Penerapan Strategi “Product-led Growth” di Startup

Dalam menjalankan sebuah startup, penting bagi founder untuk bisa menentukan strategi yang tepat untuk bisa mengembangkan bisnis menjadi berkelanjutan. Ada bermacam-macam strategi pertumbuhan yang bisa dilakukan perusahaan baik dari sisi produk maupun sales.

Dalam kesempatan kali ini, #SelasaStartup ingin mengupas lebih dalam terkait product-led growth bersama tim produk dari tiga startup yaitu Amplitude, Vidio, dan Pluang.

Product-led growth atau strategi pertumbuhan yang bertumpu pada produk ini merupakan metodologi bisnis di mana akuisisi pengguna, ekspansi, konversi, dan retensi semuanya dikendalikan oleh produk itu sendiri. Hal ini menciptakan keselarasan seluruh perusahaan di seluruh tim—dari teknisi hingga tim penjualan dan pemasaran—di sekitar produk sebagai sumber terbesar pertumbuhan bisnis yang berkelanjutan dan terukur.

Tidak ada strategi satu-untuk-semua

Diskusi #SelasaStartup terkait product-led growth ini menghadirkan tiga startup yang memiliki segmen berbeda. Amplitude dengan produk SaaS platform analitiknya, Vidio yang menawarkan layanan video-on-demand, juga Pluang dengan produk investasinya. Ketiga produk ini hanyalah beberapa jenis dari sekian banyak produk yang ditawarkan di luar sana.

Dalam menerapkan product-led growth, VP of Product Pluang Robert Tan mengungkapkan fakta bahwa “there’s no one strategy that fits to all” atau tidak ada satu strategi yang akan cocok untuk semua segmen. Contohnya saja, ketika Pluang berusaha meningkatkan penetrasi dengan memungkinkan e-KYC lintas platform, hal ini tidak berlaku di layanan video karena bisnisnya tidak mengharuskan pengguna untuk melakukan KYC.

Robert turut menambahkan bahwa product-led growth bukan semata-mata tanggung jawab tim produk dalam suatu perusahaan. Growth atau pertumbuhan adalah tugas dari semua tim. Bagaimana semua tim bisa berkoordinasi dengan baik guna memaksimalkan value yang diterima pengguna. Maka dari itu, dibutuhkan waktu khusus untuk semua divisi berkumpul dan mengorkestrasikan strategi ini bersama sehingga tidak ada fungsi yang overlap.

Ketika cahaya melewati prisma, warna berbeda yang membentuk cahaya putih menjadi terpisah dan menciptakan efek pelangi. Sumber: productled.org

Prisma di atas dapat diibaratkan sebagai perusahaan yang bertumpu pada produk. Warna yang berbeda adalah semua tim yang berbeda—pemasaran, penjualan, CS, desain, teknisi—yang biasanya beroperasi pada panjang gelombang yang berbeda. Alih-alih memisahkan mereka, prisma yang dipimpin produk menyatukan tim-tim ini. Panjang gelombang gabungan mereka membentuk cahaya terang dan fokus terhadap pengalaman pengguna (user experience).

Penggunaan data

Terkait waktu yang tepat untuk memulai product-led growth, Enterprise Account Executive Amplitude SEA Karina Gunawan mengatakan, banyak startup yang merasa tidak siap jika belum mencapai tahap tertentu dalam bisnisnya. Namun, dalam dinamika industri teknologi saat ini, kita dituntut untuk bisa bergerak cepat. Tentunya, tetap dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang.

Untuk bisa bergerak lebih dinamis, tentunya tidak mudah dan penuh tantangan. Contohnya dari sisi data, tidak mudah untuk bisa memproses dan menganalisis semua data yang ada. Bahkan untuk mendapatkan data tersebut juga tidak mudah. Sugesti dari Karina adalah agar perusahaan rintisan bisa menentukan prioritas, apa yang menjadi goal, sehingga ketika berhadapan dengan data, mereka bisa lebih selektif. “Tidak perlu mendapatkan semua data, cukup yang relevan saja,” ujarnya.

Dari sisi data, ada banyak cara untuk mendapatkan data-data yang relevan, seperti terlibat langsung dengan pengguna, seperti melakukan survey atau wawancara. Pilihan lainnya, bisa dengan investasi di perusahaan data atau pihak ketiga untuk bisa mendapatkan data yang layak dan bisa digunakan untuk mendorong perkembangan perusahaan.

Menyederhanakan proses, memaksimalkan hasil

Chief Product Officer Vidio Dhiku Hadikusuma Wahab membagikan prinsipnya terkait penerapan product-led growth dalam perusahaan rintisan. Pertama, mulai dari masalah pengguna, masing-masing tim sebagai representasi pengalaman pengguna dan menuangkan inisiatif untuk ke depannya dimasukkan ke dalam roadmap. Kedua, fokus pada core feature, nilai seperti apa yang ingin diberikan. Vidio sebagai platform video-on-demand fokus pada player.

Yang ketiga adalah simplicity. Pastikan nilai-nilai yang ditawarkan dapat diterima dengan mudah oleh pengguna. Selain itu, dari sisi teknis, satu hal yang perlu diperhatikan yaitu reusability. Ketika mengembangkan sebuah produk, sebisa mungkin pastikan bahwa produk itu bisa di replikasi dan implementasi di hal lain, sehingga bisa mendorong efisiensi pekerjaan.

Pada akhirnya, semua strategi yang dilancarkan semata-mata bertujuan untuk bisa membawa pengguna kembali ke platform/layanan atau yang sering disebut customer retention. Bagaimana bisa mereplikasi pengalaman dari pengguna yang puas serta mengimplementasikannya pada pengguna yang belum puas. Aha moment is real, ketika pengguna dapat merasakan value yang ditawarkan, maka hal ini juga yang akan menentukan keberlanjutan bisnis perusahaan.

Laporan DSInnovate: Dampak Program Inkubator dan Akselerator untuk Ekosistem Startup Indonesia

Menurut data terbaru yang dirangkum laporan e-Conomy SEA 2021, ekonomi internet di Indonesia saat ini sudah mengumpulkan GMV mencapai $70 miliar atau setara 996,2 triliun Rupiah. Selain pangsa pasar yang memang besar, capaian tersebut tidak terlepas dari perkembangan pesat ekosistem startup digital. Dalam satu dekade terakhir, berbagai upaya dilakukan oleh stakeholder untuk memupuk potensi startup digital, termasuk melalui program inkubator dan akselerator.

Di Indonesia, beberapa program inkubator/akselerator berhasil menemani founder untuk membawa startupnya mencapai titik yang mengesankan. Beberapa lulusan program tersebut kini masuk ke daftar perusahaan bervaluasi besar, di atas $100 juta — tidak sedikit yang segera meraih gelar unicorn melalui putaran seri pendanaan selanjutnya. Salah satu program inkubator/akselerator unggulan di Indonesia adalah Indigo, yang diinisiasi oleh Telkom Group.

Indigo membuka batch awalnya pada tahun 2013, merangkul berbagai vertikal bisnis potensial, seperti agritech, big data, e-commerce, edtech, SaaS, dan lain-lain. Beberapa startup lulusannya termasuk Payfazz, Privy, Bahaso, dan puluhan lainnya. Program yang disuguhkan sangat intensif untuk memberikan pemahaman menyeluruh bagi founder mengenai bisnis digital. Dukungan materi seperti pendanaan awal (pre-seed) juga diberikan untuk membantu startup memvalidasi traksi awal layanan mereka.

Untuk memberikan gambaran mendetail mengenai dampak program inkubator/akselerator di ekosistem startup Indonesia, Indigo bekerja sama dengan DSInnovate meluncurkan laporan bertajuk “Indigo Impact Report 2021”. Di dalamnya membahas 5 topik besar, meliputi:

  • Industri digital di Indonesia
  • Ekosistem startup
  • Program inkubasi dan akselerasi
  • Dampak program inkubasi dan akselerasi terhadap startup
  • Dampak startup Indigo terhadap ekonomi digital

Dari riset dan survei yang dilakukan terdapat beberapa temuan menarik, misalnya 90,5% dari responden (founder startup yang pernah mengikuti program) memberikan persepsi bagus terhadap materi-materi yang disuguhkan dalam program inkubator/akselerator di Indonesia.  Sementara mentor yang paling disukai adalah founder senior (86,8%), pakar atau profesional (80,2%), dan pemodal ventura (79,2%). Selain itu, banyak aspek lain yang juga dibahas di dalam laporan tersebut, termasuk daftar program yang masih aktif, dampak startup setelah mengikuti program, dan lain-lain.

Selengkapnya, unduh laporan tersebut melalui tautan berikut ini: Indigo Impact Report 2021.


Disclosure: DSInnovate bekerja sama dengan Indigo untuk penyusunan laporan ini

Mengupas Serba-Serbi Model Bisnis pada Startup

Startup tak melulu bicara soal merealisasikan ide menjadi sebuah produk. Founder tentu perlu memikirkan bagaimana produk atau jasa dapat dijual ke pasar, berapa biaya yang dibutuhkan, atau bagaimana cara meraup pendapatan dan keuntungan.

Hal-hal barusan sebetulnya berkaitan erat dengan model bisnis. Tanpa itu, tidak mungkin startup dapat berkembang. Maka itu, founder perlu mencari model bisnis yang tepat sesuai dengan produk atau jasa yang mereka buat.

Dalam rangkaian program inkubasi DSLaunchpad 3.0 bersama AWS, sesi #SelasaStartup kali ini akan mengupas serba-serbi model bisnis bersama Co-founder dan General Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe. Simak rangkumannya berikut ini.

Menentukan model bisnis

Jefrey menilai, tidak ada formula yang mutlak tentang bagaimana menentukan model bisnis yang tepat. Idealnya, founder bisa saja membuat model bisnis untuk jangka pendek, menengah, atau panjang. Namun, berdasarkan pengalamannya menjadi entrepreneur, sulit rasanya untuk memikirkan dan merencanakan semua hal dalam jangka panjang.

Ada banyak hal tidak terduga yang terjadi di luar rencana. Untuk itu, ia menilai bahwa terkadang founder perlu menjalani dulu untuk tahu apakah cara ini tepat atau tidak.

Hal ini juga berlaku ketika Jefrey merintis venture capital melalui Alpha JWC Ventures. Kala itu industri dan ekosistem digital di Indonesia belum berkembang seperti sekarang. Ada banyak tanda tanya yang muncul ketika membangun bisnis.

“Sama seperti startup, kita tidak bisa menyontek model bisnis, bahkan dari luar negeri sekalipun, karena kita tidak tahu exactly what it is. Bagi saya, kita bisa saja membuat model bisnis jangka pendek, menengah atau panjang, tetapi seimbangkan dengan sedikit intuisi, fate, dan modal nekat,” ujarnya.

Di samping itu, founder harus yang sangat memahami tentang bisnis yang akan dijalankan dan pasar yang ingin dibidik. Dalam hal ini, VC punya peran untuk mendorong critical thinking si founder dalam mengeksekusi strategi bisnis.

“Yang dapat kami berikan sebagai saran, terutama bagi early stage, adalah memahami pasar, mau diajak brainstorming, hingga terbuka dengan kerja sama. Suksesor di Alpha JWC itu banyak, sebanyak 10% dari total portofolio kami tahun lalu menjadi unicorn. Bagi saya, suksesor itu yang terpenting punya cara berpikir yang kritis,” tambahnya.

Validasi model bisnis

Lalu, bagaimana cara memvalidasi model bisnis? Jefrey menyebut bahwa tidak ada metode pas untuk memvalidasi model bisnis. Semua itu bergantung dari kategori bisnis yang dijalani oleh founder. Ia menampik bahwa growth dan profitabilitas menjadi metrik wajib untuk memvalidasi suatu bisnis.

Ia menyotohkan ketiga portofolionya, yakni Ajaib, Lemonilo, dan Kopi Kenangan. Jika bicara growth, metrik ini mungkin bisa dipakai Ajaib dengan menggunakan jumlah unduhan aplikasi atau pengguna. Namun, metrik ini tidak berlaku bagi Kopi Kenangan mengingat startup coffee chain ini perlu mencari lokasi gerai terlebih dahulu untuk mencari transaksi.

“Sama juga dengan Lemonilo yang mungkin melihat aspek produksi [makanan]. Jadi, it’s never one size that fits all. Di sini, kami membantu founder untuk brainstorming dan [melakukan] critical thinking. Kira-kira apa playbook yang make sense [untuk bisnis mereka]? Apa saja yang bisa didorong? Ini tidak mudah,” ujarnya.

Jefrey juga menggarisbawahi pentingnya untuk menemukan pain point sebuah masalah dan mengeksekusinya dengan baik. Ia menilai, hal tersebut dapat menjadi tantangan terbesar, sekaligus berpotensi menjadi kesalahan apabila tidak dipahami benar oleh founder. Jangan sampai, kita berasumsi solusi yang dikembangkan ini diperlukan masyarakat, dapat menyelesaikan masalah mereka, dan orang mau membayar solusi yang kita buat.

Mencari investor hingga ekspansi tim

Selain model bisnis, Jefrey juga bicara soal faktor-faktor kunci lain terkait yang dapat relevan terhadap model bisnis. Ia kembali mencontohkan Kopi Kenangan yang menurutnya tetap bisa sukses tanpa keterlibatan Alpha JWC. Ia bahkan menyebut Kopi Kenangan sudah untung sebelum mendapat kucuran investasi dari Alpha JWC.

Jika tidak mencari pendanaan, ini menunjukkan cara berpikir perusahaan yang dapat grow dan profitable sendiri. Namun, untuk mencapai unicorn atau katakanlah 1.000 outlet, mungkin butuh tujuh tahun. Di sini, VC berperan untuk mengakselerasi setengah dari waktu yang mungkin ingin dicapai.

Pasalnya, pendanaan dari VC dapat membantu startup untuk memperkuat tim. “Key success factor dari startup adalah tim, dan cara terbaik untuk memakai pendanaan tersebut adalah menambah tim. Mereka lah yang akan membangun great product and marketing.” tambahnya.

Memberi impresi ke investor

Untuk mengimpresi investor, Jefrey memberikan catatan menarik sebagaimana ia lihat dari pengalamannya berjumpa dengan banyak entreprenuer selama ini. Jika bicara soal impresi dari pitch deck saja, ia pribadi akan melihat sejumlah aspek, mulai dari latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, apa saja yang telah ia kerjakan sebelumnya. Demikian pula pada problem yang ingin di-solve dan pasar yang diincar.

“Jika bicara impresi saat bertemu di 15 menit pertama, saya akan lihat apa visinya untuk tahu seberapa ambisius dia, apakah itu satu tahun saja atau lima tahun. Intinya, saya ingin tahu critical thinking mereka karena itu penting. Kalaupun tidak berlanjut ke tahap selanjutnya, saya tetap berikan feedback. Ini cara saya untuk memberikan respect karena mereka berani ambil risiko dan peduli dengan impact,” tuturnya.

Terkait latar belakang pendidikan, ia menilai bahwa hal tersebut menjadi salah satu indikator yang menentukan founder memiliki rasa tanggung jawab. Bisa saja ada founder yang punya latar belakang pendidikan biasa, tetapi meraup pendanaan besar. Begitu juga sebaliknya. Hal ini tidak menjadi patokan sepenuhnya.

Namun, ia menggarisbawahi bahwa rasa tanggung jawab ini dapat diterjemahkan sebagai upaya founder mengembangkan skala timnya. “Company pasti hire orang yang lebih pintar dari kita [founder]. Bagaimanapun juga, kita perlu bekerja sama dengan orang yang lebih pintar dari kita untuk bisa maju.”

Tips Menanamkan Budaya Inovasi yang Berpusat pada Pelanggan dalam Bisnis Startup

Seperti diketahui, inovasi menjadi salah satu yang menggerakkan bisnis startup. Dalam upaya menciptakan inovasi dalam sebuah organisasi, ada yang disebut dengan budaya inovasi atau culture innovation. Diambil dari beberapa sumber, dapat disimpulkan bahwa budaya inovasi ini merupakan lingkungan yang mendukung pemikiran kreatif untuk menghasilkan produk, layanan, atau proses baru atau lebih baik.

Dalam pembahasan lebih dalam mengenai budaya inovasi, DailySocial.id mengadakan webinar Super Mentor yang adalah bagian dari DSLaunchPad 3.0 bekerja sama dengan Amazon Web Service (AWS). Pada kesempatan kali ini, Jaspal Johl selaku Head of Marketing Amazon Web Service ASEAN memaparkan sejumlah insight terkait penerapan budaya inovasi dalam perusahaannya.

Berpusat pada pelanggan

Sebelum masuk ke urusan yang lebih teknis seperti penjualan atau penetrasi pasar, Amazon mengawali langkah inovasi dengan satu pertanyaan fundamental, “Bagaimana bisnis ini bisa meningkatkan taraf kehidupan pelanggan?”. Ketika perusahaan berhasil menciptakan produk terbaik, semua hal teknis akan mengikuti dengan sendirinya, seperti penetrasi pasar yang mendorong ekspansi, operasional yang efisien, berikut konversi pelanggan.

Sebuah kutipan dari Jeff Bezos mengatakan, “Ada banyak keuntungan dari pendekatan yang berpusat pada pelanggan, tetapi inilah keuntungan besarnya: Pelanggan selalu sangat senang, sangat tidak puas, bahkan ketika mereka mengaku senang dan bisnisnya bagus. Bahkan ketika mereka belum mengetahuinya, pelanggan menginginkan sesuatu yang lebih baik, dan keinginan untuk menyenangkan pelanggan akan mendorong Anda untuk menciptakan sesuatu dari sudut pandang mereka.”

Hal ini mengharuskan perusahaan untuk observasi semua data terkait tingkat kepuasan dan berusaha mengerti keinginan konsumen, bahkan sebelum mereka mengetahuinya. Maka dari itu, sebaiknya fokus pada apa yang dilakukan konsumen daripada apa yang dilakukan kompetitor.

Selama 27 tahun berdiri, Amazon dikenal sebagian besar karena bisnis e-commerce. Di luar itu, perusahaan juga memiliki layanan seperti solusi teknologi, produk elektronik, konten streaming, groceries, juga retail. Hingga saat ini, terdapat lebih dari 60 unit bisnis yang tersebar di berbagai belahan dunia.

Dalam mewujudkan budaya inovasi di tubuh perusahaan, ada 4 faktor kunci yang diterapkan oleh AWS, yaitu:

1. Kultur

Amazon memiliki satu landasan penting yang menjadi acuan dalam menjalankan budaya inovasi, yaitu Leadership Principles atau prinsip kepemimpinan. Dimulai dari membangun antusiasme terhadap pelanggan (customer obsession), melalui berbagai proses inovatif dan berakhir pada pencapaian hasil, menjadi karyawan terbaik.

Prinsip kepemimpinan inilah yang juga digunakan sebagai landasan rekrutmen. Prosedur ini dijalankan dengan sangat ketat, kandidat yang terpilih tidak hanya harus memenuhi standar, melainkan harus bisa menaikkan standar. Bahkan ketika sudah bergabung, kandidat masih akan dievaluasi oleh rekannya. Amazon percaya bahwa indikator sukses sebuah perusahaan adalah kesatuan budaya (kerja).

Terkait peran dalam pekerjaan, Jaspal mengungkapkan, “Kita merekrut orang-orang pintar bukan untuk memberi tahu apa yang harus mereka lakukan, melainkan mereka datang ke perusahaan membawa daftar apa saja yang ingin mereka lakukan. Keseimbangan akan ditemukan ketika masing-masing sudah memahami perannya.”

2. Mekanisme

Amazon sebagai perusahaan global memiliki banyak proses, salah satu yang terkenal adalah working backwards. Mekanisme ini merupakan perilaku yang dikaitkan dengan pemikiran inovatif. Dalam artian, mulai dari pain point pelanggan, di mana kita menciptakan ide untuk menyelesaikan masalah pelanggan bukan masalah dalam organisasi. Yang selama ini dilakukan perusahaan adalah membuat proses yang berinovasi dari sisi pelanggan.

Untuk menjalankan mekanisme ini, ada lima pertanyaan yang harus terjawab (1) Siapa pelanggannya?; (2) Apa masalah pelanggan atau kesempatan?; (3) Apakah keuntungan bagi pelanggan jelas?; (4) Bagaimana mengetahui kebutuhan atau keinginan pelanggan?; (5) Seperti apa pengalaman pelanggan yang disajikan?

Jawaban dari pertanyaan tersebut akan dihadirkan melalui 3 keluaran. Press Release, yang menyediakan segala informasi terkait produk untuk pelanggan. Perusahaan harus bisa membuat pelanggan mengerti apa yang ingin disajikan melalui produk ini. Lalu, FAQs yang berisi pertanyaan yang paling sering ditanyakan pelanggan, terkait harga, ekspansi. Sementara itu, secara paralel membangun Visuals untuk melihat dari sisi pengalaman pelanggan.

Mengapa pertanyaan dan jawaban ini menjadi penting? Karena ketika idenya baru di tahap press release, akan sangat mudah dan murah untuk diubah. Ceritanya akan berbeda ketika Anda telah menginvestasikan jutaan dolar dan menghabiskan waktu untuk riset dan pengembangan. Ketika itu, sudah terlambat untuk menyadari bahwa produk tidak sesuai dengan keinginan pelanggan atau berpikir untuk membuat produk yang lebih baik.

3. Arsitektur

Dari sisi teknologi, perusahaan mulai beralih ke microservices. “Kami memisahkan proses yang memiliki layanan satu tujuan. Karena ketika semua layanan menjadi satu kesatuan, hal itu dapat menghambat inovasi,” ujar Jaspal.

Dengan microservices, setiap tim bisa bergerak lebih leluasa dengan dinamikanya masing-masing. Di sisi lain, hal ini membuat anggota tim bisa bekerja lebih cepat, agile dan inovatif. Satu hal yang perlu digarisbawahi, Amazon tidak memulai perjalanan dengan memikirkan teknologi, melainkan pengalaman pengguna terlebih dahulu.

4. Organisasi

Sebagai startup, sama halnya dengan Amazon dulu, selalu ada perusahaan yang mau membayar lebih dan menawarkan lebih. Namun Jaspal menekankan bahwa yang penting adalah bagaimana bisa menarik builders, orang-orang kreatif yang suka mengeksekusi, ke perusahaan. Mereka berpikir jauh ke depan dari sisi pelanggan serta punya rasa memiliki terhadap produk atau layanan yang mereka jalankan.

Ada satu skema yang digunakan Amazon untuk meramu tim, yaitu two pizza teams. Dua loyang pizza adalah porsi yang pas untuk 6-8 orang. Menurut sudut pandang perusahaan, 6-8 orang adalah jumlah ideal dalam sebuah tim. Sebuah angka yang bisa memenuhi semua kebutuhan tanpa harus ada penyesuaian yang terlalu banyak atau pembagian sesi meeting. Hal ini memungkinkan desentralisasi tim serta otonomi yang akan mendorong percepatan dalam inovasi.

“Dalam upaya melakukan inovasi, sesungguhnya yang dilakukan adalah membuat sesuatu yang baru. Untuk memulai sesuatu yang baru kita harus berani mengambil risiko. Sekalipun sudah dilakukan dengan benar, hal baru akan tetap memiliki potensi risiko yang besar, salah satu yang bisa dilakukan untuk menekan hal itu adalah memastikan bahwa ide tersebut benar-benar matang,” ujar Jaspal

Dinamika menjadi kunci dalam berbisnis, ada banyak keputusan dan aksi yang reversible atau bisa diubah dan tidak membutuhkan studi mendalam. Namun, perusahaan mengedepankan pengambilan risiko yang diperhitungkan. Ketika skala perusahaan bertambah, hal itu akan mempengaruhi risk apetite-nya. “Hal ini yang membuat kami berhenti menua dalam organisasi untuk memberi ruang bagi inovasi,” tambahnya.

Memahami konsep kegagalan

Kutipan lain dari Jeff Bezos bercerita tentang, “Kegagalan dan penemuan adalah kembar yang tak terpisahkan. Untuk menciptakan Anda harus bereksperimen, dan jika Anda tahu sebelumnya bahwa itu akan berhasil, itu bukan eksperimen.”

Kegagalan bisa saja terjadi dalam proses menemukan sesuatu yang baru. Jika tidak ada yang baru, apakah hal tersebut bisa dibilang inovasi? Dalam kasus ini, skenario terbaik adalah sebagai fast followers. Selain itu, ini juga sebagai salah satu cara untuk menekan risiko dan mengetahui  sebuah produk/layanan dapat berjalan atau tidak.

Layaknya Amazon memiliki leadership principle, perusahaan harus memiliki landasan serta mengupayakan orang-orang yang selaras dengan hal tersebut. Ketika sudah menemukan apa yang menjadi mendasar dan esensial terhadap perkembangan perusahaan, maka budaya inovasi bisa mulai dijalankan terhadap semua karyawan dalam organisasi.

Strategi diferensiasi (Growth Flywheel)

Terdapat sebuah siklus yang juga disebut growth flywheel saat perusahaan mencoba menciptakan pengalaman pelanggan terbaik. Ketika berhasil menyajikan pengalaman pengguna yang baik, semakin banyak pengguna yang datang, traffic semakin tinggi, lalu angka penjualan akan naik, dan menarik semakin banyak penjual yang akan menambah seleksi barang. Siklus ini akan kembali lagi dan menciptakan pengalaman pengguna yang terbaik.

Di Amazon, perusahaan mengambil skala ekonomi dengan menurunkan struktur biaya, lalu memperbanyak seleksi produk untuk menciptakan pengalaman pengguna yang semakin baik. Hal ini bisa diimplementasikan oleh perusahaan lain dengan menentukan seperti apa growth flywheel dalam organisasi mereka. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan sentralitas pelanggan serta inovasi dan bisnis yang berkelanjutan

Dalam upaya penetrasi pasar, Amazon sebagai perusahaan global memiliki pendekatan yang sama, hanya saja eksekusinya berbeda. Kuncinya adalah observasi, lalu temukan pain points pelanggan, contohnya dengan mengajukan pertanyaan terkait kebutuhan mereka. Dalam memberikan layanan berbasis pelanggan, feedback merupakan salah satu hal yang paling esensial.

Bagaimana Startup Memvalidasi Produk Menurut Perspektif Nicko Widjaja

Validasi produk adalah langkah awal yang penting bagi startup dan tidak boleh terlewatkan sebelum melanjutkan ke tahapan berikutnya. Perjalanan untuk menemukan product-market fit sebenarnya tidak berhenti titik tertentu, melainkan terus berlanjut dan berkala sesuai dengan perkembangan dinamika pasar.

Tiap startup memang punya kisahnya masing-masing saat memvalidasi produknya. Berkat bertemu dengan banyak startup, investor juga punya perspektif yang menarik untuk dikulik lebih jauh soal ini. Untuk membahasnya lebih jauh, dalam sesi ini mengundang CEO BRI Ventures Nicko Widjaja sebagai super mentor webinar DSLaunchpad 3.0 x AWS.

Validasi produk bukan proses singkat

Nicko menjelaskan, validasi produk itu artinya ingin menyelesaikan masalah dengan solusi yang diciptakan dan dipakai oleh orang yang tidak dikenal dan mau untuk membayarnya. Untuk mencapai titik tersebut, butuh waktu yang tidak sebentar karena perlu iterasi terus menerus agar terus sejalan dengan kebutuhan konsumen.

Kesalahan terbesar yang sering ia lihat adalah ambisi startup yang terlalu besar, misalnya sebagai solusi satu atap untuk satu ekosistem. Ia menyarankan sebaiknya dimulai dari hal terkecil terlebih dulu, namun berangkat dari masalah yang nyata dan punya dampak sosial yang besar.

Salah satu contoh terdekatnya adalah bagaimana bisnis ride hailing bisa tumbuh dari awalnya ingin meningkatkan produktivitas pengemudi ojek dapat menerima banyak penumpang, hingga kini dapat menjadi kurir makanan, paket barang, dan sebagainya.

Impact ini baru terasa ketika validasi produk itu berjalan dan ini enggak satu step saja tapi multiple steps. Setelah use case pertama selesai, muncul validasi ide kedua. Setelah berhasil mengoptimalkan idle time pengemudi, muncul isu pembayaran yang memicu validasi produk soal wallet, ternyata banyak pengemudi yang enggak punya uang kembalian. Tapi saat itu use case-nya masih sangat sedikit, ini yang akhirnya perlu dibuktikan.”

Hal yang sama juga terjadi buat startup healthtech untuk produk telemedisnya. Sebelum pandemi, fitur tersebut memiliki use case yang sangat sedikit karena orang masih awam dengan fungsinya. Namun hal tersebut terbalik saat pandemi dan menjadi validasi terbaik untuk telemedis. Ia pun juga melihat bahwa keberhasilan validasi produk itu juga bergantung pada faktor timing, keberuntungan, dan series of events.

“Akhirnya saat ini telemedis berkembang pesat, enggak hanya di situ tapi juga industri pendukungnya. Ada juga insurance, fintech, dan edutech yang berkembang pesat saat ini. Efeknya dari validasi produk yang berhasil itu akan begitu besar dampaknya ke depan.”

Dia melanjutkan, “Sebenarnya yang saya lihat dari validasi produk itu adalah tahapan di mana semua asumsi kita di tes dan apabila kita berhasil membuktikan ini valid, apa yang bisa dilakukan setelah ini. Sebab, jarang sekali startup bangun sesuatu yang benar-benar di luar dari apa yang dia bangun dari core product-nya.”

Asumsi musuh terbesar founder

Menurut Nicko, asumsi adalah musuh terbesar bagi seorang founder. Sebab, validasi produk adalah moment of truth yang membuktikan bahwa asumsi yang dituangkan founder dalam deck dan dipresentasikan ke investor itu benar atau salah. Pasang asumsi terlalu tinggi pun tidak baik karena dapat berdampak buruk, paling parah startup bubar. Oleh karenanya, ketika asumsi salah, founder harus menerima kenyataan tersebut dan perlu bergerak cepat untuk mengubah strateginya.

“Jelas sekali metriknya bukan lihat jumlah apalagi masih di tahap awal. Sebab bicara jumlah itu baru bisa dilakukan ketika masuk Seri B karena membicarakan skalabilitas. Jadi yang penting jumlah tidak perlu tinggi, tapi convertion rate-nya yang tinggi. Karena kalau enggak ada convertion, berarti validasinya salah. Convertion itu rasio, bukan jumlah, ini yang sering orang lupa,” kata dia.

Dalam mengukur validasi produk banyak metrik yang bisa dipakai, namun menurut Nicko, jangan sampai metrik tersebut membuat founder jadi fanatik. Misalnya, founder ingin memakai indikator MAU, itu diperbolehkan asalkan juga memakai take rate, untuk melihat bottom line-nya seperti apa. Atau memakai indikator GTV yang modelnya seperti website traffic, itu tidak apa-apa kalau pengunjung lihat-lihat dulu. Tapi yang penting harus ada convertion rate. “Intinya jangan sampai metrik itu membohongi diri sendiri,” tutup Nicko.

Kiat SweetEscape dan SurveySensum Mempertahankan Laju Bisnis Selama Pandemi

Teknologi telah mengubah kebiasaan dan gaya hidup orang banyak. Bukan hanya membantu mereka memangkas waktu, namun juga memberikan pengalaman baru saat mengakses produk dan layanan secara online. Pandemi yang datang sejak tahun 2020 lalu juga telah mempercepat edukasi dan adopsi teknologi kepada orang banyak. Dan secara langsung telah memudahkan pekerjaan hingga proses belajar mengajar untuk semua.

Dalam sesi #SelasaStartup kali ini, dibahas pentingnya peranan teknologi untuk mendukung pertumbuhan startup, bersama Co-Founder & CEO SweetEscape David Soong dan Co-founder & Head of Product SurveySensum Tanuj Diwan.

Pandemi dan inovasi

Sebagai platform yang selama ini fokus kepada segmen B2C, SweetEscape, online marketplace jasa fotografer, memiliki layanan baru untuk bisnis dijuluki “Fotto”. Strategi ini dipilih dalam rangka menyelamatkan bisnis perusahaan yang terdampak pandemi Covid-19, permintaan industri perjalanan turun hingga 90%. Melalui lini baru ini, perusahaan mampu untuk tetap menjalankan bisnis, meskipun segmen utama mereka yaitu B2C terganggu karena adanya aturan pembatasan perjalanan.

Sebelumnya saat menawarkan layanan kepada segmen B2C, interaksi dengan pelanggan secara langsung tidak terlalu banyak terjadi. Kebanyakan pelanggan langsung menghubungi fotografer yang dipilih dalam platform. Namun saat pandemi dan dengan lini bisnis baru mereka yang menyasar B2B, interaksi dengan klien pun harus dilakukan secara langsung oleh tim SweetEscape.

Sementara itu bagi  SurveySensum yang selama ini fokus kepada segmen B2B, saat awal pandemi sempat mengalami kendala. Banyaknya pebisnis yang memangkas budget dan menunda proyek mereka, cukup menyulitkan bagi tim SurveySensum. Namun demikian saat ini ketika kondisi sudah semakin pulih, bisnis pun kembali menggunakan teknologi yang mereka miliki.

“Tujuan kita adalah memanfaatkan teknologi untuk memecahkan masalah dan memberikan solusi. Dimulai dengan feedback kita berharap klien bisa mengambil langkah selanjutnya berdasarkan survey dan feedback yang diterima,” kata Head of Product SurveySensum Tanuj Diwan.

Penerapan teknologi

Terkait dengan teknologi, platform seperti Sweet Escape mengklaim tidak terlalu banyak menerapkan teknologi yang rumit. Fungsi mereka sebagai platform pada dasarnya adalah memberikan kemudahan bagi pelanggan untuk melakukan pemilihan photographer yang sesuai, melakukan reservasi dan pembayaran.

Untuk mengelola semua percakapan dalam satu platform, SweetEscape juga mengembangkan sendiri chat message internal dan menghindari penggunaan platform chat app/messenger. Sebagai open marketplace, SweetEscape juga melakukan proses kurasi photographer terbaik yang bisa dimanfaatkan oleh pelanggan.

Sementara itu sebagai platform yang mengedepankan teknologi SurveySensum menerapkan teknologi artificial intelligence (AI) di dalam platform. Dengan demikian secara otomatis bisa dikategorikan pertanyaan atau feedback yang masuk dari pelanggan secara langsung. Hal ini tentunya memudahkan perusahaan untuk mengelola masukan tersebut.

Melalui teknologi, SurveySensum ingin membantu pendiri startup yang tidak terlalu mengerti teknologi dengan edukasi dan proses yang fleksibel dan tentunya mudah dipahami.

Serba-Serbi Menentukan Metrik pada Startup

Metrik menjadi sebuah standar bagi pelaku startup dalam mengukur pencapaian bisnisnya. Tentu saja, startup wajib memiliki metrik agar dapat memahami bisnis yang mereka jalankan dan menentukan strategi bisnis ke depan.

Dalam webinar bertajuk “Measurements & Metrics“, CEO GoPlay Edy Sulistyo berbagi perspektif dan pengalaman menariknya dalam menggeluti bisnis konten on-demand di Indonesia. Edy yang sudah lama berkarir di dunia media entertainment ini mengungkap serba-serbi metrik di dunia startup.

Selengkapnya, simak rangkuman menarik yang dipaparkan Edy pada rangkaian sesi program akselerator ActCelerate yang diselenggarakan oleh MCash, SiCepat, dan DailySocial.id ini.

Menentukan metrik

Metrik “Bintang Utara” atau acap disebut “North Star” banyak digunakan oleh pelaku startup sebagai patokan bagi perusahaan untuk mencapai target bisnisnya. Ibaratnya one single metric.

Setiap vertikal bisnis startup punya metrik berbeda, tidak ada satu pun yang sama. Misalnya, bisnis e-commerce bisa jadi berpatokan pada Money Transaction User (MTU) atau Daily Transaction User (DTU). 

Pada kategori bisnis lain, bisa juga metriknya mengacu pada Monthly Active User (MAU) dan Daily Active User (DAU), atau DAU to MAU ratio untuk mengukur stickiness setiap pengguna. Semua itu kembali lagi tergantung pada jenis produk, bisnis, maupun visi-misi yang ditentukan startup. 

Lalu, kapan waktu yang tepat untuk menentukan metrik? Tentu saja sejak awal membangun bisnis. Ini menjadi penting untuk mengetahui tujuan apa yang ingin dicapai. Jika ingin mencapai suatu target, caranya dapat diterjemahkan melalui metrik. 

Metrik yang dicari investor

Edy memetakan tiga kategori metrik besar yang diincar investor. Pertama, metrik berbasis transaksi. Investor melihat pentingnya metrik berbasis transaksi untuk melihat seberapa sustainable sebuah bisnis, apakah dapat menghasilkan pendapatan atau EBITDA positif. 

Kedua, ada investor yang menyukai metrik berbasis MTU dan DTU. Umumnya, metrik ini digunakan pada produk dengan model berlangganan (subscription). Dengan metrik ini, investor dapat mengetahui seberapa banyak pengguna yang menggunakan layanan per hari atau bulannya.

Ketiga, DAU to MAU ratio. Bagi investor, metrik ini sangat penting karena dapat menunjukkan kualitas sebuah produk. “Ini menjadi honest metric tetapi sebetulnya sulit dijalankan. Biasanya, metrik ini wajib bagi startup yang sudah masuk tahapan seri E ke atas,” paparnya.

Ambil contoh, DAU sebuah layanan media entertainment berada di angka Rp100 ribu. Artinya, setiap harinya pengguna menghabiskan Rp100 ribu untuk konten. Apabila dikalikan selama 30 hari, kita akan mengantongi 3 juta unique user. Biarpun kelihatannya banyak, bagi Edy ini tidak menunjukkan hasil yang bagus karena tidak ada stickiness pengguna.

“Kalau ingin mencapai, misalnya, DAU to MAU ratio 20%, kita harus membuat 87% pengguna kembali lagi untuk spend besoknya. No amount of money yang bisa mengorkestrasikan itu. [Untuk mencapai ini] kita harus purely punya product-market fit,” tambahnya. 

Memitigasi kegagalan metrik

Setiap orang/divisi di perusahaan harus saling onboard dengan apa yang mereka kerjakan dan capai. Edy menilai, terlalu banyak metrik yang ingin dikejar akan menyulitkan startup dalam mencapai visi dan misinya. Apalagi kalau masing-masing divisi mengejar metrik yang berbeda. 

“Harus ada satu metrik yang matter the most. Memang semua metrik itu penting, tetapi tidak mungkin semua harus dicapai seluruhnya. Di kasus kami, biasanya kami adakan daily stand-up untuk saling mengetahui metrik apa yang ingin dikejar. Kan kalau berbeda jadi ketahuan. Selama semua tahu apa yang sedang dilakukan, ini dapat memitigasi kemungkinan gagal [sebuah metrik],” jelas Edy.

Tapi, ada pula kasus startup mengganti metriknya. Misalnya, startup beralih ke metrik ads-based karena MTU dianggap sudah tidak relevan dengan bisnisnya. Kemudian, berganti lagi ke DAU. Dengan catatan, semua ini dapat berubah tergantung pertumbuhan perusahaan, tahapan, dan arah bisnisnya di masa depan.

Menarik investor dengan metrik

Eddy menilai, melakukan comparable business menjadi salah satu strategi penting ketika mencari investor. Tujuannya adalah mengetahui posisi bisnis kita di industri, apakah ada yang jauh lebih besar dari bisnis yang kita jalankan, dan apakah ada kompetitor yang sampai ke jalur IPO.

“Jika tujuannya sampai ke IPO, mencari informasi soal kompetitor bisa membantu kita untuk menentukan valuasi. Misalnya, kompetitor kita melantai ke bursa. Kalau valuasi kompetitor dinilai dari sepuluh kali price to earning ratio, di sini kita dapat memperkirakan pendapatan atau valuasi bisnis kita,” ucapnya. 

Tak harus mencari studi kasus di perusahaan yang IPO, pelaku startup juga bisa menilik ke perusahaan private. Pembandingnya dapat dilihat dari sejumlah metrik, seperti GMV atau jumlah klien mereka.

Tapi perlu diteliti juga. Apabila kontribusi klien mencapai 50%, ini dapat menjadi red flag karena apabila kliennya berhenti, perusahaan dapat berpotensi kehilangan 50% pendapatannya. Bisa jadi ini pertanda bahwa bisnisnya belum product-market fit.

Jangan merekayasa metrik

Menurut Edy, ada saja pelaku startup yang merekayasa metrik demi meningkatkan valuasi atau memperoleh pendanaan dari investor. Baginya, hal ini tidak patut ditiru karena akan berbalik ke startup itu sendiri.

“Jangan sampai kita sengaja membuat metrik bohongan. Ketika mereka berhasil mengantongi valuasi dan pendanaan dengan nilai lebih besar, di sini your nightmare starts. Mendapat pendanaan bukan berarti selesai, justru semakin besar money yang diperoleh, semakin besar pula bebannya. Apalagi kalau raise money dengan valuasi di inflated number,” ungkapnya.

Edy mengatakan, startup punya runway terbatas dari pendanaan yang diterima sehingga kemungkinan besar mereka harus cari pendanaan baru lagi mengingat investor tidak suka dengan pertumbuhan bisnis yang lambat. Dari sini, masalah akan mulai muncul karena startup mau tak mau harus kembali merekayasa metriknya demi mencapai metrik yang lebih besar. Dengan kata lain, metrik bohongan ini tidak akan pernah ada habisnya.

Tantangan Membangun Komunitas dalam “Social Commerce”

Komunitas menjadi sebuah elemen penting dalam membangun dan menjalankan bisnis. Layaknya supporting system, sebuah komunitas merupakan tempat untuk orang-orang dengan pemikiran yang sama berkumpul dan menjalin relasi.

Dalam dunia bisnis, utamanya online, komunitas dapat memberikan pengaruh besar karena bisa menambah koneksi, berbagi wawasan, meningkatkan kepercayaan diri dalam berbisnis, dan tentunya memperluas jangkauan pasar. Hal ini berlaku pada berbagai jenis layanan atau bisnis, tidak terkecuali social commerce.

Sebagai layanan yang mengandalkan interaksi sosial untuk menjangkau pasar, tentunya komunitas menjadi salah satu ujung tombak bisnis social commerce. Hal ini turut diamini oleh Co-Founder & COO Meyer Food Athalia Permatasari dan Co-Founder Evermos Ilham Taufiq yang mengisi sesi diskusi #SelasaStartup di hari Selasa (24/8) lalu.

Dalam diskusi ini, para Co-Founder berbagi pengalaman mengenai peran komunitas dalam keberlangsungan bisnisnya. Selain itu, mereka juga turut mengungkapkan betapa pandemi memiliki efek samping yang luar biasa terhadap para partner/agen maupun perusahaan. Berikut beberapa poin yang dapat diambil dari acara #SelasaStartup yang bekerja sama dengan Endeavor Indonesia dengan topik Scale up 101: Building the Community.

Sesi #SelasaStartup bersama Meyer Food, Evermos, dan Endeavor

Menumbuhkan rasa percaya dan dampak positif

Bertahun-tahun telah berlalu sejak e-commerce berkembang di seluruh Indonesia, tetapi masih ada saja masyarakat yang masih belum mau berbelanja menggunakan platform daring. Mereka lebih memilih untuk datang ke tempat dan menilai secara langsung produk-produk yang ingin mereka beli. Ada beberapa alasan, salah satunya adalah rasa tidak percaya.

Ilham mengaku bahwa salah satu alasan Evermos dibentuk adalah untuk menjangkau konsumen yang masih enggan berbelanja disebabkan kurangnya rasa percaya terhadap platform-platform online. Lalu mereka mencoba masuk ke pasar yang lebih konvensional dengan perpanjangan tangan reseller. Dengan begitu, rasa percaya akan mulai tumbuh seiring konsumen menikmati pengalaman berbelanja yang lebih modern.

Sedikit berbeda dengan layanan Meyer Food yang dilatarbelakangi oleh keluarga salah satu Co-Founder Renny Lim yang merupakan pemilik bisnis supplier daging ayam. Perusahaan memiliki jajaran Co-Founder para wanita, salah satu misi mereka adalah untuk memberdayakan ibu rumah tangga yang juga punya keinginan untuk mandiri secara finansial agar bisa memanfaatkan waktu luang untuk menjadi reseller daging ayam.

Co-Founder & COO Meyer Food Athalia Permatasari turut mengungkapkan,”Kita percaya wanita bisa jadi penopang ekonomi di masa yang akan datang. Jadi, kita fokus untuk menciptakan cerita sukses yang lain, bukan semata-mata mendapat penghasilan. Kami ingin platform ini benar-benar bisa berdampak bagi orang banyak.”

Athalia juga mengungkapkan, “Selama dua tahun terakhir, hal yang sangat rewarding bagi Meyer Food adalah ketika bisnis yang dijalankan ibu rumah tangga yang pada awalnya tidak disetujui suami, bisa memberi hasil yang luar biasa hingga akhirnya meraih pendapatan berkali lipat lalu ikut didukung oleh suaminya.”

Evermos sebagai social commerce yang fokus pada nilai-nilai syariah turut mengungkapkan strateginya untuk bisa menjadi bisnis yang berdampak dengan 2R, yaitu Rupiah dan Ruhiyah. Ilham mengaku bahwa ia tidak hanya fokus dengan hal-hal pragmatis, namun ingin lebih serius untuk bisa mencapai inklusivitas. “Kalau sekedar aspek uang, kita semua tau dunia startup seperti apa,” tambahnya.

Menemukan rekanan yang memiliki integritas

Dalam sebuah komunitas, meskipun memiliki satu kesamaan, tentunya ada berbagai macam karakter individu. Ada yang benar-benar sepenuh hati ingin berperan membangun komunitas, ada yang hanya ikut-ikutan atau berpartisipasi hanya jika ada waktu luang. Tidak ada yang salah, namun ketika masuk ke ranah bisnis, hal ini menjadi tantangan tersendiri.

Dalam menjalankan bisnisnya, Meyer Food menerapkan kemitraan dengan sistem sharing profit untuk setiap item yang dijual. Sebagai partner/mitra bertanggung jawab sebagai distribution point serta menerima pembayaran COD. Tantangan muncul ketika ada partner yang tidak bisa mengelola pengeluaran dengan baik sehingga uang hasil penjualan terpakai untuk hal-hal lain.

Belajar dari pengalaman, Meyer Food kemudian memperketat proses kurasi bagi para mitra. Athalia mengungkapkan bahwa timnya ingin memiliki partner yang bukan hanya sekadar mau berjualan tetapi juga memiliki integritas serta komitmen jangka panjang dalam menjalani bisnis. Saat ini, layanan telah memfasilitasi sebanyak 100 mitra di area Jabodetabek. Mungkin bukan angka yang besar namun timnya memastikan bahwa mereka adalah mitra yang berkualitas.

Sementara di Evermos, pada awalnya layanan yang ditawarkan sepenuhnya gratis. Namun setelah beberapa lama, akhirnya mereka menerapkan proses kurasi dengan metode berbayar untuk melihat keseriusan mitra untuk berjualan. Namun selama pandemi, dua opsi ini tersedia agar tidak mempersulit mitra untuk berjualan.

Ketika membangun sebuah komunitas, sering kali kita memulai dari inner circle atau lingkungan terdekat. Di Meyer Food, pelanggan pertama mereka adalah salah seorang tetangga dari Athalia. Timnya mengaku ada banyak sekali pertimbangan dan kekhawatiran untuk bisnis ini bisa berjalan. Namun, seiring berjalannya waktu dan berkembangnya komunitas, maka satu per satu tantangan bisa dihadapi.

Mempertahankan keterikatan yang kuat

Jalannya sebuah komunitas juga bergantung dengan komunikasi serta interaksi yang baik antar sesama anggotanya. Ketika pandemi Covid-19 melanda, ada banyak pembatasan sosial yang terjadi di masyarakat. Hal ini sedikit banyak berpengaruh dengan keberlangsungan komunitas, dan juga bisnis.

Ketika sebuah bisnis telah memiliki engagement atau keterikatan yang kuat ke sebuah komunitas, maka komunitas tersebut bisa menjadi sumber umpan balik yang terpercaya. Evermos, sebagai social commerce mengaku sering terjun ke lapangan serta berinteraksi secara langsung untuk membangun keterikatan yang kuat dengan para reseller.

Menurut Ilham, banyak partner yang sedang terdampak dari sisi psikologi. “Dalam hal engagement kita harus bisa mengerti kebutuhan partner, termasuk menjadi tempat curhat mereka. Di situ kita belajar lagi untuk bisa jadi pendengar yang lebih baik dan mencoba mengerti kondisi partner. Ada baiknya untuk mendahulukan empati. Ini menjadi salah satu poin penting bagaimana membuat mereka nyaman dan loyal,” tambahnya.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Mempelajari Aspek Legal dan Hukum dalam Bisnis Startup

Persoalan hukum masih belum banyak yang dipahami oleh startup baru. Minimnya informasi dan wawasan tentang berbagai aspek legal, kerap menyulitkan startup untuk melangkah lebih jauh.

Untuk mengetahui lebih jauh hal-hal mendasar seputar legalitas dan aspek hukum lainnya, program inkubator DSLaunchpad ULTRA menghadirkan Founder & CEO Kontrak Hukum Rieke Caroline.

Tentang founders agreement

Bukan hanya startup di Indonesia, pemahaman soal founders agreement atau perjanjian antarpendiri startup juga telah diterapkan oleh startup secara global. Ini penting untuk dibuat, agar nantinya ada perjanjian hukum yang akurat terkait dengan hal-hal yang mendukung tumbuhnya bisnis. Mulai dari kepemilikan HKI, aktivitas usaha, modal usaha, setoran modal setiap pihak, pembagian profit, hak dan kewajiban para pihak, komitmen pendirian badan usaha, kerahasiaan, dan penyelesaian perselisihan.

“Jika saat dibangunnya startup pendiri belum menemukan partner yang tepat, penting untuk kemudian diperhatikan perjanjian antar pendiri ini saat nantinya telah ditemukan co-founder di startup. Pemahaman dan pembuatan perjanjian ini bisa membantu startup di masa mendatang,” kata Rieke.

Secara khusus perjanjian antara pendiri nantinya bisa membantu sesama pendiri untuk mendapatkan perlindungan hukum, mengamankan usaha, hak dan kewajiban antar pihak menjadi jelas, memperkecil skala risiko konflik dan tentunya meningkatkan kepercayaan.

Perlindungan merek

Persoalan hukum lainnya yang juga wajib untuk diperhatikan oleh startup saat membangun usaha adalah mendaftarkan merek atau brand startup mereka. Terdapat beragam kategori yang kemudian wajib untuk diperhatikan, mulai dari paten, merek, hak cipta, hingga desain industri. Untuk merek yang merupakan atas nama pribadi, kelompok atau perusahaan, pada umumnya bisa mendapatkan perlindungan selama 10 tahun. Artinya setiap 10 tahun, startup wajib untuk melakukan pendaftaran kembali.

Jika nantinya startup berencana untuk melakukan ekspansi ke luar negeri, pendaftaran merek tersebut juga harus didaftarkan di negara yang dituju. Terdapat beberapa bentuk brand yang wajib untuk didaftarkan, apakah itu dalam bentuk 3D, kata, merek itu sendiri, logo atau gambar, hologram, sampai suara.

Brand merupakan identitas yang sangat kuat dan menjadi ingatan seseorang. Dengan alasan itulah pentingnya membangun brand yang nantinya akan melekat di ingatan seseorang,” kata Rieke.

Selain mendaftarkan merek, penting bagi startup untuk mendaftarkan kelas barang. Dalam hal ini terkait dengan layanan atau jasa yang ditawarkan. Contohnya adalah platform seperti Gojek selain menawarkan aplikasi, mereka juga memiliki layanan jasa dan transportasi. Sementara platform seperti Kontrak Hukum selain memiliki aplikasi, mereka juga menawarkan jasa hukum.

Pemilihan PT atau CV

Meskipun keduanya memiliki sifat yang serupa, namun terdapat perbedaan antara CV dan PT. Dari sisi aturan dan kemudahan, CV lebih longgar dibandingkan. Pemilik CV bisa berkantor di mana saja bahkan di rumah, sementara untuk PT harus memiliki kantor di kawasan niaga atau perkantoran. Dari sisi modal dan pembagian harta usaha CV juga lebih fleksibel, namun untuk PT wajib untuk dipisahkan antara modal usaha dan modal pribadi untuk bisa menjalankan bisnis di bawah payung PT.

“Meskipun dimudahkan dari sisi aturan untuk CV namun terkait dengan investasi PT justru jauh lebih mudah dan tentunya menguntungkan. Dengan legalitas yang lengkap investor pada umumnya lebih memilih PT untuk berinvestasi dibandingkan dengan CV,” kata Rieke.

Untuk itu penting bagi startup menentukan dengan jelas tipe usaha yang ingin mereka bangun. Pada dasarnya semua proses tersebut wajib untuk diperhatikan untuk menjamin persoalan hukum akurat dan tentunya mengikuti peraturan yang ditetapkan untuk bisnis.

Pegawai startup

Hal menarik lainnya yang juga dibahas adalah persoalan dalam hal proses perekrutan pegawai di startup. Ada beberapa poin penting yang kemudian dibahas. Di antaranya adalah PKWTT (perjanjian kerja waktu tidak tertentu karyawan tetap probation 3 bulan), PWKT (perjanjian kerja waktu tertentu karyawan kontrak paling lama 2 tahun), NDA (non disclosure agreement/kerahasiaan), Non-Compete (anti persaingan), IP Ownership (kepemilikan HKI), dan ESOP (employee stock ownership plan).

Penting bagi startup untuk memahami dan menerapkan persoalan kepegawaian, agar terhindar dari konflik dan masalah di masa mendatang. Terutama bagi startup yang baru dirintis, sehingga ke depannya bisa menemukan formula yang tepat proses perekrutan pegawai, ketika waktunya bisnis mulai berkembang.

Perjalanan Wahyoo Memvalidasi Produk untuk Pengusaha Warung Makan

Validasi produk adalah langkah penting bagi startup tahap awal yang tidak boleh terlewatkan sebelum melanjutkan ke tahapan berikutnya. Perjalanan untuk menemukan product market fit sebenarnya tidak berhenti titik tertentu, melainkan terus berlanjut dan berkala sesuai dengan perkembangan dinamika pasar.

Tiap startup punya perjalanan masing-masing saat memvalidasi produknya, Wahyoo juga punya cerita sendiri terkait hal ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, Founder & CEO Wahyoo Peter Shearer akan berbagi pengalamannya saat memvalidasi produk di Wahyoo pada sesi rangkaian program inkubasi DSLaunchpad ULTRA.

Berawal dari startup periklanan untuk warung makan

Wahyoo awalnya berdiri karena keinginan Peter untuk merevitalisasi warung makan agar semakin enak dilihat sehingga dapat dipakai brand untuk beriklan secara offline. Segmen ini dilirik Peter tak lain karena ia punya pengalaman pernah bekerja untuk perusahaan agensi. Hingga 1,5 tahun sejak awal berdirinya Wahyoo, ia mengaku belum menerapkan teknologi apapun karena fokusnya saat itu yang berbeda jauh dengan perkembangan saat ini.

Setelahnya, tim Wahyoo banyak melakukan diskusi dengan pemilik warung makan apa saja yang sebenarnya mereka butuhkan adalah rantai pasok. Ketika isu ini diangkat, mereka langsung berupaya mengatasinya lewat bermitra dengan pihak ketiga, toh perusahaan belum memiliki tim teknologi sendiri. Alhasil, semuanya dilakukan secara outsource.

“Wahyoo agak unik karena kita bukan menyiapkan teknologi dari awal, makanya enggak ada MVP. Kita sempat kewalahan karena pakai outsource tidak full time, jadi setiap ada feedback dari konsumen prosesnya lamban. Situasi ini memaksa kita untuk jalan dulu yang penting order ke kita, sampai akhirnya operasional kita berantakan banget,” ujarnya.

Situasi tersebut akhirnya teratasi berkat akuisisi Wahyoo terhadap Alamat.com. Dari situ, Wahyoo kini memiliki tim teknologi dan produk yang dapat membuat laju Wahyoo lebih lancar sebagai startup teknologi.

Setelah isu rantai pasok teratasi, kebutuhan pemilik warung makan juga ikut bertambah. Mereka butuh tambahan penghasilan di luar dagangan makanannya, Wahyoo pun bermitra dengan brand F&B untuk memperluas channel penjualnya. Berikutnya, menambahkan fitur layanan finansial untuk membantu cashflow mereka saat mengembangkan usahanya.

“Berangkat selalu dari masalah dulu, apa yang mereka butuhkan. Lalu kita buat produk dan minta validasi dari mereka, pelajari responsnya. Kami juga ingin memastikan apakah ada impact dari setiap hal yang kami lakukan karena kami ingin warung makan ini bisa sejahtera, cost efficient, generate more revenue, dan menyelesaikan financial issue-nya.”

Selalu memerhatikan metrik

Peter menekankan validasi produk itu harus dilakukan karena bisa membantu menghemat pengeluaran, baik dari segi waktu dan uang. Sekaligus cara untuk mitigasi risiko startup tersebut tutup. Pasalnya, banyak teori yang menyebut dari 10 startup hanya satu yang berhasil, sisanya gagal, itu disebabkan oleh ketidakhadirannya product market fit.

“Kita pasti ingin produk kita keren, dicari banyak orang, bahkan ekstremnya apakah ada kemungkinan konsumen bisa demo kalau produk kita tidak ada. Kalau ada impian seperti itu, maka perlu lakukan validasi pasar.”

Untuk membantu validasi, Wahyoo menggunakan metrik retensi dan kontribusi margin. Peter menjelaskan untuk retensi, mengingat target pengguna Wahyoo itu cukup unik, maka perlu proses edukasi yang harus dilakukan agar mereka menjadi pengguna setia.

Dalam mempertahankan kedua metrik tersebut, Wahyoo mendesain aplikasinya dengan fitur-fitur pendukung, seperti daily check-in, tantangan, dan sebagainya untuk menumbuhkan rasa ketergantungan dengan Wahyoo. Perusahaan pun juga memerhatikan seberapa sering konsumen memesan produk lewat Wahyoo, mengingat model bisnis utama mereka adalah pemesanan produk untuk rantai pasok.

“Kita ingin mereka sesering mungkin buka aplikasi Wahyoo dan rajin belanja. Makanya kita buat fitur daily check-in, ada macam-macam tantangan juga, ini untuk make sure lewat fitur ini bisa tumbuh behaviour untuk pakai aplikasi kita terus.”

Kemitraan dengan brand juga diperbanyak, agar pemilik warung bisa menambah sumber pendapatan dari penjualan lainnya. Terlebih dalam di tengah pandemi ini, kebutuhan tersebut makin tinggi. Peter menyampaikan, omzet dari 100 mitra warung yang disurvei turun drastis antara 25%-75% semenjak PPKM diberlakukan. Dampak paling drastis dirasakan oleh warung makan yang berlokasi dekat perkantoran dan kampus.

“Kita terus memikirkan bagaimana dapur itu tetap ngebul, makanya sekarang ini penting punya online presence. Jadi pandemi itu bagi kita bagai blessing in disguise,” pungkasnya.