Menjalin Hubungan dengan Investor Tidak Bisa Dilakukan Secara Instan

Pendekatan kepada investor, baik itu Venture Capital atau Angel Investor, biasanya dilakukan mendadak dan sporadis oleh startup menjelang kebutuhan untuk mendapatkan pendanaan. Kegiatan pitching diikuti dari berbagai kesempatan. Jika startup tidak memiliki hubungan yang kuat dengan investor tersebut atau memiliki rencana investasi yang kuat, maka itu bukan menjadi pendekatan yang baik.

Ada beberapa hal yang dapat menjadi pertimbangan startup ketika membangun hubungan dengan investor. Karena selain kesiapan materi, strategi yang bersifat soft-skill juga dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Yang sering terjadi pada pendekatan startup terhadap investor

Venture Capital ternama akan selalu dibanjiri dengan pitching-deck dari banyak startup. Diibaratkan jika seminggu ada 3-5 startup baru, maka selama satu tahun mereka akan bertatap muka dengan lebih dari 150 startup. Artinya akan sedikit kemungkinan mereka mengingat secara detail tentang nuansa ketika pertama kali bertemu, mereka mengingatnya sebagai sebuah pitching.

Pada kasus kebanyakan startup, pertemuan untuk membangun hubungan dalam dua atau tiga bulan sebelum penggalangan dana justru berubah menjadi pematangan produk atau pitch-deck.

Lima menit pertama adalah waktu krusial untuk memberikan kesan dalam presentasi, namun seringkali justru banyak masukan yang diberikan, bahkan startup jadi menemukan improvisasi mayor yang harus menjadi agenda pembenahan. Akibatnya justru akan menjadi bumerang karena kurang matangnya persiapan tersebut.

Tentu startup mengharapkan jika mereka senang dengan apa yang dipresentasikan, di lain waktu investor tersebut akan memberikan kesempatan lebih intend dalam memperdalam pemahaman tentang bisnis startup tersebut. Jika pun ada masukan yang harus menjadi pembenahan, diharapkan dalam selang waktu menuju kesempatan berikutnya para investor masih bergairah menerima dan mendengarkan improvisasi dari perbaikan yang disarankan.

Waktu ideal pendekatan adalah 6-12 bulan sebelum penggalangan dana

Menjalin hubungan sejak jauh-jauh hari bukan berarti startup harus menemui semua investor. Pilihlah calon investor yang sekiranya cocok dan bisa menerima proses bisnis yang dimiliki. Biasanya investor memiliki sebuah sistem manajemen relasi (bisa melalui investment partner) yang dapat memberikan intro kepada startup terkait ketertarikan mereka. Idealnya maksimal 5 investor yang dijalin hubungannya dalam kerangka waktu tersebut.

Elad Gil mengatakan dalam pengelamannya ketika startup sudah memiliki hubungan terlalu dekat dengan investor, misalnya sudah sampai pada pertemanan yang akrab, justru tidak akan memberikan investasi dalam jumlah besar. Karena pada dasarnya apa yang ingin dibangun investor adalah bisnis, bukan sebuah hal yang berkaitan dengan pribadi. Jadi kesimpulannya menjalin hubungan juga secukupnya, untuk meyakinkan kesamaan visi dan memberikan pemahaman produk secara mendetail.

Tren Investasi Startup dan Prediksi Kepemimpinan Fintech di Tahun 2017

Beberapa catatan tentang iklim investasi tahun 2016 menunjukkan beberapa hal menarik. Startup di Indonesia kini telah memasuki tahap untuk mampu memberikan dampak secara signifikan kepada masyarakat, beberapa di antaranya bahkan menyita perhatian investor global. Telur “unicorn” pertama pun telah dipecahkan, tambahan investasi $500 juta membawa valuasi Go-Jek di atas $1,3 miliar.

Sementara jika berbicara investasi secara umum, sektor bisnis e-commerce masih mendominasi. Dimulai dari kabar akuisisi Lazada oleh Alibaba yang konon digunakan sebagai strategi masuknya e-commerce paling disorot sejagat dalam beberapa waktu terakhir tersebut. Disusul putaran pendanaan yang diperoleh MatahariMall, Jualo dan Tokopedia. Namun yang begitu menyita perhatian, sektor fintech pada tahun 2016 turut mengambil porsi besar, bahkan nyaris sama dengan e-commerce. Sementara layanan on-demand yang sebelumnya (2015) ramai diperbincangkan justru memiliki porsi yang tak begitu besar.

Dari laporan tahunan startup yang dirilis DailySocial, setidaknya jika ditotal ada 104 kegiatan investasi di lanskap startup Indonesia tahun 2016, baik yang dilakukan oleh investor lokal ataupun investor asing. Dan lanjut investasinya sendiri cukup meningkat antara kuartal pertama sampai kedua, setelah itu menurut cukup derastis, hingga akhir tahun 2016.

Sebaran investasi startup selama tahun 2016 / DailySocial
Sebaran investasi startup selama tahun 2016 / DailySocial

Laju investasi tahun 2017 dan kepemimpinan fintech dalam iklim investasi

Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, pertumbuhan fintech di periode 2016 menunjukkan hasil yang signifikan. Setidaknya sebesar 78 persen, atau setara dengan total bisnis di bidang teknologi finansial yang mencapai 140 unit. Saat ini dominasi pemain ada di sub-sektor digital payment, umumnya fokus mereka memanfaatkan tren pembayaran digital yang didorong oleh popularitas layanan e-commerce dan cashless-society yang sedang banyak diperbincangkan.

East Ventures tercatat sebagai investor yang begitu sigap menanggapi hype startup fintech. Menurut laporan tentang kondisi startup fintech dari DailySocial, sekurangnya mengalir Rp 486,3 miliar untuk investasi startup dintech di tahun 2016. Kendati regulasi masih terus digodok, karena fintech cenderung menjadi bisnis yang riskan jika tidak diatur dengan baik, namun kepercayaan diri para pemain dan investor menunjukkan bahwa sektor ini akan cemerlang untuk beberapa tahun ke depan, termasuk prakiraan akan menjadi klimaks di tahun 2017.

Tren investasi startup di tahun 2017 / DailySocial
Tren investasi startup di tahun 2017 / DailySocial

Prakiraan survei yang dirilis oleh DailySocial menyebutkan hal yang serupa, fintech terlihat akan sangat mendominasi di tahun 2017. Sedangkan sektor e-commerce justru mulai menurun dan mulai tersalip dengan layanan SaaS (Software as a Services) dalam berbagai bidang. Tahun 2016 beragam model layanan SaaS mulai diperkenalkan, salah satunya yang menanamkan kecerdasan buatan dan berbagai teknologi pintar di dalamnya, seperti Kata.ai hasil pivot dari YessBoss, Prism hasil gabungan OneBit dan Coral, dan beberapa layanan lain.

Taksiran kebutuhan investasi di tahun 2017

Hasil analisis AMVESINDO (Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia) mengatakan bahwa setidaknya dana sebesar Rp 20 triliun diperlukan untuk mengalir di berbagai sektor startup digital tahun ini.

Disampaikan Ketua AMVESINDO Jeffri Sirait, jumlah dana triliunan tersebut idealnya dapat dioptimalkan sumbernya dari dukungan sektor publik dan swasta, dalam artian pemerintah akan turut banyak berperan dalam putaran ini. Keterlibatan pemerintah diklaim sangat penting untuk mewujudkan misinya dalam menciptakan ratusan wirausaha digital yang telah dicanangkan.

Di luar dari pemaparan di atas, ada satu hal yang juga akan menjadi perhatian di khalayak startup lokal, yakni ekspansi beberapa pemain luar yang memanfaatkan funding yang didapatkan dari investor bernaung di Asia Tenggara. Beberapa startup sudah mengukuhkan niatnya, seperti Betaout penyedia layanan pintar untuk e-commerce, Postr penyedia layanan adtech untuk bisnis telco, hingga Helpster layanan pencari pekerja kasar. Hadirnya pemain asing ini turut mengencangkan persaingan, dan (mungkin) akan membawa tren baru di kalangan bisnis digital nasional.


Unduh versi lengkap dari laporan DailySocial di sini:

BCA Dirikan Central Capital Ventura, Suntik Dana 200 Miliar Rupiah

Berdasarkan keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), pada 25 Januari 2017 BCA dan PT BCA Finance telah menandatangani akta pendirian modal ventura dengan nama PT Central Capital Ventura (CCV). Perusahaan ini tercatat sudah mengantongi izin resmi dari OJK pada 27 Desember 2016 lewat surat OJK Nomor S-208/PB.33/2016.

Wakil Presiden Direktur BCA Armand Wahyudi Hartono menjelaskan perusahaan menyiapkan modal disetor sebesar Rp 200 miliar dengan kepemilikan saham 100% adalah BCA. Armand menjelaskan CCV nantinya akan melakukan investasi dan berkolaborasi dengan perusahaan fintech.

CCV juga diharapkan akan mendukung ekosisitem layanan keuangan BCA dan para entitas anak usaha BCA, serta secara keseluruhan memberikan nilai tambah bagi nasabah BCA, khususnya masyarakat pada umummnya.

“Mengingat di era digital ini perusahaan fintech memiliki potensi yang besar untuk tumbuh dan berkembang, maka diharapkan CCV dapat menjadi perusahaan ventura yang berkembang dan memiliki bisnis yang prospektif,” tulis Armand.

Kehadiran CCV, turut menambah portofolio anak usaha BCA. Saat ini BCA memiliki tujuh anak usaha yang bergerak di jasa keuangan, yaitu BCA Syariah, BCA Finance, BCA Insurance, BCA Finance Limited, BCA Sekuritas, CS Finance, dan BCA Life.

CCV juga turut memanaskan peta persaingan perbankan Indonesia yang mulai mendekati arah digital sebagai jalur distribusi terbarunya. Sejauh ini perbankan yang memiliki modal ventura adalah Bank Mandiri dengan Mandiri Capital Indonesia (MCI). Bank BUMN lain seperti BNI menyatakan akan mengakuisisi modal ventura, sementara kabar terakhir BRI mengatakan masih dalam tahap kajian.

BNI Akan Perkuat Bisnis Melalui Strategi Fintech dan Modal Ventura

Tahun ini Bank Negara Indonesia (BNI) memiliki sejumlah rencana pertumbuhan anorganik dengan menyiapkan dana sebesar Rp 4 triliun untuk anak usaha. Selain memperkuat bisnis yang sudah ada, BNI berencana mendirikan perusahaan asuransi umum, modal ventura dan manajemen aset.

Dari total anggaran tersebut, sekitar Rp 1,5 triliun akan dipergunakan untuk mengakuisisi perusahaan fintech untuk mengembangkan bisnis digital banking.

Kepada DailySocial, Direktur Keuangan Rico Rizal Budidarmo turut menerangkan, pihaknya cenderung akan memilih perusahaan modal ventura yang sudah ada sehingga prosesnya bisa lebih cepat. Terkait akuisisi perusahaan fintech, dia memastikan pastinya BNI akan memilih perusahaan yang banyak bersentuhan dengan sistem pembayaran.

“Cenderung akuisisi yang ada [modal ventura] sehingga bisa cepat. [Untuk akusisi fintech] Tentunya yang banyak bersentuhan dengan payment system,” ucap dia.

Rico melanjutkan, “Kami membutuhkan perusahaan-perusahaan teknologi yang bisa mendukung dan bersinergi dengan bisnis digital banking, seperti startup fintech,” seperti dikutip dari Ascend.

Rencana BNI ini bisa dikatakan cukup agresif dalam rangka merangkul perkembangan fintech yang bakal masif ke depannya. Beda dengan rekan bank pelat merah lainnya seperti Bank Mandiri yang cenderung memilih untuk membangun sendiri perusahaan modal ventura, PT Mandiri Capital Indonesia (MCI) pada awal tahun lalu.

Lewat MCI, Bank Mandiri secara berkala memberikan suntikan dana agar dapat diteruskan kepada para investee company di MCI. Bank Mandiri mengamanatkan MCI untuk memilih startup digital yang bergerak di bidang fintech saja.

Bank Mandiri juga menganggarkan suntikan dana untuk MCI sebesar Rp 150 miliar. Diharapkan total dana kelolaan MCI mencapai Rp 500 miliar, dari sebelumnya Rp 350 miliar.

Bank Central Asia (BCA) juga tidak mau kalah, sejak tahun lalu bank swasta terbesar di Indonesia ini sudah menyerahkan seluruh dokumen persyaratannya untuk mendirikan modal ventura ke OJK. Kabar terakhir menyebut BCA hanya tinggal menunggu persetujuan saja dari regulator. Hingga kini kami masih belum dapat mengetahui kabar terbarunya.

Lima Ventura Sasar Investasi di Startup Digital Lewat Inkubator Parama Indonesia (UPDATED)

Perusahaan modal ventura lokal Lima Ventura mengungkapkan pengalihan fokus investasi yang kini mulai mengarah ke startup digital, dari sebelumnya usaha yang masih bergerak di jalur offline. Cara yang ditempuh oleh perusahaan misalnya dengan mengadakan kompetisi tahunan dengan tema startup yang berbeda-beda.

Lima Ventura merupakan perusahaan modal ventura lokal yang sudah berdiri sejak 2011. Managing partner Lima Ventura adalah PT LiMa Rachmat Sejahtera, milik Surachmat Sunjoto selaku pendiri dan pemilik mayoritas. Pemilik lainnya Fadri Effendy dan Yan Rezky Fahza selaku Limited Partner. Aset portofolio dalam kelolaan Lima Ventura saat ini sebesar Rp 50 miliar.

Untuk turut mengambil andil di pengembangan startup digital, perusahaan mendirikan program inkubasi dan akselerasi Parama Indonesia yang sebelumnya bernama Kompetisi Bisnis. Dari situ, Panama mulai menggelar kompetisi tahunan untuk diberikan dukungan pembiayaan dan kerja sama bisnis. Kegiatan baru ini dimulai sejak tahun lalu.

“Lima Ventura sebelumnya membiayai banyak UKM, tetapi untuk kategori startup digital baru melakukan dua kali lewat kompetisi. Sub sektor yang kami pilih sesuai fokus pemerintah [Bekraf],” terang Direktur Parama Indonesia Agni Pratama kepada DailySocial.

Dalam kompetisi tahun lalu, Lima Ventura memilih startup fesyen, dengan pemenang terpilih Voyej Leather Good, perusahaan fesyen apparel anak muda yang berorientasi menjadi pemimpin pasar leather apparel di regional dan Indonesia.

Untuk tahun ini, Panama Indonesia memilih tema startup food tech. Perusahaan telah menetapkan lima startup sebagai pemenang. Mereka adalah Gorry Gourmet (Jakarta), Masaku (Surabaya), Hong Tang (Jakarta), Roast Beef Gusto (Jakarta), dan Yagami Ramen (Bandung). Kelima pemenang ini berhak mendapatkan total dana investasi sebesar Rp15 miliar, dengan besaran nominal diprioritaskan sesuai kebutuhan masing-masing perusahaan.

Agni menjelaskan pihaknya memilih food tech karena sektor food and beverages (FnB) dan teknologi adalah dua sektor ekonomi yang sangat berpotensi baik dari sisi pertumbuhan bisnis maupun market size-nya di skala regional dan nasional. Makanan dan teknologi adalah sub sektor andalan pemerintah yang memiliki kontribusi tinggi terhadap produk domestik bruto (PDB) dan penyerapan tenaga kerja.

“Makanan dan teknologi merupakan sektor bisnis yang memiliki profitabilitas yang baik. Semua latar belakang itulah yang menjadikan Lima Ventura memiliih sektor tersebut untuk tema kompetisi tahun ini.”

Berikutnya, sambung Agni, Lima Ventura tetap akan mengacu pada sub sektor ekonomi kreatif yang berpotensi pada dampak bisnis, sekaligus berkontribusi pada PDB dan penyerapan tenaga kerja.

Tak hanya pendanaan yang diberikan Lima Ventura. Pemenang juga akan diberi pendampingan dengan jaringan yang dimiliki perusahaan. Tujuannya agar mereka dapat mempercepat penetrasi pasar.


*Terdapat perbaikan nama

MDI Ventures Lirik Investasi di Bidang Sekuriti Siber dan IoT

MDI Ventures, corporate venture capital dari Telkom, mengungkapan pihaknya sedang melirik investasi di perusahaan bidang sekuriti siber (cyber security) dan Internet of Things (IoT) pada tahun ini. Investasi tersebut merupakan bidang baru yang belum pernah dimasuki perusahaan sejak pertama kali luncurkan pada Februari 2016.

Fokus investasi perusahaan ini, sejalan dengan rencana kerja MDI Ventures yang ingin memfokuskan investasi di perusahaan digital terkemuka dan high-target dengan vertikal bisnis bergerak di pengadaan solusi untuk perusahaan, pemerintah, dan UKM, keamanan siber, internet mobile, dan IoT.

“Kami melirik perusahaan di bidang cyber security dan IoT. Untuk market Indonesia, kedua vertikal ini hampir sepenuhnya di-drive oleh demand dari sisi B2B (serta B2G). Oleh karena itu, butuh strategic investor yang bisa membantu startup untuk membangun bisnis dengan perusahaan besar (BUMN dan swasta) dan pemerintah,” terang CEO MDI Ventures Nicko Widjaja kepada DailySocial.

Tak hanya mengincar di dua sektor tersebut, perusahaan juga akan lebih agresif menghasilkan synergy value dari kolaborasi startup dengan Telkom, tidak hanya semata-mata agresif dari jumlah perusahaan yang akan diinvestasikan saja.

Menurut Nicko, hal itu akan diwujudkan dengan dua langkah. Pertama, untuk investasi langsung dari growth fund perusahaan, jumlah perusahaan baru yang akan mendapat dana investasi kurang lebih sama dengan tahun lalu. Namun dengan rata-rata nilai investasi yang lebih besar dan preferensi terhadap stage yang lebih matang.

Kedua, perusahaan juga akan lebih agresif di pendanaan tahap awal (seed) melalui follow on funding ke startup yang berpartisipasi di Indigo Accelerator.

Sebagai gambaran, ada 11 perusahaan yang mendapat kucuran dana segar dari MDI Ventures pada tahun lalu. Sembilan di antaranya adalah Geniee (Jepang), mClinica (Filipina), NComputing (Amerika Serikat), aCommerce (Thailand), Ematic (Singapura), RedDot Payment (Singapura), Adskom, Kata.ai, Goers (ketiganya dari Indonesia).

Sebelumnya, Nicko sempat mengungkapkan rencananya untuk berinvestasi di perusahaan “space tech” dari Amerika Serikat. Dari pemberitaan terakhir, nama perusahaan akan diungkapkan pada awal Desember tahun lalu.

“Kami akan menutup kesepakatan [investasi] dengan satu perusahaan space tech dari Amerika Serikat. Kami akan menjadi investor Indonesia pertama yang percaya bahwa era space tech akan datang ke sini. Perusahaan ini didirikan oleh mantan insinyur SpaceX,” katanya.

Pihaknya percaya dengan investasi ke sektor tersebut, sejalan dengan semakin banyaknya orang Indonesia yang sudah terhubung secara online sehingga kebutuhan coverage internet yang akan semakin luas dan cepat dalam beberapa tahun mendatang.

“Permintaan untuk terus terhubung dan cepat akan menjadi the biggest thing bersamaan dengan memasuki era digital. Di AS, pertumbuhan sektor ini telah berkembang lebih dari 40% per tahunnya.”

Tantangan VC di 2017

Menurut Nicko, pihaknya melihat iklim perekonomian tahun akan lebih membaik. Faktornya dari aspek pertumbuhan ekonomi makro naik menjadi 5,1% akibat impilkasi dari daya beli konsumen dan perusahaan yang meningkat.

Sementara dari sisi perilaku, konsumen dan bisnis di Indonesia sudah semakin terbuka dengan penggunaan teknologi. Di sisi lain, investor akan tetap berhati-hati untuk investasi perusahaan dengan business model yang mengandalkan “bakar uang” dengan unit economics yang buruk.

“Maka dari itu, tantangan untuk startup adalah mencari cara kreatif untuk tidak missing the boat dalam meraih peluang bisnis yang ada selagi dana fundraising yang ada masih terbatas.”

Dia menambahkan tantangan dan peluang untuk VC pada umumnya, terutama dengan fund yang sudah lama aktif, adalah permasalahan likuiditas. Dengan semakin agresifnya korporasi (baik asing maupun lokal) untuk ekspansi melalui akuisisi, investor harus semakin pro-aktif dalam menjalankan fungsi sebagai jembatan antara startup dan potential acquirers.

“Tanpa clear path to liquidity, sebuah VC akan semakin sulit untuk mencari LP untuk fundraising round selanjutnya,” pungkas Nicko.

Indosat Ooredoo, Mountain Partners, dan Kejora Dirikan Modal Ventura “Ideabox Ventures”

Indosat Ooredoo, Mountain Partners, dan Kejora bersepakat untuk mendirikan perusahaan gabungan modal ventura Ideabox Ventures. Perusahaan ini adalah hasil tindak lanjut dari kerja sama yang sebelumnya sudah dilakukan oleh ketiga pihak saat menjalankan program akselerator Inkubator sejak 2013.

Dengan adanya perusahaan baru ini, artinya pelaku startup bisa bergabung ke dalam jaringan Indosat, Mountain Ventures, dan Kejora lewat dua jalur. Yakni lewat Ideabox Ventures atau program akselerator Ideabox Alpha. Hanya saja, ada perbedaan spesifikasi untuk startup yang ingin bergabung.

Untuk masuk lewat Ideabox Ventures, hanya bisa menerima startup yang sudah tergolong perusahaan jadi, bergerak di bidang digital, memiliki founder dengan tim yang komplit, belum pernah menerima pendanaan seri A, dan traksi yang telah terbukti berkembang diantaranya bidang e-commerce, layanan web, pembayaran digital & fintech, serta teknologi & security.

Adapun suntikan modal yang disiapkan untuk startup yang masuk lewat jalur ini maksimal $500 ribu melalui venture capital fund, ditambah dukungan lainnya, seperti konsultasi strategis, dan komersial yang akan membantu perusahaan untuk tumbuh dan memperluas jangkauan bisnisnya.

Andy Zain, Managing Director Kejora, menerangkan dari Ideabox Ventures pihaknya hanya akan mengambil enam hingga delapan startup yang dapat bergabung ke Ideabox Ventures. “Ini komitmen awal selama tiga tahun, setelah tiga tahun berakhir akan dievaluasi bagaimana tindakan berikutnya,” terang dia, Kamis (24/11).

Alexander Rusli, CEO dan Presiden Direktur Indosat Ooredoo, menambahkan, “Selain dapat investasi, bedanya di Ideabox Ventures para peserta juga diberi fasilitas kantor sebagai tempat bekerja dan dukungan dari kami untuk go-to-market. Kami gembira dapat bekerja sama dengan Mountain Partners, mengingat perusahaan ini telah beroperasi secara global.”

Sementara itu, bila masuk melalui program akselerator Ideabox Alpha nominal investasi yang diberikan tidak lebih dari $50 ribu. Pasalnya, kriteria startup yang bisa masuk juga berbeda. Salah satu kategorinya adalah sudah memiliki ide bisnis, namun produknya masih berbentuk prototipe.

Lebih lanjut dijelaskan oleh Andy, program akselerator Ideabox Alpha merupakan keempat kalinya digelar. Sejauh ini sudah ada 15 lulusan dari program ini, di antaranya Dealoka, Pawoon, Wobe, Cupslice, dan lainnya yang berasal dari enam lokasi Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Singapura, dan Australia.

Tim yang nantinya terpilih masuk ke batch 4 diwajibkan untuk mempresentasikan model bisnis mereka selama selama 120 hari di Jakarta dengan dukungan dan mentoring dari Indosat Ooredoo, Mountain Partners, dan Kejora. Selanjutnya, mereka juga berpeluang dapat meningkatkan operasinya melalui kemitraan komersial dengan Indosat Ooredoo.

“Melalui kombinasi dari pengetahuan dan jaringan yang ada, kami percaya dapat membantu startup mengurangi risiko teknologi, market, model bisnis, dan eksekusi. Bila startup memiliki akses langsung kepada pengguna yang berjumlah 85 juta orang. Hal tersebut sangat mungkin terjadi melalui Ideabox,” ujar Andy.

Sekadar informasi, Indosat juga memiliki perusahaan JV modal ventura lainnya yakni dengan SoftBank dengan nama SB ISAT. Perusahaan ini memiliki preferensi startup yang lebih tinggi dari Ideabox Ventures, hanya dikhususkan untuk startup yang sudah mature dari segala hal dan mereka butuh uang investasi.

“Untuk venture capital dengan SoftBank masih tetap berjalan, hanya saja ada preferensi yang berbeda. Yakni untuk startup mature yang sedang need money,” pungkas Alex.

MDI Ventures dan Rencana Investasi di Perusahaan “Space Tech” Asal Amerika Serikat

MDI Ventures, Corporate Ventures Capital Telkom, mengungkapkan rencananya untuk menjadi pemodal lokal pertama yang akan berivestasi di perusahaan “space tech”. Meski belum bisa diungkap namanya saat ini, pihak MDI Ventures berjanji akan segera mengungkapnya di awal Desember 2016 nanti. Sejauh ini, MDI Ventures sendiri telah menanamkan modal di 13 perusahaan startup dengan tiga di antaranya akan segera menutup kesepakatan di akhir tahun ini.

CEO MDI Ventures Nicko Widjaja mengatakan, “Kami akan menutup kesepakatan [investasi] dengan satu perusahaan space tech dari USA. Kami akan menjadi investor Indonesia pertama yang percaya bahwa era space tech akan datang ke daerah ini.”

“Kami belum bisa mengungkapkan namanya [hingga Desember]. Perusahaan ini didirikan oleh mantan insinyur SpaceX,” lanjut Nicko.

[Baca juga: Kemitraan Strategis Telkom dan Plug n Play Buka Akses ke Silicon Valley]

Sebagai informasi, sembilan bulan lalu Telkom mengumumkan telah menjalin kerja sama strategis dengan Plug n Play dan berkomitmen untuk membantu rencana pemerintah. Indra Utoyo, Direktur Inovasi & Strategic Portfolio Telkom Indonesia, ketika itu mengungkap bahwa Telkom telah membuka kantor pertamanya di Sillicon Valley melalui Metra Digital Investama (MDI).

Pun begitu, Nicko menegaskan kembali bahwa kesepakatan pihaknya dengan Plug n Play tidak eksklusif, tetapi hanya sebagai anggota jaringan VC mereka. Ia juga mengatakan bahwa MDI tidak menjadi bagian tim yang membawa Plug n Play hadir di Indonesia, meski Nicko percaya bahwa itu baik untuk ekosistem startup Indonesia ke depannya.

[Baca juga: Program Akselerator Plug and Play Indonesia Resmi Diluncurkan]

Nicko menjelaskan, “Hubungan kami dengan VC di Amerika Serikat itu lebih luas lagi. Kami lebih dekat dengan YCombinator, Google Ventures, NEA, AME Cloud Ventures, Social Capital, hingga A16Z.”

“Kesepakatan kami dengan Plug n Play tidak eksklusif. […] Mereka pernah mengatur pitching day untuk MDI tahun lalu agar kami bisa mempelajari tentang strategi pendanaan tahap awal di perusahaan Amerika Serikat. Namun, kami melakukan ini dengan YCombinator juga,” lanjut Nicko lebih jauh.

Optimisme dan latar belakang MDI Ventures berinvestasi di perusahaan space tech

Terkait rencana investasi di perusahaan space tech, Nicko menekankan kembali bahwa teknologi ruang angkasa yang dimaksudkannya di sini adalah terkait dengan cara baru mengirimkan data ke bumi. Singkatnya, ini adalah internet untuk ruang angkasa.

“Kami tidak berinvestasi di satelit dengan biaya murah, melainkan sebuah infrastruktur [teknologi] untuk satelit di ruang angkasa. […] Kebutuhan untuk coverage yang lebih luas dan cepat akan lebih besar dalam beberapa tahun ke depan karena semakin banyak orang yang online. […] Indonesia merupakan negara kepulauan. Permintaan untuk terus terhubung dan cepat [24/7] akan menjadi the biggest thing bersamaan dengan kita yang memasuki era digital. Di AS, pertumbuhan di sektor ini telah berkembang lebih dari 40% per tahun,” jelas Nicko.

[Baca juga: DScussion #56: MDI Ventures dan Peranan CVC Mendukung Ekosistem Startup di Indonesia]

Nicko menambahkan, “Tesis kami mudah. Sinergi dengan sumber daya Telkom di Indonesia. Pada dasarnya, Telkom sendiri memiliki infrastruktur yang besar, basis pengguna akhir dan pelanggan perusahaan yang besar, dan data yang besar. [Jadi] Kami ingin berinvestasi di perusahaan teknologi yang bisa bermitra untuk memanfaatkan semua dorongan potensi tersebut. Dalam hal vertikal industri, kami melihat tiga klasifikasi, yaitu Now, New, dan Next.”

Dengan basis Now, New, dan Next, MDI Ventures sendiri telah berdiskusi dengan beberap investor Sillicon Valley untuk mencari teknologi terdepan seperti apa yang berikutnya akan muncul. Apakah itu mobilitas, ruang angkasa, atau energi. AI, Artificial Intellegence, sendiri telah masuk dalam radar MDI meskipun bidang ini relatif baru. Namun, MDI sediri telah membidik teknologi ruang angkasa selama beberapa waktu.

Portofolio, Visi, dan Rencana ke depan MDI

Penandatanganan MOU MDI dengan Telstra / DailySocial
Penandatanganan MOU MDI dengan Telstra / DailySocial

Semenjak program pendanaan MDI bergulir, mulai dari mengumumkan ketersediaan dana, Nicko menyebutkan bahwa pihaknya kini telah berinvestasi di 13 perusahaan. Tiga perusahaan lagi disebutkan akan segera bergabung. Dua diantaranya adalah pemain lokal yaitu Goers dan Privy yang merupakan startup jebolan program inkubasi Telkom Indigo tahun 2015.

“MDI adalah investor untuk pendanaan tahap lanjutan dan dana kami itu global. […] Seperti kebanyakan VC di Amerika Serikat, tingkat penerimaan kami kurang dari 3%, yang berarti kami sudah menerima lebih dari 800 proposal di seluruh dunia dan hanya diinvestasikan dalam 13 perusahaan sejauh ini. Kami cukup selektif dalam memilih perusahaan kami. Saya percaya ini adalah sinyal yang baik bahwa ada cukup minat dari perusahaan global untuk bekerja di Indonesia.” kata Nicko.

Ia melanjutkan, “Untuk Indonesia, kami mengelola Indigo sebagai platform untuk meremajakan ekosistem di Indonesia. Indigo telah menjadi seperti VC, lebih dari sekedar sebuah program. Di Indigo, kami berinvestasi di 40 seed dan pre-seed per tahun ini. Tahun ini, kami juga senang untuk menyambut beberapa startups dari Indigo angkatan 2015 seperti Goers untuk menjadi bagian dari perusahaan MDI.”

Konsep ‘sinergi’ memang telah memainkan peranan besar dalam tiap langkah investasi MDI. Semua portofolio MDI sendiri, menurut Nicko telah memberikan dampak besar bagi Telkom. Baik itu peningkatan ARPU dan efesiensi, mengurangi churn, atau membangun aliran pendapatan baru untuk grup. Dengan basis klien perusahaan terbesar yang dimiliki Telkom dan basis pelanggan terbesar yang dimiliki Telkomsel saja sudah menjadi daya tarik utama perusahaan luar negeri untuk bekerja sama dan mulai masuk ke pasar Asia Tenggara.

[Baca juga: Telkom dan Telstra Akan Kucurkan Investasi di Startup Melalui MDI]

Nicko mengatakan, “Yang perlu di-highlight dari kegiatan kami adalah untuk melakukan investasi bersama dan membangun sindikasi dengan pemodal Silicon Valley seperti Social Capital dan Google Ventures. Maksudku, kami adalah salah satu dari sedikit pihak yang berurusan dengan mereka dan itu adalah tingkat permainan yang berbeda. Kami benar-benar belajar banyak dari mereka karena penawaran mereka lebih rumit daripada yang kami lihat di kawasan SEA. Kami akan terus melakukan investasi bersama dengan mereka dan mengambil semua pengetahuan yang diperlukan untuk struktur penawaran yang lebih baik di SEA.”

[Baca juga: Telkom Siapkan 300 Miliar Rupiah untuk Suntik Startup Melalui MDI Ventures]

Untuk pemberitaan yang beredar mengenai penambahan $100 juta untuk ketersediaan dana MDI, Nicko mengatakan, “Terkait ketersediaan dana, ini telah diumumkan pada awal tahun. Tidak membuat kebingungan seolah-olah kami meluncurkan yang baru. Kami telah mengumkan berita ini ketika launching di bulan Maret dan diulang lagi ketika menandatangani MOU bersama Telstra Ventures.”

Mandiri Capital Bidik 6-8 Startup Fintech Baru Tahun Depan

Mandiri Capital Indonesia (MCI), anak usaha modal ventura Bank Mandiri, menunjukkan komitmennya untuk membidik daftar startup fintech lainnya agar masuk sebagai investee company dari MCI. Target yang dipasang cukup ambisius antara enam hingga delapan fintech baru, lebih banyak penambahannya dibandingkan pada tahun ini sekitar tiga perusahaan.

“Tahun ini penambahannya ada tiga perusahaan baru, sehingga totalnya jadi ada lima fintech dalam portofolio MCI. Sedangkan tahun depan, maksimal penambahan fintech ada enam hingga delapan perusahaan, atau minimal bertambah empat hingga lima perusahaan saja itu sudah sesuai dengan target yang diharapkan,” terang Eddi Danusaputro, Direktur Utama MCI kepada DailySocial, Selasa (22/11).

Adapun besaran investasi yang disiapkan untuk suntikan modal, baik ke investee company yang baru bergabung dengan perusahaan existing diproyeksikan nilainya mencapai Rp 200 miliar. Besaran suntikan modal akan bergantung pada ukuran masing-masing perusahaan.

Saat ini yang sudah terpublikasi ada dua pasangan usaha yang dimiliki MCI, yakni PT Mitra Transaksi Indonesia (fokus ke penyediaan mesin EDC) dan PT Digital Artha Media (fokus mengelola bisnis Mandiri E-Cash). Kedua perusahaan tersebut sudah mendapat suntikan modal sebesar Rp 250 miliar.

Menurut Eddi, salah satu hal yang dipertimbangkan sebagai preferensi pemilihan fintech yang bisa masuk ke MCI adalah perusahaan yang sudah matang dari segi umur, minimal sudah berdiri satu hingga dua tahun. Sebab dari situ akan terlihat kematangan produknya dan akan lebih mudah menentukan apakah dapat bersinergi dengan Bank Mandiri atau tidak.

“Kriterianya sebenarnya beragam, tidak hanya dari umur saja. Kami juga lihat apakah mereka dapat bersinergi dengan Bank Mandiri.”

Sebelumnya, juga telah diumumkan Bank Mandiri berkomitmen untuk kembali menyuntikkan modal baru untuk MCI pada tahun depan. Nilainya mencapai Rp 150 miliar, sehingga diharapkan total dana kelolaan yang dimiliki MCI dapat mencapai Rp 500 miliar dari sebelumnya Rp 350 miliar.

Program Akselerator Plug and Play Indonesia Resmi Diluncurkan

Satu lagi program akselerasi dari Silicon Valley hadir di Indonesia, kali ini menggandeng venture capital lokal yaitu Gan Kapital, program tersebut bernama Plug and Play Indonesia. Plug and Play sendiri merupakan perusahaan global akselerator bisnis dengan spesialisasi pada pengembangan startup berbasis teknologi. Dengan kantor pusatnya di Silicon Valley, jaringan bisnis Plug and Play mencakup lebih dari 200 mitra korporasi, investor, universitas dan mitra terkait lainnya di bidang ritel, teknologi finasial (fintech), Internet of Things (IoT), media dan komputasi awan.

“Diluncurkannya Plug and Play Indonesia setelah kunjungan Presiden Joko Widodo ke kantor pusat Plug and Play di Silicon Valley beberapa waktu lalu, kami dari Plug and Play ingin memberikan kontribusi sekitar 20% dari apa yang diinginkan oleh Presiden Joko Widodo yaitu menciptakan 1000 startup hingga tahun 2020,” kata Founder dan CEO Plug and Play Saeed Amidi kepada media hari ini di Jakarta.

Plug and Play telah berinvetasi di lebih dari 500 startup di seluruh dunia, di antaranya adalah Paypal, Lending Club dan Dropbox.

Kerja sama dengan korporasi hingga investor

Founder dan CEO Plug and Play Saeed Amidi saat acara peluncuran Plug and Play Indonesia

Nantinya Plug and Play Indonesia akan membangun sebuah sarana dan fasilitas yang dapat digunakan oleh startup untuk berinovasi di bidang teknologi. Plug and Play juga akan menhadirkan korporasi ternama untuk turut bergabung dalam program akselerasi dan memberikan bukan hanya dana segar namun juga mentoring kepada penggiat startup baru. Saat ini sudah ada BNI, BTN dan Astra Internasional yang menjadi mitra dari Plug and Play Indonesia.

“Dihadirkannya korporasi kedalam program akselerasi ini diharapkan bisa membuka jalan kepada penggiat startup baru untuk memperluas networking, mendapatkan edukasi yang krusial terutama dalam hal melakukan penggalangan dana, manajemen bisnis hingga mengembangkan potensi produk yang ada,” kata Saeed.

Selain menjalin kemitraan dengan korporasi, Plug and Play Indonesia juga akan menggelar kegiatan bersama universitas di Indonesia, pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya untuk mendapatkan entrepreneur baru yang memiliki potensi untuk mengikuti kegiatan program akselerasi Plug and Play.

“Kami harapkan para mahasiswa atau profesional yang menguasai dan memiliki pengetahuan tentang engineering, software dan lainnya bisa ikut bergabung dalam program ini. Akan menjadi lebih baik lagi jika anggota tim yang terdiri dari 2-3 orang telah memiliki prototype yang nantinya bisa diolah saat program akselerasi berlangsung,” kata Saeed.

Selama 3 bulan startup yang lolos seleksi program akselerasi akan diberikan dana, bimbingan, ruang kerja gratis juga dukungan lainnya melalui program akselerator. Plug and Play Indonesia akan melakukan investasi di 50 startup tahap awal setiap tahunnya.

“Fokus utama kami adalah startup yang menguasai bidang mobile dan financial technology (fintech), jika beruntung startup tersebut juga mendapat kesempatan untuk mendapatkan pembelajaran langsung dari korporasi yang telah bergabung dengan program akselerator Plug and Play,” kata Saeed.

Menggandeng Gan Kapital

Kehadiran Plug and Play Indonesia bisa terwujud berkat kerja sama yang dilancarkan oleh Gan Kapital dan Plug and Play. Perusahaan venture capital asal Indonesia ini berinisiatif untuk melakukan pendekatan dan menawarkan rekomendasi tiga korporasi yang saat ini sudah bergabung dengan program akselerasi Plug and Play Indonesia.

“Saya melihat apa yang dilakukan oleh Plug and Play sudah selaras dengan visi dan misi kita dari Gan Kapital untuk memberikan invetasi kepada startup Indonesia, untuk itu kami menginisiasikan kerja sama ini dengan Plug and Play,” kata CEO Gan Kapital Anthony P Gan.

Kerja sama antara Gan Kapital dan Plug and Play akan menghubungkan kekuatan unik masing-masing pihak dengan aksesnya terhadap venture capital, jaringan korporasi, mentor dan penasihat lokal hingga asing sesuai dengan masing-masing jaringan.

“Kami juga ingin mengajak lebih banyak lagi bukan hanya venture capital tapi korporasi hingga penggiat startup lainnya yang telah berpengalaman untuk menjadi bagian dari program akselerator Plug and Play,” pungkas Anthony.

Dukungan pemerintah

Untuk memperlancar jalannya program akselerasi, Saeed mengungkapkan diperlukannya dukungan pemerintah terutama dalam bentuk ketegasan regulasi, infrastruktur dan pendukung lainnya untuk bisa menghasilkan entrepreneur yang berkualitas. Diharapkan Plug and Play juga bisa menjadi trigger kepada para investor lainnya yang ingin memberikan bantuan dana kepada startup baru lulusan dari program akselerator Plug and Play.

“Kami sangat bersemangat untuk membawa dan menerapkan di Indonesia platform inovasi korporasi yang digabungkan dengan program akselerator Plug and Play, kami melihat ini sebagai peluang yang baik untuk melakukan investasi kepada startup Indonesia agar bisa tampil secara global,” kata Saeed.