Miliki Lebih dari 1000 Mitra Jadi Modal Sticar Perluas Cakupan Bisnis

Sticar memulai debutnya sejak November 2016 sebagai salah satu startup pionir di lanskap car advertising di Indonesia. Dari rilis terbaru yang dikirimkan kepada DailySocial, Sticar menyatakan bahwa saat ini pihaknya telah menjalankan kampanye iklan di lebih dari 1000 mitra pemilik mobil. Meneruskan tren positifnya setelah berhasil mendongkrak popularitas di Bandung dan Bali, kini Sticar memperluas cakupannya ke kota lainnya, mulai dari Jabodetabek, Yogyakarta, Surabaya, Medan, dan Palembang.

Dari pemaparan Founder & CEO Sticar Gede Rio Darmawan, momentum libur Ramadan dan lebaran menjadi faktor pemicu meningkatnya minat pemilik mobil dengan car advertising. Dari sisi brand selain adanya kebutuhan untuk memperkuat promosi, juga mulai memberikan kepercayaan lebih terhadap iklan di luar ruangan seperti yang ditawarkan Sticar. Pendapatan yang didapat mitra yang mobilnya dipasang iklan bisa jadi menjadi faktor pendongkrak juga atas peningkatan capaian tersebut.

“Tantangan kami sekarang adalah bagaimana bisa mendapatkan mitra driver yang tidak hanya berdomisili di Jakarta namun juga di kota-kota lainnya. Saat ini kami tengah aktif menjaring masyarakat seluruh Indonesia untuk bergabung dengan Sticar untuk bersama-sama menciptakan pertumbuhan ekonomi bagi Indonesia tentunya,” ujar Rio menjelaskan strategi awal dari ekspansinya.

[Baca juga: Hadirnya StickEarn, Klana, dan Menjamurnya Digitalisasi Bisnis “Car Advertising”]

Strategi lain yang digencarkan untuk suksesi ekspansi Sticar adalah optimasi media sosial untuk meningkatkan awareness. Dalam bisnisnya Sticar memiliki dua target audience, yakni pengiklan dan mitra driver. Diungkapkan tim Sticar pendekatan ke masing-masing akan sangat berbeda. Misalnya untuk pengiklan, pihaknya harus menyusun konten-konten menarik yang berhubungan dengan brand dan pada nantinya mereka akan tahu kalau Sticar merupakan salah satu solusi untuk beriklan.

Bersaing dengan pemain baru di bisnis car advertising

Melihat potensinya yang sangat besar sebagai alternatif dari model iklan yang sudah ada didukung teknologi digital, car advertising dinilai akan memiliki peran sentral dalam publikasi brand hingga beberapa tahun ke depan. Hal tersebut membuat beberapa startup hadir bersaing langsung dengan Sticar. Menyikapi hal tersebut, Sticar memiliki strategi khusus, salah satunya dengan memaksimalkan layanan after sales berupa laporan komprehensif pada dashboard aplikasi.

“Selain itu kami menawarkan brand activation kepada pengiklan. Setidaknya 90 persen mitra driver yang tergabung adalah mereka-mereka yang juga berprofesi sebagai driver taxi online. Peluang ini kami manfaatkan agar pesan yang ingin disampaikan pengiklan langsung sampai ke target mereka. Berbagai bentuk brand activation seperti pemberian voucher promo, adlips, maupun product knowledge juga pernah kami lakukan,” jelas Public Relation Manager Sticar Teuku Hidayatul Awwalin.

[Baca juga: Wrapmobil Ramaikan Persaingan Bisnis “Car Advertising”]

Kerja sama B2B juga turut dijalin untuk menguatkan posisi Sticar. Salah satu kerja sama yang baru dijalankan oalah bersama Marvons Media Utama. Marvons sendiri merupakan salah satu pemain besar dalam dunia advertising. Tujuannya untuk memudahkan Sticar dalam menggaet klien potensial dari brand besar yang juga bekerja sama dengan Marvons.

Inovasi produk juga menjadi konsentrasi dalam bisnis

Sejak peluncuran awalnya, Sticar telah merilis beberapa pembaruan pada sistem yang dimiliki. Salah satunya, kini calon mitra driver dapat melihat kampanye baru yang akan berjalan di Sticar beserta detail limit kuota pada tiap kampanye. Selain itu, pada aplikasi sudah terdapat menu Redeem. Redeem adalah suatu menu untuk melakukan pencairan benefit bagi para mitra driver yang telah menjalankan kewajibannya sesuai masa kontrak yang telah disepakati.

“Mitra driver kini juga dapat melihat kontrak mereka langsung di aplikasi. Sebelumnya, kontrak kerja sama mereka dapatkan dalam bentuk hardcopy. Namun saat ini mereka dapat melihat kontrak tersebut langsung dari aplikasi Sticar,” ujar Teuku.

Untuk tahun 2017 ini, Sticar mengincar customer retention. Pihaknya fokus pada peningkatan layanan pengiklan seperti ketepatan kampanye mulai dari pengajuan desain, waktu pemasangan, berjalannya kampanye, hingga pelaporan. Kemudian tim layanan pelanggan juga menjadi concern Sticar di tahun ini untuk mendukung incarannya. Terkait ekspansi, Sticar menargetkan melebarkan sayap hingga ke 20 kota lainnya.

Application Information Will Show Up Here

Melalui Aplikasi Berbasis “Lending Robot”, TunaiKita Targetkan Transaksi 40 Miliar Rupiah di 2017

TunaiKita, sebagai startup digital bagian Wecash Global, mengumumkan peluncuran sebuah aplikasi berupa “lending robot” –sebuah istilah untuk sistem layanan investasi otomatis peminjaman peer-to-peer—untuk layanan pinjaman tanpa agunan. Di awal peluncurannya, layanan tersebut baru tersedia untuk pengguna di Jabodetabek. TunaiKita mengungkapkan secara bertahap pihaknya akan segera berekspansi ke wilayah lainnya.

Sebelumnya startup dengan nama legal PT Digital Tunai Kita tersebut telah merilis versi beta dari aplikasinya sejak bulan Mei 2017 lalu. Sampai saat ini lebih dari 30 ribu pengguna ponsel pintar telah mengunduh aplikasi tersebut. Salah satu keunggulan yang ingin dihadirkan aplikasi ini adalah proses pengajuan peminjaman yang ringkas dengan pengalaman pengguna yang sederhana.

Untuk melakukan pengajuan pinjaman, semua proses dilakukan menggunakan aplikasi. Dimulai dengan menentukan besaran pinjaman serta jangka waktu, kemudian melakukan scan, foto diri dan pelengkapan pemberkasan lainnya, hingga pada akhirnya proses analisis dan persetujuan peminjaman.

TunaiKita ingin mencapai target transaksi pinjaman hingga 40 miliar rupiah hingga akhir tahun 2017 ini. Salah satu cara yang ditempuh untuk mengakselerasi pertumbuhan transaksi ialah dengan merilis aplikasi versi iOS TunaiKita yang tengah dalam proses pengembangan. Harapannya mereka dapat menjangkau lebih banyak segmentasi pasar pengguna ponsel pintar.

“Saya mendapat informasi bahwa credit gap di Indonesia cukup mencengangkan di angka $80 miliar per tahun, jadi rencana kami mencapai Rp 40 miliar pinjaman hanya akan menutupi 1/5000 [seperlima ribu] kekurangannya. Tetap kita harus memulai ini dari mana pun. Saya berharap untuk bekerja lebih erat dengan partner institusi keuangan untuk berbuat lebih banyak ke depannya,” ujar CEO TunaiKita James Chan.

Gerak cepat co-founder untuk memaksimalkan momentum

TunaiKita didirikan oleh dua orang Co-Founder, yakni James Chan dan Andry Huzain. James memiliki pengalaman karier di bidang modal ventura dan wirausaha. Secara paralel James saat ini juga menjabat sebagai CEO Wecash Asia Tenggara dan Chief Strategy Officer Wecash Group. Sementara rekannya Andry yang bertindak sebagai COO TunaiKita sebelumnya berpengalaman di beberapa perusahaan lokal, seperti MNC Group, Detikcom, dan Lazada. Jajaran komisaris diisi Managing Director PT Kresna Graha Investama dan Group CEO Wecash.

“Enam bulan terakhir merupakan masa-masa yang dinamis untuk menjawab semua tantangan. Mulai dari proses desain, pengembangan dan pengujian aplikasi Android, hingga pengembangan aplikasi Loan Management System dari nol, serta menyiapkan tim operasi hingga siap melayani pelanggan dalam waktu sekitar 13 minggu saja. James dan saya beruntung berkesempatan memimpin tim yang luar biasa,” ungkap COO TunaiKita Andry Huzain.

Tim TunaiKita saat ini terdiri dari 34 orang dengan basis kantor di kawasan Setiabudi Atrium. Untuk bergerak cepat, selain pengembangan aplikasi, saat ini TunaiKita mengaku tengah agresif mengembangkan tim di semua lini. Dari traksi yang ada sejak peluncuran beta, pertumbuhan per bulannya diklaim mencapai 30% dari sisi pelanggan. TunaiKita benar-benar ingin menjadi Wecash-nya Indonesia.

Wecash sendiri di Tiongkok menjadi salah satu lembaga keuangan digital yang mumpuni. Saat ini pihaknya mengklaim telah memiliki lebih dari 100 juta nasabah dan bekerja sama dengan 30 lembaga keuangan seperti bank, multi-finance dan peer-to-peer platform. Induk usaha TunaiKita ini didirikan sejak tiga tahun lalu, dan saat ini telah membukukan arus pinjaman $7 miliar. Sistem yang diadaptasi dalam TunaiKita sama dengan yang digunakan WeCash.

Application Information Will Show Up Here

Marketplace P2P Lending Investree Ekspansi ke Jawa Tengah

Investree, startup penyedia marketplace peer-to-peer (P2P) lending hari ini meresmikan ekspansi bisnisnya ke wilayah Jawa Tengah. Untuk memantapkan langkah ini, Investree juga baru saja meresmikan kantor perwakilan di Kota Semarang.

Disampaikan Co-Founder & CEO Investree Adrian Gunadi, ekspansi ke Jawa Tengah bukan tanpa alasan. Berdasarkan data dari BPS Jateng, terdapat peningkatan jumlah UMKM sebanyak lebih dari 40 ribu dan hal tersebut merupakan potensi yang besar untuk dieksplorasi. Seperti diketahui bahwa salah satu fokus Investree ialah memberikan pinjaman bagi UMKM di Indonesia.

“Hadirnya kantor perwakilan Investree yang berlokasi di Semarang akan memudahkan kami dalam menjangkau calon borrower yang mayoritas adalah pegiat UMKM di Jawa Tengah dan sekitarnya, sehingga transaksi dapat berjalan lebih efektif dan efisien,” ujar Adrian.

[Baca: Investree Segera Ekspansi ke Vietnam dan Luncurkan Pembiayaan Syariah]

Langkah serius untuk mengakomodasi pasar UMKM di Indonesia dilakukan pasca Investree resmi terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak bulan Mei 2017 lalu. Investree dinyatakan terdaftar sebagai Penyelenggara Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dan diatur dalam administrasi Direktorat Kelembagaan dan Produk Industri Keuangan Non-Bank (IKNB).

“Seluruh aktivitas atau transaksi pinjam meminjam di Investree dilakukan secara online, khususnya bagi lender. Setiap tahapan mulai dari registrasi, melihat daftar pinjaman di marketplace, hingga mentransfer pendanaan dijalankan melalui situs Investree. Untuk pengelolaan dana, kami juga telah bekerja sama dengan bank rekanan Danamon dalam hal sistem manajemen kas berupa fasilitas automatic payment dan automatic posting atau yang biasa disebut dengan host-to-host service, sehingga mempercepat proses pemberian pinjaman kepada borrower,” imbuh Adrian.

Saat ini Investree memiliki dua produk unggulan, yakni Pinjaman Bisnis (Business Loan) dan Pembiayaan Karyawan (Employee Loan). Pinjaman Bisnis adalah modal kerja untuk memperlancar arus kas (cashflow) dengan menjaminkan tagihan atau invoice. Sedangkan Pembiayaan Karyawan adalah pinjaman serbaguna yang diberikan kepada karyawan yang bekerja di perusahaan yang bekerja sama dengan Investree.

[Baca juga: Investree: Tingkat Kepercayaan Konsumen terhadap Bisnis “P2P Lending” Mulai Meningkat]

Sampai dengan saat ini, Investree berhasil membukukan catatan total fasilitas pinjaman sebesar Rp 237 Miliar, nilai pinjaman tersalurkan sebesar Rp 187 Miliar, dan nilai pinjaman lunas sebesar Rp 144 Miliar dengan tingkat pinjaman gagal bayar atau default 0%. Kebanyakan peminjam di Investree masih merupakan pemain bisnis kecil dan menengah dari kategori kreatif.

Hadirnya Amazon di Pasar Asia Tenggara

Kabar tentang rencana ekspansi Amazon ke Asia Tenggara sudah mulai terdengar sejak tahun lalu. Rencana tersebut menguat pasca Alibaba secara resmi mengakuisisi Lazada. Dari rencana awal yang sempat terendus, Amazon memang menargetkan untuk melakukan proses ekspansi Asia Tenggara secara berangsur, dengan estimasi dua tahun. Memulai di Singapura, lalu ke negara lainnya.

Rencana tersebut kini makin gamblang, Amazon dikabarkan akan membuka layanannya di Singapura tidak lama lagi. Seperti yang diinformasikan TechCrunch, beberapa layanan yang akan diboyong pada fase awal ekspansi ini adalah layanan e-commerce Amazon, Amazon Prime dan Amazon Prime Now. Realisasi ini mundur dari rencana awal yang menyatakan Amazon akan hadir di Asia Tenggara pada kuartal pertama tahun 2017.

Desas-desus investasi besar Alibaba ke Tokopedia menjadi kode

Belum lama ini media bisnis teknologi juga santer mengabarkan tentang negosiasi antara Alibaba Group dengan Tokopedia. Dikabarkan raksasa e-commerce Tiongkok tersebut berminat untuk mengucurkan pendanaan baru untuk Tokopdia. Angkanya ditaksirkan mencapai Rp6,66 triliun. Hal ini tentu membuat persaingan e-commerce memanas, pasalnya beberapa bulan sebelumnya JD.com juga dikabarkan berminat untuk berinvestasi di Tokopedia.

Tentu Alibaba dan JD.com tidak mau menyia-nyiakan momentum pertumbuhan pasar e-commerce di Asia Tenggara saat ini, terlebih jika debutnya terlampaui oleh pemain yang notabenenya bukan berasal dari Asia. Jika melihat hasil riset Google dan Temasek, potensi e-commerce di Asia Tenggara akan bertumbuh hingga $87,8 miliar di 2025. Proyeksi pertumbuhan tercatat sekitar 3,8 juta pengguna baru per bulan.

Indonesia sendiri akan menyumbangkan separuh dari persentase tersebut. Hal tersebut berarti jika mampu menguasai pasar lokal, dapat menjadi modal kuat untuk meletakkan akar bisnis e-commerce di wilayah Asia Tenggara.

Menetapnya Amazon di Asia Tenggara menjadi babak baru

Mudah diprediksikan bahwa hadirnya Amazon dengan basis di wilayah Asia Tenggara akan membawakan dampak besar pada persaingan e-commerce. Selain sudah memiliki “nama besar”, bisnis yang dimotori Jeff Bezos tersebut tergolong ke dalam perusahaan yang paling inovatif. Apa yang dilakukan tidak hanya mengerucut pada komponen sistem e-commerce yang dimiliki, melainkan menggarap kebutuhan dukungannya, sebut saja layanan komputasi awan dan logistik. Hal serupa yang juga kini diaplikasikan oleh Alibaba.

Sementara itu di dalam negeri kini batasan menjadi sangat tipis antara pemain e-commerce dan online marketplace, setelah sebelumnya memiliki peranan yang cukup berbeda. Sistem bisnis di dalamnya digarap sedemikian rupa, tidak hanya lagi bergantung pada penyediaan platform jual beli, namun merambah ke yang lain. Paling dominan saat ini ialah layanan digital payment yang memudahkan layanan e-commerce mendulang dana publik.

Konsumen Indonesia Belum Banyak Mengetahui Layanan Fintech Lending

Fintech (Financial Technology) menjadi salah satu kategori yang sangat berkembang di lanskap startup tanah air. Bahkan sejak setahun terakhir, fintech digadang-gadang menjadi salah satu inovasi yang akan menghadirkan disruption dalam industri keuangan secara umum. Menilik lebih dalam pada sektor fintech itu sendiri, salah satu sub-kategori populer adalah platform lending. Yakni menjadi medium untuk pengguna dapat mengajukan peminjaman sekaligus memfasilitasi dana untuk dipinjamkan kepada seseorang.

Secara khusus DailySocial bekerja sama dengan JakPat mengadakan survei terhadap 1016 pengguna ponsel pintar di Indonesia untuk mengetahui sejauh apa mereka mengetahui tentang layanan fintech, khususnya tentang layanan lending yang saat ini gencar dihadirkan oleh inovator startup digital Indonesia. Dari total responden, baru sebanyak 30,91% yang mengetahui atau pernah mendengar tentang istilah fintech. Sedangkan 92,62 persen sudah terbiasa dengan istilah lending, credit dan loan.

Kendati demikian, di kalangan masyarakat masih banyak alasan yang menjadikan mereka enggan untuk mengajukan pinjaman, baik melalui perbankan ataupun institusi keuangan lainnya. Alasan tertinggi karena merasa tidak nyaman dan berusaha sebisa mungkin untuk tidak memiliki hutang (72,31%). Dan beberapa alasan lain turut diungkapkan oleh responden seperti tidak sedang membutuhkan hingga prinsip personal.

Menariknya dari yang sudah pernah mengajukan pinjaman, persentase paling besar digunakan untuk kebutuhan bisnis, disusul peringkat nomor dua untuk pembelian kendaraan bermotor.

Survei DailySocial tentang layanan lending di Indonesia
Survei DailySocial tentang layanan lending di Indonesia

Tanggapan masyarakat soal hadirnya layanan fintech

Persentase dari masyarakat yang mengetahui layanan fintech dapat dibilang masih kecil. Terlebih 100% dari responden adalah pengguna aktif ponsel pintar. Hal ini turut menjadi pemicu kecilnya pengguna layanan pada sub kategori. Misal saja untuk persentase responden yang mengetahui layanan peminjaman secara online melalui ponsel atau website, hanya 25,59% dari responden yang mengetahuinya. Dan hanya 6,50% dari responden yang pernah mengajukan peminjaman melalui platform tersebut.

Survei DailySocial tentang layanan lending di Indonesia 2

Pun demikian dengan persentase responden yang mengetahui tentang kesempatan untuk berinvestasi dalam platform lending berbasis web ataupun aplikasi. Hanya 20,67% dari responden yang mengetahui layanan tersebut. Dan hanya 6% yang pernah mencoba untuk menjadi investor yang meminjamkan dananya kepada untuk orang lain melalui platform online.

Dalam survei tersebut DailySocial juga menanyakan tentang ketertarikan peminjaman untuk kebutuhan bisnis ataupun konsumsi. Hingga faktor apa saja yang akhirnya menentukan masyarakat untuk mengajukan peminjaman, termasuk perbandingannya antara meminjam melalui layanan online ataupun institusi keuangan yang didatangi secara fisik. Untuk selengkapnya tentang laporan “Fintech Lending in Indonesia – Consumer Awareness 2017” dapat diunduh secara gratis.

Simak juga kabar terkini tentang perkembangan startup lending di Indonesia.

Yang Diinginkan Pemerintah Agar Tak Lagi Terjadi Pemblokiran Layanan

Masalah pemblokiran situs Telegram menjadi kegaduhan di jagat maya beberapa waktu lalu. Pro-kontra pendapat tentang tindakan pemerintah tersebut bergulir, antara membela dan mengecam. Untuk mendapat gambaran yang lebih jelas, DailySocial coba berdiskusi dengan Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dalam diskusi tersebut dipaparkan tentang konsolidasi yang diinginkan pemerintah dengan para penyedia layanan seperti Telegram atau sejenisnya.

Tiga hal yang menjadi keharusan perusahaan penyedia layanan aplikasi

Ada beberapa hal yang menjadi perhatian Kemkominfo, dalam hal ini melalui Dirjen Aplikasi Informatika, terkait dengan kehadiran perusahaan penyedia layanan aplikasi. Pertama adalah dibangunnya jalur komunikasi khusus antara pihak perusahaan yang menjalankan bisnis dengan pemerintah. Harapannya bisa melakukan koordinasi yang intensif saat menjalankan kegiatan operasional di Indonesia.

Kedua ialah terkait kebutuhan SOP (Standard Operating Procedure) dan sepaham terkait kaidah dan prinsip konten negatif. Hal ini sejalan dengan antisipasi yang diinginkan pemerintah mencegah terjadinya penyebaran isu sara, terorisme hingga hoax. Kemudian yang ketiga Kemkominfo menginginkan setiap perusahaan tersebut memiliki tim khusus untuk menjalankan SOP tersebut.

Terkait perlunya kantor perwakilan di Indonesia, pemerintah masih menyerahkan sepenuhnya kepada perusahaan, asalkan ketiga hal tersebut di atas dapat dijalankan dengan baik. Namun demikian, jika merujuk pada Surat Edaran Menkominfo No. 3 Tahun 2016 tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet, penyedia layanan atau konten dapat disediakan oleh badan usaha asing dengan ketentuan wajib mendirikan Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.

Tentang mekanisme pemblokiran oleh pemerintah

Secara prosedur, konten atau layanan yang diblokir Kemkominfo berawal dari laporan dari masyarakat dan/atau lembaga penegak hukum/lembaga peradilan/lembaga lainnya. Laporan yang ditindaklanjuti untuk pertimbangan pemblokiran ialah temuan pemuatan konten pornografi, pelanggaran privasi, menyinggung SARA, kegiatan ilegal (biasanya dilaporkan Kementerian atau Lembaga Pemerintah yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan) dan muatan lainnya yang berdampak negatif bagi masyarakat dan negara.

Kondolidasi tetap akan dilakukan sebelum adanya keputusan untuk memblokir situs atau aplikasi tertentu. Sehingga menurut Kemkominfo penyedia layanan atau pemilik konten seperti Telegram perlu memastikan bahwa mereka siap menindaklanjuti laporan yang disampaikan Direktur Jenderal Aplikasi Informatika mengenai adanya muatan negatif. Lebih jauh, kewajiban penyedia layanan aplikasi dan/atau konten diatur bagian 5.5. pada Surat Edaran Menkominfo No.3 Tahun 2016.

5.5 Kewajiban Penyedia Layanan Over The Top

5.5.1 Menaati ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, perdagangan, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, penyiaran, perfilman, periklanan, pornografi, anti terorisme, perpajakan; dan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait lainnya.
5.5.2   Melakukan perlindungan data sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.|
5.5.3   Melakukan filtering konten sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
5.5.4   Melakukan mekanisme sensor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
5.5.5   Menggunakan sistem pembayaran nasional (national payment gateway) yang berbadan hukum Indonesia;
5.5.6   Menggunakan nomor protokol internet Indonesia;
5.5.7  Memberikan jaminan akses untuk penyadapan informasi secara sah (lawful interception) dan pengambilan alat bukti bagi penyidikan atau penyelidikan perkara pidana oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
5.5.8    Mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan layanan dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

LESGO! Sajikan Platform Pencarian Guru Les Privat

LESGO! merupakan sebuah startup edtech yang menyediakan layanan pencarian guru atau pengajar les privat. Saat ini LESGO! dapat diakses melalui platform web dan mobile apps. Hadirnya startup ini berharap dapat menyelesaikan permasalahan yang sering dihadapi oleh calon konsumen les privat, yakni terkait dengan referensi, fleksibilitas, harga dan sistem pemesanan. LESGO! menilai bahwa saat ini belum ada platform di Indonesia yang mampu mengakomodasi seluruh permasalahan tersebut.

Sekilas, apa yang ditawarkan oleh LESGO! sangat mirip dengan pemain edtech sebelumnya, seperti Ruangguru. Menanggapi anggapan tersebut, tim LESGO! menjelaskan hal fundamental yang menjadi perbedaan signifikan dengan Ruangguru.

“Tidak benar (jika disamakan dengan Ruangguru), karena hanya di LESGO! pengguna dapat menyelesaikan order tanpa harus menunggu konfirmasi apabila guru bersedia mengajar atau tidak. Pengguna dapat menyelesaikan order guru les privat semudah melakukan belanja online,” ujar CEO LESGO! Sang Made Kresna.

Berjalan menggunakan pendanaan sendiri (bootstrapping), LESGO! didirikan oleh empat orang co-founder dengan latar belakang berbeda, yakni Ari Triansa, Dicky Irawan, Gayatri Handari dan Sang Made Kresna Andika. Kresna saat ini memegang kendali sebagai CEO LESGO!, sedangkan ketiga co-founder lainnya duduk sebagai komisioner bisnis.

Aplikasi LESGO! sendiri terbagi menjadi dua jenis berdasarkan penggunaannya, yakni aplikasi untuk murid dan untuk mitra LESGO!. Konsumen yang ingin mencari guru les privat atau pengajar dapat menggunakan platform LESGO! untuk mencari guru-guru terdekat dengan alamat belajar dalam radius 7 km. Konsumen dapat memilih guru yang dibutuhkan sesuai dengan profil guru, harga, jadwal belajar dan/atau paket belajar yang diinginkan.

“Didirikan sejak 22 Januari 2016, sampai saat ini kurang lebih 50% dari total user melakukan order atau transaksi. Jumlah total sesi yang telah diselesaikan kurang lebih 1,500 sesi belajar. Jumlah guru 746 guru (Jabodetabek) dengan 3,168 variasi produk les,” lanjut Kresna.

LESGO! sendiri saat ini berkantor pusat di kawasan Boston Square, Bogor. Brand LESGO! sendiri bernaung di bawah PT Lesgo Indonesia Pintar. Sedikit cerita tentang arti nama “LESGO!”, terdiri dari dua kata utama “Les” dan “Go”, jika digabung diartikan sebagai ajakan untuk mempelajari hal yang ingin dikuasai.

Terkait dengan tanggapan tentang ekosistem edtech saat ini, tim LESGO! bercerita. Sebelum memutuskan untuk mengembangkan startupnya, para founder LESGO! telah mengidentifikasi bahwa sudah banyak startup atau perusahaan yang bergerak di seluruh kategori edtech di Indonesia, namun para founder yakin bahwa potensi dari industri edtech di Indonesia sangat besar mengingat demografi Indonesia dengan 263 juta penduduknya dan kualitas pendidikan yang masih tergolong rendah.

Tantangan terbesarnya adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran pentingnya kualitas pendidikan dan pengembangan diri di masyarakat Indonesia. Tantangan lainnya adalah bagaimana membuat produk yang mudah untuk digunakan, dapat diterima dan dipercaya oleh masyarakat Indonesia.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Studio Asal Bandung “Visionesia” Memilih Fokus Kembangkan Game PC

Visionesia merupakan sebuah studio pengembangan game asal Bandung yang didirikan sejak Agustus 2016. Digawangi oleh 2 orang co-founder Dicky Juwono dan Deddy Tjiu, studio ini memfokuskan pada produk game untuk platform PC (Personal Computer).

Alasan mendasar mengembangkan game PC menurut pemaparan Dicky karena game ini memiliki pangsa pasar berbeda. Dari sisi bisnis, game di platform PC lebih menjanjikan, pasalnya pasar game PC didominasi oleh kalangan gamer yang sudah terbiasa membayar untuk sebuah game. Sementara di mobile rata-rata tidak berbayar, khususnya casual gamer, kendati pasarnya memang jauh lebih luas. Namun secara “passion“-lah yang sebenarnya mendorong kuat Visionesia Studio menggarap game yang lebih serius.

Salah satu game PC yang tengah dikembangkan –saat ini sedang tahap penyempurnaan demo—adalah Crimson451. Rencananya game tersebut akan ditampilkan pada ajang Gameprime 2017 dari BEKRAF tgl 29-30 juli 2017 mendatang. Kendati demikian game mobile juga pernah diproduksi oleh tim Visionesia, salah satunya berjudul Si Meong.

Berbicara tentang latar belakang pendiri studio game ini Dicky bercerita bahwa dirinya sudah berkecimpung dalam dunia desain grafis sejak tahun 1991. Sejak tahun 2010 ia mulai fokus ke dunia Apps dan Games sebagai freelancer UX/UI Designer dan Game Artist untuk berbagai macam karya, dengan mayoritas klien dari luar Indonesia.

“Setelah cukup lama bekerja di bidang tersebut, saya berkeinginan untuk membuat sebuah game sendiri. Tapi menyadari keterbatasan bahwa untuk membuat sebuah game membutuhkan tim, maka saya mengajak rekan saya Deddy Tjiu untuk bergabung dan mendirikan sebuah studio. Role saya di Visionesia Studio selain sebagai co-founder juga sebagai Art Director, sementara Deddy sendiri berlatar belakang bisnis,” ujar Dicky.

Dicky juga menceritakan apa yang ia targetkan untuk tahun ini, yakni bisa mendapatkan investor untuk merampungkan game perdananya Crimson451. Untuk mengakselerasi penyelesaiannya, ia juga berencana untuk melakukan crowdfunding pada proyek game PC tersebut. Harapan besar bagi Dicky sebagai Artist Director adalah studio yang ia dirikan dapat menciptakan varian game dengan sentuhan visual yang menawan, baik visual static maupun motion.

Selain itu Dicky juga memberikan komentarnya terhadap ekosistem pengembang game  yang ada di Indonesia saat ini.

“Ekosistem game developer di Indonesia saat ini sangat baik dan menarik dengan banyaknya komunitas lokal baik berbasis wilayah maupun berbasis platform. Plus didukung oleh banyaknya acara-acara yang berhubungan dengan game developer dan dukungan dari pemerintah,” pungkas Dicky.

Application Information Will Show Up Here

Tantangan Yang Perlu Diantisipasi oleh Bisnis di Indonesia

Belum lama ini QBE Indonesia melakukan wawancara dan survei terhadap 300 UKM dan perusahaan skala besar di Indonesia. Dalam wawancara tersebut dibahas tentang risiko, peluang dan tantangan bisnis pada era digital saat ini. Ada beberapa temuan menarik dari survei tersebut, pertama ialah terkait dengan kecenderungan bisnis di Indonesia untuk bersifat reaktif (bukan proaktif) berbagai kejadian terkait dengan insiden di dunia digital.

Dari survei tersebut didapatkan data bahwa persentase insiden digital yang umum terjadi ialah penipuan melalui internet (54%), peretasan sistem komputer (48%), dan pencurian informasi sensitif (38%). Pemaparan responden juga menyebutkan bahwa insiden tersebut memberikan dampak yang nyata bagi bisnis. Dalam 12 bulan terakhir, insiden tersebut setidaknya menghadirkan beberapa masalah krusial dalam bisnis.

Pertama ialah kehilangan pendapatan karena insiden yang mengganggu usaha (32%), rusak dan hilangnya data inventaris (23%), kerusakan peralatan (22%), hingga peretasan sistem komputer yang mengganggu operasional bisnis (20%).

“Risiko-risiko ini dihadapi oleh perusahaan yang berada pada lingkungan dengan tantangan bisnis yang semakin besar. Berdasarkan kajian, kami menemukan bahwa 31% dari perusahaan-perusahaan Indonesia menerima tuntutan hukum karena masalah produk atau layanan mereka pada tahun lalu,” ujar Aziz Adam Sattar selaku Presiden Direktur QBE Indonesia.

Tantangan bisnis di Indonesia tahun 2017-2018

Selain membahas tentang insiden dan risiko yang dihadapi bisnis kaitannya dengan teknis operasional harian, survei juga mencoba mengidentifikasi beberapa tantangan yang dihadapi bisnis dalam berbagai lanskap kategori. Hampir separuh dari perusahaan (46%) menilai bahwa tantangan berasal dari adaptasi atas kemajuan dan inovasi teknologi. Hal ini berdampak pada prakiraan investasi yang dinilai akan meningkat 12 bulan mendatang. Sepertiga dari perusahaan (29%) meyakini bahwa tantangan dan investasi tersebut akan membawakan dampak yang besar.

Tantangan yang dihadapi bisnis Indonesia hingga tahun 2018 / QBE Indonesia
Tantangan yang dihadapi bisnis Indonesia hingga tahun 2018 / QBE Indonesia

Pada dasarnya setiap kategori industri memiliki kekhawatiran yang berbeda, tetapi ada beberapa tantangan serupa yang muncul di berbagai industri seperti perluasan bisnis dan peraturan perundang-undangan yang baru.

Kini penyesuaian terhadap teknologi terbarukan merupakan hal yang dianggap penting bagi bisnis. Menelisik lebih dalam kategori bisnis di bidang IT dan Telekomunikasi (di dalamnya termasuk UKM digital), konsentrasi terbesar saat ini masih pada optimasi dan pengembangan sistem yang dimiliki (45%). Selanjutnya tantangan lain yang dihadapi ialah terkait dengan perundangan baru yang sering membuat bisnis harus menyesuaikan (39%). Eskpansi bisnis (37%) juga menjadi concern yang ambisius untuk banyak perusahaan di kategori ini.

Menariknya 35% dari responden di sektor TI kini mulai memiliki awareness tentang perlindungan data dan informasi bisnis. Hal ini senada dengan ancaman siber yang kian meningkat. Namun angka 35% dinilai masih cukup kecil untuk mayoritas bisnis yang menggunakan pendekatan digital. Ternyata hal tersebut disebabkan oleh banyak hal, mulai dari skala bisnis yang kecil, keterbatasan bisnis hingga anggaran yang terbatas.

Alasan bisnis menghiraukan risiko kemungkinan terjadinya kegagalan / QBE Indonesia
Alasan bisnis menghiraukan risiko kemungkinan terjadinya kegagalan / QBE Indonesia

“Ekonomi Indonesia tumbuh dengan cepat dan telah menjadi anggota penting di komunitas ASEAN. Dengan meningkatnya jumlah masyarakat kelas menengah, kita melihat perubahan pemikiran di kalangan pengusaha dan karyawan karena mereka telah memahami pentingnya pengelolaan risiko – tidak hanya untuk mengurangi kerugian finansial, tetapi yang lebih penting untuk menunjukkan bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab sosial. Konsumen Indonesia menjadi lebih paham mengenai hak-hak hukum, yang menghadapkan perusahaan pada kompensasi finansial yang lebih besar jika gagal memberikan layanan atau tidak menyediakan lingkungan kerja yang aman,” jelas Sattar menanggapi kecilnya antisipasi perusahaan terhadap kemungkinan risiko.

Temuan Menarik tentang Startup di Yogyakarta Tahun 2017

Jogja Start-Up sebuah komunitas penggiat usaha rintisan di Yogyakarta baru saja merilis hasil survei mereka terhadap lanskap startup digital periode paruh pertama tahun 2017. Terdapat beberapa temuan menarik, terkait dengan jumlah startup dan kategori bisnisnya. Dari jumlah yang berhasil diidentifikasi, ada sekitar 115 startup digital yang beroperasi di Yogyakarta per tahun ini. Sebanyak 86 di antaranya adalah startup asli, sedangkan sisanya pendatang dari luar kota.

Menilik lebih dalam, persentase pebisnis digital di Kota Gudeg tersebut masih didominasi oleh Software House (21,05%), disusul pemain Commerce (11%), Fintech (10%), dan Digital Agency (8%). Kendati demikian, kategori lain seperti Travel, Education, Game House, hingga IoT masih bisa ditemui. Kemudian terkait dengan ukuran startup, mayoritas digerakkan antar 2-5 orang (36,84%) dan sebagian besar lagi merupakan single player (14.04%).

“Secara umum, ini merupakan tren yang bagus untuk ekosistem digital di Yogyakarta. Dari kuantitas bisnis dan kualitas produk saya pantau terus meningkat, didukung dengan banyaknya pemain yang berasal dari luar kota hadir ke sini. Ke depannya optimis akan terus meningkat dan memberikan dampak positif bagi Yogyakarta dan komunitas startup di dalamnya,” ujar Ketua Asosiasi Digital Kreatif (ADITIF) Saga Iqranegara.

Selama ini pemain bisnis banyak yang meyakini bahwa Yogyakarta menjadi salah satu sumber talenta berkualitas. Tak salah anggapan tersebut, adanya 121 kampus di dalam provinsi tersebut memang menyumbang salah satu angka lulusan terbanyak. Dari pantauan Jogja Start-Up dapat dipetakan talenta yang mendukung bisnis digital sebagai berikut:

Pemetaan sumber talenta bisnis digital di Yogyakarta / Jogja Start-Up
Pemetaan sumber talenta bisnis digital di Yogyakarta / Jogja Start-Up

Diprediksikan masih akan banyak startup luar yang bersinggah di Yogyakarta

Menilik data temuan di atas, Akbar Faisal salah satu inisiator dari Jogja Start-Up memprediksikan bahwa tren ke depan justru yang akan meningkat ialah jumlah startup dari luar kota yang meramaikan lanskap bisnis di sana. Faktor yang mendorong adalah melimpahnya SDM yang dapat dijangkau oleh bisnis, ditambah dengan “biaya hidup” yang relatif lebih efisien.

Kendati demikian diyakini bahwa hal tersebut akan berimbang dengan peningkatan kualitas talenta dari Yogyakarta yang siap terjun di dunia startup, seiring dengan awareness kampus-kampus tentang bisnis digital yang kian matang.

“Stok talenta akan semakin melimpah jika melihat dari kesiapan kampus saat ini. Beberapa kampus besar seperti UGM hingga AMIKOM bahkan telah memiliki strategi khusus untuk membina talenta dari dalam, salah satunya dengan memiliki pusat pengembangan bisnis digital di lingkungan internal kampus,” ujar Akbar.

Hal lain yang menjadi temuan menarik dari survei adalah tentang tingkatan bisnis digital di Yogyakarta. Temuan survei menyatakan bahwa mayoritas (69%) startup dijalankan menggunakan pendanaan sendiri, mirisnya masih banyak (48%) yang belum berlegalitas dalam bentuk badan usaha. Hal ini bisa jadi berhubungan dengan temuan sebelumnya, masih banyak startup yang dijalankan secara perorangan.

Tentang tingkatan bisnis digital yang ada di Yogyakarta / Jogja Start-Up

Tentang upah kerja bisnis digital di Yogyakarta

Apa yang dikatakan oleh Akbar sebelumnya mungkin mengacu pada temuan berikutnya, yakni tentang rate gaji yang diberikan oleh startup untuk para talentanya. UMR yang masih cukup kecil jika dibanding dengan kota besar lain memang membawa tren standar gaji yang lebih minimalis. Kendati demikian diyakini, persaingan untuk mendapatkan talenta terbaik yang ada saat ini akan terus mendongkrak angka tersebut.

Rerata gaji minimal yang diberikan untuk talenta dalam bisnis digital / Jogja Start-Up
Rerata gaji minimal yang diberikan untuk talenta dalam bisnis digital / Jogja Start-Up

Pada dasarnya startup di Yogyakarta makin kompetitif. Tantangannya bisnis lokal tidak hanya harus bekerja keras memperjuangkan potensi pasar (khususnya millennials) yang melimpah, melainkan harus berkompetisi dengan kompetitor dari luar.