growing fintech products in the market especially during the pandemic where Shopee further pushed ShopeePay customer acquisition like a bushfire using a seemingly endless marketing budget.

Industry Impact

Combined, the two companies are valued at around $18 billion. And it’s no secret that IPO is one of the major reason behind this merger, investors in both companies need liquidity and returns, and it won’t hurt both companies to get some capital during these uncertain time. The combined company will most likely look at dual-listing if they choose to go public this year, BEI and maybe Nasdaq (possibly the friendliest market for tech IPOs this year).

The IPO will impact both the global and Indonesian markets. Both Gojek and Tokopedia are amazing companies but combined, it makes a very large and unique. As Bloomberg puts it, “a local mashup of  Uber, PayPal, Amazon.com, and DoorDash.” and they couldn’t be more right. Although this can be exciting for some investors, it’s a unique new and unfamiliar territory for some, and there’s going to be a learning curve in understanding its business and fundamentals in full perspective. Nevertheless, the IPO will put Indonesia on the map the same way Yahoo! acquired made-in-Indonesia social media app, Koprol back in 2010 an event that sparked the startup growth.

For Indonesia itself, or more specifically investors who have been investing in Indonesia’s tech startups, this IPO is a bright light at the end of their tunnel. The possibility of a major tech IPO exists but more importantly, the combined unicorn will instantly become a major destination for startups to aim for acquisition, like what Apple and Google are to Silicon Valley.

Of course, I’m assuming that the combined company will actively acquire Indonesian startups which the industry will rely on. This can also kick start the employees-to-founders and founders-to-investors cycle this country desperately needs.

Although a lot of cause for excitement, the merger also has some points for concern. Consumer data privacy is one of the big ones. The combined product is the next frontier of consumer profiling, too. It will know where you are, where you’re going, what you buy, and essentially your financial profile. And that’s just the surface. Future integration will bring out more data from consumers that will become very valuable for combined companies. For a quick glimpse of the future, look at Amazon.

Consolidation is never easy, restructuring, cost reductions, optimizations, etc. But if done right, the result can be magical. And there are amazing possibilities lie ahead for the Gojek and Tokopedia post-merger, both exciting and frightening.  But if I’m honest, I’m feeling excited more than anything else.


Image from DepositPhotos.com

Waresix Acquires Trukita, to Expand Business in “First-Mile” Logistics

Logistics startup Waresix today (17/12) announced its acquisition of Trukita; a startup that provides a marketplace portal to help users find freight and truck services for first-mile delivery. This is to expand the company’s coverage, as previously known, Waresix only focuses on mid-mile logistics services.

After the corporate action, Waresix plans to accommodate all aspects of the supply chain through a technology approach, including truck management, warehousing, multimodal transportation, and vendor management.

In September 2020, Waresix also announced the fundraising up to $100 million or the equivalent of 1.5 trillion Rupiah of follow-on funding. Some investors participated in the last Series B funding, including EV Growth, Jungle Venture, SoftBank Ventures Asia, EMTEK Group, Pavilion Capital, and Redbadge Pacific.

“The acquisition of Trukita is in line with a strategy to complement our capabilities in mid-mile logistics services. This strategy allows us to combine our expertise and company network to expand our service range, as well as offer a more comprehensive range of services to our customers,” Waresix’ Co-founder & CEO Andree Susanto said.

He said that the acquisition of Trukita will increase the company’s coverage access to more than 10 thousand trucks and hundreds of new customers, putting the company in the best position to seize more opportunities in the Indonesian port and sea logistics market to be valued up to $60 billion.

Meanwhile, Trukita’s Co-Founder & CEO Ady Bangun said, “Trukita can now share the advantage of Waresix’s technology, as well as warehouse and truck. This will improve our services to customers in a more holistic manner, and expand our service reach beyond first-mile logistics.”

Co-Founder & CEO Waresix Andree Susanto dan Co-Founder & CEO Trukita Ady Bangun / Waresix
Waresix’s Co-Founder & CEO Andree Susanto and Trukita’s Co-Founder & CEO Ady Bangun / Waresix

Gaining profit despite pandemic

In early December 2020, we 8 funding that had been successfully booked by local logistics startups. Of course this is a breath of fresh air for the industry, especially the logistics sector is worthy of consideration because it supports various other businesses, one of which is e-commerce which contributes up to $32 billion of GMV for Indonesia’s digital economy.

Logisly Series A $6,000,000 Monk’s Hill Ventures
Waresix Series B $75,000,000 EV Growth, Jungle Venture, SoftBank Ventures Asia, EMTEK Group, Pavilion Capital, Redbadge Pacific
Andalin Seed Funding $1,500,000 BEENEXT, Access Ventures, ATM Capital
Webtrace Seed Funding Corin Capital
Shipper Series A $20,000,000 Prosus Ventures, Lightspeed, Floodgate, Y Combinator, Insignia Ventures, AC Ventures
GudangAda Series A $25,400,000 Sequoia India, Alpha JWC Ventures, Wavemaker Partners
Kargo Technologies Series A $31,000,000 Tenaya Capital, Sequoia India, Intudo Ventures, Amatil X, Agaeti Convergence Ventures, Alter Global, Mirae Asset Venture Investment
Waresix Series A $25,500,000 EV Growth, Jungle Ventures

The logistics business ecosystem alone is quite complex, we previously published an analysis in 2019. Some business players such as Waresix eventually rests on more than one business model – apart from providing logistics transportation services, it also started to help business people manage warehouse to make it efficient for product distribution. Several other players have done the same thing.

For example, Shipper has done quite a movement, through its acquisition of Porter and Pakde, they expanded the scope of business in the realm of warehousing to facilitate online sellers in marketplaces and social commerce. SaaS players for omnichannel e-commerce such as Sirclo also have a similar scope of business now. This trend is a strong indication that every player in the ecosystem is trying to provide end-to-end services.

In Indonesia, spending on ground logistics is estimated to reach $290 billion by 2020. Apart from the large market, the number of commercial vehicle population (9.6 million units in 2019) has created intense price competition. However, the ratio of logistics costs to Indonesia’s GDP has reached 24%. It means that this market is still very promising in terms of size.

Various logistical initiatives are also being intensified. Most recently, Paxel in collaboration with Blue Bird presents PaxelBig. It is a same-day delivery service with a capacity of more than 5 kg aimed at MSME players using the fleet owned by Blue Bird. The unicorns also strengthen their business in this segment. One of them is Gojek, which will finalize intercity shipping services through the JX unit as a joint venture with JD.id.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Header photo: Depositphotos.com

Waresix Akuisisi Trukita, Perluas Bisnis di Jaringan Logistik “First-Mile”

Startup logistik Waresix hari ini (17/12) mengumumkan akuisisinya terhadap Trukita; yakni sebuah startup yang sajikan portal marketplace untuk membantu pengguna menemukan penawaran jasa angkut barang dan truk untuk pengiriman first-mile. Akuisisi ini diharapkan dapat memperluas jangkauan layanan perusahaan, karena seperti diketahui Waresix sebelumnya hanya fokus di jasa logistik mid-mile.

Setelah aksi perusahaan ini, Waresix ingin mengakomodasi semua aspek di rantai pasokan melalui pendekatan teknologi, termasuk manajemen truk, pergudangan, transportasi multimoda, dan manajemen vendor.

Pada bulan September 2020 lalu, Waresix juga baru mengumumkan telah mengumpulkan dana hingga $100 juta atau setara 1,5 triliun Rupiah dari pendanaan digencarkan. Terakhir putaran seri B diikuti sejumlah investor termasuk EV Growth, Jungle Venture, SoftBank Ventures Asia, EMTEK Group, Pavilion Capital, dan Redbadge Pacific.

“Langkah untuk melakukan akuisisi Trukita sejalan dengan strategi untuk melengkapi kemampuan kami di bidang jasa logistik mid-mile. Strategi ini memungkinkan kami untuk menggabungkan keahlian dan jaringan perusahaan untuk memperluas jangkauan layanan kami, serta menawarkan rangkaian layanan yang lebih komprehensif kepada pelanggan kami,” sambut Co-founder & CEO Waresix Andree Susanto.

Ia  menambahkan, akuisisinya terhadap Trukita akan meningkatkan akses jaringan perusahaan ke lebih dari 10 ribu truk dan ratusan konsumen baru, menempatkan perusahaan ke posisi terbaiknya untuk meraih lebih banyak peluang di pasar logistik pelabuhan dan laut Indonesia yang nilainya dapat mencapai $60 miliar.

Sementara itu Co-Founder & CEO Trukita Ady Bangun mengatakan, “Trukita kini dapat memanfaatkan teknologi, serta jaringan gudang dan truk milik Waresix. Hal ini akan meningkatkan pelayanan kami kepada pelanggan secara lebih holistik, serta memperluas jangkauan layanan lebih dari sekadar first-mile logistics saja.”

Co-Founder & CEO Waresix Andree Susanto dan Co-Founder & CEO Trukita Ady Bangun / Waresix
Co-Founder & CEO Waresix Andree Susanto dan Co-Founder & CEO Trukita Ady Bangun / Waresix

Menuai untung di tengah pandemi

Sampai awal bulan Desember 2020, kami mencatat ada 8 pendanaan yang berhasil dibukukan oleh startup logistik lokal. Tentu ini menjadi angin segar bagi industri, terlebih sektor logistik memang layak diperhitungkan karena menjadi tulang punggung beragam bisnis lainnya, salah satunya e-commerce yang menyumbang GMV hingga $32 miliar untuk ekonomi digital Indonesia.

Logisly Series A $6,000,000 Monk’s Hill Ventures
Waresix Series B $75,000,000 EV Growth, Jungle Venture, SoftBank Ventures Asia, EMTEK Group, Pavilion Capital, Redbadge Pacific
Andalin Seed Funding $1,500,000 BEENEXT, Access Ventures, ATM Capital
Webtrace Seed Funding Corin Capital
Shipper Series A $20,000,000 Prosus Ventures, Lightspeed, Floodgate, Y Combinator, Insignia Ventures, AC Ventures
GudangAda Series A $25,400,000 Sequoia India, Alpha JWC Ventures, Wavemaker Partners
Kargo Technologies Series A $31,000,000 Tenaya Capital, Sequoia India, Intudo Ventures, Amatil X, Agaeti Convergence Ventures, Alter Global, Mirae Asset Venture Investment
Waresix Series A $25,500,000 EV Growth, Jungle Ventures

Ekosistem bisnis logistik sendiri cukup kompleks, sebelumnya sudah dibahas dalam analisis yang kami lakukan di tahun 2019. Beberapa pemain bisnis seperti Waresix pada akhirnya berpijak di lebih dari satu model bisnis – selain menyajikan layanan transportasi logistik, mereka juga mulai membantu pebisnis lakukan pengelolaan gudang untuk efisiensikan distribusi produk. Hal serupa sebenarnya juga dilakukan oleh beberapa pemain lain.

Misalnya yang dilakukan oleh startup agregator logistik Shipper, melalui akuisisinya terhadap Porter dan Pakde, mereka perluas cakupan bisnis di ranah pergudangan untuk memfasilitasi para penjual online di marketplace dan social commerce. Pemain SaaS untuk e-commerce omni-channel seperti Sirclo kini juga memiliki cakupan bisnis serupa. Tren tersebut menjadi indikasi kuat bahwa setiap pemain di ekosistem berupaya sajikan layanan end-to-end.

Tercatat di tanah air, pengeluaran untuk logistik darat diperkirakan mencapai $290 miliar pada tahun 2020. Selain dari pasar yang besar, jumlah populasi kendaraan komersial (9,6 juta unit pada 2019) telah menciptakan persaingan harga yang ketat. Namun, rasio biaya logistik terhadap PDB Indonesia masih mencapai 24%. Artinya secara ukuran, pasar ini memang masih sangat menjanjikan untuk digarap.

Berbagai inisiatif logistik juga terus digencarkan. Terbaru, Paxel bekerja sama dengan Blue Bird hadirkan PaxelBig. Yakni layanan same day delivery berkapasitas di atas 5 kg yang ditujukan untuk para pelaku UMKM memanfaatkan armada yang dimiliki Blue Bird. Para unicorn pun juga lakukan penguatan bisnis di segmen ini. Salah satunya Gojek yang akan matangkan jasa pengiriman antarkota melalui unit JX sebagai joint venture dengan JD.id.

Gambar header: Depositphotos.com

Grab dan Gojek Berpotensi Menjadi Merger Terpelik di Asia Tenggara

Sepanjang tahun 2020, rumor tentang merger antara Grab dan Gojek yang ditengahi oleh Masayoshi Son dari SoftBank telah menggema dan menjadi bahan perbincangan.

Jika kedua perusahaan menjadi satu entitas, ini akan menjadi konsolidasi perusahaan teknologi dengan nilai tertinggi di Asia Tenggara — sebuah langkah regional dengan potensi implikasi global. Ini juga akan menjadi plot twist terbesar bagi ekonomi internet regional, mengingat kedua perusahaan tersebut telah bersaing ketat selama bertahun-tahun. Sementara investor tampak bersemangat untuk menyatukan kedua perusahaan ini, kemungkinan merger menimbulkan pertanyaan tentang konsentrasi pasar dan dampaknya pada konsumen dan mitra pengemudi.

Baik Grab dan Gojek sangat diminati oleh para pemodal. Pada bulan Februari, Grab mengumpulkan USD 856 juta dari investor Jepang. Sebulan kemudian, Gojek meraup USD 1,2 miliar dalam putaran Seri F dari investor yang tidak disebutkan. Kemudian, di bulan Juni, Facebook dan PayPal juga menggelontorkan uang ke super-app Indonesia ini. Detail perjanjian tidak disebutkan, namun menurut Crunchbase, Gojek berhasil mengumpulkan USD 375 juta dari investor Amerika. Dan pada bulan Agustus, Grab mengantongi USD 200 juta dari perusahaan ekuitas swasta Korea Selatan Stic Investments, kemudian Gojek mengumpulkan USD 150 juta lagi dari perusahaan telko Indonesia, Telkom pada bulan November.

Dalam beberapa bulan terakhir, Son dilaporkan berperan sebagai kingmaker dan memberi tekanan lebih pada dua raksasa Asia Tenggara itu untuk bergabung dan beroperasi di bawah satu payung. Perkembangan terbaru menunjukkan bahwa Grab dan Gojek telah menyelesaikan sebagian besar perselisihan mereka dan memetakan struktur di mana salah satu pendiri Grab Anthony Tan akan menjadi CEO dari entitas gabungan tersebut, sementara eksekutif Gojek akan terus menjalankan bisnis di Indonesia dengan merek Gojek, menurut laporan Bloomberg.

Meski begitu, baik Grab maupun Gojek membantah kabar soal potensi merger tersebut.

Berawal dari startup transportasi, Grab dan Gojek telah mengembangkan bisnisnya masing-masing hingga memasuki banyak vertikal. Pertumbuhan itu membutuhkan guyuran dana dan perusahaan tetap tidak menguntungkan sampai sekarang.

Tahun lalu, Grab dan Gojek menunjukkan niat mereka untuk meraih profitabilitas dan go public — semua bagian dari rencana untuk menghasilkan keuntungan bagi investor seperti SoftBank. Tekanan meningkat tahun ini karena pandemi COVID-19, ketika transaksi untuk beberapa vertikal operasi Grab dan Gojek anjlok.

Berawal dari startup transportasi, kedua decacorn ini telah mengembangkan bisnisnya masing-masing hingga memasuki vertikal lainnya. Ilustrasi oleh KrASIA.
Berawal dari startup transportasi, kedua decacorn ini telah mengembangkan bisnisnya masing-masing hingga memasuki vertikal lainnya. Ilustrasi oleh KrASIA.

Tantangan pada layanan pembayaran

Langkah paling sulit dalam merger kemungkinan akan menggabungkan layanan pembayaran Grab dan Gojek. Di Indonesia, Grab bekerja sama dengan Ovo sebagai mitra pembayaran resminya, sementara Gojek mengoperasikan platform e-wallet miliknya sendiri, GoPay. Grab baru-baru ini memimpin investasi USD 100 juta di LinkAja, menjadikannya pemegang saham minoritas di platform milik negara. Ovo dan Dana telah lama dikabarkan berada dalam diskusi tentang kemungkinan merger untuk mencegah GoPay memperluas kepemimpinannya pada platform pembayaran.

Tidak seperti vertikal Grab dan Gojek lainnya, layanan pembayaran tunduk pada pembatasan ketat dari bank sentral, Bank Indonesia (BI).

“Jika Anda mempertimbangkan potensi ikatan antara Ovo dan Dana, dan konsolidasi lebih lanjut antara Grab dan Gojek, tiga platform teratas Indonesia — GoPay, Ovo, dan Dana — akan secara efektif dimiliki oleh kelompok yang sama, yang saat ini dilarang oleh Bank Indonesia,” kata Joel Shen, pengacara perusahaan dengan Withersworldwide yang mengkhususkan diri dalam merger dan akuisisi (M&A) dan teknologi di Asia Tenggara.

Regulasi BI bersifat wajib dan suspensori, yang berarti Grab dan Gojek membutuhkan izin dari bank sentral sebelum layanan pembayaran mereka dapat saling terkait, tambah Shen.

Baik Grab dan Gojek adalah perusahaan yang sangat berpengaruh di Indonesia. Co-founder Grab Anthony Tan dan Masayoshi Son dari Softbank diketahui memiliki hubungan baik, serta akses ke Presiden Joko Widodo dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Sementara itu, salah satu pendiri Gojek Nadiem Makarim menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di kabinet Jokowi.

“Saya bisa melihat ini bisa berhasil dengan salah satu dari dua cara ini,” kata Shen. “Pertama, mereka menggunakan pengaruh politik dalam pemerintahan Indonesia untuk mendapatkan persetujuan BI, dan lalu bergabung. Kedua, mereka memisahkan bisnis pembayaran dari vertikal lain, jadi mereka akan menggabungkan bisnis transportasi, pengiriman makanan, dan logistik, tetapi platform pembayaran akan tetap terpisah dan tidak digabungkan.”

Masih terlalu dini untuk menyimpulkan bagaimana hasil akhirnya, karena Grab dan Gojek belum menyelesaikan bagian komersial dari transaksi tersebut. Meskipun demikian, Shen yakin platform pembayaran akan menghadirkan satu-satunya rintangan regulasi yang paling sulit dalam merger untuk membentuk satu entitas bisnis.

Para investor berkumpul menjadi satu

Grab dan Gojek didukung oleh investor raksasa, dan persatuan mereka dapat menciptakan konvergensi yang tak terduga di antara baynaknya investor. Entitas yang telah memberi cek untuk Gojek termasuk Google, Tencent, Facebook, PayPal, Visa, dan JD.com. Sedangkan Grab didukung oleh Softbank, Uber, dan Didi Chuxing. Alibaba baru-baru ini dilaporkan sedang dalam pembicaraan untuk menggelontorkan USD 3 miliar di Grab; Meskipun hal ini tidak dikonfirmasi oleh salah satu perusahaan, Grab menandatangani kemitraan dengan Alibaba Lazada di Vietnam bulan lalu, menandakan kemungkinan kemajuan dalam diskusi.

“Jika Anda melihat tabel perbandingan antara Grab dan Gojek, kita akan melihat pesaing yang sangat tidak terduga seperti Alibaba dan Tencent, dimana merupakan situasi yang tidak biasa. Ini akan menjadi tabel yang sangat besar dan sesak jika merger benar terjadi,” kata Shen.

Seorang investor yang mengetahui situasi tersebut mengatakan kepada KrASIA bahwa merger akan menguntungkan dari sudut pandang pemangku kepentingan. Grab dan Gojek perlu segera fokus pada keberlanjutan untuk merasionalisasi penilaian mereka, sebutnya. Dan kedua perusahaan memiliki musuh bersama baru: Sea Group telah bangkit dari pandemi dengan angka yang semakin melejit.

Regulasi bisa melindungi merchant dan konsumen

Investor yang berbicara kepada KrASIA ini juga mengatakan merger akan merugikan pengguna, pengemudi, dan mitra merchant Grab dan Gojek. “Mereka [Grab dan Gojek] pasti akan mengurangi insentif dan daya tawar karena akan dimonopoli oleh entitas merger,” kata orang tersebut.

Jika merger terjadi, maka pengguna Grab dan Gojek dapat mengucapkan selamat tinggal pada promosi diskon perusahaan, karena tidak akan ada persaingan yang signifikan atau langsung di arena. Entitas baru juga bisa “menentukan harga secara sewenang-wenang”, ungkap Tulus Abadi, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia YLKI, kepada KrASIA.

Untuk saat ini, mitra pengemudi kedua perusahaan menentang merger antara Grab dan Gojek. Asosiasi pengemudi sepeda motor online Indonesia, atau Garda, mengatakan mereka akan melakukan protes jika perusahaan tersebut melanjutkan merger.

“Kami khawatir mega-merger ini akan berujung pada penghentian mitra pengemudi dengan alasan efisiensi perusahaan,” kata ketua dan juru bicara Garda Igun Wicaksono kepada KrASIA. Asosiasi berharap pemerintah turun tangan dan menghentikan konsolidasi.

Regulator dapat memainkan peran yang lebih kuat dengan memperketat aturan tentang penetapan harga dan hubungan platform pedagang. Komisi Persaingan dan Konsumen Singapura (CCCS), misalnya, membatasi pergerakan Grab setelah akuisisi perusahaan atas operasi Uber di Asia Tenggara pada Maret 2018, sehingga Grab tidak dapat mengubah rencana harga secara bebas atau memegang monopoli atas pengemudi.

Menurut investor yang tidak disebutkan namanya yang berbicara dengan KrASIA, perusahaan dapat menghindari monopoli pasar dengan melepaskan bagian-bagian bisnis mereka, seperti operasi angkutan atau pengiriman makanan. “Sebuah ‘perpisahan’ di antara kelompok mungkin diperlukan untuk mempertahankan persaingan,” tuturnya.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Kredivo Rampungkan Akuisisi Perusahaan Pembiayaan, Segera Perluas Bisnis

Kredivo merampungkan akuisisi terhadap perusahaan pembiayaan lokal bernama PT Swarna Niaga Finance dengan nominal transaksi dirahasiakan. Proses akuisisi ini sudah dimulai pada pertengahan tahun lalu.

CEO Kredivo Indonesia Alie Tan menuturkan, dengan aksi ini tidak ada yang berubah dari segi bisnis perusahaan. Menurutnya, sejak awal skema pembiayaan Kredivo memang didominasi pembiayaan pembelanjaan produk di merchant, bukan pinjaman tunai, maka dari itu lisensi multifinance dirasa lebih cocok untuk Kredivo.

“Dengan demikian, kami berharap bisa bertumbuh dengan pesat dan melayani 10 juta pengguna dalam beberapa tahun ke depan,” ucapnya kepada DailySocial, kemarin (6/10).

Pernyataan Alie memperkuat ujaran Co-Founder Kredivo Akshay Garg sebelumnya yang menyebutkan melalui lisensi multifinance maka penyaluran pinjaman Kredivo akan semakin besar dan berkembang.

Lisensi ini dinilai lebih stabil karena peraturannya sudah dibentuk. Dalam regulasi disebutkan Kredivo juga dimungkinkan untuk menyalurkan 30% pembiayaannya kepada fintech lending.

Dalam surat edaran OJK, dikatakan pascaakuisisi Swarna Niaga Finance berganti nama jadi PT FinAccel Finance Indonesia. Surat ini diterbitkan pada tanggal 22 September 2020, sekaligus menandakan pemberlakuan izin usaha.

“Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan memberikan Pemberlakuan Izin Usaha di bidang Perusahaan Pembiayaan sehubungan perubahan nama PT Swarna Niaga Finance Menjadi PT FinAccel Finance Indonesia,” tulis Kepala Departemen Pengawasan IKNB 1A OJK Dewi Astuti dalam pengumumannya.

Selain PT FinAccel Finance Indonesia yang mengantongi lisensi sebagai layanan multifinance, Kredivo (di bawah badan hukum PT FinAccel Digital Indonesia) sudah mendapat surat tanda terdaftar sebagai layanan p2p lending di bawah regulasi POJK 77 Tahun 2016 pada 21 Maret 2018.

Kredivo dan Akulaku

Alie masih enggan membeberkan lebih lanjut mengenai rencana Kredivo berikut dengan lisensi ini. “Nanti akan kita share segera roadmap-nya [karena] masih digodok di internal.”

Yang pasti, dengan menjadi perusahaan multifinance Kredivo dapat lebih leluasa menyalurkan pembiayaan multiguna untuk banyak sektor industri seperti perusahaan multifinance pada umumnya. Mereka bisa masuk ke pembiayaan kendaraan, properti, elektronik, KTA, dan lainnya.

Untuk sumber dana, mereka bisa mengandalkan pinjaman dari bank, dengan cara channeling atau joint financing, mengeluarkan surat utang dari MTN, obligasi, sindikasi on/offshore, hingga IPO. Arah bisnis Kredivo kurang lebih mirip dengan apa yang dilakukan Akulaku saat ini.

Akulaku kini menyediakan produk pembiayaan kendaraan dan kredit usaha untuk UKM, tidak hanya menyediakan kredit konsumtif yang diakses melalui merchant offline maupun online seperti e-commerce Bukalapak, Shopee, BliBli, JD.ID dan lainnya dengan total sekitar 120 ribu UKM di Indonesia.

Hal terpenting yang menjadi keunggulan dari Akulaku dan Kredivo adalah keduanya sama-sama berbasis perusahaan teknologi. Artinya, mereka lebih unggul dalam berinovasi produk keuangan yang dibutuhkan konsumen secara lebih luas tanpa harus buka kantor cabang.

Salah satu inovasi Kredivo yang sudah dirilis di antaranya Zero-click Checkout yang memungkinkan pengguna untuk belanja di layanan e-commerce secara instan tanpa perlu login atau pindah ke aplikasi lain. Inovasi tersebut hadir karena friksi saat pembayaran yang sangat tinggi menyebabkan tingkat cart abandonment di e-commerce Indonesia menjadi salah satu yang paling tinggi di dunia.

Application Information Will Show Up Here

Shipper Acquires Porter and Pakde

Shipper, a logistics aggregator platform developer startup, announced to complete its acquisition of Porter and Pakde. Details of the agreement value is undisclosed. Porter is a startup with short-distance delivery solutions, similar to services offered by GoSend or GrabExpress. While Pakde is known as a fulfillment service provider, they operate warehouses to provide logistics solutions for businesses.

Yesterday (29/9) we just spoke with Shipper’s Co-Founder & COO, Budi Handoko regarding his company’s initiative to enter the warehousing business. He said Shipper has the ambition to be a provider of logistics technology from upstream to downstream. To date, his team still finds challenges in the warehousing system and its role in supporting the growth of the e-commerce industry. These challenges are structural in nature, some are behavioral, and some are caused by technology.

The acquisition of Porter and Pakde is clearly in line with that vision. Moreover, the three companies, including Shipper, have the same customer segmentation. Budi said, “Porter’s joining Shipper will strengthen the Shipper network, therefore, we can get closer to consumers. On the other hand, Pakde’s presence allows us to serve all the needs of consumers in Indonesia, not only in terms of shipping but also in warehousing services.”

Business growth

The pandemic serves its own blessings for logistics startups in Indonesia. Consumers who increasingly rely on online buying/selling and ordering are directly contributing to increasing traction in the logistics business. With this foundation, several startups in related fields received funding this year, including Shipper.

June 2020, Shipper announced a series A funding led by Prosus Ventures (formerly Naspers Ventures) with the participation of Lightspeed, Floodgate, Y Combinator, Insignia Ventures, and AC Ventures. The value raised is estimated to be around $20 million or around 283 billion Rupiah. The company closed its seed round in September 2019, securing $5 million in funding.

Pakde (Paket Delivery) debuted in 2016, just received seed funding in October 2018 worth of around 6 billion Rupiah. Since its inception, it has provided operational services for online merchants, including inbound services such as stock reports and stock management. Pakde also provides warehousing services at its own warehouse and outbound services in the form of packaging and delivery of goods to partners from clients.

Meanwhile, Porter has been operating since 2015. They had a pivot a year later, focusing their target market on small business owners or merchants. The business then developed, not only serving food orders from restaurants but also facilitating the delivery of groceries from retailers and e-commerce.

Logistics potential

In terms of geography, the Indonesian market requires a unique approach. Online consumers always demand to get fast logistics services that yet affordable.

The transformation also occurred in the logistics sector, service providers do not only provide conventional delivery models – sellers deliver goods to logistics kiosks, then deliver them – now the fulfillment concept is starting to be more popular.

Fortunately, in today’s digital era, every business can use data to see trends in user consumption patterns. As an example of its use, this data can be a valuable insight for merchants or brands selling their products in e-commerce, so that they can find out which specific items are in-demand by users in which areas.

Based on this data, merchants or brands can take advantage of warehousing services provided by startups such as Shipper to accommodate fulfillment in cities that are far from their business area. Therefore, when consumers order, the delivery of goods is closer and costs tend to be cheaper.

Such solutions have also been developed by other companies; some came from logistical players, e-commerce, and e-commerce enablers. For enabler players who have expanded their services to fulfillment systems, there are TokoTalk, Sirclo, GudangAda, and Jet Commerce. Of the e-commerce players, such as TokoCabang from Tokopedia, Dikelola Shopee, following the footsteps of JD.id, and Lazada which have first developed a similar solution.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Shipper Akuisisi Porter dan Pakde

Shipper, startup pengembang platform agregator logistik, mengumumkan telah merampungkan akuisisinya terhadap Porter dan Pakde. Tidak diumumkan terkait detail nilai kesepakatan. Porter sendiri merupakan startup dengan solusi pengiriman jarak dekat, mirip layanan yang dijajakan GoSend atau GrabExpress. Sementara Pakde dikenal sebagai penyedia layanan fulfillment, mereka mengoperasikan gudang untuk memberikan solusi logistik bagi bisnis.

Kemarin (29/9) kami baru berbincang dengan Co-Founder & COO Shipper Budi Handoko terkait inisiatif perusahaannya masuk ke bisnis pergudangan. Ia mengatakan Shipper berambisi untuk menjadi penyedia teknologi logistik dari hulu ke hilir. Sejauh ini pihaknya masih melihat ada tantangan dalam sistem pergudangan dan peranannya dalam menyokong pertumbuhan industri e-commerce. Tantangan tersebut ada yang bersifat struktural, beberapa bersifat perilaku, dan beberapa disebabkan oleh teknologi.

Akuisisi terhadap Porter dan Pakde jelas sejalan dengan visi tersebut. Terlebih ketiga perusahaan, termasuk Shipper, memiliki segmentasi pelanggan yang sama. Budi berujar, “Bergabungnya Porter dengan Shipper memperkuat jaringan Shipper sehingga kami dapat semakin dekat dengan para konsumen. Di sisi lain, hadirnya Pakde memungkinkan kami untuk melayani seluruh kebutuhan konsumen di Indonesia, tidak hanya terbatas dalam sisi pengiriman, namun juga dalam jasa pergudangan.”

Perkembangan bisnis

Pandemi memberikan berkah tersendiri bagi startup logistik di Indonesia. Konsumen yang semakin mengandalkan layanan jual-beli dan pemesanan online, secara langsung turut meningkatkan traksi bisnis logistik. Dengan landasan tersebut, beberapa startup di bidang terkait terima pendanaan di tahun ini, tak terkecuali Shipper.

Juni 2020, Shipper umumkan perolehan pendanaan seri A dipimpin oleh Prosus Ventures (sebelumnya Naspers Ventures) dengan dukungan Lightspeed, Floodgate, Y Combinator, Insignia Ventures, dan AC Ventures. Nilai yang berhasil dibukukan diperkirakan berkisar $20 juta atau sekitar 283 miliar Rupiah. Perusahaan menutup seed round mereka pada September 2019, bukukan dana senilai $5 juta.

Pakde (Paket Delivery) debut di tahun 2016, baru bukukan pendanaan awal di bulan Oktober 2018 dengan nilai sekitar 6 miliar Rupiah. Sejak awal mereka menyediakan jasa operasional untuk pedagang online, mencakup layanan inbound seperti stock report dan stock management. Pakde juga menyediakan layanan warehousing di gudang milik sendiri dan layanan outbound berupa pengemasan dan pengiriman barang ke partner dari klien.

Sementara Porter sudah hadir sejak tahun 2015. Mereka sempat pivot setahun kemudian, memfokuskan target pasarnya ke pemilik bisnis kecil atau merchant. Bisnisnya kemudian berkembang, tidak hanya melayani pengiriman pesanan makanan dari restoran, tapi juga memfasilitasi pengiriman belanjaan dari peritel dan e-commerce.

Peluang bisnis logistik

Dengan kondisi geografisnya, pasar Indonesia membutuhkan pendekatan yang unik. Konsumen online selalu menuntut untuk mendapatkan pelayanan logistik yang cepat, namun tetap terjangkau.

Transformasi pun terjadi di sektor logistik, penyedia layanan tidak hanya menyediakan model pengiriman konvensional –penjual mengantarkan barang ke kios logistik, lalu dilakukan pengiriman–kini konsep fulfillment mulai banyak digarap.

Untungnya, di era digital seperti saat ini, setiap bisnis dapat memanfaatkan data untuk melihat tren pola konsumsi pengguna. Contoh pemanfaatannya, data tersebut bisa menjadi insight berharga untuk merchant atau brand yang menjajakan produknya di e-commerce, sehingga mereka bisa mengetahui barang tertentu paling banyak diminati pengguna di daerah mana.

Berbekal data tersebut, lantas merchant atau brand dapat memanfaatkan layanan pergudangan yang disediakan startup seperti Shipper untuk mengakomodasi pemenuhan di kota-kota yang letaknya jauh dari basis bisnisnya. Sehingga saat konsumen memesan, pengiriman barang jadi lebih dekat dan biaya cenderung lebih murah.

Solusi seperti itu turut dikembangkan oleh perusahaan lainnya; ada yang datang dari pemain logistik, e-commerce, dan e-commerce enabler. Untuk pemain enabler yang sudah perluas layanan mereka ke sistem fulfillment ada TokoTalk, Sirclo, GudangAda, dan Jet Commerce. Dari pemain e-commerce ada TokoCabang dari Tokopedia, Dikelola Shopee, mengikuti jejak JD.id, dan Lazada yang sudah lebih dahulu.