Warung Pintar Umumkan Pendanaan Seri B Senilai 390 Miliar Rupiah

Startup pengembang platform “new retail”  Warung Pintar hari ini (21/1) mengumumkan perolehan pendanaan seri B sebesar $27,5 juta, setara dengan 390 miliar Rupiah. Pendanaan diperoleh dari investor terdahulu mereka, yakni SMDV, Vertex, Pavilion Capital, Line Ventures, Digital Garage, Agaeti, Triputra, Jerry Ng dan EV Growth. Turut berpartisipasi dalam pendanaan kali ini, pengembang dompet digital di bawah naungan grup Lippo, yakni Ovo.

Sebelumnya Warung Pintar telah mendapatkan pendanaan awal senilai 55 miliar Rupiah di awal tahun 2018. Setelah itu di pertengahan tahun mereka mengumumkan pendanaan lanjutan senilai 57 miliar Rupiah. Di tahun 2018, startup besutan East Ventures ini telah memiliki lebih dari 1150 kios mitra yang tersebar di wilayah Jabodetabek. Beberapa kemitraan strategis juga telah dijalin, di antaranya bersama Ovo, Go-Pay, dan Flock.

Co-Founder & CEO Warung Pintar Agung Bezharie Hadinegoro menyampaikan, perusahaannya memiliki visi menjadi “golden standard”  bagi pengusaha mikro di Indonesia. Sejauh ini Warung Pintar telah mendorong kenaikan pendapatan mitra hingga 41%.

CEO OVO Jason Thompson turut menambahkan, proposisi Warung Pintar beresonansi dengan fokus OVO untuk memberdayakan UKM di Indonesia, ini menjadi bagian penting dari inklusi keuangan.

Sementara Chairman Warung Pintar, Willson Cuaca menegaskan, bahwa Warung Pintar adalah salah satu startup yang paling cepat berkembang dalam portofolio East Ventures. Ronde pendanaan turut dinilai mampu ditutup dengan sangat cepat.

Pasca pendanaan ini, Warung Pintar berambisi dapat meningkatkan pertumbuhan kios mencapai 5000 unit pada tahun 2019. Pihaknya juga akan memperluas jangkauan di luar Jabodetabek, dimulai dari Banyuwangi.

Ovo Segera Perluas Layanan Finansial di Tahun 2019

Ovo segera perluas layanan finansial untuk para penggunanya, setelah mengawali bisnis sebagai platform pembayaran. Layanan finansial yang tengah dikembangkan adalah asuransi, cicilan online tanpa kartu kredit, dan pinjaman online. Rencananya seluruh layanan ini akan hadir secara paralel pada kuartal pertama tahun 2019.

CPO Ovo Albert Lucius menjelaskan, untuk menyediakan seluruh layanan ini perusahaan terbuka untuk menjalin kerja sama dengan berbagai mitra. Hal tersebut ditekankan mengingat konsep Ovo adalah open platform.

Ia enggan merinci seperti apa bentuk konkret dari layanan baru yang akan dirilis. Namun ia menggambarkan pengguna Ovo terdiri dari berbagai segmen, di antaranya kalangan UKM dan pengemudi Grab. Para pengguna tersebut nantinya bisa mengajukan pinjaman buat mengembangkan usaha mereka.

Khusus untuk cicilan online, Albert menuturkan saat ini baru berjalan uji cobanya dengan Tokopedia, bekerja sama dengan startup fintech lending Taralite. Produk tersebut dinamai OVO PayLater.

“Jadi kan ada merchant, driver, dan agen; kalau mereka butuh capital bisa langsung dari partner-nya. Sementara partner-nya Ovo ada banyak, seperti Grab punya partner-nya sendiri misalnya Toyota. Nah kami bisa hadir di situ, intinya Ovo sebagai wadahnya,” terang Albert, yang dulunya memegang posisi sebagai Co-Founder dan CEO Kudo, Kamis (20/12).

Dengan jaringan pengguna yang besar, menurut Albert, inovasi ini merupakan nilai tambah yang bisa diberikan perusahaan kepada seluruh merchant, pengemudi, dan agen pengguna Ovo.

Tak hanya mengembangkan layanan finansial, sambungnya, Ovo juga bakal memperbaiki aplikasi untuk end-user. Menurut Albert, masih banyak hal dari aplikasi yang perlu diperbaiki agar memberikan nilai lebih.

Aplikasi Ovo sejauh ini sebatas digunakan apabila pengguna ingin melakukan pembayaran ke merchant. Padahal di dalam aplikasi ada voucher dan deals yang bisa dipakai, namun masih jarang yang memanfaatkannya.

“Sekarang kita ada akses jaringan ke merchant, banyak kesempatan bisnis yang bisa kita kembangkan buat mereka. Tujuan kita adalah mendukung bisnis ​merchant, khususnya dari sektor UKM untuk mengembangkan bisnis dan mencapai inklusi keuangan yang berkesinambungan.”

Perkembangan setahun Ovo

CEO Ovo Jason Thompson menerangkan, fondasi Ovo dibangun secara perlahan per kuartalnya. Pada kuartal pertama, mempelajari pasar Indonesia dan mulai membangun teknologi untuk strategi awal sebagai platform pembayaran offline di mall.

Kemudian pada kuartal kedua dilanjutkan dengan kemitraan strategis dengan Bank Mandiri, Grab, dan Moka untuk strategi O2O. Berikutnya, merambah kemitraan strategis lainnya dengan Alfamart, Kudo, dan Tokopedia untuk pembayaran online.

“Pada tahun pertama, Ovo tidak ingin menjadi platform pembayaran seperti kebanyakan. Kami ingin melayani pasar sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Jadi langkah yang kami ambil adalah menjadikan Ovo sebagai open platform yang bisa menghubungkan berbagai partner,” terang Thompson.

Dari data yang diumumkan, Ovo mengklaim memiliki 115 juta basis pengguna, sekitar 77% di antaranya berlokasi di luar Jabodetabek. Volume transaksi tembus lebih dari 1 miliar dalam setahun dengan pertumbuhan 400%, mayoritas berasal dari sektor transportasi, ritel, dan e-commerce.

Volume transaksi pembayaran yang telah diproses (Total Payments Value/TPV) naik 75x lipat. Adapun dana yang mengendap (stored value) tiap kuartalnya tumbuh 52%.

Ovo dapat dipakai sebagai platform pembayaran digital di lebih dari 500 ribu gerai offline. Berikutnya, hampir 180 ribu merchant UKM yang sudah bermitra dapat menerima pembayaran dengan kode QR.

Untuk top up dompet digital Ovo kini dapat dilakukan melalui lebih dari 1 juta top-up points, termasuk pengemudi Grab, ATM Mandiri, dan Alfamart. Cakupan layanan Ovo menjangkau 93% layanan di Indonesia.

Seluruh pencapaian tersebut membuat Ovo percaya diri untuk mengklaim sebagai platform pembayaran terbesar dengan jangkauan terluas se-Indonesia.

“Kini Ovo menjadi platform yang paling lengkap untuk semua use case. Ini sesuai dengan ambisi kami yang ingin hadir di setiap touch point para pengguna di kehidupan sehari-harinya dengan menganut konsep open platform. Kami juga bakal perbanyak kemitraan dengan pemerintah dan swasta untuk mewujudkan inklusi keuangan yang rata,” tutup Direktur Ovo Harianto Gunawan.

Application Information Will Show Up Here

Ovo Partners with Hooq, Introducing Service Integration

Hooq and Ovo announce the strategic partnership. Users can now pay subscription fees via Ovo and they’ll get special offers to access content on Hooq.

The partnership is to extend opportunities in acquiring users. Hooq is currently one of the biggest movie and video on demand service in Indonesia, in terms of many Indonesian movie productions supported by Hooq.

On the other hand, Ovo is a major competitor for Go-Pay as the leading e-money platform. Some of Ovo’s strategic partnership in 2018 have succeeded in boosting popularity and increasing users. One is the strategic partnership with Tokopedia, replacing TokoCash as “digital money” and an instant payment method.

Both Hooq and Ovo are trying to top the market in each segment. Ovo with its plan to acquire more users by making innovations and strategic partnerships. It is said that Ovo currently has 350,000 merchant partners in 212 cities. Hooq, is trying to make it as the first choice by providing box office movies with “budget” price or daily subscription for Rp3,900.

“We’re glad to announce the partnership with Ovo. This is our first strategic move in this area. It unites two popular brands in each industry with the same goal, to provide users with seamless experience in browsing, payment, and entertainment,” Peter Bithos, Hooq‘s CEO, said.

Bithos explained further that this partnership shows Hooq uniqueness, and an innovative investment in their platform to integrate with others.

Hooq users, through this partnership, can use Ovo balance to make subscription payment. In terms of Ovo users, there will be special offers at cut-price to attract new users.

“Our vision is to be accessible for everyone. Thus, we’ll continue to expand and develop strategic partnership as part of our open economy strategy. Through the partnership with Hooq, we expect to provide the best experience for our 60 million users by allowing them to browse, pay, and watch entertainment on our platform,” Jason Thompson, Ovo‘s CEO, said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Ovo Jalin Kerja Sama Strategis dengan Hooq, Hadirkan Integrasi Layanan

Hooq dan Ovo mengumumkan kemitraan strategis. Pengguna Hooq kini bisa melakukan pembayaran biaya berlangganan menggunakan Ovo dan pengguna Ovo akan mendapatkan penawaran menarik untuk mengakses konten di Hooq.

Kemitraan yang dilakukan Hooq dan Ovo akan memperbesar peluang keduanya untuk mengakuisisi lebih banyak pengguna. Hooq saat ini menjadi salah satu layanan video dan film on demand yang cukup besar di Indonesia, ditinjau dari mulai banyaknya produksi film Indonesia yang didukung okeh Hooq.

Di sisi lain, Ovo menjadi penantang serius Go-Pay sebagai platform e-money terdepan. Beberapa strategi kemitraan Ovo di tahun 2018 terbilang sukses meningkatkan popularitas mereka dan mendongkrak jumlah pengguna. Salah satunya kemitraan strategis dengan Tokopedia yang menggantikan posisi TokoCash sebagai “uang digital” dan metode pembayaran instan.

Hooq dan Ovo sama-sama tengah berusaha menjadi pimpinan pasar di segmen masing-masing. Ovo saat ini tengah berusaha menjangkau lebih banyak pengguna dengan berbagai inovasi dan kerja sama straregis. Klaim dari pihak Ovo, saat ini mereka sudah memiliki 350.000 mitra merchant di 212 kota. Sementara Hooq, tengah berusaha menjadi pilihan utama dengan menghadirkan film-film pilihan dengan paket harga “sachet” atau harian seharga Rp3.900.

“Kami sangat senang mengumumkan kemitraan dengan Ovo. Kesepakatan unik ini adalah yang pertama di kawasan ini. Ini menyatukan dua merek terkemuka di industri masing-masing dengan tujuan bersama untuk memberdayakan pengguna dengan pengalaman seamless di mana mereka dapat menelusuri, membayar, dan menikmati hiburan,” terang CEO Hooq Peter Bithos.

Peter lebih jauh menjelaskan bahwa kemitraan dengan Ovo menunjukkan keunikan dari Hooq, sekaligus merupakan investasi inovatif di platform mereka untuk bisa terintegrasi dengan platform lain.

Dengan kemitraan ini pengguna Hooq bisa menggunakan saldo Ovo untuk melakukan membayar biaya berlangganan. Sementara bagi pengguna Ovo akan tersedia penawaran-penawaran menarik dari pihak Hooq. Dikombinasikan dengan harga yang miring memungkinkan kemitraan Hooq dan Ovo menjadi gerbang bagi banyak pengguna baru.

“Visi kami adalah untuk bisa diakses semua orang, dan dengan dengan demikian kami akan terus memperluas layanan kami dan mengembangkan kemitraan strategis sebagai bagian dari strategi open economy kami. Melalui kemitraan dengan Hooq ini kami bercita-cita menghadirkan pengalaman terbaik bagi 60 juta pelanggan kami denga memungkinkan mereka menelusuri, membayar, dan menonton hiburan dari platform kami,” ujar CEO Ovo Jason Thompson.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Gambaran Persaingan Bisnis Digital di Empat Sektor Terpopuler di Indonesia

Dilihat dari geliat bisnis –meliputi nilai pangsa pasar dan putaran investasi—ada beberapa sektor digital yang tumbuh signifikan di Indonesia. Salah satunya merujuk pada hasil riset Google dan Temasek tahun ini, empat sektor utama yang mendominasi adalah e-commerce, online travel, online media, dan ride-hailing. Selain empat di atas sektor lain juga turut bertumbuh, salah satu yang menggeliat adalah fintech.

Pada tulisan ini, kami coba menghadirkan gambaran persaingan terkini industri digital yang sedang memanas dan menjadi sorotan di Indonesia. Terdiri dari bisnis ride-hailing, fintech, e-commerce, dan online travel. Masing-masing telah diisi oleh pemain besar dengan basis pengguna dan dukungan pendanaan yang sangat besar juga.

Ride-hailing masih tentang Go-Jek vs Grab

Berbicara tentang persaingan ride-hailing di Indonesia, maka masih mengerucut pada dua unicorn Go-Jek dan Grab. Keduanya terus mendominasi pangsa pasar dengan porsi yang berbeda. Sejauh ini dari sisi kelengkapan, aplikasi Go-Jek jauh lebih unggul karena menawarkan varian yang lebih banyak.

Namun dari total statistik unduhan di Play Store, angka Grab lebih banyak –karena hanya menggunakan satu aplikasi di seluruh wilayah operasional, sementara Go-Jek memisahkannya; seperti di Vietnam menggunakan Go-Viet atau bahkan layanan sekunder dengan Go-Life.

Go-Jek vs Grab
Go-Jek dan Grab masih terus bersaing menjadi yang terbaik

Di sisi lain, fitur e-wallet menjadi salah satu model bisnis layanan. Go-Jek bermanuver sendiri melalui Go-Pay, sementara Grab masih bergantung pada pihak lain, dalam hal ini Ovo dari Lippo Group. Untuk perluasan bisnis keduanya juga sama-sama memiliki unit investasi, merangkul pemain lain memperkuat ekosistem layanan –ada Go-Ventures dan Grab Ventures.

Mapan, Promogo, Findaya, Dana Cita dll adalah startup digital yang kini bermitra strategis dengan Go-Jek, dijalin melalui pendanaan dan/atau akuisisi. Kudo, HappyFresh, StickEarn, Karta dan beberapa pemain lainnya ada di sudut Grab. Dari sepak terjang yang ada, keduanya seakan-akan mengarah pada satu titik yang sama dalam kaitannya dengan tujuan bisnis.

Tahun ini nilai pangsa pasar ride-hailing di Indonesia diperkirakan mencapai $3,7 miliar. Angka tersebut diproyeksikan akan terus meningkat hingga menyentuh minimal $14 miliar di tahun 2025 mendatang. Sehingga babak demi babak persaingan masih akan sangat menarik disaksikan dari kedua startup besar tersebut.

Fintech tumbuh pesat, e-money miliki potensi terbesar

Di Indonesia ada dua sub-sektor fintech yang terlihat tumbuh subur, yakni lending dan e-money. Dari sisi jumlah pemain, fintech lending jauh lebih banyak, pun yang sudah berizin dari regulator. Sementara e-money cenderung lebih sedikit dan didominasi oleh pemain besar.

Ada alasan yang sangat mendasar mengapa e-money akan menjadi sub-sektor fintech yang paling berpotensi. Seperti layaknya uang di dompet, saldo e-money didesain untuk membantu pengguna bertransaksi kebutuhan sehari-hari.

Tak ayal kini pemain e-money makin gencar melakukan akuisisi pengguna dengan memperluas ekosistem layanan. Di Indonesia ada beberapa layanan populer untuk e-money, mulai dari Dana, Go-Pay, Paytren, Tcash dan lain-lain. Namun yang paling mendominasi pemberitaan akhir-akhir ini ada tiga layanan, yakni Dana, Go-Pay, dan OVO.

Dominasi pemberitaan tak lain terkait upaya perluasan integrasi layanan. Kini ketiga layanan populer tersebut sudah terintegrasi dengan platform berpopulasi pengguna besar. Dari survei yang dilakukan oleh DailySocial melibatkan 825 pengguna layanan, secara peringkat pengguna Go-Pay berada di urutan pertama, disusul oleh OVO, Tcash, dan Dana.

E-money di Indonesia
Layanan e-money terus perluas integrasi layanan untuk perkaya ekosistem

Pasca integrasi yang dilakukan besar-besaran tahun ini, artinya genderang persaingan baru saja dimulai. Beberapa pemain memang sudah terlihat meredup – misalnya PayPro yang akhirnya mencoba keberuntungan di ritel kecil tradisional.

Beberapa pemain baru juga bermunculan ditandai dengan rilis lisensi penyelenggara e-money oleh Bank Indonesia. Sebut saja BluePay, Duwit, hingga E2Pay yang segera memantapkan debutnya.

Sektor travel lengang namun menjanjikan

Menurut data Google dan Temasek, saat ini sektor online travel memiliki pangsa pasar yang paling besar di Asia Tenggara, yakni $30 miliar. Di Indonesia sendiri tahun ini diperkirakan akan menyumbang perputaran uang mencapai $8,6 miliar, dan diproyeksikan akan mencapai $25 miliar di tahun 2025 mendatang. Pemain di online travel sebenarnya juga banyak, sebut saja Airy, Pegipegi, Tiket.com, Traveloka, dan lain-lain.

Jika ditarik pemain dengan peringkat teratas, maka merujuk pada dua pemain besar – kebetulan keduanya didirikan pengembang lokal – yakni Tiket.com dan Traveloka. Pasca exit, Tiket.com saat ini berada dalam naungan Djarum Group melalui unit usaha Blibli. Sementara Traveloka masuk dalam jajaran unicorn di Indonesia dengan valuasi saat ini diperkirakan melebihi $2 miliar.

Traveloka vs Tiket
Traveloka pimpin bisnis OTA di Indonesia

Tampaknya modal besar membuat akuisisi pengguna oleh Traveloka cukup berhasil –diimbangi dengan inovasi layanan yang terus digencarkan. Secara statistik Traveloka saat ini masih mengungguli Tiket.com, kendati dari sisi varian layanan keduanya hampir memiliki kesamaan. Di sudut inovasi Traveloka juga banyak meluncurkan gebrakan, misalnya fitur PayLater melalui TravelokaPay bermitra dengan layanan pinjaman Danamas.

Secara khusus DailySocial juga pernah merilis laporan bertajuk “Online Travel Agencies Survey 2018”. Hasil survei menempatkan urutan layanan paling populer ada Traveloka, Tiket.com, Pegipegi, Airy, Blibli, Jd.id, Nusatrip dll. Besarnya pangsa pasar online travel membuat e-commerce juga berbondong-bondong menyajikan layanan penjualan tiket pesawat dan hotel. Beberapa e-commerce bekerja sama dengan pengembang OTA, sisanya mendesain sistem secara mandiri.

E-commerce di Indonesia bergerak dinamis

Sektor digital yang paling ramai sejak beberapa tahun terakhir, pun dengan pertumbuhannya terlihat paling mengesankan. Jika dikemas dalam anekdot, perjalanan digital society di Indonesia dimulai dari penggunaan media sosial, lalu e-commerce, baru ke layanan lainnya.

Saat ini lanskap e-commerce di Indonesia didominasi empat pemain besar, yakni Bukalapak, Lazada, Shopee dan Tokopedia. Pembeda antara e-commerce dan online marketplace pun semakin melebur.

Sementara itu di luar empat pemain tersebut masih banyak platform lain yang juga terus memperkuat keberadaannya, sebut saja Blibli, Bhinneka, Mataharimall dll. Pemain dengan segmen khusus seperti Sale Stock, Hijub, Berrybenka dll juga masih memiliki pangsa pasar. Belum lagi yang di segmen khusus B2B, ada Bizzy, Mbiz dll.

Beberapa penelitian menyebutkan, bahwa e-commerce akan menjadi bisnis digital paling berpengaruh dalam beberapa tahun mendatang. Per tahun 2018, nilai pangsa pasar e-commerce di Indonesia sudah mencapai $18 miliar, terbesar di regional.

Menjelang akhir tahun, di tengah hajatan akbar e-commerce beberapa lembaga survei merilis laporan terkait popularitas layanan e-commerce. Salah satunya MarkPlus, mereka mengatakan bahwa saat ini Shopee berada di urutan pertama, bersaing ketat dengan Tokopedia. Sebelumnya di kuartal kedua DailySocial juga pernah melakukan survei popularitas layanan e-commerce, menempatkan Shopee, Tokopedia, dan Bukalapak di urutan teratas.

E-commerce di Indonesia
Empat layanan e-commerce unggulan terus bersaing ketat

Persaingan belum usai sampai di sini. Masing-masing pengembang platform terus memaksimalkan berbagai strategi untuk memperkuat kehadirannya di pangsa pasar. Strateginya juga memiliki pendekatan berbeda antar pemain.

Misalnya Bukalapak memilih memaksimalkan biaya iklan – per kuartal ketiga tahun 2018, Bukalapak menjadi startup yang paling banyak beriklan. Beda lagi dengan Shopee yang mencoba memperkuat branding dengan menggaet tokoh terkenal Asia dan mengadakan pagelaran besar.

Berbincang tentang Ekosistem Startup Brazil dan Rencana “In Loco” Masuk ke Indonesia

Meskipun tidak terlalu sering terdengar keberadaanya, namun saat ini ekosistem startup di Brazil mengalami pertumbuhan yang cukup positif. Sedikitnya hingga akhir tahun 2018 sudah ada 6 startup unicorn asal Brazil dan beberapa layanan fintech yang sudah melakukan IPO.

Kepada DailySocial, Head of Startup Ecosystem In Loco, Felipe Matos, menyebutkan alasan utama mengapa startup asal Brazil tidak terdengar namanya, karena fokus mereka mengembangkan bisnis di negara asal saja. Kawasan yang disasar oleh startup Brazil adalah negara terdekat di Amerika Selatan dan Amerika Latin.

Untuk memperluas bisnis dan mengembangkan produk yang ada, Felipe berniat untuk menjalin kerja sama dengan startup Indonesia. Dengan pengalamannya sebagai CEO dan Head of Ecosystem Startup Farm di Brazil, yang selama ini fokus membantu startup dalam program akselerator, diharapkan pengalaman bisa membantu entrepreneur asal Indonesia.

“Pada dasarnya Brazil dan Indonesia memiliki kesamaan, mulai dari sisi demografi, infrastruktur, regulasi hingga logistik. Karena alasan itulah saya datang ke Indonesia,” kata Felipe.

Menguasai regulasi dan kebijakan pemerintah

Selain pengalamannya sebagai mentor, investor dan pengusaha; Felipe sebelumnya pernah bekerja di pemerintahan, sehingga memiliki pengetahuan yang cukup soal regulasi dan kebijakan pemerintah terkait startup. Terutama dengan pendekatan yang sebaiknya dilakukan oleh entrepreneur, terkait dengan membina hubungan yang baik dengan regulator dan mematuhi semua kebijakan yang ditetapkan pemerintah.

“Idealnya semua startup harus bisa secara kreatif menciptakan produk yang dibutuhkan dan langsung diluncurkan kepada target pengguna. Jika pada akhirnya pemerintah menetapkan peraturan khusus, baru lakukan pendekatan kepada regulator. Namun demikian cara ini tidak berlaku untuk layanan fintech,” kata Felipe.

Selain persoalan regulasi yang harus diprioritaskan oleh startup adalah persoalan talenta, relasi, hingga permodalan agar startup bisa berhasil. Tanpa adanya dukungan tersebut, menurutnya bukan hanya ekosistem yang tidak tercipta, namun juga kesempatan dan potensi startup untuk berkembang.

Meskipun telah memiliki startup unicorn, Indonesia saat ini dinilai masih kurang menarik perhatian investor lokal untuk kemudian menjadi key player dalam pembiayaan dan pendanaan startup lokal. Masih didominasi oleh investor asing, hal tersebut menurut Felipe bisa menjadi pemicu investor lokal untuk mulai berinvestasi. Sementara itu secara global, masuknya investor asing ke startup Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk berinvestasi, dilihat dari geliat startup lokal.

“Kisah sukses seperti Go-Jek, Tokopedia dan startup lainnya yang banyak mendapatkan pendanaan dari investor asing bisa menjadi pembelajaran di tahap awal. Untuk selanjutnya investor lokal mulai bisa menjadi pemain utama untuk mendukung pertumbuhan startup Indonesia,” kata Felipe.

Memperkenalkan startup asal Brazil ke Indonesia

Rencananya jika sesuai dengan jadwal, Felipe berniat untuk menghadirkan startup asal Brazil bernama In Loco ke Indonesia tahun 2019 mendatang. Startup yang memiliki teknologi geo-location ini diklaim bisa membantu startup seperti Go-Jek, Grab, hingga OVO melakukan kegiatan promosi, meningkatkan performa navigasi dengan teknologi yang dimiliki oleh In Loco.

Startup yang sudah hadir sejak 5 tahun lalu di Brazil tersebut saat ini sudah memiliki sejumlah klien yang besar dan dalam waktu dekat akan mengumumkan pendanaan Seri B.

“Berbeda dengan Google Maps dan teknologi navigasi GPS lainnya, In Loco mampu menentukan titik di dalam ruangan dengan memanfaatkan daya baterai yang sangat minim. Kami juga memiliki platform pemasaran yang bisa dimanfaatkan semua bisnis,” kata Felipe.

Warung Pintar Improves Partnership, Collaborates With OVO, Go-Pay, and Flock

Entering the first year, Warung Pintar announces the realization of 1000 stores in Jabodetabek. It’s claimed as an achievement for startups which commitment is to improve income and quality of traditional shops in Indonesia.

In providing more benefits to traditional shop owners, Warung Pintar also partners with OVO and Go-Pay for non-cash payment. To get a brand that intends to have marketing activities using their outlets in Jabodetabek, Warung Pintar partnered up with Flock, a creative agency.

Advertising platform for FMCG brand

The partnership with Flock is introduced intentionally to give another opportunity for brands, especially FMCG, to have marketing activities using relevant target market. The shop owners will also get additional income through Warung Pintar platform.

“Using the current technology, all data can be tracked in and out by brands easily. Ads can be targeted and customized by brands in accordance with the demand,” Agung Bezharie Hadinegoro, Warung Pintar’s Co-Founder and CEO, said.

Later, the displaying ads in each store will be adjusted to the location, weather, and current trends. Television will be the media. The plan is for ads to live in all Warung Pintar partners soon.

“There will be around 30 brands ready to put ads on Warung Pintar. Most of those are FMCG companies intended to acquire new users,” Ian Hady Wibowo, Flock’s CEO, said.

Focus to be supply chain for traditional shops

As a technology company, Warung Pintar is getting focused on providing what partners demand, in this case, traditional shop owners. It is to be used by Warung Pintar as supply chain by building warehouses with a function to accommodate ordered items.

“Currently, Warung Pintar has started to target supply chains due to shop owners demand who often have difficulty in buying products. By having relevant partners, we aim to answer all the demand,” he added.

Warung Pintar has been recorded to increase revenue from its partners up to 37%. With 34 existing principal partners, Warung Pintar provides around 370 products. Moreover, there are four thousand traditional shops registered as partners throughout Indonesia, 70% of those are from Jabodetabek.

“We still have plans to expand outside Jabodetabek, in fact, we choose the fast-growing locations with an entrepreneur network approach with enthusiasm to success,” Hadinegoro concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Warung Pintar Tingkatkan Kemitraan, Gandeng OVO, Go-Pay, dan Flock

Memasuki usia satu tahun, Warung Pintar mengumumkan pencapaian 1000 kios di area Jabodetabek. Pertumbuhan tersebut diklaim sebagai prestasi bagi startup yang berkomitmen meningkatkan pendapatan dan kualitas warung tradisional di Indonesia.

Untuk memberikan keuntungan lebih kepada pemilik warung tradisional, Warung Pintar menambah kemitraan dengan OVO dan Go-Pay untuk pembayaran non-tunai. Sementara untuk menggandeng brand yang ingin melakukan kegiatan pemasaran memanfaatkan gerai warung pintar di Jabodetabek, Warung Pintar bermitra dengan Flock, sebuah layanan creative agency.

Platform beriklan untuk brand FMCG

Kemitraan dengan Flock sengaja dihadirkan Warung Pintar untuk memberikan kesempatan kepada brand, khususnya FMCG, melakukan kegiatan pemasaran dengan target pasar yang relevan. Bagi pemilik warung, kemitraan ini akan menambah pendapatan melalui platform Warung Pintar.

“Dengan teknologi yang kita miliki, semua data bisa di-track in dan track out oleh brand dengan mudah. Iklan pun bisa lebih targeted dan bisa dikustomisasi oleh brand sesuai dengan kebutuhan,” kata Co-Founder & CEO Warung Pintar Agung Bezharie Hadinegoro.

Nantinya iklan yang tayang di masing-masing warung akan disesuaikan dengan lokasi, cuaca, hingga tren yang ada. Media yang digunakan nantinya adalah televisi. Rencananya media iklan di seluruh mitra Warung Pintar akan bisa live dalam waktu dekat.

“Rencananya akan ada sekitar 30 lebih brand yang siap untuk beriklan di Warung Pintar. Sebagian besar adalah perusahaan FMCG yang ingin merangkul lebih banyak lagi target pengguna,” kata CEO Flock Ivan Hady Wibowo.

Fokus sebagai supply chain pemilik warung tradisional

Sebagai perusahaan teknologi, Warung Pintar semakin fokus untuk memberikan kebutuhan yang diinginkan mitra, dalam hal ini pemilik warung tradisional. Kebutuhan tersebut kemudian dimanfaatkan Warung Pintar sebagai supply chain dengan mendirikan gudang yang berfungsi menampung barang yang dipesan pemilik warung.

“Saat ini Warung Pintar sudah mulai menyasar supply chain karena kebutuhan dari pemilik warung yang kerap mengalami kesulitan membeli produk yang dibutuhkan. Dengan menggandeng partner yang relevan, kami berupaya untuk memenuhi semua kebutuhan warung tersebut,” kata Agung.

Warung Pintar mencatat selama ini mampu meningkatkan revenue dari mitra Warung Pintar hingga 37%. Dengan 34 principal partner yang ada, Warung Pintar menyediakan sekitar 370 produk. Sementara itu terdapat empat ribu warung tradisional yang melakukan pendaftaran untuk menjadi mitra di seluruh Indonesia. 70% permintaan berasal dari kawasan Jabodetabek.

“Kami masih memiliki rencana untuk melakukan ekspansi di luar Jabodetabek. tentunya kami memilih lokasi yang fast growing dengan pendekatan entrepreneur network yang memiliki keinginan untuk maju,” kata Agung.

TokoCash Kini Jadi OVO, Tokopedia Tidak Buru Lisensi Uang Elektronik Sendiri

Melalui pemberitahuan email ke pelanggannya, Tokopedia meresmikan penggantian layanan e-wallet miliknya TokoCash dengan layanan OVO milik anak usaha Lippo Group. Inisiatif ini menyusul rilis sebelumnya bahwa OVO dan Tokopedia telah menandatangani kerja sama strategis untuk menambahkan opsi pembayaran.

Sekarang layanan OVO sudah otomatis terintegrasi dengan Tokopedia. Jika pengguna sebelumnya memiliki saldo TokoCash, juga otomatis akan masuk ke akun OVO – terdaftar tanpa harus registrasi secara manual.

Di Tokopedia, pengguna juga dapat mengisi (top up) saldo e-money OVO antara 50 ribu hingga 5 juta. Sebagai informasi, regulasi mengatur batasan maksimal nilai yang disimpan di uang elektronik maksimal 10 juta Rupiah, dengan transaksi per bulan maksimal 20 juta Rupiah.

Berbagai layanan pembayaran di Tokopedia kini dapat dibayar langsung dengan saldo OVO yang dimiliki. Beberapa layanan harus tetap diakses melalui aplikasi Tokopedia, karena opsinya sebagian belum dimiliki di aplikasi OVO.

Tidak lagi memburu lisensi sendiri

Sekitar Oktober 2017, layanan dompet digital milik Tokopedia dihentikan operasionalnya oleh Bank Indonesia (BI). Dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) 20/2018 tentang uang elektronik tersurat jelas dalam pasal 4 bahwa setiap penyelenggara (baik bank atau non-bank) yang mengoperasikan uang elektronik dengan jumlah dana float 1 miliar Rupiah atau lebih harus memperoleh izin dari BI.

Sementara OVO melalui PT Visionet Internasional sudah mendapatkan lisensi sejak Agustus 2017.

Dalam sebuah kesempatan di Bali, DailySocial bertanya ke Direktur Eksekutif Bank Indonesia Onny Widjanarko, mengapa lisensi uang elektronik Tokopedia tidak kunjung dirilis. Secara singkat ia menjawab ada komponen regulasi yang belum berhasil dilengkapi pihak pemohon. Onny juga memastikan bahwa tidak ada proses yang dipersulit, karena semuanya sudah tertuang dalam PBI secara jelas.

Pasal 5 yang tertera dalam PBI tersebut mengelompokkan penyelenggara berdasarkan jenis jasa pembayaran yang diberikan. Dalam hal ini Tokopedia jelas bisa masuk dalam kelompok penyelenggara front end, lebih spesifiknya sebagai penyelenggara dompet elektronik. Artinya dari sisi sistem, tidak ada isu.

Selanjutnya dalam Pasal 7, dituliskan penyelenggara non-bank harus memiliki mayoritas direksi yang berdomisili di Indonesia. Tampaknya ini juga bukan hal yang sulit dilakukan oleh Tokopedia.

Kemudian di pasal 9, menerangkan tentang modal disetor paling sedikit adalah 3 miliar Rupiah. Jelas tidak ada isu, karena Tokopedia adalah salah satu unicorn Indonesia dengan kepemilikan modal investasi >$1 miliar.

Bagian ini dilanjutkan dalam pasal 10 yang menyaratkan soal komposisi kepemilikan saham. Untuk mendapatkan lisensi uang elektronik, perusahaan harus memiliki paling sedikit 51% saham yang dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia. Kepemilikan yang dinilai oleh BI termasuk kepemilikan langsung dan/atau kepemilikan secara tidak langsung, dinilai subyektif oleh otoritas BI. Perusahaan yang telah mendapatkan lisensi juga diwajibkan untuk memelihara pemenuhan komposisi kepemilikan tersebut.

Tampaknya soal kepemilikan saham tersebut yang menjadi perkara fundamental di Tokopedia. Setidaknya saat ini ada 8 investor yang membawa Tokopedia hingga putaran pendanaan Seri F. Beberapa nama investornya ialah East Ventures, CyberAgent Ventures, Beenos Partners, Softbank Ventures Korea, SoftBank Telecom Corp, Sequoia Capital India, dan Alibaba Group.

Tokopedia Alibaba
William Tanuwajaya saat mengumumkan perolehan babak baru pendanaan senilai 1,1 miliar Dolar yang dipimpin Alibaba / DailySocial

Pendanaan seri F yang didapatkan Agustus 2017 lalu bernilai 1,1 miliar Dolar dipimpin oleh Alibaba. Pendanaan tahap tersebut menyumbangkan jumlah valuasi yang cukup dominan, kendati disebutkan Alibaba menjadi pemilik saham minoritas.

Ada kemungkinan bahwa secara mayoritas (>50%) kepemilikan saham Tokopedia dimiliki oleh pihak asing.

Persyaratan PBI yang tertuang ke pasal selanjutnya cukup normatif, seperti aspek kelayakan, tata cara pengajuan, sertifikasi sistem, pelaporan, pengawasan hingga sanksi.

Kemitraan strategis OVO-Tokopedia juga diregulasi

Sesuai pasal 16 ayat (b) disampaikan bahwa kerja sama dengan pihak lain untuk penyelenggaraan uang elektronik wajib memperoleh persetujuan BI. Detailnya dilanjutkan dalam pasal berikutnya. Persetujuan meliputi pengembangan produk dan aktivitas, termasuk terkait dengan fitur, jenis, layanan atau fasilitas yang telah berjalan.

Hal-hal yang disyaratkan cenderung lebih kepada aspek penyelenggaraan, seperti kesiapan operasional, keamanan dan keandalan sistem, manajemen risiko, dan perlindungan konsumen. Aspek lain juga mengatur legalitas, kompetensi, kinerja, dan keamanan antara kedua platform yang bekerja sama.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

OVO Resmi Jadi Opsi Pembayaran Tokopedia

Setelah sebelumnya diberitakan soal rencana implementasi teknologi OVO di layanan pembayaran Tokopedia, hari ini (31/10) keduanya mengumumkan secara resmi kerja sama strategis. Kerja sama yang diumumkan hari ini mengabarkan bahwa kini pengguna Tokopedia bisa memilih OVO sebagai opsi pembayaran dalam transaksi mereka.

Dari rilis yang kami terima belum disampaikan secara eksplisit mengenai rencana pemanfaatan teknologi OVO untuk mendukung sistem e-wallet Tokopedia. Kami sudah mencoba mengonfirmasi ke pihak OVO terkait ini, tapi belum mendapatkan jawaban.

Bagi OVO, kemitraan ini sebagai upaya untuk mematangkan strategi “tiga cabang” mereka, yakni melayani ritel offline (di gerai mall, warung dll melalui metode QR payment), online-to-offline (seperti kemitraan dengan Grab), dan e-commerce. Visinya untuk menegaskan OVO sebagai platform pembayaran terbuka dengan jangkauan transaksi yang luas.

“Setelah memantapkan diri sebagai platform pembayaran seluler nomor satu berdasarkan volume transaksi, kemitraan dengan Tokopedia akan lebih mempercepat pertumbuhan kami. Kami berharap adanya lonjakan pengguna baru dan transaksi tambahan dari e-commerce untuk mendorong kepemimpinan pasar secara menyeluruh,” sambut CEO OVO, Jason Thompson.

Dari statistik yang disampaikan, saat ini ada sekitar 60 juta pengguna aktif bulanan di platform OVO. Sementara di Tokopedia sudah mencapai 80 juta pengguna. Diharapkan keduanya dapat saling memperbesar pasar dari basis data pengguna yang ada.

“Kami sangat antusias bekerja sama dengan OVO dengan menawarkan kepada pengguna kami opsi pembayaran baru. Bersama OVO, kami tidak hanya memberikan pengalaman belanja lebih nyaman, tapi kami juga menampilkan opsi pembayaran yang memiliki kegunaan luas secara online dan offline serta membantu meningkatkan inklusi keuangan. Ini membawa kita satu langkah lebih dekat ke misi kita mendemokrasikan perdagangan melalui teknologi,” ujar COO Tokopedia, Melissa Siska Juminto.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here