Hegemoni GoPay-Ovo dan Potensi Duopoli Pembayaran Digital di Indonesia

Kondisi pasar pembayaran digital di Indonesia semakin terlihat bentuknya. Kita bisa lihat dari banyaknya papan promosi dari tiap aplikasi pembayaran digital di pusat-pusat perbelanjaan yang gambarnya sudah itu-itu saja. Hampir bisa dipastikan papan diskon GoPay dan Ovo ada di sana menghiasi wajah gerai tersebut.

Memang kedua entitas itulah yang punya riwayat rajin “bakar uang” dengan menerbitkan diskon-diskon atraktif di berbagai tempat. Di mana ada Ovo, di sana ada GoPay. Meski tak bisa dikesampingkan juga di luar dua jenama itu ada pemain lain seperti Dana atau LinkAja, namun merujuk dari sejumlah riset, keduanya masih sulit menandingi keperkasaan GoPay dan Ovo.

Cerita dari sejumlah kawan yang bekerja di berbagai daerah jadi sekelumit contoh hegemoni GoPay dan Ovo di Indonesia. Seorang kawan di Pekanbaru, Riau, misalnya, bercerita bagaimana popularitas GoFood di sana mendorong orang-orang menggunakan GoPay, sementara Ovo jadi pilihan warga ketika mereka berbelanja di gerai Matahari.

Seorang kolega yang bermukim di Rembang, Jawa Tengah, menuturkan keberadaan Grab sebagai satu-satunya layanan ride hailing di sana efektif mendorong Ovo sebagai digital payment, baik untuk transportasi maupun pengantaran makanan, GrabFood. Sementara penerimaan GoPay masih terbatas di gerai-gerai Alfamart.

Riset Alvara yang dipublikasikan pada 9 Juli 2019 memvalidasi cerita-cerita di atas. GoPay dipilih mayoritas responden dengan skor 67,9 persen, disusul oleh Ovo sebesar 33,8 persen. Sementara temuan DSResearch dalam Fintech Report 2018 menunjukkan GoPay dipakai oleh 79,3 persen responden, disusul oleh Ovo yang dipilih 58,42 persen responden. Teranyar, dalam survei lembaga riset berbasis aplikasi Snapcart yang dipublikasikan pada 15 Juli 2019, giliran Ovo yang disebut menguasai pasar. Perusahaan pembayaran digital milik Lippo itu dipakai 58 persen total responden, disusul oleh GoPay  sebanyak 23 persen.

Ketiga riset ini menjustifikasi bahwa saat ini GoPay dan Ovo merupakan pemain paling dominan dalam pasar pembayaran digital. Paduan antara ekosistem layanan yang dibangun kedua pihak, diskon yang menggiurkan, hingga agresivitas menggandeng mitra merchant, membuat GoPay dan Ovo merajai bisnis ini. Jika kondisi demikian terus berlanjut, maka pasar pembayaran digital di Indonesia akan mengalami sistem duopoli.

Lalu apakah keperkasaan Gopay dan Ovo sebagai alat pembayaran digital tak akan terbendung di masa depan? Jawabannya belum tentu.

Duopoli di Tiongkok

Kita bisa sedikit menyingkap potensi duopoli GoPay-Ovo ini dengan menengok riwayat persaingan pembayaran digital di Tiongkok antara AliPay milik Alibaba dan WeChat Pay milik Tencent. Pada 2004, Alibaba menciptakan Alipay untuk memecahkan isu kepercayaan antara penjual dan pembeli di Taobao. Tak hanya alat pembayaran di marketplace, Alibaba kemudian mengadopsi kesuksesan AliPay ini ke jenis transaksi lain di luar Taobao sehingga menjadi alat pembayaran terpopuler di Tiongkok seperti sekarang.

Selama bertahun-tahun, Alipay otomatis nyaris tak memiliki pesaing, sampai akhirnya WeChat memperkenalkan fitur pembayaran WeChat Pay. Kondisinya saat itu WeChat merupakan aplikasi messenger terpopuler di Tiongkok. Integrasi sistem pembayaran itu sukses menjadikan WeChat sebagai super app, memudahkan pengguna melakukan hampir segala jenis transaksi lewat satu aplikasi. Terobosan teknologi  dan didukung basis pengguna yang masif mengantar WeChat ke peta persaingan teratas di Tiongkok.

Meski WeChat muncul jauh belakangan, pasar yang mereka kuasai langsung menempel ketat AliPay. Pada laporan keuangan Q4 2018, pangsa pasar AliPay sebesar 53,8 persen, sementara Wechat memiliki 38,9 persen. Besaran ini juga menasbihkan bahwa pasar pembayaran digital di Tiongkok bersifat duopoli.

Meski secara teknis ada lebih dari dua perusahaan pembayaran digital di Tiongkok, tak berlebihan mengatakan bahwa hanya AliPay dan WeChat Pay yang mengendalikan pasar di sana. Meski sulit, kondisi ini memaksa pemain lain memutar otak dalam berinovasi seperti halnya WeChat Pay saat berhasil merusak hegemoni tunggal AliPay.

Apa yang terjadi di Tiongkok itu berpotensi terulang di Indonesia. GoPay dapat dikatakan sukses memfasilitasi ekosistem layanan Gojek yang besar dengan pembayaran digital yang andal. GoRide dan GoFood adalah pendorong utama lakunya GoPay. Hasilnya, transaksi menggunakan GoPay sepanjang 2018 diklaim mencapai $6,3 miliar, penyumbang terbesar dari total transaksi Gojek senilai $9 miliar.

Modal serupa juga dikantongi Ovo yang dapat diakses melalui layanan Grab dan jaringan komersial Lippo Group. Dengan 60 juta pengguna saat ini, angka tersebut masih bisa bertambah signifikan setelah Ovo menjalin kerja sama dengan Tokopedia yang mempunyai hampir 80 juta pengguna aktif dan 4 juta penjual.

Namun, GoPay dan Ovo belum tentu tidak tersentuh sama sekali.

Belum tentu duopoli

Ada kemungkinan situasi persaingan di Tiongkok antara AliPay-WeChat Pay tak akan terulang di Indonesia. Menilik pemain lain seperti Dana dan LinkAja, modal dan strategi yang mereka miliki saat ini sama sekali tidak buruk. Dana bisa jadi contoh. Kerja sama strategis dengan Bukalapak mendekatkan mereka langsung ke 50 juta pengguna aktif bulanan dan 4 juta pelapak di sana. Untuk saat ini, Dana menyebut jumlah pengguna layanannya sudah mencapai 15 juta orang dengan 1,5 juta transaksi per hari. Mereka juga rajin menebar promo untuk merebut pengguna baru.

Sementara LinkAja sudah memiliki basis pengguna yang cukup besar sejak masih berwujud TCash. Fintech Report 2018 yang dipublikasi DSResearch mencatat TCash menjadi pilihan 55 persen dari 825 pengguna fintech e-money, hanya kalah dari GoPay dan Ovo. LinkAja mengklaim sudah mengantongi 26 juta pengguna sejak diperkenalkan ke publik pada 30 Juni lalu.

Menjadi alat pembayaran di moda transportasi umum seperti MRT, LRT, dan Commuter Line, serta opsi pembayaran di platform Gojek jadi dua rencana yang cukup strategis untuk mendongkrak jumlah pengguna LinkAja.

GoPay dan Ovo saat ini boleh berstatus sebagai dua kuda pacuan tercepat di arena. Diskon besar-besaran, kecepatan penetrasi ke daerah-daerah, serta ekosistem layanan yang luas merupakan atribut utama mereka dalam mendominasi pasar.

Namun, hal ini tak berarti dominasi GoPay dan Ovo akan bersifat absolut. Modal serta manuver dari Dana dan LinkAja cukup membuktikan bahwa persaingan masih jauh dari usai. Perlu diingat ruang persaingan dalam pasar pembayaran digital di Indonesia masih terbuka lebar. Laporan Morgan Stanley memprediksi jumlah transaksi pembayaran digital di Indonesia akan mencapai $50 miliar atau sekitar Rp700 triliun pada 2027 nanti. Sementara data Bank Indonesia menunjukkan jumlah transaksi yang terjadi sepanjang 2018 masih di kisaran Rp47 triliun.

Konsumen sesungguhnya menjadi pihak paling diuntungkan dalam kondisi pasar seperti ini. Kehadiran Dana, LinkAja, dan platform pembayaran digital lain akan memaksa GoPay dan Ovo sebagai pemimpin pasar untuk tetap berinovasi dan memberikan penawaran yang terbaik. Selama mereka dapat menawarkan layanan yang berkualitas ke konsumen, akan selalu ada kesempatan bagi platform lain untuk merusak duopoli GoPay dan Ovo.

Cari Aja Introduces New Feature to Find Out Public Transportation Route

Cari Aja directory app announces a new feature called Cari Rute. It should allow access for information about public transportation around Jakarta.

The new public transportation in Jabodetabek, such as MRT, airport train, also with TJ’s new routes has risen the public’s excitement. Though, Cari Aja still considers the latest transportations have not enough socialization.

The “Cari Rute” feature is added to the previous ones, such as e-money balance, Qibla finder, and news search. It is claimed to have 15,000 active users per month.

“We hope this new feature can be the solution, especially the first-timer for using public transportation and find difficulty in reading the direction in each station and bus stop. We’ve been developing this feature, the closest one is LRT Jakarta routes and there’s a possibility to include other cities,” Cari Aja Indonesia’s Chief Marketing Officer (CMO), Fera said.

Cari Rute feature that has been introduced earlier this year is kind of similar to Trafi, a directory app for public transportation. In this feature, users can search for kinds of transportation, such as MRT, Transjakarta, Commuter Line, and airport train, or all modes mentioned above.

After selecting the destination and pick-up point, Cari Aja will show the route recommendation with cost and estimated time, also the alternative route. Unlike Trafi, this feature not including city bus and angkot.

Cari Aja's new feature, Cari Rute User Interface
Cari Aja’s new feature, Cari Rute User Interface

Cari Aja Indonesia’s Media Relations Officer, Rudi Hutabarat didn’t disprove that the feature is kind of similar to Trafi. However, he insisted that they are a smart travel app both for citizens or tourists.

“Our focus is on the destination. This is just an additional feature that includes not only Transjakarta but also MRT and Commuter Line,” he added.

He believes this is to be the leading app for locations search because of the daily updates, from new restaurants, ATM, Mosque, and many more that is said to have 85,000 data throughout Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Mendorong Regulasi Pengumpulan Data Pribadi untuk Industri AI

Pengumpulan data bagi industri teknologi, khususnya yang berurusan dengan kecerdasan buatan atau AI, merupakan sebuah keharusan. Namun proses pengumpulan data ini dianggap memerlukan batas-batas tertentu agar tak mencederai hak privasi masyarakat.

Tema tersebut menjadi pokok pembahasan dalam Indonesia AI Forum yang dihelat oleh Nodeflux dan Kata.ai, dua perusahaan yang fokus bergerak dalam inovasi AI di Indonesia.

CEO Kata.ai Irzan Raditya meyakini teknologi AI sudah jadi bagian keseharian masyarakat. Ia mencontohkan bagaimana cara kerja Spotify ataupun Gojek, dua aplikasi yang umum dipakai masyarakat, dapat membuat layanan yang sudah dipersonalisasi sesuai kebiasaan tiap pengguna.

Namun banyaknya produk dan inovasi berbasis AI yang dikonsumsi masyarakat luas itu menurut Irzan juga harus diimbangi regulasi yang dapat memandu pelaku industri juga meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai proses pengambilan data tersebut.

“Contohnya memiliki dokumen privacy policy. Jadi pengguna tahu apa saja data mereka yang akan diperlukan dan mereka bisa memilih data apa yang tidak akan masuk ke dalam suatu produk,” ujar Irzan.

Irzan juga menyebut anonimitas untuk data yang bersifat sensitif seperti nama, nomor telepon, dan alamat email, diperlukan dalam pengumpulan data. Kendati demikian, ia berharap regulasi untuk melindungi data pribadi tidak kontraproduktif sehingga malah menyulitkan industri untuk berinovasi.

“Kami percaya regulasi dibutuhkan. Tapi yang juga penting pemerintah bisa membantu pemain lokal berinovasi guna memberikan dampak positif,” imbuhnya.

Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) masih dalam proses legislasi. Mekanisme pengumpulan data sudah diatur dalam beleid tersebut sehingga masyarakat memiliki wewenang lebih atas data pribadinya.

Salah satu turunan konkret dari RUU itu adalah rencana pembentukan badan independen yang khusus memproteksi data pribadi.

“Badan ini ke depannya dapat memberi panduan bagi para pelaku industri dalam mengolah data secara bertanggung jawab,” ucap Semuel.

Jelang berakhirnya masa kerja DPR 2014-2019, RUU PDP ini belum masuk tahap pengesahan di DPR. Namun Semuel menyebut pihaknya terus mengupayakan agar beleid itu rampung sebelum pergantian periode.

“Mudah-mudahan dalam waktu dekat sudah bisa dibahas di DPR,” pungkasnya.

Karikatour as Middleman App for Tourists and Professional Guides

Another tour and travel startup has arrived. It is Karikatour, created in order to facilitate tourists with the best guides.

Karikatour was founded since late 2018 by five Politeknik Bandung alumni. The CEO, Ryan Nurrochman told us, the idea comes up when they got lost in Sukabumi. Back home, he and his friends create a small research and the result is that no application related to tour and travel allows the users to get professional guides.

“We’ve done research and found no application such Gojek that in this case, looking for guides and destinations. The other app just offers recommendation without interaction,” he said.

Few times he mentioned that the app works similar to Gojek system. If what Gojek does is connecting drivers with passengers, Karikatour makes it happened between tourists and professional guides, also, they can provide transportation and photography service for its users.

However, the guides are limited. Ryan said there are only 5-10 professional guides providing services around Bandung. He finds the number is too small that he decided to add up by the end of this year.

Having a similar business model with Gojek, Karikatour applied the same profit-sharing system to gain revenue. They’ll take 10% of the transactions on the platform.

“This year’s target is to have full coverage in West Java, not only Bandung, and acquire up to 100 guides for the next year we can reach out to Yogyakarta and Malang,” he added.

To date, Karikatour still running bootstrap. They’re looking for funding somehow, by making it into incubator and accelerator program.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Karikatour, Aplikasi Penjodoh Wisatawan dengan Pemandu Profesional

Satu lagi startup perjalanan dan wisata muncul. Kali ini adalah Karikatour yang didirikan dengan fokus mempermudah wisatawan mendapatkan pemandu terbaik.

Karikatour didirikan sejak akhir 2018 oleh lima orang alumni Politeknik Bandung. CEO Karikatour Ryan Nurrochman bercerita, ide startup ini muncul setelah mereka tersasar saat berwisata di Sukabumi. Sepulang dari sana, mereka melakukan riset kecil dan menyimpulkan bahwa tak ada satu pun aplikasi di bidang pariwisata yang memungkinkan penggunanya mendapatkan jasa pemandu wisata profesional.

“Kita sudah riset belum ada aplikasi seperti Gojek yang dalam hal ini mencari guide dan destinasi. Kalau aplikasi lain cuma rekomendasi saja tapi tidak ada interaksi,” ujar Ryan.

Ryan berkali-kali menyebut sistem kerja aplikasinya serupa dengan Gojek. Jika Gojek mempertemukan pengemudi dengan penumpang, Karikatour menghubungkan pelancong dengan pemandu wisata profesional yang tak hanya memandu selama perjalanan, tapi juga menyediakan moda transportasi serta fotografi bagi pelanggannya.

Kendati demikian, jasa pemandu yang disediakan Karikatour masih terbatas. Ryan menyebut saat ini hanya ada 5-10 pemandu profesional dengan cakupan destinasi wisata di seputar Bandung. Ryan menyadari jumlah dan cakupan itu terlampau kecil sehingga menargetkan angka itu lebih besar di akhir tahun ini.

Mengikuti model bisnis Gojek, Karikatour juga menerapkan sistem bagi hasil untuk memperoleh cuan dalam bisnis ini. Mereka mengambil 10 persen dari nilai transaksi yang terjadi di platform mereka.

“Tahun ini target destinasi wisata di Jawa Barat full tidak hanya di Bandung, jumlah guide sampai 100 orang sehingga tahun depan bisa sampai Yogyakarta dan Malang,” imbuh Ryan.

Hingga saat ini, status pendanaan Karikatour masih bootstrap. Mereka masih berupaya mencari pendanaan dengan sejumlah cara, salah satunya seperti mengikuti program inkubator dan akselerator.

Application Information Will Show Up Here

Gandeng Home Credit, Bukalapak Tambah Opsi Pembiayaan Multiguna

Bukalapak menambah opsi fitur pembiayaan dalam platform mereka. Kali ini unicorn yang digawangi oleh Achmad Zaky itu menggandeng Home Credit menyediakan pembiayaan multiguna untuk konsumen.

Fitur kredit baru Bukalapak ini dinamakan “Pembiayaan Tunai”. Pengguna Bukalapak bisa menemukan opsi ini dengan membuka tab “BukaPembiayaan” di aplikasi.

Lewat fitur baru ini, pengguna bisa mengajukan pinjaman berkisar Rp1 juta-Rp10 juta dengan durasi angsuran dari 3 bulan hingga 12 bulan. Bukalapak dan Home Credit mematok bunga 3% dan biaya administrasi Rp99.000 untuk fitur ini.

Peninjauan pengajuan pinjaman akan dilakukan dalam waktu 30 menit. Jika berjalan mulus, pinjaman akan dikirim ke akun Dana yang menjadi dompet elektronik resmi Bukalapak.

Director of Payment, Fintech, and Virtual Products Bukalapak Victor Lesmana mengklaim kebutuhan kredit dalam platform mereka terus meningkat. Meluncurkan opsi pembiayaan baru bersama Home Credit disebut untuk memudahkan pengguna yang berada di segmen berbeda.

“Respons pasar cukup baik sejak kita launching (fitur pembiayaan) 1,5 tahun lalu, penggunanya semakin berkembang, sehingga kita lihat ada demand makanya kita launching produk ini,” kata Victor.

Fitur baru ini melengkapi opsi BukaCicilan dan BukaModal yang sudah ada di platform Bukalapak. Melihat dari target pengguna, Pembiayaan Tunai ini serupa dengan BukaCicilan yang sama-sama ditujukan untuk “buyer“.

“Sama-sama menyasar buyer tapi dengan mekanisme yang berbeda,” imbuh Victor tanpa menjelaskan beda mekanisme tersebut.

Dalam opsi BukaCicilan, Bukalapak menggandeng Akulaku. Sementara dalam opsi BukaModal menggandeng sejumlah mitra seperti Investree, Koinworks, Modalku, hingga Bank Mandiri untuk membantu pinjaman modal bagi para pelapak.

Home Credit Indonesia mengaku punya sejumlah pertimbangan dalam menjalin kerja sama dengan Bukalapak. Mereka menyebut testimoni konsumen, reputasi perusahaan, serta keragaman produk jadi bahan pertimbangan mereka sebelum bekerja sama.

“Jadi tidak hanya punya banyak konsumen, tapi konsumennya juga puas,” ucap Chief External Affairs Home Credit Indonesia, Andy Nahil Gultom.

Andy menyebut Home Credit Indonesia saat ini sudah mengikat kerja sama dengan 5.000 mitra dan 20.000 toko di seluruh Indonesia kecuali Papua. Kendati demikian, ia menilai pasar pembiayaan di Indonesia masih terbuka lebar.

Andy menyebut 56 persen pengguna internet di Indonesia belum pernah melakukan transaksi online di e-commerce. Sejurus dengan itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2018 mencatat kebutuhan pinjaman nasional mencapai Rp1.700 triliun dan hanya sekitar Rp700 triliun yang baru dipenuhi lembaga keuangan di Indonesia.

Tokocrypto Lahirkan Toko Launchpad sebagai Platform “Initial Exchange Offering”

Tokocrypto, platform jual beli mata uang kripto, memperkenalkan produk baru berupa “Toko Launchpad”. Yakni berupa platform yang menjembatani proyek blockchain dengan mekanisme Initial Exchange Offering (IEO).

Dalam inisiatif ini Tokocrypto memperkenalkan Swipe sebagai mitra pertama yang melakukan IEO. CCO Tokocrypto Teguh Kurniawan Harmanda menjelaskan mekanisme tersebut jadi pilihan mereka karena punya keunggulan dari mekanisme Initial Coin Offering (ICO) yang lebih dikenal sebelumnya.

Manda menyebut IEO unggul dalam hal keamanan. Pasalnya pengembang startup blockchain harus mengikuti due dilligence oleh platform jual beli kripto tadi. Hal ini nantinya yang otomatis menimbulkan rasa aman bagi para investor yang akan ikut dalam urun dana dalam IEO.

“Karena semuanya akan dijamin oleh exchange tersebut,” kata Manda.

Poin lain yang digarisbawahi oleh Tokocrypto lewat IEO ini adalah kepastian “melantai” di tempat jual beli kripto. Jaminan ini yang tak tersedia bila memakai mekanisme ICO.

Sudah jadi pengetahuan bersama, penipuan berkedok ICO sudah terjadi beberapa kali seiring membesarnya industri mata uang kripto. Celah itu yang kemudian melahirkan mekanisme IEO sebagai strategi baru bagi startup blockchain untuk mendapat pendanaan.

Swipe sendiri merupakan startup blockchain asal Singapura. Startup ini menawarkan kendali lebih kepada pemilik data agar monetisasi data mereka lebih adil. Dengan kata lain, pembelian data hanya akan terjadi atas seizin penggunanya.

CTO Swipe Andrew Marchen memberi contoh, apabila ada perusahaan yang membutuhkan data untuk proyeknya, Swipe akan mencarikan data sesuai dengan kebutuhan perusahaan tersebut. Teknologi Swipe memungkinkan mereka membantu perusahaan periset mendapatkan data yang dibutuhkan dengan konsensus dan imbalan bagi pemilik data.

Tokocrypto mengklaim pihaknya sebagai paltform jual beli mata uang kripto pertama yang melakukan IEO di Indonesia. Minimnya pengetahuan publik terhadap IEO, juga mata uang kripto dan blockchain pada umumnya, menjadi tantangan utama Tokocrypto.

Manda menekankan edukasi literasi berbasis komunitas sebagai faktor penting untuk melebarkan sayap bisnis mereka. Tokocrypto hingga saat ini sudah mengumpulkan 20 ribu anggota komunitas.

Namun Manda menyebut pihaknya tak bisa melakukan ini sendiri. Ia mendorong agar pelaku industri blockchain dan mata uang kripto di ranah lokal lebih bergeliat. Masalah yang ia soroti adalah penerbit mata uang kripto di Indonesia belum punya teknologi yang mengesankan sehingga industri blockchain lebih banyak diisi oleh pemain asal luar negeri.

“Masalahnya adalah mereka pintar dalam marketing tapi mereka tidak pintar dalam membuat aplikasi,” pungkas Manda.

Tokocrypto sendiri merupakan platform jual beli mata uang kripto yang digawangi oleh wajah-wajah dalam negeri, bersanding dengan pemain lokal lain seperti Indodax yang lebih populer. Volume transaksi di Tokocrypto sudah mencapai Rp4 miliar per hari. Mereka menargetkan volume itu naik 20 kali lipat menjadi Rp80 miliar pada akhir tahun ini.

Cari Aja Rilis Fitur Baru, Pengguna Bisa Cari Rute Transportasi Umum

Aplikasi direktori Cari Aja meluncurkan fitur baru berupa bernama Cari Rute. Lewat fitur baru tersebut, Cari Aja bermaksud memudahkan akses informasi tentang transportasi umum di Jakarta dan sekitarnya.

Munculnya moda transportasi publik baru di Jabodetabek, seperti MRT, kereta bandara, dan sejumlah rute baru Transjakarta, menjadi kabar gembira bagi masyarakat. Kendati begitu, Cari Aja memandang kehadiran transportasi anyar itu belum diikuti dengan sosialisasi penggunaan yang cukup.

Fitur Cari Rute ini menambah fitur yang sudah ada seperti cek saldo e-money, cari kiblat, dan cari berita. Diklaim saat ini Cari Aja telah memiliki 15.000 pengguna aktif bulanan.

“Kami berharap fitur CariRute ini dapat menjadi solusi bagi masyarakat khususnya yang baru pertama kali menggunakan moda transportasi umum tersebut dan masih bingung membaca petunjuk yang terpasang di setiap stasiun dan halte. Kami terus mengembangkan fitur ini, salah satunya akan ada penambahan rute transportasi LRT Jakarta dan tidak menutup kemungkinan ke depan fitur Cari Rute juga tersedia untuk rute transportasi umum di kota lainnya,” ujar Fera, Chief Marketing Officer (CMO) Cari Aja Indonesia.

Fitur Cari Rute dari aplikasi yang memperkenalkan diri ke publik pada awal tahun ini sepintas tampak serupa dengan Trafi, aplikasi informasi transportasi umum. Menggunakan fitur Cari Rute ini, pengguna dapat memilih jenis transportasi seperti MRT, Transjakarta, Commuter Line, dan kereta bandara, atau ke semua moda itu.

Setelah menentukan tujuan dan titik keberangkatan, Cari Aja akan menampilkan rekomendasi rute perjalanan yang akan ditempuh lengkap dengan ongkos dan estimasi waktu perjalanan serta rute alternatifnya. Bedanya di fitur Cari Rute ini, angkot dan bus kota tidak masuk dalam moda transportasi pilihan. Ini berbeda dengan Trafi yang turut memasukkan angkot dan bus kota sebagai opsi transportasi bagi pengguna.

Tampilan fitur Cari Rute, fitur baru milik Cari Aja.
Tampilan fitur Cari Rute, fitur baru milik Cari Aja.

Media Relations Officer Cari Aja Indonesia Rudi Hutabarat tak membantah fitur baru mereka serupa dengan Trafi. Namun ia menegaskan bahwa mereka tetap memposisikan diri sebagai smart travel app baik untuk penduduk kota maupun bagi pendatang.

“Fokus kita kan tetap di pencarian tempat. Fitur baru ini cuma fitur tambahan dan ini tidak hanya Transjakarta tapi juga MRT dan Commuter Line,” terang Rudi.

Rudi yakin aplikasinya unggul dalam pencarian lokasi berkat data yang terus diperbarui setiap hari, mulai dari lokasi restoran baru, ATM, masjid, dan lain-lain yang kini diklaim mencapai 85.000 database dari seluruh Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Gofleet Mulai Beroperasi, Solusi Bagi Mitra Go-Car yang Tak Punya Mobil

Solusi mobilitas Gofleet yang diusung Gojek dan PT Astra International Tbk (Astra) efektif beroperasi mulai hari ini. Gofleet menargetkan melepas 1000 mobil ke para pengemudi Go-Car hingga akhir tahun ini.

Peresmian operasional Gofleet ini dihelat di ajang GIIAS, BSD, Kamis, (18/7), siang. Pendiri dan CEO Gojek Nadiem Makarim dan Presiden Direktur Astra Prijono Sugiarto turut menghadiri acara tersebut.

Presiden Direktur Gofleet Meliza M. Rusli menuturkan, produk mereka ini ditujukan bagi mitra pengemudi Go-Car. Meliza mengklaim layanan ini akan mempermudah akses masyarakat yang tak memiliki mobil namun ingin bergabung dengan Go-Car.

“Solusi mobilitas buat mitra driver yang tergabung dalam Go-Car. Kami memberikan kendaraan kepada semua mitra kami,” ujar Meliza.

Konsumen dalam bisnis patungan Gojek dan Astra ini adalah para pengemudi Go-Car. Untuk memperoleh mobil dari Gofleet ini, mitra pengemudi Go-Car membayar biaya komitmen sebesar Rp1,5 juta saat baru bergabung. Setelahnya, mereka membayar biaya berlangganan sebesar Rp1.180.000 setiap pekan.

Direktur Gofleet Pandu Adi Laras menerangkan, keikutsertaan mitra pengemudi dalam layanan ini dapat terus berlanjut selama mereka membayar biaya berlangganan yang akan ditagih secara harian.

“Kalau dia mau melanjutkan berlangganannya, baru dia bayar lagi,” ucap Pandu.

Konsepnya mirip dengan skema pengemudi dan perusahaan taksi. Dengan biaya tersebut, Gofleet menjamin fasilitas perawatan mobil, servis kendaraan, asuransi, hingga pemasangan layar LED untuk ruang beriklan di dalam mobil.

“Dan yang terpenting adalah mereka bisa dapat akses untuk tambahan pendapatan karena kan kendaraan yang mereka bawa sekarang sudah ada LED-nya, dari monetisasinya mereka dapat uang,” imbuh Pandu.

Saat ini hanya ada dua tipe mobil yang disediakan Gofleet, yakni Avanza dan Xenia. Mereka menargetkan ada 1000 mobil yang terserap lewat layanan tersebut.

Gofleet ini merupakan hasil kerja sama antara Astra dan Gojek lewat perusahaan joint venture mereka, yakni PT Solusi Mobilitas Bangsa. Perusahaan patungan itu resmi dibentuk pada Maret 2019, ketika Astra kembali menyuntikkan investasi sebesar US$100 juta atau setara Rp1,4 triliun. Total investasi dari Astra untuk Gojek mencapai US$250 juta atau Rp3,5 triliun.

Application Information Will Show Up Here

Stagnan di Domestik, PANDI Incar Pasar Luar Negeri untuk Domain .id

Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) berupaya memasarkan domain .id ke pasar luar negeri. Mereka memandang besarnya pasar luar negeri dapat menggenjot pertumbuhan pemakaian domain .id yang cenderung stagnan di dalam negeri.

PANDI mencatat domain .id terdaftar per Mei 2019 baru menyentuh 318.090. Angka ini terbilang tak tumbuh signifikan mengingat pada Mei 2018 jumlahnya di angka 255.726.

“Dugaan kita masyarakat masih hanyut menganggap yang keren itu .com,” kata Wakil Ketua PANDI Heru Widodo.

Ketua Dewan Pengurus PANDI Yudho Giri Sucahyo menjelaskan, dalam hal ini pihaknya akan menjalin kerja sama dengan registrar luar negeri. Dengan Peraturan Presiden Nomor 82 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektrik yang mengharuskan registrar yang mengelola nama domain harus berbadan hukum Indonesia, maka PANDI akan menggandeng registrar lokal agar domain .id dapat dipasarkan ke luar negeri.

Distribusi penggunaan domain .id antara lokal dan luar negeri memang masih timpang. Tercatat hanya ada 13.964 atau 4,39 persen konsumen luar negeri dari total domain .id yang terpakai. Berangkat dari sana, Yudho yakin pemakaian domain .id naik signifikan.

“Target kami paling tidak akhir tahun 800.000 pengguna, tidak hanya domestik tapi juga internasional,” ujar Yudho.

Sumber keyakinan PANDI mematok target tersebut adalah keberhasilan rebranding domain internet sejumlah negara, misalnya Tuvalu (.tv), Anguilla (.ai), dan Montenegro (.me).

Yudho menyebut domain internet .tv milik Tuvalu berhasil diidentikkan dengan situs web milik perusahaan televisi. Sementara domain .ai sukses dikaitkan dengan perusahaan yang bergelut di bidang artificial intelligence padahal domain itu sejatinya berasal dari Anguilla, sebuah teritori kecil di Laut Karibia.

Belajar dari kesuksesan negara-negara tersebut, PANDI berniat menyulap ulang citra domain .id menjadi sebuah konsep.

“Kami sudah membuat strategi khusus untuk meningkatkan pengguna Nama Domain .id di luar negeri, karena pasar di luar negeri masih sangat luas. Kelebihan Nama Domain .id yang merepresentasikan ‘idea’ atau ‘identity’ merupakan sebuah berkah tersendiri yang hanya dimiliki oleh nama domain .id. Hal ini harus dimanfaatkan supaya penjualan di luar negeri meningkat dengan pesat” tutur Yudho.

Manuver PANDI merambah pasar internasional ini tak bisa dilepaskan dari kurang berhasilnya kampanye penggunaan domain .id di pasar domestik, termasuk program Satu Juta Nama Domain yang disokong Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 2016 lalu.

Meski program tersebut gratis, PANDI mengatakan jumlah pengguna domain .id selama program itu jauh dari target. Tercatat hanya 50 ribu pengguna yang mengikuti program tersebut dan cuma tiga persen di antaranya yang tetap bertahan hingga sekarang.

Kendati demikian, PANDI mengaku belum lempar handuk di pasar domestik. Yudho yakin, seiring berjalannya waktu dan literasi yang tepat, akan lebih banyak orang menggunakan domain .id di masa depan.

“Tinggal bagaimana menumbuhkan masyarakat butuh domain .id. Kalau sudah butuh kan beres,” pungkas Yudho.