Pintu Bags 503 Billion Rupiah Funding led by Lightspeed Venture Partners

After reportedly receiving $6 million series A funding last May, crypto asset marketplace Pintu just announced the series A+ funding of $35 million or equivalent to 503 billion Rupiah. The round was led by Lightspeed Venture Partners, and supported by Alameda Ventures, Blockchain.com Ventures, Castle Island Ventures, Intudo Ventures and Pantera Capital.

Through this funding, Pintu is committed to strengthen market leadership as Indonesia’s top mobile-first crypto investing app. This fresh fund will be used to aggressively hire new talent across all major functions, roll out new products and features, and fuel future expansion.

Lightspeed partner Hemant Mohapatra believes that crypto is at a transition point to become the most important asset class in the world and will give birth to many companies that will become regional leaders.

“Pintu has created the strongest market brand, best user experience, and hands down one of the strongest teams we’ve ever come across in this market. We are excited to back them on their way in becoming the leading brand in crypto—not just in Indonesia but throughout the Southeast Asia region in the coming years,” he said.

Founded in April 2020, Pintu is designed to to meet the needs of Indonesians from all walks of life. With its mobile-driven interface and suite of smart features geared for beginner level traders, Pintu provides more comprehensive and open access for both novice and experienced traders to be able to mitigate risks towards market volatility and various other speculative measures.

Pintu offers a low barrier entry point starting from IDR 11,000 for both novice and experienced investors. There are currently 16 different dynamic cryptocurrencies on the platform and will soon be adding new coins, including NFT tokens and other highly sought-after crypto projects.

Co-founder & CEO of Pintu Jeth Soetoyo said, “We built Pintu with the belief that crypto is not just a technology, but also an asset class and community that will help overcome barriers to financial inclusion in Indonesia. [..] With the support of Pintu investors, we are committed to facilitating financial inclusion for all Indonesians.”

Crypto platform trend in Indonesia

Aside from Pintu, another new player, Coinomo has recently received fresh funds. The company born after the merge of Turn Capital acquired Dapp Pocket (a crypto wallet player from Taiwan) and Cappuu (a yield aggregator service) has released a beta version of its product in May 2021.

Previously, there are also several players has been exploring the crypto asset industry market, such as TokoCrypto and Nobi who focused on maximizing the potential for “passive income” for crypto investors. Tokocrypto alone has developed a hybrid CeDeFi (TKO) token which is claimed to be the first in Indonesia on top of Binance Smart Chain, as the early stage investor.

As one of the assets that is predicted to have great potential, various investment application developers also offer crypto as one of the products on their platform. For example, Pluang, which has managed to secure a pre-series B funding in March worth of around 288.8 billion Rupiah, led by OpenSpace Ventures.

Market potential

Globally, according to a report compiled by Research and Market, the market size for cryptocurrencies has reached $1,812 million in 2020, is projected to increase by $2,150 million this year, and soar to $5,158 million in 2026 with a CAGR of 19.04%.

Meanwhile in Indonesia, based on the Ministry of Trade (Kemendag) data, crypto asset investors as of May 2021 have reached 6.5 million people with a transaction value of IDR 370 trillion. This number is quite fantastic, considering there were 4.8 million people in the previous month with a transaction value of around Rp237.3 trillion (January-April 2021).

With high price volatility, the profile of crypto investors is usually the ones who are willing to take risks. It is important for the public to understand that crypto assets are not the same as each other. CoFTRA has published a list of 229 crypto assets that can be traded in Indonesia.

Reporting from Coinmarketcap.com, the global crypto market capitalization currently stands at $1.76 trillion, accounting for a decline of around 2.82%.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Pintu Raih Pendanaan 503 Miliar Rupiah Dipimpin oleh Lightspeed Venture Partners

Setelah dikabarkan menerima pendanaan seri A sebesar $6 juta pada bulan Mei lalu, aplikasi marketplace aset kripto Pintu kini mengumumkan perolehan pendanaan seri A+ sebesar $35 juta atau setara 503 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Lightspeed Venture Partners, serta didukung oleh Alameda Ventures, Blockchain.com Ventures, Castle Island Ventures, Intudo Ventures, dan Pantera Capital.

Melalui pendanaan ini, Pintu berkomitmen untuk memperkuat posisi sebagai aplikasi mobile kripto terdepan di Indonesia. Rencananya, dana segar ini akan digunakan untuk merekrut talenta baru secara masif di seluruh fungsi perusahaan, peluncuran produk dan fitur baru, serta mendorong ekspansi perusahaan di masa depan.

Partner Lightspeed Hemant Mohapatra meyakini bahwa kripto sedang berada di titik peralihan untuk menjadi kelas aset terpenting di dunia dan akan memunculkan banyak perusahaan-perusahaan yang akan menjadi pemimpin regional.

“Pintu telah menciptakan merek dagang terkuat, pengalaman pengguna terbaik, dan tim terkuat yang pernah kami temui selama bergelut di bidang ini. Kami tidak sabar untuk membantu mereka menjadi brand terdepan di dunia kripto — bukan hanya Indonesia, namun dalam beberapa tahun ke depan, juga bisa menjangkau seluruh Asia Tenggara,” ujarnya.

Didirikan pada bulan April 2020, Pintu dirancang untuk memenuhi kebutuhan semua kalangan masyarakat. Dengan berfokus pada tampilan mobile dan fitur pintar sebagai penunjang bagi trader pemula, Pintu memberikan akses yang lebih menyeluruh dan terbuka bagi trader awam maupun berpengalaman untuk bisa melakukan mitigasi risiko terhadap volatilitas pasar dan berbagai langkah spekulatif lain.

Pintu menawarkan nilai minimum transaksi yang sangat rendah mulai dari Rp11.000 bagi investor pemula maupun berpengalaman. Saat ini telah tersedia 16 aset kripto yang bisa diperdagangkan dalam platform dan akan segera menambahkan opsi baru, termasuk token NFT dan proyek kripto lainnya yang banyak dicari orang-orang.

Co-founder & CEO Pintu Jeth Soetoyo mengungkapkan, “Kami membangun Pintu dengan kepercayaan bahwa kripto bukanlah hanya sekedar teknologi semata, namun juga termasuk kelas aset dan komunitas yang akan membantu mengatasi penghalang inklusi finansial di Indonesia. [..] Dengan dukungan dari investor-investor Pintu, kami berkomitmen untuk memfasilitasi inklusi finansial ke semua kalangan masyarakat Indonesia.”

Tren platform kripto di Indonesia

Selain Pintu, terdapat pemain baru yang belum lama ini juga mendapat dana segar yaitu Coinomo. Perusahaan yang lahir setelah Turn Capital mengakuisisi Dapp Pocket (pemain dompet kripto asal Taiwan) dan Cappuu (layanan yield aggregator) ini telah merilis versi beta produknya pada bulan Mei 2021.

Sebelumnya, telah ada beberapa pemain yang lebih dulu menjajaki pasar industri aset kripto, seperti TokoCrypto dan Nobi yang fokus maksimalkan potensi “passive income bagi para investor kripto. Tokocrypto sendiri telah mengembangkan token CeDeFi (TKO) hibrida yang diklaim pertama di Indonesia di atas Binance Smart Chain, yang merupakan investor tahap awal mereka.

Sebagai salah satu aset yang digadang-gadang memiliki potensi besar, berbagai pengembang aplikasi investasi juga turut menawarkan kripto sebagai salah satu produk dalam platformnya. Sebut saja Pluang yang pada bulan Maret lalu berhasil mengantongi pendanaan pra-seri B berkisar 288,8 miliar Rupiah yang dipimpin oleh OpenSpace Ventures.

Potensi pasar

Di kancah global, menurut laporan yang dihimpun Research and Market, ukuran pasar untuk cryptocurrency telah mencapai $1.812 juta per tahun 2020, diproyeksikan meningkat $2.150 juta di tahun ini, dan melambung di angka $5.158 juta tahun 2026 mendatang dengan CAGR 19,04%.

Sementara di Indonesia, menurut data Kementerian Perdagangan (Kemendag), investor aset kripto hingga Mei 2021 sudah tembus ke angka 6,5 juta orang dengan nilai transaksi Rp370 triliun. Kenaikan ini cukup fantastis, mengingat pada sebulan sebelumnya tercatat 4,8 juta orang dengan nilai transaksi sekitar Rp237,3 triliun (Januari-April 2021).

Dengan volatilitas harga yang tinggi, profil investor kripto biasanya merupakan orang yang berani mengambil risiko. Penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa aset kripto satu dengan yang lainnya tidak sama. Bappebti sendiri sudah menerbitkan daftar 229 aset kripto yang dapat diperdagangkan di Indonesia.

Dilansir dari Coinmarketcap.com, kapitalisasi pasar kripto global saat ini mencapai $1,76 triliun, terhitung mengalami penurunan sekitar 2,82%.

Application Information Will Show Up Here

MDI dan Finch Capital Bukukan Putaran Pendanaan Pertama untuk “Arise Fund” Senilai 573 Miliar Rupiah

Kendaraan investasi hasil kolaborasi MDI Ventures dan Finch Capital yang dinamai “Arise Fund” berhasil menutup debut penggalangan dana senilai $40 juta atau setara 573 miliar Rupiah. Putaran ini melibatkan beberapa investor korporat, bisnis keluarga, serta konglomerat high-net-worth di Indonesia, termasuk Metrodata Electronics.

Dana kelolaan ini ditargetkan dapat menjangkau 25 bisnis yang fokus membangun industri teknologi di Asia Tenggara terutama Indonesia. Setidaknya ada lima portfolio yang siap diumumkan di akhir tahun ini. Kesepakatan yang tengah dalam tahap finalisasi tersebut berkisar pada sektor SaaS, B2B commerce, agritech, dan fintech.

Partner Arise Fund Aldi Adrian Hartanto mengungkapkan bahwa terlepas dari kehadiran banyak pendiri berkualitas dalam satu dekade terakhir, tantangan muncul dari alokasi modal yang tidak proporsional. Hal ini membuat para pengusaha kelimpungan untuk mengamankan modal di masa perlambatan ekonomi kawasan seperti saat ini.

Diperkenalkan pada akhir tahun 2020, Arise fokus pada investasi pasca-seed dan pra-seri A dengan ticket size mulai dari $250.000 hingga $3 juta per putaran. Selain itu, perusahaan juga menawarkan modal jangka panjang,  jaringan go-to-market strategis, serta terlibat langsung dengan portofolionya.

Managing Partner Finch Capital, Hans De Back turut mengungkapkan, “Kami telah melihat banyak perusahaan tahap awal berjuang untuk mengakses pasar yang tepat, yang tercermin dari kurangnya daya tarik [..] Peran kami adalah untuk memecahkan masalah ini dengan strategi go-to-market melalui kolaborasi dengan jaringan mitra perusahaan kami seperti Metrodata dan perusahaan portofolio. Dengan cara ini, kami dapat memungkinkan perusahaan untuk tumbuh lebih cepat dan mempersiapkan mereka untuk pendanaan seri A.”

Investasi jangka panjang

Selain menyediakan akses ke mitra go-to-market strategis melalui jaringan LP perusahaannya, perusahaan juga turut menjembatani informasi asimetris terkait model bisnis yang divalidasi, dan memberdayakan modal jangka panjang melalui dana afiliasinya, termasuk Centauri Fund.

Aldi menambahkan, “Startup yang didukung oleh Arise secara ideal akan terus menerima investasi dari Centauri di tahap seri A, MDI Ventures di seri B dan tahap selanjutnya, dan pada akhirnya – dalam beberapa kasus – berpotensi untuk exit melalui akuisisi dengan Telkom Group sebagai salah satu calon pembeli atau IPO.”

Dalam jaringan afiliasi Arise Fund, salah satu modal ventura terbesar di Indonesia dengan total aset mencapai US830+ juta, MDI Ventures telah memiliki 56 portfolio yang tersebar di 10 negara dan menghasilkan 5 exit. Dalam situsnya, Finch Capital sendiri telah memiliki 29 portfolio internasional hingga saat ini.

Dana kelolaan MDI Ventures

Untuk mendorong kesuksesan jangka panjang, LP dan tim strategis Arise memberi penawaran unik untuk para founder. Secara proaktif, perusahaan akan mencari calon pendiri kelas dunia, untuk kemudian bersama-sama membangun perusahaan, sembari tetap melakukan eksplorasi masalah yang dapat menciptakan sinergi dalam lingkaran perusahaan.

Selain itu, startup yang akan menerima investasi dari Arise juga memiliki opsi untuk ikut serta dalam program inkubasi Telkom Indigo Nation. Kesempatan ini diberikan untuk mereka bisa menentukan atau memastikan model bisnis saat ini scalable dan repeatable. Para LP yang terlibat juga berasal dari jaringan dan ekosistem teknologi global di Eropa, Asia dan Silicon Valley.

Blibli’s Kusumo Martanto on E-commerce Industry: Innovation is the Key to Sustainability

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

A company is not something you easily founded, a good company is built with a solid foundation and solid strategy. Kusumo Martanto built Blibli from scratch using a customer-centric approach. Recently celebrating its 10th anniversary, the company has reached some major milestones. Also, he plays a role as the COO of GDP Venture as a channel to create an investment vehicle to further develop Indonesia’s digital industry

Before the tech industry era, Martanto has been trained to overcome challenges. From educational struggle, adapting to the new culture with limited vocabulary, and surviving the life of an overseas student with scholarship demands and a part-time job. However, all his constant effort pays off as he finally gets a chance to pursue a career in the tech industry.

As the Co-Founder and CEO of Blibli, one of the leading e-commerce companies in Indonesia, Martanto aims to create a sustainable company with positive value and impact on society. In the process of climbing the top ladder, challenges often appear and the company has to be ready. He also believes that the key to this dynamic industry is innovation, and collaboration is a way to make it sustainable.

DailySocial has an opportunity to have an exclusive interview with Martanto and further discuss his thoughts on the Indonesian e-commerce landscape and its future potential.

How were your early days before the tech industry happened in your life?

Looking back to my journey, I was trained to overcome challenges. Engineering has started to draw my attention in school, which cannot be separated from computers and I did not have one back then. Also, I was just a boy from Central Java with big dreams. It never occurred to me that I could study abroad with all the cost and paperwork, but I have this strong will. Then, with all the resources available at that time, I look for a way in the metropolitan area. Fortunately, my parents are very encouraging. With many considerations and through a long process, I managed to register and continue my study at Iowa State University.

The real struggle happened within the first two years of adapting to a new country and culture with limited vocabulary. And that was before the internet era. I had to record my lectures from time to time and listen to them multiple times before I really grasp the gist. The second year, I have applied for a scholarship and was doing part-time to cover my expenses, 8-hour sleep was off the table. It was tough, but I was tougher.

Kusumo Martanto / Dokumentasi GDP Venture

You’ve graduated from a top-ranked engineering program at Iowa State University and a continuing Master’s program at Georgia Institute of Technology. Can you share a bit of your experience of how living and studying abroad can help you upskill and what kind of perspective you’ve gained outside this country?

Looking back to my era, it was very different in terms of teaching and learning. In Indonesia, respect means to obey. In class, we can ask questions but never questioning them. In the States, we are forced to participate, to speak up. Not only to have critical thinking but also to understand the context. It goes a long way and has shaped my mindset.

What made you decide to come home? Why not continue pursuing a career in the States?

Honestly, I thought of getting back home to work before continuing my master’s degree. I applied for several jobs at home country, but also prepared for Plan B and submitted an application to continue studying. When I arrived in Indonesia, I already got an offer to work for a company. However, during my stay in my hometown, I received an acceptance letter from the States. After a lengthy discussion with my parents, I decided to pursue my master’s degree in the US.

My next journey is actually the interesting and fun part. My first career attempt is in the aerospace industry since I dream of becoming a pilot. That time I got exposure to the tech industry. Furthermore, I moved into a software company; and it was pure technology. Then, I joined intel and up until now I have drifted deep into this area and enjoy where I’m going.

After that, I started to think of my parents in Indonesia as they’re getting old. Besides, I already contribute enough to the country that adopted me, why not try to make something work in my home country. Indonesia alone has excellent potential with its growing internet penetration. It totally changed the whole thing from communication to a lot more specific industries. I, then, take my chance.

What was the idea behind the creation of Blibli, one of Djarum’s first digital products? What kind of challenges you’ve encountered and how to overcome that?

Historically speaking, Indonesia has been a center of commerce for ages, and the concept has been deep-rooted in its people. This country holds great potential in terms of many factors. One of the most essential is the demographic bonus. We have many young people in the productive age, ready to pour energy into building this country’s prosperity.  Moreover, most of these people have high curiosity, also willing to adapt and to adopt. Retails are rapidly growing and have become the great ammo to support the economy.

Back then in 2011, Indonesia’s internet penetration was only 12,3% of the total population. Still, it is more significant than one country’s population. In terms of geography, this is a vast country, it is an advantage as well as a challenge for distribution. The idea of e-commerce will be very much likely to appear given the previous facts stated.

We started Blibli with the aim to be the 1st leading e-commerce to deliver the best customer-centric experience for both buyers and sellers. In the process of climbing the top ladder, we encounter lots of challenges. Unlike the US and China with vast land, Indonesia has a wide ocean in terms of distribution. This is one of the biggest challenges to provide cost-efficient logistics. Furthermore, the payment becomes another rocky road in this industry. It was not as efficient as today’s banking.

All these challenges only forced us to be more creative and innovative in developing our platform. I also believe that to make the ecosystem work, we need to work as a unity. That is why we also collaborated with our very trusted partners to serve the community better. Innovation is the key to the dynamic industry and collaboration is what makes it sustainable.

What kind of innovations Blibli has or will develop in the near future?

We have launched lots of innovations since the very beginning of our operations. In fact, Blibli is often the first one to offer new innovation. For example, the free delivery and 0% installment while others still charge additional costs for credit card payment. Also, we guarantee the originality of the products offered on our platform. To ensure this, we only collaborated with trusted partners. Another highlight is when we introduce the pre-order feature, in collaboration with Telkomsel.

Moreover, we believe that online will never 100% replace the offline ecosystem, only to complement each other. Therefore, last year we launched our omnichannel initiative to win the offline market. There are several features including Blibli in-store, Click & Collect, and BlibliMart for grocery to strengthen this strategy.

In this time of the pandemic, we also realize that many people are struggling with stable income. Therefore, we also launched the PayLater service to cover basic needs for users. Aside from that, MSME becomes one of the most affected sectors due to this pandemic. We discover one of their pain points is the place to keep their products. We tried to solve this problem by introducing fulfillment by Blibli.

The latest one, a cross-industry collaboration between BCA Digital and us, has made Blibli the first e-commerce platform fully integrated with digital banks in Indonesia. I believe that the development of a digital ecosystem in Indonesia can reach its full potential through collaboration. Therefore, we will continue to innovate and adapt to the changing market by responding to the challenges and experiences.

The launching of Blibli’s warehouse Cakung

Do you think “unicorn” status is important? What kind of essential value the company should have in order to reach sustainability?

It is only reasonable for a startup company to want to achieve a certain status or major milestone. Although we have not openly announced any kind of status, our business size has exceeded billions of dollars. Can I say that we have reached unicorn status? Yes. However, as a digital company, what we really want is to create a sustainable company with positive value and impact on society.

In terms of value, I think all the remarkable outcomes require hard work and perseverance. I tried to plant this kind of mindset in all of our members in Blibli. That we are not just a company, but also part of the society.  Therefore, always do your best to create a positive impact through technology and innovation. Also, when a business has grown large, it is hard not to be complacent, that is why we need to keep the agility strong. Always be prudent and expect the unexpected.

You’re also the COO of GDP Venture. What kind of role you’ve played in this organization, do you also make personal investments?

During the Blibli creation, our shareholders also consider creating investment vehicles to further develop Indonesia’s digital industry. Everything we have been discussing will only work when the whole country can prosper. Therefore, I helped Martin Hartono set up the investment company and proposed the idea of the name GDP Venture. I have also been investing as an angel, and above all, I contribute with my experience, including as an advisor.

GDP Venture’s investment activity circa 2017

After a long time managing Blibli from scratch to this stage, have you ever thought of starting another company? Or exploring another industry?

The thing with creation is you can do it in various kinds of ways. One can be a founder, investor, or part of a team member. I have lots of ideas, which now channeled more to the investment or mentorship activities. I started in the e-commerce industry, and this is just the beginning, the potential is still very long ahead to the future.

In terms of interest, I prefer the old-fashioned industry such as health. In Indonesia, even the first-tier country is still facing difficulty to have access to sufficient health facilities. However, as I want to create something in a different industry, I want this to be part of Blibli and the group. While brainstorming for the plan, I was introduced to the startup founder who wants to start a similar business. Instead of competing, we decided to invest in the startup that we have currently known as Halodoc. I became the advisor to the company.

Another thing, I reckon the edtech industry is quite interesting. Above all, any kind of industry is good. I, personally attracted to fields that can directly impact society, such as healthcare and education. As long as there are people, these industries will strive.

As an experienced leader, what can you say for those tech enthusiasts out there wanting to build their own legacy?

Everyone has their talents and call to life. Not everyone has to be an entrepreneur, I, myself, am still learning. To be entrepreneurs or anything, we cannot only rely on skill or knowledge. People need to have a solid character in order to build something sustainable. Also, there is no such thing as instant success, and success is earned.

Tips Membangun Model Bisnis Berkelanjutan dari Tanihub

Ketika seorang founder membangun startup, pastinya ia ingin membentuk bisnis yang bertahan lama. Untuk mencapai hal itu, diperlukan model bisnis yang berkelanjutan. Namun, pada prosesnya ada banyak sekali faktor, baik internal maupun eksternal, yang kemudian mempengaruhi. Khususnya dalam industri teknologi tanah air yang memiliki dinamika tinggi.

Dalam sesi DSLaunchpad ULTRA, Co-Founder dan CEO Tanihub Pamitra Wineka berbagi pengalamannya ketika proses awal mula pembentukan TaniHub hingga sampai pada model bisnis yang dijalankan saat ini.

Berawal dari sebuah misi sosial untuk membantu petani melariskan dagangan, TaniHub kini telah menjadi agregator untuk petani; dan kini telah terhubung dengan ribuan pengguna.

Berangkat dari pain points

Lima tahun yang lalu, sosok Pamitra yang lebih akrab dipanggil Eka ini memulai proyek sosial bersama para petani. Menurutnya, sektor pertanian berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Ia mulai dengan membantu petani untuk bisa melariskan hasil panen. Dari situ ia menemukan beberapa pain points, yaitu kurangnya edukasi petani terkait produksi serta akses pada permodalan.

“Banyak petani Indonesia yang masih menanam tanpa memiliki perhitungan ke depan untuk hasil produksinya nanti akan di jual ke mana. Akibatnya, mereka kurang dipercaya untuk akses pinjaman modal. Saya lihat teknologi bisa membantu menyelesaikan masalah ini.” ujarnya.

Selain itu, Eka juga menyinggung soal industri agrikultur di Indonesia yang masih fragmented, ada banyak pemain kecil yang menjual hasil produksi yang serupa. Lalu muncul ide sebuah marketplace yang mempertemukan petani dengan pembeli. Dalam hal ini, tantangan datang dari beberapa sektor yang saat itu belum matang dan waktunya yang kurang tepat.

Setelah mempertimbangkan banyak hal, perusahaan memutuskan untuk beralih konsep menjadi agregator, membuat pembagian, menyediakan gudang dan inventorinya. Model bisnis ini terbilang membutuhkan modal yang besar atau asset-heavy, namun Eka yakin selama bisa mencetak trafik dan revenue, maka bisnis akan terus berjalan. “Terkadang, beberapa model bisnis memang harus asset-heavy menjelang pasar semakin matang dan pengguna lebih teredukasi,” tambahnya.

Business model canvas

Dalam merencanakan model bisnis diperlukan strategi, manajemen, maupun sistem yang mempermudah orang-orang di dalamnya untuk bekerja secara efektif dan sesuai tujuan yang dimiliki perusahaan. Satu hal yang penting untuk diterapkan adalah business model canvas, sebuah konsep yang mengandalkan gambar-gambar ide sehingga setiap orang memiliki pemahaman yang sama dan riil terhadap tipe-tipe konsumen mereka, pengeluaran biaya, cara kerja perusahaan dan sebagainya.

Sumber: Global Leadership World

Seperti yang sebelumnya disebutkan, setiap solusi yang dibuat harus bisa menyelesaikan pain points yang ada di masyarakat. Sementara demand dari pasar semakin bertumbuh, dari situ akan lebih mudah untuk menentukan strategi untuk melancarkan revenue. Maka dari itu, penting sekali untuk mulai observasi kebutuhan pasar sebelum mulai memetakan model bisnis. “Kita harus bisa menjadi painkiller instead of vitamins,” sebut Eka.

Terkait sumber revenue, ia juga menyampaikan bahwa dalam menentukan strategi ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Salah satunya adalah penentuan harga, strategi mengambil komisi dari marked up harga sudah umum terjadi. Namun, jangan sampai strategi ini malah membuat produk tidak kompetitif lalu gagal. Perusahaan harus bisa membentuk satu kesatuan, sehingga disparitas harga pun bisa lebih pendek.

Tinjauan yang berkelanjutan

Belajar dari perjalanan bisnis TaniHub, model bisnis bisa berubah sewaktu-waktu atau sering disebut pivot. Selalu ada faktor eksternal bahkan internal yang mempengaruhi operasional bisnis secara keseluruhan. Eka sendiri mengakui bahwa perusahaannya punya tim khusus untuk testing model bisnis yang sudah ada secara regular.

Ada beberapa cara untuk mengetahui bahwa sebuah bisnis model masih efektif atau tidak di dalam pasar. Ketika produk diluncurkan namun tidak ada antusiasme dari pasar menjadi salah satu yang paling sering terjadi pada startup tahap awal. Maka dari itu, harus dilakukan penyesuaian. Dengan dinamika yang tinggi di dunia startup, hal ini harus bisa dilakukan dengan cepat untuk menghindari konsumsi waktu dan biaya yang tidak efisien.

Sebuah perusahaan seharusnya bukan hanya mengenai produk, melainkan bagaimana cara mengeksekusi dan melakukan kegiatan pemasaran yang berarti. Seorang founder juga harus bisa berpikir secara realistis mengenai distribusi, promosi produk, dan komunikasi.

HappyFresh Secures 940 Billion Rupiah Series D Funding, Valuation Exceeds 2.8 Trillion Rupiah

The online grocery marketplace, HappyFresh secures a series D funding worth of $65 million or equivalent to 940 billion Rupiah. The round was led by Naver Financial Corporation and Gafina B.V. Participated also some investors, including Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund and Z Venture Capital.

Previously, HappyFresh announced a series C funding in April 2019 worth of $20 million. Based on DailySocial’s calculations, all the closed rounds has brought the company’s valuation to $200 million.

Regarding the focus of this funding, HappyFresh’s CEO, Guillem Segarra said that his team is working hard to improve the company’s operations in various markets and maintain the company’s quality and safety standards. “We are still at the beginning of the journey and with all the support received, are very excited for the adventures ahead,” he said.

In a previous discussion with DailySocial, HappyFresh Managing Director, Filippo Candrini has revealed that the company’s current focus is to improve the user experience in online grocery shopping using a personal shopper approach. In addition, his team will also continue to carry out local expansion to tier 2 and 3 cities in Indonesia.

“We did not intend to be a super app, but we want to be a super in grocery app for our customers and partners,” Candrini added.

Debuting in Indonesia since 2015, HappyFresh has expanded its business to Malaysia and Thailand. The company claims to have experienced 10 to 20 times traffic growth. In the local market, this service is also available in 11 cities throughout Indonesia, including Greater Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang, Semarang, Makassar, and Bali.

The e-grocery industry is said to be growing rapidly throughout Asia, especially Southeast Asia. The retail market for this industry is reported to have reached $350 billion supported by rapid adoption and fundamental changes in consumer behavior.

“We are seeing major changes in customer behavior; Retention rates and frequency have increased significantly while overall basket size has grown consistently. We attribute this to a major shift in wallet share from offline to online, which will remain,” Guillem said.

Indonesian market still dominated by offline

Despite the increasing penetration of online shopping, the offline market still dominates the online grocery industry in Indonesia. A research from L.E.K Consulting on the online grocery industry revealed that 82% of total food sales are still dominated by traditional markets.

This is in contrast to what happened in China and South Korea where the offline market only accounted for 30% and 19% of total grocery sales in 2019.

Sumber: L.E.K Consulting

However, along with the increasing availability of services in various regions and people who are well educated from popular consumer applications, it is not impossible that the statistics of e-grocery will increase exponentially in the future.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Duitin Perkenalkan Aplikasi Digital untuk Memfasilitasi Daur Ulang Sampah

Di awal bulan Juli 2021, Google for Startup Accelerator mengumumkan 8 lulusan program akselerator pertama di Indonesia. Salah satunya adalah Duitin, sebuah pengembang layanan digital yang memfasilitasi daur ulang, memungkinkan masyarakat dapat meminta pengambilan sampah di rumahnya dan mendapatkan reward.

Berdasarkan data McKinsey&Co dan Ocean Conservancy, Indonesia menempati peringkat kedua sebagai penghasil sampah plastik terbanyak di dunia, yaitu mencapai 63,9 juta ton per tahun. Dari jumlah tersebut, hanya kurang dari 10% yang dapat didaur ulang. Sisanya, berakhir di TPA atau lebih buruk lagi, terbawa arus ke laut. Tanpa aksi yang serius, jumlah sampah plastik yang mencemari laut akan semakin bertambah secara signifikan.

COO Duitin Adijoyo Prakoso mengungkapkan, startupnya berawal dari sebuah misi sosial ke kampung pemulung untuk mengetahui bagaimana cara mereka bertahan hidup serta seperti apa pain point-nya. Dalam kesempatan tersebut, para founder menemukan fakta bahwa pemulung ternyata banyak yang membeli sampah daur ulang dari warung untuk dijual kembali ke pelapak yang kemudian baru dikumpulkan untuk dijual kembali ke pabrik daur ulang

“Lalu kami menyadari bahwa ada banyak proses yang bisa disederhanakan melalui teknologi dalam industri daur ulang yang melibatkan pemulung, rumah tangga serta pabrik daur ulang. ”

Secara sederhana, aplikasi ini dibuat untuk memudahkan pengelolaan sampah daur ulang menggunakan fasilitas penjemputan oleh picker. Penggunaan aplikasi juga dinilai bisa membuat picker bisa lebih terarah dalam mengumpulkan sampah daur ulang. Di sisi lain, Duitin juga sebagai sebuah gerakan untuk memilah, mengumpulkan serta mengelola sampah sehingga bisa mendapatkan ‘kehidupan kedua’ melalui proses daur ulang.

Saat ini terdapat 6 klasifikasi sampah daur ulang yang dapat dikelola melalui Duitin, yaitu plastik, karton, kaca, minyak jelantah, kaleng aluminium, serta kotak multi-layer. “Kami ingin memberi kemudahan juga bagi masyarakat yang ingin mulai memilah sampahnya, maka dari itu, kami juga berusaha untuk tidak mempersulit mereka dengan kategori sampah yang terlalu banyak,” tambah Adijoyo.

Selain itu, dari sisi pemerintah juga terus berupaya untuk mengurangi jumlah sampah. Pemprov DKI Jakarta telah mengeluarkan Pergub No. 77 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah pada Lingkup Rukun Warga. Melalui Pergub ini, rumah tangga diwajibkan untuk mengelola sampah. Sehingga, sampah tak langsung dibuang ke bank sampah.

Sampah daur ulang yang telah dijemput, akan dibersihkan serta dipilah berdasarkan jenis, warna dan bahannya, kemudian dikirimkan ke pabrik pencacah. Hasil pencacahan dapat diproses kembali menjadi barang baru seperti karung atau botol plastik. Selain itu, bisa juga diolah sebagai bahan untuk membuat biji plastik, benang, kain bahkan untuk diekspor.

Duitin kontributor yang berhasil menjual sampahnya akan mendapatkan reward dari picker berupa Duitin Coin yang bisa digunakan untuk membeli produk dalam platform.  Setiap transaksi yang terjadi dalam platform juga akan diberikan poin. Selain itu, kontributor juga bisa mencairkan Duitin Coin ke rekening bank. Saat ini Duitin telah bekerja sama dengan beberapa pihak seperti  LinkAja, serta sedang dalam proses integrasi dengan platform DANA.

Dukungan terhadap sektor informal

Selain berkontribusi untuk bumi dan alam yang lebih baik, Duitin juga ingin turut berpartisipasi dalam meningkatkan kesejahteraan dan ekonomi bagi sebagian lapisan masyarakat. Timnya mengaku berkomitmen memberi dampak positif bagi lingkungan sekaligus memiliki visi untuk menaikkan taraf hidup dan citra profesi bagi para picker di mata masyarakat.

Sektor informal, terkhusus dalam industri ini para pemulung, mayoritas adalah orang-orang yang unbanked yang tidak terjangkau produk perbankan. Duitin melihat hal ini sebagai salah satu yang juga menjadi pain points, sektor yang paling membutuhkan dukungan finansial, malah tidak mendapat akses ke produk finansial.

Salah satu objektif yang ingin dicapai oleh Duitin dengan mempekerjakan sektor informal dalam aplikasinya adalah untuk mereka bisa mulai membangun profil finansialnya. Hal ini diharapkan bisa digunakan sebagai credit scoring ketika mereka butuh akses terhadap institusi finansial untuk bisa bertahan dalam ketidakpastian ekonomi saat ini.

Dari sisi pendanaan, saat ini Duitin masih beroperasi secara bootstrap. Namun, Adijoyo turut menyampaikan bahwa timnya saat ini tengah dalam proses fundraising. Tidak disebutkan target pendanaan yang diincar, tapi mereka berharap proses penggalangan dana ini bisa tercapai pada Q4 2021.

Application Information Will Show Up Here

HappyFresh Kantongi Pendanaan Seri D 940 Miliar Rupiah, Tembus Valuasi 2,8 Triliun Rupiah

Pengembang layanan marketplace online grocery HappyFresh berhasil meraih pendanaan seri D senilai $65 juta atau setara dengan 940 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Naver Financial Corporation dan Gafina B.V. Beberapa investor yang turut berpartisipasi adalah Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund dan Z Venture Capital.

Sebelumnya, perusahaan terakhir kali mengumumkan pendanaan seri C pada bulan April 2019 senilai $20 juta.  Menurut perhitungan tim DailySocial, dari keseluruhan putaran yang berhasil ditutup HappyFresh membawa valuasi perusahaan mencapai $200 juta.

Terkait fokus pendanaan kali ini, CEO HappyFresh Guillem Segarra mengungkapkan bahwa timnya sedang berusaha keras untuk meningkatkan operasional perusahaan di berbagai pasar dan mempertahankan standar kualitas dan keamanan perusahaan. “Kami masih berada di awal perjalanan dan bersama semua dukungan yang diterima, sangat bersemangat untuk menghadapi petualangan ke depannya,” ujarnya.

Dalam diskusi sebelumnya bersama DailySocial, Managing Director HappyFresh, Filippo Candrini juga telah mengungkapkan bahwa fokus perusahaan saat ini adalah untuk bisa meningkatkan pengalaman pengguna dalam berbelanja bahan makanan daring menggunakan pendekatan personal shopper. Di samping itu, timnya juga akan terus menjalankan ekspansi lokal ke kota-kota tier 2 dan 3 di Indonesia.

“Kami tidak berniat untuk menjadi super app, namun kami ingin menjadi aplikasi super dalam grocery untuk pelanggan dan mitra kami,” tambah Candrini.

Hadir di Indonesia sejak tahun 2015, HappyFresh telah mengembangkan bisnisnya ke Malaysia dan Thailand. Perusahaan mengklaim telah mengalami pertumbuhan trafik sebesar 10 hingga 20 kali lipat. Di pasar lokal, layanan ini juga sudah tersedia di 11 kota di seluruh Indonesia, termasuk Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Malang, Semarang, Makassar, dan Bali.

Industri e-grocery disebut meningkat pesat di seluruh Asia khususnya Asia Tenggara. Pasar ritel untuk industri ini dilansir telah mencapai $350 miliar didukung dengan adopsi yang cepat dan perubahan mendasar dalam perilaku konsumen.

“Kami melihat perubahan besar dalam perilaku pelanggan; tingkat retensi dan frekuensi telah meningkat secara signifikan sementara basket size secara keseluruhan telah tumbuh secara konsisten. Kami mengaitkan ini dengan perubahan besar dalam pangsa dompet dari offline ke online, yang akan tetap ada,” ujar Guillem.

Di Indonesia, sistem offline masih mendominasi

Namun, di balik angka penetrasi belanja online yang meningkat, pasar offline masih mendominasi industri bahan makanan di Indonesia. Sebuah riset dari L.E.K Consulting tentang industri online grocery mengungkapkan bahwa 82% total penjualan bahan makanan masih dikuasai oleh pasar tradisional.

Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Tiongkok dan Korea Selatan di mana pasar offline hanya menyumbang 30% dan 19% pada total penjualan bahan makanan di tahun 2019.

Sumber: L.E.K Consulting

Namun demikian, seiring meningkatnya ketersediaan layanan di berbagai wilayah dan masyarakat yang teredukasi baik dari aplikasi konsumer populer, bukan tidak mungkin kalau statistik e-grocery akan meningkat eksponensial di kemudian hari.

Application Information Will Show Up Here

Membahas Strategi Bisnis dan Metrik Pertumbuhan Startup ala LinkAja

Menjalankan bisnis dalam situasi yang serba tidak pasti ini tentu tidak mudah. Pasalnya ada banyak perubahan yang terjadi dan mengharuskan perusahaan untuk bisa cepat beradaptasi. Haryati Lawidjaja selaku CEO LinkAja mengakui perusahaannya sempat tergelincir ketika pembatasan sosial terjadi di mana-mana; dan sektor transportasi, salah satu segmen terkuat LinkAja, dipaksa untuk mengurangi operasi.

Hal ini tidak serta-merta membuat timnya patah arang, justru semakin membangkitkan kreativitas untuk bisa menghadirkan solusi yang bisa menjembatani permasalahan yang terjadi saat itu. Sejalan dengan fokus perusahaan yang ingin menggarap pasar transaksi terkait kebutuhan esensial sehari-hari untuk kota-kota tier 2 dan 3, LinkAja memutuskan untuk menginisiasi digitalisasi pasar tradisional di Indonesia.

Awal karier Fey

Memulai karier sebagai financial auditor, Haryati atau yang akrab disapa Fey ini menemukan bahwa banyak sekali teknologi baru yang lahir dalam industri telekomunikasi. Setelah menjajal beberapa perusahaan, ia memilih berlabuh di LinkAja untuk membangun solusi pembayaran digital untuk bisa meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia.

Menjalankan bisnis startup di bawah naungan BUMN menjadi tantangan tersendiri untuk LinkAja. Kultur startup sering dinilai tidak bersahabat dengan birokrasi pemerintahan. Di satu sisi, startup identik dengan kecepatan dan agility, hal ini mencakup individu serta sistemnya. Birokrasi, walau sering dianggap tidak efisien, sebenarnya memiliki tujuan yang baik. Selama objektif keduanya tercapai, tidak perlu proses yang panjang dan bertele-tele. Tantangannya adalah bagaimana bisa menyeimbangkan agility dan birokrasi.

“Startup merupakan organisasi yang mengedepankan kreasi dan inovasi, sementara korporasi memiliki keunggulannya sendiri dalam hal scalling up dan sustainability. Saya berusaha menggabungkan keduanya. Apa yang saya pelajari tentang sustainability, bersama dengan tim yang saling melengkapi. Kami berusaha agar kreasi/inovasi yang dilakukan saat ini bisa scale up dan sustain,” ujar Fey.

Metrik pertumbuhan yang ideal

Ada banyak hal yang bisa menjadi tolak ukur pertumbuhan suatu perusahaan, dan bisa jadi berbeda untuk masing-masing sektor. Secara umum, ada dua metrik utama yang bisa menjadi acuan untuk startup, dari sisi bisnis dan produk. Fey mengungkapkan bahwa di tahap awal, biasanya pertumbuhan diukur dari segi kuantitas atau volume, seperti total pengguna aktif, GDP, GMV dan sebagainya untuk melihat efektivitas strategi yang digunakan.

Seiring matangnya strategi perusahaan, metriknya akan mulai merambah area kualitatif, seperti lifetime value. Bagaimana pengguna menilai kinerja perusahaan menjadi salah satu faktor yang sangat mempengaruhi. Loyalitas menjadi sebuah aset nyata. Meskipun tidak bisa dimungkiri, revenue menjadi satu aspek yang esensial dalam mengukur pertumbuhan perusahaan. “Namun, jangan sampai kita terjebak dengan volume saja,” tegas Fey.

Terkait produk, LinkAja sebagai perusahaan dengan customer-centric value, mengakui bahwa timnya lebih fokus pada solusi lebih dulu daripada produk. Bukan berarti abai, namun ketika memiliki target pasar masyarakat di kota-kota tier 2 dan 3, teknologi tidak akan menjadi apa-apa jikalau bukan sebuah solusi. “Kalau belum apa-apa udah ngomongin produk canggih, orang gaj akan ngerti dan jadi takut duluan,” timpalnya.

Salah satu kunci dari pertumbuhan juga adalah kolaborasi. Fey menilai kolaborasi bisa menciptakan kesempatan yang infinite atau tak terhingga. Selain itu, hal ini juga bisa dilakukan untuk mengakselerasi pertumbuhan bisnis perusahaan tanpa harus menambah resource dan di satu sisi menghemat cost. Baginya, kompetisi sudah menjadi hal usang, saat ini kalau tidak kolaborasi akan ketinggalan.

Strategi pemasaran

Berbicara mengenai marketing atau pemasaran, masih ada miskonsepsi yang sering terjadi. Salah satunya, banyak yang masih berpikir kalau advertising adalah marketing, padahal itu hanyalah sebagian kecil. Marketing adalah bagaimana menjangkau konsumer yang tepat dengan pendekatan yang tepat di waktu yang tepat. Untuk bisa mencapai hal ini, kita harus tau targetnya siapa kebutuhannya apa, dari situ baru membuat solusi yang tepat.

Ada baiknya perusahaan dari awal sudah menentukan visi, misi dan fokusnya, dalam kasus LinkAja adalah mayoritas tier menengah ke bawah. Lalu identifikasi kesulitan mereka, dalam hal ini ada pada akses ke informasi yang terbatas. Sebelum mengembangkan solusi, disarankan untuk melakukan riset mendalam. Perhatikan media apa yang sering mereka lihat, misalnya Facebook lalu menetapkannya sebagai salah satu saluran. Saat ini, media sosial merupakan people based marketing yang memungkinkan pendekatan berbeda untuk target pasar yang berbeda pula. Selain itu, relevansi menjadi penting untuk digital marketing yang efektif dan efisien.

Dalam hal akuisisi pengguna, tidak ada standar yang ‘saklek‘ karena masing-masing industri memiliki pasar yang berbeda. Selain itu, yang tidak kalah penting dari menggaet pengguna adalah mempertahankannya. Startup di tahap awal akan memiliki strategi yang berbeda dengan yang sudah tahap lanjut. Satu hal yang pasti adalah semua harus tetap dimonitor dan ditingkatkan.

Salah satu keunggulan platform digital adalah semua aktivitas memiliki jejak. Ada banyak sekali analisa yang bisa dilakukan. Terkait conversion rate, semua akan kembali lagi pada data. Selalu gunakan data. Conversion rate dan user retention merupakan dua hal yang membutuhkan pembelajaran berkelanjutan. Tidak ada satu pil ampuh untuk bisa mengatasi semuanya, karena seiring situasi yang berubah makan kebiasaan pun ikut berubah.

Smart investment

Salah satu strategi yang populer dilakukan untuk menggaet pengguna berikut mempertahankannya adalah dengan “bakar uang”. Menurut Fey, kita harus terlebih dulu meluruskan definisi “bakar uang” ini. Ia menilai, strategi ini dibutuhkan dalam hal investasi. Indonesia sedang bertumbuh dan kita perlu melakukan investasi sebagai modal untuk bisa memenangkan tahap selanjutnya.

Lain halnya dengan predatory marketing. Baginya, strategi “bakar uang” dengan objektif seperti ini tidak mengedukasi pengguna. Bukan berarti promosi itu tidak penting, namun itu bukanlah segalanya. Ia menyarankan bisnis untuk mengatur limitasi terkait strategi “bakar uang” ini sejak awal. Tentukan KPI keberhasilan dan kegagalannya dan pastikan objektifnya jelas.

Seperti yang sebelumnya dijelaskan, data menjadi sebuah investasi yang sangat berharga. Dari situ bisa direkomendasikan layanan seperti apa yang dibutuhkan dan pergerakan perusahaan bisa jadi lebih terarah. Salah satu contoh smart investment adalah pada data analytics. Data sendiri, meskipun banyak akan jadi useless kalau tidak bisa diolah dan menghadirkan insight.

Memetakan Posisi Indonesia di Pertumbuhan Industri Podcast Global

Di antara industri konten kreatif yang terus melejit selama beberapa tahun terakhir, salah satu yang menjadi rising star adalah konten audio podcast. Sebuah riset bertajuk “Global Podcasting Market by Genre, by Formats, by Region, Industry Analysis and Forecast, 2020 – 2026” menyebutkan bahwa ukuran pasar podcast global diperkirakan akan mencapai $41,8 miliar pada tahun 2026, mengalami pertumbuhan pasar sebesar 24,6% CAGR dalam periode tersebut.

Secara sederhana, podcast adalah file audio digital yang dapat diunduh pengguna — atau di beberapa aplikasi, streaming — dan dengarkan melalui internet, biasanya tersedia sebagai seri yang dapat dengan mudah diterima oleh pendengar. Meskipun podcast sangat beragam dalam hal konten, format, nilai produksi, gaya, dan panjang, semuanya didistribusikan melalui RSS, atau Really Simple Syndication, format standar yang digunakan untuk menerbitkan konten. Dalam hal podcast, RSS berisi semua metadata, karya seni, dan konten acara.

Menurut beberapa sumber, podcasting bermula dari blogposting yang dikembangkan oDavid Winer dan Christopher Lydon pada awal 2000-an. Winer membuat kanal RSS yang mengumpulkan rekaman audio wawancara antara mantan wartawan NPR, Christopher Lydon, dengan ahli teknologi dan politikus. Dalam kurun waktu yang sama, Adam Curry memperkenalkan program Daily Source Code yang saat itu didistribusikan lewat iPod.

Hal ini menarik minat seorang jurnalis Ben Hammersley yang kemudian membahas animo masyarakat terkait maraknya penyebaran konten audio dan secara tidak sengaja menemukan terminologi podcasting [singkatan dari iPod dan broadcasting]. Pada masa awalnya, pasar ini berfokus pada audiens khusus atau niche dan topik individu — seperti televisi kabel atau blog — berbeda dengan radio yang ditujukan untuk audiens massal, jadi harus memiliki konten dengan daya tarik luas.

Image
Sumber: Website Andreessen Horowitz

Pada tahun 2005, Apple merilis versi 4.9 yang mendukung distribusi podcast dalam semua platformnya. Ketika itu, Steve Jobs mengatakan, “Podcasting adalah generasi radio berikutnya, dan pengguna sekarang dapat berlangganan lebih dari 3.000 Podcast gratis dan setiap episode baru secara otomatis dikirimkan melalui Internet ke komputer dan iPod mereka.”

Apple Podcast memainkan peran penting dalam pengembangan industri dan tetap mendominasi tangga aplikasi untuk mendengarkan. Namun, pangsa pasarnya telah turun dalam beberapa tahun terakhir, dari lebih dari 80% menjadi 63%. Hal ini terlihat wajar mengingat semakin banyak platform yang mulai mengakomodasi distribusi podcast seperti Google Podcast dan Spotify.

Saat ini, orang-orang telah semakin banyak menghabiskan waktu untuk mendengarkan podcast. Menurut kompilasi portal data dan statistik, Statista, 37 persen orang dewasa di Amerika Serikat (AS) telah mendengarkan podcast, angka ini meningkat lebih dari tiga kali lipat selama satu dekade terakhir.

Konsumsi audio podcast di AS tahun 2008-2020. Sumber: Statista

Lahir dan berkembang di pasar AS, popularitas podcast menyebar dengan cepat ke seluruh dunia. Industri podcast di Tiongkok disebut telah 23x lebih besar dari Amerika karena satu alasan utama: Podcast di Tiongkok sebagian besar memiliki model bisnis langganan berbayar, sementara podcast di Amerika hampir semuanya gratis dan hanya didukung iklan.

Sebagai negara dengan industri podcast yang terbilang masih “bayi”, kiblat mana yang sekiranya pas untuk pasar Indonesia?

Model bisnis podcast

Dilansir dari HBR, model bisnis yang baik harus bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ‘Siapa pelanggannya? Dan apa nilai yang ditawarkan?’ Lalu hal tersebut juga harus menjawab pertanyaan mendasar: Bagaimana kita menghasilkan uang dalam bisnis ini? Apa logika ekonomi mendasar yang menjelaskan bagaimana perusahaan dapat memberikan nilai kepada pelanggan dengan biaya yang sesuai?”

Dalam sebuah utas di Twitter, Co-Founder dan partner Village Global, sebuah VC tahap awal yang berbasis di US, Erik Torenberg menjabarkan fakta-fakta menarik terkait monetisasi dalam industri podcast. Erik mengungkap beberapa alasan industri ini masih kesulitan dalam menemukan sumber pendapatan adalah karena monetisasi tidak bisa dilakukan pada saluran distribusi yang paling besar [Apple], pemasaran ekor panjang [long-tail marketing] yang belum mencukupi, serta kelengkapan data yang belum tersedia dan perangkat “targeting” yang belum canggih.

Monetisasi bisnis podcast saat ini layaknya internet pada masa awal, masih baru dan belum stabil. Seiring meningkatnya jumlah pendengar, podcast bisa mulai menghasilkan pendapatan melalui iklan yang masuk. Namun, terkadang iklan saja tidak cukup. Dalam utasnya, Erik turut menyampaikan penggambaran model bisnis potensial yang dapat dipelajari dari Tiongkok.

Yang pertama dan masih jadi yang utama adalah iklan atau sponsor. Meskipun dinilai efektif dan dengan cara yang unik (karena dapat menyasar demografi serta geografi yang nyaris tanpa batas), terkadang iklan saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan produksi.

Selain itu, ada donations yang memungkinkan pembuat konten mendapatkan revenue melalui donasi lewat pihak ketiga dari para pendengarnya. Salah satu platform yang familiar digunakan di Indonesia, Anchor, memungkinkan pendengar memberikan donasi kepada pembuat konten hingga $10/bulan.

Lalu ada subscription dan a la carte purchases. Model berlangganan premium ini populer di Tiongkok. Salah satu platform audio konsumen yang sudah mencapai status unicorn, Ximalaya, memiliki fitur berlangganan seharga $3 per bulan yang memungkinkan pengguna mengakses lebih dari 4000 e-book dan lebih dari 300 kursus audio atau podcast premium. Konten audio juga tersedia a la carte, mulai dari $0,03 per episode, atau mulai dari $10 hingga $45 untuk kursus audio berbayar.

Menurut observasi penulis, dua skema pertama (iklan dan berlangganan), menjadi konsep yang paling memungkinkan untuk diterapkan jaringan pembuat konten tanpa platform independen.

Ekosistem yang mulai matang

Selama lima tahun terakhir, aplikasi audio khusus di China telah berkembang pesat. Faktanya, pengguna pasar audio online tumbuh lebih dari 22% di China pada tahun 2018, meningkat lebih cepat daripada aplikasi video atau membaca. Melihat China dapat menggambarkan model bisnis potensial — sebagian melalui mengadopsi pendekatan audio-sentris daripada mengikuti definisi podcasting yang terbatas.

Ximalaya diketahui telah memiliki 70 persen hak buku audio atas judul buku terlaris di China dan baru-baru ini melakukan investasi di media Himalaya yang berbasis di San Francisco. Didukung Tencent, Ximalaya telah membangun platform dan komunitas berbasis audio, Ximalaya FM, dengan rata-rata 250 juta pengguna bulanan. 146 juta di antaranya mendengarkan konten audio perusahaan melalui perangkat internet-of-things (IoT) dan perangkat pihak ketiga lainnya.

Per Maret 2020, Ximalaya berhasil menempati peringkat kedua setelah Apple sebagai platform yang paling sering digunakan untuk mendengarkan podcast di Tiongkok, mengungguli Spotify yang berada di peringkat ke-6.

Platform yang paling sering digunakan untuk mendengarkan podcast di Tiongkok per Maret 2020. Sumber: Statista

Di Indonesia, industri ini kian naik daun ketika Spotify membuka kanal khusus yang mempermudah siapa saja untuk mengunggah konten podcast. Beberapa nama yang sudah tidak asing seperti Rapot, Podkesmas, atau Rintik Sedu telah bertengger di kategori podcast terpopular di Spotify.

Podcast sebagai industri kreatif telah berkembang sedemikian rupa, variasi konten dan fleksibilitas menjadi dua alasan besar mengapa konsumen mendengarkan konten audio berbasis digital ini.

Salah satu platform podcast lokal yang juga ikut bersaing adalah Inspigo atau Inspiration on the Go yang belum lama ini dikabarkan telah disuntik dana oleh Telkomsel Mitra Inovasi (TMI). Berikut gambaran beberapa platform yang sering digunakan untuk mendengarkan podcast di Indonesia serta strategi monetisasinya.

Aplikasi Layanan Monetisasi
Spotify Distribusi musik dan podcast Iklan dan akses Spotify premium mulai dari Rp2,500 per hari hingga Rp79,000 per bulan
Apple Podcast Distribusi podcast Gratis (Khusus pengguna iOS)
Soundcloud Distribusi musik dan podcast Iklan dan akses premium mulai dari Rp36,000 hingga Rp174,000 per bulan
Pocket Casts Rekaman dan distribusi podcast Akses premium mulai dari Rp14,000 per bulan
Google Podcast Distribusi podcast Gratis
Anchor Rekaman dan distribusi podcast Gratis
NOICE Distribusi musik, podcast, radio dan audiobook Gratis
Inspigo Distribusi podcast, audio playbook Akses premium mulai dari Rp10,000 per 7 hari hingga Rp300,000 per 12 bulan

Pandangan pemain lokal

Pertumbuhan bisnis podcast yang semakin terlihat turut menarik minat investor lokal maupun global. Namun, mengingat tantangan monetisasi, pertanyaannya adalah apakah startup dapat membangun jalur yang tepat untuk menjadi bisnis yang berkelanjutan?

Aryo Ariotedjo, Co-Managing Partner Absolute Confidence, yang telah masuk sebagai seed investor di Podkesmas, mengungkapkan, “Dengan maraknya konten di Indonesia seperti YouTube, podcast merupakan industri yang baru berkembang 2 tahun terakhir seperti halnya YouTube waktu di tahun 2014. Menjadi pendukung para podcasters di awal-awal berkembangnya industri ini, dapat mampu mendongkrak talent-talent tersebut menjadi professional dan dapat me-monetize lebih baik lagi dan menciptakan content yang memang dicari berdasarkan data yang ada (data driven content creation).”

Di Indonesia sendiri, layanan podcast yang dari awal sudah yakin dengan model bisnisnya adalah Inspigo. Mereka membangun konten dengan tujuan konsumsi (pegawai) perusahaan. Sementara podcaster yang lain masih mencari popularitas dan pendengar setia di platform seperti Spotify dan Apple Podcast.

CIO Mugi Reksa Abadi Grup dan juga angel investor Michael Tampi menyatakan optimismenya dengan mengatakan, “Kita masih dalam tahap mencari format paling tepat, namun pemenang-pemenangnya sudah mulai terbentuk.”