CICIL Expands to Close Loop Financing, Developing PayLater Product for Warung Pintar Partners

CICIL fintech lending platform expands its business to close loop financing for MSME productive loans. This is the first partnership for both companies in developing the financing product.

CICIL’s Co-Founder & CEO, Edward Widjonarko said this diversification strategy is part of the company’s innovation in developing its services. Although the company still focusing on education financing since it was first established in 2016.

“This step opens up an opportunity for us to be able to diversify our market segments and services to encourage inclusive and responsible productive financing,” Edward said to DailySocial.

In a series of education financing products, he continued, CICIL has four financing products, tuition fees (CICIL Tuition), college supplies (CICIL Barang), course financing and certification (CICIL Learning), in collaboration with various edtech platform services.

“Besides funding for students, we have also developed financing for institutions (CICIL Institutions), especially for university level, schools, and course institutions to fulfill the required cost of developing digitalization of campus infrastructure.”

Furthermore, to launch a non-financing feature, CICIL Jobs aiming to help students with side jobs that can help them pay off their education installments independently. Furthermore, CICIL Learns to provide a wide selection of course, training, and certification vouchers.

Currently, CICIL has distributed more than 85 thousand education funding for students across 260 universities in 57 cities by maintaining TKB90 at 97.8%. With a combination of all products, he attempts to achieve financing distribution of up to Rp300 billion by the end of 2021.

Bon Pintar (Smart Bill)

Smart Bill / Warung Pintar

Along with Warung Pintar, CICIL developed Bon Pintar, a payment method solution for shop owners to buy goods right away and make payments when they are due (buy now pay later) on the e-commerce platform.

By utilizing transaction history data and application usage, Warung Pintar facilitates its users to increase stock without having to seek additional capital from outside the ecosystem.

The mechanism is fairly simple, it’s through the Warung Pintar application, from submission, verification, to the use of the funds. After passing the verification, the shop owner can immediately restock and pay the bill 14 days later.

The shop’s business is said to be more efficient because the Warung Pintar application is getting more functional to provide all the needs of a warung, from stock fulfillment, product tracking, monitoring stall performance, and access to capital.

Warung Pintar’s Group CEO, Agung Bezharie said, Warung Pintar as a platform aims to view the needs from stall entrepreneurs standpoint, while in this challenging situation, getting additional capital to increase stock or widen stock options is a pain-point for almost all Warung Pintar partners.

“CICIL has the same vision to provide loan products for MSMEs. [..] Within a few weeks of being launched, thousands of shop owners have been helped by Bon Pintar’s services. We continue to bring the spirit of mutual cooperation to continue to grow this service, therefore, it is to rise with the half million shop owners on our platform,” Agung said in an official statement.

He explained, each stall gets a different capital size according to the shopping history data and activities in the Warung Pintar application. After obtaining permission from the shop owner, transaction data will be used as a credit score to be developed along with CICIL. Moreover, Warung Pintar can minimize the risk of late payments.

Warung Pintar is targeting 150 thousand active Juragan (stall owners in Warung Pintar) can use Bon Pintar services. In the future, Warung Pintar will continue to strengthen its strategic partnership to continue providing financial solutions that can broadly reach shop owner.

Edward agreed on this. He expects that Bon Pintar can be the beginning for CICIL to expand its close-loop financing services similar to other companies with intention to develop productive financing services for partners in its ecosystem.

“Especially in collaborating with Warung Pintar, we expect CICIL can continue to collaborate closely with Warung Pintar to provide more comprehensive financing service innovations for stall partners, not limited to Bon Pintar financing,” Edward said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

CICIL Perluas ke Pembiayaan “Close Loop”, Kembangkan Produk PayLater untuk Mitra Warung Pintar

Platform fintech lending CICIL memperluas bisnis ke pembiayaan close loop untuk pinjaman produktif UMKM. Warung Pintar menjadi rekan perdana perusahaan, baik satu sama lain, dalam mengembangkan produk pembiayaan tersebut.

Menurut Co-Founder & CEO CICIL Edward Widjonarko, strategi diversifikasi ini adalah bagian dari inovasi perusahaan dalam mengembangkan layanannya. Meski begitu, pembiayaan pendidikan masih menjadi fokus utama dari perusahaan sejak pertama kali berdiri di 2016.

“Langkah ini juga membuka kesempatan bagi kami untuk dapat mendiversifikasi segmen pasar dan layanan kami untuk mendorong pembiayaan produktif yang inklusif dan bertanggung jawab,” terang Edward kepada DailySocial.

Dalam rangkaian produk pembiayaan pendidikan, lanjutnya, CICIL memiliki empat produk pembiayaan, yakni uang kuliah (CICIL Uang Kuliah), perlengkapan kuliah (CICIL Barang), pembiayaan kursus dan sertifikasi (CICIL Belajar), dengan bekerja sama dengan berbagai layanan platform edtech.

“Di luar pembiayaan bagi mahasiswa, kami juga telah mengembangkan pembiayaan bagi institusi (CICIL Institusi), khususnya untuk pembiayaan bagi universitas, sekolah, dan lembaga kursus dalam memenuhi kebutuhan biaya pengembangan digitalisasi infrastruktur kampus.”

Berikutnya, meluncurkan fitur non-pembiayaan, yakni CICIL Jobs yang bertujuan untuk membantu mahasiswa pengguna CICIL untuk mendapatkan pekerjaan sampingan yang dapat mempermudah pelunasan cicilan pendidikan mereka secara mandiri. Selanjutnya, CICIL Belajar untuk menyediakan berbagai pilihan voucher kursus, pelatihan, dan sertifikasi.

Saat ini CICIL telah menyalurkan lebih dari 85 ribu pembiayaan pendidikan bagi mahasiswa yang tersebar di 260 universitas di 57 kota dengan mempertahankan TKB90 di angka 97,8%. Dengan gabungan dari keseluruhan produk, dia menargetkan sepanjang tahun ini dapat mencapai penyaluran pembiayaan hingga Rp300 miliar di akhir 2021.

Produk Bon Pintar

Bon Pintar / Warung Pintar

Bersama Warung Pintar, CICIL mengembangkan Bon Pintar, solusi metode pembayaran yang memudahkan pemilik warung membeli barang sekarang dan pembayaran dilakukan saat jatuh tempo (buy now pay later) di platform e-commerce.

Dengan memanfaatkan data riwayat transaksi dan penggunaan aplikasi, Warung Pintar memfasilitasi para penggunanya untuk meningkatkan stok tanpa harus mencari tambahan modal dari luar ekosistem aplikasi.

Mekanismenya terbilang simpel cukup melalui aplikasi Warung Pintar, mulai dari pengajuan, verifikasi, hingga penggunaan dananya. Setelah lolos verifikasi, pemilik warung dapat langsung memenuhi kebutuhan stok dan membayar tagihannya 14 hari kemudian.

Operasional bisnis warung diklaim semakin efisien karena aplikasi Warung Pintar semakin fungsional, memiliki semua kebutuhan bisnis warung, mulai dari pemenuhan stok barang, pelacakan produk, memantau kinerja warung, hingga akses ke permodalan.

CEO Warung Pintar Group Agung Bezharie mengatakan, Warung Pintar sebagai platform berusaha melihat kebutuhan dari sudut pandang pengusaha warung, yang di masa penuh tantangan seperti sekarang, mendapatkan tambahan modal untuk meningkatkan stok atau melebarkan pilihan stok merupakan pain-point yang dihadapi hampir seluruh mitra Warung Pintar.

“CICIL memiliki visi yang sama untuk dapat menghadirkan produk pinjaman bagi UMKM. [..] Dalam beberapa minggu diluncurkan, sudah ribuan pemilik warung yang terbantu oleh layanan Bon Pintar. Kami terus membawa semangat gotong royong untuk terus membesarkan layanan ini agar bisa bangkit bersama setengah juta pemilik warung yang ada di platform kami,” ucap Agung dalam keterangan resmi.

Dia menjelaskan, tiap warung mendapatkan kapasitas permodalan yang berbeda sesuai dengan data riwayat belanja dan kegiatan yang dilakukan dalam aplikasi Warung Pintar. Setelah mendapatkan izin dari pemilik warung, data transaksi digunakan sebagai credit scoring yang dibangun bersama dengan CICIL. Berkat hal ini, Warung Pintar dapat meminimalisir resiko keterlambatan pembayaran.

Warung Pintar menargetkan 150 ribu Juragan aktif (sebutan pemilik warung di Warung Pintar) dapat menggunakan layanan Bon Pintar. Ke depannya, Warung Pintar akan terus memperkuat kerjasama strategisnya dengan lebih banyak pihak untuk terus tumbuh menghadirkan solusi finansial yang dapat menjangkau pemilik warung lebih luas lagi.

Hal yang sama diungkapkan Edward. Dia berharap Bon Pintar dapat menjadi permulaan bagi CICIL untuk memperbanyak layanan close loop financing sejenis dengan perusahaan lainnya yang ingin mengembangkan layanan pembiayaan produktif bagi mitra di dalam ekosistemnya.

“Khususnya dalam kerja sama dengan Warung Pintar, kami berharap CICIL dapat terus berkolaborasi secara erat dengan Warung Pintar untuk menghadirkan inovasi layanan pembiayaan yang lebih menyeluruh bagi mitra warung, tak terbatas pada pembiayaan Bon Pintar saja,” tutup Edward.

Kredivo Ekspansi ke Vietnam Melalui Joint Venture dengan Phoenix Holding

Pengembang platform paylater Kredivo hari ini (27/8) mengumumkan ekspansinya ke Vietnam. Perluasan layanan ini dilakukan melalui joint venture dengan Phoenix Holding, perusahaan investasi (family office) setempat. “Kredivo Vietnam Joint Stock Company”, nama entitas barunya, juga bermitra dengan VietCredit Joint Stock Company, perusahaan pembiayaan di Vietnam untuk mengoperasikan bisnis paylater.

“Peluncuran Kredivo di Vietnam sebagai pangsa pasar pertama di luar Indonesia merupakan pencapaian dan tonggak lain yang membanggakan dalam tahun ini. Vietnam merupakan pilihan yang logis mengingat penetrasi kartu kredit yang rendah di negara tersebut dan kelas menengah yang berkembang pesat; pasar e-commerce yang berkembang pesat; dan kesamaan pola demografi dan konsumsi dengan Indonesia,” sambut COO Kredivo Valery Crottaz.

Produk inti Kredivo akan diluncurkan secara bertahap, dimulai dengan pembayaran tagihan kebutuhan sehari-hari dan pinjaman pribadi, dilanjutkan dengan fitur paylater di e-commerce pada kuartal keempat 2021 nanti.

“Di Vietnam, dengan generasi emas yang mobile dan digital native, layanan kami seperti paylater akan memenuhi kebutuhan konsumen di mana layanan kredit yang ada saat ini memiliki hambatan yang terlalu besar. Seperti di pasar lain, kami percaya paylater akan membuka dan mengkatalisasi tahap pertumbuhan penting lainnya dari ekonomi Vietnam,” imbuh CEO Phoenix Holdings Nguyen Lan Trung Anh.

Ekonomi internet di Vietnam

Menurut laporan e-Conomy SEA 2020, GMV yang dihasilkan oleh pasar internet di Vietnam menempati peringkat ke-3 setelah Indonesia dan Thailand. Tahun 2020 nilai GMV yang dihasilkan mencapai $14 miliar dan diproyeksikan bertumbuh jadi $52 miliar di tahun 2025. Sektor e-commerce memberikan sumbangsih terbesar, diikuti online media, travel, dan transportasi.

Total populasi di Vietnam sendiri berkisar 96 juta penduduk. Terbesar ketiga di Asia Tenggara setelah Indonesia (271 juta) dan Filipina (108 juta); jelas ini menjadi pangsa pasar yang menarik untuk digarap. Untuk itu beberapa startup tanah air pun juga beberapa telah debut di sana, di antaranya Gojek, Traveloka, dan Ruangguru.

Menurut data yang disampaikan Cekindo, kurang lebih ada 67 perusahaan fintech terdaftar di Vietnam, dengan 66% di antaranya terkait layanan pembayaran digital. Per tahun 2020, estimasi ukuran pasarnya telah mencapai $7,8 miliar.

Menjelang go-public

Sebelumnya FinAccel, induk dari Kredivo, mengumumkan langkahnya untuk menjadi perusahaan publik di NASDAQ melalui skema SPAC. Kredivo akan merger dengan perusahaan cangkang VPC Impact Acquisition Holdings II (NASDAQ: VPCB) yang merupakan afiliasi dari Victory Park Capital (VPC), firma investasi global yang sudah beberapa kali memberikan fasilitas kredit untuk Kredivo.

Dengan penggabungan ini, FinAccel akan memiliki valuasi pro-forma ekuitas di kisaran $2,5 miliar, dengan asumsi tidak ada penebusan. Co-Founder dan CEO FinAccel Akhsay Garg mengatakan, dana segar hasil merger ini nantinya akan menjadi amunisi perusahaan untuk memperkuat posisinya di Asia Tenggara, akan ada rencana ekspansi regional ke Vietnam dan Thailand, dan pengembangan lini bisnis baru.

Sebelumnya, perusahaan juga telah mendapatkan sejumlah pendanaan, baik debt ataupun equity, dari investor, meliputi:

Pengumuman Investor Tipe Pendanaan Nilai
Juni 2021 Victory Park Capital Debt $100 juta
November 2020 Victory Park Capital Debt $100 juta
Desember 2019 Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund, Square Peg, dll Equity (Seri C) $500 juta
September 2019 Partners for Growth V, L.P Debt $20 juta
Juli 2018 Square Peg Capital, MDI Ventures, Atami Capital dll Equity (Seri B) $30 juta

Di Indonesia sendiri, selain layanan paylater, saat ini Kredivo juga memiliki unit bisnis di bidang fintech lending Kredifazz. Tugasnya untuk menyalurkan pembiayaan tunai ke konsumer lewat aplikasi.

Application Information Will Show Up Here

BukaPengadaan Gandeng Modalku Luncurkan Produk “Paylater” untuk Bisnis

BukaPengadaan mengumumkan kerja sama dengan Modalku untuk memfasilitasi pembiayaan bagi para pelaku UMKM dalam jaringan ekosistem Bukalapak. Konsepnya sendiri tidak berbeda dengan layanan paylater atau BNPL, hanya saja untuk segmen B2B. Kesepakatan ini dibuat dengan visi untuk mengakselerasi pertumbuhan UMKM yang terkendala cashflow terbatas di tengah pandemi.

Baik buyer dan vendor yang telah bergabung dalam ekosistem BukaPengadaan dapat menikmati kemudahan dalam memperoleh pembiayaan modal usaha dari Modalku. Nominal pembiayaan yang ditawarkan mencapai Rp500 juta per pinjaman dengan tenor hingga 60 hari.

Direktur BukaPengadaan Hita Supranjaya menyampaikan antusiasmenya terkait misi Bukalapak dalam menghadirkan keadilan ekonomi untuk semua melalui platform bisnis ini. Timnya pun selalu berupaya untuk memajukan dan memperkuat UMKM dalam sektor e-procurement. Sebelumnya, perusahaan juga menjalin kolaborasi dengan Golden Nusa untuk pengadaan layanan pemesanan tiket perjalanan dinas.

Bergabungnya layanan P2P lending Modalku ke sektor pembiayaan pelaku UMKM melalui BukaPengadaan ini disebut sebagai langkah strategis dalam membangun inklusivitas pembiayaan di Indonesia.

“Bersama BukaPengadaan, kami berkomitmen untuk memenuhi kebutuhan para pelaku bisnis dalam hal pengadaan barang. Kami berharap sinergi ini dapat menjadi salah satu solusi dari kendala yang dihadapi para pelaku UMKM di tengah pandemi Covid-19,” ungkap Head of Growth and Partership Modalku Arthur Adisusanto.

Adapun persyaratan pengajuan pinjaman di Modalku bagi UMKM dalam ekosistem BukaPengadaan, yaitu (1) Memiliki bisnis baik dalam bentuk usaha PT/CV, (2) Memiliki domisili usaha atau kantor pusat di Jabodetabek, Bandung, dan Surabaya, (3) Telah menjalankan usaha lebih dari 6 bulan, dan (4) Melampirkan dokumen pendukung, seperti identitas dan data keuangan.

Mengendalikan cashflow

Ulasan FinBox tentang potensi platform paylater atau BNPL dalam B2B Commerce / FinBox

Berbeda dengan layanan paylater yang fokus di segmen konsumen, bisnis atau yang dikenal secara global dengan istilah B2B BNPL ini menawarkan objektif yang berbeda. Sama halnya dengan visi yang diusung oleh BukaPengadaan dan Modalku, model pembiayaan ini memiliki tujuan utama untuk bisa mengelola cashflow dengan lebih baik.

Cashflow atau arus kas sendiri menjadi sumber kehidupan bagi setiap lini bisnis. Kemampuan untuk bisa mengelola pendapatan dan pengeluaran merupakan ilmu esensial dalam mengembangkan usaha apa pun. Ketika arus kas masuk lebih lambat daripada arus keluar (arus kas negatif), menjalankan dan mengembangkan bisnis akan menjadi sulit.

Dalam salah satu artikel di situs Fundera, startup crowdfunding untuk UKM seluruh dunia, disebutkan lebih dari 60% faktur terlambat dibayar, dan 20%-nya mengalami keterlambatan lebih dari dua minggu. Pembayaran yang terlambat ini menghambat banyak hal, seperti kekurangan uang tunai, tunggakan gaji karyawan, pembayaran sewa, atau melewatkan peluang bisnis penting.

Sebelumnya, startup fintech lending Investree telah lebih dulu memperkenalkan produk paylater B2B untuk membiayai UMKM yang membutuhkan pembayaran di awal. Startup digital freight forwarder Andalin menjadi startup pertama yang digandeng Investree untuk peluncuran produk ini.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Integrasi Produk Gojek Mendalam di Tokopedia, Kini Tersedia GoPayLater

Perusahaan merger dari Gojek dan Tokopedia, GoTo, semakin perdalam integrasi produk antar keduanya di masing-masing platform. Informasi yang terbaru adalah hadirnya layanan fintech BNPL (buy now pay later) dari Gopay yakni GoPayLater yang kini tersedia di aplikasi Tokopedia.

Belum ada informasi resmi yang diberikan perusahaan terkait kabar teranyar tersebut. Kehadiran GoPayLater tentunya berindikasi pada semakin jelasnya upaya Tokopedia untuk mengurangi dominasi OVO di platformnya.

Sebelum GoTo diresmikan ke publik, program loyalitas Tokopedia yang sempat menggunakan OVO Points akhirnya kembali menghidupkan TokoPoints pada April 2021 setelah sempat dirilis pada 2018.

Lewat OVO Points, sebelumnya pengguna Tokopedia dapat memperoleh poin untuk mendapatkan cashback dari setiap transaksi yang dilakukan di Tokopedia. OVO Points dapat digunakan sebagai salah satu metode pembayaran, konversi 1 poin senilai dengan Rp1.

TokoPoints juga dapat dapat ditukar tanpa batas minimum/maksimum poin untuk untuk semua transaksi produk fisik dan berbagai produk digital. Pemakaian TokoPoints untuk transaksi produk fisik juga dapat digabungkan dengan promo lainnya dan Bebas Ongkir secara bersamaan.

Tokopedia juga menyediakan gamifikasi yang dapat digunakan pengguna untuk mengumpulkan TokoPoints setiap harinya.

Munculnya GoPayLater artinya tinggal menunggu waktu saja sampai akhirnya Gopay hadir di Tokopedia. Selama ini, OVO adalah metode pembayaran utama yang tersedia di laman utama Tokopedia untuk berbagai transaksi. Di Tokopedia, tersedia fitur top up instan saldo, transfer, dan bayar dengan kode QR yang terhubung langsung dengan OVO.

Mengutip dari DealStreetAsia, Tokopedia dan afiliasinya memiliki 41% saham di OVO. Dengan rincian, Tokopedia menguasai 36,1% saham di induk OVO, Bumi Cakrawala Perkasa, Co-Founder Tokopedia Leontinus Alpha Edison dan William Tanuwijaya memiliki 5% melalui Wahana Inovasi Lestari yang diakuisisi Grab pada Februari 2020. Sedangkan Grab Inc menguasai 39,2% saham di induk OVO.

GoPayLater sendiri adalah produk dari Findaya, startup p2p lending yang diakuisisi Gojek pada 2018. Dalam perkembangannya, melalui wawancara bersama DailySocial pada Februari 2021, disampaikan GoPayLater sudah memperluas cakupan layanannya, tidak hanya dapat digunakan untuk seluruh transaksi di aplikasi Gojek dan merchant offline afiliasinya.

Sejumlah mitra e-commerce yang dapat menerima pembayaran dengan GoPayLater adalah Blibli, JD.id, Zalora, dan masih banyak lagi.

Diungkapkan pada tahun lalu pertumbuhan transaksi dengan GoPayLater naik hingga 3,3 kali lipat. Transaksi terbesarnya dikontribusikan dari pembelian makanan melalui GoFood dan membayar tagihan di GoBills.

“Gopay Paylater menjadi salah satu layanan yang paling digemari pengguna, terbukti dengan peningkatan transaksi sampai dengan 3,3 kali lipat sepanjang tahun 2020 dengan NPL di bawah industri,” ucap Head of Growth GoPayLater Neni Veronica.

Penetrasi layanan fintech

Industri fintech lending yang merupakan ranah dari GoPayLater terus menunjukkan tren pertumbuhan di Indonesia. Berdasarkan statistik OJK, pada semester I 2021 angka penyaluran mencapai Rp70,88 triliun, hampir menyandingi pencapaian sepanjang tahun lalu sebesar Rp74,41 triliun. Bila melihat secara kumulatif saja, telah mencapai Rp221,56 triliun.

Angka ini diprediksi akan semakin tumbuh, mengingat masih banyaknya kelompok masyarakat underserved dan unbanked. Pemain seperti GoPayLater yang mengusung BNPL atau kartu kredit digital, mengisi gap kebutuhan terhadap akses finansial yang memadai dengan pendekatan digital.

Paylater jadi opsi pembayaran yang makin diminati untuk pengguna e-commerce di Indonesia / Kredivo-Katadata

Persaingan di kancah uang elektronik itu sendiri juga tak kalah menarik. Di Indonesia, peta persaingannya semakin meruncing di antaranya lima pemain dominan di pasar. Mereka tak lain Gopay, OVO, DANA, ShopeePay, dan LinkAja. Dalam berbagai riset, kelimanya saling berganti posisi satu sama lain dalam tiap periodenya.

Menurut hasil survei yang dirangkum dalam Fintech Report 2020, ada lima aplikasi pembayaran digital yang paling banyak digunakan menurut responden. Secara berurutan meliputi Gopay (87%), OVO (80,4%), Dana (75,6%), ShopeePay (53,2%), dan LinkAja (47,5%).

Sementara, menurut survei yang diselenggarakan Neurosensum, ShopeePay tercatat menguasai pangsa pasar uang elektronik selama periode November 2020-Januari 2021 dengan persentase sebesar 68%. Posisi berikutnya adalah OVO (62%), lalu DANA (53%), GoPay (54%), dan LinkAja (23%). Dalam temuan ini, responden tercatat menggunakan multiple e-wallet untuk kebutuhan berbeda.

Dari sisi frekuensi penggunaan, ShopeePay juga berada di posisi teratas dengan total gabungan transaksi sebanyak 14,4 kali per bulan atau 9 kali (online) dan 5,4 kali (offline). OVO menyusul di posisi kedua dengan total 13,5 kali penggunaan per bulan atau 8,1 kali (online) dan 5,4 kali (offline). Di urutan ketiga, GoPay dengan total 13,1 kali per bulan atau 8 kali (online) dan 5,1 kali (offline).

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Kredivo to Go-Public via SPAC, Aiming for 6.1 Trillion Rupiah Funding

Kredivo’s parent company FinAccel, announced to become a public company on the NASDAQ through SPAC. Kredivo is to merge with VPC Impact Acquisition Holdings II (NASDAQ: VPCB) shell company, an affiliate of Victory Park Capital (VPC), a global investment firm provided credit facilities to Kredivo several times.

Both FinAccel and VPCB have entered a definitive agreement for merger and filed documents with the US Securities and Exchange Commission (SEC). VPCB alone has completed its IPO in March 2021.

With this merger, FinAccel will have a pro-forma equity valuation around $2.5 billion, assuming no redemption. FinAccel will be the next unicorn startup from Indonesia once the transaction is finalized.

In a virtual press conference held by the company for several media (03/8), FinAccel’s Co-Founder and CEO, Akhsay Garg explained that the opportunity to become a public company arrived as FinAccel and VPC have a strong business relation. He values VPC as a quality and reputable firm.

Moreover, in terms of a huge fresh funds at one time is not possible for a company if it is only through private funding. Therefore, when this opportunity arrived, FinAccel wanted to make the most of it.

“We did not choose to IPO, but the best funding option. This is not a sudden decision, but an opportunity appeared at its finest,” Garg said.

Regarding the NASDAQ listing process, this transaction is expected to generate over $430 million (over 6.1 trillion Rupiah) in cash on the company’s combined balance sheet. The total funds represents a contribution of up to $256 million in cash sent into the account of the VPCB representative (assuming no PVCB shareholders redeem their shares).

Furthermore, $120 million in private placement (PIPE) led by Marshall Wace, Corbin Capital, SV Investment, Palantir Technologies, Maso Capital, and VPC sponsors, along with an additional $55 million equity commitment from former investor NAVER (via NAVER Financial) and Square Peg.

Garg explained that the market access opening on the US stock exchange creates opportunities for companies to get much greater liquidity. The United States Stock Exchange is indeed the “home” for many big tech companies worldwide. From Asia alone, Sea, Alibaba, and Grab ware to be listed in the near future.

He also stated dual listing is an option, by going public on the Indonesia Stock Exchange. Although the decision is yet to be further specified.

Furthermore, Garg explained that the merger’s fresh funds will later become the company’s ammo to strengthen its position in Southeast Asia, there will be regional expansion plans to Vietnam and Thailand, and the development of new business lines.

His comments on the unicorn status in the future, Garg confirms this. However, he said, unicorn and IPOs were not something the first company’s target since the establishment. He wants to continue the company’s vision of deepening the penetration of digital credit cards, which still have wide opportunities in Southeast Asia.

Kredivo’s growth

PayLater becomes a popular payment option for Indonesia’s e-commerce / Kredivo-Katadata

In its track record, Kredivo disburses instant credit financing to users for e-commerce purchases and offline as well as cash loans, based on real-time decisioning powered by self-made AI technology. The company’s total user has nearly reached 4 million and collaborates with 8 of the 10 leading e-commerce platforms in Indonesia.

Kredivo’s user base has doubled over the past 10 months and its annual revenue has also doubled over the past seven months. The company claims to lead the Buy Now, Pay Later (BNPL) industry, with a wallet share of at least 50% in the majority of e-commerce merchants in Indonesia.

In Indonesia, credit card user penetration from the middle class segment is less than 10%, through a partnership with Kredivo, merchants are able to increase the value of their consumer spending.

The surveyed Kredivo merchants were able to record an increase over two times up in average number of purchases (average basket size), up to three times increase in the frequency of transactions, with more than 50% of these merchants saying Kredivo could increase its cart conversion rate or the number of transactions they made. successful at checkout time.

SPAC trends

SPAC becomes a buzzword since the beginning of this year. Besides Kredivo, other local companies are also interested to use this scheme, including Tiket.com. The company, which is now valued at more than $1 billion, is reportedly considering SPAC to be its vehicle for listing on the stock exchange. Rumor has it that they will cooperate with the COVA Acquisition Corp. (COVA) blank check company, forming a combined company worth more than $2 billion.

In addition, in a statement quoted by Kumparan, GoTo CEO Andre Soelistyo said the Gojek-Tokopedia joint company is also targeted to be listed on the stock exchange before the end of 2021.

And as previously known, other unicorns Traveloka and Bukalapak have also reportedly started exploring the option of going public with SPAC vehicles.

SPAC popularity arises as the conventional IPO process is considered more complicated, expensive, and time-consuming for tech startups. In the United States, 2020 is a significant growth momentum for going public through blank check vehicles. There are more than 200 SPACs raising approximately $799 billion.

However, currently there is a decline in SPAC prices and institutional investors’ interest in entering PIPE; it is possible for startups to rethink going public through this mechanism.

Withersworldwide partner Joel Shen argues that the resurgence of SPAC’s popularity can be attributed to low interest rates, abundant liquidity in the market due to the stimulus from the US central bank system, and an increase in the number of acquisition targets, especially in the technology sector.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kredivo Segera Go-Public via SPAC, Bidik Dana Segar 6,1 Triliun Rupiah

FinAccel, induk dari Kredivo, mengumumkan langkahnya untuk menjadi perusahaan publik di NASDAQ melalui skema SPAC. Kredivo akan merger dengan perusahaan cangkang VPC Impact Acquisition Holdings II (NASDAQ: VPCB) yang merupakan afiliasi dari Victory Park Capital (VPC), firma investasi global yang sudah beberapa kali memberikan fasilitas kredit untuk Kredivo.

Baik FinAccel dan VPCB telah memasuki tahap perjanjian definitif untuk penggabungan bisnis mereka dan mengajukan dokumen kepada Komisi Sekuritas dan Bursa Amerika Serikat (US Securities and Exchange Commission/SEC). VPCB sendiri telah menyelesaikan IPO pada Maret 2021.

Dengan penggabungan ini, FinAccel akan memiliki valuasi pro-forma ekuitas di kisaran $2,5 miliar, dengan asumsi tidak ada penebusan. FinAccel akan menjadi startup unicorn berikutnya dari Indonesia setelah transaksi ini selesai.

Dalam konferensi pers virtual yang diselenggarakan perusahaan untuk sejumlah media pada hari ini (03/8), Co-Founder dan CEO FinAccel Akhsay Garg menjelaskan kesempatan untuk menjadi perusahaan terbuka ini datang karena FinAccel dan VPC punya hubungan bisnis yang kuat. Ia melihat VPC sebagai firma yang berkualitas dan reputasi baik.

Lagipula, untuk mendapatkan dana segar dalam jumlah banyak dan dalam satu waktu tidak memungkinkan bagi sebuah perusahaan bila dilakukan melalui pendanaan secara privat. Oleh karena itu, kesempatan ini datang dan ingin dimanfaatkan FinAccel sebaik mungkin.

“Jadi kita bukan memilih untuk IPO, tapi memilih opsi pendanaan yang terbaik. Keputusan ini pun tidak mendadak tapi ada kesempatan yang datang dengan sendirinya,” ujar Garg.

Terkait proses listing di NASDAQ, transaksi ini diharapkan akan menghasilkan dana segar lebih dari $430 juta (lebih dari 6,1 triliun Rupiah) dalam bentuk tunai pada neraca keuangan perusahaan gabungan. Dari total dana tersebut, menggambarkan kontribusi hingga $256 juta secara tunai yang telah masuk dalam rekening perwakilan VPCB (dengan asumsi tidak ada pemegang saham PVCB yang menebus sahamnya).

Kemudian, sebesar $120 juta dalam bentuk private placement (PIPE) yang dipimpin oleh Marshall Wace, Corbin Capital, SV Investment, Palantir Technologies, Maso Capital, dan sponsor VPC, bersamaan dengan tambahan komitmen ekuitas sebesar $55 juta dari investor terdahulu, yakni NAVER (melalui NAVER Financial) dan Square Peg.

Garg menjelaskan dengan terbukanya akses pasar di bursa Amerika Serikat membuka kesempatan bagi perusahaan untuk mendapatkan likuiditas yang jauh lebih besar. Bursa Amerika Serikat memang menjadi “rumah” untuk banyak perusahaan teknologi besar di seluruh belahan dunia. Dari Asia saja, terhitung sudah hadir Sea, Alibaba, dan Grab dalam waktu dekat.

Ia pun membuka opsi untuk dual listing, dengan ikut melantai di Bursa Efek Indonesia. Meski keputusan tersebut belum bisa dispesifikkan lebih lanjut.

Lebih lanjut, Garg menerangkan dana segar hasil merger ini nantinya akan menjadi amunisi perusahaan untuk memperkuat posisinya di Asia Tenggara, akan ada rencana ekspansi regional ke Vietnam dan Thailand, dan pengembangan lini bisnis baru.

Komentarnya mengenai label unicorn yang akan disandang perusahaan, Garg mengonfimasi hal tersebut. Tapi menurutnya, label unicorn dan IPO bukanlah hal yang ingin dibidik perusahaan sejak awal didirikan. Ia ingin melanjutkan visi perusahaan dalam memperdalam penetrasi kartu kredit digital yang masih begitu luas kesempatannya di Asia Tenggara.

Perkembangan Kredivo

Paylater jadi opsi pembayaran yang makin diminati untuk pengguna e-commerce di Indonesia / Kredivo-Katadata

Dalam rekam jejaknya, Kredivo menyalurkan pembiayaan kredit instan kepada pengguna untuk pembelian di e-commerce dan offline serta dana pinjaman tunai, berdasarkan real-time decisioning yang didukung oleh teknologi AI buatan sendiri. Total penggunanya hampir mencapai 4 juta orang dan kerja sama dengan 8 dari 10 platform e-commerce terdepan di Indonesia.

Basis pengguna Kredivo tumbuh dua kali lipat selama 10 bulan terakhir dan pendapatan tahunan yang juga tumbuh dua kali lipat selama tujuh bulan terakhir. Diklaim perusahaan, memimpin industri untuk kategori Buy Now, Pay Later (BNPL), dengan wallet share setidaknya 50% di mayoritas merchant e-commerce di Indonesia.

Di Indonesia, penetrasi pengguna kartu kredit dari segmen kelas menengah kurang dari 10%, melalui kemitraan dengan Kredivo, merchant mampu meningkatkan nilai pembelanjaan konsumennya.

Merchant Kredivo yang disurvei mampu mencatatkan peningkatan untuk rata-rata jumlah pembelian (average basket size) lebih dari dua kali lipat, peningkatan frekuensi transaksi hingga tiga kali lipat, dengan lebih dari 50% merchant tersebut mengatakan Kredivo dapat memperbesar cart conversion rate atau jumlah transaksi yang berhasil pada waktu checkout.

Tren SPAC

SPAC menjadi kata kunci yang ramai sejak awal tahun ini. Selain Kredivo, perusahaan lokal yang ikut tertarik ada Tiket.com. Perusahaan yang kini telah bervaluasi lebih dari $1 miliar tersebut dikabarkan juga mempertimbangkan SPAC untuk menjadi kendaraannya melantai ke bursa saham. Rumornya mereka akan menggandeng perusahaan cek kosong COVA Acquisition Corp. (COVA), membentuk gabungan perusahaan bernilai lebih dari $2 miliar.

Selain itu, dalam sebuah keterangan yang dikutip Kumparan, CEO GoTo Andre Soelistyo mengatakan perusahaan gabungan Gojek-Tokopedia juga ditargetkan bisa melantai ke bursa sebelum akhir tahun 2021.

Dan seperti diketahui sebelumnya, unicorn lain Traveloka dan Bukalapak juga sudah dikabarkan mulai menjajaki opsi go-public dengan kendaraan SPAC.

Popularitas SPAC muncul akibat proses IPO konvensional dinilai lebih rumit, mahal, dan memakan waktu lebih banyak bagi startup teknologi. Di Amerika Serikat, tahun 2020 menjadi momentum pertumbuhan signifikan go-public lewat kendaraan cek kosong. Ada lebih dari 200 SPAC mengumpulkan sekitar $799 miliar.

Kendati demikian, saat ini terlihat adanya penurunan harga SPAC dan minat investor institusi untuk masuk ke PIPE; berkemungkinan para startup berpikir ulang untuk go-public lewat mekanisme ini.

Partner Withersworldwide Joel Shen berpendapat, kebangkitan popularitas SPAC dapat dikaitkan dengan suku bunga rendah, likuiditas yang melimpah di pasar karena stimulus dari sistem bank sentral AS, dan peningkatan jumlah target akuisisi, terutama di bidang teknologi.

Fairbanc Secures Pre Series A Funding, Expanding Distributor Partners Network and Indonesian Tech Team

The fintech startup Fairbanc’s steps to expand to Indonesia is getting intensive. Moreover, they secured new funding for the pre-series A stage. Several investors involved including ADB Ventures, Accion Venture Lab, East Ventures, and Sampoerna Strategic Group.

The new funding was obtained after Fairbanc received an investment with undisclosed nominal from 500 Startups and Indonesian billionaire Michael Sompoerna earlier this year to expand its business coverage in Indonesia.

In its official statement, the company is said to scale up loans to MSME players in Indonesia with limited access to working capital. Previously, the World Bank estimated MSMEs credit shortage in Indonesia would reach $166 billion.

Accion’s President & CEO, Michael Schlein said, micro merchants are the most vulnerable segment to the economic impact, especially during the Covid-19 pandemic which will last for a long time. “Fairbanc can fill the access gap to credit for business players. That way, they can do operational and maintain livelihoods,” he said.

Meanwhile, ADB Ventures’ Senior Fund Manager, Daniel Hersson added, Fairbanc has a unique and different position in the microenterprise inventory financing market. His participation in this funding will help Fairbanc to accelerate Indonesia’s financial inclusion and support climate resilience in the Asia Pacific region.

Business Expansion in Indonesia

Fairbanc’s Founder & CEO, Mir Haque revealed that this new funding will be used to expand the network of distributor partners to strengthen its technology team in Indonesia. Currently, Fairbanc loan access has been connected to 60 thousand merchants. Some of these big consumer brands include Unilever, L’oreal, and Danone networks.

His team is currently developing a product recommendation system that can help merchants’ inventory planning when there is a natural disaster since Indonesia is a country prone to natural disasters.

“Through this loan, we are able to help unbanked and underbanked merchants to boost revenue growth by increasing the inventory of business players. Since 2019, Fairbanc through these merchants has helped MSMEs to drive sales up to 35% by reducing the NPL ratio to almost zero,” Haque said.

Fairbanc works with a large FMCG company to offer “Buy Now Pay Later” productive loans to 10,000 retailers without having to apply via smartphone. Fairbanc uses AI-based credit scoring that can help process microcredit loans instantly.

With a system integrated into various consumer brands, Fairbanc can access merchant orders and payment track records. Companies can further utilize this data to underwrite loans and boost merchant sales by keeping an efficient operating cost.

In previous reports, Fairbanc said that it has a slightly different business model from others. Fairbanc makes money by optimizing direct cash payments to distributors and using discounts from sales volumes. That way, micro merchants are not charged with interest and additional fees from FMCG merchants and their distributors.

Several fintech players in Indonesia has accommodated similar concept through invoice financing services. In order to maximize the paylater potential for business people, Investree has recently launched a similar new product, in collaboration with Andalin. Moreover, there is AwanTunai and several other players are trying to facilitate the same needs.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bukukan Pendanaan Pra-Seri A, Fairbanc Perluas Jaringan Mitra Distributor dan Tim Teknologi di Indonesia

Langkah startup fintech Fairbanc untuk ekspansi ke Indonesia semakin agresif. Terlebih mereka kembali membukukan pendanaan baru untuk tahap pra-seri A. Adapun beberapa investor yang terlibat antara lain ADB Ventures, Accion Venture Lab, East Ventures, dan Sampoerna Strategic Group.

Pendanaan baru ini diperoleh usai Fairbanc menerima investasi dengan nominal yang dirahasiakan dari 500 Startups dan miliarder Indonesia Michael Sompoerna pada awal tahun ini untuk memperluas jangkauan bisnisnya ke Indonesia.

Dalam keterangan resminya, perusahaan menyebut akan melakukan scale up pinjaman ke pelaku UMKM di Indonesia yang memiliki keterbatasan akses terhadap modal kerja. Sebelumnya, World Bank memperkirakan kebutuhan kredit yang belum terpenuhi pada UMKM di Indonesia mencapai $166 miliar.

Presiden & CEO Accion Michael Schlein mengatakan, pedagang mikro merupakan segmen paling rentan terdampak ekonominya, terutama di situasi pandemi Covid-19 yang bakal berlangsung lama. “Fairbanc dapat mengisi kesenjangan pada akses kredit ke para pelaku usaha. Dengan begitu, mereka tetap dapat mengoperasikan toko-tokonya dan mempertahankan mata pencaharian mereka,” tuturnya.

Sementara Senior Fund Manager ADB Ventures Daniel Hersson menambahkan, Fairbanc memiliki posisi unik dan berbeda di pasar pembiayaan inventaris pelaku usaha mikro. Keterlibatannya pada pendanaan ini akan membantu Fairbanc untuk mempercepat inklusi keuangan Indonesia dan mendukung climate resilience di kawasan Asia Pasifik.

Ekspansi bisnis ke Indonesia

Founder & CEO Fairbanc Mir Haque mengungkap, pendanaan baru ini akan digunakan untuk memperluas jaringan mitra distributor hingga memperkuat tim teknologinya di Indonesia. Saat ini, akses pinjaman Fairbanc telah terhubung di 60 ribu merchant. Beberapa brand consumer besar ini antara lain jaringan merchant Unilever, L’oreal, dan Danone.

Pihaknya juga tengah mengembangkan sistem rekomendasi produk yang dapat membantu perencanaan inventory para merchant ketika ada bencana alam di mana Indonesia termasuk negara rawan bencana alam.

“Lewat pinjaman ini, kami dapat membantu merchant yang unbanked dan underbanked untuk menggenjot pertumbuhan pendapatan dengan meningkatkan inventory pelaku usaha. Sejak 2019, Fairbanc melalui merchant-merchant ini telah membantu UMKM untuk mendorong penjualan hingga 35% dengan menekan rasio NPL ke hampir nol,” ujar Haque.

Fairbanc bekerja sama dengan perusahaan FMCG besar untuk menawarkan pinjaman produktif “Buy Now Pay Later” ke 10 ribu peritel tanpa perlu mengajukan melalui smartphone. Fairbanc menggunakan credit scoring berbasis AI yang dapat membantu memproses pinjaman microcredit secara instan.

Dengan sistem yang terintegrasi ke berbagai brand consumer, Fairbanc dapat mengakses pesanan merchant dan rekam jejak pembayarannya. Perusahaan dapat mengutilisasi data ini lebih lanjut untuk melakukan underwriting pinjaman serta mendongkrak penjualan merchant dengan menjaga biaya operasional tetap rendah.

Pada pemberitaan sebelumnya, Fairbanc menyebutkan bahwa pihaknya memiliki model bisnis yang sedikit berbeda dengan lainnya. Fairbanc menghasilkan uang dengan mengoptimalkan pembayaran tunai langsung ke distributor dan penggunaan diskon dari volume penjualan. Dengan begitu, pedagang mikro tidak dibebankan bunga dan tambahan biaya dari merchant FMCG dan para distributornya.

Konsep serupa sebenarnya juga sudah diakomodasi oleh beberapa fintech di Indonesia melalui layanan invoice financing. Untuk memaksimalkan potensi paylater bagi kalangan pebisnis, Investree baru-baru ini juga meluncurkan produk baru serupa, bekerja sama dengan Andalin. Di luar itu ada AwanTunai dan beberapa pemain lainnya yang juga mencoba memfasilitasi kebutuhan yang sama.

Investree Mulai Debut Produk Paylater B2B, Gaet Andalin

Startup fintech lending Investree memperkenalkan produk paylater B2B untuk membiayai UKM yang membutuhkan pembayaran di awal. Startup digital freight forwarder Andalin menjadi startup pertama yang digandeng Investree untuk peluncuran produk ini.

Dalam kerja sama ini, pada tahap awal, Investree menawarkan akses pembiayaan bea cukai dan pajak bagi para UKM di Andalin. Baik Investree dan Andalin termasuk dalam portofolio BRI Ventures.

Dalam wawancara bersama DailySocial, Co-Founder & CEO Investree Adrian A. Gunadi menjelaskan dalam dua tahun terakhir perusahaan fokus pada pembiayaan produktif untuk ekosistem digital yang memiliki banyak jaringan UKM dengan kebutuhan kredit yang tidak sedikit.

Posisi Investree sebagai perusahaan fintech lending, membuka kesempatan bagi ekosistem digital tersebut untuk melengkapi kebutuhan para UKM-nya terutama dari sisi kredit modal kerja. “Paylater ini untuk melengkapi produk pembiayaan mata rantai yang dimiliki Investree,” ucapnya.

Penggunaan terminologi paylater dirasa kini semakin familiar di telinga orang Indonesia sebagai pengganti kartu kredit. Dengan demikian, diharapkan akan semakin diterima bila dibawa untuk sektor B2B, ketimbang memakai istilah buyer financing untuk konsep yang sama.

Andalin, sambungnya, termasuk perusahaan yang menarik karena mereka adalah perusahaan 4PL logistik yang tidak hanya menangani urusan ekspor dan impor untuk UKM, namun juga membantu pengurusan administrasinya. Dengan demikian, para UKM dapat diringankan, tidak perlu mengeluarkan biaya besar di awal, sehingga arus kas perusahaan dapat dioptimalkan. Mereka dapat mengalokasikan dana tersebut untuk kebutuhan yang lebih mendesak.

“Apa yang kita finance saat ini adalah uang yang diperlukan UKM untuk membiayai cukai dan segala perizinan terkait barang yang mereka jual ke luar negeri. Sebab, kendala di lapangan, biasanya UKM punya barang bagus tapi kesulitan urus izin ekspor karena butuh dana di depan untuk pembayarannya.”

Dari data yang dikutip, diperkirakan potensi dari pembiayaan bea cukai dan pajak ini mencapai $6 juta (Rp86 miliar), ditambah lagi kesempatan tersebut belum banyak digarap oleh pemain fintech yang bermain di pembiayaan mata rantai.

Dengan masuk ke ekosistem Andalin, Investree berkesempatan untuk menganalisis kinerja UKM berdasarkan data historis, seperti berapa kali melakukan ekspor, rata-rata perdagangannya, dan nilai transaksinya. Data alternatif ini dipakai sebelum menentukan risiko dan tingkat bunganya.

“Kita lihat pembiayaan di sektor produktif ini banyak tantangan, oleh karenanya kita perlu bekerja sama dengan ekosistemnya karena merekalah yang punya data historis terkait terkait kinerja UKM di platform tersebut.”

Secara terpisah, dalam keterangan resmi yang disampaikan pada hari ini (29/6), CEO Andalin Rifki Pratomo menuturkan, kemitraan dengan Investree dapat mendorong perusahaan untuk meracik produk finansial yang menarik dan kompetitif, sekaligus menerapkan risiko yang kuat. “Kami percaya, kolaborasi dengan Investree, yang dimulai dari pembiayaan bea cukai dan pajak, bisa menjadi tahap penting untuk membuat perubahan di bidang pendanaan perdagangan supply chain global.”

Terkait produk paylater ini punya tenor mulai dari dua sampai tiga bulan, dengan tingkat bunga mulai dari 10%-20% untuk setahun efektif. Sumber dana yang dipakai Investree untuk produk ini dari para lender institusi yang sudah bermitra dengan perusahaan, seperti Bank Mandiri, BRI Group, dan Bank Danamon.

“Kami sudah bermitra dengan puluhan lender institusi, mayoritas dari bank lokal dan institusi internasional. Bagi bank segmen ekspor-impor ini sesuai dengan appetite mereka karena ada kaitannya juga dengan membantu UKM naik level.”

Ke depannya, Investree akan terus menggencarkan persebaran produk paylater untuk ekosistem digital lainnya. Ada sejumlah potensi kerja sama yang akan dilakukan, di antaranya dengan perusahaan fesyen dan FMCG yang UKM di dalamnya butuh modal kerja.

Adrian menargetkan produk paylater B2B ini dapat berkontribusi sekitar 15%-20% dari total penyaluran perusahaan senilai Rp5 triliun. Selama ini produk pembiayaan dengan kontribusi terbesar adalah PO financing dan invoice financing dengan kontribusi sebesar 80%.

Perusahaan juga akan memboyong paylater B2B ini untuk unit usahanya yang ada di Thailand dan Filipina karena juga dibutuhkan oleh UKM di sana. “Kami juga berencana untuk meningkatkan fitur paylater B2B ini ke versi ke-2, rencananya akan dirilis pada semester II ini. Nantinya semua proses full host-to-host dengan API jadi automated, kalau versi pertama ini UKM harus registrasi dulu ke situs Investree,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here