MDI Ventures Segera Umumkan Dana Investasi Ketiga, Menargetkan 1,4 Triliun Rupiah

MDI Ventures, perusahaan ventura korporasi Telkom Group, mengungkapkan sedang dalam proses pengumpulan dana investasi ketiga dengan target nilai $100 juta (lebih dari 1,4 triliun Rupiah). Kali ini MDI melibatkan investor dari luar negeri sebagai LP, salah satunya yang terkuak adalah Kookmin Bank asal Korea Selatan.

Kepada DailySocial, Principal and Head of Investor Relations MDI Ventures Kenneth Li mengonfirmasi bahwa Kookmin Bank adalah salah satu dari LP yang akan masuk ke dana investasi ketiga dari MDI Ventures. Namun, kesepakatan antara keduanya belum sampai tahap final.

Dia juga belum bisa mengonfirmasi apakah Telkom akan kembali masuk di dana investasi terbaru tersebut atau sepenuhnya bakal berasal dari investor luar negeri. Selain Bank Kookmin, pihaknya sedang menjajaki LP dari Timur Tengah dan beberapa negara Asia Tenggara, seperti Thailand dan Singapura.

Debut Kookmin Bank di Indonesia dimulai dengan masuk sebagai pemegang saham baru di Bank Bukopin. Salah satu bank terbesar di Korea Selatan ini membeli 22% saham Bank Bukopin senilai 1,46 triliun Rupiah tahun lalu.

“Kookmin adalah salah satu investor yang masuk ke fund terbaru kita, tapi masih finalisasi. Target dana investasi yang mau kita kelola untuk kali ini $100 juta setara dengan fund pertama,” katanya, Jumat (13/9).

Keputusan MDI Ventures untuk terbuka ke investor luar, sebenarnya merupakan hal yang baru. Awalnya perusahaan mengantongi dana investasi sebesar $100 juta sepenuhnya berasal dari Telkom. Kemudian, di tahap kedua berasal dari anak usaha Telkomsel, Telkomsel Mitra Inovasi (TMI), sebesar $40 juta pada Mei 2019.

MDI Ventures ingin membuka gerbang ke investor luar yang selama ini tersendat saat ingin masuk ke Indonesia. Mereka tahu tentang Indonesia berkat nama-nama unicorn yang sering disebut media luar, tapi masih kurang ter-expose dengan startup lokal lain yang bisa diajak kolaborasi.

Strategi yang dipilih MDI Ventures kali ini bisa dibilang mengikuti jejak SoftBank. Pada awalnya SoftBank memanfaatkan dana internalnya untuk berinvestasi ke perusahaan teknologi. Setelah sukses, mereka mantap meluncurkan berbagai dana investasi bernilai besar karena diisi LP kenamaan mancanegara.

Mengelola dana dari investor luar bukan menjadi tantangan utama buat MDI Ventures, meski ini pertama kalinya. Kenneth meyakini, performa dan rekam jejak perusahaan yang proven sejak beroperasi di 2015, bisa membuat para investor yakin dengan kemampuan perusahaan dalam mengelola dana investasi dan bisa memberikan imbal hasil yang menjanjikan.

MDI Ventures sejauh ini mengelola 35 portofolio yang tersebar di 10 negara, dengan total lima exit. Beberapa di antaranya IPO di luar negeri, seperti Geenie di TSE (bursa Jepang) dan Whispir (bursa Australia).

“Dari track record MDI, kami tahu cara exit yang tepat karena investor itu tetap mencari return. Tapi kami tidak mau di situ saja. Bagaimana bisa kolaborasi lebih jauh dengan investor, MDI ini jadi fase awal dan partner untuk bantu mereka masuk ke Indonesia.”

Rencana berikutnya

Telkom, selaku induk usaha, telah memberikan restunya bagi MDI Ventures untuk mencari celah pertumbuhan yang bisa diakselerasi lebih lanjut. Perusahaan tidak bisa sepenuhnya mengandalkan Telkom saja dan membutuhkan dukungan dari pihak lain.

Meskipun demikian, fokusnya tidak berubah dari awal, yakni mencari startup potensial yang bisa diajak kolaborasi bersama Telkom Group. Hal ini selaras dengan upaya mendukung transformasi Telkom agar lebih dari sekadar perusahaan telekomunikasi.

“Telkom ke depannya enggak hanya jadi telco company. Jadinya kita akan tetap go beyond telco. Tugas kita tetap sama, cari potential startup yang bisa bantu Telkom untuk masa mendatang, kalau ada yang bagus pasti akan ada kolaborasi,” tambah GM of Investment MDI Ventures Aldi Adrian.

Kebebasan memilih segmentasi startup jadi keuntungan yang dirasakan MDI Ventures dibandingkan CVC lainnya, apalagi yang dibentuk bank karena adanya limitasi regulasi.

“Kita jadi lebih agile karena kita bisa masuk ke semua segmen bisnis, sehingga value added yang kita berikan lebih banyak dari CVC pada umumnya.”

Meski masih menutup rapat-rapat rencana investasi berikutnya, Kenneth memastikan ada beberapa investasi yang siap diumumkan menjelang tutup tahun 2019. Salah satunya adalah investasi untuk startup fintech yang didirikan mantan pegawai sebuah unicorn.

Dukungan Operator Telekomunikasi dalam Pengembangan IoT di Indonesia

Banyak alasan mengapa hingga saat ini pihak operator telekomunikasi sebagai mitra paling relevan untuk pengembangan IoT di Indonesia belum berjalan maksimal. Salah satunya masih sedikitnya data yang bisa dibagikan kepada pihak terkait untuk mengembangkan teknologi tersebut.

Dalam acara Asia IoT Business Platform 2019 di Jakarta hari ini (28/08), Director General Kominfo Ismail MT mengungkapkan, diperlukan dukungan dan keterlibatan operator telekomunikasi untuk bisa mempercepat pertumbuhan inovasi teknologi IoT saat ini. Bukan hanya dari sisi ide dan potensi, namun juga pengolahan data analitik yang sudah banyak dikumpulkan oleh pihak operator.

Menanggapi persoalan tersebut SVP – EGM Digital Service Telkom Indonesia Joddy Hernandy mengungkapkan, masih sedikitnya data yang dikumpulkan oleh operator  untuk pengembangan masih menjadi kendala. Meskipun saat ini data yang dimiliki oleh operator telekomunikasi sudah banyak dikumpulkan, namun belum bisa untuk menjadi sebuah sumber daya yang bisa dikembangkan oleh pemerintah hingga pihak terkait untuk membantu UKM.

Menurut Chief Business Officer Indosat Ooredoo Intan Abdams Katoppo, mengapa data masih sulit untuk dikumpulkan karena saat ini kebanyakan data yang disimpan di cloud computing services adalah milik asing dan tidak dimiliki oleh pihak lokal. Untuk itu ke depannya, pihak operator masih memiliki rencana dan roadmap untuk bisa mengolah data analisis untuk mendukung pengembangan IoT di Indonesia.

Kurangnya talenta digital

Persoalan lain yang juga dibahas dalam acara Asia IoT Business Platform 2019 adalah kurangnya talenta digital yang bisa mengembangkan inovasi dan produk IoT. Sementara dari sisi pihak operator, ketika data sudah dikumpulkan, mereka mengklaim masih kesulitan untuk mengolah data karena masih sedikitnya jumlah data scientist hingga data analyst yang berkualitas. Untuk itu menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah agar bisa mencetak talenta digital yang relevan untuk bisa membantu pihak terkait mengembangkan teknologi IoT.

Salah satu upaya yang diklaim sudah dikembangkan oleh Indosat Ooredoo adalah menjalin kemitraan strategis dengan universitas hingga pencipta produk atau product maker untuk bisa berkolaborasi memanfaatkan sumber daya yang ada dalam hal pengolahan data hingga penerapan teknologi IoT pada khususnya.

Salah satu upaya yang bisa dimaksimalkan oleh pihak terkait adalah dengan menciptakan Co-Creation, artinya ada sebuah wadah yang bisa memayungi mereka yang memiliki ide hingga solusi yang relevan memanfaatkan IoT.

“Pesan saya buatlah sebuah produk IoT yang bisa memecahkan masalah yang banyak ditemui oleh masyarakat saat ini. Secara umum pemerintah sudah menciptakan berbagai infrastruktur yang bisa dimanfaatkan oleh pihak terkait untuk menerapkan IoT. Bukan hanya smart cities namun juga teknologi IoT yang bisa menjadi enabler pelaku UKM dan industri terkait lainnya,” kata Ismail.

Kondisi konektivitas saat ini

Secara umum saat ini koneksi yang masih banyak dimanfaatkan oleh operator untuk teknologi IoT adalah 4G. Untuk jaringan 5G sendiri yang diklaim bakal membantu teknologi IoT berkembang lebih baik belum bisa diterapkan karena berbagai persoalan dan hambatan yang ada. Namun demikian pihak Indosat Ooredoo dalam hal ini, berupaya untuk meningkatkan 4G Latency untuk bisa dimanfaatkan pihak terkait yang ingin mengembangkan teknologi IoT.

Telkomsel sendiri baru-baru ini telah meresmikan kerja sama strategis mereka dengan armada taksi listrik Bluebird (e-taxi). Implementasi IoT Telkomsel ke dalam ekosistem digital Bluebird merupakan perwujudan komitmen perseroan dalam mendukung visi Making Indonesia 4.0 dari pemerintah. IoT Control Center dianggap mampu memperkuat ekosistem IoT secara menyeluruh melalui berbagai perangkat yang saling terkoneksi di dalam jaringan Bluebird. Salah satunya IoT Bluebird yang akan menjadi solusi pengganti Fleety sebagai perangkat penghitung argo, serta penerima pesanan berbasis jaringan 2G yang selama ini dipakai armada Bluebird.

“Selain dengan Bluebird, nantinya Telkomsel juga akan menjalin kolaborasi untuk mengembangkan teknologi IoT dengan Pertamina. Untuk fase pertama fokus kami masih kepada SPBU yang dimiliki oleh Pertamina. Bentuknya seperti apa intinya adalah, mendigitalkan Pertamina memanfaatkan teknologi IoT,” kata Joddy.

Telkom Resmikan Makassar Digital Valley

Jumat (17/5) Telkom kembali meresmikan pusat pengembangan dan inkubator startup, yakni Makassar Digital Valley (MDV). Kehadiran MDV diharapkan mendukung pertumbuhan industri digital di kawasan timur Indonesia. Inisiatif pengembangan industri kreatif digital di Makassar sebenarnya telah diawali dengan didirikannya Dilo pada tahun 2014 lalu.

Telkom MDV berlokasi di Jl. AP Pettarani No. 13 Makassar. Seperti yang sudah ada di Jakarta, Bandung dan Yogyakarta, MDV memiliki beberapa fasilitas yang meliputi coworking space, classroom space, mentoring space, meeting room, dan startup private room. Selain fasilitas fisik, beberapa program pembinaan startup juga akan menjadi agenda rutin di sana.

Menurut pemaparan pihak pengelola, kerja sama dengan berbagai pihak adalah kunci mengembangkan ekosistem kewirausahaan digital dan kreatif di wilayah tersebut. Sejak berdirinya Dilo Makassar hingga menjadi MDV saat ini, kolaborasi yang dikembangkan telah menjangkau 112 startup digital, 930 talenta digital, 50 komunitas digital, 3400 anggota, dan 17 universitas di Kota Makassar.

Hingga saat ini telah terdapat dua startup digital yang berasal dari Makassar yang berhasil lolos seleksi program inkubasi Indigo Creative Nation di MDV, yaitu PanenMart dan Mall Sampah. Harapannya dengan diresmikannya MDV, akan makin banyak lagi startup lokal yang berunjuk gigi di kancah nasional dan internasional.

Telkom Rilis Brand “Oolean”, Seriusi Pengembangan Ekosistem Game Lokal

Telkom merilis brand Oolean dalam rangka mengembangkan industri game lokal agar dapat bersaing di negeri sendiri, sekaligus bentuk manuver perseroan agar terus melaju di industri digital. Inisiasi ini diumumkan saat ajang konferensi tahunan Telkom Digisummit 2019 yang digelar kemarin, (11/4).

EVP Digital & Next Business Telkom Joddy Hernady mengatakan, keputusan ini diambil dengan melihat kondisi rendahnya penetrasi pangsa industri game lokal di Indonesia. Menurut data yang dikutip, pangsa pasar perusahaan game lokal hanya 19%, sementara pengembang game lokal 0,4% saja. Sisanya dikuasai pemain asing.

Padahal, berbicara potensi, Indonesia adalah negara dengan pertumbuhan pasar game tertinggi di Asia Tenggara, yang mencapai 37,3%. Angka ini mengalahkan Thailand 30,9%, Vietnam 29,2%, dan Malaysia 27%. Ditambah pula, lifetime revenue-nya lebih tinggi dari film dan musik.

Sebagai contoh, grup bank Peterpan (kini Noah) disebut memiliki revenue US$10 juta, sedangkan film Warkop Reborn US$17 juta. Sementara game Mobile Legend menembus angka US$120 juta.

“Pengembang game kita tidak akan bisa bersaing dan pangsa pasarnya lambat laun pasti terus turun. Kami memutuskan untuk berinvestasi di sini, dibantu Agate dan Melon,” terang Joddy.

Oolean diambil dari kata “ulin” yang berasal dari Bahasa Sunda yang artinya main.

Jumlah investasi untuk industri game lokal sangat minim yang berdampak pada kurang tumbuhnya perusahaan lokal. Kekurangan talenta pun turut memperparah kondisi. Berangkat dari isu tersebut membuat perseroan berinvestasi cukup besar untuk menghidupi ekosistem game lokal.

Mengawali kemitraan dengan perusahaan pengembang game asal Bandung, Agate, dan anak usahanya di bidang konten Melon, Telkom memulai debutnya. Meski tidak menyebut nominal pasti, Joddy menuturkan perseroan telah mengalokasikan biaya investasi untuk tiga sampai lima tahun ke depan untuk tahap awal ini.

Selain mengusung konsentrasi di industri game, Telkom juga mengumumkan inovasi teranyar untuk aplikasi video streaming Oona TV. Kini Oona TV tersedia ke dalam platform Max Stream dan Oona Indihome untuk menyasar pengguna Android TV.

Platform Oolean

Blueprint rencana Telkom lewat Oolean / DailySocial
Blueprint rencana Telkom lewat Oolean / DailySocial

Oolean menjadi platform one-stop-gaming-ecosystem, mulai dari menciptakan, mempublikasi judul-judul game, manajemen, hingga payment.

Joddy menjelaskan, Oolean sebagai user platform management, memiliki fitur user management system (user ID, password, single-sign on, social), gaming hub (news, cross promotion), analytics, dan game back end services (leaderboard, quest system, dan event management).

“Tentunya kehadiran platform ini untuk meningkatkan UX agar industri game bisa tumbuh. Ada banyak fitur di platform, dan siap ditambah. Ada open API dalam platform yang bisa langsung dipakai developer agar semakin mudah dalam menciptakan game.”

Sementara ini Oolean belum memiliki situs sendiri. Joddy mengatakan situs Oolean akan tersedia pada akhir tahun ini, setelah banyak judul game yang sudah diproduksi.

“Oolean ini inisiatif game yang membuat beberapa proyek. Lagipula, Oolean juga dijadikan brand untuk publishing karena ini bisnisnya B2B, jadi tidak langsung ke end user.”

Game yang berhasil dibuat para pengembang akan dipublikasi di GameQoo. Pada tahap awal ada 15 judul game lokal yang dapat dimainkan oleh konsumen dan 35 judul lainnya dari luar negeri.

GameQoo (dibaca: game-ku) adalah on-demand gaming platform yang merupakan rebranding dari nama sebelumnya, Emago. Emago lahir dari program inkubator Digital Amoeba yang digagas Telkom.

Dengan konsep cloud gaming, GameQoo membawa pengalaman bermain game tanpa konsol, bisa bermain di laptop atau layar televisi dengan kualitas full HD 60fps. Sepintas GameQoo mirip dengan konsep yang ditawarkan Google lewat Stadia.

Joddy tidak menampik fakta tersebut. GameQoo disebut memiliki kelebihan, karena bisa dimainkan konsol manapun. Tidak seperti Stadia yang butuh spesifikasi khusus.

“Untuk saat ini, tujuannya GameQoo buat main di rumah karena terhubung dari fixed broadband modem Indihome, sehingga ada kebutuhan orang ingin main game dengan nyaman. Ada kebutuhan latensinya harus rendah dan sebagainya, itu bisa kami sediakan.”

Untuk sementara, GameQoo dirilis secara terbatas untuk kalangan internal Telkom. Joddy memastikan pada akhir bulan ini sudah tersedia untuk publik.

Skema berlangganan bulanan yang diterapkan sebesar Rp50 ribu bagi pengguna Indihome. Jumlah game yang tersedia bakal terus ditambah, setidaknya tiga judul setiap bulannya.

Proyek game dengan Agate

Telkom juga tidak ingin luput dari pangsa pasar game yang belum terjamah dengan maksimal ini. Perseroan membuat sejumlah proyek untuk menggarap proyek judul game dari berbagai kategori, mulai dari hyper casual, casual, mid core, sampai hard core.

Game kasual yang sudah dirilis rata-rata mengandung unsur kearifan lokal, di antaranya Onet Asli, Botol Ngegas, dan Teka Teki Santai. Ketiganya sudah bisa diunduh lewat Google Play.

Kategori mid core game dijalani lewat proyek khusus bernama ATMA. Proyek ini masih sedang dikembangkan, mengambil tema pahlawan, mitos, legenda indonesia yang digabungkan dengan budaya kontemporer.

Hard core game pun juga sedang dalam proses pembuatan lewat proyek bernama Brightlands. Proyek ini dikerjakan oleh talenta lokal yang pernah bekerja di perusahaan pengembang game kelas dunia, seperti Bandai Namco, Ubisoft, Supercell, dan lainnya.

Game tersebut akan berbentuk konsol dan menjadi produk flagship karena bakal dipasarkan untuk pasar Amerika Serikat dan Eropa. Proses pengembangannya pun akan memakan waktu lama sampai tiga tahun, sekarang ini baru masuk bulan keenam.

“Kita cukup percaya diri untuk game konsol ini, prototipe-nya sudah di-showcase saat Game Developers Conference di Amerika sebulan lalu. Responsnya cukup bagus dan ada partner yang tertarik untuk kerja sama. Sekalian juga validasi pasar. Kami menawarkan visual yang sangat menarik dari alam-alam Indonesia dengan kualitas game internasional.”

Buat inkubator Indigo Game

Tidak berhenti di situ, Telkom berupaya meningkatkan kapabilitas talenta digital khusus game dengan meluncurkan program inkubator Indigo khusus game. Sebelumnya Indigo pernah membuat program untuk startup pengembang game, namun belum bisa berkembang dengan baik karena ketiadaan ekosistem.

Kali ini Telkom mempersiapkan Indigo Game dengan mentor, kurikulum khusus, dan pendanaan dengan nominal yang sama dengan program Indigo seperti biasa. Program juga akan berlangsung selama enam sampai sembilan bulan tiap batch-nya. Program ini akan dibuka pada Juni 2019, menyasar sekitar 10-15 startup untuk dilatih di Bandung Digital Valley.

“Diharapkan lulusan dari Indigo ini bisa ikut menyumbangkan game hyper/kasual yang bisa dipublikasi di GameQoo untuk perbanyak konten. Jadi strateginya ada game unggulan dan game kasual yang bertugas untuk menarik orang datang. Nah dari Indigo itu akan buat game untuk tarik orang.”

Joddy menjelaskan hubungan antara Telkom dan Agate yang kuat pada awal kemitraan ini, membuka kemungkinan untuk perseroan berinvestasi ke perusahaan asal Bandung tersebut. Namun untuk saat ini keduanya berusaha untuk memosisikan diri dengan kapabilitas masing-masing dan menggabungkannya.

Kemitraan dengan Agate ini tidak bersifat eksklusif. Artinya perseroan terbuka untuk bermitra dengan perusahaan pengembang game lainnya. Joddy menyebut perseroan masih fokus pada pengembangan ekosistem game yang perlu dibantu banyak pihak.

“Kebetulan ini baru mulai. Jadinya kita pilih dengan mitra yang skala bisnisnya sudah besar makanya kita mulai bersama Agate terlebih dahulu,” pungkasnya.

AMIGO Innovation Summit Segera Dilaksanakan, Konferensi dan Pameran Inovasi Startup Binaan Telkom

Program corporate innovation lab “Digital Amoeba” dan startup incubator “Indigo Creative Nation” milik PT Telkom Indonesia akan berkolaborasi mengadakan eksibisi dan konferensi digital bertajuk AMIGO Innovation Summit. Rangkaian acara akan dilaksanakan pada 19 – 20 Maret 2019 di Auditorium The Telkom Hub, Jakarta.

Selain konferensi dan pameran, akan ada beberapa acara lain termasuk pitch battle dan demo day. Sebanyak lebih dari 70 produk digital hasil program Digital Amoeba dan Indigo akan unjuk gigi. Selain itu di acara yang sama akan dilakukan peluncuran Corporate Innovation Alliance, yakni kumpulan perusahaan BUMN dan swasta untuk pengembangan manajemen inovasi.

Untuk mengisi sesi konferensi, dihadirkan pembicara dari dalam dan luar negeri. Beberapa nama yang dipastikan hadir di antaranya Stefan Lindergaard (Founder Silicon Valley Fast Track), Nathania Christy (Head of Global Insight Trend Watching), Fajrin Rasyid (President & Co-Founder Bukalapak), Irzan Raditya (CEO & Co-Founder Kata.ai) dan lain-lain.

Pada pemateri akan membawakan berbagai pembahasan seputar pengembangan startup. Topik yang akan ada di acara termasuk “Agile for Your Startup”, “From Customer Trend become Corporate Innovation”, “Accelerate your MVP,” dan masih banyak lagi.

Di sela-sela acara juga akan ada sesi khusus yang menggandeng Fuckup Night Jakarta. Sesi mereka menyajikan pengalaman kegagalan founder startup agar dapat dipetik pelajarannya. Acara ini terbuka untuk siapa saja, baik dari kalangan investor, penggiat startup, pemerhati teknologi, dan umum.

Informasi lebih lanjut seputar AMIGO Innovation Summit dapat disimak melalui situs resminya: http://amigosummit.id.

Disclosure: DailySocial merupakan media partner AMIGO Innovation Summit 2019

Tcash Officially Merges to LinkAja, Danu Wicaksana Leads Finarya

Friday (2/22), Telkomsel’s e-money service is officially merged into LinkAja. Tcash’s President Director, Danu Wicaksana is appointed to lead the service under PT Fintek Karya Nusantara (Finarya).

In the official release to DailySocial, Wicaksana said there’s no different service from Tcash to LinkAja. Users can use Tcash as per usual.

However, LinkAja will introduce some new features soon. “We’ll be developing some new features of LinkAja in time,” he added.

LinkAja is a QR Code-based payment system to be managed by alliance of four state-owned banks (Mandiri, BNI, BRI, and BTN), Telkomsel, and Pertamina.

After Tcash, server-based e-money platforms under state-owned banks, such as BRI’s My QR and BNI’s Yap!, will merge into LinkAja payment system in early March.

An interesting news arose, Jiwasraya is to involve in LinkAja shareholders. Telkomsel will acquire 25%, followed by BNI, BRI, and Mandiri of 20%. Both BTN and Pertamina will have 7% each, and 1% for Jiwasraya.

Strategy to compete with Ovo and Go-Pay

The plan of state-owned companies to create its own payment system has spread since the late 2018. In fact, rumor has it that they will partner with WeChat Pay and Alipay.

Soon after that, the state-owned alliance announces to launch QR Code-based payment system, LinkAja, in the late January 2019. To date, state-owned companies involved are sealed when it comes to LinkAja’s development in the future.

One that is certain, LinkAja is developed to break Go-Pay and Ovo’s domination in Indonesia.

“It was because Go-Pay and Ovo is strong, it triggers state-owned companies to make synergy. Previously, each company work independently. Mrs. Rini (Ministry of State-owned companies) wants to merge the whole effort to LinkAja,” David Bangun, Telkom’s Digital and Strategic Portfolio Director said, not long time ago.

Based on DailySocial’s Fintech Report 2018, Go-Pay is the most popular with 79.39% of the respondents have tried the app, followed by Ovo at 58.42%, and Tcash 55.52%

Difficult to access

Until this afternoon, LinkAja users still complain about the difficulty to access the app. It has been going on since this morning.

DailySocial has tried to login. The first time, it succeed. The second trial and the next ones did not.

The access is using cellphone number. When logging in, user will receive verification code sent to the cellphone number. Unfortunately, after the verification code entered, it keeps loading and not getting into the app.

In its official release, Wicaksana said the LinkAja system is currently upgrading because the high demand of users. He guarantee the account safety with its balance.

“”LinkAja’s technical team is trying to make it easier for user to acces the app. We’re very sorry for the inconvenience in accessing LinkAja,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Tcash Resmi Melebur Jadi LinkAja, Danu Wicaksana Pimpin Finarya

Hari ini, Jumat (22/2), layanan uang elektronik atau e-money milik Telkomsel resmi melebur ke dalam LinkAja. Direktur Utama Tcash Danu Wicaksana ditunjuk memimpin layanan yang bernaung di bawah PT Fintek Karya Nusantara (Finarya) ini.

Dalam keterangan resmi yang DailySocial terima, Danu menyebutkan bahwa tidak akan ada perubahan layanan dari Tcash ke LinkAja. Pengguna Tcash dapat menggunakan layanan ini seperti biasa.

Hanya saja, LinkAja akan menghadirkan sejumlah fitur baru ke depannya. ”Kami akan mengembangkan berbagai fitur baru dari LinkAja dari waktu ke waktu,” ungkap Danu.

LinkAja merupakan sistem pembayaran berbasis Quick Response (QR) Code yang akan dikelola kongsi empat bank BUMN (Mandiri, BNI, BRI, dan BTN), Telkomsel, dan Pertamina.

Setelah Tcash, bakal menyusul platform e-money berbasis server milik bank BUMN, seperti My QR milik BRI dan Yap! dari BNI, yang akan melebur ke dalam sistem pembayaran LinkAja awal Maret mendatang.

Menariknya Jiwasraya akan masuk ke dalam jajaran pemegang saham LinkAja. Telkomsel nantinya akan mengantongi 25 persen kepemilikan, diikuti BNI, BRI, dan Mandiri 20 persen. Baik BTN dan Pertamina memiliki 7 persen, sedangkan Jiwasraya 1 persen.

Strategi hadapi Ovo dan Go-Pay

Rencana BUMN menggarap sistem pembayaran sendiri sudah ramai dibicarakan sejak akhir 2018 lalu. Malah saat itu, informasi yang beredar justru menyebutkan BUMN akan bermitra dengan WeChat Pay dan Alipay.

Tak berapa lama berselang, kongsi BUMN mengumumkan akan meluncurkan sistem pembayaran berbasis QR Code LinkAja pada akhir Januari 2019. Hingga sekarang, seluruh perusahaan BUMN yang terlibat dalam kongsi ini masih menutup rapat-rapat mengenai bagaimana pengembangan LinkAja ke depan.

Yang pasti, LinkAja sengaja dipersiapkan untuk mematahkan dominasi Go-Pay dan Ovo di pasar fintech Tanah Air.

“Justru karena GoPay dan OVO kuat, maka itu memicu munculnya kesadaran perlunya sinergi BUMN. Sebelumnya, masing-masing BUMN maju sendiri-sendiri, Bu Rini [Menteri BUMN] ingin menggabungkan semua effort ke dalam LinkAja,” jelas Direktur Digital and Strategic Portfolio Telkom David Bangun saat kami hubungi beberapa waktu lalu.

Berdasarkan Fintech Report 2018 yang dirilis DailySocial, Go-Pay memimpin di sisi popularitas dengan 79,39 persen responden sudah pernah menggunakannya, diikuti Ovo 58,42 persen, dan Tcash 55,52 persen.

Masih sulit diakses

Hingga sore ini, pengguna LinkAja mengeluhkan sulitnya akses ke dalam aplikasi. Kesulitan akses masuk (login) ke aplikasi LinkAja sudah terjadi sejak pagi tadi.

DailySocial sempat menjajal login ke aplikasi ini. Pada saat login pertama, akses berhasil. Namun saat percobaan kedua dan seterusnya, kami tidak berhasil masuk ke dalam aplikasi.

Akses masuk ke aplikasi menggunakan nomor seluler. Dan untuk login, pengguna akan menerima kode verifikasi yang dikirimkan ke nomor seluler. Sayang, usai kode verifikasi dimasukkan, proses loading terus berjalan dan tidak mau masuk ke dalam aplikasi.

Dalam keterangan resminya, Danu menyebutkan bahwa saat ini sistem LinkAja sedang dalam proses upgrade dikarenakan tingginya jumlah unduhan dari para pengguna. Ia memastikan akun dan saldo pengguna tetap aman.

”Tim teknis LinkAja sedang berupaya untuk mempermudah akses pelanggan untuk masuk ke aplikasi ini . Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan Anda dalam mengakses layanan LinkAja,” tuturnya.

Application Information Will Show Up Here

Tcash Jadi LinkAja Per 21 Februari Mendatang

Tcash secara resmi mengumumkan perubahan nama menjadi LinkAja, yang efektif bakal berlaku mulai 21 Februari mendatang. LinkAja, sebuah BUMN fintech yang tidak lagi sekadar platform pembayaran milik Telkom Group, menjadi ujung tombak untuk bersaing di sektor pembayaran digital yang makin kompetitif.

Sebelumnya kami telah memberitakan bahwa LinkAja merupakan joint venture enam BUMN besar, yaitu Telkom, Pertamina, Bank Mandiri, BRI, BNI, dan BTN. BUMN Fintech ini akan menggunakan skema QR Code terstandar sebagai landasan platform pembayaran digital. Digadang-gadang mereka juga akan bermitra dengan raksasa pembayaran Tiongkok WeChat Pay dan Alipay.

Menurut Fintech Report 2018, Tcash adalah platform uang elektronik berbasis server terpopuler ketiga
Menurut Fintech Report 2018, Tcash adalah platform uang elektronik berbasis server terpopuler ketiga

Menurut Fintech Report 2018, Tcash adalah platform uang elektronik terpopuler ketiga di Indonesia setelah Go-Pay dan OVO. Dikabarkan CEO Tcash saat ini, Danu Wicaksana, bakal memimpin inisiatif LinkAja.

Di laman resmi yang dihadirkan Tcash, disebutkan tidak ada perubahan fitur berarti antara Tcash dan LinkAja. Pengguna existing Tcash tinggal memperbarui aplikasinya mulai tanggal 21 Februari dan secara otomatis akan dikonversi menjadi konsumen LinkAja. Saldo yang ada di dompet Tcash juga bakal secara utuh dipindahkan ke dompet LinkAja.

Sebelumnya di keterbukaan ke BEI, Telkom Group juga mengumumkan pendirian anak perusahaan yang khusus mengurusi fintech, PT Fintek Karya Nusantara (Finarya). Belum ada informasi lebih lanjut bagaimana kaitan antara Finarya dan LinkAja.

Tcash saat ini tidak lagi eksklusif untuk pengguna Telkomsel dan bisa digunakan oleh pengguna operator seluler apapun mulai pertengahan tahun lalu.

Application Information Will Show Up Here

Telkom Group Develops a New Fintech Subsidiary “Finarya”

PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) through PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) officially introduces a new subsidiary in fintech industry named PT Fintek Karya Nusantara (Finarya) on January 21, 2019.

According to BEI, Finarya is Telkomsel’s subsidiary for payment system provider. “Finarya is said to help the previous fintech ecosystem. Telkomsel will have the 99.99 percent of Finarya’s shares,” stated in the BEI’s disclosure.

Telkomsel’s current fintech ecosystem is only Tcash, an e-money service for cross-operator. There’s no further information of Finarya’s development related to LinkAja. The thing is, Telkomsel officially separates fintech from its core business in telecommunication.

LinkAja is a Quick Response (QR) based payment system managed by four state-owned banks (Mandiri, BNI, BRI, and BTN), Telkomsel, and Pertamina. It is to be announced at the end of February or early March 2019.

Denny Abidin, Telkomsel’s GM External Corporate Communication didn’t mention much to DailySocial. However, he said Finarya will boost Tcash acceleration in the near future.

“In terms of the establishment, it’s led by Telkom. We can’t provide much information. Except for LinkAja, Telkomsel acts as corridor, it’s led by Danu [Wicaksono, Tcash’s CEO],” he said on the phone.

We’re trying to contact Tcash’s CEOO, Danu Wicaksana, but he avoids to make any comment. “I have no comment [on Finarya’s development with LinkAja], it’s hard to answer. Wait for the update, will you?,” he said.

Until this news published, DailySocial is still waiting for confirmation from Arif Prabowo, Telkom’s VP Corporate Communications.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Telkom Group Bentuk Anak Usaha Telkomsel “Finarya” di Bidang Fintech

PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) melalui PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) resmi membentuk anak usaha baru di bidang fintech, yaitu PT Fintek Karya Nusantara (Finarya) pada 21 Januari 2019.

Berdasarkan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), Finarya adalah anak usaha perusahaan Telkomsel yang bergerak di bidang sistem penyelenggara jasa sistem pembayaran.

“Pembentukan Finarya disebut akan  membantu ekosistem fintech yang sudah ada sebelumnya. Telkomsel juga akan memiliki 99,99 persen saham di Finarya,” demikian tertulis dalam keterangan di keterbukaan informasi BEI.

Sejauh ini, ekosistem fintech Telkomsel adalah Tcash, layanan e-money yang kini bisa dipakai lintas operator. Belum ada informasi lebih lanjut mengenai rencana pembentukan Finarya dan kaitannya dengan LinkAja. Yang pasti, Telkomsel resmi memisahkan bisnis fintech dari bisnis utamanya di telekomunikasi.

LinkAja merupakan sistem pembayaran berbasis Quick Response (QR) Code yang akan dikelola kongsi empat bank BUMN (Mandiri, BNI, BRI, dan BTN), Telkomsel, dan Pertamina. LinkAja rencananya akan diumumkan sekitar akhir Februari atau awal Maret 2018.

GM External Corporate Communications Telkomsel Denny Abidin kepada DailySocial tidak bisa memberikan komentar banyak. Namun, ia menyebutkan bahwa Finarya akan mendorong akselerasi Tcash lebih cepat di masa mendatang.

“Untuk pendirian entitas baru ini, yang lead memang dari Telkom. Kami tidak bisa memberikan informasi lebih lanjut. Kecuali, untuk LinkAja, koridornya ada di Telkomsel karena yang lead itu Danu [Wicaksono, CEO Tcash],” ungkapnya saat dihubungi via telepon.

Kami juga mencoba mengontak CEO Tcash, Danu Wicaksana, namun ia juga enggan berkomentar. “Saya belum bisa komentar. [Terkait pembentukan Finarya dengan LinkAja], agak susah menjawabnya. Nanti saja ya tunggu update,” tuturnya.

Hingga berita ini diturunkan, DailySocial juga masih menunggu konfirmasi dari VP Corporate Communications Telkom Arif Prabowo.

Application Information Will Show Up Here