Layanan Proptech Pinhome Ingin Digitalkan Proses Interaksi dalam Transaksi Properti

Platform proptech Pinhome mulai menghadirkan layanan kepada pemilik/agen properti dan pembeli. Didirikan oleh CEO Dayu Dara Permata dan CTO Ahmed Aljunied, mereka melihat saat ini masih ada hambatan yang dialami oleh pelaku bisnis di ekosistem tersebut. Dengan alasan tersebut, Pinhome didirikan dengan tujuan memfasilitasi transaksi properti agar lebih mudah, cepat, dan transparan dengan bantuan teknologi.

Kepada DailySocial Dayu mengungkapkan, Pinhome bukanlah sebuah property house, juga bukan sebuah marketplace“Pinhome sangat berbeda, kami adalah sebuah platform online yang memfasilitasi interaksi antara pemilik, pembeli, dan agen properti. Sebagai pemilik properti akan sangat dimudahkan karena ke depannya kami akan memiliki akses ke ratusan ribu agen yang siap membantu memasarkan propertinya.”

Sebagai calon pembeli, Pinhome siap mengawal sepanjang proses transaksi, mulai dari kontak awal hingga proses akad. Sedangkan bagi rekan agen keuntungannya tidak hanya akan membantu memasarkan properti yang diwakilinya tapi lebih dari itu, mereka akan memberikan akses ke jutaan properti lainnya.

“Saat ini perusahaan masih fokus dalam menciptakan value bagi pengguna. Pinhome melihat bahwa melalui platform yang dihadirkan akan memberikan banyak sekali kemudahan baik bagi pemilik properti, bagi calon pembeli, rekan agen, hingga partner kami seperti bank, kontraktor dan lainnya. Seiring dengan value perusahaan, mendapatkan revenue dari bagi hasil antara stakeholder yang terlibat dalam transaksi properti,” kata Dayu.

Kerja sama dengan BNI Syariah

Meskipun usianya masih belia, Pinhome memiliki aspirasi menjalin kerja sama dengan ratusan ribu agen properti di seluruh Indonesia. Saat ini platform Pinhome sudah ada di kota-kota besar di Indonesia. Ke depannya, perusahaan juga ingin memberikan pengalaman transaksi properti terbaik di semua kota di Indonesia secara inklusif.

Salah satu langkah strategis yang telah dilancarkan oleh Pinhome adalah kerja sama yang terjalin dengan BNI Syariah. Melalui kolaborasi ini, mereka menargetkan untuk dapat menjangkau lebih banyak calon konsumen terutama di segmen milenial karena platform Pinhome yang fokus di transaksi melalui online.

Dalam kemitraan tersebut, BNI Syariah menyediakan fasilitas pembiayaan kepemilikan rumah (BNI Griya iB Hasanah) bagi masyarakat yang ingin memiliki hunian sesuai dengan prinsip syariah. Ada beberapa pilihan hunian yaitu rumah, apartemen, ruko kantor (rukan) dan ruko.

“Kami berharap dengan kerja sama ini pada akhirnya akan memberikan dampak positif bagi konsumen kami, di mana mereka memiliki kebebasan untuk memilih jenis pembiayaan yang sesuai dengan keinginan. Jadi kami memiliki pilihan pembiayaan konvensional dan juga syariah,” kata Dayu.

Saat ini Pinhome telah menjalin kerja sama dengan beberapa institusi perbankan. Namun kerja sama dengan BNI syariah menjadi sangat istimewa, karena ini merupakan yang pertama bagi Pinhome dengan perbankan berbasis syariah. Tahun ini ada beberapa target yang ingin dicapai oleh Pinhome, di antaranya adalah meningkatkan jumlah properti listing, rekan agen properti, serta mitra.

“Selain itu tentu saja kami akan terus menyempurnakan sistem Pinhome itu sendiri. Hal ini tentunya tidak lain agar kami dapat memberikan layanan terbaik kepada seluruh konsumen Pinhome, baik pemilik, pembeli, agen, serta seluruh partner kami,” kata Dayu.

Application Information Will Show Up Here

Saoraja Hub Kembali Digelar, Program Inkubator Bisnis dan Startup di Indonesia Timur

Setelah tahun lalu Saoraja Hub meluncurkan program inkubasi startup batch pertama, tahun ini mereka melanjutkan batch kedua. Rencananya akan digelar akhir bulan Juli 2020. Program yang diinisiasi oleh Kalla Group tahun 2018 lalu ini, ingin menyaring lebih banyak ide segar dan inovasi digital terutama bagi pelaku startup di Indonesia Timur.

VP of Business Development Kalla Group, Saoraja Hub Damoza Nirwan mengungkapkan, berbeda dengan tahun lalu yang hanya fokus kepada startup, tahun ini Saoraja Hub ingin mengundang lebih banyak masyarakat di Indonesia Timur yang memiliki ide menarik dari berbagai kalangan. Mulai dari pelajar hingga ibu rumah tangga, jika mereka memiliki ide segar yang nantinya memiliki potensi untuk dikembangkan, berhak untuk mengikuti kegiatan ini.

“Berbeda dengan investasi yang diberikan oleh perusahaan modal ventura lainnya yang hanya fokus kepada investasi, batch kedua ini kami ingin mengajak lebih banyak masyarakat untuk berpartisipasi menyampaikan ide mereka yang relevan dengan kondisi pandemi dan new normal,” kata Damoza.

Nantinya startup yang beruntung serta ide dari peserta yang lolos dari proses penyaringan, berhak mendapatkan bimbingan berupa mentoring dari pihak internal Kalla Group dan Kalla Business School. Mereka juga bisa mendapatkan pendanaan yang disesuaikan dengan kebutuhan hingga kesempatan networking dengan ekosistem di Kalla Group.

Kategori ide dan startup agnostik

Disinggung startup atau ide seperti apa yang menarik perhatian dari Saoraja Hub batch kedua tahun ini, Damoza menyebutkan secara khusus mereka tidak hanya mengincar pada satu atau dua kategori saja. Selama ide tersebut memiliki potensi untuk dikembangkan, Saoraja Hub akan menerima semua ide yang masuk. Demikian pula dengan startup yang saat ini mungkin masih dalam tahap early stage dan membutuhkan networking hingga pendanaan untuk tumbuh, Saoraja Hub siap membantu.

“Jika nantinya ada ide dari peserta atau model bisnis dari startup yang relevan dengan lini bisnis dari Kalla Group, menjadi tidak mungkin proses akuisisi akan kami lakukan. Namun sesuai dengan misi awal Saoraja Hub, kami ingin mengajak lebih banyak masyarakat di Indonesia Timur lebih kreatif menghadirkan inovasi baru,” kata Damoza.

Saoraja Hub juga mengundang investor di luar dari Kalla Group, seperti yang telah dilakukan di batch pertama melibatkan Mandiri Capital Indonesia (MCI) untuk berinvestasi di startup yang mengikuti program inkubasi mereka. Di batch yang pertama beberapa startup terpilih yang mengikuti program inkubasi Saoraja Hub di antaranya adalah Aidu (Education), Digital Desa (Government), Mall Sampah (Environment), Panen Mart (Agricultural) dan Perawat.Id (Health).

“Tahun ini karena ada dua kategori yaitu startup dan idea innovation harapannya akan lebih banyak lagi peserta yang tertarik untuk mengikuti kegiatan ini, terutama bagi semua kalangan di Indonesia Timur,” kata Damoza.

Sempat Gagal, Amazara Kembali Matangkan Bisnis dengan Strategi Barunya

Didirikan pada tahun 2015 lalu di Yogyakarta, Amazara menjual sepatu dan berbagai produk lainnya secara online. Karena alasan pribadi dan persoalan manajemen, startup tersebut sempat mengalami kegagalan sekitar tahun 2019 dan memilih menutup bisnis mereka.

Namun, belajar dari pengalaman yang didapat, Founder & CEO Uma Hapsari memutuskan untuk memulai kembali bisnisnya. Dengan tim yang solid dan riset pasar yang lebih matang, Amazara kini memilih fokus untuk memproduksi dan menjual produk sepatu.

Kerja keras dan strategi yang diterapkan Uma ternyata membuahkan hasil, dalam waktu 5-6 bulan, perusahaan kembali mendapatkan pemesanan dan penambahan jumlah pelanggan.

“Karena berbagai alasan saya memutuskan untuk menutup perusahaan. namun dengan semangat baru dan memanfaatkan media sosial, Amazara bisa kembali beroperasi pada bulan Februari 2020 lalu,” kata Uma.

Bermitra dengan pengrajin sepatu dan pabrik

Untuk bisa menghasilkan berbagai produk sepatu berkualitas dan tetap relevan, Amazara menjalin kemitraan dengan beberapa pengrajin dan pabrik sepatu; jumlahnya saat ini sekitar 10 mitra. Dan guna memastikan semua proses sesuai dengan standar perusahaan, tim Amazara melakukan pemantauan dan kontrol saat proses produksi.

“Kami tidak fokus kepada growth at all cost. Model bisnis kami adalah merchandising. Artinya kami adalah pedagang dan melakukan penjualan sepatu. Kita percaya kepada kualitas dan layanan menjadi prioritas perusahaan,” kata Uma.

Saat ini perusahaan mengklaim telah memiliki sekitar 100 ribu pelanggan. Selain website, Amazara juga memanfaatkan official store di berbagai platform marketplace. Sementara untuk kanal promosi dan komunikasi, Amazara memanfaatkan akun media sosial Instagram dan WhatsApp.

“Kita belum memiliki rencana untuk meluncurkan aplikasi untuk saat ini dan ke depannya. Fokus kita adalah memproduksi sepatu yang kebanyakan diminati oleh kalangan millennial usia sekitar 17-34 tahun,” kata Uma.

Pandemi dan pendanaan

Saat pandemi Covid-19 mulai menyebar di Indonesia, penjualan sepatu produksi Amazara sempat mengalami penurunan yang drastis. Untuk mengakali kondisi tersebut, mereka kemudian menghadirkan mentoring online untuk para UKM yang ingin belajar lebih mendalam dari Uma Hapsari. Responsnya pun ternyata cukup positif, selama kegiatan tersebut berlangsung terdapat 1500 pendaftar yang tertarik untuk mengikuti sesi tersebut.

Impact dari kegiatan tersebut adalah engagement dari audiens dan tentunya awareness terhadap brand kami. Meskipun pendapatan menurun tapi kami terekspos lebih luas melalui kegiatan ini yang kami hadirkan secara gratis,” kata Uma.

Kendala lain yang dihadapi oleh Amazara saat pandemi adalah, berkurangnya produksi sepatu karena aturan PSBB yang diterapkan oleh pemerintah. Bukan hanya tidak adanya penyediaan bahan baku, namun para pengrajin juga banyak yang kembali ke kampung halaman.

“Namun bulan ini kondisi berangsur kembali normal dan produksi bisa kembali dilakukan. Kami pun mulai menerima pemesanan dari pelanggan. Untungnya kegiatan belanja online tidak pernah surut saat pandemi berlangsung hingga saat ini,” kata Uma.

Setelah melakukan diskusi dengan Salt Ventures tahun 2019 lalu, perusahaan akhirnya mengantongi pendanaan tahap awal dari mereka. Dengan pendanaan ini Amazara bukan hanya ingin menjadi platform penjualan sepatu secara online, namun juga ingin menjadi mentoring platform untuk membantu pelaku UKM lainnya menjalankan bisnis.

“Hal tersebut telah menjadi visi dan misi kami saat melakukan diskusi dengan pihak Salt Ventures. Harapannya kami bisa memberikan kontribusi kepada bisnis lainnya agar bisa maju bersama,” kata Uma.

Kolaborasi Strategis dengan Startup untuk Mendukung Inovasi Korporasi

Makin menjamurnya startup berbasis teknologi secara langsung telah mengubah kebiasaan masyarakat luas mengadopsi layanan digital. Didukung dengan digital native company yang mulai banyak bermunculan dan secara langsung men-disrupt berbagai bisnis, termasuk finansial dan berbagai sektor lainnya. Tidak dapat dipungkiri, dengan tetap relevan dan inovatif kini menjadi kunci sukses korporasi.

Melihat tren tersebut, dalam sesi #SelasaStartup teranyar, DailySocial mencoba mengupas potensi kerja sama strategis antara korporasi dengan startup dan perusahaan teknologi. Ada tiga narasumber yang dihadirkan, yakni VP of Investor Relation & Strategy BRI ventures Markus Liman Rahardja, VP of Dgital Business Partnership & Development PT Pegadaian (Persero) Herdi Sularko, dan Plt. Direktur Ekonomi Digital Kominfo I Nyoman Adhiarna.

Upaya untuk tetap relevan

Salah satu alasan mengapa pada akhirnya korporasi harus dengan cepat mengadopsi teknologi ke dalam proses dan sistem mereka adalah agar tetap relevan. Baik di mata pelanggan hingga pihak terkait lainnya. Untuk mencapai hal tersebut, korporasi mulai banyak melakukan perubahan dan inovasi baru yang secara keseluruhan menyentuh teknologi. Apakah yang terkait dengan produk hingga potensi untuk kolaborasi dengan pihak eksternal.

“Kami menyadari sepenuhnya perubahan perilaku dari masyarakat luas saat ini yang terjadi karena mulai banyaknya fintech yang menawar layanan seperti p2p lending, asuransi teknologi, hingga wealth management. Sebagai perusahaan yang sudah menginjak usia 120 tahun, kami juga memiliki beragam produk lainnya di luar bisnis utama kami yaitu gadai, dengan mengadopsi digital kami ingin memperluas eksistensi perusahaan,” kata Herdi.

Sama halnya dengan bank dan pasar, Pegadaian memiliki jumlah cabang yang cukup besar. Tentunya menjadi menarik ketika sumber daya tersebut dimanfaatkan sepenuhnya dengan mulai mengadopsi digital dengan tujuan untuk menyentuh kepada transformasi digital.

Hal serupa juga disampaikan oleh BRI Ventures, yang selama ini mencoba untuk terus menghadirkan inovasi agar bisa tetap relevan, terutama untuk perusahaan yang sudah berusia sekitar 100 tahun. Bukan hanya inovasi saat ini saja namun juga ke depannya. Dalam hal ini Markus menegaskan, ada dua jalur yang kemudian ditempuh oleh BRI Ventures, yaitu eksploitasi dan eksplorasi.

“Untuk eksploitasi kami ingin sistem yang saat ini ditingkatkan lagi, dan untuk eksplorasi menjadi kesempatan bagi kami untuk menyambut ekosistem digital baru yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan untuk dijajaki oleh kami,” kata Markus.

Dalam hal ini BRI Ventures ingin berinvestasi kepada startup yang memiliki misi dan visi yang sejalan dengan perusahaan, sebagai corporate venture capital (CVC). Apakah itu dalam bentuk inovasi, teknologi hingga jaringan yang dimiliki. BRI Ventures ingin menjalin kolaborasi dengan startup yang high scaling dan high growing.

Kolaborasi dengan startup

Saat ini BRI Ventures menjadi salah satu CVC yang cukup aktif berinvestasi kepada beberapa startup fintech di Indonesia. Mulai dari Investree hingga Modalku, yang keduanya dinilai bisa memberikan keuntungan lebih untuk BRI maupun BRI Ventures sendiri.

“Inilah yang kemudian membedakan antara ‘vendoring’ dengan ventures. Sebagai CVC idealnya kami ingin melakukan kolaborasi yang strategis demi menghadirkan teknologi yang relevan dan bermanfaat bagi kedua pihak,” kata Markus.

Bukan hanya di sektor finansial, BRI Ventures juga telah berinvestasi kepada TaniHub yang merupakan agritech terkemuka di tanah air. Tujuannya tentu saja masih bersentuhan dengan pembiayaan, namun memanfaatkan channel baru yang lebih efektif.

Di sisi lain bagi Pegadaian yang selama ini belum bermain dalam hal investasi, untuk bisa memberikan inovasi baru dan mengadopsi teknologi dengan cepat, kolaborasi atau kerja sama strategis dengan digital native startup, secara masif sudah dilakukan oleh mereka. Mulai dari menjalin kemitraan dengan Tokopedia, hingga mempekerjakan tenaga profesional, yang tujuannya untuk membantu perusahaan melakukan transformasi digital.

“Selama ini kebanyakan korporasi hanya mengandalkan konsultan ketika ingin melakukan perubahan atau menghadirkan inovasi baru. Melalui kerja sama dengan startup dan perusahaan teknologi, paling tidak bisa menyegarkan mindset tim internal kami sekaligus mempercepat proses transformasi digital,” kata Herdi.

Dukungan pemerintah

Sebagai regulator dalam hal ini pemerintah memiliki peranan yang cukup krusial. Bukan hanya untuk melancarkan bisnis yang dimiliki oleh startup dan korporasi, namun juga memudahkan mereka untuk melakukan dialog hingga diskusi dengan para regulator. Meskipun masing-masing sektor ditangani langsung oleh kamenterian terkait, namun Kominfo bisa mendukung semua dalam hal teknologi dan inovasi terkait.

“Salah satu contoh menarik yang kemudian wajib untuk dicermati adalah saat pandemi berlangsung, layanan konsultasi dokter online yang ditawarkan oleh startup healthtech menjadi sangat relevan,” kata I Nyoman.

Namun demikian tidak dapat dipungkiri dengan luasnya persoalan yang dihadapi di berbagai sektor, teknologi dan startup yang mencoba untuk menawarkan layanan terkait harus menunda atau bersabar, karena prioritas dari masing-masing kementerian.

Sebagai contoh teknologi smart farming dan IoT yang bisa bermanfaat bagi para petani dan nelayan, menjadi hal yang tidak diprioritaskan oleh kementerian terkait karena fokus mereka lebih kepada pembiayaan dan hal lain yang lebih dibutuhkan oleh petani saat ini.

“Masing-masing kementerian memiliki prioritas dan cara pandang berbeda. Namun ada baiknya bagi pemerintah untuk mendengarkan permintaan dari startup, perusahaan teknologi atau korporasi yang ingin menghadirkan solusi baru memanfaatkan teknologi,” kata I Nyoman.

SYCA Official Secures Seed Funding from Salt Ventures, Working on the Direct to Consumer Strategy

Utilizing social media and beauty products that are currently increasingly popular with young women in Indonesia, SYCA Official is here to offer lip tint beauty products. SYCA Official’s Co-founder, Pamela Wirjadinata said, judging from the current trends and developments in the industry, it was the right time for her with the other co-founder, Monica Tan to present a special platform for beauty products online.

“Starting with Japan in 2019, I saw many local brands with their own independent shops, especially in the beauty section. Next, Monica and I saw many opportunities to take the business in Indonesia. We feel everyone started to gain trust in beauty brands in Indonesia,” Pamela said.

Using social media accounts and marketplace services, SYCA Official wants to give options to its target users to enjoy local beauty products with quality at affordable prices. SYCA also tries to present natural products that refer to beauty trends from South Korea.

Direct to consumer business model

With the direct-to-consumer (DTC) concept, SYCA Official claims to have around 10 thousand customers who transact using marketplace services such as Shopee, Tokopedia, Sociolla, Female Daily, and Love and Flair.

Currently, the company is preparing a website that can later be accessed by customers. In terms of approach, Pamela said the strategic step became more ideal and in accordance with their concept of selling directly to the target market (DTC). The company is also trying to focus on retail and how to get the best profit margins while at the same time gaining wider brand awareness.

“This year, we target to launch a website. In accordance with the plan, within the next 1-2 months, we will release it. In terms of application, we’ll see in the future,” Pamela said.

Although they did not experience any significant changes or impacts during the Covid-19 deployment, because what they did from the beginning was online; but in terms of production of goods, Pamela mentioned having experienced problems in the matter of production because the factory could not operate normally. The delivery of goods also briefly interrupted.

“To date, we’ve sold around 17 thousand products with an average of 2000 units per month since the launch of SYCA Official. For partners, we’ve collaborated with two partners which products we bought,” Pamela said.

Backed by Salt Ventures

As a startup that offers a “new economy” approach, SYCA Official is one of the portfolios owned by Salt Ventures, which so far has invested quite a lot in new startups that offer similar business models. After securing the seed funding, with undisclosed value, SYCA Official has several business plans.

“We raised our pre-seed funding in February 2020. Next, we want to expand our line product, which is certainly in line with this marketing and brand awareness strategy with this first funding. We really hope it will help us to grow bigger and better with Salt Ventures as our partner,” Pamela said.

There are several reasons why Salt Ventures is interested in investing in startups that target beauty products and fully utilize online channels. Salt Ventures Indonesia’s Managing Partner, Danny Sutradewa mentioned three basic things that are the focus of their investment.

“Among these are the founder’s character and ability to turn ideas into reality and to navigate businesses in a variety of circumstances. We also see the SYCA business model that uses online infrastructure to make its business scalable and focus on the right target market. SYCA currently has an online presence that “In addition, the cosmetics industry is a fast-growing industry in Indonesia,” Danny said.

In addition to SYCA Official, another portfolio owned by Salt Ventures that has run a business with a similar concept but with a different product is Sneakershoot.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kantongi Pendanaan Awal dari Salt Ventures, SYCA Official Makin Mantap Perdalam Strategi “Direct-to-Consumer”

Memanfaatkan media sosial dan produk kecantikan yang saat ini makin populer di kalangan perempuan muda di Indonesia, SYCA Official hadir menawarkan produk kecantikan yaitu lip tint. Kepada DailySocial Co-founder SYCA Official Pamela Wirjadinata mengungkapkan, dilihat dari tren dan perkembangan industri keantikan saat ini, menjadi waktu yang tepat baginya bersama dengan co-founder lainnya yaitu Monica Tan untuk menghadirkan platform khusus untuk produk kecantikan secara online.

“Berawal dari inspirasi ke Jepang tahun 2019, saya melihat di sana banyak local brand yang punya independent shop sendiri, terutama di beauty section. Selanjutnya saya bersama Monica melihat banyak kesempatan yang bisa diambil untuk mengembangkan bisnis tersebut di Indonesia. We feel everyone mulai gain trust kepada beauty brand di Indonesia,” kata Pamela.

Memanfaatkan akun media sosial dan layanan marketplace, SYCA Official ingin memberikan pilihan lebih kepada target penggunanya untuk menikmati produk kecantikan lokal dengan kualitas dan harga yang terjangkau. SYCA juga mencoba untuk menghadirkan produk yang natural mengacu kepada tren kecantikan dari Korea Selatan.

Model bisnis direct-to-consumer

Mengusung konsep direct-to-consumer (DTC) saat ini SYCA Official mengklaim telah memiliki sekitar 10 ribu pelanggan yang melakukan transaksi memanfaatkan layanan marketplace seperti Shopee, Tokopedia, Sociolla, Female Daily, dan Love and Flair.

Untuk saat ini perusahaan tengah mempersiapkan website yang nantinya bisa diakses oleh pelanggan. Disinggung mengapa pendekatan tersebut yang diambil oleh mereka, menurut Pamela langkah strategis tersebut menjadi lebih ideal dan sesuai dengan konsep mereka yaitu menjual langsung ke target pasar (DTC). Perusahaan juga mencoba untuk fokus kepada ritel dan bagaimana nantinya bisa mendapatkan profit margin yang terbaik sekaligus mendapatkan brand awareness yang lebih luas lagi.

“Tahun ini kita memiliki target untuk bisa meluncurkan website. Jika sesuai dengan rencana dalam waktu 1-2 bulan ke depan akan kita rilis. Untuk aplikasi masih melihat kondisi ke depannya,” kata Pamela.

Meskipun tidak mengalami perubahan atau dampak yang signifikan selama penyebaran Covid-19, karena yang mereka lakukan sejak awal adalah secara online; namun dari sisi produksi barang, Pamela menyebutkan sempat mengalami kendala dalam soal produksi karena pabrik tidak bisa beroperasi secara normal. Pengiriman barang juga sempat terganggu.

“Sejauh ini kita telah menjual sekitar 17 ribu produk dengan rata-rata 2000 unit per bulannya sejak diluncurkannya SYCA Official. Untuk mitra kami menjalin dengan dua mitra yang semua produknya kami beli putus dari mereka,” kata Pamela.

Didukung oleh Salt Ventures

Sebagai startup yang menawarkan pendekatan “new economy”, SYCA Official merupakan salah satu portofolio milik Salt Ventures, yang selama ini cukup banyak berinvestasi kepada startup baru yang menawarkan model bisnis serupa. Setelah mengantongi pendanaan awal nominal yang tidak disebutkan, SYCA Official memiliki beberapa rencana bisnis.

We raised our pre-seed funding bulan Februari 2020 lalu. Selanjutnya kami ingin melakukan ekspansi produk line, yang tentunya in line with marketing and brand awareness strategy dengan pendanaan pertama ini. We really hope it will help us to grow bigger and better with Salt Ventures as our partner,” kata Pamela.

Ada beberapa alasan mengapa Salt Ventures tertarik untuk berinvestasi kepada startup yang menyasar kepada produk kecantikan dan sepenuhnya memanfaatkan channel online. Menurut Managing Partner Salt Ventures Indonesia Danny Sutradewa, terdapat 3 hal mendasar yang menjadi fokus investasi mereka.

“Di antaranya adalah karakter dan kemampuan pendiri untuk menjalankan ide menjadi kenyataan dan untuk menavigasi bisnis dalam berbagai keadaan. Kami juga melihat model bisnis SYCA yang menggunakan infrastruktur online untuk membuat bisnisnya scalable dan fokus pada target pasar yang tepat. SYCA saat ini memiliki kehadiran online yang kuat. Selain itu industri kosmetik adalah industri yang berkembang pesat di Indonesia,” kata Danny.

Selain SYCA Official, portofolio milik Salt Ventures lainnya yang telah menjalankan bisnis dengan konsep serupa namun dengan produk yang berbeda adalah Sneakershoot.

Modal Rakyat Memasuki Bisnis Insurtech dan e-Procurement

Setelah resmi hadir tahun 2018 lalu, platform peer to peer lending digital Modal Rakyat telah menambah beberapa layanan terbaru, yaitu asuransi dan procurement untuk pembelian truk.

Kepada DailySocial Co-Founder & CEO Modal Rakyat Hendoko Kwik mengungkapkan, berangkat dari produk financing down payment pada pengadaan unit truk, perusahaan juga membantu transporter yang menjadi peminjam di platform Modal Rakyat untuk menyediakan perlindungan asuransi pada truk yang di-procure.

“Modal Rakyat melihat pendekatan offline memiliki 3 basis touch point yakni proses pengajuan, proses underwriting, dan proses pengiriman polis fisik; sehingga terbesit ide bahwa pendekatan online memiliki SLA yang lebih baik pada proses perlindungan unit seperti motor, mobil dan truk niaga,” kata Hendoko.

Menggandeng Asuransi Adira, Modal Rakyat mencoba memberikan kemudahan untuk memasarkan produk perlindungan kendaraan bermotor. Kini hanya dalam satu genggaman, para pengguna dapat melindungi kendaraan mereka. Melalui produk asuransi mobil Adira Insurance, yaitu Autocillin, terdapat dua jenis jaminan utama, yaitu Komprehensif dan Total Loss Only (kerugian atau kerusakan total).

Produk asuransi ini baru saja diluncurkan oleh Modal Rakyat beberapa waktu yang lalu. Masih dalam tahapan sosialisasi terhadap captive market user. Perusahaan menargetkan bisa menyumbangkan produksi minimal 50 polis per bulan untuk Asuransi Adira. Kerja sama dengan Adira menjadi terobosan baru bagi Modal Rakyat untuk bisa memberikan manfaat lebih bagi para pengguna, khususnya asuransi kendaraan.

“Kita coba mengutarakan pengembangan penutupan risiko melalui skema online kepada pihak Adira, dan ternyata Adira memiliki animo yang baik pada proses digital dan sudah memiliki infrastruktur pendukung, sehingga terbentuklah produk asuransi kendaraan digital dan platform Modal Rakyat sebagai salah satu reseller mereka,” kata Hendoko

Produk procurement truk

Selain produk asuransi, Modal Rakyat juga memiliki produk baru lainnya yaitu Produk Procurement Truk. Produk Procurement Truk merupakan produk yang lahir dari pengembangan bersama dengan platform truk digital Ritase.

Dalam hal ini fungsi yang dilakukan masing-masing stakeholder adalah, Modal Rakyat berupa pemenuhan down payment 30% dari nilai unit truk. Sisanya akan dilimpahkan ke lembaga finansial seperti bank. Sementara untuk Ritase, pihak yang memiliki kemampuan melakukan verifikasi dari revenue yang akan didapatkan unit truk dan sustainability dari proyek yang akan dikerjakan transporter/borrower.

“Hal ini dimungkinkan karena Ritase membantu melakukan digitalisasi terhadap bisnis transporter/borrower sehingga biaya operasional, penerbitan invoice dan surat jalan, hingga pembayaran dari shipper/pemberi kerja dapat tercatat secara digital. Sementara untuk transportir/borrower, mereka memiliki fleksibilitas untuk mengerjakan proyek yang baik dengan working capital minimum,” kata Hendoko.

Terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak Juni 2018, hingga saat ini total pendana di Modal Rakyat telah mencapai lebih dari 55 ribu orang dengan total penyaluran sekitar Rp370 miliar yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Berbentuk Marketplace, Aplikasi Tune Up Jembatani Pemilik Layanan Otomotif dengan Pengguna

Platform yang didirikan oleh Laras Salim, Gian Ramdhan dan Veby Irdhani ini bernama Tune Up, mencoba menghadirkan layanan otomotif on-demand. Kepada DailySocial CEO Tune Up Laras Salim mengungkapkan, memanfaatkan pengalaman bekerja sebelumnya, ia melihat prospek bisnis otomotif ini sangat besar untuk dikembangkan. Karena memiliki cabang fokus bisnis yang bervariasi mulai dari jual beli kendaraan, layanan servis, suku cadang, sampai asuransi.

“Pada saat itu saya melihat sudah banyak sekali startup di Indonesia yang memiliki layanan untuk jual beli kendaraan. Sehingga saya melihat peluang lain untuk mengembangkan fokus untuk membangun sebuah platform khususnya untuk layanan servis,” kata Laras.

Aplikasi Tune Up sudah bisa diunduh di Play Store. Saat ini Tune Up mengklaim telah memiliki total 65 merchant yang bergabung dan lebih dari 150 layanan yang tersedia. Sebagian besar baru dapat di jangkau untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya. Untuk memenuhi kebutuhan sekitar 500 penggunanya, layanan yang tersedia saat ini, kebanyakan untuk jenis mobil seperti servis AC, tune-up, detailing, fogging, dan lain-lain.

Bagi para pengguna, aplikasi Tune Up dapat membantu melakukan pemesanan layanan otomotif dengan mudah sesuai harga dan lokasi yang tepat. Selain itu, aplikasi juga dibekali fitur monitoring untuk melihat progres pengerjaan kendaraan mereka secara real-time. Dan sebagai pelengkap, terdapat juga fitur review.

Untuk para merchant, aplikasi ini didesain sebagai platform marketplace khusus layanan otomotif yang dapat diakses secara gratis, memudahkan mereka membangun sistem pemasaran online.

“Dalam aplikasi Tune Up Merchant juga tersedia fitur-fitur yang menunjang operasional, seperti fitur keuangan dan statistik, penjadwalan pesanan, perencanaan, hingga inventaris,” kata Laras.

Model bisnis dan strategi monetisasi

Secara khusus Tune Up menerapkan model bisnis berupa marketplace, yang menghubungkan antara konsumen dan pemilik usaha layanan otomotif. Strategi awal yang diterapkan, yaitu dengan menjangkau merchant lokal (pemilik usaha layanan otomotif) non-authorized terlebih dulu untuk memastikan produk dan layanan tersedia dalam aplikasi.

“Strategi kerja sama khusus yang telah berhasil dilakukan oleh Tune Up saat ini, yaitu menjalin relasi dengan merchant yang sudah terjamin layanan dan kualitasnya seperti Dokter Mobil, Autonetcare, dan HD Car Care Harmony. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan rasa kepercayaan dan keamanan pengguna dalam melakukan transaksi di dalam aplikasi,” kata Laras.

Pada tahap ini, Tune Up juga membangun revenue dengan cara membagi komisi dari beberapa merchant yang memberlakukan diskon khusus untuk layanannya. Beberapa di antaranya memberikan diskon layanan antara 5-15% khusus untuk Tune Up, sehingga perusahaan bisa memberikan diskon kepada pengguna sekitar 3-5% dan selisihnya merupakan keuntungan bagi Tune Up.

Tune Up juga memiliki fitur DMS (Dealer Management System) yang dikembangkan, sehingga memudahkan bagi para pengguna atau pun Merchant untuk melakukan transaksi dalam aplikasi.

“Berbeda dengan kompetitor lain yang kebanyakan memiliki model bisnis B2C, Tune Up memiliki model bisnis B2B2C,” kata Laras.

Layanan serupa yang sudah hadir sebelumnya di Indonesia di antaranya adalah Montir ID, Otomoto, dan Carfix.

Rencana fundraising

Tune Up mengklaim sempat mencatat transaksi mencapai Rp3,4 juta/harinya. Namun saat penyebaran virus Covid-19 makin meluas dan diberlakukannya PSBB di bulan April terjadi penurunan transaksi yang sangat drastis. Karena sektor layanan otomotif termasuk layanan yang tidak diperbolehkan buka pada saat masa PSBB.

“Dan sambil menunggu kondisi pulih kembali, kami mencoba memperbaiki manajemen Tune Up khususnya untuk promosi dan operasional. Namun di new normal ini, Tune Up mencoba memberikan layanan terbaru dengan menghadirkan fogging mobil secara home service. Hal ini dilakukan sebagai bentuk pencegahan terjadinya penyebaran virus Covid-19,” kata Laras.

Tahun ini perusahaan juga memiliki rencana untuk melakukan penggalangan dana tahap awal. Meskipun masih menjadi rencana, Tune Up berharap bisa mendapatkan investor yang mengerti dan paham terkait perkembangan bisnis di sektor otomotif.

“Harapannya di tahun 2020, aplikasi Tune Up dapat dikenal oleh masyarakat Indonesia secara luas, serta memberikan dampak yang lebih baik dan positif kepada masyarakat yang membutuhkan layanan otomotif secara tepat dan terpercaya,” kata Laras.

Application Information Will Show Up Here

Venture Capital Initiatives to Support Portfolios Amid Pandemic

The pandemic situation has forced some fundraising to postpone activities performed by foreign and local venture capital in Indonesia. Nevertheless, there are still some VCs that continue to carry out these activities, by implementing a more rigorous and focused startup curation process, adjusting the current conditions.

In the Startup Clinic session in collaboration with Ventura Discovery, UMG IdeaLab, Plug and Play Indonesia and Alpha Momentum Indonesia, several VCs shared their portfolio management tips and stories, and how a pandemic can be the most relevant momentum, to see the powerful and potential of startups.

The right time to slow down

Previously, it was possible that most VCs had a target of how many startups to join the portfolio, according to Monk’s Hill Ventures Senior Investment Analyst, RJ Balmater, now is the right time for VCs to loosen their belts while focusing on the right and best business vertical for investment. On the other hand, RJ also saw that startups could also take advantage of this condition to re-examine the advantages of the company along with its business model.

“Eventually, VC wants to invest in startups with healthy businesses, not just to survive in the current conditions,” RJ said.

Kejora-SBI Orbit Fund‘s VP Investment, Richie Wirjan said to not looking solely at the key market, investment delays that currently performed can also be utilized by the VC to dig further on the key feature, both within the portfolio or those with a certain potential.

Meanwhile, Prasetia Dwidharma’s CEO, Arya Setiadharma, utilizing existing data, a more in-depth analysis must be done to see the potential that exists today. Make sure the business model that is owned has adjusted to the current conditions, seen from an uncertain market so that the possibility of the company cannot survive. On the other hand, Arya sees services such as groceries and delivery can grow positively utilizing the current moment.

“For the early-stage startup, I see that there is still a good future for fundraising, but when the pandemic starts to recede within the next two years,” Arya said.

Moral support and VC network

Another thing that later became the VC’s priority during the pandemic was moral support to the extensive network to help startups and founders. For Arya, all founders who are members of his portfolio are entitled to get one-on-one consultation by a psychologist. It was to ensure their mental health, who often pressured to cope up with issues during the pandemic.

“We are also trying to help our portfolio to develop some solutions. One of them is Ride Jakarta, founded by Gita Sjahrir. Utilizing online services, users can now enjoy direct training with coaches easily, at an affordable price. Not only users in Indonesia, those who live in Singapore, also use these online services,” Arya said.

Meanwhile for Kejora and SBI who have been doing business more than just VCs, are to provide support to the ecosystem. Not only to new investments but also those who have entered into the pipeline.

“We do not want to leave them, the best way is to connect them to our ecosystem. Whether through the pilot project, we do this to ensure they can continue with the business. Later, we will discuss again whether there are further investment steps or not,” said Richie.

Utilizing the right technology and tools, all portfolios at Monk’s Hill can utilize communication networks between fellow founders for consultation and possibilities for collaboration. The VC is also ready to help all startups to continue to be able to provide support. Monk’s Hill also conducts a data organization that aims to see the overall portfolio and KPI of each startup.

Diversification and decision to shut down business

When the pandemic began, many startups diversified by presenting new services or pivoting to adapt to current conditions and to remain relevant. According to Richie, this is fine to do, as long as startups can ensure that when the pandemic ends, the new business that is presented can continue. Not just using momentum.

“In my opinion, everything should go back to the core business. If they are not sure that it is better not to do a pivot, even though now is the right time to conduct a trial. When the crisis is focused on revenue rather than starting to explore new services,” Arya said.

He added, currently in Indonesia, most companies imitate other companies, when they want to present new services. Make sure all the right decisions, not just take advantage of the conditions and opportunities that exist.

Meanwhile, according to Arya, an important thing is that the new services or businesses presented can disrupt the business. If a startup has the ability, tools, and resources to build new services, it is possible.

Regarding the decision of startups to terminate their business, as a result of the pandemic, each VC claims to have experienced a number of failures from its portfolio. This condition is undeniable, the right way that can then be done is whether startups can implement lean methods or actually stop their startups.

“Eventually, when employee reductions or other decisions must be taken it is wise to do so. If the process or step can help startups to survive,” RJ said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Menyimak Dukungan Venture Capital kepada Portofolio di Tengah Pandemi

Pandemi yang berkepanjangan terpaksa harus menunda kegiatan penggalangan dana yang biasanya secara aktif dilakukan oleh venture capital asing dan lokal di Indonesia. Meskipun demikian masih ada beberapa VC yang tetap melakukan kegiatan tersebut, dengan menerapkan proses kurasi startup yang lebih ketat dan fokus, menyesuaikan kondisi saat ini.

Dalam sesi Startup Clinic kolaborasi antara Venturra Discovery, UMG IdeaLab, Plug and Play Indonesia dan Alpha Momentum Indonesia, beberapa VC turut membagikan tips dan cerita manajemen portofolio mereka, dan bagaimana pandemi bisa menjadi momentum yang paling relevan, untuk melihat kekuatan dan potensi startup.

Waktu yang tepat untuk slow down

Jika sebelumnya mungkin kebanyakan VC memiliki target berapa startup yang diincar untuk bergabung dalam portofolio, menurut Senior Investment Analyst Monk’s Hill Ventures RJ Balmater, saat ini menjadi waktu yang tepat bagi VC untuk melonggarkan ikat pinggang sekaligus fokus kepada vertikal bisnis yang tepat dan terbaik untuk investasi. Di sisi lain RJ juga melihat bagi startup juga bisa memanfaatkan kondisi ini untuk menyimak kembali keunggulan dari perusahaan dan tentunya model bisnis yang dimiliki.

“Pada akhirnya VC ingin berinvestasi kepada startup yang memiliki bisnis yang sehat bukan sekadar apakah mereka bisa survive di kondisi saat ini,” kata RJ.

Hal senada juga diungkapkan oleh VP Investment Kejora-SBI Orbit Fund Richie Wirjan, bukan hanya melihat key market, penundaan investasi yang sekarang banyak dilakukan juga bisa dimanfaatkan VC untuk melihat lebih mendalam, kekuatan yang dimiliki oleh startup, baik yang ada dalam portofolio atau mereka yang sebelumnya sudah dilirik dan memiliki potensi.

Sementara itu menurut CEO Prasetia Dwidharma Arya Setiadharma, memanfaatkan data yang ada, harus dilakukan analisis lebih mendalam untuk melihat potensi yang ada saat ini. Pastikan model bisnis yang dimiliki sudah menyesuaikan kondisi saat ini, dilihat dari pasar yang tidak pasti hingga kemungkinan perusahaan tidak bisa survive. Di sisi lain Arya melihat layanan seperti groceries dan delivery bisa tumbuh secara positif memanfaatkan momen saat ini.

“Untuk early stage startup saya melihat masih ada masa depan yang baik untuk melakukan penggalangan dana, namun ketika pandemi sudah mulai surut dalam waktu dua tahun ke depan,” kata Arya.

Dukungan moral dan jaringan VC

Hal lain yang kemudian menjadi prioritas VC saat pandemi adalah, dukungan moral hingga jaringan luas yang dimiliki, guna membantu startup hingga founder. Untuk Arya, semua founder yang tergabung dalam portofolio miliknya berhak untuk mendapatkan dukungan konsultasi secara one-on-one hingga konsultasi khusus oleh psikolog. Hal ini dilakukan untuk memastikan kesehatan mental para founder, yang kerap tertekan mengurusi startup saat pandemi berlangsung.

“Kami juga mencoba membantu portofolio kami untuk mengembangkan cara baru yang bisa bermanfaat. Salah satunya adalah Ride Jakarta yang didirikan oleh Gita Sjahrir. Memanfaatkan layanan secara online, kini pengguna bisa menikmati pelatihan langsung dari para coach secara mudah dan dengan harga yang terjangkau. Bukan hanya pengguna di Indonesia, mereka yang tinggal di Singapura juga banyak yang mencoba layanan online tersebut,” kata Arya.

Sementara itu bagi Kejora dan SBI yang selama ini sudah menjalankan bisnis lebih dari sekedar VC, memastikan untuk terus memberikan dukungan kepada ekosistem. Bukan hanya kepada investasi baru namun juga mereka yang sudah masuk ke dalam pipe line.

“Kita tidak mau meninggalkan mereka, cara terbaik adalah menghubungkan mereka dengan ekosistem kita. Apakah melalui pengerjaan pilot project, hal ini kami lakukan untuk memastikan mereka bisa tetap menjalankan bisnis. Dari situ nantinya kita akan bicarakan kembali apakah ada langkah investasi lanjutan atau tidak,” kata Richie.

Memanfaatkan teknologi dan tools yang tepat, semua portofolio di Monk’s Hill bisa memanfaatkan jaringan komunikasi antar sesama founder untuk melakukan konsultasi dan kemungkinan untuk kolaborasi. Pihak VC juga siap untuk membantu semua startup agar terus bisa memberikan dukungan. Monk’s Hill juga melakukan organisasi data yang bertujuan untuk melihat secara keseluruhan portofolio yang dimiliki dan KPI dari masing-masing startup.

Diversifikasi dan keputusan untuk menutup bisnis

Saat pandemi mulai banyak startup yang melakukan diversifikasi dengan menghadirkan layanan baru atau melakukan pivoting menyesuaikan kondisi saat ini dan agar tetap bisa relevan. Menurut Richie, hal ini sah-sah saja dilakukan, asal startup bisa memastikan ketika pada akhirnya pandemi berakhir, bisnis baru yang dihadirkan bisa terus berjalan. Bukan sekedar memanfaatkan momentum saja.

“Menurut saya semua harus kembali kepada bisnis yang dimiliki. Jika tidak yakin melakukan pivot lebih baik tidak dilakukan, meskipun saat ini merupakan waktu yang tepat untuk melakukan uji coba. Saat krisis ini fokus kepada revenue dari pada mulai eksplorasi layanan baru,” kata Arya.

Di tambahkan olehnya, saat ini di Indonesia kebanyakan perusahaan mencontoh perusahaan lain, ketika ingin menghadirkan layanan baru. Pastikan semua merupakan keputusan yang tepat, bukan hanya memanfaatkan kondisi dan kesempatan yang ada.

Sementara itu menurut Arya hal penting yang perlu diperhatikan adalah, jangan sampai layanan atau bisnis baru yang dihadirkan bisa mengganggu jalannya bisnis. Jika memang startup memiliki kemampuan, tools hingga sumber daya untuk membangun layanan baru, bisa saja dilakukan.

Terkait dengan keputusan dari startup untuk memberhentikan bisnis mereka, akibat dari pandemi, masing-masing VC mengklaim mengalami beberapa kegagalan dari portofolio yang dimiliki. Kondisi ini memang tidak bisa dipungkiri, cara tepat yang kemudian bisa dilakukan adalah, apakah startup bisa menerapkan cara yang lean atau kemudian benar-benar memberhentikan startup mereka.

“Pada akhirnya ketika pengurangan pegawai atau keputusan lainnya yang harus diambil menjadi bijaksana untuk dilakukan. Jika proses atau langkah tersebut bisa membantu startup untuk bisa survive,” kata RJ.