Alex Rusli in the Ecosystem: Startup Founder and Angel Investor

Alex Rusli is very familiar in ecosystem circles. One of the peaks of his career was when he served as CEO of Indosat Ooredoo (Indosat), one of the largest telecommunications services in Indonesia.

Now Alex Rusli is busy with his business and investments. DailySocial tries to find out what he is currently busy with as an entrepreneur, a commissioner in three companies, and an angel investor.

Enthusiasm for innovation

Alex first joined Indosat in January 2010 as an Independent Commissioner. Then he was appointed President Director and CEO two years later. Several digital products launched by Indosat under his leadership are Cipika, Cipika Play, Cipika Books, and Dompetku.

“Before serving as CEO at Indosat Ooredoo, my career at Indosat was quite long. Previously I also had experience working in government and other companies,” said Alex.

After leaving Indosat in 2017, Alex has been involved in various positions which are claimed to have spent more time working than when he was at Indosat.

“For me, activities as an entrepreneur, and especially starting a startup, provide its own adrenaline which is very interesting to follow. The structure of an irregular startup makes this process full of challenges but full of disruption,” said Alex.

Together with his former colleague at Indosat, Prashant Gokarn (former Chief Digital & Service Officer), Alex founded Digiasia Bios (Digiasia). The company, which targets fintech services, is the holding company for the e-wallet service KasPro, the P2P lending platform KreditPro, and remittance services with digital channels and the RemitPro offline network.

“Right now Digisasia is the biggest investment that I have made. Together with Prashant, we are starting to acquire several companies and their licenses and then we will refresh it into a new story,” said Alex.

All of his professional experiences are used by Alex to further understand fintech services, including regulatory compliance, in Indonesia.

Angel investor journey

Currently Alex has invested in around 11 companies. He does not hesitate to help develop the company’s business, provide consultation, and help them find the right solution for the company’s interests.

Alex claims to enjoy this new activity. Of the several investments made, only one, according to Alex, should be closed. The reason is because of the stubborn attitude and position of the startup founder.

“I have experienced several conditions when startup founders are very stubborn and reluctant to accept input or feedback from investors. As an angel investor, this is quite crucial and certainly disturbs the creation of a good relationship with the startup founder. angel investors, “said Alex.

In the future, Alex sees the dynamics and ecosystem of angel investors will increase in number. According to him, there are already many angel investors that exist in Indonesia, although their movements are not very visible. The concept of long-term investment is one of the attractions to become an angel investor.

“I who like things that are not standard and full of challenges are ideal [conditions] to enter the world of startups and entrepreneurship. But for those who like things that are organized and structured, it’s good to avoid getting into the world of startups,” said Alex.

The dynamics in operator business

Alex himself said that he did not close the opportunity to invest in the telecommunications sector which he has controlled for the last 7 years. However, at this time, he wanted to try to go outside and enter into new sectors and different innovations.

Regarding the challenges faced by telecommunication operators during the pandemic, even though it was a traffic harvest, Alex said, “I see this condition is quite difficult, because during the pandemic telecommunication operator companies could not raise prices. So even though traffic has increased, it is not accompanied by an increase in prices to customers. , “said Alex.

In fact, the telecommunication industry experienced an increase in revenue in the February-March period. However, income growth since March has continued to decline during the pandemic. The need for greater internet bandwidth makes their expectations quite high.

“I see that although fixed broadband services have experienced an increase in the number of new subscribers, from the connection side, there are still many who say that telecommunication operator connections are sometimes better than fixed broadband connections. This means that from the service side, it is still good for telecommunication operators,” said Alex.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Menimbang Kembali Rencana Investasi Telkom Group ke Gojek

Kabar masuknya Telkom Group ke jajaran investor Gojek makin kencang. Menurut penelusuran Majalah Tempo, Telkomsel yang akan maju memberikan investasi senilai $150 juta atau setara 2,25 triliun Rupiah. Konon prosesnya nyaris rampung. DailySocial sudah mencoba menghubungi Telkomsel untuk mengonfirmasi kabar tersebut, namun hingga tulisan ini diterbitkan belum mendapatkan respons. Di keterbukaan informasi di BEI, Telkom belum memberikan komentar atas pemberitaan media tentang rencana tersebut.

Rumor mengenai minat perusahaan telco pelat merah itu sebenarnya sudah mulai beredar sejak 2018 lalu. Kala itu kisaran nilai yang beredar mencapai dua kali lipat lebih, $400 juta, namun terhalang restu Menteri BUMN yang menjabat saat itu. Konon Menteri BUMN yang sekarang memberikan “lampu hijau”, karena memang sedari awal mendorong perseroan untuk melakukan transformasi memperkuat lini digitalnya.

Aksi korporasi ini layak diperhatikan, karena ada pertaruhan dana publik yang digunakan. Saham Telkomsel sendiri dimiliki oleh dua perusahaan, Telkom (65%) dan Singtel Mobile (35%).

Risiko tinggi

Di Indonesia, konglomerasi yang masuk di jajaran shareholder Gojek adalah Astra dan Djarum (lewat Blibli). Dengan status decacorn, nama Gojek memang terus menjadi buah bibir pebisnis di dunia. Namun layaknya startup yang lebih menekankan growth, strategi yang digencarkan perusahaan adalah dengan terus meningkatkan valuasi, hingga memiliki kekuatan lebih untuk mendominasi pasar.

Di beberapa kesempatan, sebelum pandemi, perwakilan Gojek sempat sesumbar mengenai strategi profit perusahaan melalui GoFood dan GoPay. Tahun 2019 disebutkan GoFood mencetak revenue $2 miliar, 50 juta transaksi per bulan, dan pertumbuhan naik 2,5 kali lipat. Sementara GoPay berkontribusi $6,3 miliar, meski pertumbuhannya tidak disebutkan.

Meskipun begitu, Bukan berarti dengan berinvestasi ke Gojek menjamin keuntungan. Dinamika pasar yang masih tinggi memiliki berbagai faktor yang bisa menggoyang bisnis.

Pertama, soal kompetisi pasar. Hingga saat ini lawan terberat Gojek adalah Grab. Keduanya berstatus decacorn dan menggarap ragam fitur dan pangsa pasar yang relatif sama.

Gojek juga memiliki banyak unit bisnis yang mulai bergerak secara mandiri, yaitu GoPay dan GoPlay. Di lanskap pembayaran digital, dari beberapa riset, Gopay bersaing ketat dengan aplikasi Ovo, Dana, hingga yang teranyar ShopeePay. Sementara GoPlay harus berhadapan dengan Netflix, iflix, Viu, dan masih banyak lainnya.

Faktor kedua, tentang validasi yang tak pernah berhenti. Kendati Gojek telah digunakan jutaan pengguna, tapi penyesuaian bisnis masih terus dilakukan.

Gojek bahkan berani menutup layanan yang dipayungi GoLife dan merumahkan 430 karyawan. Pandemi kali ini cenderung mengubah kebiasaan pengguna hingga tatanan pangsa pasar di ekosistem. Hal ini menyebabkan setiap pebisnis digital harus menata ulang strateginya.

Melihat dua isu ini, pendanaan Telkom Group untuk Gojek tampaknya akan fokus ke potensi kerja sama. Gojek akan mendapatkan benefit dari 172 juta pelanggan Telkomsel, termasuk di kalangan merchant, begitu pula sebaliknya.

Tidak mudah diterka sinergi seperti apa yang mungkin terjadi, karena core business kedua perusahaan sangat berbeda – juga secara kultur bisnis. Bahkan ada yang berkompetisi secara langsung, misalnya LinkAja dan GoPay.

Per Juni 2020, taksiran valuasi Gojek mencapai $12,5 miliar atau setara 184 triliun Rupiah. Jika Telkomsel jadi masuk dengan investasi $150 juta, besar kemungkinan perolehan sahamnya sekitar atau kurang dari 1%. Dengan persentase itu, jelas mengejar untung dari exit tidak bisa dijadikan target jangka pendek. Terlebih rencana Gojek untuk go public juga masih abu-abu. Kolaborasi menjadi pertimbangan yang diprioritaskan.

 

Telkom di ekosistem startup

Telkom sendiri belum memiliki sejarah yang bagus saat mengelola bisnis digital. Beberapa inovasinya sempat kandas. Yang terbaru platform hasil kolaborasinya dengan raksasa e-commerce eBay, Blanja, akhirnya ditutup karena sulit untuk bersaing di pasar.

Meskipun demikian, mereka bersemangat berbenah, termasuk merekrut Co-Founder Bukalapak Fajrin Rasyid untuk menempati posisi Direktur Bisnis Digital.

UU No. 19 2003 mengatur tentang Badan Usaha Milik Negara, disebutkan bahwa tujuan BUMN adalah untuk memberikan sumbangan bagi perekonomian nasional dengan mengejar keuntungan. Berbekal dari tujuan utama tersebut, timbang-menimbang untung-rugi aksi korporasi menjadi krusial.

Telkom dan Telkomsel lebih beruntung di sektor investasi, melalui MDI Ventures dan TMI. Prestasinya cukup apik, terbukti tahun lalu kami mencatat MDI berhasil melakukan 5 exit melalui M&A dan IPO. Paling banyak di antara pemodal ventura lokal lainnya di rentang waktu tersebut.

Telkom pun makin bersemangat suntikkan dananya, termasuk menggelontorkan dana $500 juta di tahun ini untuk diinvestasikan ke startup. MDI secara total mengelola dana $760 juta atau setara 11,6 triliun Rupiah, sementara TMI, unit ventura milik Telkomsel, mengelola $40 juta.

Kita tunggu bagaimana sinergi dengan Gojek, jika terwujud, bisa memberikan dampak positif bagi ekosistem digital Telkom Group.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Strategi ISP Mengatasi Layanan OTT “Rakus Bandwidth”

Kisah Telkom dan Netflix memasuki babak baru. Membuka blokir layanan setelah 4,5 tahun, kali ini akar permasalahannya adalah klaim biaya yang dikeluarkan ISP / operator untuk menyediakan pipa-pipa jaringan yang dianggap tidak sebanding dengan effort yang diberikan layanan OTT asing.

Telkom berharap ada kesepakatan bisnis lebih jauh dengan layanan OTT, agar mereka tidak hanya menjadi dump pipe layanan “rakus bandwidth“. Proposal dari Telkom untuk Netflix adalah terhubung dengan Content Delivery Service (CDN) milik Telkom yang dijalankan anak usahanya, Telin, yang bekerja sama dengan pemain CDN global Akamai.

Skema yang diharapkan muncul adalah kerja sama penawaran produk bersama, misalnya antara Telkomsel dan Disney Plus, atau pembayaran biaya akses premium agar konsumen OTT bisa menikmati bandwidth prioritas.

Netflix sendiri sudah membuat CDN sendiri yang dinamai Open Connect. Program ini memberikan peluang bagi mitra ISP meningkatkan pengalaman Netflix untuk pelanggan mereka dengan melokalkan trafik Netflix dan meminimalkan pengiriman trafik yang dilayani melalui penyedia transit.

Cara ini terbilang efisien karena biaya uplink WAN untuk memberikan pengalaman terbaik kepada pengguna sangat mahal. ISP akan melakukan peer dengan Netflix di lokasi IXP, tetapi untuk mempermudah proses, disediakan OCA (Open Connect Appliance) untuk hosting secara lokal.

Menurut laporan S&P Global, sesungguhnya Netflix termasuk di jajaran layanan OTT yang gencar melakukan kemitraan di berbagai negara Asia Pasifik. Di Singapura, Netflix memiliki paket bundling dengan StarHub dan Singtel. Di Sri Lanka, mereka bekerja sama dengan provider lokal Dialog. Sebelumnya India mereka menggaet kesepakatan dengan Atria Convergence Technologies dan ACT Fibernet.

Di Indonesia sendiri, meskipun menjadi salah satu layanan OTT terpopuler, gerak kemitraan Netflix tergolong lambat. Netflix hingga saat ini belum mengakomodir pembayaran selain kartu debit/kredit. Sementara dengan ISP, mereka pernah melakukan promo bersama XL dan XL Home.

Keluhan Telkom terhadap fenomena layanan rakus bandwidth atau bandwith hog sebenarnya tidak baru dan tidak unik. Menurut laporan “2019 Global Internet Phenomena Report” yang disusun perusahaan peralatan jaringan Sandvine, layanan streaming adalah penyumbang terbesar downstream traffic di seluruh dunia. Netflix dan YouTube dinobatkan sebagai kontributor terbesarnya.

Aplikasi streaming video memakan 60% dari total volume downstream traffic di internet. Netflix mengambil porsi 12,6% dari total volume downstream traffic di seluruh internet dan 11,44% dari semua traffic internet. Hal ini disusul Google sebesar 12% dari keseluruhan traffic internet, yang didorong YouTube, mesin pencari, dan ekosistem Android.

Di negara asalnya, Netflix termasuk salah satu penggagas netralitas jaringan (net-neutrality). Namun di perjalanannya, Netflix membayar biaya premium ke empat pemain ISP dan telekomunikasi terbesar di Amerika Serikat, yaitu Comcast, Time Warner Cable, Verizon, dan AT&T.

Pada Maret ini, Uni Eropa mendesak Netflix menurunkan kualitas video ke format standar untuk mengantisipasi potensi bandwidth overload. Sebagai gambaran, untuk streaming video selama satu jam dengan format standar di Netflix memakan kapasitas 1 GB, sementara format HD naik hingga 3 GB.

Seperti kebanyakan aplikasi streaming lainnya, Netflix menggunakan metode adaptive bit rate (ABR) sebagai standar pengaturannya. Setiap layanan streaming secara otomatis akan menyesuaikan berdasarkan koneksi internet pelanggan pada saat itu, demi memberikan pengalaman terbaik. Pelanggan juga dapat mengatur kualitas video secara manual ke level yang lebih rendah untuk menghemat bandwidth.

Sikap operator

Dalam diskusi virtual yang digelar Sobat Cyber Indonesia Official pada Jumat, (25/9), Direktur Wholesale & International Service Telkom Dian Rachmawan menganggap layanan OTT asing tidak pernah membayar ongkos infrastruktur, bahkan pada saat yang sama menghilangkan pendapatan utama operator, yaitu voice dan messaging.

Di sisi lain, Dian mengklaim regulasi saat ini asimetris. Operator jaringan diatur ketat, sementara pesaing digital tidak memiliki kewajiban regulasi apapun karena sifatnya yang sangat cair dan global.

“OTT menikmati keuntungan yang luar-biasa dalam hal bebas pajak di hampir semua negara, sementara operator tradisional harus membayar Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP), pajak, dan Universal Service Obligation (USO). Saat ini, mereka hanya dikenakan kewajiban memungut pajak PPN yang sebenarnya dibayar oleh pelanggan. Pemerintah belum bisa mendapatkan pajak penghasilan dari kegiatan bisnis di Indonesia,” paparnya.

Karena absennya regulasi layanan OTT, langkah percobaan yang dipilih Telkom untuk menerima keberadaan layanan OTT ada empat cara, yakni memblokir layanan OTT, bundling dengan layanan OTT (membuat paket data khusus), bermitra secara komersial dengan layanan OTT, dan mengembangkan layanan OTT sendiri.

Telkom memilih langkah blokir pada tahun 2016 terhadap Netlix dan mengombinasikan tiga cara lainnya terhadap layanan OTT asing.

Sumber: Unsplash
Sumber: Unsplash

Tiga operator lokal lain saat dihubungi DailySocial memiliki pandangan yang berbeda. Sinergi direct peering disebut menjadi kunci. Di dunia ISP, peering adalah proses dua jaringan internet yang terhubung dan bertukar trafik di IXP (International eXchange Point).

Ini memungkinkan mereka saling terhubung secara langsung untuk menyerahkan lalu lintas di antara pelanggan satu sama lain, tanpa harus membayar pihak ketiga untuk membawa lalu lintas tersebut ke jaringan internet mereka.

Tanpa IXP, menyeberang dari satu jaringan ke jaringan lain akan bergantung pada penyedia transit yang seringkali memiliki dampak kinerja negatif. Dengan IXP, suatu jaringan dapat melakukan peer dengan beberapa jaringan lain melalui satu koneksi dan dapat memberikan trafik tanpa masuknya penyedia transit.

ISP yang terhubung dengan IXP biasanya membuat perjanjian peering dan membayar sebagian dari pemeliharaan infrastruktur fisik di lokasi tersebut.

Indosat Ooredoo, misalnya, menyatakan layanan OTT merupakan salah satu layanan yang diakses pelanggan dengan menggunakan fasilitas internet. Oleh karena itu, perusahaan sudah memiliki kerja sama komersial dengan hampir semua layanan OTT besar yang beroperasi di Indonesia. Tujuannya untuk menjaga agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan baik itu dari sisi pelanggan, operator, maupun penyedia layanan OTT sendiri.

“Tentunya sudah menjadi kewajiban kami sebagai penyedia jasa telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan digital pelanggan dengan berbagai pilihan paket yang bisa dipilih sesuai kebutuhan masing-masing pelanggan,” terang SVP / Head of Corporate Communications Indosat Ooredoo Turina Farouk.

Direct peering dibutuhkan operator karena tujuannya memberikan layanan ke pelanggan yang lebih karena sifatnya yang langsung terhubung ke penyedia konten. Dengan demikian, latensi dan kendala ketidakpastian koneksi melalui “provider transit” dapat dihilangkan.

Dalam praktiknya, Indosat menerapkan direct peering dengan topologi di bawah ini.

Sumber: Indosat Ooredoo
Sumber: Indosat Ooredoo

Sementara itu, Terry Williams, VP Product & Marketing MyRepublic, menjelaskan, di satu sisi layanan OTT asing merupakan kontributor terbesar dari trafik internasional yang secara signifikan lebih mahal ongkosnya daripada trafik lokal.

Namun di sisi lain, OTT asing ini menjadi salah satu pendorong utama di balik akselerasi pertumbuhan bisnis ISP, terutama di masa-masa sulit ini. Solusi yang bisa dilakukan ISP adalah melakukan direct peering dengan pemain OTT dan menempatkan server-nya di seluruh Sumatera dan Jawa agar konsumen mendapat pengalaman streaming terbaik.

“Cara ini juga mampu menurunkan biaya bandwith internasional yang memungkinkan kami menawarkan internet berkecepatan tinggi yang benar-benar tidak terbatas [tanpa fair usage policy] di Indonesia,” kata Williams.

Hanya XL Axiata yang setuju terhadap pernyataan Telkom. Group Head Corporate Communication Tri Wahyuningsih (Ayu) mengatakan, asumsi tersebut bisa dibenarkan karena memang kondisinya saat ini banyak OTT yang belum memiliki infrastruktur lokal di Indonesia.

Alhasil, trafik akan langsung menggunakan bandwith internasional yang cukup besar. Menurutnya, ada dua kondisi yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Pertama, jumlah pelanggan OTT tersebut belum besar sehingga mereka belum merasa perlu untuk membuat infrastruktur di Indonesia.

“Dalam hal ini tentu saja akan ber-impact pada customer experience, apabila ISP tidak memiliki cukup bandwith maka experience pasti terganggu,” kata Ayu.

Kedua, layanan OTT besar yang biasanya melihat experience sebagai value terpenting pasti akan memikirkan untuk mulai membangun infrastruktur lokal untuk meningkatkan pengalaman konsumen.

Sama seperti Indosat dan MyRepublic, XL Axiata melakukan kesepakatan direct peering untuk mengurangi latensi di jaringan dengan memiliki akses langsung ke OTT bersangkutan. Beberapa layanan yang sudah terhubung adalah yang memiliki trafik tinggi, seperti Netflix, YouTube, dan Facebook.

“Secara topologi mudahnya adalah semua pelanggan XL akan memiliki hop routing yang lebih kecil apabila dibandingkan menggunakan open network.”

Ia juga membenarkan bahwa OTT perlu memberikan kontribusi yang lebih banyak, tidak hanya sekadar promosi pemasaran. Pasalnya, investasi membangun infrastruktur jaringan adalah sesuatu yang mahal, terutama di Indonesia yang wilayahnya luas dan terdiri dari banyak kepulauan.

Perusahaan selalu melakukan analisis trafik penggunaan OTT vs jumlah pelanggan untuk mendorong OTT memiliki infrastruktur lokal.

“Hal ini akan cukup membantu bagi kita untuk meningkatkan value dan customer experience. Selain itu, kita selalu mengharapkan OTT juga bisa berkontribusi. Tidak hanya dalam hal promosi marketing, tetapi juga memberikan fair sharing contribution.”

Dia mencontohkan, kontribusi dari sisi infrastruktur pendukung sebagai salah satu cara untuk melakukan balancing terhadap cost infrastruktur dan mengakuisisi pelanggan.

Belanja bandwith internasional mulai turun

Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Jamalul Izza mengatakan, saat ini pengakses internet melalui smartphone mencapai 171 juta orang, naik 317% dari 2015. Dari angka tersebut sebanyak 80% di antaranya adalah pengguna OTT. Di industri perangkat smartphone, banyak layanan OTT yang sudah tertanam sebagai pre-install dari pabrikan karena diyakini dapat memberikan daya saing di mata konsumen.

Layanan OTT mendorong pertumbuhan eksponensial untuk trafik jaringan. Sejak OTT mulai ramai lima tahun lalu, terjadi peningkatan jumlah trafik IIX (Internet Indonesia Internet eXchange) dari 30 Gbps di 2015 menjadi lebih dari 800 Gbps di tahun ini.

“Sekarang trafik lokal sudah naik karena banyak OTT asing yang menaruh CDN ke dalam negeri dan beberapa sudah terkoneksi dengan IIX. Keuntungannya buat kita belanja dollar akhirnya turun dan otomatis trafik internasional semakin menurun,” kata Jamalul.

Beberapa layanan OTT asing telah masuk dalam jaringan IIX, seperti Facebook, Alibaba, dan Akamai. Kondisi tersebut berdampak pada menurunnya defisit transaksi berjalan (current account deficit) karena kebutuhan akan mata uang dollar Amerika Serikat menurun untuk belanja bandwith internasional.

Rekomendasi APJII terhadap OTT asing
Rekomendasi APJII terhadap OTT asing

Masuknya Facebook ke dalam IIX sangat berdampak pada penurunan belanja bandwith internasional. Google dan Facebook adalah raksasa teknologi yang layanannya banyak digunakan di seluruh dunia.

IIX sendiri berfungsi untuk mempercepat akses internet lokal di daerah tersebut. Ia dilalui oleh lalu-lintas internet protocol, baik dari luar maupun domestik, untuk kemudian diarahkan ke pengguna internet, baik individu maupun organisasi.

Saat ini ada 14 IIX yang tersebar di Medan, Pekanbaru, Palembang, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Balikpapan, Sulawesi, Manado, Banten, dan pusatnya ada di Jakarta.

Jamalul melihat layanan OTT asing mulai menyadari bahwa Indonesia adalah pasar yang bagus buat mereka. Menempatkan server ke dalam negeri akan membawa dampak yang bagus saat berinternet. “Sekarang mereka [layanan OTT asing] yang mulai mendekati karena kalau taruh di luar pengalamannya akan jauh berbeda.”

Kenaikan trafik lokal adalah sesungguhnya yang paling dibutuhkan buat industri karena tidak perlu dipungkiri lagi peran layanan OTT asing cukup krusial dan memiliki trafik yang tinggi.

“Ini bentuk kontribusi OTT yang bisa diberikan ke teman-teman APJII yang bangun infrastruktur. Maka dari itu kita perlu regulasi yang jelas terhadap OTT asing yang ada bisnis di Indonesia.”

Tidak hanya menaruh server di dalam negeri, APJII menilai kondisi layanan OTT yang ideal itu mengandung empat unsur, yakni fair revenue distribution, menguntungkan semua pihak, level playing field yang sama, dan kedaulatan data karena data ada di Indonesia dan wajib tersambung dengan IIX.

“Mimpi asosiasi adalah bagaimana Indonesia bisa jadi internet hub di dunia. Sekarang kan ada di Singapura atau enggak Hong Kong. Untuk itu, sekarang yang kita kerjakan bagaimana meningkatkan trafik lokal agar jangan semua trafik lari ke luar,” tutupnya.

Kiprah Alex Rusli di Ekosistem: Pendiri Startup dan “Angel Investor”

Sosok Alex Rusli sangat familiar di kalangan ekosistem. Salah satu puncak kariernya adalah saat menjabat sebagai CEO Indosat Ooredoo (Indosat), salah satu layanan telekomunikasi terbesar di Indonesia.

Kini Alex Rusli sibuk dengan bisnis dan investasinya. DailySocial mencoba mencari tahu kesibukan dirinya saat ini sebagai seorang pengusaha, komisaris di tiga perusahaan, dan seorang angel investor.

Antusias dengan inovasi

Alex pertama kali bergabung dengan Indosat pada Januari 2010 sebagai Komisaris Independen. Lalu ia ditunjuk menjadi Direktur Utama dan CEO dua tahun kemudian. Beberapa produk digital yang diluncurkan Indosat di bawah kepemimpinannya adalah Cipika, Cipika Play, Cipika Books, dan Dompetku.

“Sebelum menjabat sebagai CEO di Indosat Ooredoo, karier saya di Indosat sudah cukup panjang. Sebelumnya saya juga telah memiliki pengalaman bekerja di pemerintahan dan perusahaan lainnya,” kata Alex.

Pasca meninggalkan Indosat tahun 2017, Alex terjun di berbagai posisi yang diklaim menghabiskan waktu bekerja lebih banyak dibandingkan saat dirinya masih di Indosat.

“Buat saya, kegiatan sebagai seorang entrepreneur, dan khususnya mendirikan startup, memberikan adrenalin tersendiri yang sangat menarik untuk diikuti. Struktur startup yang tidak teratur menjadikan proses ini penuh tantangan namun sarat dengan disruption,” kata Alex.

Bersama dengan rekan kerja saat di Indosat dulu, Prashant Gokarn (mantan Chief Digital & Service Officer), Alex mendirikan Digiasia Bios (Digiasia). Perusahaan yang menyasar layanan fintech ini menjadi holding company layanan e-wallet KasPro, platform P2P lending KreditPro, dan layanan remitansi dengan channel digital dan jaringan offline RemitPro.

“Saat ini Digisasia merupakan investasi terbesar yang saya berikan. Bersama dengan Prashant, kita mulai melakukan akuisisi beberapa perusahaan dan lisensi mereka untuk kemudian kami segarkan kembali menjadi cerita yang baru,” kata Alex.

Semua pengalaman profesionalnya dimanfaatkan Alex untuk memahami lebih jauh layanan fintech, termasuk soal ketaatan regulasi, di Indonesia.

Suka duka menjadi angel investor

Saat ini Alex telah berinvestasi ke sekitar 11 perusahaan. Dirinya tidak segan membantu mengembangkan bisnis perusahaan, memberikan konsultasi, dan membantu mereka mencari solusi yang tepat untuk kepentingan perusahaan.

Kesibukan barunya ini diklaim dinikmati Alex. Dari beberapa investasi yang diberikan, hanya satu yang menurut Alex harus tutup. Alasannya karena sikap dan posisi pendiri startup yang keras kepala.

“Saya telah mengalami beberapa kondisi saat pendiri startup sangat keras kepala dan enggan untuk menerima masukan atau feedback dari investor. Sebagai angel investor, hal ini cukup krusial dan tentunya mengganggu terciptanya hubungan yang baik dengan pendiri startup tersebut. Hal tersebut menurut saya yang menjadi duka seorang angel investor,” kata Alex.

Ke depannya, Alex melihat dinamika dan ekosistem angel investor akan meningkat jumlahnya. Menurutnya, sudah banyak angel investor yang eksis di Indonesia, meskipun tidak terlalu tampak pergerakannya. Konsep investasi jangka panjang menjadi salah satu daya tarik untuk terjun menjadi angel investor.

“Saya yang menyukai hal-hal yang tidak baku dan penuh tantangan menjadi [kondisi] ideal untuk terjun ke dunia startup dan enterperneurship. Namun bagi mereka yang menyukai semua serba teratur dan terstruktur, ada baiknya untuk menghindari terjun ke dunia startup,” kata Alex.

Dinamika bisnis operator

Alex sendiri menyebut dirinya tidak menutup peluang untuk berinvestasi ke sektor telekomunikasi yang telah dikuasainya selama 7 tahun terakhir. Namun saat ini, dirinya ingin mencoba keluar dan terjun ke sektor baru dan inovasi yang berbeda.

Tentang tantangan yang dialami perusahaan operator telekomunikasi saat pandemi, meskipun sedang panen traffic, Alex mengatakan, “Saya melihat kondisi ini cukup sulit, karena saat pandemi perusahaan operator telekomunikasi tidak bisa menaikkan harga. Sehingga meskipun traffic mengalami peningkatan namun tidak dibarengi dengan peningkatan harga kepada pelanggan,” kata Alex.

Sebetulnya, industri telekomunikasi sempat mengecap kenaikan pendapatan di periode Februari-Maret. Namun, pertumbuhan pendapatan sejak Maret terus menurun selama pandemi. Kebutuhan bandwith internet yang lebih besar membuat ekspektasi mereka juga menjadi cukup tinggi.

“Saya melihat meskipun layanan fixed broadband mengalami peningkatan jumlah pelanggan baru, namun dari sisi koneksi masih banyak yang menyebutkan koneksi operator telekomunikasi terkadang lebih baik dari koneksi fixed broadband. Artinya dari sisi layanan memang masih baik untuk operator telekomunikasi,” kata Alex.

Analysing the B2B Commerce Concept, Telkom’s New Strategy After Blanja’s Shutdown

Blanja informed its users on its platform that starting September 1, 2020, all purchasing activities will be stopped. In its official statement, Telkom said that this is part of the e-commerce business transformation in the company, in an effort to strengthen the company’s profitability. As of October 1, 2020, Telkom will only focus on e-commerce in the business segment, targeting both corporates and SMEs.

Regarding the next moves, Telkom told DailySocial, “In accordance with Telkom’s strategic plan, which leads to B2B Commerce, it can develop from its own resources (build), partner with other parties (borrow), or develop external competencies (buy) including startups. . ”

Blanja is part of Telkom’s digital business, under the leadership of Fajrin Rasyid. The appointment of Bukalapak’s co-founder is to support the agenda of increasing business opportunities and the company’s potential profits from digital business.

Blanja was not alone, Telkom took eBay as a strategic partner. For the continuation of their cooperation, Telkom is still unable to comment, “The continuation will be announced later”. While we have also tried to request an official statement from eBay Indonesia, as of this writing no comments have yet been made.

Towards the end of 2019, we had an interview with Blanja’s CEO, Jemy Confido. He claimed, the amount of revenue obtained has increased by 84% compared to 2018. There was an 11% increase in EBITDA and about 4% of Net Income. He also emphasized that the company’s main metric is no longer GMV, but revenue.

Hard to catch up

As an e-commerce platform that focuses on B2C / C2C, Blanja’s position has been less attractive lately. One of them is proven by the results of research conducted by iPrice, as of the second quarter of 2020, Blanja’s position is in the 16th rank – one rank just below Elevenia (PT XL Planet), which was previously also managed by the telco company XL Axiata but has been fully released to the Salim Group. .

In its research, iPrice uses several variables, two of which are site visit statistics and app ranking.

Riset iPrice tentang perkembangan e-commerce di Indonesia per Q2 2020

With experience in establishing and raising Bukalapak, Fajrin’s business intuition has clearly been honed. Although the details are not given, there is certainly a strong argument that underlies Blanja’s chances of leading the local e-commerce market are very small, not proportional to the efforts put in.

The market leader is filled with unicorns who continue to compete and innovate to be at the forefront. The scope of its business is also very broad, not only as a place for online buying and selling, but includes aspects of fintech (payments and loans), logistics, online-to-offline (partnerships with shops), and others.

Even though Blanja in 2020 has a target to sharpen its digital products, including payment of various bills, insurance, investment, even digital products for education. The strategy is by cooperating with other players, for insurance they choose Invisee as a partner; for payments and paylater there is LinkAja and Finpay.

But the plan is just the plan, now all focus will be shifted to B2B Commerce. Then what about the market share and business opportunities that Telkom will explore?

Potential B2B commerce

B2B Commerce refers to the exchange of goods and services between companies through digital medium. Most of the business models adopted are marketplace or direct-to-consumer. According to a report released by ecommerceDB.com entitled “In-depth: B2B e-Commerce 2019”, the market value of B2B Commerce in 2019 was $ 12.2 trillion, 6x larger than the B2C market.

Interestingly, Asia Pacific leads the market with a contribution of nearly 80%, making global players step on the gas to work on their B2B units here. So far there are two players that stand out the most, namely Alibaba and Amazon Business. There is a possibility that it will be even more hectic, because the competition landscape has begun to be enlivened by Rakuten, Mercateo, Global Sources, IndiaMART, to Walmart.

In Indonesia, so far there are Bhinneka, Mbiz, Bizzy, AXIQoe, Monotaro, and Ralali. There aren’t many B2C players who have played there either – one that has jumped in is Bukalapak through the BukaPengadaan service. While Bizzy is also a pivot, instead of providing e-commerce for businesses, they are now prioritizing logistics and distribution services.

Chief of Commercial & Omni Channel Bhinneka Vensia Tjhin, through his latest interview with DailySocial, explained that the business contribution from B2B Commerce has reached 90%, compared to B2C last year. Apart from B2B.id, several other supporting features have been rolled out, including Bhinneka Smart Procurement, developing O2O omnichannel, and having selected merchants.

Frost & Sullivan projects a CAGR of 59% in 2017-2022 for B2B Commerce growth in Indonesia, about double the growth rate of B2C Commerce during the same period. MSMEs have the potential to be the main driver in this landscape – according to BPS, MSMEs contribute to 60.3% of national GDP.

DSResearch once released a report “Indonesia B2B Commerce 2018”, in which it discusses developments in terms of platforms and public perceptions. As is known, one of the uniqueness of B2B Commerce is that it allows businesses to get an e-procurement system, integration with ERP, e-invoicing, taxation, and others – adapting to the procurement system in offices. On average, B2B platforms also target government institutions, so players often define their business as B2B2G.

The B2B market for e-commerce may be in its infancy, trying to democratize the existing procurement system. The potential is clear, as people become more familiar with e-commerce. In addition, there are many benefits that can be obtained by businesses, including convenience, transparency, and flexibility.

Telkom in B2B Commerce

Delivered by Telkom, efforts to build B2B Commerce have actually started before. One of them is through the UMKM Digital Market (PaDi), in collaboration with 8 other BUMNs. It consists of a data center for UMKM and BUMN shopping (Control Tower Dashboard), a digital UMKM market for BUMN (PaDi UMKM B2B), and a marketplace feature with centralized access for MSMEs (PaDi UMKM B2C).

Telkom also supports Kemendibud in the online procurement of school goods and services through the School Procurement Information System (SIPLah). SIPLah is designed to take advantage of a marketplace that has certain features to realize school budget work plans and meet the needs of the Ministry of Education and Culture in supervising the use of BOS (School Operational Assistance) funds in accordance with applicable regulations.

It is likely that more products will be initiated. With its infrastructure and business position, Telkom has the potential to maximize its potential to help business consumers. Especially through its many units, the company continues to intensify digital transformation, including through MDI Ventures by investing in digital startups.

There were also rumors about Telkom’s acquisition of the Bhinneka platform to strengthen the B2B Commerce business, but when asked again Telkom was reluctant to comment.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Studi ITB: 5G Diprediksi Meluncur Paling Cepat pada 2021

Studi terbaru dari Institut Teknologi Bandung (ITB) memperkirakan jaringan 5G di Indonesia baru dapat dirilis secara komersial paling cepat pada akhir 2021.

Konsultan PT LAPI ITB Ivan Samuels mengatakan, perkiraan ini berdasarkan dua skenario, yakni (1) skenario dasar dengan asumsi spektrum kunci 5G dapat dirilis dari 2021-2023; dan (2) skenario agresif dengan asumsi seluruh spektrum 5G dapat tersedia di akhir 2021.

Adapun sejumlah spektrum kunci yang ditargetkan untuk 5G antara lain 2,3GHz dapat tersedia pada 2021; spektrum 2,6GHz, 26GHz, dan 28GHz tersedia pada 2022; dan spektrum 3,5GHz dan 700MHz tersedia pada 2023.

Dalam paparannya, Ivan menyebutkan studi ini menawarkan delapan rekomendasi kebijakan utama dalam rangka mempercepat penerapan 5G di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah memasukkan 5G sebagai Agenda Prioritas Nasional serta meluncurkan Rencana Pita Lebar dan Konektivitas Nasional (2021-2025).

Spektrum merupakan salah satu agenda utama yang kerap disoroti oleh pemerintah dan pemangku kepentingan (stakeholder). Pasalnya, beberapa spektrum emas untuk menggelar 5G masih jauh dari ketersediaan.

Misalnya, frekuensi 700MHz (low band) digadang menjadi spektrum ’emas’ untuk menggelar 5G. Saat ini, spektrum tersebut masih dipakai untuk siaran TV analog dan direncanakan migrasi ke TV digital di 2022. Global System for Mobile Communications (GSMA) memprediksi perekonomian Indonesia berpotensi rugi $10,5 miliar atau sekitar Rp142,9 triliun jika tidak menggelar 5G di 700MHz.

Sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara, yakni Malaysia, Filipina, dan Singapura telah menyelesaikan proses untuk mematikan layanan televisi analog mereka. Sehingga frekuensi yang sebelumnya digunakan untuk siaran TV analog, dapat digunakan operator untuk memperkuat layanan 4G-nya dan menguji jaringan percontohan 5G.

Dinamika 5G di Asia Tenggara
Sumber: Axiata Group / Diolah kembali oleh DailySocial

Sementara itu, laporan ITB menyebutkan bahwa implementasi 5G secara agresif di Indonesia dapat menambah Rp2.874 triliun bagi perekonomian negara secara kumulatif dari 2021-2030 atau setara 9,5 persen dari PDB, dan Rp3.549 triliun di 2035 atau setara 9,8 persen dari PDB.

The first step is the hardest step. Ini menjadi tantangan kami untuk menyiapkan perencanaan strategis ke depan. Metode [penggelaran 5G] juga menjadi tantangan lain karena butuh biaya besar untuk deployment dibanding teknologi sebelumnya,” ungkap Ivan pada sesi webinar yang digelar Axiata Group, Qualcomm, dan Asosiasi Penyelanggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI).

Delapan rekomendasi di atas akan dibahas secara paralel oleh 5G Task Force Indonesia yang dibentuk Kominfo pada 2019. Pembentukan Task Force ini terdiri dari beberapa grup yang mana juga melibatkan para pakar untuk memberi masukan.

Kepala 5G Task Force Indonesia Denny Setiawan menargetkan dokumen resmi Task Force ini dapat masuk pada akhir 2021. Pihaknya menargetkan dapat menggelar co-existing trial di spektrum 3,5GHz pada Oktober mendatang.

“Kami sudah menerapkan kebijakan teknologi netral. Nah, jika ekosistem sudah siap ekosistemnya, operator bisa langsung gelar 5G di spektrum existing,” ujar Denny pada kesempatan sama.

Belajar dari kegagalan migrasi 2G, 3G, dan 4G

Lebih lanjut, Dirjen Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kementerian Komunikasi dan Informatika Ismail juga mengungkap empat hal utama yang menjadi agenda prioritas pemerintah untuk mempercepat penggelaran 5G.

Keempat agenda ini antara lain adalah kebijakan strategis, diikuti infrastruktur 5G (jaringan, infrastruktur pasif, dan spektrum), ekosistem 5G, dan kebijakan implementasi 5G (uji coba, regulasi, model bisnis).

“Beberapa merupakan isu lama yang perlu segera diselaraskan mengingat infrastruktur 5G butuh kerapatan BTS yang tinggi. Untuk mendapatkan kualitas maksimal, semua juga bergantung pada ketersediaan spektrum. Baiknya operator punya spektrum [untuk gelar 5G] yang lengkap, dari lower, middle, dan high band,” katanya.

Berkaca dari kesalahan saat Indonesia migrasi teknologi (dari 2G ke 3G, 3G ke 4G), ungkapnya, pemerintah berupaya menghindari kegagalan pasar, baik dari supply maupun demand. “Kami tidak ingin pada akhirnya operator telekomunikasi menghabiskan biaya besar,” ungkap Ismail.

Menurutnya, saat migrasi teknologi tersebut, industri telekomunikasi hanya mempersiapkan infrastruktur di belakang infrastruktur penunjang. Alhasil, kualitas 4G menjadi tidak maksimal. Maka itu. pihaknya berharap infrastruktur 5G dapat dipersiapkan dengan matang, baik jaringan back hole, antar-middle mile, dan antar Base Transceiver Station (BTS) supaya tidak ada bottle necking.

Ekosistem dan perspektif konsumen terhadap 5G

Kemudian, Ismail juga menyoroti pentingnya ekosistem 5G. Dengan prioritas ini, pemerintah berupaya mendorong para maker di Indonesia agar dapat menyiapkan use case aplikasi lokal sebelum infrastruktur 5G dibangun. Berkaca pada migrasi 2G ke 3G dan 3G ke 4G, ekosistem aplikasi di Indonesia tidak kuat sehingga kurang dapat dimonetisasi.

Menurutnya, Indonesia masih kekurangan killer apps yang cocok dengan pasar. Pada akhirnya, jaringan ini justru diisi oleh pemain Over-The-Top (OTT) asing, seperti WhatsApp, Facebook, dan Google. “Jangan sampai nanti kita seolah-olah bangun infrastruktur untuk kasih ‘karpet merah’ ke OTT,” tambahnya.

Lebih lanjut, studi terbaru 5G turut mengungkap perspektif konsumen terhadap 5G. Laporan ini mencatat sebanyak 68,39 persen konsumen di Indonesia tertarik menggunakan 5G begitu dirilis, sedangkan 26,56 persen mengaku akan memakainya setelah melihat experience konsumen, dan 4,35 persen baru akan memakai layanan 5G jika tidak ada alternatif lain.

Layanan yang diprediksi meningkat penggunaannya oleh 5G
Sumber: Studi Institut Teknologi Bandung (ITB) / Diolah kembali oleh DailySocial

Menariknya, responden juga mengungkap dua pertimbangan utama lain terkait hal ini, yakni mahalnya harga perangkat yang sudah bisa menjalankan jaringan 5G dan konsumen masih ragu dengan kualitas 5G yang sebenarnya. Apalagi, jika melihat kualitas jaringan 4G hingga saat ini yang masih belum maksimal.

Adapun, segmen anak muda dan milenial di Indonesia diperkirakan menjadi kontributor konsumsi 5G terbesar sebanyak 80 persen terhadap pengguna potensial dengan rentang usia 19-44 tahun.

Peliknya Industri Telekomunikasi di Masa Pandemi

Ketika pemerintah memberlakukan pembatasan sosial pada pertengahan Maret lalu, sebagian besar kegiatan hingga lalu lintas informasi terpaksa dilakukan secara online. Yang terjadi adalah tren konsumsi data berubah. Kawasan residensial kini bergeser menjadi pusat segala aktivitas di masa pandemi.

Fenomena tersebut tercermin dari riset yang dirilis MarkPlus Inc beberapa waktu lalu. Riset ini diikuti oleh sebanyak 111 responden yang terbagi atas wilayah Jabodetabek (57%) dan non-Jabodetabek (43%).

Dalam webinarnya, MarkPlus Inc melaporkan sebanyak 31,7 persen pengguna internet di Jabodetabek menghabiskan kuota internet seluler 5-10GB sebelum pandemi. Sementara pemakaian internet seluler di non-Jabodetabek lebih besar sebelum pandemi, dengan 22,9 persen responden menghabiskan kuota di atas 30GB.

Saat pandemi, sebanyak 63,5 persen pengguna di Jabodetabek mengaku tidak menambah/mengurangi kuota internet selama WFH dan SFH. Hal ini karena penetrasi fixed broadband (personal WiFi) di wilayah ini cukup besar dibandingkan non-Jabodetabek. Kebalikannya, 52,1 persen pengguna non-Jabodetabek harus menambah kuota karena 68,8 persen di antaranya belum memasang fixed broadband dan bergantung pada kuota seluler.

Dari jenis pemakaian, kegiatan telepon/video konferensi online menghabiskan kuota internet paling besar (36%). Tak heran mengingat pemerintah memberlakukan kebijakan WFH dan SFH yang mengharuskan interaksi online selama bekerja dan sekolah.

Lebih lanjut, sebanyak 57,1 persen pengguna fixed broadband dari kelas ekonomi atas memiliki tingkat ketidakpuasan tertinggi selama pandemi. Kebutuhan akan bandwith internet yang lebih besar membuat ekspektasi mereka juga menjadi cukup tinggi.

Apa artinya tren pergeseran ini terhadap industri telekomunikasi?

Imbas terhadap industri telekomunikasi

Operator telekomunikasi panen trafik pada masa awal pemberlakuan WFH dan SFH. Beberapa di antaranya melaporkan kenaikan trafik yang didominasi pada pemakaian platform online learning. Misalnya, Telkomsel mencatat kenaikan sebesar 16 persen. Kemudian, Tri Indonesia mengalami kenaikan trafik pada platform Zenius (73%), Ruangguru (78%), dan Quipper (196%).

Sekjen Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Marwan O. Baasir mengakui ada pergeseran trafik data dari kawasan bisnis ke residensial sebesar 12-30 persen secara industri.

“Karena semua sekarang serba online, kami meyakini rumah bakal jadi sentral aktivitas. Maka itu, operator perlu menambah produk terjangkau dan memperkuat jaringan, terutama di area residensial dan pedesaan,” ujarnya saat webinar MarkPlus Inc awal September ini.

Data ATSI mencatat trafik mobile industri naik 12,5 persen pada periode Februari-Maret. Kemudian, naik 7,5 persen (Maret-April) dan 5,7 persen (April-Mei). Pada periode Mei-Juni, trafik turun 0,5 persen.

Namun, ia mengungkap kenaikan trafik selama pandemi tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan. Pemberlakuan WFH dan SFH juga berdampak terhadap penurunan layanan dasar operator, yakni voice dan SMS.

Sumber: ATSI Internal Analysis / Diolah kembali oleh DailySocial
Sumber: ATSI Internal Analysis / Diolah kembali oleh DailySocial

Sebetulnya, industri telekomunikasi sempat mengecap kenaikan pendapatan sebesar 9,9 persen pada periode Februari-Maret. Namun, pertumbuhan pendapatan sejak Maret terus menurun. Pendapatan industri minus pada periode Maret sampai April (-1,9%), diikuti periode April-mei (-4,9%), dan Mei-Juni (-5%).

Menurut Marwan, operator mengakomodasi pergeseran konsumsi internet dengan memindahkan dan menambah kapasitas jaringan. Namun, upaya ini berujung pada peningkatan biaya. Bahkan ia menilai biaya ini terus bertambah seiring dengan meningkatnya kebutuhan terhadap kegiatan kerja dan sekolah di rumah dan kualitas layanan.

Dalam kesempatan sama, menurut Ketua Umum Masyarakat Telekomunikasi (Mastel) Kristiono, paparan di atas menjadi momentum refleksi betapa tidak seimbangnya penetrasi fixed broadband dan mobile broadband di Indonesia.

Ketidakseimbangan penetrasi jaringan ini salah satunya tercermin pada perilaku pemakaian internet di Jabodetabek dan non-Jabodetabek, sebagaimana dilaporkan pada riset MarkPlus di atas. Sementara, data di bawah ini menampilkan rendahnya penetrasi pasar fixed broadband di Indonesia.

Sumber: Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) / Diolah kembali oleh DailySocial
Sumber: Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) / Diolah kembali oleh DailySocial

Karena ketimpangan ini, ada banyak kasus di mana penyelenggaraan kegiatan sekolah dan kerja menjadi tidak efektif. Padahal, ujar Kristiono, akselerasi digital sangat diperlukan di situasi sekarang. Dengan kata lain, konektivitas menjadi ujung tombak yang perlu dibenahi untuk mengakomodasi hal tersebut.

Momentum dan urgensi untuk merealisasikan kebijakan yang tertunda

Melihat tren dan data di atas, Marwan menilai akan sulit bagi industri telekomunikasi untuk bertumbuh ke depan. Operator bahkan tidak dapat berekspektasi untuk memulihkan kinerjanya dalam waktu dekat. Ditambah lagi, ujarnya, persaingan industri telekomunikasi bakal menguat sejalan dengan prediksi melemahnya daya beli masyarakat di semester II 2020.

Di sisi lain, pandemi dinilai menjadi waktu yang tepat bagi stakeholder terkait untuk merealisasikan wacana usang. Wacana yang dimaksud adalah sejumlah kebijakan yang telah diusulkan dan dibahas selama bertahun-tahun, tetapi tidak ada lampu terangnya. Misalnya, kebijakan OTT, infrastructure sharing, dan M&A.

Menurut Marwan, kebijakan-kebijakan ini dapat mengakomodasi gaya hidup dan pola orang bekerja dan sekolah ke depannya, yakni “The Post Normal” di mana rumah sebagai sentral aktivitas dan konektivitas. Maka itu, ia berharap pemerintah dapat melihat urgensi untuk merealisasikan kebijakan-kebijakan yang diusulkan dan dibahas sejak dulu.

“Ini sebetulnya isu lama, tetapi tidak ada bargain position yang bisa diambil. Tapi, agenda ini harus diselesaikan, sudah tidak bisa ditunda. Rencana kebijakan soal OTT saja sudah empat tahun dibahas, tapi tidak ada ada penyelesaian berujung. Begitu juga kebijakan soal M&A. Semua inisiatif ini kan untuk mengurangi opex,” ujar Marwan.

Sumber: ATSI / Diolah kembali oleh DailySocial
Sumber: ATSI / Diolah kembali oleh DailySocial

Kristiono menilai pemerintah juga perlu menurunkan ekspektasi terhadap industri telekomunikasi di situasi sekarang. Dengan perubahan perilaku konsumen yang semakin demanding, apalagi harus tinggal di rumah, kondisi ini memunculkan perubahan pada supply chain. Namun, Indonesia dinilai belum siap mengakselerasi digital karena konektivitasnya tidak merata.

Hal ini diamini CEO Biznet Adi Kusuma. Menurutnya, pandemi mengubah jauh ekspektasi pelanggan terhadap koneksi internet. “Apabila dulu orang berpikir broadband hanya untuk kebutuhan besar, sekarang semua perlu karena aktivitas kerja dan sekolah dirumahkan,” ujarnya.

Mengulik B2B Commerce, Strategi Baru Telkom Setelah Penutupan Blanja

Di situsnya, Blanja mengumumkan kepada para penggunanya, terhitung mulai 1 September 2020 seluruh kegiatan pembelian akan dihentikan. Dalam pernyataan resminya, pihak Telkom berdalih bahwa ini merupakan bagian dari transformasi bisnis e-commerce di perseroan, dalam upaya memperkuat profitabilitas perusahaan. Per 1 Oktober 2020, Telkom hanya akan fokus padae-commerce di segmen bisnis, baik menyasar korporasi maupun UKM.

Terkait rencana selanjutnya, kepada DailySocial pihak Telkom mengatakan, “Sesuai dengan rencana strategis Telkom, yang mengarah pada B2B Commerce bisa mengembangkan dari resource sendiri (build), bermitra dengan pihak lain (borrow), atau mengembangkan kompetensi eksternal (buy) termasuk dengan para startup.”

Blanja adalah bagian dari bisnis digital Telkom, berada di bawah kepemimpinan Fajrin Rasyid. Ditunjuknya co-founder Bukalapak tersebut untuk mendukung agenda peningkatan peluang bisnis dan potensi keuntungan perseroan dari bisnis digital.

Blanja tidak dikerjakan sendiri, Telkom menggandeng eBay sebagai mitra strategis. Untuk kelanjutan kerja sama mereka, pihak Telkom masih belum bisa berkomentar, “Nanti akan disampaikan kelanjutannya ya”. Sementara kami juga sudah mencoba meminta pernyataan resmi dari eBay Indonesia, namun sampai tulisan ini diterbitkan belum ada komentar apa pun yang disampaikan.

Menjelang akhir tahun 2019, kami sempat mewawancara CEO Blanja Jemy Confido. Ia mengklaim, dibanding tahun 2018 jumlah revenue yang didapat meningkat hingga 84%. Terjadi peningkatan EBITDA 11% dan Net Income sekitar 4%. Turut ditegaskan metrik utama perusahaan tidak lagi GMV, tetapi revenue.

Blanja sulit mengejar ketertinggalan

Sebagai platform e-commerce yang fokus pada B2C/C2C, posisi Blanja memang kurang menawan akhir-akhir ini. Salah satunya dibuktikan dari hasil riset yang dilakukan iPrice, per kuartal kedua tahun 2020, posisi Blanja ada di peringkat 16 – satu ranking persis di bawah elevenia (PT XL Planet), yang sebelumnya turut dikelola perusahaan telco XL Axiata namun telah dilepas sepenuhnya ke Salim Group.

Dalam penelitiannya, iPrice menggunakan beberapa variabel, dua di antaranya statistik kunjungan situs dan peringkat aplikasi.

Riset iPrice tentang perkembangan e-commerce di Indonesia per Q2 2020
Riset iPrice tentang perkembangan e-commerce di Indonesia per Q2 2020

Dengan pengalaman mendirikan dan membesarkan Bukalapak, intuisi bisnis Fajrin jelas sudah terasah. Kendati tidak disampaikan detail, pastinya ada argumen kuat yang melandasi bahwa kemungkinan Blanja untuk memimpin pasar e-commerce lokal sangat kecil, tidak berbanding dengan effort yang dikeluarkan.

Pemimpin pasar diisi oleh para unicorn yang terus bersaing dan berinovasi menjadi yang terdepan. Cakupan bisnisnya pun sudah sangat luas, tidak sekadar sebagai tempat jual-beli online, melainkan meliputi aspek fintech (pembayaran dan pinjaman), logistik, online-to-offline (kemitraan dengan warung), dan lain-lain.

Padahal Blanja di tahun 2020 ini punya target untuk mempertajam produk digitalnya, termasuk pembayaran berbagai tagihan, asuransi, investasi, bahkan sampai produk digital untuk pendidikan. Strateginya dengan menggandeng pemain lain, untuk asuransi mereka memilih Invisee sebagai mitra; untuk pembayaran dan paylater ada LinkAja dan Finpay.

Tapi rencana tinggal rencana, sekarang semua akan diubah fokus ke B2B Commerce. Lalu bagaimana pangsa pasar dan peluang bisnis yang akan dijelajah Telkom tersebut?

Potensi B2B Commerce

B2B Commerce mengacu pada pertukaran barang dan jasa antarperusahaan melalui medium digital. Kebanyakan model bisnis yang diadopsi adalah marketplace atau direct-to-consumer.  Menurut laporan yang dirilis ecommerceDB.com bertajuk “In-depth: B2B e-Commerce 2019”, nilai pasar B2B Commerce di tahun 2019 mencapai $12,2 triliun, 6x lebih besar dari pasar B2C.

Menariknya, Asia Pasifik memimpin pasar dengan kontribusi hampir 80%, membuat para pemain global menginjakkan gas untuk menggarap unit B2B-nya di sini. Sejauh ini ada dua pemain yang paling menonjol, yakni Alibaba dan Amazon Business. Tak penutup kemungkinan akan lebih riuh lagi, karena lanskap kompetisinya mulai diramaikan Rakuten, Mercateo, Global Sources, IndiaMART, hingga Walmart.

Di Indonesia, sejauh ini ada Bhinneka, Mbiz, Bizzy, AXIQoe, Monotaro, dan Ralali. Untuk pemain B2C juga belum banyak yang bermain ke sana —  salah satu yang sudah terjun adalah Bukalapak melalui layanan BukaPengadaan. Sementara Bizzy pun pivot, alih-alih menyediakan e-commerce untuk bisnis, mereka kini mengutamakan layanan logistik dan distribusi.

Chief of Commercial & Omni Channel Bhinneka Vensia Tjhin, melalui wawancara terbarunya dengan DailySocial  menjelaskan, kontribusi bisnis dari B2B Commerce tembus 90%, ketimbang B2C pada tahun lalu. Selain B2B.id, beberapa fitur pendukung lainnya sudah digulirkan, termasuk Bhinneka Smart Procurement, mengembangkan omnichannel O2O, dan memiliki selected merchant.

Frost & Sullivan memproyeksikan capaian CAGR 59% di 2017-2022 untuk pertumbuhan B2B Commerce di Indonesia, sekitar dua kali lipat dari tingkat pertumbuhan B2C Commerce selama periode yang sama. UMKM berpotensi menjadi pendorong utama di lanskap ini – menurut BPS bisnis UMKM berkontribusi terhadap 60,3% PDB nasional.

DSResearch pernah merilis laporan “Indonesia B2B Commerce 2018”, di dalamnya membahas tentang perkembangan di sisi platform dan persepsi masyarakat. Seperti diketahui, salah satu keunikan dari B2B Commerce adalah memungkinkan bisnis mendapatkan sistem e-procurement, integrasi dengan ERP, e-invoicing, perpajakan, dan lain-lain – menyesuaikan dengan sistem pengadaan di perkantoran. Rata-rata platform B2B juga menyasar institusi pemerintahan, sehingga seringkali pemain mendefinisikan bisnisnya sebagai B2B2G.

Pasar B2B untuk e-commerce mungkin sedang masa pertumbuhan, mencoba mendemokratisasi sistem pengadaan yang sebelumnya ada. Potensinya jelas ada, seiring dengan makin akrabnya masyarakat dengan e-commerce. Di samping itu, memang banyak keuntungan yang bisa didapatkan oleh bisnis, termasuk kemudahan, transparansi, dan fleksibilitas.

Telkom di B2B Commerce

Disampaikan oleh pihak Telkom, upaya untuk membangun B2B Commerce sebenarnya sudah dimulai sebelumnya. Salah satunya melalui Pasar Digital (PaDi) UMKM, bekerja sama dengan 8 BUMN lainnya. Terdiri dari pusat data UMKM dan belanja BUMN (Control Tower Dashboard), pasar digital UMKM untuk BUMN (PaDi UMKM B2B), dan fitur pasar marketplace dengan akses terpusat bagi UMKM (PaDi UMKM B2C).

Telkom juga mendukung Kemendibud dalam pengadaan barang dan jasa sekolah yang dilakukan secara online melalui Sistem Informasi Pengadaan Sekolah (SIPLah). SIPLah dirancang untuk memanfaatkan marketplace yang memiliki fitur tertentu untuk merealisasikan rencana kerja anggaran sekolah dan memenuhi kebutuhan Kemendikbud dalam mengawasi penggunaan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Kemungkinan akan lebih banyak lagi produk yang diinisiasi. Dengan infrastruktur dan posisi bisnisnya, Telkom berkemungkinan besar memaksimalkan potensi untuk membantu konsumen dari kalangan bisnis. Terlebih melalui banyak unitnya, transformasi digital terus digencarkan perusahaan, termasuk lewat MDI Ventures dengan berinvestasi ke startup digital.

Sempat beredar juga rumor rencana akuisisi Telkom terhadap platform Bhinneka untuk memperkokoh bisnis B2B Commerce, namun saat ditanya lagi pihak Telkom enggan memberikan komentar.

Pefindo Biro Kredit Launches “IdTelcoScore”, Credit Scoring Analysis Based on XL Axiata’s Cellular Data

Pefindo Credit Bureau released the latest alternative scoring based on non-credit data “IdTelcoScore”, utilizing the cellular number of XL Axiata users to analyze debtors’ creditworthiness. Cellular telecommunication data is considered to be one of the important alternative data due to its significant growth and massive amount.

In the online launching today (18/8), President Director of Pefindo Credit Bureau, Yohanes Arts Abimanyu, explained that IdTelcoScore will support and facilitate financial institutions to analyze credit applications for prospective debtors with nothing or short credit history as a basis for decision making.

“As part of our mission to increase financial inclusion, especially access to finance for underbanked and unbanked people, where the potential is quite large. It is possible through telco data with wide coverage,” he said.

Pefindo Credit Bureau created this product from the calculation of the score modeling algorithm using various data variables and indicators that produce predictive information on the character and ability to fulfill future debtor obligations.

IdTelcoScore utilizes big data analysis from the use of telecommunication company services. Whether it’s data subscription (subscription), data usage (usage), and billing & payment (billing & payment). These data will be combined with available credit data, therefore, it can be used as a measurement for an individual’s ability to pay their obligations in the future.

“Following the results of the Telco Score modeling that KS and Gini Ratio have positive results, it can be concluded that the telco model provides predictive results and is suitable to be used to adjust the ‘risk appetite’ of each financial institution.”

Yohanes also ensured that all cellular number data accessed through IdTelcoScore would not leave the operator’s system. What comes out of the system is only the telco score calculation. “We always prioritize data protection and security by using information security standards.”

He also said, in the midst of a pandemic, financial institutions must optimally utilize all types of data, both credit and non-credit to obtain a complete, accurate, and predictive picture regarding the character and risk profile of the debtor. The goal is to ensure that the credit portfolio and NPL level are well maintained.

Big data institution sources

Furthermore, Pefindo Credit Bureau will continue to increase collaboration with other big data companies, therefore, data sources are getting richer. Not only with XL Axiata, but also with other telecommunication operators.

Yohanes said that currently there are plans for collaboration or exploration with companies that manage other big data such as utilities and e-commerce. “In fact, I can’t mention the name of the company. In terms of social media, we are yet to use it as alternative data.”

In its journey of developing alternative scoring data, Pefindo collaborates with many non-technology companies such as DGT for tax identity data, APPI for write-off status, Taspen, and BPJS Ketenagakerjaan. All of these companies have big data that can serve as alternative data for analyzing debtor creditworthiness.

Meanwhile, Pefindo Credit Bureau currently has more than 300 corporate users who come from various financial institutions, fintech, to non-financial institutions.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

MDI Ventures Terus Diperkuat, Strategi CVC Semakin Relevan untuk Transformasi Digital

Pekan lalu, tepatnya di hari Jumat (14/8), Direktur Utama Telkom Group Ririek Adriansyah mengumumkan penunjukan Fajrin Rasyid sebagai Komisaris Utama MDI Ventures. Fajrin juga akan menjadi penasihat Centauri Fund. Sebelumnya diketahui, mantan Presiden Bukalapak tersebut telah menduduki jabatan Direktur Digital Business perseroan per Juni 2020 lalu.

Penunjukan Fajrin didasari pengalamannya berkecimpung di ekosistem startup Indonesia. Sekaligus diharapkan menjadi upaya strategis perusahaan mencapai transformasi digital secara menyeluruh, dalam rangka memperluas potensi pendapatan digital.

“Telkom memproyeksikan peningkatan yang signifikan di pendapatan digitalnya di beberapa tahun mendatang. Namun hingga saat ini, baru sekitar 10 persen pendapatan perusahaan tersebut yang berasal dari bisnis digital. Dengan bantuan MDI Ventures, misi saya adalah membangun sinergi yang nyata dan membuat kontribusi pendapatan meningkat dengan tajam,” sambut Fajrin

Suksesi kepemimpinan corporate venture capital milik Telkom tersebut sebenarnya juga belum lama terjadi. Bulan Mei 2020 lalu Donald Wihardja masuk menduduki jabatan CEO, menggantikan Nicko Widjaja yang telah berpindah menggarap BRI Ventures.

Selain Fajrin, Yusuf Wibisono juga ditunjuk sebagai Komisioner MDI Ventures. Saat ini ia menjabat sebagai VP  Strategic Investment Department Telkom Group.

Genjot investasi, tingkatkan aset

Di waktu yang sama, MDI Ventures turut mengumumkan perolehan dana investasi baru senilai $500 juta atau setara 7,3 triliun Rupiah. Sehingga total aset kelolaan yang telah dibukukan mencapai $790 juta atau setara 11,6 triliun Rupiah.

Dana tersebut akan diinvestasikan ke startup teknologi yang memiliki fokus khusus pada pasar Indonesia. Termasuk untuk dikolaborasikan dengan BUMN yang ada di Indonesia.

“Untuk mempertahankan pijakan yang kuat di pasar hingga ke depannya, BUMN Indonesia memahami bahwa mereka harus mengadopsi model bisnis digital dengan lebih mendalam dibandingkan sebelumnya. Dengan mengalokasikan dana ini sesuai dengan misi transformasi digital dari pemerintah, dan dengan bermitra langsung dengan inovator teknologi lokal, BUMN Indonesia menempatkan diri mereka untuk terus berkembang,” ungkap CEO MDI Ventures, Donald Wihardja.

Tercatat, sejak tahun 2016 beroperasi, MDI telah berinvestasi di 44 startup dari 12 negara. Di tahun 2019, mereka berhasil catatkan “exit” lima kali melalui M&A dan IPO oleh portofolionya.

Daftar exit pemodal ventura lokal sepanjang tahun 2019 / DSResearch
Daftar exit pemodal ventura lokal sepanjang tahun 2019 / DSResearch

Strategi CVC makin relevan

Dalam laporan DSResearch bertajuk “Transformasi Digital Korporasi 2020” dikemukakan mengenai berbagai strategi yang diadopsi perusahaan-perusahaan di Indonesia dalam membina kultur inovasi di lingkungannya. Dipaparkan juga bagaimana Telkom Group mengorkestrasi inovasi internal dan eksternal untuk menjalankan proses ideation, incubation, dan value creation guna menghasilkan produk/layanan yang terus relevan dengan pangsa pasar.

 

Kendaraan transformasi digital Telkom Group / Telkom
Kendaraan transformasi digital Telkom Group / Telkom

Dalam kerangka tersebut, jelas MDI memiliki peran penting untuk menjembatani apa yang ada di luar dengan apa yang dibutuhkan di internal bisnis. Sebagai CVC ia juga berperan menangkap peluang sinergi strategis yang ada di luar, baik dari dalam atau luar negeri. Karena walau bagaimanapun jika mengandalkan di sisi internal saja, banyak aspek yang membatasi ruang gerak. Hal tersebut seperti diungkapkan EVP Digital and Next Business Telkom Joddy Hernady.

Ia mengatakan, “Sekarang R&D saja tidak cukup karena inovasi dan produk baru lebih banyak, itu juga multi-disiplin. Makanya startup perlu memiliki tiga kapabilitas, yaitu orang yang paham teknis, desain, dan bisnis. Makin ke sini, kami harus open innovation, kami juga harus mengundang ide dari luar, tidak cukup dari dalam.”

Joddy juga menyebutkan, perjalanan inovasi seperti yang terlihat di bagan tidak dirumuskan secara instan. Perjalanannya sejak tahun 2013 dan terus berkembang dengan tesis-tesis baru yang sesuai dengan kebutuhan perseroan.

Tidak hanya Telkom, keberhasilan CVC sebagai kendaraan menuju transformasi digital juga diharapkan oleh berbagai perusahaan lain di Indonesia. Melalui unit ventura masing-masing, para perusahaan berharap dapat membuka peluang sinergi dengan startup-startup yang mampu mendemokratisasi lanskap bisnis yang ada.

Unit CVC yang dioperasikan perusahaan di Indonesia / DSResearch
Unit CVC yang dioperasikan perusahaan di Indonesia / DSResearch