Bukalapak Bidik Pendapatan 3 Triliun Rupiah di 2022

PT Bukalapak.com Tbk (IDX: BUKA) membidik pertumbuhan pendapatan sebesar 44%-61% menjadi sebesar Rp2,7 triliun-Rp3 triliun pada tahun ini. Sementara, Total Processing Value (TPV) Bukalapak juga diproyeksi naik sebesar 39%-47%.

Dalam public expose kinerja keuangan 1Q22 Bukalapak, Presiden Bukalapak Teddy Oetomo mengungkap bahwa target pendapatan 2022 telah terealisasi sekitar 28% dari capaian kuartal pertama 2022 sebesar Rp788 miliar.

Kemudian, TPV tahun ini tercapai 19% atau Rp34,1 triliun di periode sama dari target analis sebesar Rp170 triliun. Take rate konsolidasi juga tumbuh menjadi 2,31% di kuartal I 2022, utamanya ditunjang oleh peningkatan take rate Mitra Bukalapak sebesar 2,73%.

Menurut Teddy, pencapaian kinerja keuangan perusahaan saat ini masih terbilang on-track. Pihaknya fokus untuk mengejar profitabilitas dengan memonetisasi trafik, tak hanya dari lini bisnis utama, tetapi juga bisnis di luar Bukalapak, seperti Allo Bank, AlloFresh, dan Itemku.

Pihaknya optimistis dapat mempertahankan pertumbuhan secara sustain berkat mix strategy perusahaan untuk meningkatkan kontribusi produk/fitur dengan take rate tinggi. “Kontribusi marjin kami hampir positif. Artinya, kami kini berada di fase berikutnya, yakni bukan lagi memperbaiki kinerja melalui efisiensi seperti sales dan marketing, tetapi mendorong pertumbuhan pendapatan. Saat ini kami perlu mengkover fix cost dan G&A supaya adjusted EBITDA dapat positif,” tutur Teddy.

Memang adjusted EBITDA Bukalapak masih tercatat minus Rp372 miliar di kuartal I 2022, tetapi ini terbilang 5% lebih baik dari kuartal IV 2021. Selain itu, realisasi EBITDA ini juga dikarenakan investasi di AlloBank yang harus melakukan mark-to-market.

“Proyeksi adjusted EBITDA kami di tahun ini minus Rp1,4 triliun hingga minus Rp1,5 triliun. Ini mungkin dianggap sebagai melebarnya kerugian, tetapi target kami sebetulnya adalah mencapai adjusted EBITDA yang relatif flat 1% dibanding periode sama tahun lalu,” tambahnya.

Apabila Bukalapak dapat menjaga level adjusted EBITDA pada Juni-Desember  pada posisi sama dengan realisasi per Mei, ada kemungkinan adjusted EBITDA dapat lebih baik daripada proyeksi minus Rp1,4 triliun. 

Saat ini, posisi kas Bukalapak per 31 Maret 2022 mencapai Rp20 triliun. Menurut Teddy, Bukalapak memiliki cash runaway yang sangat panjang. Pihaknya juga masih mengevaluasi kebutuhan investasi ke depan setelah berinvestasi di Allo Bank dan Allo Fresh.

Strategi Bukalapak

Berdasarkan kategori bisnis, Mitra merupakan penyumbang pendapatan terbesar Bukalapak dengan porsi 60% atau Rp471,8 miliar di kuartal I 2022. Sementara, lini Marketplace menyumbang Rp278,5 miliar terhadap total pendapatan dengan pertumbuhan 9% secara tahunan.

Teddy menegaskan bahwa target bisnis Marketplace bukan menjadi pemain dominan di industri. Alih-alih memosisikan Bukalapak sebagai ‘marketplace for all‘, perusahaan kini lebih fokus me-leverage data yang dimiliki ke lini bisnis yang punya prospek pertumbuhan menjanjikan, yakni marketplace untuk gaming Itemku.

Saat ini, pendapatan Bukalapak disumbang oleh tiga lini bisnis utama yang terdiri dari Marketplace, Mitra Bukalapak, dan Buka Pengadaan. Bukalapak juga memperluas vertikal bisnisnya dengan berinvestasi di AlloBank dan AlloFresh. Ini menjadi jalan baru Bukalapak untuk memonetisasi trafiknya.

Melalui investasi di bank digital, lanjut Teddy, pihaknya berupaya memperkuat layanan keuangan sebagai tulang punggung dari keseluruhan lini bisnis Bukalapak. Salah satu misinya adalah meningkatkan inklusi keuangan pada pemilik warung atau UMKM di Mitra Bukalapak. Adapun, AlloFresh akan fokus pada penyediaan berbagai produk FMCG, baik bagi end user maupun pemilik warung yang tergabung di Mitra Bukalapak.

“Integrasi terus dilakukan secara menyeluruh pada Allo Bank dan AlloFresh agar mencakup 128 store di Trans Retail. Kami melihat aspek pengiriman tidak kalah penting dengan harga. Semakin cepat pengiriman, para Mitra tidak perlu keluar biaya banyak untuk mendapatkan inventory besar. Mereka bisa memesan lebih sering sehingga perputaran bisnis lebih tinggi.

Application Information Will Show Up Here

Platform Wellness Fita Kenalkan Skema Langganan Berbayar, Siapkan Fitur Baru Demi Tingkatkan Jumlah Pengguna

Platform preventive healthcare berbasis reward Fita tengah menyiapkan pengembangan sejumlah produk dan fitur baru untuk memonetisasi bisnisnya tahun ini. Salah satunya adalah memperkenalkan layanan premium berbasis langganan (subscription) kepada pengguna.

Di sesi Executive Power Breakfast pada Minggu (26/2), CEO Fita Reynazran (Rey) Royono mengatakan bahwa layanan premium ini sebetulnya sudah tersedia di aplikasi Fita, tetapi baru akan diluncurkan secara resmi pada Juli mendatang. Ia mengklaim sudah ada lebih dari 150 transaksi pembelian paket premium per harinya.

Saat ini, Fita menawarkan paket “Exercise Plan” dengan harga mulai dari Rp49 ribu-Rp55 ribu per pembelian. Menurut Rey, layanan premium menawarkan poin reward lebih besar dan dapat ditukar ke paket-paket layanan milik Telkomsel. Ada pula layanan berbayar lainnya, yakni katering dengan menggandeng Yellow Fit Kitchen.

“Selain itu, dari survei internal yang kami lakukan, Fita berada di peringkat ketiga terkait top of mind untuk aplikasi kesehatan di Indonesia. Maka itu, kami akan mengembangkan beberapa fitur dan program lain, seperti penyakit kritis dan kesehatan mental. Kami tidak hanya membidik pasar yang sudah aware terhadap preventive healthcare, justru pasar terbesarnya adalah mereka yang belum pernah melakukan aktivitas kesehatan,” jelas Rey.

Fita dinilai telah memiliki pencapaian signifikan dalam waktu singkat. Sejak resmi meluncur pada November 2021, Fita telah mengantongi lebih dari 1,8 juta unduhan dengan 500 ribu pengguna aktif tiap bulan.

Lebih lanjut, Rey berujar ingin meningkatkan pengalaman aplikasi Fita agar semakin rewarding bagi pengguna. Beberapa fitur yang tengah digarap adalah fitur berbagi foto kepada komunitas atau media sosial. Lalu, fitur berbasis AI yang berfungsi membantu akurasi gerakan olahraga dengan kamera.

Ada juga fitur yang memungkinkan pengguna menghubungkan aktivitas olahraganya ke perangkat wearable dengan tingkat akurasi maksimal. Use case lain yang tengah dipersiapkan Fita adalah pembelian produk vitamin dan suplemen dan rekomendasi paket asuransi yang tepat bagi pengguna.

Peran INDICO

Sejak Maret 2022, Fita tak lagi berada di bawah naungan Telkomsel langsung. Fita telah menjadi entitas resmi terpisah yang masuk ke dalam portofolio Indonesia Digital Ecosystem (INDICO) milik PT Telkomsel Ekosistem Digital (TED).

TED merupakan entitas baru Telkomsel yang didirikan sebagai holding company bagi sub-bisnis digital Telkomsel. Selain Fita, beberapa perusahaan digital milik Telkomsel yang tergabung dalam INDICO adalah Kuncie (edtech) dan Majamojo (game).

Rey menjelaskan, INDICO punya peran signifikan dalam mengakselerasi pertumbuhan dan impact Fita di Indonesia. Salah satunya adalah memastikan bahwa Fita mendapat dukungan dari aset yang dimiliki Telkomsel.

Aset-aset yang dimaksud adalah basis pelanggan sebesar 170 juta, lebih dari 300 ribu mitra outlet Telkomsel di 514 kota, termasuk koneksi terhadap para inovator, investor, dan stakeholder terkait.

Ia mencontohkan bagaimana Fita memanfaatkan ratusan ribu mitra outlet Telkomsel sebagai channel pemasaran offline-nya melalui produk paket Combo Fit. Saat ini Fita tengah menyiapkan paket-paket lainnya yang dapat dipasarkan ke outlet.

“Fita memang diinvestasi oleh Telkomsel melalui INDICO. Namun, ini bukan hanya soal investasi, melainkan bagaimana INDICO berperan menjadi enabler terhadap kapabilitas yang dimiliki Telkomsel. Ini menjadi keunggulan kami dibandingkan aplikasi lainnya karena akselerasi kami bisa lebih cepat,” ujarnya.

Posisi Fita yang telah memisahkan diri dari Telkomsel memampukan perusahaan mengakses opsi pendanaan eksternal. Menurut Rey, ada beberapa VC yang telah berdiskusi dengannya. Namun, saat ini pihaknya belum berminat untuk menggalang pendanaan dari investor di luar Telkomsel.

Application Information Will Show Up Here

Good Doctor Perkuat Posisi Sebagai Penyedia Ekosistem Kesehatan Holistik di Asia Tenggara

Tahun ini menandai tiga tahun Good Doctor melayani masyarakat Indonesia. Sejak beroperasi di 2019, Good Doctor menyebut telah mencatatkan berbagai pencapaian signifikan, yakni 14,2 juta pengguna dengan pertumbuhan hingga 40 kali lipat di Indonesia.

Selain itu, Good Doctor telah bermitra dengan lebih dari 45 perusahaan asuransi, 500 mitra korporasi dan jaringan administrator pihak ketiga (TPA) utama, lebih dari 1.000 rumah sakit dan laboratorium, serta 2.500 apotek di seluruh Indonesia. Pesatnya jaringan kemitraan Good Doctor di Indonesia disebut telah mendorong pertumbuhan bisnis secara tahunan hingga 864%.

Menurut Managing Director Good Doctor Technology Indonesia Danu Wicaksana, pihaknya juga sedang menjajaki kemitraan Health-as-a-Service, yakni salah satu agenda yang tengah mereka siapkan. “Kami tidak hanya ingin menawarkan solusi saja, tapi menciptakan ekosistem dari berbagai stakeholder, baik itu pemerintah, laboratorium, dan klinik,” ujarnya kepada DailySocial.

Good Doctor Technology (GDT) merupakan perusahaan patungan antara Ping An Healthcare and Technology (sebelumnya bernama Ping An Good Doctor), Grab, dan SoftBank. Awalnya, Good Doctor hadir di Indonesia sebagai fitur bernama GrabHealth yang di-embed ke dalam aplikasi Grab pada 2019. Kemudian, layanan ini resmi menjadi aplikasi terpisah pada Maret 2021. Saat ini, Good Doctor telah hadir di Indonesia dan Thailand dengan operasi regional berbasis di Singapura.

Dalam sesi wawancara eksklusif dengan DailySocial, Regional CEO Good Doctor Technology Melvin Vu menyebutkan tengah mempersiapkan diri untuk menjadi penyedia telehealth dengan ekosistem holistik di Asia Tenggara. Momentum akselerasi digital dimanfaatkan penuh untuk mengembangkan berbagai layanan kesehatan sehingga dapat mengakomodasi kebutuhan lebih luas.

Bagaimana langkah dan strategi Good Doctor selanjutnya?

B2B dan Health-as-a-Service

Berdasarkan data Dukcapil per akhir 2021, jumlah tenaga kesehatan (nakes) di Indonesia tercatat sebanyak 567.910 orang atau 0,21% dari total penduduk yang mencapai 273,87 juta jiwa. Sementara, pengeluaran kesehatan melalui platform digital di Indonesia diprediksi sebesar $973 juta (sekitar Rp14,4 triliun) di 2023.

Dengan sebaran dokter yang tidak merata, Melvin menilai telehealth dapat mengatasi tantangan bagi pasar seperti Indonesia yang memiliki populasi dan kondisi geografis luas. Ia juga meyakini telehealth dapat menyeimbangkan ekosistem kesehatan di Indonesia.

Agar tetap terdepan di sektor telehealth, Good Doctor memiliki dua strategi utama. Pertama, menjangkau lebih banyak orang dengan memperluas layanan ke segmen B2B. Kedua, menawarkan solusi Health-as-a-Service (HaaS) dengan memanfaatkan dukungan kuat pada teknologi, ekosistem, hingga mitra yang dimiliki Good Doctor.

Leverage teknologi dan lokalisasi

Di industri kesehatan, termasuk virtual health, ada banyak yang dapat dieskplorasi dengan teknologi. Melvin menilai Good Doctor punya posisi kuat untuk mengeksekusinya berkat teknologi dan pengalaman yang dibangun oleh induk usaha selama tujuh tahun terakhir. Misalnya, implementasi AI untuk membantu para dokter di Indonesia memahami gejala, memberi diagnosis, dan membuat resep obat bagi pasiennya.

Selain itu, ungkap Melvin, Good Doctor juga memiliki nilai tambah lain karena memiliki dokter in-house yang ekspertisnya dapat dimanfaatkan untuk melakukan quality control layanan. Salah satunya adalah mengembangkan clinical pathway. Sekadar informasi, clinical pathway merupakan sebuah pedoman yang digunakan untuk melakukan tindakan klinis berbasis bukti pada fasilitas layanan kesehatan. Setiap penyakit punya pedoman berbeda.

Umumnya, kebutuhan layanan kesehatan hampir sama di semua negara di kawasan Asia Tenggara. Dalam kasus ini, Good Doctor membawa solusi yang ada di Thailand, kemudian dikustomisasi untuk pasar Indonesia.

“Kami beruntung Ping An telah lama di bidang ini sehingga kami dapat leverage teknologinya yang sudah terbukti di Tiongkok. Menjadi pemain regional juga membuat kami dapat memahami isu healthcare di pasar berbeda, learning each other. Dengan teknologi kami, everything is conceived on how we deliver healthcare virtually,” tuturnya.

Kendati demikian, Melvin juga menyoroti pentingnya untuk terintegrasi dengan berbagai stakeholder. Kolaborasi akan memampukan Good Doctor untuk menghadirkan berbagai layanan dan menciptakan ekosistem kesehatan holistik di masa depan, baik melalui rumah sakit, klinik, perusahaan, maupun platform digital.

Leveraging technology is one thing, but it is important that we customize to localize. Kami dapat memiliki berbagai sudut pandang ketika melakukan integrasi layanan. Dan ini memungkinkan kami untuk membuat kesalahan minim karena setiap integrasi, setiap platform itu berbeda. Jadi kami bisa integrasi dengan cepat. We can deliver a better customer journey to our clients,” jelasnya.

Transisi ke endemi

Menjawab langkah Good Doctor menyambut endemi, Melvin menilai telemedicine atau layanan kesehatan virtual lainnya akan tetap memainkan peran signifikan. Menurutnya, layanan bagi perawatan sakit (sick care) akan selalu ada, tetapi layanan pencegahan (preventive care) juga tak kalah penting.

“Kami ingin [Good Doctor] transcend layanan sick care ke preventive care agar menjaga orang tetap sehat. Kami juga ingin membantu mengontrol dan menangani penyakit kronis. Produk dan layanan terkait yang akan dikembangkan, juga memungkinkan agar dapat terhubung ke perangkat IoT. Good Doctor punya posisi kuat untuk melakukannya karena kami punya teknologi dan memahami cara deliver produk,” ujarnya.

Langkah selanjutnya, Melvin memastikan bahwa pihaknya akan menjajaki ekspansi baru sambil fokus menggarap pasar existing di Singapura, Thailand, dan Indonesia.

Platform Riset Pasar Populix Peroleh Pendanaan Sebesar 114 Miliar Rupiah, Dipimpin Intudo Ventures dan Acrew Capital

Startup pengembang platform riset pasar Populix memperoleh putaran pendanaan Seri A dalam bentuk pembiayaan (financing) sebesar $7,7 juta atau sebesar 114 miliar Rupiah, dipimpin oleh Intudo Ventures dan Acrew Capital. Turut juga berpartisipasi Altos Ventures dan Quest Ventures.

Tahun lalu Populix menerima pendanaan pra-seri A senilai $1,2 juta atau setara Rp17,3 miliar dari Intudo Ventures, yang sebelumnya juga memimpin pendanaan awal di 2019, dan Quest Ventures.

Populix merupakan platform yang menawarkan kegiatan riset dan pengumpulan data bagi pebisnis, perusahaan, dan individual untuk mempermudah pengambilan keputusan dengan menggunakan studi kualitatif dan kuantitatif.

Dalam keterangan resminya, Co-founder dan CEO Populix Timothy Astandu mengatakan, pihaknya akan memperkuat digitalisasi seluruh proses pendataan, optimalisasi produk existing, dan meluncurkan sejumlah layanan baru yang memungkinkan siapapun mengambil keputusan tepat bagi bisnis mereka.

“Orang-orang tidak lagi mengandalkan insting untuk menjalankan bisnis mereka. Kami sedang membangun dunia di mana pengusaha dan CEO Fortune 500 dapat mengakses data yang cepat dan relevan untuk mendorong keputusan bisnisnya,” tutur Timothy.

Sementara itu, Founding Partner Intudo Ventures Patrick Yip mengatakan bahwa  Indonesia merupakan pasar consumer yang berkembang pesat dan bergerak dengan kecepatan yang sulit dipahami oleh bisnis lokal. Maka itu, pemahaman yang tepat dan akurat sangat dibutuhkan bagi keberhasilan bisnis berskala besar maupun kecil. “Sebagai salah satu pendukung Populix paling awal, kami bangga dengan bagaimana tim Populix semakin matang dan mengiterasi produk mereka mengikuti pasar Indonesia yang selalu berubah,” tutur Yip.

Partner Quest Ventures Jeff Seah menambahkan, “Asia Tenggara telah menjadi pasar terkemuka bagi perusahaan global untuk mendorong pertumbuhan bisnis dan masuk ke kelas konsumen baru. Bagi bisnis baru di regional, penting untuk memahami pola pikir lokal agar bisa sukses. Populix telah menunjukkan kemampuan luar biasa untuk menggambarkan preferensi konsumen Indonesia dan mengubah data point menjadi business insight yang dapat ditindaklanjuti,” kata Seah.

Pengembangan produk hingga ekspansi

Timothy mengungkap, pihaknya akan merekrut ahli di bidang produk dan engineering untuk meningkatkan pengumpulan data dan mengakomodasi kebutuhan lebih banyak klien. Untuk memperkuat posisinya di Asia Tenggara, pihaknya juga berencana ekspansi regional di tahun 2023 dengan fokus awal pada produk Poplite.

Berdiri pada Januari 2018, Populix menawarkan sejumlah layanan untuk kebutuhan riset. Pertama, Datasets berbasis subscription yang berisi ribuan data point terkait perilaku konsumsi online, gaya hidup, hingga emerging trend. Kedua, Poplite atau layanan penelitian dengan model bayar per penggunaan (pay-per-use). Layanan ini memungkinkan siapapun untuk membuat survei dan mengumpulkan business insight yang ditargetkan dan dapat ditindaklanjuti.

Menurut Timothy, misi awal Populix adalah membuat kegiatan penelitian lebih mudah, sederhana, akurat bagi bisnis, dan dapat diakses siapapun dengan dukungan teknologi. Dengan kemampuan Populix memindahkan kumpulan data secara online dan mobile, pihaknya berupaya membuat kegiatan riset menjadi lebih seru dan rewarding bagi responden.

Sejak 2020, Populix telah melakukan kegiatan riset dengan lebih dari 1,500 klien, mulai dari Fortune Global 500, pemerintahan, perusahaan konglomerasi, UMKM, akademik, dan individual di Indonesia. Menurut catatannya, sebanyak 45% klien Populix merupakan pengguna consumer insight pertama kali yang berupaya merefleksi utilitas sehari-hari sehingga pelaku bisnis dapat memahami konsumen dan mencapai product-market fit.

Populix menawarkan lebih dari 300.000 responden terverifikasi dan targeted untuk mengikuti kegiatan riset terkait preferensi, kebiasaan, dan pendapat terkait konsumen di Indonesia. Untuk memvalidasi keakurasian responden, Populix mengembangkan Popscore sebagai credit scoring system yang menilai kualitas responden dari tingkat kejujuran dan aktifnya seorang responden.

Perusahaan mengklaim telah mengalami pertumbuhan pendapatan hingga tiga kali lipat selama setahun terakhir.

ShopBack Peroleh Pendanaan 1,18 Triliun Rupiah; Bisnisnya Moncer di Indonesia

Startup agregator cashback ShopBack mengumumkan perolehan putaran pendanaan seri F sebesar $80 juta atau sekitar 1,18 triliun Rupiah. Pendanaan yang dipimpin oleh Asia Partners ini akan dipakai mendukung pengembangan platform untuk memberikan pengalaman belanja online terbaik di Asia Pasifik.

Mengutip laporan Bloombergputaran pendanaan ini turut didukung oleh investor existing January Capital. Dengan suntikan tersebut, ShopBack telah mengumpulkan total pendanaan sebesar $230 juta.

“Ini menjadi momentum tepat untuk mendukung para pemenang, mengonsolidasikan posisinya, dan mendapatkan hasil,” ungkap Managing Partner Asia Partners Nick Nash.

ShopBack didirikan di 2014 oleh Henry Chan dan Joel Leong. Saat ini ShopBack mengantongi 35 juta pengguna dan beroperasi di sepuluh negara, termasuk Singapura, Indonesia, Korea Selatan, dan Australia. Tahun lalu, ShopBack memperluas sekop layanannya dengan mencaplok platform “Buy Now, Pay Later” (BNPL) Hoolah asal Singapura.

Di Indonesia sendiri, menurut data SimilarWeb situs ShopBack menempati peringkat 6 di antara platform e-commerce lainnya dengan kunjungan bulanan rata-rata hampir 600 ribu, tertinggi untuk kategori layanan cashback. Mengindikasikan basis pengguna yang cukup besar ke layanan ini. Sementara di Google Play, untuk kategori Shopping, ShopBack menempati peringkat 19 — di bawah aplikasi e-commerce dan tertinggi untuk jenis aplikasi serupa.

Sementara itu, dalam laman Linkedin-nya, Co-founder dan CEO ShopBack Henry Chan mengungkap ingin terus memberikan pengalaman berbelanja sambil berhemat dengan cerdas di situasi perekonomian saat ini.

“Setiap hari kami mengirimkan lebih dari satu juta perjalanan belanja ke 10.000 mitra merchant di mana mereka bisa menemukan promo, perbandingan harga, dan reward dari pesanannya. Kami tetap menjadi partner terpercaya untuk memberikan solusi marketing dengan biaya efektif bagi merchant,” tuturnya.

Sebelumnya, ShopBack mendapat pendanaan sebesar $45 juta (Rp643,5 miliar) yang dipimpin oleh EV Growth dan Rakuten serta partisipasi EDBI dan investor lainnya.

Menurut laporan “2020 Global Cashback Report”, ukuran pasar untuk layanan ini secara global diproyeksi telah mencapai $108 miliar, termasuk didorong oleh adopsi e-commerce yang signifikan akibat pandemi. Sekurangnya ada 450 pemain global yang berpartisipasi memberikan layanan tersebut.

Pasar e-commerce

Potensi pertumbuhan bagi platform reward dari transaksi belanja online masih sangat besar di Indonesia. Sektor e-commerce masih menjadi kontributor terbesar di Indonesia. 

Menurut laporan NielsenIQ, jumlah konsumen yang belanja di mencapai 32 juta di 2021 atau naik 88% dari 2020. Sementara itu, laporan e-Conomy SEA 2021 mencatat sektor e-commerce tumbuh 52% secara tahunan. GMV e-commerce Indonesia diperkirakan mencapai $53 miliar atau naik dari $35 miliar di 2020.

Pertumbuhan ini turut didongkrak dari penambahan 21 juta konsumen digital baru sejak awal pandemi, di mana 72% di antaranya bukan berasal dari kota-kota besar.

Di Indonesia, aplikasi reward cukup diminati oleh online shopper. Selain ShopBack, beberapa aplikasi yang menawarkan layanan serupa di antaranya Snapcart yang hadir sejak 2015 dan Cashbac yang baru beroperasi sejak 2018.

Cashbac menyasar pasar social economy A dan B yang memiliki spending power tinggi dan rata-rata punya kartu kredit. Sementara, Snapcart memungkinkan pembeli mendapatkan cashback dari foto/video struk belanja dan memungkinkan brand berinteraksi dengan konsumen melalui survei.

Application Information Will Show Up Here

Terkendala Perizinan, Platform Aset Kripto Blocknom Hentikan Layanan Sementara

Platform earning aset kripto Blocknom mengumumkan akan menghentikan layanannya sementara mulai 1 Juli 2022. Blocknom tidak merinci alasan penghentian ini, tetapi pihaknya menyebut telah mempertimbangkan situasi pasar dan peraturan pemerintah. Di sisi lain, mereka memang belum memiliki izin operasional atau lisensi otoritas, dalam hal ini dari Bappebti.

Disampaikan dalam blognya, manajemen Blocknom mengatakan akan menghentikan dukungan untuk Decentralized Finance (DeFi), yang mana bunga harian pada USDT, USDC, dan XIDR juga akan berhenti bertambah.

“Saat ini, kami menyarankan Anda untuk menarik aset Anda dari platform sesegera mungkin. Anda tidak perlu khawatir karena aset Anda aman. Harap tarik semua aset Anda sebelum 31 Juli 2022,” demikian pernyataannya.

Menurut manajemen, pihaknya telah menutup penerimaan pengguna dan setoran baru sejak 20 Juni 2022. Untuk mempermudah proses penarikan aset, pihaknya mengimbau kepada para pengguna untuk segera menarik aset sebelum 31 Juli 2022. Setelah itu, kemungkinan besar penarikan hanya melalui CS offline.

We will come back stronger with more services when we get our license. Please wish us luck.” Tutup tim Blocknom.

Layanan manajemen aset kripto akhir-akhir ini memang mulai bermunculan di Indonesia. Hal ini seiring dengan makin banyaknya orang yang melakukan diversifikasi ke mata uang virtual ini. Menurut Bappebti, per Februari 2022 ada sekitar 12,4 investor kripto.

Selain Blocknom, dengan mekanisme yang unik, beberapa startup juga tawarkan layanan crypto-earn, di antaranya NOBI dan Finblox. Keduanya sama-sama telah mendapatkan dukungan pendanaan ekuitas dari pemodal ventura.

Baru peroleh pendanaan

Sebagai informasi, Blocknom baru dirintis pada Januari 2022 oleh eks pegawai Gojek & Shopee Fransiskus Raymond dan eks engineer Ritasi Ghuniyu Fattah Rozaq. Blocknom diketahui merupakan salah satu startup inkubasi di Y Combinator batch Winter 2022.

Blocknom juga baru memperoleh pendanaan tahap awal (seed) sebesar $500 ribu atau lebih dari Rp7 miliar dari tiga investor, yaitu Y Combinator, Number Capital, dan Magic Fund pada Maret lalu.

Untuk memberi nilai tambah pada platformnya, Blocknom menawarkan yield deposito pada aset kripto berbasis stablecoin, yaitu USDT (Tether), USDC (Circle), dan XIDR (StraitsX).

Selain itu, Blocknom menerapkan transparansi pada proses pengelolaan dana dan memiliki sistem proof of community pada proses pemilihan DeFi untuk pengelolaan dana investor, dan program unlimited incentives bagi komunitasnya.

Sejak beberapa bulan terakhir, ekosistem digital Indonesia tengah dilanda fenomena bubble burst akibat situasi dan konflik global. Harga aset kripto juga dilaporkan terus anjlok, tak terkecuali Bitcoin dan Ethereum.

Indra Utoyo: Integrasi Awal Allo Bank Sasar Ekosistem Ritel dan “Supply Chain” CT Corp (Bagian II)

Ini adalah bagian II dari dua tulisan. Bagian I menyajikan gagasan, sudut pandang, dan kilas balik Indra Utoyo yang sukses membangun karier dari industri telekomunikasi dan perbankan.

Mengapa Anda memutuskan mengambil pinangan CT untuk pimpin Allo Bank?

Jawab: Banyak tawaran datang, beberapa dari non-bank yang bukan background saya. Karena saya sudah 60 tahun, belajar hal baru tidak sejalan dengan apa yang saya lakukan selama ini. Kecuali saat saya masih muda, mungkin tawaran itu saya ambil.

Ketika ada tawaran dari Pak CT, saya lihat ini sejalan dengan apa yang saya pikirkan ke depan. Apalagi Pak CT sudah lama menyiapkan Allo Bank. Karena arah pengembangan bank digital adalah ekosistem, saya pikir masuk ke ekosistem CT Corp merupakan kombinasi yang pas.

Platform bank berbasis aplikasi dipadukan jaringan bisnis yang memiliki interaksi fisik. Ini menarik karena CT dan pemilik saham Allo Bank sama-sama memiliki ekosistem luas. Bukalapak salah satunya. Engagement nasabah akan semakin baik dalam memanfaatkan Allo Bank untuk utilitas kehidupan, seperti nama Allo yang berarti “All in One”.

Ada banyak ruang eksplorasi Allo Bank di O2O. Kehadiran fisik dan digital sama-sama punya peran kuat. Sebagai ekosistem, [CT Corp] sudah punya trust, tinggal ditambah bank digital saja.

Memang digitalisasi berdampak positif pada kecepatan maupun efisiensi. Tapi, aspek human touch juga penting karena masyarakat masih membutuhkannya. Bagaimana memadukan dua hal ini? Perlu hybrid model untuk kombinasikan aspek konvensional dan digital. Istilahnya ‘phygital‘ atau physical-digital. Model ini akan jauh lebih engage dengan konsumen.

Kalau fully digital, pasti [pengembangannya] akan mentok. Dalam buku saya (“Hybrid Company Model: Cara Menang di Era Digital yang Disruptif“), saya katakan bahwa digital tidak bisa menggantikan trust, brand, dan service. Namun, tanpa digital, kita tidak akan dapat mendapatkan ketiganya.

Apa fokus tahap awal Allo Bank tahun ini?

J: Kami akan mulai [integrasi] dari B2C di sektor ritel dan B2B di supply chain. Saya rasa dalam dua sampai tiga bulan pertama akan banyak [kolaborasi/integrasi] di kategori brick and mortar. Sambil Allo Bank terus memperbaiki platform, operasional, dan pengolahan data, kami akan integrasi ke ekosistem digital CT Corp yang sudah siap, seperti AlloFresh. Juga nanti ke Bukalapak, Grab, atau Traveloka.

Dengan membesarkan ekosistem yang terhubung dengan Allo Bank, kami dapat mendorong jumlah nasabah dan transaksi. Kami akan tambahkan fitur atau produk lain, seperti paylater atau instant cash. Semakin sering dipakai, kita bisa memahami konsumen dan memaksimalkan produk perbankan yang berkualitas dengan customer yang tepat.

Sumber: CT Corp

Allo Bank masih baru dan perjalanannya masih panjang. ‘”All in One”, ini menjadi semacam mantra ya, satu untuk semua dan semua untuk satu. Semua dapat terakomodasi melalui ekosistem CT Corp.

Bagaimana posisi Allo Bank dibandingkan kompetitornya?

J: Allo Bank bermain di mass market, volume transaksinya kecil-kecil tapi sering dipakai. Terkait produk bank, sama seperti yang ditawarkan bank-bank lain. Ada simpanan/deposit, transfer, dan kredit, hanya saja konteks model bisnisnya yang akan membedakan.

Allo Bank akan memadukan jaringan bisnis milik CT dan partner strategis, baik yang memiliki saham maupun bagi partner-partner baru nanti. Dengan [strategi] ini, Allo Bank akan punya posisi untuk tumbuh.

Dari sisi tim, kami akan menggabungkan mana yang dikerjakan sendiri, mana yang dikerjakan bersama partner. Dalam hal teknologi, Allo Bank bekerja sama dengan bank digital terbesar dunia, WeBank. Kami mengikuti disiplin pada pengembangan produk WeBank. Kedua, salah satu direksi Allo Bank merupakan eks petinggi Paytm (Sajal Bathnagar), platform pembayaran digital besar di India.

Kami belajar dengan pendekatan ini, belajar dari yang hebat sambil kami terus menambah core talent. Kalau memikirkan semua sendiri, kami bisa tersasar. Jadi kami belajar dan nurture SDM lokal dengan baik.

Apakah ada rencana meneruskan venturing ekosistem digital dengan membentuk VC?

J: Saya belum bisa bilang soal ini karena ini berada di ranah pusat. Pasti ada agenda itu karena kita akan mencari partner-partner baru. Tak lama lagi, Allo Bank akan tambah fitur atau produk, mulai dari asuransi, investasi. Tentu ini akan [bermitra] dengan startup yang sudah punya basis pengguna dan akan dihubungkan ke Allo Bank.

Bagaimana Anda melihat dinamika bank digital di Indonesia?

J: Ada tiga hal untuk bisa thriving sebagai bank digital, yaitu teknologi, ekosistem, dan talent. Dalam beberapa tahun terakhir, bank digital muncul sebagai sebuah model [bisnis]. Bank deliver layanannya melalui aplikasi. Dulu di awal ada Jenius, kemudian terakhir ada Jago, Neo Commerce, hingga Seabank yang bermain dengan ekosistem.

Bank digital memadukan ekosistem untuk mendapat nasabah berkualitas, karena bank bicara soal trust dan manajemen risiko. [Ekosistem] punya trust dan branding sehingga memiliki basis pelanggan yang berkualitas. Jika tidak [memadukan ekosistem], bank digital sulit tumbuh secara organik dan mendapat pelanggan berkualitas. Jadi mereka create value bersama.

Game field selanjutnya adalah bank digital mendorong masyarakat untuk semakin terliterasi terhadap keuangan, dapat menyentuh masyarakat lebih luas. Jika kita lihat, bank digital tidak lagi bicara sebagai bank, tetapi lebih banyak pada aspek kehidupan.

Maka itu, bank digital cocoknya di ritel sampai SME, bermain di volume besar. Dengan teknologi yang efisien, bank digital bisa memiliki cost per acquisition yang rendah sekali. Bank dapat menawarkan layanan yang menyasar kebutuhan sehari-hari. Kalau di atas itu, bank digital tidak terlalu main ke sana. Bank konvensional kan biasanya main di segmen korporasi dengan nilai transaksi besar.

Sementara, jika melihat [fenomena] fintech masuk ke bisnis bank, ini menjadi ujung dari perjalanan mereka. Bank dapat marjin dari pembiayaan, kalau dari payment saja tidak ada. Makanya fintech harus bergeser ke bank supaya bisa menawarkan layanan keuangan lain.

GoTo Tambah Modal ke Sejumlah Anak Usaha

PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (IDX: GOTO) mengumumkan pengambilalihan saham pada sejumlah anak usaha untuk melakukan penambahan modal.

Berdasarkan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, PT Tokopedia mengambil alih sebanyak 58.400 saham baru milik PT Semangat Bambu Runcing (SBR) sebanyak 58.400 dengan nilai Rp58,4 miliar.

Kemudian, Semangat Bambu Runcing menyerap 18.400 saham baru dari PT Roda Bangun Selaras (RBS) senilai Rp18,4 miliar. Dan, Roda Bangun Selaras melakukan aksi serupa terhadap 18.400 saham baru atau Rp18,4 miliar milik PT Adi Sarana Logistik (ASL).

Corporate Secretary GoTo R. A Koesoemohadiani mengatakan bahwa seluruh aksi korporasi ini bertujuan untuk meningkatkan modal untuk anak usaha.

Sementara dalam keterbukaan informasi secara terpisah, Presiden Direktur ASSA Prodjo Sunarjanto Sekar Pantjawati mengatakan bahwa penambahan modal ini diperlukan agar Adi Sarana Logistik dapat memberikan kontribusi positif terhadap perusahaan.

Sekadar informasi Adi Sarana Logistik merupakan anak usaha PT Adi Sarana Armada Tbk (IDX: ASSA) dengan kepemilikan 40% saham. Perlu diketahui, saham anak usaha Adi Sarana Armada, yakni Anteraja dan Autopedia, dimiliki oleh Komisaris Utama GoTo Garibaldi ‘Boy’ Thohir.

Modal usaha di Vietnam

Selain itu, GoTo juga mengumumkan telah menyuntik modal tambahan ke anak usahanya di Vietnam, yakni Go Car Technology Company Limited (GoCar Ltd) melalui Viet Lotus International Joint Stock Company (Viet Lotus) senilai VND140,6 miliar atau setara $6,2 juta.

Saat ini, GoCar Ltd dimiliki sepenuhnya melalui perusahaan induk Viet Lotus sebesar 100%, sedangkan 49% kepemilikan saham Viet Lotus dipegang oleh GoTo.

Kilas balik singkat, tahun lalu Gojek melakukan divestasi bisnisnya di Thailand ke AirAsia agar dapat fokus di pasar Vietnam dan Singapura. Kala itu, Kevin Aluwi yang masih menjabat sebagai CEO Gojek mengatakan pihaknya tidak dapat berkomitmen penuh dengan resource yang dimiliki di sana.

Berdasarkan laporan tahunan GoTo, layanan GoCar telah meluncur di Vietnam pada Agustus 2021, sedangkan layanan GoTaxi dan GoCar XL tersedia di Singapura pada Mei dan November 2021.

Adapun data OECD mencatat perekonomian Singapura memimpin pertumbuhan di Asia Tenggara dengan pertumbuhan PDB sebesar 7,6% di 2021, sedangkan Vietnam sebesar 2,6% di periode yang sama.

Sebagaimana diketahui, GoTo sejak awal berambisi untuk memperkuat infrastruktur dan ekosistem hyperlocal di Asia Tenggara melalui tiga anak usahanya, yaitu Gojek (ride-hailing), Tokopedia (e-commerce), dan GoTo Financial (fintech).

Dengan strategi ini, GoTo berupaya untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa dengan biaya ekonomis berkat supply dan demand yang berdekatan satu sama lain. Ini menjadi salah satu kekuatan GoTo dengan mengoptimalkan jaringan mitra pengemudi, merchant, dan logistiknya.

Application Information Will Show Up Here

East Ventures Leads RPG Commerce’s Series B Funding

East Ventures is leading a $29 million or approximately 431 billion Rupiah series B funding round for RPG Commerce. In addition, this round was also led by UOB Venture Management, Vertex Ventures SEA & India (VVSEAI), and RHL Ventures.

In his official statement, East Ventures’ Co-founder and Managing Partner, Willson Cuaca said, RPG Commerce has a unique position as it takes an approach by serving various categories, brands, and roll-up models in e-commerce sector.

He said this is an important strategy for D2C businesses to attract international interest in ensuring its success in the market. “RPG Commerce is capable to grow a loyal customer base in the United States, Canada, and Europe, through quality products and innovation in the supply chain,” Willson said.

RPG Commerce’s Co-founder & CEO, Melvin Chee said he would use the additional funding to add to the brand portfolio and the team numbers, encourage R&D innovation, also M&A. “We wanted to quickly add to our talent and leverage technology capabilities to expand our consumer landscape,” Melvin said.

On a general note, RPG Commerce is a D2C-based social commerce startup from Malaysia. The platform offers in-house brand products in the categories of daily necessities, clothing to basic household. Currently, RPG partners with more than ten brands, including Thousand Miles, Bottom Labs, Eubi, Montigo, and Cosmic Cookware.

RPG manages various brands from product launch, operations, and optimization supported by end-to-end production and delivery. According to the company’s data, RPG is supported by state-of-the-art back-end technology and a visionary creative team that has been able to rapidly expand its brand portfolio and grow its customers by 300% over the past year.

With the spirit of supporting independent businesses with on-demand products, he aims to empower small business owners through incubation and acquisition programs to serve consumers in various verticals.

Investment climate and social commerce potential

In a recent interview with DailySocial.id, Willson Cuaca mentioned some interesting notes regarding the investment climate. Despite the negative sentiment in the Indonesian startup ecosystem, he believes that this has not changed his position in finding potential startups.

He said, there are still many startups with good fundamentals. “Remain calm and alert in dealing with this situation. Seek support from your investors, be more prudent in spending, and don’t do fundraising when your company needs money,” Willson advises the founders.

In the context of social commerce in Indonesia, this model shows the potential for great growth in the future. Bain & Co data recorded that transactions from social commerce contributed $12 billion to the total GMV of e-commerce in the country which amounted to $47 billion in 2020.

In addition, social commerce trends continue to develop considering that rural communities still have limited access to fulfill their needs through online platforms compared to people living in urban areas.

By empowering the distribution network model or reseller, social commerce can open access to products and wider job opportunities.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

East Ventures Pimpin Pendanaan Seri B di RPG Commerce

East Ventures memimpin putaran pendanaan seri B senilai $29 juta atau sekitar 431 miliar Rupiah kepada RPG Commerce. Selain East Ventures, putaran ini juga dipimpin oleh UOB Venture Management, Vertex Ventures SEA & India (VVSEAI), dan RHL Ventures.

Dalam keterangan resminya, Co-founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan, RPG Commerce memiliki posisi unik karena mengambil pendekatan dengan melayani berbagai kategori, merek, dan model roll-up di sektor e-commerce.

Menurutnya, ini menjadi strategi penting bagi bisnis D2C untuk memiliki daya tarik internasional demi memastikan kesuksesannya di pasar. “RPG Commerce mampu menumbuhkan basis pelanggan loyal di Amerika Serikat, Kanada, hingga Eropa, melalui produk berkualitas dan inovasi di supply chain,” tutur Willson.

Co-founder & CEO RPG Commerce Melvin CHee menyebutkan akan menambah portofolio merek dan jumlah SDM, mendorong inovasi R&D, hingga M&A dengan tambahan pendanaan ini. “Kami ingin menambah talenta kami dengan cepat dan meningkatkan kemampuan teknologi untuk memperluas lanskap konsumen kami,” ujar Melvin.

Sebagai informasi, RPG Commerce merupakan startup social commerce berbasis D2C asal Malaysia. RPG menawarkan produk merek in-house pada kategori kebutuhan sehari-hari, pakaian hingga rumah tangga. Saat ini, RPG bermitra dengan lebih dari sepuluh merek, termasuk Thousand Miles, Bottom Labs, Eubi, Montigo, dan Cosmic Cookware.

RPG mengelola berbagai merek mulai dari peluncuran produk, operasional, hingga optimalisasi yang didukung oleh produksi dan pengiriman secara end-to-end. Menurut perusahaan, RPG didukung teknologi back-end canggih dan tim kreatif yang visioner sehingga mampu melakukan ekspansi portofolio merek dengan cepat dan pertumbuhan pelanggan hingga 300% selama satu tahun terakhir.

Dengan semangat mendukung bisnis secara independen dengan produk sesuai permintaan, pihaknya berharap dapat memberdayakan pemilik bisnis kecil melalui program inkubasi dan akuisisi demi melayani konsumen di berbagai vertikal.

Iklim investasi dan potensi social commerce

Dalam wawancara dengan DailySocial.id baru-baru ini, Willson Cuaca memberikan beberapa catatan menarik terkait iklim investasi. Terlepas dengan adanya sentimen negatif di ekosistem startup Indonesia, ia menilai hal tersebut tidak mengubah posisinya dalam mencari startup yang potensial.

Menurutnya, masih banyak startup-startup yang memiliki fundamental yang baik. “Tetap bersifat tenang dan sigap dalam menghadapi situasi ini. Mencari dukungan dari para investor Anda, be more prudent in spending, dan jangan melakukan fundraising di saat perusahaan Anda memerlukan uang,” saran Willson untuk para founder.

Dalam konteks social commerce di Indonesia, model ini termasuk yang menunjukkan potensi pertumbuhan besar di masa depan. Data Bain & Co mencatat transaksi dari social commerce menyumbang $12 miliar terhadap total GMV e-commerce di tanah Air yang sebesar $47 miliar di 2020.

Di samping itu, tren social commerce terus berkembang mengingat masyarakat pedesaan masih memiliki keterbatasan akses dalam memenuhi kebutuhannya melalui platform online dibanding masyarakat yang tinggal di perkotaan.

Dengan memberdayakan model jaringan distribusi atau reseller, social commerce dapat membuka akses terhadap produk dan kesempatan kerja lebih luas.