Haryati Lawidjaja: LinkAja Fokus pada Pemenuhan Kebutuhan Esensial

Berdasarkan Surat Keputusan Pemegang Saham tertanggal 29 April 2020, Haryati Lawidjaja resmi ditunjuk sebagai Direktur Utama (CEO) LinkAja. Bergabung sejak Juni 2019, ia sebelumnya menjabat sebagai COO dan Plt. CEO menggantikan Danu Wicaksono yang kini berlabuh di Good Doctor Indonesia.

Tugas ini tentu tidak mudah di tengah persaingan ketat platform digital e-money di Indonesia. Dalam wawancaranya dengan DailySocial, Haryati menyampaikan visi dan strateginya untuk perusahaan.

“Saya bersama talenta terbaik LinkAja fokus untuk mendorong inklusi keuangan dan ekonomi melalui pembangunan ekosistem keuangan digital yang melayani kebutuhan masyarakat & UKM di Indonesia […] Kami optimistis di tahun 2024 LinkAja sebagai salah satu katalis Gerakan Nasional Non-Tunai dapat turut serta membantu pemerintah mencapai inklusi keuangan nasional sebesar 90 persen,” ujarnya.

Kuatkan kolaborasi

Strategi yang digalakkannya untuk memperkuat posisi adalah melalui kerja sama strategis dengan berbagai pihak, baik dengan lembaga perbankan maupun non-perbankan, dengan tetap terus mengupayakan inovasi produk. Kerja sama yang dijalin melibatkan berbagai aspek dalam roda perekonomian nasional, termasuk pemerintahan.

“Kami berkolaborasi dengan pemerintah daerah melalui berbagai program, di antaranya digitalisasi 451 pasar tradisional di seluruh Indonesia, layanan retribusi di 34 kota, pengembangan lebih dari 200 ribu merchant lokal (UKM), hingga kemudahan pembayaran di 94 transportasi lokal,” imbuh Haryati.

Ia menambahkan, sejak awal diluncurkan layanannya fokus pada penyediaan layanan keuangan digital untuk kelas menengah/aspiran dan para pelaku UKM. Inilah yang diklaim membedakan LinkAja dengan platform sejenis.

“LinkAja fokus pada pemenuhan kebutuhan esensial masyarakat, mulai e-commerce, komunikasi, perjalanan, kesehatan, asuransi, investasi, donasi, hiburan, pembelian BBM, pembayaran tagihan, hingga berbagai program pemerintah seperti penyaluran batuan sosial dan kredit ultra mikro; hingga pasar tradisional,” terang Haryati.

Haryati Lawidjaja masih fokuskan kolaborasi dan edukasi pengguna jadi strategi bisnisnya / LinkAja
Haryati Lawidjaja: kolaborasi dan edukasi pengguna jadi strategi utama / LinkAja

Perkembangan bisnis

Edukasi masyarakat terkait platform keuangan digital masih menjadi pekerjaan rumah setiap pemain fintech di Indonesia. Hal yang sama dirasakan LinkAja. Adanya kerja sama lintas sektor diharapkan dapat memberikan dampak signifikan untuk membantu perusahaan dalam mengedukasi pengguna.

Keberhasilan edukasi pengguna ini, menurut Haryati, berdampak langsung pada peningkatan traksi bisnis, “Hal ini terbukti dengan meningkatnya jumlah transaksi sebanyak 5 kali lipat sejak beroperasi pada bulan Februari 2019 hingga akhir tahun 2019. Sebanyak 83% pengguna LinkAja tersebar di luar Jakarta, dengan 40% pengguna di antaranya berada di luar pulau Jawa seperti kota-kota di Sumatra dan Sulawesi.”

“Saat ini, kami telah memiliki lebih dari 45 juta pengguna yang tersebar di seluruh Indonesia, dengan dominasi usia berusia 25 – 35 tahun (per Q1 2020),” terang Haryati.

Sebelumnya, pada Desember 2019 lalu, LinkAja menunjuk Ikhsan Ramdan sebagai CFO. Salah satu fokusnya untuk melakukan fundraising Seri B di tahun 2020. Ketika kami menanyakan perkembangan rencana tersebut, Haryati enggan memberikan komentar.

Kemudian terkait rencana kerja samanya dengan Facebook untuk membawa Facebook Pay di Indonesia, ia juga belum bisa menyampaikan detail. Seperti diketahui sebelumnya, Facebook Pay ingin bermanuver di Indonesia dengan menghadirkan fitur kirim dana melalui platform Facebook, Messenger, hingga WhatsApp. Pihak Facebook disebut tengah bernegosiasi dengan regulator, sedangkan GoPay, LinkAja, dan Ovo disebut digandeng jadi mitra strategis.

Rencana ekspansi

Untuk tahun ini, LinkAja masih fokus pada pasar domestik dengan tetap membuka kesempatan kerja sama strategis dengan pemain regional dan global untuk mengekspansikan produknya.

“Salah satu kendala platform uang elektronik, termasuk LinkAja, adalah akses terhadap layanan keuangan yang masih terbatas, terutama bagi masyarakat yang berada di daerah dan pelosok. Untuk itu, saat ini kami fokus untuk terus melakukan edukasi berkesinambungan dan menyediakan kemudahan akses terhadap pembayaran elektronik, terutama untuk segmen ultra mikro dan mass market di pelosok.”

Di skala regional, sambungnya, LinkAja merupakan satu-satunya uang elektronik di Indonesia yang melayani remitansi dari Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Singapura yang ingin mengirimkan uang ke keluarga di tanah air.

Belum lama ini, fitur Syariah juga diresmikan perusahaan dan diharapkan bisa merangkul 1 juta pengguna.Hal yang membedakan fitur syariah ini dengan layanan konvensional adalah institusi penyimpanan dana (floating fund) memakai jasa bank syariah.

LinkAja syariah sudah digulirkan di aplikasi; jalin kerja sama dengan institusi keuangan syariah / LinkAja
LinkAja syariah sudah digulirkan di aplikasi; jalin kerja sama dengan institusi keuangan syariah / LinkAja

Tren ke depan

Pasca pandemi ini, Haryati cukup percaya diri bahwa layanan digital akan terdampak baik pada peningkatan penggunaan layanan. Kondisi new normal mengakibatkan perubahan perilaku masyarakat yang pada akhirnya mempercepat digitalisasi di berbagai sektor industri. Dengan demikian, hal ini akan memperluas dan mempercepat kebutuhan edukasi keuangan digital dan akses keuangan digital di tengah masyarakat.

“Contohnya digitalisasi pasar tradisional, yang menjadi tantangan bagi LinkAja untuk terus melakukan inovasi produk, maupun edukasi secepat mungkin agar bisa beradaptasi dan memberi solusi berarti pada kondisi new normal ini.”

Haryati juga menyampaikan, masyarakat akan semakin terbiasa dengan transaksi digital. Dengan tingkat inklusi dan juga literasi keuangan masyarakat yang makin meningkat, kebutuhan terhadap beragam transaksi akan meningkat. “Kami optimistis bahwa LinkAja, yang dimiliki secara mayoritas oleh BUMN, dioperasikan oleh tenaga kerja nasional terbaik, serta infrastruktur yang berlokasi di Indonesia akan segera menjadi national champion di bidang layanan keuangan digital.”

“Dengan melahirkan talenta-talenta terbaik di industri digital, kami akan terus meningkatkan  kualitas pelayanan, berinovasi untuk membangun dan mengembangkan layanan dan ekosistem yang relevan bagi masyarakat Indonesia. Meningkatkan relevansi LinkAja terhadap masyarakat Indonesia terutama kalangan menengah/aspirant, massal dan ultra mikro,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

LinkAja E-money Service Officially Launches, Available for Cross-Country Transaction

After being delayed for several months, LinkAja officially launched on Sunday (6/30). Participated also in the event, the Vice President of Republic Indonesia Jusuf Kalla, BUMN Minister Rini Soemarno, and Minister of Communication and Information Rudiantara at Gelora Bung Karno, Jakarta.

In his remarks, LinkAja’s CEO, Danu Wicaksana said that the product has created opportunities to improve the low rate of financial inclusion services in Indonesia. As of 2018, 76 percent of transactions in the country are still in cash.

LinkAja should be the national development agent in helping the government to improve Indonesia’s financial inclusion to 75 percent by the end of this year.

In this event, Wicaksana helped introduce LinkAja’s newest feature, the cross-country transaction. Currently, it’s only available in Singapore and having collaboration with Singtel telecommunications operators.

“There are two things related to LinkAja cross-country service. First, remittances from abroad. Second, cross-country merchant payments using the app,” he said to DailySocial.

Regarding remittance services, the company claimed to be the only e-money that provides it from Indonesia’s Migrant Workers (PMI) in Singapore.

He said no further details on the expansion strategy. However, LinkAja has good potential in acquiring the international market, particularly for Telkom remittance and Telkomsel users working abroad, also Indonesia’s Migrant Workers.

Another new feature is drawing money using smartphones. It allows users to draw money without debit card at more than 40 thousand ATM Link outlets of the red-plate banks.

As the previous information, LinkAja is a transformation from Telkomsel’s Tcash. The QR Code-based service has been announced since February and available since early March.

LinkAja was managed by PT Fintek Karya Nusantara or Finarya as the joint venture of four state-owned banks (Mandiri, BNI, BRI, and BTN), Telkomsel, Pertamina, Jasa Marga, and Jiwasraya. It’s a strategy against Go-Pay and OVO domination in the e-money market.

Currently, LinkAja has acquired 22 million users. In terms of the partnership, they’ve worked with more than 15,000 merchants, 400 payments, and  20 e-commerce in Indonesia. In addition, there’s also Cash in Cash Out (CICO) in over 100 thousand spots.

“We’re focused on the public’s essential affairs. One is to digitize SPBU with Pertamina, cashless payment for tolls with Jasa Marga, and digital payment for all public transportations like trains,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Layanan E-money LinkAja Resmi Meluncur, Dapat Dipakai Bertransaksi di Luar Negeri

Setelah sempat tertunda selama beberapa bulan, layanan fintech LinkAja akhirnya resmi meluncur pada Minggu (30/6). Peluncuran ini turut disaksikan langsung Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, Menteri BUMN Rini Soemarno, dan Menkominfo Rudiantara di Gelora Bung Karno, Jakarta.

Dalam sambutannya, CEO LinkAja Danu Wicaksana mengatakan bahwa kehadiran LinkAja membuka peluang untuk meningkatkan layanan inklusi keuangan di Indonesia yang saat ini terbilang rendah. Per 2018 tercatat 76 persen transaksi di Tanah Air masih didominasi uang tunai.

LinkAja diharapkan dapat menjadi agen pembangunan nasional dan membantu visi pemerintah untuk mendorong inklusi keuangan Indonesia menjadi 75 persen pada akhir tahun ini.

Pada peluncuran ini, Danu turut memperkenalkan fitur terbaru LinkAja, yakni bertransaksi di luar negeri. Saat ini LinkAja baru tersedia di Singapura dan telah bekerja sama dengan operator telekomunikasi Singtel.

“Jadi ada dua hal terkait layanan LinkAja di luar negeri. Pertama, remitansi dari luar ke dalam negeri. Kedua, membayar merchant di luar negeri dengan aplikasi LinkAja,” ungkap Danu kepada DailySocial.

Terkait layanan remitansi, perusahaan mengklaim menjadi satu-satunya layanan uang elektronik yang melayani remitansi dari Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Singapura.

Danu belum dapat memaparkan lebih lanjut mengenai strategi ekspansinya di luar negeri. Akan tetapi, LinkAja memiliki peluang untuk mencaplok pangsa pasar internasional, terutama basis pengguna remintasi Telkom dan layanan seluler Telkomsel yang bekerja di luar negeri atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

Fitur unggulan lainnya adalah tarik tunai dengan menggunakan smartphone. Fitur ini memungkinkan pengguna menarik uang tunai tanpa harus membawa kartu debit di lebih dari 40 ribu ATM Link milik bank-bank pelat merah.

Seperti diketahui, LinkAja merupakan transformasi layanan pembayaran elektronik dari Tcash milik Telkomsel. Layanan berbasis Quick Response (QR) Code ini diumumkan pada Februari lalu dan sudah dapat dipakai untuk bertransaksi oleh pengguna sejak awal Maret.

LinkAja dikelola oleh PT Fintek Karya Nusantara atau Finarya yang merupakan perusahaan kongsi dari empat bank BUMN (Mandiri, BNI, BRI, dan BTN), Telkomsel, Pertamina, Jasa Marga, dan Jiwasraya. LinkAja menjadi strategi untuk melawan dominasi Go-Pay dan OVO di pasar uang elektronik saat ini.

Sekarang LinkAja telah mengantongi 22 juta pengguna. Dari sisi kemitraan, LinkAja telah bekerja sama dengan lebih dari 15.000 merchant, pembayaran di 400 tagihan, dan 20 e-commerce di Indonesia. Selain itu, LinkAja juga memiliki fitur Cash in Cash Out (CICO) di lebih dari 100 ribu titik.

“Kami berfokus pada pemenuhan kebutuhan esensial masyarakat. Salah satunya dengan digitalisasi SPBU bersama Pertamina, pembayaran nirsentuh di jalan tol dengan Jasa Marga, dan pembayaran digital di berbagai moda transportasi publik, seperti kereta,” papar Danu.

Application Information Will Show Up Here

Finarya, Linkaja Management Company, Officially Obtained BI’s E-Money License

PT Fintek Karya Nusantara or Finarya, Linkaja’s organizer, is officially obtained e-money license issued by Bank Indonesia (BI). Finarya has submitted for license in February 21st, 2019 on letter no. 21/65/DKSP/Srt/B.

Finarya has been operating since February 22nd, 2019 with Tcash merger into LinkAja. The interesting thing, this is a new license and not the one owned by Telkomsel’s Tcash.

LinkAja is a QR Code-based payment system managed by four partnered state-owned banks (Mandiri, BNI, BRI, and BTN), Telkomsel, Jiwasraya Insurance, and Pertamina. Telkomsel is the biggest shareholder and Danu Wicaksana, Tcash’s CEO is appointed as Finarya’s Director.

Currently, the digital payment app conversion under the State-owned Banks Community (Himbara) into LinkAja, such as E-cash (Bank Mandiri), T-Bank (BRI), UnikQu and Yap! (BNI) is to be finalized in late March.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Finarya, Perusahaan Pengelola LinkAja, Resmi Kantongi Lisensi E-Money dari BI (UPDATED)

PT Fintek Karya Nusantara atau Finarya, penyelenggara layanan e-money LinkAja, resmi mengantongi lisensi uang elektronik yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI). Finarya tercatat telah mengajukan izin sebagai penyelenggara emoney LinkAja pada 21 Februari 2019 dengan surat No. 21/65/DKSP/Srt/B.

Finarya sendiri telah efektif beroperasi sejak 22 Februari 2019 dengan peleburan layanan Tcash ke dalam aplikasi LinkAja. Menariknya lisensi ini adalah lisensi baru dan bukan merupakan lisensi Tcash yang dimiliki oleh Telkomsel.

LinkAja merupakan sistem pembayaran berbasis Quick Response (QR) Code yang dikelola kongsi empat bank BUMN (Mandiri, BNI, BRI, dan BTN), Telkomsel, Asuransi Jiwasraya, Pertamina, dan terakhir Danareksa. Telkomsel menjadi pemilik saham terbesar perusahaan ini dan Danu Wicaksana, CEO Tcash, menjadi Direktur Finarya.

Saat ini konversi aplikasi pembayaran digital milik Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) ke LinkAja, seperti E-cash (Bank Mandiri), T-Bank (BRI), UnikQu dan Yap! (BNI) ditargetkan rampung akhir Maret ini. LinkAja disebutkan bakal resmi beroperasi penuh di pertengahan April 2019.

Dengan masuknya Danareksa ke dalam susunan pemegang saham Finarya, Telkomsel akan mengantongi 25 persen, diikuti BNI, BRI, dan Mandiri masing-masing 20 persen. Baik BTN dan Pertamina memiliki 7 persen, sedangkan Jiwasraya dan Danareksa masing-masing 0,5 persen.

Application Information Will Show Up Here

BukaDompet Resmi Ditutup, Dana Jadi Platform Pembayaran Utama Bukalapak

Mulai memperkenalkan Buka Dana di bulan September 2018 sebagai platform alternatif untuk pembayaran digital, Bukalapak akhirnya menutup BukaDompet sebagai platform pembayaran utama dan mengalihkannya ke platform Dana, kini bernama Saldo Bukalapak (berikutnya disebut sebagai Saldo), mulai tanggal 25 Februari kemarin.

Kepada DailySocial, Head of Corporate Communication Bukalapak Intan Wibisono mengungkapkan, BukaDompet memang diintegrasikan ke Dana. Hasil transaksi penjualan di BukaDompet tetap dapat diakses oleh seller sebagai Saldo dan dicairkan, namun marketplace dan virtual product buyer akan diarahkan untuk menggunakan metode pembayaran lainnya.

“Kami yakin Saldo dapat makin menguatkan kepercayaan masyarakat terhadap reliabilitas kami sebagai platform belanja online. Kami akan terus berinovasi tanpa henti dengan harapan dapat mendorong kemajuan para usaha kecil kami untuk naik kelas dan memberikan solusi bagi kebutuhan pengguna Bukalapak di seluruh Indonesia.”

Pengguna Bukalapak yang masih mempunyai sisa saldo di BukaDompet, saldo tersebut bisa dicairkan ke rekening bank (minimal Rp25 ribu) ataupun dipindahkan ke DANA (minimal Rp10 ribu).

“Kehadiran Bukalapak ingin terus berinovasi dalam memberikan kemudahan bagi para pengguna, salah satunya dalam hal bertransaksi di Bukalapak,” kata Intan.

Diawali pembekuan oleh Bank Indonesia

Di awal tahun 2018 BukaDompet dibekukan operasionalnya oleh Bank Indonesia karena tidak memiliki izin uang elektronik untuk pengelolaan dompet digital dengan perputaran di atas Rp1 miliar. Tokopedia, Paytren, dan Shopee juga sempat mengalami hal yang sama.

Baik Paytren maupun Shopee akhirnya memperoleh izin dari regulator, sedangkan Tokopedia menggandeng Ovo sebagai platform uang elektroniknya.

Meskipun sempat mengusahakan BukaDompet untuk memperoleh lisensi uang elektronik, akhirnya Bukalapak memilih jalan yang serupa dengan Tokopedia dengan merangkul Dana. Baik Dana maupun Bukalapak memiliki pemilik saham yang sama, yaitu konglomerat media Emtek dan Ant Financial (anak perusahaan Alibaba Group).

Application Information Will Show Up Here

Tcash Jadi LinkAja Per 21 Februari Mendatang

Tcash secara resmi mengumumkan perubahan nama menjadi LinkAja, yang efektif bakal berlaku mulai 21 Februari mendatang. LinkAja, sebuah BUMN fintech yang tidak lagi sekadar platform pembayaran milik Telkom Group, menjadi ujung tombak untuk bersaing di sektor pembayaran digital yang makin kompetitif.

Sebelumnya kami telah memberitakan bahwa LinkAja merupakan joint venture enam BUMN besar, yaitu Telkom, Pertamina, Bank Mandiri, BRI, BNI, dan BTN. BUMN Fintech ini akan menggunakan skema QR Code terstandar sebagai landasan platform pembayaran digital. Digadang-gadang mereka juga akan bermitra dengan raksasa pembayaran Tiongkok WeChat Pay dan Alipay.

Menurut Fintech Report 2018, Tcash adalah platform uang elektronik berbasis server terpopuler ketiga
Menurut Fintech Report 2018, Tcash adalah platform uang elektronik berbasis server terpopuler ketiga

Menurut Fintech Report 2018, Tcash adalah platform uang elektronik terpopuler ketiga di Indonesia setelah Go-Pay dan OVO. Dikabarkan CEO Tcash saat ini, Danu Wicaksana, bakal memimpin inisiatif LinkAja.

Di laman resmi yang dihadirkan Tcash, disebutkan tidak ada perubahan fitur berarti antara Tcash dan LinkAja. Pengguna existing Tcash tinggal memperbarui aplikasinya mulai tanggal 21 Februari dan secara otomatis akan dikonversi menjadi konsumen LinkAja. Saldo yang ada di dompet Tcash juga bakal secara utuh dipindahkan ke dompet LinkAja.

Sebelumnya di keterbukaan ke BEI, Telkom Group juga mengumumkan pendirian anak perusahaan yang khusus mengurusi fintech, PT Fintek Karya Nusantara (Finarya). Belum ada informasi lebih lanjut bagaimana kaitan antara Finarya dan LinkAja.

Tcash saat ini tidak lagi eksklusif untuk pengguna Telkomsel dan bisa digunakan oleh pengguna operator seluler apapun mulai pertengahan tahun lalu.

Application Information Will Show Up Here

TokoCash Kini Jadi OVO, Tokopedia Tidak Buru Lisensi Uang Elektronik Sendiri

Melalui pemberitahuan email ke pelanggannya, Tokopedia meresmikan penggantian layanan e-wallet miliknya TokoCash dengan layanan OVO milik anak usaha Lippo Group. Inisiatif ini menyusul rilis sebelumnya bahwa OVO dan Tokopedia telah menandatangani kerja sama strategis untuk menambahkan opsi pembayaran.

Sekarang layanan OVO sudah otomatis terintegrasi dengan Tokopedia. Jika pengguna sebelumnya memiliki saldo TokoCash, juga otomatis akan masuk ke akun OVO – terdaftar tanpa harus registrasi secara manual.

Di Tokopedia, pengguna juga dapat mengisi (top up) saldo e-money OVO antara 50 ribu hingga 5 juta. Sebagai informasi, regulasi mengatur batasan maksimal nilai yang disimpan di uang elektronik maksimal 10 juta Rupiah, dengan transaksi per bulan maksimal 20 juta Rupiah.

Berbagai layanan pembayaran di Tokopedia kini dapat dibayar langsung dengan saldo OVO yang dimiliki. Beberapa layanan harus tetap diakses melalui aplikasi Tokopedia, karena opsinya sebagian belum dimiliki di aplikasi OVO.

Tidak lagi memburu lisensi sendiri

Sekitar Oktober 2017, layanan dompet digital milik Tokopedia dihentikan operasionalnya oleh Bank Indonesia (BI). Dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) 20/2018 tentang uang elektronik tersurat jelas dalam pasal 4 bahwa setiap penyelenggara (baik bank atau non-bank) yang mengoperasikan uang elektronik dengan jumlah dana float 1 miliar Rupiah atau lebih harus memperoleh izin dari BI.

Sementara OVO melalui PT Visionet Internasional sudah mendapatkan lisensi sejak Agustus 2017.

Dalam sebuah kesempatan di Bali, DailySocial bertanya ke Direktur Eksekutif Bank Indonesia Onny Widjanarko, mengapa lisensi uang elektronik Tokopedia tidak kunjung dirilis. Secara singkat ia menjawab ada komponen regulasi yang belum berhasil dilengkapi pihak pemohon. Onny juga memastikan bahwa tidak ada proses yang dipersulit, karena semuanya sudah tertuang dalam PBI secara jelas.

Pasal 5 yang tertera dalam PBI tersebut mengelompokkan penyelenggara berdasarkan jenis jasa pembayaran yang diberikan. Dalam hal ini Tokopedia jelas bisa masuk dalam kelompok penyelenggara front end, lebih spesifiknya sebagai penyelenggara dompet elektronik. Artinya dari sisi sistem, tidak ada isu.

Selanjutnya dalam Pasal 7, dituliskan penyelenggara non-bank harus memiliki mayoritas direksi yang berdomisili di Indonesia. Tampaknya ini juga bukan hal yang sulit dilakukan oleh Tokopedia.

Kemudian di pasal 9, menerangkan tentang modal disetor paling sedikit adalah 3 miliar Rupiah. Jelas tidak ada isu, karena Tokopedia adalah salah satu unicorn Indonesia dengan kepemilikan modal investasi >$1 miliar.

Bagian ini dilanjutkan dalam pasal 10 yang menyaratkan soal komposisi kepemilikan saham. Untuk mendapatkan lisensi uang elektronik, perusahaan harus memiliki paling sedikit 51% saham yang dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia. Kepemilikan yang dinilai oleh BI termasuk kepemilikan langsung dan/atau kepemilikan secara tidak langsung, dinilai subyektif oleh otoritas BI. Perusahaan yang telah mendapatkan lisensi juga diwajibkan untuk memelihara pemenuhan komposisi kepemilikan tersebut.

Tampaknya soal kepemilikan saham tersebut yang menjadi perkara fundamental di Tokopedia. Setidaknya saat ini ada 8 investor yang membawa Tokopedia hingga putaran pendanaan Seri F. Beberapa nama investornya ialah East Ventures, CyberAgent Ventures, Beenos Partners, Softbank Ventures Korea, SoftBank Telecom Corp, Sequoia Capital India, dan Alibaba Group.

Tokopedia Alibaba
William Tanuwajaya saat mengumumkan perolehan babak baru pendanaan senilai 1,1 miliar Dolar yang dipimpin Alibaba / DailySocial

Pendanaan seri F yang didapatkan Agustus 2017 lalu bernilai 1,1 miliar Dolar dipimpin oleh Alibaba. Pendanaan tahap tersebut menyumbangkan jumlah valuasi yang cukup dominan, kendati disebutkan Alibaba menjadi pemilik saham minoritas.

Ada kemungkinan bahwa secara mayoritas (>50%) kepemilikan saham Tokopedia dimiliki oleh pihak asing.

Persyaratan PBI yang tertuang ke pasal selanjutnya cukup normatif, seperti aspek kelayakan, tata cara pengajuan, sertifikasi sistem, pelaporan, pengawasan hingga sanksi.

Kemitraan strategis OVO-Tokopedia juga diregulasi

Sesuai pasal 16 ayat (b) disampaikan bahwa kerja sama dengan pihak lain untuk penyelenggaraan uang elektronik wajib memperoleh persetujuan BI. Detailnya dilanjutkan dalam pasal berikutnya. Persetujuan meliputi pengembangan produk dan aktivitas, termasuk terkait dengan fitur, jenis, layanan atau fasilitas yang telah berjalan.

Hal-hal yang disyaratkan cenderung lebih kepada aspek penyelenggaraan, seperti kesiapan operasional, keamanan dan keandalan sistem, manajemen risiko, dan perlindungan konsumen. Aspek lain juga mengatur legalitas, kompetensi, kinerja, dan keamanan antara kedua platform yang bekerja sama.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Shopee Indonesia Konfirmasi Kantongi Lisensi Uang Elektronik

Shopee Indonesia, melalui induk perusahaannya Sea Group, telah mengantongi izin Bank Indonesia untuk penyelenggaraan uang elektronik. Lisensi diberikan untuk PT AirPay Internasional Indonesia. Nantinya lisensi ini akan diaplikasikan untuk Shopee Pay yang masih dalam tahap pengembangan.

Kepada DailySocial, Country Brand Manager Shopee Indonesia Rezki Yanuar mengatakan, “Kami baru mendapatkan lampu hijau dari Bank Indonesia terkait dengan Shopee Pay itu beberapa minggu lalu. Untuk rencana selanjutnya silahkan ditunggu saja, karena saat ini masih dalam tahap pengembangan.”

Melalui Shopee Pay, Shopee Indonesia akan memaksimalkan pembayaran alternatif di dalam platform yang saat ini masih didominasi transfer perbankan.

“Yang jelas nanti akan ada fase pengetesan terlebih dahulu karena yang kami inginkan kesiapannya mendekati 100% sebelum sobat Shopee bisa menikmati fitur Shopee Pay,” katanya.

BI membekukan fitur pembayaran internal milik Tokopedia, Shopee, dan Bukalapak sejak September 2017 karena isu regulasi. Sejauh ini Tokopedia dan Bukalapak masih belum mendapatkan kejelasan soal lisensi ini. Bukalapak sendiri mulai menggandeng DANA, melalui Buka DANA, untuk pemanfaatan uang elektronik.

Aturan ketat e-money

Bank Indonesia telah merilis aturan baru mengenai uang elektronik yang dimuat dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 20/6/PBI 2018 yang merevisi peraturan sebelumnya. Aturan baru ini diharapkan bisa memastikan penyelenggaraan uang elektronik yang aman, efisien, lancar dan andal.

Dalam tiga bulan terakhir, BI telah merilis perizinan penyelenggaraan uang elektronik ke sejumlah pemain baru, termasuk untuk BluePay dan Paytren. Nama Shopee/Airpay belum tercantum di daftar terkini lisensi uang elektronik BI.

Application Information Will Show Up Here

XL Tunai Kini Dioperasikan Induk Perusahaan XL Axiata

XL Axiata mengungkapkan tengah memproses pengalihan operasional XL Tunai ke induk usahanya, Axiata Digital Services. Pengalihan ini dilakukan agar XL Axiata itu sendiri dapat tetap fokus ke bisnis utamanya sebagai operator telekomunikasi.

CEO XL Axiata Dian Siswarini menerangkan perseroan sempat mengkaji pencarian investor untuk XL Tunai sejak tahun lalu, namun akhirnya diurungkan lantaran lisensi e-money dari BI yang tidak bisa dialihkan ke pihak lain. Pengalihan ke induk usaha menurutnya menjadi alasan yang paling rasional karena dinilai lebih mudah.

“Jadi parent company kita yang menjalankan bisnis e-money, tapi lisensi masih XL Axiata yang pegang. Jadi seperti kita ‘kontrakkan’,” ujarnya, kemarin (4/6).

VP Corporate Communication XL Axiata Tri Wahyuningsih menambahkan, mengingat saat ini proses pengalihan masih berlangsung, maka kontribusi bisnis yang diberikan XL Tunai masih masuk ke XL Axiata. Namun ketika pengalihan sudah kelar, maka nantinya kontribusi tersebut akan masuk secara penuh ke induk usaha.

Terkait regulasi di Bank Indonesia, menurut Ayu, pengalihan ini sesuai dengan aturan. Perseroan juga berkaca pada apa yang dilakukan Indosat Ooredoo terhadap lisensi e-money Dompetku untuk dioperasikan pihak lain sebagai PayPro.

“Setahu saya ini sama seperti apa yang dilakukan Indosat, semestinya enggak ada masalah,” kata Ayu.

Hingga kuartal I/2018, XL Tunai telah memiliki sekitar dua juta pengguna. XL Tunai telah menganut sistem interoperabilitas sejak 2015, yang artinya pengguna TCASH dan Dompetku (sekarang PayPro) bisa saling transfer dana satu sama lain.

XL Tunai diluncurkan XL sejak 2012. Saat ini layanan e-money tersebut dapat dimanfaatkan untuk membayar tagihan, membeli tiket, berbelanja di offline dan layanan online, pencairan, dan mengirim/menerima dana.

Sebelumnya, XL Axiata menjual bisnis e-commerce Elevenia kepada Salim Group, efektif sejak tahun lalu. Perseroan kini hanya bermain di bisnis data, SMS, dan voice saja. Bisnis baru perseroan yang sudah diluncurkan adalah home broadband XL Home Pow, layanan internet rumahan berbasis kabel serat optik dengan kecepatan hingga 300 Mbps.

Lampu merah bisnis digital

“Menyerahnya” diversifikasi bisnis ke arah digital, yang sebelumnya gencar ditekuni XL Axiata dan Indosat Ooredoo, memperlihatkan bahwa bisnis digital perlu dilakukan secara kontinu dan perlu komitmen jangka panjang untuk terus suntik modal. Pasalnya, bisnis digital bukan sesuatu yang bisa memberikan kontribusi bisnis (terutama soal laba) dalam kurun waktu yang cepat.

Baik XL Axiata dan Indosat Ooredoo sendiri adalah perusahaan terbuka yang memiliki tanggung jawab kepada pemegang sahamnya masing-masing.

Kini tersisa Telkomsel dengan TCASH-nya yang masih terus melaju untuk bersaing dengan pemain e-money lainnya demi mendominasi pasar. Tak ketinggalan juga ada Tri yang diungkapkan tengah memproses izin e-money untuk dukung ekosistem dari e-commerce &Co (And Co).