Meneropong Relasi Fintech dan UKM di Masa Pandemi

Teori dan pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa UKM kerap menjadi pelindung perekonomian Indonesia ketika musim paceklik menyergap. Contoh yang sering disertakan adalah krisis moneter pada 1998 dan resesi global pada 2008. Selama dua kejadian besar itu, UKM selalu disebut menjadi kekuatan ekonomi Indonesia yang bertahan ketika sektor lain ambruk.

Namun pandemi Covid-19 memberi pukulan yang berbeda. UKM tak bisa kebal menghadapi risiko-risiko ekonomi yang dibawa oleh wabah ini. Ketersediaan modal adalah salah satu faktor terpenting bagi bisnis UKM. Jika riwayat penjualan, arus kas, dan catatan pinjaman merupakan syarat kelayakan yang lazim berlaku bagi fintech lending sebelum menyalurkan kredit, maka itu semua mungkin tak lagi sepenuhnya berarti.

Co-founder & COO Modalku Iwan Kurniawan menjabarkan bagaimana peran fintech memperkuat eksistensi UKM dan apa saja yang terjadi pada industri ini selama pandemi berlangsung. Simak pandangan Iwan selengkapnya di edisi #SelasaStartup terbaru.

Sistem validasi anyar di masa pandemi

Situasi yang tidak pasti mengharuskan lembaga penyalur kredit termasuk fintech lebih cermat melakukan penilaian. Hal ini tak terkecuali bagi Modalku. Iwan menyebut ada perbedaan mencolok dalam mekanisme penyaluran kredit antara sebelum dan setelah Covid-19 merebak. Menurut Iwan umumnya stabilitas omzet jadi ukuran sebelum mereka memutuskan memberi kredit kepada UKM. Arus kas, aktivitas penjualan, dan riwayat kredit merupakan indikator yang mereka pegang teguh. Namun hal itu bergeser saat ini.

Ketidakpastian selama wabah menambah unsur kehati-hatian dalam melakukan scoring. Namun indikator yang dipakai pun bergeser banyak. Menurut Iwan pihaknya kini lebih mengedepankan prospek suatu bisnis terutama terkait dengan masa depan suatu sektor.

History itu jadi tidak penting, justru kita lebih ke future, apakah kami yakin di indisutri ini, prodok apa yang mereka jual, dan destinasi jualan mereka,” ucap Iwan.

Seperti yang kita ketahui sebelumnya, pandemi Covid-19 memukul banyak bisnis yang tersebar di sejumlah sektor. Manufaktur, perbankan, minyak dan gas, transportasi, serta pariwisata adalah contoh sektor-sektor yang dibuat hampir tak berdaya oleh Covid-19.

“Jadi cara penilaiannya ada pre-Covid-19 yang normal yang mana lebih fokus di cash flow daripada collateral. Tapi dengan adanya Covid-19 harus lebih hati-hati, forward looking dan sesuai dengan kondisi sekarang,” imbuhnya.

Memaksimalkan peluang yang ada

Meski ada banyak sektor yang tumbang sebagai dampak dari Covid-19, ada pula sektor yang terus tumbuh beberapa bulan terakhir. Sektor kesehatan dan e-commerce adalah dua contoh industri yang performanya meningkat. Ini juga terjadi pada Modalku.

Untuk sektor kesehatan, Modalku mengumumkan kerja sama mereka dengan BPJS Kesehatan. Menurut Iwan, kerja sama itu untuk menjembatani lebih banyak akses masyarakat ke layanan tersebut. Sementara di sektor e-commerce, mereka menggandeng dengan nama-nama besar seperti Bukalapak, Tokopedia, Lazada, hingga Zilingo.

Dengan langkah-langkah itu, Iwan mengklaim pihaknya mengalami lonjakan permintaan Modalku. “Ada kenaikan sekitar 10 kali lipat jumlah aplikasi untuk meminjam modal kerja atau personal,” tukas Iwan.

Kendati lonjakan permintaan akan modal naik tajam, Modalku tidak lantas lebih mudah memberi persetujuannya. Iwan mengakui persetujuan untuk permintaan pinjaman itu sangat sedikit yang mereka penuhi karena ada lebih banyak tolok ukur yang dipakai.

Di saat bersamaan, Modalku punya pekerjaan rumah agar kondisi ideal bagi mereka dapat tercapai. Pertama adalah soal edukasi. Edukasi menjadi penting karena menurut Iwan masyarakat kerap salah paham dalam menilai pinjaman modal kerja. Misalnya saja ada anggapan bahwa bunga fintech lebih mahal ketimbang bunga dari bank. Padahal bunga itu menurut Iwan relatif kecil dibandingkan untung yang bisa diperoleh UKM.

Persoalan kedua adalah keterjangkauan akses. UKM di Indonesia umumnya masih banyak yang belum menyentuh transaksi online. Beban yang harus ditanggung fintech untuk menjangkau UKM yang tradisional ini biasanya lebih mahal dan memakan waktu. Namun sedikit keberuntungan bagi mereka, kondisi wabah saat ini mengharuskan banyak usaha tetap berjalan dan artinya akan lebih banyak usaha yang berjalan secara online tanpa perlu mereka dorong.

“Saya lihat selama Covid-19 ini tantangan itu makin terpecahkan. Kita bisa lebih efisien menyentuh atau support mereka [UKM].”

Kondisi ideal setelah pandemi

Modalku saat ini masih salah satu fintech lending terbesar di Indonesia. Total kredit yang sudah mereka salurkan sejauh ini mencapai Rp14 triliun. Belum lama mereka juga mengumumkan penggalangan dana seri C senilai US$40 juta atau sekitar Rp625 miliar.

Dengan segala bentuk adaptasi yang terjadi selama wabah Covid-19 berlangsung, Iwan menuturkan pihaknya sedang bersiap segala bentuk normal baru yang akan terjadi. Ini meliputi menyaring sektor-sektor mana saja yang akan menguat di masa depan dan mencari mitigasi risiko yang paling tepat.

Industri kesehatan, online commerce, serta supply chain tampak akan menjadi sektor yang menjadi fokus Modalku mulai saat ini. Iwan menegaskan Modalku harus bersiap sejak sekarang untuk memenuhi kebutuhan modal UKM di sektor-sektor tersebut. Sementara dari manajemen risiko, mereka melakukan perombakan peran di tubuh perusahaan. Contoh perombakan peran itu adalah memindahkan sejumlah anggota tim sales dan marketing untuk membantu tim manajemen risiko untuk melayani kebutuhan layanan-layanan seperti memperpanjang tenor pinjaman ataupun mempercepat masa pelunasan.

“Kita sudah ada SOP yang jelas dengan UKM ketika di masa depan ada kebutuhan untuk bantu adjustment, kita bisa siap manajemen risikonya,” pungkas Iwan.

BukuKas Provides Bookkeeping Digital Platform for Fellow SMEs

There is a trend that circulates Indonesian startup industry for the past two years. It is the rise of services aimed at SME’s sector. The objective, in addition to transformation, is also to build a capable ecosystem to improve the SME sector. One of the startups is BukuKas. The company founded by Krishnan Menon offers a service that is ready to empower SMEs through improving financial records.

After his return to India to accompany his ailing father, Menon finally decided to start over a career in the Indonesian startup industry with BukuKas in August 2019.

Along with his travel to cities such as Tuban, Cirebon, Jepara, etc. he learned that technology is yet to cover all SMEs. Then, he began designing BukuKas to try to digitize SMEs through financial records.

Aside from financial records using paper and unorganized, most SMEs also lose track of the profits and cash flow of the transaction. It has sparked an idea to develop applications that can record their business cash flow, in a simple and easy way.

“I see the SME sector is full of potential and benefits if we can help them with simple technological solutions and encourage the business to shift into digital and financial ecosystems. Our mission is to help millions of SMEs and through that bring a huge positive impact on their business, the country, and ecosystem,” Menon said.

Menon is quite confident in what he and the team develop. He said, after successfully digitizing SMEs, their business can gradually connect to the formal banking sector through partnerships and so on.

Gaining lots of support

Within almost a year of operation, BukuKas has received a lot of support from investors. As for Krishan’s statement, they currently supported by Sequoia Capital (Surge), Credit Saison, 500 Startups, and several other investors. BukuKas is also supported by more than 20 angle investors, including Christian Sutardi, Filippo Lombardi, Edward Tirtanata, James Pranoto, and Guillem Segarra.

“The fact that many good investors and business leaders put their trust in us is a humbling experience. It also encouraged us to work 10 times harder to repay their belief in our mission,” he added.

Currently, BukuKas provides its services for free. The presence of BukuKas in Indonesia provides additional options for SMEs to manage their business digitally. Aside from BukuKas, there are also BukuWarung with similar services. Both founded in 2019 BukuWarung is supported by East Ventures, AC Ventures, Golden Gate Ventures, and others.

Business during Covid-19 pandemic

The Covid-19 pandemic has affected lots of parties, including BukuKas and its merchants. Menon said the team has tried to help their merchants to the maximum extent by promoting their businesses the affected business through BukuKas’ social media. The company also holds free English classes to improve skills, including actively discussing with existing merchants.

“Merchants who use our platform have increased by 50% since the beginning of Covid-19 four weeks ago. We believe this is because BukuKas helps business owners manage their money better during these difficult times,” he said.

Sailing through 2020, BukuKas has set three main focuses on enhancing the merchant experience in using their platform, adding a number of useful key features, and helping merchants to deal with this pandemic.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

BukuKas Tawarkan Platform Digital untuk Pencatatan Keuangan UKM

Dua tahun terakhir ada tren yang bergerak cukup signifikan di industri startup Indonesia. Itu adalah tren layanan yang bergerak pada akar rumput UKM. Tujuannya, selain transformasi juga membangun ekosistem yang mumpuni untuk bersama-sama meningkatkan level UKM itu sendiri. Salah satunya adalah BukuKas. Startup besutan Krishnan Menon ini menawarkan layanan yang siap membantu UKM untuk lebih berdaya melalui pencatatan keuangan yang rapi.

Sempat kembali ke India untuk menemani ayahnya yang sakit, Krishnan akhirnya memutuskan untuk memulai kembali petualangannya di industri startup Indonesia dengan memulai BukuKas pada Agustus 2019.

Perjalanannya di kota-kota seperti Tuban, Cirebon, Jepara, dan lain-lain memberikan dirinya pemahaman bahwa teknologi saat ini belum menyentuh level UKM. Untuk itu ia mulai merancang BukuKas untuk mencoba mendigitalisasi UKM melalui pencatatan finansial.

Selain catatan yang masih menggunakan kertas dan tidak rapi, kebanyakan UKM juga kehilangan jejak ke mana laba dan uang yang mereka hasilkan mengalir. Dari sana tercetus sebuah ide untuk mengembangkan aplikasi yang bisa merekam arus kas bisnis mereka, yang sederhana dan mudah digunakan.

“Saya merasa segmen UKM bisa mendapatkan banyak manfaat jika kita dapat membantu mereka dengan solusi teknologi sederhana dan selangkah semi selangkah membawanya ke ekosistem digital dan finansial. Misi kami adalah untuk membantu jutaan UKM dan melalui itu membawa dampak positif yang besar bagi mereka, negara, dan ekosistem,” jelas Krishnan.

Krishnan cukup percaya dengan apa yang ia dan tim lakukan. Menurutnya setelah berhasil mendigitalisasi UKM mereka dapat secara bertahap membawa UKM ke sektor perbankan formal melalui kemitraan dan lain sebagainya.

Dukungan banyak pihak

Kendati belum genap satu tahun beroperasi, BukuKas sudah mendapat banyak dukungan dari para investor. Dari keterangan Krishnan, saat ini mereka didukung oleh Sequoia Capital (Surge), Credit Saison, 500 Startup, dan beberapa investor lainnya. BukuKas juga didukung oleh lebih dari 20 angle investor, di antaranya adalah Christian Sutardi, Filippo Lombardi, Edward Tirtanata, James Pranoto, dan Guillem Segarra.

“Fakta bahwa investor yang baik dan begitu banyak pemimpin bisnis yang mempercayai kami adalah humbling experience bagi kami. Itu juga membuat kami bekerja 10 kali lebih keras untuk membalas kepercayaan mereka pada misi kami,” lanjut Krishnan.

Untuk saat ini BukuKas menyediakan layanannya secara gratis. Kehadiran BukuKas di Indonesia memberikan tambahan pilihan bagi UKM untuk mengelola bisnisnya secara digital. Selain BukuKas juga ada BukuWarung dengan layanan yang serupa. Sama-sama meluncur di 2019 BukuWarung didukung oleh East Ventures, AC Ventures, Golden Gate Ventures, dan lainnya.

Menghadapi pandemi Covid-19

Pandemi covid-19 berdampak ke banyak hal. Termasuk BukuKas dan merchant mereka. Krishnan menceritakan, mereka berusaha membantu semaksimal mungkin merchant mereka dengan cara mempromosikan bisnis merkea yang terdampak melalu media sosial BukuKas. Pihaknya juga menyelenggarakan kelas bahasa Inggris secara gratis untuk meningkatkan keterampilan, termasuk aktif berdiskusi dengan merchant yang ada.

Merchant yang menggunakan platform kami meningkat 50% sejak awal Covid-19 empat minggu lalu. Kami percaya ini karena BukuKas membantu pedagang mengelola uang mereka dengan lebih baik selama masa-masa sulit ini,” cerita Krishnan.

Kini mengarungi 2020 BukuKas menetapkan tiga fokus utama mereka ada pada meningkatkan pengalaman merchant dalam menggunakan platform mereka, menambahkan beberapa fitur kunci yang berguna, dan membantu merchant untuk menghadapi pandemi ini.

Application Information Will Show Up Here

TADA, Gojek, dan Moka Inisiasi Platform “Supportlocalbrands”, Bantu Peritel Berjualan Kupon Belanja

Dampak pandemi yang luas ke segala sektor usaha, menyiksa pebisnis untuk putar otak untuk memastikan usahanya tetap berjalan. Tada, platform end-to-end customer retention, dibantu Gojek dan Moka membuat gerakan dukung merek lokal atau Supportlocalbrands, sudah mulai beroperasi sejak awal Apri 2020.

Kolaborasi tersebut berbentuk adanya akses buat masyarakat untuk membeli kupon dari merek lokal dengan harga spesial lewat aplikasi Gojek dan situs web Supportlocalbrands itu sendiri. Beragam kupon yang ditawarkan di antaranya untuk produk makanan dan minuman, fesyen, layanan kecantikan, kesehatan pribadi, gaya hidup, dan hotel.

“Melalui gerakan ini, baik konsumen dan pemilik bisnis sama-sama memperoleh manfaat. Konsumen dapat membeli lebih awal kupon dari ratusan merek lokal. Kupon ini nantinya bisa digunakan saat layanan tersedia atau bisnis buka kembali. Sementara itu, pemilik bisnis dapat mempertahankan usahanya dengan pemasukan dari hasil penjualan kupon ini,” terang Managing Director TADA Antonius Taufan kepada DailySocial, Senin (20/4).

Gojek turut berpartisipasi lantaran solusi yang diinisiasi oleh TADA menjawab permasalahan yang ada di kehidupan sehari-hari. Situs Supportlocalbrands kini tersedia melalui shuffle card di dalam aplikasi Gojek untuk memudahkan lebih banyak pelanggan untuk mengakses kesempatan tersebut.

“Inisiatif ini merupakan salah upaya nyata kami untuk memastikan pengguna Gojek mendapat manfaat potongan harga dari merek lokal favorit mereka, sekaligus membantu bisnis karya anak bangsa untuk tetap bertahan,” imbuh Chief of Corporate Affairs Gojek Nila Marita.

Hadirnya TADA dan inisiasinya dalam aplikasi Gojek, menandakan bertambahnya mitra pihak ketiga yang berpartisipasi untuk perkuat posisinya sebagai super app.

Sejak softlaunch pada awal bulan ini, disebutkan situs ini sudah menjaring lebih dari raturan merek lokal untuk berpartisipasi, termasuk mereka yang sudah menjadi merchant di Moka.

Co-Founder & CEO Moka Haryanto Tanjo mengatakan, mereka sudah mengimbau 40 ribu merchant-nya untuk turut berpartisipasi dan mendukung kemudahan dalam penukaran kupon. “Kolaborasi ini salah satu bentuk inisiatif kami untuk membantu pelaku usaha dalam menghadapi masa sulit,” katanya.

Keberadaan dukungan ini, lanjutnya, begitu dibutuhkan pebisnis. Meski tidak memberi data rinci, Taufan menyebut beberapa klien ritelnya memang melaporkan bahwa mereka sudah melakukan pemotongan gaji atau merumahkan karyawan dalam kurun waktu tertentu demi mempertahankan cashflow.

“Untuk angka pastinya, mohon maaf kami tidak bisa sebut, namun yang pasti bagi sektor ritel, hal ini sangat berdampak besar,” ujar Taufan.

Dia juga menyebut dalam membuat gerakan ini ketiga perusahaan tidak memungut biaya atas transaksi yang terjadi hingga 30 Juni 2020. Keseluruhan nilai yang dibayarkan konsumen akan diberikan sepenuhnya kepada para pelaku usaha yang bergabung.

Rencananya, situs ini akan aktif sampai tanggal tersebut dan pembeli bisa membeli hingga waktu tersebut. Seluruh kupon yang dibeli akan memiliki masa berlaku satu tahun, sehingga pembeli punya cukup waktu hingga gerai-gerai kembali di buka untuk menukarnya.

“Untuk ke depannya, jika pelaku usaha masih ingin memakai platform yang sama untuk program yang berbeda, maka dikembalikan sesuai kebijakan pemilik platform masing-masing. Yang pasti, tidak ada keterikatan apapun selama gerakan ini berlangsung.” pungkas Taufan.

Demi memastikan transaksi dapat berjalan lancar, TADA terus mengupayakan agar traffic ke situs semakin optimal.

Mengulik Kisah Brodo, Produk Sepatu yang Dikenal Luas Melalui Kanal Digital

Di Indonesia sudah banyak merek sepatu lokal bermunculan. Dari semuanya, salah satu yang tampak konsisten dan terus menunjukkan pertumbuhan adalah Brodo. Produk sepatu ini dikembangkan oleh Yukka Harlanda dan rekannya Uta semasa kuliah di ITB. Satu dekade berdiri, mereka cukup konsisten mengoptimalkan kanal digital untuk pemasaran dan penjualannya.

Yukka kepada DailySocial bercerita, Brodo diawali dari keresahannya mencari sepatu merek lokal dengan ukuran 46, kemudian dipadukan dengan ambisi rekannya yang ingin menjadi seorang pebisnis. Singkat cerita mereka berkolaborasi, berusaha menghadirkan sepatu dengan desain menarik, murah, dan dijual melalui internet.

Di fase awalnya, Brodo dipasarkan melalui Forum Jual Beli Kaskus dan Facebook Pages. Informasi mengenai produk dan komunikasi dilakukan di sana. Jika sudah ada kata sepakat, konsumen akan dialihkan ke kanal Blackberry Messenger untuk melanjutkan transaksi pembelian.

“Seiring berjalannya waktu, yang awalnya hanya hobi untuk menambah uang saku ada beberapa shift yang kita lihat nih, penting banget yang membuat kita merasa ada oppurtunity. Nomer satu adalah digitalisasi cunsumer, pangsa pasar yang ditargetkan adalah kalangan mahasiswa; mereka akan terus tumbuh dengan preferensi, yang pertama di brand lokal, produk berkualitas di dapat dari online, dan brand yang keren.”

Ia melanjutkan, “Yang kedua, Indonesia sebagai salah satu negara penghasil sepatu premier di dunia. Kita tidak sadar dengan hal itu karena kita terbiasa sebagai bangsa penjahit. Saya rasa di sini ada peluang untuk kita membuat produk berkualitas tinggi dan bisa bersaing dengan global dengan angle yang berbeda, yakni digital first, baik untuk pemasaran  atau transaksinya.”

Singkat cerita, Yukka dan partner mulai “full time” menjalankan Brodo. Per tahun 2019 kemarin, Brodo mengklaim sudah berhasil memproduksi ratusan ribu pasang sepatu. Untuk operasional sendiri Brodo sekarang memiliki 140 karyawan, 8 toko, dan 20 network vendor untuk raw material, kulit, maupun lainnya.

Founder Brodo, Yukka dan Uta / Brodo
Founder Brodo, Yukka dan Uta / Brodo

Konsisten pada kanal digital dan identitas merek

Saat ini Brodo hadir di berbagai macam kanal digital. Baik itu media sosial seperti Instagram, Twitter, dan Facebook; juga situs web pribadi yang menyediakan informasi lengkap seputar brand, termasuk juga fasilitas untuk transaksi. Brodo juga tersedia sebagai official merchant di beberapa e-commerce lokal.

Angle kita selalu brand first. Jadi yang namanya hardselling itu sangat coba kita kurangi, walaupun itu komponen yang tetap harus ada. Sampai sekarang media sosial itu harus menjadi fokus nomor satu. Sayangnya [di media sosial] ini ibaratnya kita dibatasi oleh ‘tuan rumah’ pemilik platform tersebut. Satu sisi kita benar-benar harus memanfaatkan, yang kedua kita harus aware bahwa media sosial bukan platform milik sendiri sehingga kita harus melakukan diversifikasi dari segi bagaimana kita menyampaikan pesan pemasaran kita,” jelas Yukka.

Yukka menambahkan, untuk bisa mengoptimalkan media sosial pemilik produk harus kreatif dalam menjalankan kampanye atau iklan. Termasuk mengurangi iklan berbayar, karena konsumen yang organik sudah terbukti bakal memberikan dampak jangka panjang pada bisnis secara umum.

Proses membangun merek juga dilakukan Brodo melalui kegiatan kolaborasi, menggandeng publik figur kenamaan seperti atlet atau artis. Mereka yang digandeng Brodo tentu bukan sembarangan, mereka harus mewakili semangat yang disusung Brodo, memiliki awareness yang tinggi, dan yang tidak kalah pending adalah mampu memberikan dampak persepsi pengguna terhadap brand Brodo.

Produsen Sepatu “Pijak Bumi” Manfaatkan Kanal Digital Sampaikan Visi Produk

Identitas merek atau produk bisa dibangun lewat berbagai macam media. Pijak Bumi, merek sepatu lokal dari Bandung mencoba membangun bisnis mereka melalui kanal online, tepatnya di platform Instagram dan situs web. Dari sana mereka mencoba menyuguhkan pelayanan prima sekaligus menyebarluaskan value yang diusung.

Bermula pada 2016, PijakBumi konsisten mengangkat tema sebagai merek sepatu ramah lingkungan. Tak hanya itu, mereka membawa tiga pilar penting dalam bisnisnya, yakni, orisinalitas desain, material ramah lingkungan, dan kearifan kerajinan lokal.

Co-founder Pijak Bumi Vania Audrey kepada DailySocial menceritakan bahwa mereka memanfaatkan Instagram untuk bisa membagikan produk dan cerita kepada khalayak ramai. Kemudian dari sana para pengunjung akan diarahkan menuju situs web untuk melakukan transaksi.

Pada awal kehadirannya, Pijak Bumi justru menarik pelanggan internasional. Tepatnya warga Indonesia yang tinggal di negara seperti Jerman dan Spanyol. Konsumen tertarik karena PijakBumi menawarkan sesuatu yang berbeda dibanding merek sepatu lain dari Indonesia, yakni berbahan natural, tepatnya menggunakan bahan kulit sapi samak nabati, serat kenaf, katun organik, kulit kelapa, dan recycle ban bekas.

Dari sana kemudian Pijak Bumi terus berkembang, hingga pada akhirnya sekarang mereka melayani pelanggan bisnis (B2B) yang ada di Jepang dan Eropa. Sejauh ini Pijak Bumi mengaku memiliki kapasitas produksi 1000 pasang sepatu per bulan.

“Kami memang masih pakai Instagram, tapi kami optimalkan untuk tetap terhubung dengan Teman Melangkah (sebutan pelanggan Pijak Bumi). Kami juga punya website sendiri yang difokuskan untuk penjualan. Jadi nanti kalau ada penawaran kerja sama dari e-commerce lain baru kami pertimbangkan juga,” cerita Vania.

Selain Pijak Bumi, sebenarnya di Indonesia sudah mulai banyak muncul merek indie untuk produk sepatu. Misalnya Brodo, mereka juga memanfaatkan media sosial untuk terhubung dengan pangsa pasarnya.

Kondisi persaingan yang ada, khususnya bila disandingkan dengan merek-merek yang banyak beredar di pasaran, memang membuat para founder produk lokal harus berpikir keras menghadirkan diferensiasi sekaligus nilai plus untuk merek yang dikembangkan. Dan menariknya setiap startup punya cara yang unik.

Fokus pada pengembangan produk

Tahun 2020 mungkin tahun yang cukup berat bagi kebanyakan orang, termasuk juga bisnis dan Pijak Bumi. Ada perubahan rencana atau lebih tepatnya rencana yang disesuaikan ulang yang disebabkan oleh pandemi Covid-19.

Pihak Pijak Bumi, yang saat ini memiliki tim in-house sebanyak 5 orang mengaku mulai fokus pada pengembangan tim dan produk. Dengan adanya kanal B2C dan B2B membuat mereka sebisa mungkin untuk pintar mengatur sumber daya. Sementara itu untuk mendukung bisnis mereka juga menggunakan jasa pihak ketiga, seperti untuk warehousing dan semacamnya.

Berbicara mengenai teknologi digital, pihak Pijak Bumi mengaku tengah berusaha untuk meningkatkan kualitas situs web yang mereka miliki. Seperti dari segi fitur yang bisa membantu lebih banyak pelanggan dalam bertransaksi.

“Di 2020 kami ingin fokus ke produk yang ramah lingkungan dan ergonomis sehingga enak dipakai sehari-hari. Sementara untuk penerapan teknologi digital mungkin kami butuh semacam data scientis yang bisa membantu kami lebih paham membaca data yang ada,” tutup Vania.

Awal tahun ini, Pijak Bumi juga bergabung dengan program akselerator bisnis Gojek Xcelerate Batch 3. Dalam gelombang ini, Gojek merekrut banyak pengusaha dari kalangan pengembang produk ritel. Selain Pijak Bumi, ada beberapa startup lain seperti Callista, Gigel dan sebagainya.

Andi Taufan Meyakini bahwa Ketekunan Akan Berbuah Keberhasilan

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Sebagai seorang pendiri solo, adalah perjuangan menguras darah, peluh dan air mata bagi Andi Taufan Garuda Putra dalam membangun Amartha. Berbagai kisah mewarnai mulai dari satu per satu Co-founder pergi serta dilema antara pendidikan dan perusahaan. Semua itu membawanya pada sebuah peer-to-peer lending yang telah sukses menyalurkan Rp1,25 triliun pinjaman kepada lebih dari 200 juta pengusaha mikro di daerah-daerah terpencil.

Ia memulai perjalanan ini dengan mimpi untuk mewujudkan inklusi finansial di seluruh Indonesia. Memang tidak mudah, mengingat bisnis pinjaman yang penuh celah dan potensi penipuan. Namun dengan dasar ketekunan, ia berhasil mendaki tebing tinggi dimana bisnis mikro bisa berkontribusi lebih pada ekonomi Indonesia saat ini.

Adapun, belum lama ini ia dipercaya menjadi salah satu anggota staf ahli kepresidenan pada masa pemerintahan Jokowi periode kedua.

Berikut kisah lebih lengkap mengenai perjalanan Andi Taufan Garuda Putra dalam sesi tanya jawab dengan tim DailySocial.

Sebagai permulaan, dengan latar belakang akademis dalam bidang bisnis. Bagaimana bisa Anda berfikiran untuk memulai Amartha? Apa yang menjadi dasar untuk membangun sesuatu yang memiliki dampak sosial?

Pada awalnya, saya mengampu pendidikan tinggi di bidang bisnis tanpa aspirasi untuk menjadi seorang pengusaha. Orangtua sendiri meniti karir sebagai profesional, saya pun berencana untuk mengikuti jejak mereka. Begitu pula dengan gelar master, semata-mata untuk mendukung karir profesional yang mendukung kesejahteraan. Ketika sudah sukses, bisa bersedekah kepada mereka yang membutuhkan. Definisi sukses saya amatlah sederhana, menginjak umur 50 tahun tanpa khawatir akan masa depan suram.

Setelah menyelesaikan strata satu, saya sempat bekerja di IBM selama dua tahun sebagai konsultan bisnis. Pekerjaan ini melibatkan perusahaan-perusahaan minyak untuk mengimplementasi sistem IT di daerah terpencil. Ketika mengelilingi sudut-sudut pedesaan, saya menemukan gap yang cukup lebar antara daerah pinggiran dan perkotaan, seperti di Jakarta. Hal inilah yang mendorong saya untuk mengambil tindakan, bagaimana saya bisa berkontribusi dalam hal ini. Pada masa itu, saya memutuskan untuk membuat sesuatu yang memiliki target. Daripada sekedar membantu konglomerat semakin kaya, lebih baik membuat sesuatu yang lebih bermanfaat untuk bisnis-bisnis kecil agar lebih bertumbuh.

Saat itu masih di awal tahun 2000, belum ada yang berbicara mengenai fintech atau platform aplikasi. Setelah menggali ide, akhirnya saya menetapkan hati pada microfinance. Sektor ini memiliki target yang jelas, ketika menyuntik dana pertama, cashflow akan langsung terlihat, demikian juga nilai keuntungannya. Hal ini juga menimbulkan multiplayer effect dalam keluarga, selain membangun bisnis, anak-anak mereka pun bisa bertumbuh seiring mendapat pendidikan layak.

Pada awalnya, Amartha hanya berbentuk sebuah koperasi. Bisa dijelaskan detail perjalanan membangun bisnis ini menjadi sebuah platform peer-to-peer lending?

Pada suatu hari, saya mengunjungi daerah di kabupaten Bogor bernama Ciseeng. Saat berkeliling desa, saya bertemu banyak orang dan berbincang mengenai masalah-masalah yang kerap muncul di daerah tersebut. Kebanyakan yang tersisa adalah ibu-ibu, suami mereka sedang bekerja di tempat lain, ada juga yang di kota. Sebagaimana kepala keluarga yang memiliki penghasilan pas-pas an, para istri pun harus ikut bekerja paruh waktu demi kesejahteraan keluarga.

Didasari dengan fenomena ini, saya rasa mereka akan sangat membutuhkan bantuan. Saya mulai menawarkan pinjaman kecil-kecilan, mulai dari 500 ribu untuk 100 orang pada tahun pertama. Berbicara tentang produktifitas, mereka menggunakan uang pinjaman tersebut untuk hal-hal yang bermanfaat, seperti membeli mesin jahit dan lain-lain. Kebanyakan dari mereka cukup bertanggung jawab dan mengembalikan pinjaman tepat waktu. Kami pun bertumbuh dengan menyediakan pinjaman bagi seribu orang di tahun selanjutnya.

Setelah lima tahun melayani lebih dari 7000 orang di pedesaan, kami menemukan tantangan tersendiri pada bisnis ini. Pada akhirnya, pinjaman mikro bukan hanya sekedar uang, namun menciptakan harapan. Mereka mulai membuat rencana untuk bisnis dan keluarga, lalu ingin pinjaman yang lebih banyak. Dengan kredit macet serta isu lainnya, kami pun nyaris kehabisan uang sementara pertanyaan mengenai “Amartha mau bankrut ya?” menyerang dari berbagai sisi. Ini sangat sulit, bahkan untuk saya.

Lalu saya menemukan bahwa microfinance saja tidak cukup dalam era internet ini. Kami pun kembali dengan sebuah inovasi untuk menggalang dana dari masyarakat, bisa dibilang sebagai peer-to-peer lending marketplace. Dengan partner serta oinjaman berkualitas, saya melakukan pitching dengan investor tahap awal kami [BEENEXT dan MidPlaza]. Mereka nampaknya menyukai ide ini dan melalui berbagai macam rintangan, Amartha akhirnya resmi beroperasi sebagia platform online di tahun 2016.

Momentumnya ada, kemudian beberapa platform p2p ikut meramaikan pasar Indonesia. Industri fintech mulai masuk masa kejayaannya. Dalam hal ini, kamu turut mendorong OJK untuk membentuk regulasi mengenai industri p2p yang masih seumur jagung ini. Amartha pun masuk menjadi salah satu punggawa awal dalam industri p2p ini yang mendapatkan izin resmi dari OJK di awal tahun 2019.

Tim Amartha saat ini
Tim Amartha saat ini

Berbicara mengenai masa-masa krusial, bagaimana Anda menyikapi situasi ini dan bisa bangkit kembali?

Saya rasa sekitar tahun 2014-2015. Masyarakat mulai krisis kepercayaan pada Amartha, saya sendiri juga ragu bisa melanjutkan bisnis ini. Saya pun berfikir untuk menciptakan inovasi baru, lalu datanglah kabar baik dari Harvard. Di tahun yang sama, para investor mulai berdatangan ketika masa-masa sulit menghampiri Amartha.

Hal ini menjadi dilema, ketika harus memilih antara pendidikan atau perusahaan. Lalu saya berinisiatif untuk berbicara dengan investor dan mereka memperkenankan saya untuk melanjutkan studi dengan syarat platform ini harus segera rilis. Terjadilah di tahun 2016, ketika itu saya bekerja secara remote di US dengan bantuan Aria serta tim developer. Adalah sebuah anugrah memiliki tim yang selalu mendukung serta lingkungan yang positif.

Menjadi pendiri solo menjadi tantangan tersendiri bagi saya. Di tahun 2009, saya pernah memiliki partner, hinga satu per satu pergi menyusul keadaan saat itu. Saya pun mencoba lagi di tahun 2014 dengan beberapa partner baru sampai akhirnya dua orang gugur dan satu lainnya memiliki prioritas lain. Saya menyadari bahwa selalu ada Co-founder di setiap tahapan bisnis Amartha, ini menjadi poin penting. Sementara itu, para C-level yang ada sekarang menjadi sangat penting dalam menopang bisnis ini ke jenjang yang lebih tinggi.

Apa yang menjadi target Amartha di jenjang yang lebih lanjut?

Hal itu adalah ketika kami bisa melampaui batas pinjaman peer-to-peer. Kami sangat baik dalam memberikan pinjaman mikro untuk perempuan di daerah pedesaan. Tetap setia pada misi kami untuk memberikan kesejahteraan yang setara bagi orang-orang pada piramida terbawah. Jika harus menentukan definisi kesejahteraan, hal itu adalah mengurangi biaya hidup mereka, menyediakan produk-produk yang terjangkau, sehingga mereka dapat menyisihkan uang untuk ditabung, dan mulai berinvestasi. Bagaimana Amartha dapat berkembang melampaui pinjaman p2p? Ini tidak hanya tentang dukungan modal awal tetapi juga demi menyediakan produk lain yang dapat meningkatkan kualitas hidup mereka.

Bagaimana caranya untuk memastikan bahwa perusahaan bisa tetap setia pada komitmen saat ini?

Kuncinya adalah memahami ragam masalah yang terjadi. Sebagai bisnis pinjaman, pasti akan ada permasalahan mengenai pembayaran melewati tanggal jatuh tempo, celah dalam peraturan, serta potensi penipuan. Jika kita tidak mencoba memahami, kita tidak akan pernah menjadi lebih baik. Apa yang saya pelajari sampai saat ini karyawan kami mencapai 2.500, adalah bagaimana membangun tim dengan misi. Semangat mereka harus diselaraskan dengan misi keseluruhan perusahaan. Hal ini bertujuan untuk menanamkan rasa memiliki pada setiap karyawan. Setelah itu terpenuhi, mereka dapat mulai mengeksplorasi dan bergerak pada satu tujuan. Hal ini cukup menantang tetapi layak diperjuangkan.

Taufan sebagai pembicara di acara #SelasaStartup pertama DailySocial
Taufan sebagai pembicara di acara #SelasaStartup pertama DailySocial

Sebagai salah satu pelopor platform peer-to-peer lending di Indonesia, siapa/apa yang menjadi role model bagi Amartha?

Saya mengacu pada pasar AS dan Eropa. Mereka sudah terlebih dahulu memiliki unicorn LendingClub di AS, dan pasar Eropa dengan Funding Circle dan Prosper. Belum pernah ada yang seperti ini di Asia. Karena itu, dengan basis pelanggan yang berbeda, saya mulai bekerja dengan apa yang kita punya. Dengan fakta bahwa sebagian besar penduduk Indonesia berada di piramida kelas bawah, Amartha menciptakan model bisnis yang menargetkan pasar massal dan peminjam berkualitas tinggi.

Dalam lanskap p2p lending ini, apakah pernah ada isu dengan perbankan atau departemen lain terkait inklusi finansial?

Sejak awal, kita memiliki tanggung jawab yang jelas untuk masing-masing divisi. Semua yang dilakukan perusahaan pun tak luput dari infrastruktur perbankan. Di sisi lain, untuk perbankan bisa masuk ke segmen ini, akan sangat menguras tenaga. Amartha punya kapasitas untuk memberi pelayanan dan sebaliknya. Semua ini kembali lagi pada kepercayaan dan kami pun akan lebih menjunjung tinggi kolaborasi dibandingkan kompetisi.

Sejak tren ini mulai berkembang di tahun 2016 dan semakin banyak pemain bermunculan di tahun 2017. Pada tahun 2018, masalah ilegal muncul, meskipun bukan kami, tetap hal ini berpengaruh. OJK disebut akan mengatasi semua masalah di tahun ini dan asosiasi pun punya tanggung jawab sendiri. Saya melihat kedepannya akan penuh dengan kolaborasi, tidak hanya pendanaan dengan perbankan tetapi sesuatu yang lebih solid dan intens. Lalu, akan ada perusahaan-perusahaan baru menawarkan produk yang lebih canggih untuk menjalankan inklusi keuangan. Bagaimanapun, saya selalu melihat semua pendiri baru dengan sudut pandang positif, karena itulah yang kami butuhkan, orang-orang yang lebih agresif dan positif.

Selama lebih dari 10 tahun Anda bekerja keras menguras tenaga, peluh dan air mata dalam membangun perusahaan ini. Apakah pernah berniat untuk membuat sesuatu yang baru?

Masih terlalu jauh untuk saya memikirkan hal itu. Amartha masih dalam masa pertumbuhan, kami pun memiliki skala bisnis yang berbeda dengan Google atau perusahaan elit lainnya. Terlebih dengan tanggung jawab baru sebagai staf ahli kepresidenan. Saat ini load saya sudah sangat banyak.

Para penggiat startup seringkali disebut buta politik, namun Anda bisa mengubah itu. Apa yang membuat anda tertarik untuk menerima ‘amanah’ ini?

Kita memiliki presiden yang tulus dan saya dengan senang hati bisa turut mendukungnya. Kami berdiskusi tentang usaha-usaha kecil di Indonesia. Dia ingin melakukan perubahan, agar mesin birokrasi dapat bergerak lebih cepat menuju tren masa depan. Ini adalah sebuah mandat bagi Indonesia untuk menempati posisi 4 negara teratas di dunia dengan ekonomi terkuat. Hal ini harus dibangun dengan energi positif dan orang-orang optimis. Saya, bersama dengan staf lainnya, percaya bahwa ini adalah langkah kecil untuk menciptakan kepercayaan diri demi membawa Indonesia ke jenjang yang lebih tinggi.

Taufan sebagai salah satu staf kepresidenan
Taufan sebagai salah satu staf ahli kepresidenan

Dengan kerangka berfikir startup yang pace nya cepat, apakah ada clash of culture yang terjadi dalam interaksi dengan birokrasi?

Adalah tugas kami sebagai staf ahli kepresidenan untuk memberikan pemikiran dan terobosan inovatif saat presiden menjalankan kereta birokrasi dengan teknologi dan pendekatan digital. Pertama-tama lihat tujuannya, saat ini saya belum menghadapi bentrokan apa pun. Beruntung, saya masih diberi kesempatan untuk bekerja dua kaki di Amartha, oleh karena itu, saya bisa menyeimbangkan startup dengan hal-hal birokrasi untuk saat ini. Mari kita lihat apa yang akan terjadi enam bulan dari sekarang.

Menilik masa-masa membangun startup hingga pencapaian saat ini, apa yang bisa Anda katakan untuk para pengusaha tahap awal yang mengalami masa-masa sulit seperti yang dulu Anda alami?

Jika saya bisa mengatakan sesuatu, cobalah untuk tetap teguh pada tujuan jangka panjang Anda, karena ketekunan pada akhirnya akan membuahkan hasil. Bagi mereka yang baru memulai, ini bukan tentang individu, atau uang, atau teknologi. Justru ketika Anda menemukan satu hal sebagai fokus dan tidak memberikan celah untuk distraksi. Hambatan adalah bagian dari perjalanan. Kegagalan sesungguhnya adalah ketika kita berhenti.


Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

The Impact of Covid-19 Pandemic, Digital Transformation Becoming More Real

On Wednesday (3/18), Head of Shopping Center Tenant Association (Hippindo), Budihardjo Iduansjah said to the media that the shopping center’s daily revenue has been declined as the #DiRumahSaja or #SocialDistancing movement was announced to avoid the outbreak of Covid-19. One of the initiatives of brand owners is to rely on transactions outside Jabodetabek – considering some areas are yet to run the appeal.

However, based on the latest news (3/23) at 12 pm WIB, there are 514 positive cases throughout Indonesia. Some regional governments have released an appeal for its citizens to lessen the outside activities. In Central Java, schools have been closed since the past week. Some government offices, such as the Dukcapil, close down some types of crowded services, such as KTP-el matters.

It’s possible that shopping centers in some areas will experience visitor reduction. The thing is, the solution offered related to business scalability may not work as expected – relying on the regional stores.

The map of Covid-19 outbreak per March 23rd, 2020 at 12 pm / Kemenkes
The map of Covid-19 outbreak per March 23rd, 2020 at 12 pm / Kemenkes

It happens not only to the giant retail business, but some SMEs in Blitar have also been complaining about this matter. Most entrepreneurs produce snacks as souvenirs to be distributed to tourist-attraction areas such as Yogyakarta. Usually, their production is to be added to welcome the ‘mudik’ season before Lebaran. However, they have been forced to hold their production since February. Chairman of the Indonesian Tourism Industry Association (GIPI) Yogyakarta, Bobby Ardyanto on Wednesday (11/3) said the impact of Covid-19 resulted in a decrease in the number of tourists 30% -50%.

Transformation is a must

Solution is needed because the trade sector is the second biggest contributor to the Indonesian economy. Until the first quarter of 2019, BPS still recorded 5.26% (YoY) growth. This industry involves various parties, ranging from big players to micro-level companies. When a pandemic occurs, there are several aspects that can be considered to ensure that economic processes continue to run well.

First, sales, related to how retail owners support their consumers with channels to facilitate purchasing. Second, logistics, not only related to the delivery of goods to consumers, but also in the supply chain of raw materials. As PT Sarimelati Kencana Tbk experienced as Pizza Hut franchise brand holder in Indonesia. Director Jeo Sasanto said, there is currently a price increase in raw and supplies with decreasing stock in the market.

A digital approach can certainly provide solutions to these problems, but there must be a business will to do the transformation. As mentioned, many perceive digital transformation as the jargon of mere technology brand campaigns. Moreover, transformation can be interpreted as an effort to accelerate business by involving technological tools. The process is not by replacing all manual business models to digital, but trying to see opportunities that can help certain business processes with digital.

For example, the commercial business case study. Transformation does not mean to close the current traditional retail units to be replaced with e-commerce based business. Instead, technology can enable businesses to embrace a broader target market. One strategy is to take advantage of online-to-offline, for example, brands still have a physical store to enhance their “presence” and shopping experience while providing access to online purchases for convenience.

These efforts will be very beneficial when businesses are forced to “shift” due to emergencies. Instead of being abandoned, the restaurant business, at the time of “lockdown” due to pandemic could intensify the promotion through online applications – in order to solve two problems at once as presented above, on the sales channel and logistics. The supply chain can start relying on online platforms that can connect business people with raw supply producers – for example, the TaniHub application to get fresh vegetable products.

Various snacks produced by SMEs / Unsplash
Various snacks produced by SMEs / Unsplash

In terms of SMEs with limited capital, how to do it? The thing is, to carry out transformation is not merely spending expensive costs for infrastructure and/or application services. Start with the most impactful part of the business. Take a food stall, for example, it can be started by registering the business and the menus into applications such as GrabFood, GoFood or Traveloka Eats. For other businesses, as for SMEs in Blitar case, start utilizing social media and online marketplaces to put product catalogs.

Therefore, is it enough? Certainly not. Digital transformation requires commitment and tenacity. Simply put, online is a market, there are many other traders who sell similar product variants. Just like in traditional markets, what traders need to do is offer their products to passersby. Online, people can offer through social media, use discount promos, take advantage of paid advertising and so on.

The most challenging part

In fact, there are four things that business would ideally get, at least as a general measure of the transformation results. From ensuring the business to remain competitive, presenting efficiency in business processes, increasing customer satisfaction and making it easier for business people to take various strategic decisions.

According to KPMG Singapore’s Head of Enterprise Market Jonathan Ho, there are three challenges most often complained by SMEs in digital adoption. First, it is related to understanding the urgency of digital transformation itself. Digital transformation at one side is not just about technology, but more about how businesses can compete more intensively in current developments. Business people often make the perception that digitalization is a matter of increased operational costs, whereas if applied is just the opposite, technology reduces costs in many aspects.

Second, it is the lack of knowledge about digital skills that are relevant to the business. The fact is that not all businesses need a website, some just need to do promotion through the appropriate channel. A lack of understanding often makes digital transformation decisions taken that are less appropriate to the needs of the business itself. Jam wasting time, maybe a lot of investment disbursed will eventually be in vain. Sometimes what is needed is just to start selling for free through the marketplace platform.

And third, business people sometimes feel “insecure” with the digital world. For example, they are afraid of whether payments will be paid off smoothly – for example, some marketplaces hold payments until the product is really in hand or force businesses to use integrated e-wallet services. Or other concerns, such as fear of being replicated by other people’s product ideas because it is widely publicized on social media. Indeed, all the bad possibilities can happen, but excessive skepticism sometimes makes the business go nowhere, unwilling to transform.

Thus, the most essential part of the transformation effort is to correct the mindset of the businessman himself. In addition, the “catastrophic” moment of the Covid-19 pandemic has now become an important lesson. That digital transformation today is becoming a necessity.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Dampak Pandemi Covid-19, Transformasi Digital Tak Sekadar Jargon

Rabu (18/3), Ketum Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan (Hippindo) Budihardjo Iduansjah menyampaikan ke media, omzet harian toko di mall turun mencapai 50%-80% seiring gerakan #DiRumahSaja yang diinisiasi untuk meminimalkan penularan Covid-19. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemilik merek, imbuhnya, mereka mengandalkan transaksi dari cabang toko yang ada di daerah (luar Jabodetabek) – mengingat banyak wilayah yang belum ketat memberlakukan anjuran untuk tidak ke luar rumah.

Sayangnya, menurut data terkini (23/3) pukul 12.00 WIB, sudah ada 514 kasus yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Beberapa pemerintah daerah pun juga sudah menganjurkan warganya untuk mengurangi aktivitas di luar rumah. Di Jawa Tengah misalnya, sekolah sudah mulai diliburkan sejak satu minggu terakhir. Beberapa kantor pemerintahan, seperti Dinas Dukcapil, menutup beberapa jenis layanan yang biasanya ramai diserbu, seperti perekaman data KTP-el.

Bukan tidak mungkin jika pusat perbelanjaan di daerah juga akan mengalami penurunan jumlah kunjungan. Poinnya, solusi yang coba diandalkan terkait skalabilitas bisnis bisa saja tidak akan bekerja seperti yang diharapkan – mengandalkan cabang toko di daerah.

Data Corona
Data sebaran virus Corona per 23 Maret 2020 pukul 12.00 WIB / Kemenkes

Tidak hanya dirasakan pebisnis ritel besar, di Blitar banyak UKM yang sudah mulai mengeluh. Kebanyakan pengusaha memproduksi jajanan untuk oleh-oleh di tempat wisata seperti untuk dipasarkan di Yogyakarta. Padahal menjelang lebaran, biasanya produksi mereka justru ditambah untuk menyambut arus mudik. Tapi sejak Februari, mereka terpaksa mengerem bisnisnya. Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Yogyakarta Bobby Ardyanto pada Rabu (11/3) mengatakan, dampak Covid-19 mengakibatkan penurunan jumlah wisatawan 30%-50%.

Harus mau bertransformasi

Perlu solusi, pasalnya sektor perdagangan menjadi yang kedua paling berkontribusi dalam perekonomian Indonesia. Hingga kuartal pertama 2019, BPS masih mencatatkan pertumbuhan 5,26% (yoy). Bisnis ini melibatkan banyak pihak, mulai dari pemain besar hingga mikro di level rumahan. Ketika terjadi pandemi, ada beberapa aspek yang bisa diperhatikan untuk memastikan proses ekonomi tetap berjalan dengan baik.

Pertama penjualan, terkait bagaimana pemilik ritel memfasilitasi konsumennya dengan kanal-kanal yang memudahkan proses pembelian. Kedua adalah logistik, tidak hanya terkait penyampaian barang ke konsumen, namun juga pada rantai pasokan bahan baku. Seperti dirasakan PT Sarimelati Kencana Tbk sebagai pemegang merek waralaba Pizza Hut di Indonesia. Direktur Jeo Sasanto menyampaikan, kini terjadi kenaikan harga baku dan pasokan yang mulai menipis.

Pendekatan digital tentu bisa memberikan solusi atas masalah tersebut, namun harus ada kemauan bisnis untuk melakukan transformasi. Saking seringnya diserukan, banyak yang menanggap transformasi digital sebagai jargon-jargon kampanye merek teknologi belaka. Padahal lebih dari itu, transformasi dapat dimaknai tentang upaya melakukan akselerasi bisnis dengan melibatkan alat-alat teknologi. Prosesnya tidak dengan menggantikan semua model bisnis manual ke digital, namun dengan mencoba melihat peluang yang dapat membantu proses bisnis tertentu dengan digital.

Misalnya dengan studi kasus bisnis niaga di atas. Transformasi bukan dengan dimaknai bahwa bisnis harus menutup unit ritel tradisional yang telah dimiliki, lalu menggantinya dengan pendekatan berbasis e-commerce. Sebaliknya, teknologi dapat dijadikan komplementer untuk memungkinkan bisnis merangkul target pasar yang lebih luas. Salah satu strateginya dengan memanfaatkan online-to-offline, misalnya merek tetap memiliki toko fisik untuk meningkatkan “presence” dan pengalaman belanja, sembari memberikan akses pembelian secara online untuk kemudahan.

Upaya tersebut akan sangat bermanfaat saat bisnis dipaksa untuk melakukan “shifting” dikarenakan keadaan darurat. Alih-alih menjadi sepi, sebagai contoh bisnis restoran, di saat “lockdown” karena pandemi bisnis bisa menggencarkan promosi layanan pesan antar melalui aplikasi online – yang menyelesaikan sekaligus dua permasalahan yang disampaikan di atas, soal kanal penjualan dan logistik. Rantai pasokan pun dapat mulai mengandalkan platform online yang bahkan bisa menghubungkan pebisnis dengan produsen bahan baku – sebut saja dengan aplikasi TaniHub untuk mendapatkan produk sayuran segar.

Beragam jajanan yang biasa dijual kalangan UKM / Unsplash
Beragam jajanan yang biasa dijual kalangan UKM / Unsplash

Untuk UKM dengan modal pas-pasan, lantas bagaimana melakukannya? Yang patut dicatat, untuk melakukan transformasi tidak melulu harus mengeluarkan biaya mahal untuk belanja infrastruktur dan/atau layanan aplikasi. Mulailah dari yang paling berdampak bagi bisnis. Ambil contoh untuk warung makan, bisa dimulai dengan mendaftarkan bisnisnya dan menu-menunya ke aplikasi seperti GrabFood, GoFood atau Traveloka Eats. Untuk bisnis lain, misalnya yang diproduksi UKM di Blitar di atas, mulai manfaatkan media sosial dan online marketplace untuk menaruh katalog produk.

Lantas apakah cukup sampai di situ? Tentu tidak. Transformasi digital membutuhkan komitmen dan keuletan. Sederhananya, online adalah sebuah pasar, di sana banyak pedagang lain yang menjajakan varian produk serupa. Sama seperti di pasar tradisional, yang perlu dilakukan pedagang adalah menawarkan produknya kepada orang yang lewat. Di online, orang bisa menawarkan melalui media sosial, menggunakan promo diskon, manfaatkan iklan berbayar dan lain sebagainya.

Yang paling menantang dari transformasi

Dengan demikian, ada empat hal yang idealnya akan didapatkan bisnis, setidaknya sebagai ukuran umum dari hasil transformasi. Yakni memastikan bisnis tetap kompetitif, menghadirkan efisiensi dalam proses bisnis, meningkatkan kepuasan pelanggan dan memudahkan pebisnis untuk mengambil  berbagai keputusan strategis.

Menurut Head of Enterprise Market KPMG Singapura Jonathan Ho, ada tiga tantangan yang paling sering dikeluhkan pelaku UKM dalam mengadopsi digital. Pertama terkait pemahaman urgensi transformasi digital itu sendiri. Transformasi digital di satu sisi bukan hanya tentang teknologi, tapi lebih tentang bagaimana bisnis bisa bersaing secara lebih intensif dalam perkembangan yang ada saat ini. Pebisnis sering membuat persepsi bahwa digitalisasi adalah soal biaya operasional yang bertambah, padahal jika diaplikasikan justru sebaliknya, teknologi menekan biaya di banyak aspek.

Kedua adalah minimnya pengetahuan mengenai keterampilan digital yang relevan dengan bisnis. Faktanya tidak semua bisnis membutuhkan situs web, beberapa hanya perlu melakukan promosi melalui kanal yang sesuai. Pemahaman yang kurang sering kali membuat keputusan transformasi digital yang diambil kurang sesuai dengan kebutuhan bisnis itu sendiri. Selai membuang-buang waktu, mungkin banyak investasi yang dikucurkan pada akhirnya akan menjadi sia-sia. Kadang yang dibutuhkan hanya mulai menjual secara gratis melalui platform marketplace saja.

Dan yang ketiga, pebisnis kadang merasa “insecure” dengan dunia digital. Misalnya mereka takut apakah nantinya pembayaran akan ditunaikan dengan mulus – misalnya beberapa marketplace menahan pembayaran sampai produk benar-benar di tangan atau memaksa pebisnis menggunakan layanan e-wallet yang terintegrasi. Atau kekhawatiran lain, misalnya takut ide produknya direplikasi orang lain karena banyak dipublikasikan di media sosial. Memang, seluruh kemungkinan buruk itu bisa saja terjadi, namun skeptisme berlebih kadang justru membuat bisnis tidak ke mana-mana, tidak mau bertransformasi.

Sehingga poin penting yang tak boleh luput dari upaya melakukan transformasi, membetulkan pola pikir pebisnisnya itu sendiri. Selain itu, momen “musibah” pandemi Covid-19 kini menjadi pelajaran penting. Bahwa transformasi digital di masa sekarang adalah kebutuhan.

“New Economy”, Permata Tersembunyi di Gempita Bisnis Teknologi

Belum lama ini, kami berbincang dengan Fabian Budi Seputro selaku pemilik Sate Ratu di Yogyakarta. Ada yang unik dari bisnis kulinernya, selain sajian sate dengan bumbu spesial, mereka mencatat ratusan kunjungan pelanggan dari luar negeri setiap bulannya. Sekurangnya kedai tersebut sudah dikunjungi wisatawan asing dari 83 negara. Bukan datang begitu saja, empunya merancang strategi khusus untuk memperkenalkan bisnisnya ke tamu internasional.

Konsep pemasaran digital dijalankan secara konsisten oleh Budi, sehingga menguatkan “online presence”. Ia memanfaatkan situs ulasan pariwisata seperti Tripadvisor untuk menginformasikan sajiannya kepada para turis yang berencana mengunjungi Yogyakarta. Juga memanfaatkan layanan iklan berbayar untuk menargetkan suguhan konten promosi yang dibuat kepada calon pelanggan potensial.

Merek sepatu Brodo mungkin tidak asing bagi generasi muda yang gemar mainkan media sosial di tengah gempuran produk sneakers global. Manfaatkan kanal e-commerce dan media sosial, bisnis yang berdiri sejak tahun 2010 tersebut terapkan model bisnis yang berbeda dengan produsen sepatu pada umumnya, yakni menjual langsung ke konsumen (direct-to-consumer), alih-alih melalui ritel distribusi. Dampaknya tentu pada harga jual yang lebih rendah, karena memotong rantai pasok, sehingga bisa fokus pada kualitas produk.

Produk kasur premium yang dijajakan Mimpi melalui kanal online / Mimpi
Produk kasur premium yang dijajakan Mimpi melalui kanal online / Mimpi

Cerita bisnis lainnya, Mimpi. Sebuah produsen kasur premium dengan bahan-bahan yang memungkinkan untuk dikemas sangat ringkas, bahkan untuk dibawa oleh kurir yang menggunakan sepeda motor. Mantap dengan inovasi pengemasan, mereka luncurkan situs jual-belinya sendiri dan hanya melayani penjualan secara online. Memotong rantai penjualan, pihak Mimpi mengklaim dapat memberikan efisiensi harga hingga 1/3 dari produk dengan kualitas yang sama di toko.

Pemberdayaan alat-alat digital dalam aspek spesifik pada bisnis di atas yang kami sebut sebagai “new economy”. Tidak diaplikasikan dalam seluruh proses bisnis, hanya tertentu saja, namun memiliki dampak signifikan-–bahkan menjadi ujung tombak—dalam mengakselerasi penjualan produk.

Sentuhan teknologi dalam takaran yang tepat

Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, per tahun 2018 ada sekitar 64 juta UMKM yang tersebar di berbagai penjuru Indonesia. Keberadaannya berhasil menyerap 116,9 juta tenaga kerja, atau setara 97% dari seluruh serapan tenaga kerja nasional. Angka tersebut diproyeksi akan terus meningkat, seiring terbukanya akses dan peluang untuk berbagai usaha baru, termasuk permodalan. Dari total unit yang ada, baru sekitar 8% yang sudah memanfaatkan platform digital untuk mengakselerasi bisnis.

Namun jika ditelusuri, 8% artinya ada sekitar 5,1 juta unit bisnis yang telah memanfaatkan layanan teknologi, dalam artian secara intensif mereka mendapatkan manfaat yang berarti melalui transaksi secara digital – mayoritas memang menggunakan untuk membantu pemasaran produk. Angka tersebut terus diupayakan meningkat, salah satunya melalui rangkai program “go-digital” yang diinisiasi pemerintah menggandeng perusahaan-perusahaan teknologi di Indonesia.

Jargon “transformasi digital” memang kadang terlihat klise, namun nyatanya teknologi tepat guna dapat menghadirkan keuntungan berlipat untuk pebisnis. Sayangnya menurut riset McKinsey, sejauh 70% dari bisnis yang melakukan transformasi mengalami kegagalan. Ada banyak cerita kegagalan yang disampaikan, tapi ada dua yang paling sering diutarakan. Pertama, pemimpin tidak punya tujuan yang jelas dari transformasi yang dilakukan. Yang kedua, kompetensi digital yang tidak mumpuni justru menghadirkan hambatan bisnis. Tampaknya tidak hanya terjadi pada bisnis berskala besar, pun demikian dengan UKM.

Cerita new economy adalah tentang mereka yang berhasil mengadopsi teknologi sesuai takaran. Teknologi diterapkan untuk benar-benar menunjang produktivitas, kendati beberapa malah menjadi “nyawa” dari bisnis itu sendiri. Itu juga cerita tentang kejelian pelaku UKM yang mampu melihat peluang emas yang mungkin tidak terpikirkan pebisnis lain. Seperti yang dilakukan Budi dengan strategi Sate Ratu; siapa sangka bisa menggaet tamu internasional di tengah opsi kuliner sate legendaris yang banyak dijajakan di Yogyakarta.

Mereka yang sudah bersiap mendukung new economy

Di Indonesia ada banyak startup digital yang sengaja mengembangkan produk untuk membantu UKM. Jenisnya sudah cukup banyak merata di semua aspek, mulai dari finansial, operasional, ekspasi hingga dukungan lainnya. Kendati banyak dari UKM yang juga manfaatkan platform luar seperti media sosial populer atau situs yang menjangkau pengguna global.

Pemetaan startup digital Indonesia yang fokus bantu UKM / DSResearch
Pemetaan startup digital Indonesia yang fokus membantu UKM / DSResearch

Peluangnya memang masih terbuka lebar untuk menjadikan UKM sebagai target pengguna. Mengingat produk-produk UKM sendiri juga mengakomodasi semua segmen masyarakat – baik umum maupun spesifik, dari usia batita hingga manula. Daya jangkauan konsumennya pun sangat luas, hingga pada segmen pengguna yang tidak terjamah layanan digital, misalnya dari area 3T.

Secara lebih spesifik, Sensus Ekonomi yang dilakukan BPS pada tahun 2016 berhasil memetakan bidang bisnis UKM di Indonesia. Saat ini bidang perdagangan masih menempati porsi yang paling dominan.

Senada dengan jenis startup digital yang coba hadirkan teknologi untuk UKM, sebagian besar inline untuk diaplikasikan dalam sektor perdagangan – membutuhkan kanal penjualan, logistik, pencatatan hingga pendanaan. Tak ayal para unicorn pun bergegas hadirkan program yang secara khusus untuk menggandeng UKM di bidang tersebut ke dalam bisnisnya, salah satunya melalui program kemitraan.

Persentase jenis usaha yang digeluti pelaku UKM menurut Sensus Ekonomi 2016 / BPS
Persentase jenis usaha yang digeluti pelaku UKM menurut Sensus Ekonomi 2016 / BPS

Strategi lain yang turut dilancarkan bisnis untuk menggandeng UKM salah satunya direpresentasikan dalam program Gojek Xcelerate. Dalam program akselerasi putaran ketiga, mayoritas diisi oleh UKM yang memproduksi produk dan memanfaatkan kanal digital untuk distribusi. Seperti Callista yang menjajakan produk kesehatan kulit, Pijak Bumi sebagai pesaing Brodo, Mayer Food yang coba digitalkan proses jual beli daging ayam, dan lain sebagainya.

Beberapa investor early-stage pun juga tampak bersiap menyambut meledaknya bisnis ini. Teranyar East Ventures pimpin pendanaan Greenly, startup non-teknologi yang menyajikan pilihan makanan dan minuman sehat. Berbasis di Surabaya, bisnis tersebut memang diinisiasi oleh ahli nutrisi. Untuk mendistribusikan produknya, mereka manfaatkan kanal digital, seperti aplikasi GoFood dan GrabFood — juga miliki ritel yang akan dioptimalkan dengan pendekatan online to offline.

Dengan porsi pelaku bisnis yang paling besar, selain penyerapan tenaga kerja, sektor UKM diharapkan dapat meningkatkan perekonomian secara nasional. Menurut Asosiasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah Indonesia (Akumindo), kontribusi UMKM terhadap produk domestik bruto (PDB) tahun 2019 mencapai 65% atau sekitar Rp2.394,5 triliun, tumbuh 5% dari tahun sebelumnya. Harapannya dengan makin meleknya pelaku UKM dengan teknologi, diharapkan bisa memacu perkembangan bisnis melalui ekspansi pasar dan inovasi produk yang makin terjangkau.