Perkuat Layanan di Indonesia, PPRO Gandeng Kredivo

Setelah meluncur di pasar Indonesia akhir tahun 2020 lalu, platform pembayaran PaaS asal Inggris “PPRO” berencana untuk menjalin kolaborasi lebih luas lagi dengan platform pembayaran digital di Indonesia.

Setelah OVO dan Doku, kini PPRO kembali mengumumkan kerja sama strategis dengan Kredivo. Besarnya penggunaan metode pembayaran Buy Now Pay Later (BNPL) alias paylater di Indonesia menjadi salah satu alasan mengapa kerja sama ini dilancarkan.

“Kami melihat pilihan pembayaran BNPL banyak dipilih oleh pengguna layanan e-commerce secara global bukan hanya di Indonesia. Memanfaatkan sekitar 5 juta pengguna Kredivo, diharapkan kolaborasi ini bisa berguna untuk pasar di Indonesia,” kata VP Partnerships, Head of APAC PPRO Tristan Chiappini.

PPRO mencatat sekitar 55% pengguna layanan e-commerce memilih untuk melakukan pembayaran dengan cara BNPL. Dengan menawarkan metode pembayaran BNPL kepada konsumen saat checkout, merchant dapat meningkatkan tingkat konversi mereka, menghasilkan transaksi rutin dari konsumen yang menggunakan metode pembayaran, dan berpotensi melihat ukuran keranjang yang lebih besar.

“Integrasi kami dengan PPRO memungkinkan lebih banyak merchant untuk menawarkan pelanggan mereka opsi untuk membayar dengan Kredivo. Melalui mereka, kami dapat memperkuat komitmen kami untuk memberikan konsumen kesempatan untuk mengakses lebih banyak pasar e-commerce dunia,” kata VP Business Development Kredivo Krishnadas.

Sebelumnya PPRO juga telah melakukan integrasi dengan Jenius Pay dan LinkAja. PPRO dalam waktu dekat juga berencana untuk mengumumkan kerja sama strategis dengan platform dompet digital terbesar di Indonesia. Disinggung apakah GoPay yang akan menjadi mitra baru PPRO dalam waktu dekat, Tristan enggan untuk memberikan informasi lebih lanjut.

Pandemi dan pertumbuhan layanan e-commerce

Pandemi secara langsung telah mempercepat akselerasi layanan e-commerce di Indonesia. PPRO juga mencatat terdapat 3 negara yang kemudian banyak mendapatkan permintaan dari merchant di Indonesia. Di antaranya adalah Tiongkok, Amerika Serikat, hingga Singapura. Dilihat dari negara Top 3 tersebut menjadi relevan bagi PPRO untuk memperluas kemitraan dengan pemain lokal di Indonesia.

“Kami melihat 23% layanan e-commerce di Indonesia sudah lintas batas. Indonesia menjadi pasar yang menarik bagi kami untuk melakukan konsolidasi pasar. Kita sudah mempunya live traffic dengan payment menthod di Indonesia,” kata Tristan.

Selama 2 tahun terakhir PPRO mengklaim menjadikan Indonesia sebagai pasar prioritas mereka. Namun demikian karena pandemi, PPRO belum memiliki rencana untuk menempatkan tim di Indonesia. Selanjutnya PPRO akan terus fokus di PSP dan memenuhi demand dari para merchant. Selain pasar di Indonesia, PPRO juga memiliki rencana untuk memperluas layanan di negara lain seperti India hingga Malaysia.

PPRO adalah perusahaan fintech yang mengglobalisasikan platform pembayaran untuk bisnis, sehingga memungkinkan bagi mereka untuk menawarkan lebih banyak pilihan pembayaran pada saat checkout di berbagai platform dan meningkatkan penjualan lintas batas.

“Klien kita adalah global mulai dari Asia Tenggara hingga Amerika Serikat, ada potensi melakukan cross border untuk Indonesia.,” kata Tristan.

Siapa Pemilik Layanan Pembiayaan Ovo Finance?

OJK kemarin mengumumkan pencabutan izin usaha Perusahaan Pembiayaan “PT OVO Finance Indonesia (OFI)” karena adanya pembubaran perusahaan melalui keputusan RUPS. Adanya brand OVO di dalam nama entitas bisnis tersebut membuat publik heboh dan langsung menghubungkannya dengan platform pembayaran digital OVO (PT Visionet Internasional).

Kedua perusahaan memang memiliki bisnis berbeda. Izinnya pun berbeda. OVO yang menyediakan layanan pembayaran terdaftar sebagai pemegang lisensi e-money dari Bank Indonesia.

Dalam klarifikasinya, Presiden Direktur OVO Karaniya Dharmasaputra mengatakan, “Kami menegaskan bahwa OFI tidak memiliki kaitan apa pun dan bukan bagian dari kelompok perusahaan uang elektronik OVO. OFI bukanlah anak perusahaan maupun subsidiary dari kelompok perusahaan uang elektronik OVO. Sehingga pencabutan izin oleh OJK tersebut, sama sekali tidak ada pengaruhnya terhadap semua lini bisnis dalam kegiatan usaha uang elektronik OVO.”

Struktur perusahaan

PT OFI, menurut data publik per tahun 2020, dimiliki oleh perusahaan pembiayaan Jepang Tokyo Century Corp (60%) dan Lippo Group melalui PT Ciptadana Capital (40%). OFI mendapatkan lisensi pembiayaan dari OJK pada tahun 2019.

Di sisi lain, saham PT Visionet Internasional (OVO) sepenuhnya dimiliki oleh PT Bumi Cakrawala Perkasa (OVO Group). OVO Group dimiliki beberapa perusahaan, termasuk Lippo Group dan Tokyo Century Corp, meski secara mayoritas kini dikuasai oleh Grab.

Secara layanan, memang tidak ada integrasi antara OVO dengan OVO Finance – seperti yang disampaikan melalui keterangan resmi. Meskipun demikian, keduanya memiliki afiliasi yang sama dengan Lippo Group dan Tokyo Century Corp Jepang.

Untuk perusahaan pembiayaan, OVO Group sudah memiliki Taralite (PT Indonusa Bara Sejahtera) — sebuah startup fintech yang fokus di sektor pinjaman produktif (dan paylater) yang diakuisisi di tahun 2018.

Gambaran struktur OVO Group dan Ovo Finance / DailySocial.id

“OJK mencabut izin usaha PT OVO Finance Indonesia yang merupakan perusahaan pembiayaan. Perusahaan tersebut merupakan entitas yang berbeda dengan platform OVO (PT Visionet Internasional) yang merupakan penyelenggara uang elektronik di bawah pengawasan Bank Indonesia. Pencabutan izin usaha OFI dilakukan karena perusahaan mengembalikan izin usaha atas dasar keputusan pemilik perusahaan karena pertimbangan faktor eksternal dan internal,” jelas Juru Bicara OJK Sekar Djarot.

Application Information Will Show Up Here

Perkuat Sinergi GoTo, GoPay Jadi Opsi Pembayaran Utama di Tokopedia

Sebagai bentuk integrasi bisnis GoTo, GoPay menjadi layanan berikutnya yang hadir di aplikasi Tokopedia sebagai salah satu pilihan pembayaran instan. Ikon GoPay tertera di laman utama aplikasi bagian kiri atas, yang sebelumnya ditempati oleh OVO.

Sebelum GoPay hadir, pada Agustus kemarin, Gojek telah lebih dulu memboyong GoPayLater ke aplikasi Tokopedia. Pengguna dapat memanfaatkan limit yang diperoleh untuk berbelanja di Tokopedia.

Dalam keterangan resmi, CMO GoPay Fibriyani Elastria mengatakan. kehadiran GoPay di Tokopedia merupakan perluasan manfaat bagi GoPay yang telah diandalkan jutaan masyarakat Indonesia untuk bertransaksi sehari-hari termasuk belanja online. “GoPay fokus untuk memenuhi kebutuhan pengguna dengan menyediakan dan meningkatkan perluasan layanan belanja online yang aman dan mudah,” terangnya dalam keterangan resmi, Kamis (14/10).

VP of Corporate Communications Tokopedia Nuraini Razak menambahkan, “Selama ini Tokopedia telah menyediakan beragam metode pembayaran untuk mempermudah siapa pun merasakan manfaat bertransaksi online. Kami berharap kehadiran GoPay di platform Tokopedia sekarang bisa menjadi alternatif pembayaran bagi masyarakat yang kian mengandalkan pembayaran non-tunai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.”

Layanan ini diluncurkan secara bertahap kepada seluruh pengguna GoPay sejak Oktober. Seperti layaknya bertransaksi dengan pilihan pembayaran lainnya, pelanggan dapat memilih membayar dengan GoPay pada pilihan pembayaran di Tokopedia setelah memastikan jumlah tagihan belanja, alamat, serta metode pengiriman. Selanjutnya, pelanggan dapat menyelesaikan transaksi dengan memberikan konfirmasi PIN GoPay.

Kendati ekosistem GoPay sudah lengkap, tidak serta merta OVO dihapus dari ekosistem Tokopedia. Kedua perusahaan telah menyepakati OVO akan tetap hadir sebagai salah satu metode pembayaran di Tokopedia.

“Terkait penggunaan OVO di ekosistem Tokopedia dan Lippo Group, telah disepakati OVO akan tetap hadir seabgai salah satu metode pembayaran di ekosistem tersebut,” ucap Head of Corporate Communications OVO Harumi Supit mengutip dari CNBC Indonesia. Kata Harumi, perubahan struktur kepemilikan merupakan bagian wajar dari perjalanan perusahaan teknologi.

Saat ini, OVO dapat diakses pengguna di aplikasi Tokopedia melalui pilihan menu “Pengaturan”. Di laman tersebut, pengguna tetap dapat melakukan top up, transfer saldo ke sesama pengguna, dan melihat histori transaksi OVO.

Perlombaan duduki posisi teratas

OVO dan GoPay sebenarnya memiliki fokus yang sama, bekerja sama dengan berbagai mitra strategis agar semakin dekat dengan kehidupan sehari-hari para pengguna individu dan UMKM. Dalam paparan yang diberikan OVO, disebutkan bahwa layanannya sudah terintegrasi ke berbagai merchant di berbagai vertikal bisnis. Baik itu, tagihan dan hiburan, bahan makanan, parkir, logistik, kesehatan, donasi, pendidikan, fintech, dan sebagainya.

Aspek penting lainnya terhubung dengan sistem operasi smartphone, yakni Google Play dan App Store. Diklaim OVO sudah terhubung, namun saat diverifikasi lebih jauh, OVO belum tersedia di keduanya. Ada kemungkinan sedang proses integrasi, sehingga butuh waktu sebelum diresmikan ke publik.

Dalam berbagai riset, baik OVO dan GoPay saling mendominasi satu sama lain dalam menduduki posisi pertama sebagai aplikasi pembayaran digital yang paling populer. Menurut survei Fintech Report 2020, GoPay menempati posisi teratas (87%), kemudian secara berurutan disusul OVO (80,4%), DANA (75,6%), ShopeePay (53,2%), dan LinkAja (47,5%).

Sementara, dalam survei yang dirilis Boku pada tahun ini menobatkan OVO sebagai aplikasi dengan pertumbuhan transaksi tertinggi di 2020 dengan $10,7 juta, ShopeePay ($4,3 juta), LinkAja ($3,9 juta), GoPay ($3,7 juta), dan DANA ($3,4 juta). Urutan ini tidak bergeser untuk kategori pangsa pasar dan jumlah pengguna.

Menariknya, menurut survei yang diselenggarakan Neurosensum, ShopeePay tercatat menguasai pangsa pasar uang elektronik selama periode November 2020-Januari 2021 dengan persentase sebesar 68%. Posisi berikutnya adalah OVO (62%), lalu DANA (53%), GoPay (54%), dan LinkAja (23%).

Menduduki posisi teratas tentunya menjadi keinginan bagi semua pihak. Alhasil, masuknya GoPay ke dalam Tokopedia, menjadi generator yang baik untuk mendongkrak transaksi. Terlebih, Tokopedia dan GoPay tentu akan terus memberikan berbagai penawaran spesial berbentuk diskon dan cashback.

Dari sisi pemain e-commerce pun, baik Tokopedia dan Shopee, merupakan rival abadi seperti Grab dan Gojek, untuk mendominasi pasar. Secara berturut-turut Shopee berhasil mempertahankan posisinya sebagai e-commerce dengan kunjungan terbanyak di Indonesia dalam tiga tahun terakhir.

Rekor tersebut akhirnya dapat dipatahkan pada kuartal II 2021. Merujuk dari data iPrice, total pengunjung Tokopedia mencapai 147,7 juta rata-rata bulanan. Sementara, Shopee berada di angka 126,9 juta kunjungan. Terakhir kali, Tokopedia menjadi e-commerce dengan pengunjung terbanyak pada kuartal III 2019.

Application Information Will Show Up Here

Cara Transfer ShopeePay ke OVO Tanpa Upgrade ke Premium

Cara transfer ShopeePay ke OVO sangatlah mudah. Anda tidak perlu melakukan upgrade ke ShopeePay Plus atau OVO Premier untuk transfer saldo antar aplikasi E-Money ini. Anda hanya perlu mengunduh aplikasi tambahan sebagai perantara transfer antar dua aplikasi ini.

Cara Transfer ShopeePay ke OVO

Sebelum melakukan transfer saldo ShopeePay ke OVO, Anda harus mengunduh aplikasi bernama BukaKios di PlayStore atau langsung klik di sini. Setelah itu, ikuti langkah berikut ini.

  • Buka aplikasi BukaKios di smartphone Anda.
  • Jika Anda belum memiliki akun, pilih “Daftar” dan ikuti langkah-langkahnya hingga selesai. Jika sudah memiliki akun, pilih “Masuk” dan masukkan email/nomor ponsel serta password.
  • Pada halaman utama, klik “Isi Saldo”.

cara transfer ovo ke shopeepay

  • Ketikkan jumlah saldo yang ingin Anda transfer dari akun ShopeePay ke OVO.

cara transfer ovo ke shopeepay

  • Lalu, klik “Selanjutnya”.
  • Saat memilih metode pembayaran, pilih “E-Money” dan pilih “ShopeePay”.

cara transfer ovo ke shopeepay

cara transfer ovo ke shopeepay

  • Klik “Buat Topup”.

cara transfer ovo ke shopeepay

  • Selanjutnya klik “Bayar Melalui Shopee”.

cara transfer ovo ke shopeepay

  • Anda akan dialihkan ke aplikasi Shopee menu Pembayaran. Klik “Lanjutkan”.

cara transfer ovo ke shopeepay

  • Setelah sukses, buka kembali aplikasi BukaKios. Pada halaman utama, pilih “Saldo E-Money”.

cara transfer ovo ke shopeepay

  • Pilih “Saldo Ovo”.

cara transfer ovo ke shopeepay

  • Masukkan nomor tujuan dan klik jumlah saldo yang diinginkan.

cara transfer ovo ke shopeepay

  • Klik “Beli dan Bayar” dan ikuti prosesnya hingga pembayaran selesai.

cara transfer ovo ke shopeepay

 

Video Cara Transfer saldo Shopeepay ke Ovo

Cara Transfer OVO ke ShopeePay

Setelah melihat cara kirim saldo ShopeePay ke OVO menggunakan aplikasi BukaKios, sekarang saatnya Saya memberikan tutorial cara transfer OVO ke ShopeePay dengan aplikasi yang sama. Caranya hampir sama seperti sebelumnya. Ikuti cara sebelumnya hingga tahap isi saldo.

  • Pada menu isi saldo, masukkan nominal saldo yang ingin Anda transfer dari OVO ke ShopeePay. Klik “Selanjutnya”.

cara transfer ovo ke shopeepay

  • Pada Metode Pembayaran, pilih “E-Money” dan klik “OVO Cash”.

cara transfer ovo ke shopeepay

  • Klik “Buat Topup”.

cara transfer ovo ke shopeepay

  • Selanjutnya, klik “Bayar Sekarang”.

cara transfer ovo ke shopeepay

  • Masukkan no. handphone dan klik “Bayar Sekarang”.
  • Setelah itu, akan ada notifikasi masuk dari OVO untuk konfirmasi pembayaran. Buka notifikasi dan klik “Bayar”.

cara transfer ovo ke shopeepay

  • Selanjutnya kembali buka aplikasi BukaKios dan pilih “Saldo E-Money” pada halaman utama.
  • Pilih “ShopeePay”.

cara transfer ovo ke shopeepay

  • Masukkan nomor akun ShopeePay dan pilih nominal saldo.

cara transfer ovo ke shopeepay

  • Klik “Beli dan Bayar”.
  • Segera cek saldo pada akun ShopeePay Anda.

Nah, itu dia cara transfer saldo ShopeePay ke OVO dan sebaliknya. Langkah yang harus ditempuh memang cukup banyak, namun tentu saja cara ini akan memudahkan Anda yang tidak ingin repot melakukan upgrade ke akun ShopeePay Plus dan juga OVO Premier.

Grab Akuisisi Saham OVO dari Tokopedia dan Lippo, Kini Kuasai Sekitar 90% Kepemilikan

Bertujuan untuk memperkuat posisi dan bersaing dengan kompetitornya di layanan finansial, Grab Holdings Inc. meningkatkan kepemilikannya atas OVO menjadi sekitar 90% dengan mengakuisisi saham dari Tokopedia dan Lippo Group.

“Kami menyambut baik komitmen yang lebih besar dari Grab di OVO. Kami sedang bekerja dan melakukan konsultasi dengan regulator untuk menyelesaikan proses restrukturisasi kepemilikan, dan yakin ini akan memungkinkan kami untuk melayani kebutuhan layanan keuangan masyarakat Indonesia dengan lebih baik,” ujar perwakilan OVO.

Sebelum proses akuisisi ini, PT Visionet Internasional [OVO] merupakan bagian dari PT Bumi Cakrawala Perkasa (BCP – OVO Group). Adapun menurut laporan MomentumWorks, BCP per Mei 2019 sahamnya dimiliki Grab (GP Network Asia) dengan persentase 41%; Tokopedia (PT Digital Investindo Jaya) 38%; Lippo Group (PT Inti Anugrah Pratama) 10%; dan Tokyo Century Corporation 8%.

Sejauh ini OVO memang telah menjadi opsi pembayaran utama di Grab. Akuisisi ini tentu berpotensi memperdalam sinergi. Sebagai informasi, dalam OVO Group juga terdapat beberapa layanan finansial lain, baik dari proses akuisisi [Bareksa dan Taralite] dan kerja sama strategis seperti layanan insurtech yang didirikan bersama ZA Tech [anak perusahaan ZhongAn Online P&C Insurance].

Kompetisi aplikasi pembayaran

Di Indonesia, kompetisi layanan e-money cukup ketat. Gopay saat ini berpotensi untuk menjadi sistem pembayaran utama di holding GoTo — sebelumnya OVO menjadi opsi pembayaran utama di Tokopedia. Integrasi Gopay ke Tokopedia semakin mendalam, belum lama ini mereka mengusung layanan Gopaylater ke raksasa online marketplace tersebut.

Sementara Shopeepay dan SPayLater hadir sebagai pemain baru; dengan ekosistem pengguna Shopee yang besar, layanan ini tergolong sangat cepat melakukan penetrasi. Beberapa survei menempatkan sebagai top e-money saat ini di Indonesia. Salah satunya dari hasil studi Ipsos Indonesia pada akhir 2020; dengan menitikberatkan pada tingkat kepuasan responden, ShopeePay mendapatkan peringkat pertama dengan skor 82%. Angka itu jauh melebihi pemain lain seperti Ovo (77%), Gopay (71%), Dana (69%), dan LinkAja (67%).

Belum lagi saat berbicara pemain lain, seperti DANA yang kini fokus menjadi super e-wallet untuk berbagai kebutuhan finansial seperti transfer bank, pengelolaan rekening bank dll; LinkAja yang semakin mendalam penetrasinya ke pasar O2O; hingga pemain-pemain lain yang memiliki skala yang lebih kecil dengan fokus spesifik, misalnya AstraPay di ekosistem Astra Group dan MotionPay di MNC Group.

Mengakomodasi UMKM

Presiden Direktur OVO Karaniya Dharmasaputra mengungkapkan, saat ini lebih dari 1 juta pelaku UMKM telah menjadi merchant OVO dan menerima pembayaran digital melalui QRIS.

“Selain berkomitmen untuk merangkul lebih banyak pelaku usaha, masuk ke ekosistem digital nasional, OVO terus berupaya menghadirkan kesempatan bagi pelaku UMKM untuk mengembangkan bisnis mereka, melalui pendalaman literasi keuangan digital yang secara khusus menyasar para wirausahawan
Indonesia.”

Survei CORE Indonesia menunjukkan, saat pandemi 10% populasi merchant OVO berhasil mempertahankan pendapatan bulanan dan 5% pelaku UMKM mengalami peningkatan pendapatan bulanan. Saat ini OVO telah hadir di lebih dari 430 kota dan kabupaten.

Dalam survei tersebut juga terungkap, setelah bergabung dengan OVO, 71% pelaku UMKM melakukan pencatatan transaksi penjualan lebih teratur dan menerima transaksi pembayaran digital, 68% memiliki akses lebih luas terhadap layanan keuangan, dan 51% mengaku lebih memahami penggunaan teknologi untuk mempertahankan usaha.

Strategi serupa, dengan merekrut UMKM untuk menjadi tenant di ekosistem, juga menjadi standar layanan pembayaran lainnya saat ini. Seperti yang dilakukan LinkAja dengan menggandeng penjual di berbagai pasar tradisional. Namun sebenarnya dengan adanya QRIS, pemilik UMKM bisa menyuguhkan sistem pembayaran yang lebih umum. Pasalnya satu kode QR yang dipampang, bisa digunakan untuk menerima pembayaran dari berbagai jenis aplikasi e-money.

Pertajam integrasi layanan

Untuk memperluas jangkauan penggunaan, OVO juga terus memperluas kemitraan dengan mitra strategis. Dari daftar yang disampaikan, saat ini OVO diklaim sudah terintegrasi ke berbagai sistem seperti ditampilkan pada gambar di bawah ini.

Integrasi layanan OVO di merchant online dan offline / OVO
Integrasi layanan OVO di merchant online dan offline / OVO

Namun saat kami periksa, di Google Play, App Store, dan Netflix sampai saat ini (04/10) belum ada opsi pembayaran dengan OVO. Kemungkinan sedang tahap penjajakan atau proses integrasi layanan, dan akan hadir beberapa waktu mendatang. Jika proses tersebut selesai, OVO akan menemani fintech pembayaran lokal lain seperti Gopay, Shopeepay, DANA, dan DOKU yang sudah terlebih dulu menjadi opsi untuk pembayaran di lokapasar aplikasi.

“Sejak awal kehadirannya sendiri, OVO telah menerapkan strategi ekosistem terbuka, di mana kami memberikan keleluasaan bagi OVO untuk bisa bekerja sama atau berkolaborasi dengan lini industri mana pun yang berkaitan dengan layanan kami,” kata Head of Corporate Communications OVO Harumi Supit kepada DailySocial.id.

Application Information Will Show Up Here

Jaygan Fu Ponnudurai Is Officially OVO’s New CEO, Replacing Jason Thompson

OVO appointed Jaygan Fu Ponnudurai as the new CEO replacing Jason Thompson as of September 2021. Jaygan was previously OVO’s COO since June 2018, also held various positions at Grab Malaysia and Grab Indonesia.

Regarding this succession, Jaygan has confirmed his new position to the DailySocial.id team.

Both Jaygan and Thompson were former Grab executives before leading OVO. Thompson previously served as GrabPay’s Managing Director before becoming OVO’s number one person. Before Thompson, OVO was led by Adrian Suherman in its early establishment as part of the Lippo group.

After Thompson served as the CEO, Adrian moved as OVO’s President Director, until Karaniya Dharmasaputra arrived to occupy the seat until now. Adrian is currently the President Director of Matahari Putra Prima (MPPA).

In separate occation, at yesterday’s (28/9) press conference, OVO has now entered its 4th year and has transformed from being just an e-money platform to digital financial services. “One of the innovations in the investment area is with Bareksa, a deep integration between e-money and e-investment. This is what I think is the first in Indonesia,” Karaniya said.

In fact, entering its second year, OVO has become the country’s 5th unicorn. It also means the youngest company compared to its peers.

In the midst of fierce competition for digital payment services, he continued, according to research by Kadence International Indonesia, OVO is the most often used digital payment. It is said that OVO has 71% active users and a brand awareness level of up to 96%. It was also revealed that OVO’s user profiles came from the age group of 25-45 years with a composition of 51% male and 49% female.

Some of the reasons for consumers choosing OVO are include accesible with many applications or online merchants, available for bank account transfer, offering many promos and cashbacks, the lowest top-up fees, and used by many online stores and merchants.

The research also revealed that 8 out of 10 OVO users ordered food online and 7 out of 10 users used OVO for offline payment transactions at restaurants.

OVO is now available in more than 430 cities and regencies, with more than 1.2 million merchants from various industries, including MSMEs that have implemented QRIS.

Digital payment app competition

Based on Bank Indonesia’s data, the number of electronic money transactions in 2020 has reached Rp161 trillion with 4.6 billion transaction volumes. The trend continues to increase from year to year, as of August 2021 alone, it has recorded a transaction value of IDR 161 trillion with 3.3 billion transactions.

OVO has a fairly strong position in the market, especially as the main payment service on Tokopedia and Grab. According to the BOKU 2021 report, based on the market share of the total existing players, the ranking is as follow: OVO (38.2%), ShopeePay (15.6%), LinkAja (13.9%), Gopay (13.2 %), and FUND (12,2%).

However, OVO clearly not to be careless, the business dynamics that recently occured have the potential to ‘threaten its position’. With the Gojek-Tokopedia business merger, in particular they also co-founded GoTo Financial which will accommodate all fintech on both platforms. Gojek alone has Gopay and Gopaylater which is OVO’s direct competitor. Recently, its services have started to be integrated into Tokopedia.

It is likewise for Grab, the ride-hailing giant’s intimacy with EMTEK has been getting closer lately. Meanwhile, the technology conglomerate also operates DANA in its line of business. To date, there has been no indication of OVO’s shifting position in Grab; the news spread about merger plan between OVO and DANA.

With another player comes another strategy. ShopeePay is still focused on accommodating its very massive customers, while starting to dive into the O2O realm. Meanwhile LinkAja continues to strengthen its presence as an offline merchants payment– by continuously increasing integration into consumer platforms, including Gojek.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Jaygan Fu Ponnudurai Kini Jadi CEO OVO, Gantikan Jason Thompson

OVO mengangkat Jaygan Fu Ponnudurai sebagai CEO baru menggantikan Jason Thompson per September 2021 ini. Jaygan sebelumnya adalah COO OVO sejak Juni 2018, setelah menempati berbagai posisi di Grab Malaysia dan Grab Indonesia.

Terkait suksesi ini, Jaygan Fu telah mengonfirmasi posisi barunya tersebut kepada tim DailySocial.id. Jaygan sebelumnya adalah COO perusahaan.

Pihak Ovo mengatakan, Jaygan Fu menggantikan Jason Thompson yang sudah menyelesaikan masa jabatannya dan telah pindah ke Singapura. Pengalamannya bersama OVO sejak 2018 diyakini akan memberikan nilai lebih bagi pertumbuhan dan peran OVO dalam mengakselerasi transformasi pembayaran dan layanan keuangan digital, menuju literasi dan inklusi keuangan yang merata di seluruh Indonesia.

Baik Jaygan Fu maupun Thompson adalah mantan petinggi Grab sebelum memimpin OVO. Thompson sebelumnya juga menjabat sebagai Managing Director GrabPay sebelum menjadi orang nomor satu di OVO. Sebelum Thompson bergabung di OVO, pada awal berdirinya OVO dipimpin oleh Adrian Suherman yang merupakan bagian dari grup Lippo.

Setelah Thomson mengisi posisi CEO, Adrian berpindah posisi menjadi Presiden Direktur OVO, hingga akhirnya posisi tersebut diisi oleh Karaniya Dharmasaputra sampai saat ini. Kini Adrian menjadi Presiden Direktur Matahari Putra Prima (MPPA).

Secara terpisah, dalam konferensi pers yang digelar kemarin (28/9), OVO kini telah memasuki usianya yang ke-4 dan telah bertransformasi dari awalnya hanya sekadar platform e-money, kini mulai masuk ke layanan keuangan digital. “Salah satu inovasinya di area investasi bersama Bareksa, ada deep integration antara e-money dengan e-investment. Ini yang saya rasa pertama di Indonesia,” ujar Karaniya.

Bahkan, pada tahun ke-2 OVO, telah menyabet posisi sebagai unicorn ke-5 di Indonesia. Alias perusahaan termuda dibandingkan peers-nya.

Di tengah persaingan layanan pembayaran digital yang begitu ketat, sambung dia, menurut riset yang diungkapkan Kadence International Indonesia menyebutkan bahwa OVO merupakan pembayaran digital nomor satu yang paling sering digunakan. Disebutkan OVO memiliki 71% pengguna aktif dan tingkat brand awareness hingga 96%. Diungkapkan juga, profil pengguna OVO datang dari kalangan usia 25-45 tahun dengan komposisi 51% laki-laki dan 49% perempuan.

Beberapa alasan konsumen memilih OVO antara lain bisa digunakan di banyak aplikasi atau merchant online, dapat melakukan transfer saldo ke rekening bank, memiliki banyak promo dan cashback, biaya top-up paling rendah, dan dipergunakan banyak toko dan merchant online.

Dalam riset tersebut juga mengungkapkan sebanyak 8 dari 10 pengguna OVO memesan makanan secara online dan 7 dari 10 pengguna menggunakan OVO untuk transaksi pembayaran di restoran secara offline.

OVO kini telah hadir di lebih dari 430 kota dan kabupaten, dengan lebih dari 1,2 juta merchant dari berbagai industri, termasuk UMKM yang telah mengimplementasikan QRIS.

Kompetisi aplikasi pembayaran digital

Menurut data Bank Indonesia, pada tahun 2020 jumlah transaksi uang elektronik telah mencapai Rp161 triliun dengan 4,6 miliar volume transaksi. Trennya terus meningkat dari tahun ke tahun, per Agustus 2021 ini saja sudah membukukan nilai transaksi Rp161 triliun dengan 3,3 miliar transaksi.

OVO sendiri memiliki posisi yang cukup kuat di pasar, terlebih saat ini digunakan sebagai layanan pembayaran utama di Tokopedia dan Grab. Menurut laporan BOKU 2021, didasarkan pada market share dari total pemain yang ada, didapati beberapa peringkat sebagai berikut: OVO (38,2%), ShopeePay (15,6%), LinkAja (13,9%), Gopay (13,2%), dan DANA (12,2%).

Kendati demikian OVO jelas tidak bisa berleha-leha, dinamika bisnis yang terjadi akhir-akhir ini berpotensi ‘mengancam posisinya’. Sebut saja penggabungan usaha Gojek-Tokopedia, secara khusus mereka turut mendirikan GoTo Financial yang akan mengakomodasi seluruh fintech di kedua platform. Gojek sendiri punya Gopay dan Gopaylater yang bersaing langsung dengan OVO. Akhir-akhir ini layanannya juga mulai diintegrasikan ke Tokopedia.

Pun demikian untuk posisi di Grab, kemesraan raksasa ride-hailing tersebut dengan EMTEK makin rekat akhir-akhir ini. Sementara konglomerasi teknologi tersebut juga mengoperasikan DANA di lini bisnisnya. Sejauh ini belum ada gelagat yang akan menggeser posisi OVO di Grab; yang ada justru rencana merger antara OVO dan DANA.

Pemain lain juga memiliki strateginya sendiri-sendiri. ShopeePay masih fokus mengakomodasi para pelanggannya yang sangat masif, sembari mulai terjun ke ranah O2O. Sementara LinkAja juga terus memperkuat keberadaannya sebagai pembayaran di merchant offline — dengan terus meningkatkan integrasi ke platform konsumer seperti Gojek.

Application Information Will Show Up Here

Dua Tahun QRIS: Mengungkap Pengalaman Bertransaksi via “Mobile Banking” dan Uang Digital

Dua tahun perjalanan awalnya, fitur QRIS mulai menunjukkan pertumbuhan adopsi yang luar biasa sebagaimana diulas DailySocial di tulisan bagian pertama. Hal ini divalidasi data yang dibagikan Bank Indonesia (BI) tentang peningkatan transaksi selama satu tahun terakhir.

Selain peningkatan transaksi, kami juga melihat tren antusiasme dari para pengguna yang menyoroti berbagai macam isu terkait adopsi QRIS di lapangan. Isu ini terungkap lewat survei mini yang kami lakukan kepada 65 responden. Meski belum mewakili sebagian besar pengguna layanan pembayaran digital di Indonesia, survei ini tetap sesuai dengan semangat utamanya, yakni menyoroti isu yang dapat menjadi ruang perbaikan bagi pemangku kepentingan.

Pada bagian kedua ini, DailySocial membeberkan isu-isu lain yang menyoroti lebih rinci dari perspektif pengguna, seperti kategori produk yang sering dibeli hingga platform pembayaran yang lebih digemari untuk melakukan transaksi dengan metode QRIS.

QRIS dalam penggunaannya

Pada tulisan sebelumnya, salah satu tantangan adopsi QRIS adalah keterbatasan merchant yang menerima pembayaran dengan metode ini. Tak mengherankan sebagian besar responden mengaku lebih banyak bertransaksi untuk pembelian makanan dan minuman (95,2%). Pada kategori lainnya, transaksi QRIS juga digunakan untuk pembelian kebutuhan pokok (35,5%), donasi (17,7%), dan layanan transportasi (11,3%).

Kategori produk yang dibeli dengan metode QRIS / DailySocial
Kategori produk yang dibeli dengan metode QRIS / DailySocial

Dari 93,8% responden yang pernah bertransaksi dengan metode QR Code, sebanyak 33,3% di antaranya menghabiskan Rp50.000-Rp300.001 untuk bertransaksi. Kemudian disusul 22,7% responden menghabiskan di atas Rp1 juta, Rp500.001-Rp1.000.000 (21,2%), Rp300.001-Rp500.000 (18,2%), dan di bawah Rp50.000 (4,5%).

Frekuensi transaksi pembayaran dengan QRIS / DailySocial
Frekuensi transaksi pembayaran dengan QRIS / DailySocial

Apabila transaksi QRIS sudah bisa digunakan untuk kategori yang lebih luas, misalnya transportasi publik yang lebih beragam, pedagang kaki lima, dan pasar, tentu adopsinya akan meningkat lebih pesat. Pasalnya, konsumen di segmen ini masih banyak yang bertransaksi dengan metode uang tunai daripada metode pembayaran yang belum terlalu familiar.

Mobile banking versus uang digital

Salah satu fakta menarik yang kami himpun dari survei ini adalah bagaimana pengguna lebih merasa nyaman bertransaksi dengan metode QRIS melalui aplikasi mobile banking (58,1%) ketimbang uang digital (e-money).

Jika dirinci berdasarkan merek platform, aplikasi mobile banking (28,8%) masih mengungguli e-money, seperti OVO (27,1%), GoPay (25,4%), dan ShopeePay (15,25%). Apa alasannya?

 

Platform untuk bertransaksi dengan QRIS / DailySocial

Menurut hasil elaborasi sejumlah responden, aplikasi mobile banking sudah otomatis terhubung dengan tabungan sehingga mereka tidak perlu top up dan mengeluarkan biaya administrasi. Tidak perlu repot mengunduh aplikasi e-money satu per satu, apalagi top up ke beberapa platform (jika memakai lebih dari satu).

Menariknya, kehadiran bank digital juga dinilai memberikan alasan kuat mengapa transaksi QRIS lebih digemari di aplikasi mobile banking. Menurut responden, fitur kantong dalam aplikasi mempermudah alokasi budget yang dapat dikhususkan untuk transaksi, seperti jajan makanan atau transportasi, tanpa mengganggu budget lain.

Sementara responden lainnya menilai transaksi QRIS melalui e-money menawarkan proposisi nilai yang mungkin tidak dimiliki mobile banking, yakni pembayaran dengan points atau rewards. Contohnya, aplikasi OVO. Secara experience pun, dompet digital dianggap lebih unggul karena proses login-nya lebih cepat dibanding mobile banking.

“Alasan lainnya, pengguna sudah terbiasa menggunakan e-moneyMerchant yang menerima QRIS dari e-money juga sudah lebih banyak. Selain itu, QRIS lebih sesuai untuk transaksi dengan nominal di bawah Rp500 ribu dan e-money dinilai pas untuk kebutuhan itu,” ungkap sejumlah responden.

Upaya edukasi

Elaborasi ini tampaknya cukup menjawab mengapa sebanyak 68,8% mengaku memperoleh informasi seputar QRIS dari platform pembayaran yang mereka gunakan sehari-hari. Sementara 60,9% menjawab dari merchant tempat mereka bertransaksi. Platform pembayaran dan merchant dapat menjadi sarana utama untuk mengedukasi pemakaian QRIS.

Menurut CEO BCA Digital Lanny Budiati, salah satu upaya untuk meningkatkan awareness kepada pengguna adalah lewat promo-promo menarik yang hanya didapatkan apabila bertransaksi di merchant dengan metode QRIS. Data perusahaan mencatat sekitar 10% dari total nasabah BCA Digital telah bertransaksi dengan QRIS dengan total volume mencapai Rp1 miliar sejak aplikasi blu dirilis pada 2 Juli 2021.

“Kami terus encourage para nasabah untuk menikmati kemudahan bertransaksi dengan QRIS. Kami juga siapkan konten edukasi di berbagai kanal media sosial terkait cara penggunaan hingga manfaatnya. Ke depan, BCA Digital akan terus mendorong pengembangan QRIS sesuai roadmap dari Bank Indonesia dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI),” papar Lanny kepada DailySocial.

Sementara, Direktur Utama Bank Neo Commerce Tjandra Gunawan menilai bahwa segala macam teknologi baru tentu membutuhkan waktu lama untuk mendorong adopsinya. Ia mengaku optimistis adopsi QRIS akan cepat terserap mengingat tren pembayaran cashless semakin menjamur dalam satu tahun terakhir. Ditambah lagi, semakin banyak merchant dan aplikasi keuangan yang menyediakan fitur QRIS.

“Bank Neo Commerce akan aktif dalam melakukan edukasi finansial kepada masyarakat, tidak hanya familiarisasi terhadap fitur QRIS, tetapi juga gaya hidup digital secara aman dan nyaman,” ungkapnya kepada DailySocial.

Integrasi Produk Gojek Mendalam di Tokopedia, Kini Tersedia GoPayLater

Perusahaan merger dari Gojek dan Tokopedia, GoTo, semakin perdalam integrasi produk antar keduanya di masing-masing platform. Informasi yang terbaru adalah hadirnya layanan fintech BNPL (buy now pay later) dari Gopay yakni GoPayLater yang kini tersedia di aplikasi Tokopedia.

Belum ada informasi resmi yang diberikan perusahaan terkait kabar teranyar tersebut. Kehadiran GoPayLater tentunya berindikasi pada semakin jelasnya upaya Tokopedia untuk mengurangi dominasi OVO di platformnya.

Sebelum GoTo diresmikan ke publik, program loyalitas Tokopedia yang sempat menggunakan OVO Points akhirnya kembali menghidupkan TokoPoints pada April 2021 setelah sempat dirilis pada 2018.

Lewat OVO Points, sebelumnya pengguna Tokopedia dapat memperoleh poin untuk mendapatkan cashback dari setiap transaksi yang dilakukan di Tokopedia. OVO Points dapat digunakan sebagai salah satu metode pembayaran, konversi 1 poin senilai dengan Rp1.

TokoPoints juga dapat dapat ditukar tanpa batas minimum/maksimum poin untuk untuk semua transaksi produk fisik dan berbagai produk digital. Pemakaian TokoPoints untuk transaksi produk fisik juga dapat digabungkan dengan promo lainnya dan Bebas Ongkir secara bersamaan.

Tokopedia juga menyediakan gamifikasi yang dapat digunakan pengguna untuk mengumpulkan TokoPoints setiap harinya.

Munculnya GoPayLater artinya tinggal menunggu waktu saja sampai akhirnya Gopay hadir di Tokopedia. Selama ini, OVO adalah metode pembayaran utama yang tersedia di laman utama Tokopedia untuk berbagai transaksi. Di Tokopedia, tersedia fitur top up instan saldo, transfer, dan bayar dengan kode QR yang terhubung langsung dengan OVO.

Mengutip dari DealStreetAsia, Tokopedia dan afiliasinya memiliki 41% saham di OVO. Dengan rincian, Tokopedia menguasai 36,1% saham di induk OVO, Bumi Cakrawala Perkasa, Co-Founder Tokopedia Leontinus Alpha Edison dan William Tanuwijaya memiliki 5% melalui Wahana Inovasi Lestari yang diakuisisi Grab pada Februari 2020. Sedangkan Grab Inc menguasai 39,2% saham di induk OVO.

GoPayLater sendiri adalah produk dari Findaya, startup p2p lending yang diakuisisi Gojek pada 2018. Dalam perkembangannya, melalui wawancara bersama DailySocial pada Februari 2021, disampaikan GoPayLater sudah memperluas cakupan layanannya, tidak hanya dapat digunakan untuk seluruh transaksi di aplikasi Gojek dan merchant offline afiliasinya.

Sejumlah mitra e-commerce yang dapat menerima pembayaran dengan GoPayLater adalah Blibli, JD.id, Zalora, dan masih banyak lagi.

Diungkapkan pada tahun lalu pertumbuhan transaksi dengan GoPayLater naik hingga 3,3 kali lipat. Transaksi terbesarnya dikontribusikan dari pembelian makanan melalui GoFood dan membayar tagihan di GoBills.

“Gopay Paylater menjadi salah satu layanan yang paling digemari pengguna, terbukti dengan peningkatan transaksi sampai dengan 3,3 kali lipat sepanjang tahun 2020 dengan NPL di bawah industri,” ucap Head of Growth GoPayLater Neni Veronica.

Penetrasi layanan fintech

Industri fintech lending yang merupakan ranah dari GoPayLater terus menunjukkan tren pertumbuhan di Indonesia. Berdasarkan statistik OJK, pada semester I 2021 angka penyaluran mencapai Rp70,88 triliun, hampir menyandingi pencapaian sepanjang tahun lalu sebesar Rp74,41 triliun. Bila melihat secara kumulatif saja, telah mencapai Rp221,56 triliun.

Angka ini diprediksi akan semakin tumbuh, mengingat masih banyaknya kelompok masyarakat underserved dan unbanked. Pemain seperti GoPayLater yang mengusung BNPL atau kartu kredit digital, mengisi gap kebutuhan terhadap akses finansial yang memadai dengan pendekatan digital.

Paylater jadi opsi pembayaran yang makin diminati untuk pengguna e-commerce di Indonesia / Kredivo-Katadata

Persaingan di kancah uang elektronik itu sendiri juga tak kalah menarik. Di Indonesia, peta persaingannya semakin meruncing di antaranya lima pemain dominan di pasar. Mereka tak lain Gopay, OVO, DANA, ShopeePay, dan LinkAja. Dalam berbagai riset, kelimanya saling berganti posisi satu sama lain dalam tiap periodenya.

Menurut hasil survei yang dirangkum dalam Fintech Report 2020, ada lima aplikasi pembayaran digital yang paling banyak digunakan menurut responden. Secara berurutan meliputi Gopay (87%), OVO (80,4%), Dana (75,6%), ShopeePay (53,2%), dan LinkAja (47,5%).

Sementara, menurut survei yang diselenggarakan Neurosensum, ShopeePay tercatat menguasai pangsa pasar uang elektronik selama periode November 2020-Januari 2021 dengan persentase sebesar 68%. Posisi berikutnya adalah OVO (62%), lalu DANA (53%), GoPay (54%), dan LinkAja (23%). Dalam temuan ini, responden tercatat menggunakan multiple e-wallet untuk kebutuhan berbeda.

Dari sisi frekuensi penggunaan, ShopeePay juga berada di posisi teratas dengan total gabungan transaksi sebanyak 14,4 kali per bulan atau 9 kali (online) dan 5,4 kali (offline). OVO menyusul di posisi kedua dengan total 13,5 kali penggunaan per bulan atau 8,1 kali (online) dan 5,4 kali (offline). Di urutan ketiga, GoPay dengan total 13,1 kali per bulan atau 8 kali (online) dan 5,1 kali (offline).

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Laporan Boku: OVO Pimpin Pangsa Pasar “Mobile Wallet” di Indonesia

Perusahaan penyedia jaringan pembayaran mobile Boku baru-baru ini merilis survei terkait pasar mobile wallet di dunia. Survei bertajuk “Boku: 2021 Mobile Wallets Report” ini turut menyoroti kompetisi hingga perilaku penggunaan mobile wallet di Indonesia.

Indonesia dilaporkan menjadi negara ketiga di dunia dengan pertumbuhan mobile wallet tercepat, penetrasinya diprediksi melambung tiga kali lipat dengan transaksi diestimasi naik sepuluh kali lipat dalam lima tahun ke depan.

Laporan ini mengungkap, volume transaksi mobile wallet di Indonesia diestimasi mencapai 1,7 miliar di 2020 dan meningkat menjadi 16 miliar transaksi di 2025. Sementara nilai transaksinya di 2020 mencapai $28 miliar dan diestimasi tumbuh signifikan menjadi $107 miliar atau Rp1,55 kuadriliun di 2025.

Total pengguna mobile wallet Indonesia tercatat sebesar 63,6 juta atau 25,6% terhadap total populasi. Angka ini diperkirakan juga meningkat menjadi 202 juta pengguna atau 76,5% pangsa di 2025.

Dalam laporannya, ada lima pemain Indonesia yang berkompetisi ketat di pasar mobile wallet. Apabila diurutkan berdasarkan pertumbuhan transaksi tertinggi di 2020, kelima mobile wallet ini antara lain (1) OVO dengan $10,7 juta, (2) ShopeePay dengan $4,3 juta, (3) LinkAja dengan $3,9 juta, (4) Gopay $3,7 juta, dan (5) DANA dengan $3,4 juta.

Capaian transaksi di 2020 dan proyeksinya di 2025 / Boku Report
Tingkat pertumbuhan transaksi di 2020 (kolom tiga) dan proyeksinya di 2025 (kolom empat) dalam jutaan dolar / Boku Report

OVO mengungguli penggunaan mobile wallet di Indonesia dengan 38,2% pangsa pasar, diikuti oleh ShopeePay (15,6%), LinkAja (13,9%), Gopay (13,2%), DANA (12,2%), dan lainnya (6,9%).

Pangsa pasar mobile wallet di Indonesia / Boku Report
Pangsa pasar mobile wallet di Indonesia / Boku Report
Jumlah pengguna mobile wallet di Indonesia / Boku Report
Jumlah pengguna mobile wallet di Indonesia / Boku Report

Survei ini mengungkap, mobile wallet punya peran signifikan dalam mendorong akuisisi customer baru di layanan ecommerce. Di sisi lain, lima pemain mobile wallet di Indonesia bersaing ketat untuk mengambil ceruk pasar.

“Ketatnya persaingan di pasar mobile wallet turut dipicu oleh keterlibatan Venture Capital (VC) yang agresif memberikan investasi kepada pemain,” ungkap laporan ini.

Hal ini terlihat dari bagaimana ShopeePay mampu mengungguli beberapa pemain incumbent, seperti Gopay dan DANA di 2020. ShopeePay dinilai banyak memberikan potongan harga dan promosi kepada konsumen berkat dukungan modal dari investor. Faktor ini yang membawanya menduduki posisi kedua penggunaan mobile wallet terbanyak di Indonesia.

Perilaku pengguna mobile wallet di Indonesia

Boku juga melakukan survei terhadap 1035 responden untuk mengetahui lanskap perilaku penggunaan mobile wallet di Indonesia. Hasilnya, rata-rata konsumen Indonesia menggunakan sebanyak 3,2 mobile wallet untuk memaksimalkan keuntungan setiap layanan. Temuan ini sama banyaknya dari hasil survei penggunaan di India.

Ada lima alasan terbesar konsumen Indonesia menggunakan mobile wallet antara lain pembayaran digital (73%), cashback/diskon dari mobile wallet (69%), ingin mencoba (61%), cashback/diskon dari merchant tertentu (57%), dan karena ingin berhenti menggunakan uang tunai (53%).

Cashback menjadi faktor utama mengapa konsumen rerata menggunakan 3,2 mobile wallet. Faktor ini diikuti pertanyaan lanjutan, yakni ‘mengapa Anda menggunakan lebih dari satu dompet’. Responden menjawab mereka ingin mengumpulkan benefit berbeda dari masing-masing layanan,” jelasnya.

Pada aktivitas penggunaan, konsumen Indonesia kebanyakan pakai mobile wallet untuk top up, pembayaran, tagihan, transfer. Ini sebetulnya menjadi sinyal bagaimana mobile wallet menjadi proxy untuk membantu membuka rekening masyarakat.

Perilaku penggunaan mobile wallet di Indonesia / Boku Report

Kemudian, laporan ini juga menemukan 81% responden di Indonesia banyak menggunakan mobile wallet untuk belanja online. Jika dibandingkan dengan pembayaran langsung di toko sebesar 40% apabila digabungkan, ini menyimpulkan bagaimana konsumen Indonesia begitu terpusat pada layanan ecommerce.

Menurut responden, belanja online menjadi fungsi teratas yang banyak mereka gunakan pada “super app“. “Temuan ini menjadikan Indonesia sebagai pasar mobile-only dengan kompetisi pasar mobile wallet dan super app yang kuat,” tambahnya.

Lebih lanjut, Indonesia termasuk pasar tercepat di dunia untuk penggunaan mobile payment. Alhasil, Indonesia menjadi salah satu negara di dunia yang memiliki transisi cepat dari penggunaan tunai ke mobile wallet.

“Kami menemukan pembayaran tunai, transfer bank, dan kartu debit menjadi tipe pembayaran yang mulai banyak ditinggalkan konsumen dan beralih ke mobile wallet. Bahkan pembayaran melalui perangkat mobile mengungguli kartu kredit, yang mana menjelaskan rendahnya penetrasi kartu kredit di Indonesia,” sebut laporan ini.

Di sisi lain, Indonesia juga termasuk sulit dalam penerimaan merchant. Hal ini dikarenakan terfragmentasinya pasar dan cepatnya perubahan preferensi konsumen. Padahal, Indonesia punya peluang besar untuk memberdayakan pembayaran online pada merchant.