Portal Pencarian Kerja Heikaku Fokus Layani UKM

Di Indonesia sudah banyak pilihan portal pencarian pekerjaan. Heikaku kemudian hadir secara spesifik menargetkan pasar UKM. Memberikan pilihan bagi para UKM yang ingin mengiklankan lowongan pekerjaan, di sisi lain, bagi masyarakat bisa lebih mudah mencari lowongan pekerjaan.

“Seperti kita ketahui beberapa job portal hanya menerima perusahaan yang bersertifikat untuk job post, sedangkan UKM kecil tidak diperbolehkan, dan kalau pun boleh biaya iklannya sangat mahal. Padahal nyatanya lebih dari 90% penyerapan pekerjaan dari UKM. Heikaku ingin menjadi pusat iklan lapangan pekerjaan untuk Indonesia terutama lowongan kerja dari UKM,” terang CMO Heikaku Satrya Sjukri.

Mulai beroperasi sejak Juli 2019, Heikaku sudah diminati 2 ribu UKM dengan lebih dari 8 ribu iklan lowongan kerja di dalamnya. Sementara untuk peminatnya ada di angka 69 ribu pelamar.

“Loker yang paling banyak di buka adalah untuk tingkat SMA/SMK seperti admin, sales, drafter, telemarketing, marketing, SPG dan lainnya. Sekitar 87% pelamar di Heikaku adalah lulusan SMA/SMK. Dengan 50:50 untuk pria dan wanita. Namun kami melihat banyak peningkatan drastis di bidang IT,” sambung Satrya.

Heikaku yang juga digawangi oleh Steven Chu (CEO), Detin Melati (CCO), Komala Surya (CTO) ini pernah mendapat suntikan dana dari angle investor yang enggan disebutkan detailnya. Kendati demikian, saat ini mereka masih membuka diri untuk investasi lanjutan untuk membuat mereka berkembang lebih cepat.

Sekarang platform lowongan pekerjaan hadir dengan berbagai macam bentuk. Sebut saja Ekrut, Nusatalent, Job2Go, Workmate, Kormo, Glints, Kalibrr, Job Street, dan semacamnya. Semuanya hadir dengan keunikannya masing-masing, baik dari segi teknologi maupun fitur. Heikaku sendiri cukup optimis dengan keunikan yang mereka pilih.

UKM dan AI

Cerita mengenai implementasi AI di Indonesia sudah banyak terdengar. Banyak bisnis yang “memerkan” teknologi yang mereka miliki ditenagai oleh AI sehingga bisa membuat lebih efisien dan efektif. Heikaku pun demikian, mereka tengah mengembangkan smart scoring yang memanfaatkan teknologi artificial intellegence sehingga bisa menghitung tingkat kesesuaian pelamar dengan lowongan yang ingin dilamar.

“Ini membantu mempercepat proses perekrutan. Kami mengerti keinginan para milenial dalam mencari kerja, mereka dapat mencari fasilitas atau benefit kantor dengan fasilitas-fasilitas seperti kolam renang, dapur, penitipan anak atau dapat bekerja dari rumah. Ini membuat keunikan sendiri dari Heikaku,” ujar Satrya bercerita.

Untuk menjaga kualitas dan keaslian lowongan yang mereka pasang, Heikaku secara khusus menyediakan tim screening yang akan menghubungi, memverifikasi, dan memastikan lowongan yang muncul sesuai dan bertanggung jawab. Heikaku juga menyediakan fitur proteksi untuk kandidat melalui tombol pelaporan.

Sementara itu untuk model bisnis, Heikaku menerapkan model berlangganan. Jadi setiap UKM yang ingin memasang iklan lowongan pekerjaan mereka dikenakan biaya langganan per bulan atau per tahun. Pihak Heikaku juga tengah merencanakan untuk menghadirkan mekanisme cicilan untuk lebih memudahkan UKM dalam menjangkau layanan mereka. Targetnya, di tahun 2020 mereka ingin memiliki 30 ribu UKM terdaftar di situs mereka.

“Mengingat bencana yang sekarang kami rasakan Bersama dari COVID-19, UKM sangat terpukul dan banyak PHK terjadi. Heikaku ingin membantu dan menginformasikan kepada UKM agar tetap tenang karena mereka dapat melanjutkan bisnisnya dengan mencari karyawan di Heikaku. Heikaku dibuat untuk UKM, mereka dapat membuka lowongan kerja dengan gratis. Sehingga dapat membantu para korban PHK dan pencari kerja agar cepat dapat mendapatkan kerja dan melanjutkan kehidupannya lagi,” tutup Satrya.

Application Information Will Show Up Here

The SME Accounting App Developer BukuWarung Announces Seed Funding Led by East Ventures

BukuWarung, a SaaS accounting startup for SMEs, announced seed funding led by East Ventures. The fresh money will be channeled to tighten the company’s position and recruiting talents of engineers, product, design, growth and partnership.

Also participated other investors such as AC Ventures (merger of Agaeti Ventures and Convergence Ventures), Golden Gate Ventures, Tanglin Venture Partners, and Michael Sampoerna. It is also mentioned some angel investors from Grab, Gojek, Flipkart, Paypal, Xendit, Rapyd, Alterra, ZenRooms, and others.

In the exact event, Lunasbos‘ founder, Adjie Purbojati joined BukaWarung as the founding team to help accelerate the company’s growth. Lunasbos is a two-way accounting, claimed as one of the leading players in the accounting service industry for Indonesian SMEs.

BukuWarung was founded by Abhinay Peddisetty and Chinmay Chauhan in late 2019 when both are still working at Carousell. Previously, they also had experienced working in Grab, Belong and Near. They’re actively develop services for payment and financial for the last 15 years for SMEs in Indonesia and Southeast Asia.

BukuWarung is an app to facilitate SME players to record transactions digitally. It also provides feature to record debt and return.

The shop owner can record the transactions of customers who owe money. Nevertheless, the business owner owes the supplier or another party. Billing notifications are available via SMS or WhatsApp which will be sent as a bill.

There is also feature for income and outcome in order to record the cash flow and the report is accessible per day, week, or month.

bukuwarunng

In today’s official release (4/7), BukuWarung’s Co-founder, Abhinay Peddisetty said, “In the early days, BukuWarung has its own moment of strong growth. However, the number has not reached 1% of 60 million shop owners in Indonesia, which mostly depends on traditional accounting or never had any.”

“[..] Our mission is to support the shop owners with technology, therefore, they can manage their business in an efficient way. Kasbon (debt/return) includes in 80% of their business. This is the main reason we focus on digital accounting,” he added.

BukaWarung’s Co-founder, Chinmay Chauhan continued, “From our experience of developing products for driver and seller in Grab and Carousell, we are aware of the most useful product for SME is a simple product. The feature we offer has increased engagement for 500% in the last two months.”

Chinmay said that in the near future the company will release a feature for stall owners to send bills to their customers in the form of a payment link. The link is connected with a digital wallet and other methods.

“This is our effort to help them reduce direct contact amid the threat of the Covid-19 outbreak.”

East Ventures’ Co-Founder and Managing Partner Willson Cuaca said, they’re interested in BukuWarung because of their focus and quick execution. As a result, the traction and engagement growth is quite rapid, making them one of the main players in the market.

“We are sure the next wave of innovative startups will emerge from efforts to encourage digitization in the SME segment. Therefore, we don’t waste much time to decide to become a BukuWarung partner,” explained Willson.

It also mentioned that the following months after its launching, BukuWarung already used by 250 thousand stalls in 500 cities and regencies in Indonesia. The majority of them are located in second and third-tier cities.

It is said, through the application, users receive return debt payments three times faster and feel the impact of payment reminder features on their business cash flow. In addition, users can save time and expenses by an average of Rp110 thousand, which is usually spent on manual bookkeeping with ledgers, stationery, and calculators.

The new BukuWarung application is available for Android users. The iOS version is being considered for its availability.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Pengembang Aplikasi Pembukuan UKM “BukuWarung” Dapatkan Pendanaan Awal, Dipimpin East Ventures

BukuWarung, startup SaaS pembukuan untuk UKM, mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal yang dipimpin oleh East Ventures. Dana segar akan digunakan untuk memperkuat posisi di pasar dan merekrut talenta baru di bidang engineer, produk, desain, pertumbuhan, dan kemitraan.

Turut berpartisipasi investor lainnya seperti AC Ventures (merger Agaeti Ventures dan Convergence Ventures), Golden Gate Ventures, Tanglin Venture Partners, dan Michael Sampoerna. Disebutkan juga ada beberapa angel investor yang ikut mengucurkan dananya dari Grab, Gojek, Flipkart, Paypal, Xendit, Rapyd, Alterra, ZenRooms, dan lainnya.

Pada saat yang sama, founder Lunasbos Adjie Purbojati bergabung di BukuWarung sebagai founding team untuk mengakselerasi pertumbuhan perusahaan. Lunasbos adalah aplikasi pencatatan keuangan dua arah, mengklaim dirinya sebagai salah satu pemain utama dalam industri layanan akuntansi untuk UKM di Indonesia.

BukuWarung didirikan oleh Abhinay Peddisetty dan Chinmay Chauhan pada akhir tahun 2019 saat keduanya masih bekerja di Carousell. Sebelumnya mereka berdua pernah meniti karier di Grab, Belong, dan Near. Selama 15 tahun mereka aktif mengembangkan layanan pembayaran dan finansial untuk segmen UKM di Indonesia dan Asia Tenggara.

BukuWarung adalah aplikasi yang memudahkan pengusaha UKM dalam mencatat pembukuan usahanya secara digital. Di dalamnya terdapat fitur catat utang dan piutang.

Pemilik warung dapat mencatat transaksi pelanggan yang membeli dengan cara utang. Atau, jika pemilik usaha memiliki utang terhadap penyuplai ataupun pihak lain. Tersedia notifikasi tagihan melalui SMS atau WhatsApp yang akan dikirim sebagai tagihan.

Fitur lainnya adalah pencatatan pemasukan dan pengeluaran agar arus kas tetap tercatat dan laporan pembukuan usaha yang dapat diakses per hari, minggu, atau bulanan.

Dalam keterangan resmi yang disampaikan hari ini (7/4), Co-Founder BukuWarung Abhinay Peddisetty mengatakan, “Dalam beberapa bulan pertama, BukuWarung menikmati momentum pertumbuhan yang kuat. Namun, angka itu belum mencapai 1% dari 60 juta pemilik warung di Indonesia, yang hampir seluruhnya bergantung pada metode pencatatan tradisional atau tidak melakukan pembukuan sama sekali.”

“[..] Misi kami adalah mendukung pemilik warung ini dengan teknologi sehingga mereka bisa mengelola bisnis mereka dengan efisien. Kasbon (utang/piutang) mencakup 80% dari bisnis mereka. Ini alasan kami berfokus kepada produk pembukuan digital,” sambungnya.

Co-Founder BukuWarung Chinmay Chauhan menambahkan, “Dari pengalaman membangun produk untuk pengemudi dan pedagang di Grab dan Carousell, kami memahami bahwa produk yang paling bermanfaat bagi UKM adalah produk yang simpel. Fitur-fitur yang kami tawarkan membuat engagement naik 500% dalam dua bulan terakhir.”

Chinmay menyebut dalam waktu dekat perusahaan akan merilis fitur yang bisa dimanfaatkan oleh pemilik warung untuk mengirimkan tagihan ke pelanggan mereka dalam bentuk tautan pembayaran. Tautan tersebut terhubung dengan dompet digital dan metode lainnya.

“Ini adalah upaya kami untuk membantu mereka mengurangi kontak langsung di tengah ancaman wabah Covid-19.”

Co-Founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menjelaskan, pihaknya tertarik dengan BukuWarung karena mereka mengeksekusi dengan cepat dan fokus. Alhasil, pertumbuhan traction dan engagement yang dihasilkan cukup pesat, menjadikan mereka sebagai salah satu pemain utama.

“Kami yakin gelombang startup inovatif berikutnya akan muncul dari upaya mendorong digitalisasi di segmen UKM. Oleh karena itu, kami tidak hanya membutuhkan waktu yang singkat untuk memutuskan menjadi mitra BukuWarung,” terang Willson.

Disebutkan dalam beberapa bulan pasca diluncurkan, BukuWarung telah digunakan oleh 250 ribu warung di 500 kota dan kabupaten di Indonesia. Mayoritas mereka berlokasi di kota lapis dua dan tiga.

Diklaim, lewat aplikasi, pengguna menerima pembayaran piutang tiga kali lebih cepat dan merasakan dampak dari fitur pengingat pembayaran terhadap arus kas bisnis mereka. Di samping itu, pengguna bisa menghemat waktu dan pengeluaran dengan rata-rata Rp110 ribu, yang biasanya dihabiskan untuk pembukuan manual dengan buku besar, alat tulis, dan kalkulator.

Aplikasi BukuWarung baru tersedia untuk pengguna Android. Versi iOS sedang dipertimbangkan untuk ketersediaannya.

Application Information Will Show Up Here

Produsen Sepatu “Pijak Bumi” Manfaatkan Kanal Digital Sampaikan Visi Produk

Identitas merek atau produk bisa dibangun lewat berbagai macam media. Pijak Bumi, merek sepatu lokal dari Bandung mencoba membangun bisnis mereka melalui kanal online, tepatnya di platform Instagram dan situs web. Dari sana mereka mencoba menyuguhkan pelayanan prima sekaligus menyebarluaskan value yang diusung.

Bermula pada 2016, PijakBumi konsisten mengangkat tema sebagai merek sepatu ramah lingkungan. Tak hanya itu, mereka membawa tiga pilar penting dalam bisnisnya, yakni, orisinalitas desain, material ramah lingkungan, dan kearifan kerajinan lokal.

Co-founder Pijak Bumi Vania Audrey kepada DailySocial menceritakan bahwa mereka memanfaatkan Instagram untuk bisa membagikan produk dan cerita kepada khalayak ramai. Kemudian dari sana para pengunjung akan diarahkan menuju situs web untuk melakukan transaksi.

Pada awal kehadirannya, Pijak Bumi justru menarik pelanggan internasional. Tepatnya warga Indonesia yang tinggal di negara seperti Jerman dan Spanyol. Konsumen tertarik karena PijakBumi menawarkan sesuatu yang berbeda dibanding merek sepatu lain dari Indonesia, yakni berbahan natural, tepatnya menggunakan bahan kulit sapi samak nabati, serat kenaf, katun organik, kulit kelapa, dan recycle ban bekas.

Dari sana kemudian Pijak Bumi terus berkembang, hingga pada akhirnya sekarang mereka melayani pelanggan bisnis (B2B) yang ada di Jepang dan Eropa. Sejauh ini Pijak Bumi mengaku memiliki kapasitas produksi 1000 pasang sepatu per bulan.

“Kami memang masih pakai Instagram, tapi kami optimalkan untuk tetap terhubung dengan Teman Melangkah (sebutan pelanggan Pijak Bumi). Kami juga punya website sendiri yang difokuskan untuk penjualan. Jadi nanti kalau ada penawaran kerja sama dari e-commerce lain baru kami pertimbangkan juga,” cerita Vania.

Selain Pijak Bumi, sebenarnya di Indonesia sudah mulai banyak muncul merek indie untuk produk sepatu. Misalnya Brodo, mereka juga memanfaatkan media sosial untuk terhubung dengan pangsa pasarnya.

Kondisi persaingan yang ada, khususnya bila disandingkan dengan merek-merek yang banyak beredar di pasaran, memang membuat para founder produk lokal harus berpikir keras menghadirkan diferensiasi sekaligus nilai plus untuk merek yang dikembangkan. Dan menariknya setiap startup punya cara yang unik.

Fokus pada pengembangan produk

Tahun 2020 mungkin tahun yang cukup berat bagi kebanyakan orang, termasuk juga bisnis dan Pijak Bumi. Ada perubahan rencana atau lebih tepatnya rencana yang disesuaikan ulang yang disebabkan oleh pandemi Covid-19.

Pihak Pijak Bumi, yang saat ini memiliki tim in-house sebanyak 5 orang mengaku mulai fokus pada pengembangan tim dan produk. Dengan adanya kanal B2C dan B2B membuat mereka sebisa mungkin untuk pintar mengatur sumber daya. Sementara itu untuk mendukung bisnis mereka juga menggunakan jasa pihak ketiga, seperti untuk warehousing dan semacamnya.

Berbicara mengenai teknologi digital, pihak Pijak Bumi mengaku tengah berusaha untuk meningkatkan kualitas situs web yang mereka miliki. Seperti dari segi fitur yang bisa membantu lebih banyak pelanggan dalam bertransaksi.

“Di 2020 kami ingin fokus ke produk yang ramah lingkungan dan ergonomis sehingga enak dipakai sehari-hari. Sementara untuk penerapan teknologi digital mungkin kami butuh semacam data scientis yang bisa membantu kami lebih paham membaca data yang ada,” tutup Vania.

Awal tahun ini, Pijak Bumi juga bergabung dengan program akselerator bisnis Gojek Xcelerate Batch 3. Dalam gelombang ini, Gojek merekrut banyak pengusaha dari kalangan pengembang produk ritel. Selain Pijak Bumi, ada beberapa startup lain seperti Callista, Gigel dan sebagainya.

The Impact of Covid-19 Pandemic, Digital Transformation Becoming More Real

On Wednesday (3/18), Head of Shopping Center Tenant Association (Hippindo), Budihardjo Iduansjah said to the media that the shopping center’s daily revenue has been declined as the #DiRumahSaja or #SocialDistancing movement was announced to avoid the outbreak of Covid-19. One of the initiatives of brand owners is to rely on transactions outside Jabodetabek – considering some areas are yet to run the appeal.

However, based on the latest news (3/23) at 12 pm WIB, there are 514 positive cases throughout Indonesia. Some regional governments have released an appeal for its citizens to lessen the outside activities. In Central Java, schools have been closed since the past week. Some government offices, such as the Dukcapil, close down some types of crowded services, such as KTP-el matters.

It’s possible that shopping centers in some areas will experience visitor reduction. The thing is, the solution offered related to business scalability may not work as expected – relying on the regional stores.

The map of Covid-19 outbreak per March 23rd, 2020 at 12 pm / Kemenkes
The map of Covid-19 outbreak per March 23rd, 2020 at 12 pm / Kemenkes

It happens not only to the giant retail business, but some SMEs in Blitar have also been complaining about this matter. Most entrepreneurs produce snacks as souvenirs to be distributed to tourist-attraction areas such as Yogyakarta. Usually, their production is to be added to welcome the ‘mudik’ season before Lebaran. However, they have been forced to hold their production since February. Chairman of the Indonesian Tourism Industry Association (GIPI) Yogyakarta, Bobby Ardyanto on Wednesday (11/3) said the impact of Covid-19 resulted in a decrease in the number of tourists 30% -50%.

Transformation is a must

Solution is needed because the trade sector is the second biggest contributor to the Indonesian economy. Until the first quarter of 2019, BPS still recorded 5.26% (YoY) growth. This industry involves various parties, ranging from big players to micro-level companies. When a pandemic occurs, there are several aspects that can be considered to ensure that economic processes continue to run well.

First, sales, related to how retail owners support their consumers with channels to facilitate purchasing. Second, logistics, not only related to the delivery of goods to consumers, but also in the supply chain of raw materials. As PT Sarimelati Kencana Tbk experienced as Pizza Hut franchise brand holder in Indonesia. Director Jeo Sasanto said, there is currently a price increase in raw and supplies with decreasing stock in the market.

A digital approach can certainly provide solutions to these problems, but there must be a business will to do the transformation. As mentioned, many perceive digital transformation as the jargon of mere technology brand campaigns. Moreover, transformation can be interpreted as an effort to accelerate business by involving technological tools. The process is not by replacing all manual business models to digital, but trying to see opportunities that can help certain business processes with digital.

For example, the commercial business case study. Transformation does not mean to close the current traditional retail units to be replaced with e-commerce based business. Instead, technology can enable businesses to embrace a broader target market. One strategy is to take advantage of online-to-offline, for example, brands still have a physical store to enhance their “presence” and shopping experience while providing access to online purchases for convenience.

These efforts will be very beneficial when businesses are forced to “shift” due to emergencies. Instead of being abandoned, the restaurant business, at the time of “lockdown” due to pandemic could intensify the promotion through online applications – in order to solve two problems at once as presented above, on the sales channel and logistics. The supply chain can start relying on online platforms that can connect business people with raw supply producers – for example, the TaniHub application to get fresh vegetable products.

Various snacks produced by SMEs / Unsplash
Various snacks produced by SMEs / Unsplash

In terms of SMEs with limited capital, how to do it? The thing is, to carry out transformation is not merely spending expensive costs for infrastructure and/or application services. Start with the most impactful part of the business. Take a food stall, for example, it can be started by registering the business and the menus into applications such as GrabFood, GoFood or Traveloka Eats. For other businesses, as for SMEs in Blitar case, start utilizing social media and online marketplaces to put product catalogs.

Therefore, is it enough? Certainly not. Digital transformation requires commitment and tenacity. Simply put, online is a market, there are many other traders who sell similar product variants. Just like in traditional markets, what traders need to do is offer their products to passersby. Online, people can offer through social media, use discount promos, take advantage of paid advertising and so on.

The most challenging part

In fact, there are four things that business would ideally get, at least as a general measure of the transformation results. From ensuring the business to remain competitive, presenting efficiency in business processes, increasing customer satisfaction and making it easier for business people to take various strategic decisions.

According to KPMG Singapore’s Head of Enterprise Market Jonathan Ho, there are three challenges most often complained by SMEs in digital adoption. First, it is related to understanding the urgency of digital transformation itself. Digital transformation at one side is not just about technology, but more about how businesses can compete more intensively in current developments. Business people often make the perception that digitalization is a matter of increased operational costs, whereas if applied is just the opposite, technology reduces costs in many aspects.

Second, it is the lack of knowledge about digital skills that are relevant to the business. The fact is that not all businesses need a website, some just need to do promotion through the appropriate channel. A lack of understanding often makes digital transformation decisions taken that are less appropriate to the needs of the business itself. Jam wasting time, maybe a lot of investment disbursed will eventually be in vain. Sometimes what is needed is just to start selling for free through the marketplace platform.

And third, business people sometimes feel “insecure” with the digital world. For example, they are afraid of whether payments will be paid off smoothly – for example, some marketplaces hold payments until the product is really in hand or force businesses to use integrated e-wallet services. Or other concerns, such as fear of being replicated by other people’s product ideas because it is widely publicized on social media. Indeed, all the bad possibilities can happen, but excessive skepticism sometimes makes the business go nowhere, unwilling to transform.

Thus, the most essential part of the transformation effort is to correct the mindset of the businessman himself. In addition, the “catastrophic” moment of the Covid-19 pandemic has now become an important lesson. That digital transformation today is becoming a necessity.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Dampak Pandemi Covid-19, Transformasi Digital Tak Sekadar Jargon

Rabu (18/3), Ketum Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan (Hippindo) Budihardjo Iduansjah menyampaikan ke media, omzet harian toko di mall turun mencapai 50%-80% seiring gerakan #DiRumahSaja yang diinisiasi untuk meminimalkan penularan Covid-19. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemilik merek, imbuhnya, mereka mengandalkan transaksi dari cabang toko yang ada di daerah (luar Jabodetabek) – mengingat banyak wilayah yang belum ketat memberlakukan anjuran untuk tidak ke luar rumah.

Sayangnya, menurut data terkini (23/3) pukul 12.00 WIB, sudah ada 514 kasus yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Beberapa pemerintah daerah pun juga sudah menganjurkan warganya untuk mengurangi aktivitas di luar rumah. Di Jawa Tengah misalnya, sekolah sudah mulai diliburkan sejak satu minggu terakhir. Beberapa kantor pemerintahan, seperti Dinas Dukcapil, menutup beberapa jenis layanan yang biasanya ramai diserbu, seperti perekaman data KTP-el.

Bukan tidak mungkin jika pusat perbelanjaan di daerah juga akan mengalami penurunan jumlah kunjungan. Poinnya, solusi yang coba diandalkan terkait skalabilitas bisnis bisa saja tidak akan bekerja seperti yang diharapkan – mengandalkan cabang toko di daerah.

Data Corona
Data sebaran virus Corona per 23 Maret 2020 pukul 12.00 WIB / Kemenkes

Tidak hanya dirasakan pebisnis ritel besar, di Blitar banyak UKM yang sudah mulai mengeluh. Kebanyakan pengusaha memproduksi jajanan untuk oleh-oleh di tempat wisata seperti untuk dipasarkan di Yogyakarta. Padahal menjelang lebaran, biasanya produksi mereka justru ditambah untuk menyambut arus mudik. Tapi sejak Februari, mereka terpaksa mengerem bisnisnya. Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Yogyakarta Bobby Ardyanto pada Rabu (11/3) mengatakan, dampak Covid-19 mengakibatkan penurunan jumlah wisatawan 30%-50%.

Harus mau bertransformasi

Perlu solusi, pasalnya sektor perdagangan menjadi yang kedua paling berkontribusi dalam perekonomian Indonesia. Hingga kuartal pertama 2019, BPS masih mencatatkan pertumbuhan 5,26% (yoy). Bisnis ini melibatkan banyak pihak, mulai dari pemain besar hingga mikro di level rumahan. Ketika terjadi pandemi, ada beberapa aspek yang bisa diperhatikan untuk memastikan proses ekonomi tetap berjalan dengan baik.

Pertama penjualan, terkait bagaimana pemilik ritel memfasilitasi konsumennya dengan kanal-kanal yang memudahkan proses pembelian. Kedua adalah logistik, tidak hanya terkait penyampaian barang ke konsumen, namun juga pada rantai pasokan bahan baku. Seperti dirasakan PT Sarimelati Kencana Tbk sebagai pemegang merek waralaba Pizza Hut di Indonesia. Direktur Jeo Sasanto menyampaikan, kini terjadi kenaikan harga baku dan pasokan yang mulai menipis.

Pendekatan digital tentu bisa memberikan solusi atas masalah tersebut, namun harus ada kemauan bisnis untuk melakukan transformasi. Saking seringnya diserukan, banyak yang menanggap transformasi digital sebagai jargon-jargon kampanye merek teknologi belaka. Padahal lebih dari itu, transformasi dapat dimaknai tentang upaya melakukan akselerasi bisnis dengan melibatkan alat-alat teknologi. Prosesnya tidak dengan menggantikan semua model bisnis manual ke digital, namun dengan mencoba melihat peluang yang dapat membantu proses bisnis tertentu dengan digital.

Misalnya dengan studi kasus bisnis niaga di atas. Transformasi bukan dengan dimaknai bahwa bisnis harus menutup unit ritel tradisional yang telah dimiliki, lalu menggantinya dengan pendekatan berbasis e-commerce. Sebaliknya, teknologi dapat dijadikan komplementer untuk memungkinkan bisnis merangkul target pasar yang lebih luas. Salah satu strateginya dengan memanfaatkan online-to-offline, misalnya merek tetap memiliki toko fisik untuk meningkatkan “presence” dan pengalaman belanja, sembari memberikan akses pembelian secara online untuk kemudahan.

Upaya tersebut akan sangat bermanfaat saat bisnis dipaksa untuk melakukan “shifting” dikarenakan keadaan darurat. Alih-alih menjadi sepi, sebagai contoh bisnis restoran, di saat “lockdown” karena pandemi bisnis bisa menggencarkan promosi layanan pesan antar melalui aplikasi online – yang menyelesaikan sekaligus dua permasalahan yang disampaikan di atas, soal kanal penjualan dan logistik. Rantai pasokan pun dapat mulai mengandalkan platform online yang bahkan bisa menghubungkan pebisnis dengan produsen bahan baku – sebut saja dengan aplikasi TaniHub untuk mendapatkan produk sayuran segar.

Beragam jajanan yang biasa dijual kalangan UKM / Unsplash
Beragam jajanan yang biasa dijual kalangan UKM / Unsplash

Untuk UKM dengan modal pas-pasan, lantas bagaimana melakukannya? Yang patut dicatat, untuk melakukan transformasi tidak melulu harus mengeluarkan biaya mahal untuk belanja infrastruktur dan/atau layanan aplikasi. Mulailah dari yang paling berdampak bagi bisnis. Ambil contoh untuk warung makan, bisa dimulai dengan mendaftarkan bisnisnya dan menu-menunya ke aplikasi seperti GrabFood, GoFood atau Traveloka Eats. Untuk bisnis lain, misalnya yang diproduksi UKM di Blitar di atas, mulai manfaatkan media sosial dan online marketplace untuk menaruh katalog produk.

Lantas apakah cukup sampai di situ? Tentu tidak. Transformasi digital membutuhkan komitmen dan keuletan. Sederhananya, online adalah sebuah pasar, di sana banyak pedagang lain yang menjajakan varian produk serupa. Sama seperti di pasar tradisional, yang perlu dilakukan pedagang adalah menawarkan produknya kepada orang yang lewat. Di online, orang bisa menawarkan melalui media sosial, menggunakan promo diskon, manfaatkan iklan berbayar dan lain sebagainya.

Yang paling menantang dari transformasi

Dengan demikian, ada empat hal yang idealnya akan didapatkan bisnis, setidaknya sebagai ukuran umum dari hasil transformasi. Yakni memastikan bisnis tetap kompetitif, menghadirkan efisiensi dalam proses bisnis, meningkatkan kepuasan pelanggan dan memudahkan pebisnis untuk mengambil  berbagai keputusan strategis.

Menurut Head of Enterprise Market KPMG Singapura Jonathan Ho, ada tiga tantangan yang paling sering dikeluhkan pelaku UKM dalam mengadopsi digital. Pertama terkait pemahaman urgensi transformasi digital itu sendiri. Transformasi digital di satu sisi bukan hanya tentang teknologi, tapi lebih tentang bagaimana bisnis bisa bersaing secara lebih intensif dalam perkembangan yang ada saat ini. Pebisnis sering membuat persepsi bahwa digitalisasi adalah soal biaya operasional yang bertambah, padahal jika diaplikasikan justru sebaliknya, teknologi menekan biaya di banyak aspek.

Kedua adalah minimnya pengetahuan mengenai keterampilan digital yang relevan dengan bisnis. Faktanya tidak semua bisnis membutuhkan situs web, beberapa hanya perlu melakukan promosi melalui kanal yang sesuai. Pemahaman yang kurang sering kali membuat keputusan transformasi digital yang diambil kurang sesuai dengan kebutuhan bisnis itu sendiri. Selai membuang-buang waktu, mungkin banyak investasi yang dikucurkan pada akhirnya akan menjadi sia-sia. Kadang yang dibutuhkan hanya mulai menjual secara gratis melalui platform marketplace saja.

Dan yang ketiga, pebisnis kadang merasa “insecure” dengan dunia digital. Misalnya mereka takut apakah nantinya pembayaran akan ditunaikan dengan mulus – misalnya beberapa marketplace menahan pembayaran sampai produk benar-benar di tangan atau memaksa pebisnis menggunakan layanan e-wallet yang terintegrasi. Atau kekhawatiran lain, misalnya takut ide produknya direplikasi orang lain karena banyak dipublikasikan di media sosial. Memang, seluruh kemungkinan buruk itu bisa saja terjadi, namun skeptisme berlebih kadang justru membuat bisnis tidak ke mana-mana, tidak mau bertransformasi.

Sehingga poin penting yang tak boleh luput dari upaya melakukan transformasi, membetulkan pola pikir pebisnisnya itu sendiri. Selain itu, momen “musibah” pandemi Covid-19 kini menjadi pelajaran penting. Bahwa transformasi digital di masa sekarang adalah kebutuhan.

Rencanakan IPO Tahun 2023, UangTeman Perkuat Strategi Bisnis Berkelanjutan

Tahun 2020 banyak rencana yang akan dilancarkan oleh UangTeman. Salah satunya ingin fokus untuk menjalankan bisnis berkelanjutan dan mencapai profit yang lebih baik lagi.

Kepada DailySocial, Founder & CEO UangTeman Aidil Zulkifli mengungkapkan, tahun ini perusahaan juga akan fokus menawarkan produk pinjaman dengan bunga rendah lebih banyak lagi kepada pelaku UKM yang masuk dalam segmentasi bisnis mikro.

“Mikro di sini yang kami fokuskan adalah mereka kalangan B dan C yang memiliki bisnis warung makan hingga bisnis kecil lainnya yang membutuhkan tambahan modal. Bukan hanya menurunkan bunga, UangTeman juga ingin merangkul lebih banyak mereka.”

Sebelumnya UangTeman memang kerap menawarkan pinjaman dengan bunga yang cukup tinggi. Tahun ini perusahaan memutuskan untuk menurunkan bunga dan fokus kepada pemilik bisnis mikro sebagai target pengguna.

Dalam survei yang dilakukan secara internal oleh perusahaan terungkap, hampir 31% pinjaman yang masuk adalah pinjaman produktif untuk keperluan usaha. Menurut Aidil hasil survei tersebut membuktikan bahwa kalangan yang masuk dalam kategori underbanked atau mereka yang tidak memiliki akun rekening hingga kartu kredit, paling ideal untuk diberikan pinjaman.

“Kita juga melihat bisnis mikro yang saat ini mulai ramai disasar oleh layanan finansial hingga dompet digital, paling ampuh untuk memberikan profit kepada perusahaan. Dibandingkan dengan produk pinjaman yang bersifat consumerism seperti KTA atau PayLater,” kata Aidil.

Untuk memperluas ekosistem, perusahaan juga berencana untuk menambah kemitraan dengan institusi finansial, startup hingga perbankan dalam waktu dekat. Harapannya melalui kolaborasi tersebut bisa menambah channel memanfaatkan produk unggulan dari masing-masing mitra. Salah satu produk yang akan diluncurkan dalam waktu dekat adalah, pinjaman kepada karyawan perusahaan besar seperti pabrik yang nantinya akan difasilitasi oleh mitra perbankan.

Peluang pasar lending seperti yang disasar UangTeman memang sangat besar. Dengan demografi unbankable usia dewasa yang mencapai 92 juta jiwa, ditambah dengan 64 juta UKM yang tersebar di berbagai wilayah, produk fintech berbasis pinjaman miliki masa depan yang cukup cerah.

Tak ayal per tahun 2019 sudah ada 144 fintech lending serupa UangTeman yang terdaftar di OJK. Hingga tahun 2019 jumlah pinjaman yang didistribusikan juga telah capai 60,4 triliun Rupiah, memfasilitasi sekitar 14,3 juta pengguna.

Dengan banyaknya pemain di Indonesia saat ini, baik yang menyasar konsumer maupun UKM, penting bagi pemain seperti UangTeman untuk hadirkan diferensiasi produk — di luar kualitas layanan yang harus selalu ditingkatkan. Beberapa pemain di sektor serupa bahkan sudah klaim bervaluasi centaur, alias telah membukukan modal lebih dari US$100 juta, di antaranya KoinWorks dan Investree.

Rencana IPO tahun 2023

Jajaran manajemen dan tim UangTeman
Jajaran manajemen dan tim UangTeman

Saat ini UangTeman telah memiliki sekitar 82 ribu pengguna aktif dan 1 juta unduhan aplikasi. Perusahaan juga telah menyediakan layanan di 14 kota di Indonesia.

Disinggung apakah UangTeman akan melakukan ekspansi ke kota-kota besar lainnya di Indonesia, Aidil menyebutkan belum memiliki rencana dalam waktu dekat. Untuk saat ini fokus perusahaan adalah bagaimana bisa memperoleh profit di 14 kota yang ada.

“Sesuai dengan komitmen kita yaitu untuk bisa IPO tahun 2023 mendatang, diharapkan perusahaan bisa mengumpulkan profit menyesuaikan dengan persyaratan yang ditentukan jika startup berencana melakukan IPO,” kata Aidil.

Pertengahan bulan Februari perusahaan juga telah mengumumkan pendanaan seri B2. Tidak disebutkan berapa nilai investasi yang diterima, namun pendanaan tahapan seri B2 ini rencananya akan digunakan perusahaan untuk meningkatkan teknologi dan mempercepat proses penerimaan aplikasi pinjaman dari pengguna.

Saat ini perusahaan mengklaim, satu orang yang ditempatkan mampu mengumpulkan 100 aplikasi. Dengan bantuan teknologi diharapkan bisa mempercepat proses menjadi 200 aplikasi dalam satu hari. UangTeman juga berencana untuk menambah tim engineer.

Investor yang terlibat dalam pendanaan tahapan seri B2 ini di antaranya adalah ACA Investments dan Pegasus Tech Ventures. Sebelumnya UangTeman telah menutup putaran pertama pendanaan seri B1 tahun 2019 lalu. Investor di tahap ini meliputi KDDI Open Innovation Fund dan Global Brain Corporation. Secara keseluruhan UangTeman telah mengumpulkan pendanaan seri B senilai US$10 juta.

“Pendanaan ini juga menandakan kepercayaan investor kepada kami. Untuk itu dengan mengembangkan teknologi diharapkan bisa mempercepat pertumbuhan bisnis, mengumpulkan profit dan menjalankan bisnis yang berkelanjutan. Sekaligus tentunya bertanggung jawab penuh kepada sharehodler hingga investor,” kata Aidil.

Application Information Will Show Up Here

“New Economy”, Permata Tersembunyi di Gempita Bisnis Teknologi

Belum lama ini, kami berbincang dengan Fabian Budi Seputro selaku pemilik Sate Ratu di Yogyakarta. Ada yang unik dari bisnis kulinernya, selain sajian sate dengan bumbu spesial, mereka mencatat ratusan kunjungan pelanggan dari luar negeri setiap bulannya. Sekurangnya kedai tersebut sudah dikunjungi wisatawan asing dari 83 negara. Bukan datang begitu saja, empunya merancang strategi khusus untuk memperkenalkan bisnisnya ke tamu internasional.

Konsep pemasaran digital dijalankan secara konsisten oleh Budi, sehingga menguatkan “online presence”. Ia memanfaatkan situs ulasan pariwisata seperti Tripadvisor untuk menginformasikan sajiannya kepada para turis yang berencana mengunjungi Yogyakarta. Juga memanfaatkan layanan iklan berbayar untuk menargetkan suguhan konten promosi yang dibuat kepada calon pelanggan potensial.

Merek sepatu Brodo mungkin tidak asing bagi generasi muda yang gemar mainkan media sosial di tengah gempuran produk sneakers global. Manfaatkan kanal e-commerce dan media sosial, bisnis yang berdiri sejak tahun 2010 tersebut terapkan model bisnis yang berbeda dengan produsen sepatu pada umumnya, yakni menjual langsung ke konsumen (direct-to-consumer), alih-alih melalui ritel distribusi. Dampaknya tentu pada harga jual yang lebih rendah, karena memotong rantai pasok, sehingga bisa fokus pada kualitas produk.

Produk kasur premium yang dijajakan Mimpi melalui kanal online / Mimpi
Produk kasur premium yang dijajakan Mimpi melalui kanal online / Mimpi

Cerita bisnis lainnya, Mimpi. Sebuah produsen kasur premium dengan bahan-bahan yang memungkinkan untuk dikemas sangat ringkas, bahkan untuk dibawa oleh kurir yang menggunakan sepeda motor. Mantap dengan inovasi pengemasan, mereka luncurkan situs jual-belinya sendiri dan hanya melayani penjualan secara online. Memotong rantai penjualan, pihak Mimpi mengklaim dapat memberikan efisiensi harga hingga 1/3 dari produk dengan kualitas yang sama di toko.

Pemberdayaan alat-alat digital dalam aspek spesifik pada bisnis di atas yang kami sebut sebagai “new economy”. Tidak diaplikasikan dalam seluruh proses bisnis, hanya tertentu saja, namun memiliki dampak signifikan-–bahkan menjadi ujung tombak—dalam mengakselerasi penjualan produk.

Sentuhan teknologi dalam takaran yang tepat

Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, per tahun 2018 ada sekitar 64 juta UMKM yang tersebar di berbagai penjuru Indonesia. Keberadaannya berhasil menyerap 116,9 juta tenaga kerja, atau setara 97% dari seluruh serapan tenaga kerja nasional. Angka tersebut diproyeksi akan terus meningkat, seiring terbukanya akses dan peluang untuk berbagai usaha baru, termasuk permodalan. Dari total unit yang ada, baru sekitar 8% yang sudah memanfaatkan platform digital untuk mengakselerasi bisnis.

Namun jika ditelusuri, 8% artinya ada sekitar 5,1 juta unit bisnis yang telah memanfaatkan layanan teknologi, dalam artian secara intensif mereka mendapatkan manfaat yang berarti melalui transaksi secara digital – mayoritas memang menggunakan untuk membantu pemasaran produk. Angka tersebut terus diupayakan meningkat, salah satunya melalui rangkai program “go-digital” yang diinisiasi pemerintah menggandeng perusahaan-perusahaan teknologi di Indonesia.

Jargon “transformasi digital” memang kadang terlihat klise, namun nyatanya teknologi tepat guna dapat menghadirkan keuntungan berlipat untuk pebisnis. Sayangnya menurut riset McKinsey, sejauh 70% dari bisnis yang melakukan transformasi mengalami kegagalan. Ada banyak cerita kegagalan yang disampaikan, tapi ada dua yang paling sering diutarakan. Pertama, pemimpin tidak punya tujuan yang jelas dari transformasi yang dilakukan. Yang kedua, kompetensi digital yang tidak mumpuni justru menghadirkan hambatan bisnis. Tampaknya tidak hanya terjadi pada bisnis berskala besar, pun demikian dengan UKM.

Cerita new economy adalah tentang mereka yang berhasil mengadopsi teknologi sesuai takaran. Teknologi diterapkan untuk benar-benar menunjang produktivitas, kendati beberapa malah menjadi “nyawa” dari bisnis itu sendiri. Itu juga cerita tentang kejelian pelaku UKM yang mampu melihat peluang emas yang mungkin tidak terpikirkan pebisnis lain. Seperti yang dilakukan Budi dengan strategi Sate Ratu; siapa sangka bisa menggaet tamu internasional di tengah opsi kuliner sate legendaris yang banyak dijajakan di Yogyakarta.

Mereka yang sudah bersiap mendukung new economy

Di Indonesia ada banyak startup digital yang sengaja mengembangkan produk untuk membantu UKM. Jenisnya sudah cukup banyak merata di semua aspek, mulai dari finansial, operasional, ekspasi hingga dukungan lainnya. Kendati banyak dari UKM yang juga manfaatkan platform luar seperti media sosial populer atau situs yang menjangkau pengguna global.

Pemetaan startup digital Indonesia yang fokus bantu UKM / DSResearch
Pemetaan startup digital Indonesia yang fokus membantu UKM / DSResearch

Peluangnya memang masih terbuka lebar untuk menjadikan UKM sebagai target pengguna. Mengingat produk-produk UKM sendiri juga mengakomodasi semua segmen masyarakat – baik umum maupun spesifik, dari usia batita hingga manula. Daya jangkauan konsumennya pun sangat luas, hingga pada segmen pengguna yang tidak terjamah layanan digital, misalnya dari area 3T.

Secara lebih spesifik, Sensus Ekonomi yang dilakukan BPS pada tahun 2016 berhasil memetakan bidang bisnis UKM di Indonesia. Saat ini bidang perdagangan masih menempati porsi yang paling dominan.

Senada dengan jenis startup digital yang coba hadirkan teknologi untuk UKM, sebagian besar inline untuk diaplikasikan dalam sektor perdagangan – membutuhkan kanal penjualan, logistik, pencatatan hingga pendanaan. Tak ayal para unicorn pun bergegas hadirkan program yang secara khusus untuk menggandeng UKM di bidang tersebut ke dalam bisnisnya, salah satunya melalui program kemitraan.

Persentase jenis usaha yang digeluti pelaku UKM menurut Sensus Ekonomi 2016 / BPS
Persentase jenis usaha yang digeluti pelaku UKM menurut Sensus Ekonomi 2016 / BPS

Strategi lain yang turut dilancarkan bisnis untuk menggandeng UKM salah satunya direpresentasikan dalam program Gojek Xcelerate. Dalam program akselerasi putaran ketiga, mayoritas diisi oleh UKM yang memproduksi produk dan memanfaatkan kanal digital untuk distribusi. Seperti Callista yang menjajakan produk kesehatan kulit, Pijak Bumi sebagai pesaing Brodo, Mayer Food yang coba digitalkan proses jual beli daging ayam, dan lain sebagainya.

Beberapa investor early-stage pun juga tampak bersiap menyambut meledaknya bisnis ini. Teranyar East Ventures pimpin pendanaan Greenly, startup non-teknologi yang menyajikan pilihan makanan dan minuman sehat. Berbasis di Surabaya, bisnis tersebut memang diinisiasi oleh ahli nutrisi. Untuk mendistribusikan produknya, mereka manfaatkan kanal digital, seperti aplikasi GoFood dan GrabFood — juga miliki ritel yang akan dioptimalkan dengan pendekatan online to offline.

Dengan porsi pelaku bisnis yang paling besar, selain penyerapan tenaga kerja, sektor UKM diharapkan dapat meningkatkan perekonomian secara nasional. Menurut Asosiasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah Indonesia (Akumindo), kontribusi UMKM terhadap produk domestik bruto (PDB) tahun 2019 mencapai 65% atau sekitar Rp2.394,5 triliun, tumbuh 5% dari tahun sebelumnya. Harapannya dengan makin meleknya pelaku UKM dengan teknologi, diharapkan bisa memacu perkembangan bisnis melalui ekspansi pasar dan inovasi produk yang makin terjangkau.

Upaya Olsera Bersaing sebagai Penyedia “Point of Sales” di Indonesia

Olsera resmi memperkenalkan aplikasi mobile “Olsera Office”. Layanan ini dihadirkan untuk memberikan keluwesan kepada penggunanya untuk melakukan manajemen pada tokonya. Kehadiran aplikasi mobile ini juga sebagai bentuk inovasi selanjutnya dari layanan point of sales OlseraPOS.

Co-Founder Olsera Novendy Chen menceritakan, meski berasal dari Batam pihaknya tidak patah semangat untuk membawa produknya bisa digunakan secara masif oleh pengguna di Indonesia, terutama para UKM. Industri layanan POS di Indonesia yang semakin menjanjikan dan semakin ramai membuat inovasi adalah sebuah kebutuhan untuk bertahan.

“Kondisi ini menuntut inovasi dan pendekatan lebih kepada kebutuhan merchant, kemudian menjadikan challenge tersendiri bagi para pelaku industri POS untuk menghadirkan yang terbaik. Kami rasa ini adalah kompetisi yang sangat sehat, dan menguntungkan para pelaku UKM Indonesia yang pada akhirnya akan menentukan pilihan mereka terhadap layanan yang benar-benar solutif dan bersahabat, baik dari sisi biaya maupun pelayanan purnajual,” terang Novendy.

Kehadiran aplikasi Olsera Office diharapkan mampu menjawab kebutuhan para pengguna dalam melakukan monitoring penjualan dengan cara yang mudah. Kelebihan-kelebihan yang disematkan Olsera seperti, proses loading yang diklaim lebih cepat, navigasi menu yang lebih responsif, dan notifikasi pesanan online menjadi bagian penting dalam memberikan pengalaman bagi para penggunanya.

“Olsera Office hadir sebagai wujud komitmen tim Olsera untuk selalu memberikan value, dukungan, hingga kepuasan terbaik bagi para pengguna Olsera. Orientasi pengembangan kami adalah aspirasi dari para pelanggan, tepatnya para pelaku usaha UKM. Olsera ingin menjadi solusi aplikasi kasir yang dikembangkan dengan pendekatan dari dan untuk para merchant, bukan dari aspirasi perusahaan semata,” jelas Novendy.

Dalam tiga tahun terakhir, Olsera telah melakukan beberapa perubahan penting dari segi layanan. Selain memperbarui versi POS yang lebih aman fitur-fitur baru juga ditambahkan, seperti Self Order, Kiosk Order, Table Management, Kitchen Order Management, Multi Level Inventory Management, Loyalty Point, dan metode pembayaran menggunakan e-money Ovo dan Gopay.

“Kami bangga dengan kerja keras tim kami yang membawa Olsera terus bersaing di depan dan menjadi salah satu top of mind POS provider dengan tingkat kepuasan yang sangat baik,” lanjut Novendy.

Selanjutnya Novendy menceritakan, pihaknya akan lebih fokus untuk memberikan lebih banyak kemudahan kepada para merchant dari sisi pemasaran, pengelolaan operasional, rantai pasokan, pendanaan hingga pembukuan melalui kerja sama rekanan yang saling menguntungkan.

Application Information Will Show Up Here

Ralali Tambah Fitur Baru Dukung Kemudahan Transaksi dan Pengembangan Bisnis Mitra

Platform marketplace B2B Ralali merilis tiga fitur baru untuk dukung kemudahan transaksi di dalam platformnya. Perusahaan berambisi menjadi super app yang memiliki berbagai layanan untuk permudah transaksi.

Founder dan CEO Ralali Joseph Aditya menjelaskan, tiga fitur ini hadir dalam situs dan aplikasi Ralali. Pertama adalah Radar (Ralali Darat Air Udara), fitur baru yang akan membantu peran logistik Ralali Kargo untuk terhubung dengan berbagai vendor logistik pengiriman barang di berbagai pelosok, sehingga pengiriman barang pesanan tidak terpusat di satu kota saja.

“Solusi ini menjawab masalah yang sering dikeluhkan pelaku usaha mengenai biaya logistik yang sangat besar,” terangnya, kemarin (30/8).

Fitur kedua adalah Octopus untuk mitra brand dari Ralali. Ini berfungsi memudahkan brand monitor performa produk dan tingkat kebutuhan berbagai daerah terhadap kebutuhan produknya melalui aplikasi keagenan Ralali, bernama Big Agent. Octopus memberikan dampak yang signifikan bagi mitra untuk mengontrol pasar dan distribusi sesuai dengan karakter pembeli di berbagai daerah.

Terakhir, adalah fitur fintech yang di dalamnya ada payment, financing (akses pendanaan), asuransi, dan investasi. Keempatnya difokuskan untuk bantu pengembangan dan perkuat bisnis UKM itu sendiri.

Joseph menjelaskan fitur fintech adalah hasil kolaborasi dengan para mitra penyedia jasa keuangan. Ke depannya perusahaan akan menambahkan digital goods di dalam fitur ini, seperti pembelian pulsa, paket data, PLN, PDAM, BPJS, dan uang elektronik.

“Fitur fintech sudah resmi tersedia, namun baru menyediakan financing dan insurance. Sisanya akan segera menyusul. Demikian pula untuk Radar dan Octopus, keduanya kami rencanakan meluncur sebelum akhir tahun ini.”

COO Ralali Alexander Lukman menambahkan, fitur fintech ini telah dipasarkan oleh para agen ke lebih dari 1.500 pelaku UKM. Total pendanaan yang tersalurkan mencapai Rp18 miliar.

“Pasar yang sebelumnya belum pernah tergarap pun sekarang bisa mendapatkan akses untuk perluasan dan pengembangan,” kata Alexander.

Agen adalah motor pertumbuhan Ralali

Joseph menerangkan jalur keagenan adalah salah satu motor pertumbuhan bisnis di Ralali. Makanya, aplikasi Big Agent diperkuat dengan berbagai fitur untuk dukung produktivitas agen. Dalam pemasaran produk B2B, memang tidak bisa disamakan dengan apa yang dilakukan oleh e-commerce B2C seperti kebanyakan.

Dia melihat, cara paling ampuh untuk mendekati konsumen B2B, terutama UKM yakni dengan menemui langsung di lapangan karena mayoritas dari mereka belum tersentuh oleh teknologi. Secara potensi, e-commerce B2B itu dinilai lebih besar dari B2C, terlebih dari berbagai data menyebut 60% dari total PDB Indonesia ditopang oleh UKM.

“Memang sekarang di Indonesia itu yang lebih besar saat ini adalah B2C. Namun di Tiongkok itu, bisnis B2B itu dua kali lebih besar dari B2C. Artinya, tugas kita masih banyak untuk edukasi ke pasar. Setelah enam tahun berdiri, kami lihat potensi B2B di luar Jawa itu besar, banyak permintaan mau gabung sebagai agen.”

Joseph melanjutkan, “Kehadiran Big Agent membedakan kami dengan e-commerce lainnya, kami mendefinisikan cara baru melakukan bisnis.”

Aplikasi Big Agent ini sebenarnya sudah dirilis sejak tahun lalu. Data terkini menyebut, ada 300 ribu agen tergabung, dengan dominasi di Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Malang, Semarang, Padang, dan Palembang.

Mereka tidak hanya pekerja lepas, tapi ada juga dari karyawan, mahasiswa, pelajar, dan pengemudi ojek online. Rentang usianya antara 21-25 tahun. Pekerjaan yang bisa dilakukan para agen melalui aplikasi Big Agent diklaim ada ratusan ribu jenis.

Namun ada tiga layanan pekerjaan untuk pelaku bisnis, yakni survei pasar (14,29%), promosi (74,52%), dan akuisisi (4,25%). Sistem kerjanya fleksibel dan ada komisi yang diberikan tergantung pekerjaan yang diselesaikan.

CTO Ralali Irwan Suryadi menjelaskan, seluruh pekerjaan yang diselesaikan ini akan menjadi data yang diolah sebagai salah satu mesin utama big data untuk mengenali konsumen lebih baik dan memetakan pola transaksi pembeli. Harapannya, dari pengolahan data ini bisa menjadi rujukan tepat sasaran bagi perusahaan untuk memahami berbagai kebutuhan dalam satu ekosistem digital.

Sejauh ini perusahaan telah memiliki 20 layanan dalam ekosistemnya, termasuk di antaranya ketiga fitur baru di atas, dan aplikasi Big Agent. Joseph mengklaim rata-rata jumlah transaksi perusahaan tumbuh hingga empat kali lipat. Bahkan pada tahun lalu, jumlah transaksi secara nominal tembus sekitar Rp10 triliun.

Dia optimis tahun ini pencapaian bisnis bisa naik hingga lima kali lipat dari pencapaian setahun sebelumnya. Perusahaan telah menjangkau lebih dari 750 ribu UKM di 25 provinsi sebagai pembeli. Juga, telah rambah Singapura dan Thailand. Dalam pipeline, perusahaan berencana untuk perluas ke Vietnam dan Filipina.

“Mungkin tahun depan. Ada beberapa negara lain juga, mirip-mirip dengan Indonesia. Di mana negara tersebut banyak penduduknya, butuh pekerjaan juga,” tandasnya.

Selama 6 tahun, Ralali melayani lebih dari 13.000 pemasok (sellers), lebih dari 160.000 pembeli (UKM) dan menangani hampir 300.000 produk (SKU) di dalam platformnya, dengan setengah juta pengguna terdaftar dan lebih dari 5 juta pengunjung bulanan.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here